Dokumen tersebut membahas tentang penanganan tindak pidana kehutanan, yang mencakup pengertian penyidikan tindak pidana kehutanan, kewenangan penyidik PPNS kehutanan, tahapan proses penyidikan, dan teknik wawancara investigatif.
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
Tips Penanganan Tipihut
1. 0
BAHAN AJAR
PENANGANAN
TINDAK PIDANA KEHUTANAN
Pada
DIKLAT PENYEGARAN POLHUT POLA 30 JPL
KERJASAMA DINAS PROV. PAPUA BARAT
Oleh :
SUDIRMAN SULTAN, SP., MP.
MILU ARMAN LABAHI, SP., M.A.P
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BALAI DIKLAT LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN MAKASSAR
MAKASSAR
2018
2. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana kehutanan di Indonesia di dominasi oleh kasus illegal
logging, perambahan, perdagangan tumbuhan dan satwa liar, penambangan liar dan
kebakaran hutan. Dalam rencana kerja Direktorat Jenderal Penegakan Hukum
Tahun 2018, terdapat beberapa hambatan dalam penegakan hukum antara lain :
tumpeng tindih dalam kebijakan, beberapa putusan tidak dapat dieksekusi,
minimnya daya tanggap penegak hukum, kesulitan dalam pembuktian, lokasi sulit
dijangkau, biaya penanganan kasus tinggi, serta tenaga ahli dan saksi di pengadilan
terbatas.
Penanganan tindak pidana kehutanan dilakukan oleh Polhut/PPNS
Kehutanan guna mencarai dan mengumpulkan bukti agar suatu tindak pidana yang
ditemukan dapat menjadi terang dan jelas, serta dapat menemukan dan menentukan
siapa pelakunya. Salah satu penanganan tipihut yang berperan penting dalam
penegakan hukum adalah penanganan pertama Tipihut, dimana penanganan ini
merupakan langkah pertama dalam penanganan tipihut di Tempat Kejadian Perkara
(TKP) yang biasa dikenal dengan istilah Tindakan Pertama di TKP (TP-TKP).
Oleh karena penanganan pertama Tipihut merupakan langkah hukum yang
sangat menentukan proses penindakan berikutnya, maka seorang Polhut harus
memiliki kemampuan dan penguasaan teknik dan taktik dalam pelaksanaan
penanganan pertama Tipihut. Pelaksanaan penanganan pertama TKP dengan baik
dan benar oleh Polhut, akan mempermudah pelaksanaan proses penyidikan.
B. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran mata diklat ini, peserta diharapkan mampu :
1. Menjelaskan penyidikan tindak pidana kehutanan.
2. Menjelaskan teknik wawancara investigatif.
3. Menjelaskan teknik pengamanan barang bukti.
4. Menjelaskan teknik pengamanan tempat kejadian perkara.
5. Menjelaskan teknik pengamanan tersangka.
3. 2
BAB II
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN
A. Pengertian dan Kewenangan Penyidikan
Pasal 1 butir (2) Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : “Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna membuat terang
tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya”. Dengan demikian
penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila telah terjadi suatu tindak
pidana.
Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-
undang untuk melakukan penyidikan yang disebut dengan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS), (Pasal 109 butir (1) KUHAP). Untuk dapat menentukan suatu
peristiwa yang terjadi termasuk suatu tindak pidana, maka diperlukan kemampuan
penyidik mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan
berdasarkan pada pengetahuan hukum pidana mutlak diperlukan.
Kewenangan PPNS Kehutanan dalam melaksanakan penyidikan tindak
pidana bidang kehutanan disebutkan dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu bahwa PPNS berwenang untuk :
1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang
berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan;
2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
3. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau
wilayah hukumnya;
4. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. 3
5. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
6. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan KUHAP;
7. Membuat dan menandatangani berita acara;
8. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Kewenangan PPNS Kehutanan dalam melaksanakan pendidikan tindak
pidana bidang KSDAHE disebutkan dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang No. 5
Tahun 1990 tentang KSDAHE, yaitu :
1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang
berkenaan dengan tindak pidana dibidang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya;
2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana
di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
3. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam
dan Kawasan Pelestarian Alam;
4. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
5. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya;
6. Membuat dan menandatangani berita acara;
7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya
tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Sedangkan kewenangan PPNS Kehutanan dalam pasal 30 Undang-Undang
No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan,
dijelaskan tentang kewenangan PPNS, yaitu;
1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana perusakan hutan;
5. 4
2. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana perusakan hutan;
3. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan;
4. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana perusakan hutan;
5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti,
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara
tindak pidana perusakan hutan;
6. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
7. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana perusakan hutan;
8. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang adanya tindakan
perusakan hutan;
9. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
10. membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain yang
menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan
11. memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat perekam terhadap
orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
B. Tahapan Proses Penyidikan
Penyidikan tindak pidana dilaksanakan setelah diketahui bahwa sesuatu
peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana. Suatu peristiwa dan atau tindak
pidana dapat diketahui melalui :
1. Laporan, laporan diterima dari seseorang baik tertulis maupun lisan dicatat oleh
penyidik/penyidik pembantu/penyelidik kemudian dituangkan dalam Laporan
Kejadian yang ditandatangani oleh pelapor dan penyidik/penyidik
pembantu/penyelidik. Setelah selesai penerimaan laporan, kepada pelapor
diberikan Surat Tanda Penerimaan Laporan.
6. 5
2. Pengaduan, Pengaduan bisa dilakukan baik secara lisan atau tertulis kepada
penyidik disertai permintaan untuk menindak menurut hukum terhadap seorang
yang melakukan tindak pidana aduan (delik aduan relatif) dari pihak yang
dirugikan .
3. Tertangkap tangan,
a) dalam hal tertangkap tangan, setiap petugas Polhut, tanpa surat perintah
tugas, dapat melakukan tindakan penangkapan, penggeledahan, penyitaan
dan melakukan tindakan lain menurut hokum yang bertanggung jawab.
kemudian segera melakukan tindakan pertama di Tempat Kejadian Perkara
dan setelah itu memberitahukan dan atau menyerahkan tersangka beserta
atau tanpa barang bukti kepada penyidik atau kepada Polri yang berwenang
melakukan penanganan selanjutnya.
b) Penyidik Kehutanan apabila menerima penyerahan tersangka beserta atau
tanpa barang bukti baik dari anggota Polhut maupun masyarakat, wajib :
1) membuat laporan kejadian,
2) mendatangani TKP dan melakukan tindakan yang diperlukan.
3) Membuat berita acara atas setiap tindakan yang dilakukan.
Polisi Kehutanan yang didampingi oleh PPNS dapat menggunakan
kewenangan pengawasan dan pengamatan untuk menemukan tindak pidana. Dalam
hal tertentu dapat meminta bantuan kepada pihak Kepolisian untuk melakukan
penyidikan.
Secara umum, tahapan-tahapan dalam kegiatan penyidikan tindak pidana
adalah :
1. Penyelidikan
2. Penindakan, yang terdiri dari kegiatan pemanggilan, penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan.
3. Pemeriksaan, yang meliputi pemeriksaan terhadap saksi, saksi ahli, dan
terhadap tersangka.
4. Penyelesaian dan penyerahan Berkas Perkara, yang terdiri dari pembuatan
resume, penyusunan berkas perkara, dan penyerahan berkas perkara.
7. 6
BAB III
WAWANCARA INVESTIGATIF
A. Pengertian, Tujuan dan Prinsip Wawancara Investigatif.
Wawancara investigatif (investigative interview) adalah proses tanya jawab
secara terstruktur, dimana pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
seseorang yang mengetahui informasi/keterangan yang diperlukan guna
mengungkap sebuah dugaan terjadinya suatu tindak pidana. Wawancara
investigatif ini merupakan salah satu metode dalam mencari bukti bahwa telah
terjadi tindak pidana.
Wawancara investigatif pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh
jawaban yang akurat dan handal atas beberapa pertanyaan 5 W + 1 H, yaitu : What
(Apa), Who (siapa), When (kapan), Where (dimana), Why (mengapa), dan How
(bagaimana). Dalam hal wawancara investigatif bertujuan juga untuk mengungkap
dampak finansial yang terjadi, maka ditambahkan satu pertanyaan lagi yaitu How
Much (berapa besar).
Wawancara investigatif mengenal sejumlah prinsip yaitu :
1. Wawancara investigatif dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang akurat
dan terpercaya dari seseorang dalam rangka menemukan kebenaran tentang
peristiwa tindak pidana yang terjadi.
2. Pewawancara harus berlaku adil dalam situasi apapun pada setiap kasus ketika
mewawancarai seseorang. Untuk mewawancarai seseorang yang rentan seperti
sudah lanjut usia, memiliki penyakit tertentu, dan sebagainya maka harus
diperlakukan dengan pertimbangan tertentu.
3. Wawancara investigatif harus dilakukan dengan pikiran terbuka sehingga setiap
informasi yang diperoleh dari seseorang harus selalu diuji dengan hal-hal yang
telah diketahui sebelumnya atau yang secara logika bisa diterima.
4. Pada saat melakukan wawancara, pewawancara bebas untuk menanyakan
pertanyaan untuk mencari kebenaran.
8. 7
5. Pewawancara sebaiknya mengenali dampak positif dari pengakuan awal dalam
konteks hukum acara pidana. Misal kemungkinan pengurangan hukuman karena
pengakuan awal.
6. Pewawancara tidak harus menerima jawaban pertama yang diberikan oleh
terwawancara dan pewawancara harus terus menggali informasi dari
terwawancara.
7. Pada saat terwawancara memilih untuk diam dalam suatu wawancara, maka
pewawancara tetap memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan.
B. Langkah-Langkah Wawancara Investigatif.
Salah satu metode wawancara investigatif yang banyak digunakan dalam
proses investigasi adalah metode P.E.A.C.E. Metode ini merupakan singkatan dari
langkah-langkah wawancara investigatif berikut ini :
1. P – Planning and Preparation
Wawancara harus direncanakan dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Dalam tahap ini, yang dilakukan adalah :
a. Penentuan maksud dan tujuan wawancara.
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan pernyataan yang akurat dan
handal. Sedangkan tujuannya adalah memperoleh informasi/keterangan
tentang suatu kejadian yang diinvestigasi. Oleh karena itu pemahaman
tentang kasus yang diinvestigasi dan keterangan yang ingin diperoleh dan
diklarifikasi dari terwawancara sangat penting direncanakan pada tahap ini.
Beberapa pertanyaan yang dapat membantu penyusunan maksud dan tujuan
wawancara adalah :
Siapakah yang diwawancarai dan bagaimana urutannya ?
Mengapa terwawancara tersebut sangat diperlukan untuk diwawancarai ?
Informasi/keterangan apa yang ingin diperoleh dari terwawancara ?
Apakah terwawancara harus segera diwawancarai pada tahap awal atau
akan lebih berguna apabila diwawancarai setelah informasi/bukti lainnya
diperoleh.
9. 8
b. Profiling terwawancara (Pengenalan awal)
Pewawancara perlu memiliki pengetahuan umum tentang identitas (misal:
umur, gender, agama, ras/suku, kondisi fisik, disabilitas, dan lain-lain) dan
latar belakang terwawancara (misal: apakah pernah terlibat dalam kasus
hukum). Bagi terwawancara yang usianya termasuk rentan, disabilitas dan
faktor lainnya akan mempengaruhi persiapan seperti waktu dan tempat
dalam melakukan wawancara. Informasi tentang terwawancara ini dapat
diperoleh dari database internal korporasi, maupun sumber eksternal
lainnya, misal: pencarian di internet, social media, berita, dan lain-lain.
c. Penentuan Pewawancara.
Pewawancara yang ditunjuk harus memiliki kompetensi yang memadai
untuk melakukan wawancara dan mampu melakukan komunikasi secara
baik dengan terwawancara. Bila memungkinkan, sebaiknya wawancara
investigative dilakukan oleh dua orang pewawancara, yang masing-masing
memiliki pengetahuan wawancara investigatif yang sesuai. Namun harus
disepakati siapa yang akan menjadi pewawancara utama (leader) dan siapa
yang akan menjadi pewawancara pendamping (sweeper) dengan
mempertimbangkan kebutuhan wawancara mencakup kepribadian, jenis
kelamin, pengetahuan sebelumnya (atau hubungan dengan terwawancara)
atau pengetahuan khusus berkaitan dengan kasus yang diinvestigasi.
Tugas utama pewawancara utama (leader) adalah melakukan wawancara,
sedangkan tugas utama pewawancara pendamping (sweeper) adalah
mencatat keterangan yang diberikan oleh terwawancara serta membantu
pewawancara utama dalam proses wawancara jika diperlukan.
d. Penentuan waktu yang tepat.
Bila memungkinkan wawancara dilakukan pada kesempatan pertama untuk
memaksimalkan hasil wawancara dan meminimalkan risiko ingatan
terwawancara yang dapat memburuk atau terkontaminasi. Terwawancara
diberi perkiraan waktu yang realistis untuk wawancara.
10. 9
e. Penentuan dan persiapan tempat atau ruangan wawancara.
Lokasi wawancara sebaiknya bebas dari gangguan dan dapat memastikan
privasi wawancara, terutama ketika masalah yang berpotensi sensitif timbul.
Untuk wawancara formal, ruang wawancara harus diperiksa secara fisik
untuk memastikan ruangan bersih, rapi dan tetap sesuai untuk wawancara.
f. Penyiapan sarana pendukung wawancara.
Dilakukan pengecekan sarana pendukung wawancara, apakah dapat
berfungsi dengan baik, misalnya: alat tulis, kertas, komputer, atau dapat
berupa alat perekam dan pemutar ulang proses wawancara.
g. Penyiapan administrasi wawancara.
Administrasi wawancara seperti surat tugas, formulir dan dokumen
administrasi lainnya yang perlu dipersiapkan harus tersedia.
Tabel 1. Contoh Lembar Perencanaan dan Persiapan Wawancara Investigatif.
Jadwal Permintaan Keterangan/Klarifikasi :
Nama Kasus :
No. Nama
Terwawancara
Hal-Hal yang dimintai
Keterangan/ Klarifikasi
Nama
Pewawancara
Waktu Tempat
2. E – Engage and Explain
Wawancara harus dimulai dengan suatu pendekatan yang tepat. Pewawancara
perlu secara aktif berinteraksi dengan terwawancara dan memberikan penjelasan
tentang proses dan prosedur wawancara. Hubungan antara pewawancara dan
terwawancara akan secara signifikan meningkat ketika terwawancara memiliki
pemahaman penuh mengenai prosedur.
Dalam tahap ini, pewawancara melakukan langkah-langkah untuk mengawali
proses wawancara atau membuka percakapan kepada terwawancara sehingga
pelaksanaan wawancara dapat berjalan dengan baik dan lancar, yang antara lain
meliputi :
Perkenalan dan pendekatan awal kepada terwawancara.
11. 10
Pemberian penjelasan tujuan dan maksud wawancara kepada terwawancara.
Pemberian penjelasan hak-hak terwawancara selama berlangsungnya proses
wawancara termasuk prosedur (hukum) yang berlaku.
Pengisian formulir baku bagi terwawancara.
Pengamatan singkat atas profil terwawancara.
3. A – Account (Pernyataan)
Tahap ini merupakan bagian utama dari wawancara investigatif. Pada
prinsipnya pewawancara melaksanakan proses wawancara dengan
menggunakan teknik-teknik wawancara tertentu yang disesuaikan dengan sikap
dan perilaku dari terwawancara pada saat wawancara. Ada dua teknik yang
dapat digunakan pewawancara, yakni:
Cognitive interview/free recall/ingatan bebas
Metode cognitive interview/free recall digunakan untuk terwawancara yang
kooperatif. Terwawancara diminta untuk mengingat kembali suatu kejadian
tanpa disela (mengingat bebas). Kemudian diikuti dengan paling tidak sekali
lagi mencoba mengingat bebas dengan arah atau perspektif yang berbeda.
Hal yang terkait informasi yang diinginkan pewawancara digali lebih dalam.
Conversation management/manajemen percakapan
Metode conversation management digunakan untuk terwawancara yang
nonkooperatif. Pewawancara mengambil kendali lebih awal dan
mengaturnya secara berbeda dengan terwawancara yang kooperatif.
Biasanya menggunakan agenda pewawancara (investigator agenda) dan
agenda terwawancara (suspect agenda).
Bebapa hal yang perlu dikuasai pada tahap ini adalah gaya bertanya,
keterampilan menyimak secara efektif, dan membuat catatan.
4. C – Closure (Penutup)
Wawancara perlu ditutup dan diakhiri dengan sebaik-baiknya. Dalam tahap ini,
pewawancara melakukan langkah-langkah untuk menutup atau menyelesaikan
proses wawancara, yang antara lain meliputi:
Pengecekan kembali atas materi wawancara atau keterangan yang ingin
diperoleh.
12. 11
Konfirmasi ulang atas ketepatan dan kebenaran keterangan terwawancara.
Penyelesaian administrasi wawancara.
Penjelasan tentang dampak lanjutan wawancara kepada terwawancara.
Pengakhiran pertemuan dengan terwawancara.
5. E – Evaluation (Evaluasi)
Hasil dan proses wawancara perlu dievaluasi dengan sebaik-baiknya. Dalam
tahap ini, pewawancara melakukan evaluasi atau penilaian atas pelaksanaan
wawancara yang telah berjalan, yang antara lain meliputi:
Evaluasi atas pencapaian tujuan wawancara.
Penentuan rencana investigasi selanjutnya.
Evaluasi atau penilaian atas terwawancara.
Evaluasi atau penilaian atas pewawancara.
Penulisan resume hasil wawancara.
13. 12
BAB IV
TEKNIK PENGAMANAN BARANG BUKTI
A. Pengertian dan Peran Barang Bukti.
Dalam Pasal 1 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun
2014 tentang Perubahan Perkapolri Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pengelolaan Barang Bukti dilingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia
menyatakan bahwa”Barang Bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk
keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.26/Menlhk/Setjen/
Kum.1/4/2017 tentang Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan
Hidup dan Kehutanan dinyatakan bahwa : ”Barang bukti tindak pidana lingkungan
hidup dan kehutanan adalah segala benda yang patut diduga bersangkut paut
dengan suatu tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan yang ditemukan di
tempat kejadian perkara maupun ditempat lainnya.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan
secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal
39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu :
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan,
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan
dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti.
14. 13
B. Cara Pengamanan Barang Bukti
Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Kehutanan RI No.
P.26/Menlhk/Setjen/ Kum.1/4/2017 tentang Penanganan Barang Bukti Tindak
Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan bahwa pengamanan barang
bukti diperlukan untuk menjamin keutuhan barang bukti. Pengamanan barang bukti
dilakukan dengan cara :
1. Pengawalan
Pengawalan dilakukan pada saat pengangkutan barang bukti oleh Polhut dan
dalam keadaan tertentu dapat meminta bantuan TNI/Polri. Setiap kegiatan
pengawalan wajib disertai Surat Perintah Tugas yang sekurang-kurangnya
memuat : pejabat yang memerintahkan; nama petugas; dan asal dan tujuan
pengawalan. Dalam keadaan tertentu dan mendesak, pengangutan barang bukti
dapat dilakukan tanpa disertai Surat Perintah Tugas. Penganggutan barang
bukti setelah sampai di tempat tujuan wajib segera melaporkan kepada Kepala
Unit Kerja untuk diterbitkan Surat Perintah Kerja.
2. Penjagaan
Penjagaan dilakukan oleh Polhut dan atau petugas yang menangani Tipihut
terhadap barang bukti di tempat dimana barang bukti ditemukan, pada saat
identifikasi dan di tempat penyimpanan. Setiap kegiatan penjagaan wajib
disertai Surat Perintah Tugas yang sekurang-kurangnya memuat: pejabat yang
memerintahkan; nama petugas jaga; jenis, jumlah dan ukuran barang bukti;
dan lokasi/tempat penjagaan;
Petugas jaga sekurang-kurangnya 2 orang. Penjagaan dilakukan secara
bergantian, dimana setiap pergantian petugas jaga wajib dibuatkan berita acara
serah terimayang memuat sekurang-kurangnya: identitas petugas lama;
identitas petugas baru; jenis, jumlah dan ukuran barang bukti; dan waktu serah
terima jaga.
3. Perlakuan
Perlakuan dilakukan dalam proses pengambilan barang bukti berupa limbah,
B3, dan limbah B3. Perlakuan harus memenuhi prosedur dan tata cara
15. 14
pengambilan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses pengambilan barang
bukti tersebut harus diketahui oleh pemilik limbah dan/atau perwakilan
perusahaan dan disaksikan oleh kepala desa setempat.
4. Pembungkusan.
Pembungkusan dilakukan untuk menjaga keutuhan dan keselamatan barang
bukti dan atau karena sifatnya mudah rusak. Untuk kepentingan pelabelan,
maka barang bukti sebelum dibungkus dilakukan pencatatan: jenis, jumlah dan
ukuran; ciri/tanda khusus; dan tersangka dan/atau pasal yang disangkakan.
Barang bukti yang telah dibungkus diberilak dan cap serta ditanda tangani oleh
penyidik. Terhadap barang bukti yang tidak mungkin dibungkus wajib beri
pelindung dan penyidik memberi catatan diatas label bahwa barang bukti tidak
dapat dibungkus.
Setiap kegiatan pembungkusan dan pembukaan pembungkusan barang bukti
wajib dibuatkan berita acara yang memuat sekurang-kurangnya : waktu dan
tempat; jenis, jumlah dan ukuran barang bukti; ciri-ciri/tanda barang bukti;
asal barang bukti; identitas yang melakukan pembungkusan atau pembukaan
pembungkusan; dan saksi sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.
5. Penyegelan
Penyegelan dilakukan terhadap semua jenis barang bukti. Penyegelan
dilakukan sesuai dengan kondisi barang bukti. Penyegelan terhadap barang
bukti dilakukan dengan cara: menempelkan kertas segel; memasang garis
PPNS; memasang papan pengumuman segel; atau memberi tanda lain yang
memungkinkan dalam pengamanan barang bukti.
Setiap kegiatan penyegelan atau pembukaan segel barang bukti wajib dibuatkan
berita acara yang memuat sekurang-kurangnya : waktu dan tempat; jenis,
jumlah dan ukuran barang bukti; ciri-ciri/tanda barang bukti; instansi yang
melakukan penyegelan atau pembukaan segel; tujuan penyegelan atau
pembukaan segel; dan saksi sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.
16. 15
BAB V
TEKNIK PENGAMANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA
A. Tempat Kejadian Perkara (TKP)
Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah suatu tempat penemuan barang
bukti atau tempat terjadinya tindak pidana atau kecurigaan suatu tindak pidana,
merupakan suatu persaksian. Pengertian tempat kejadian perkara di dalam petunjuk
lapangan No. Pol: Skep/1205/IX/2000 tentang Penanganan Tempat Kejadian
Perkara terbagi menjadi 2 (dua) yakni:
1. Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau akibat yang
ditimbulkannya.
2. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dimana
barang-barang bukti,tersangka atau korban dapat ditemukan.
Menurut pasal 1 ayat (19) PERKAP POLRI Nomor 6 Tahun 2010 tentang
Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri sipil yaitu : ” Tempat
Kejadian Perkara adalah yang selanjutnya disingkat TKP adalah tempat dimana
suatu tindak pidana dilakukan/terjadi dan tempat-tempat lain, dimana tersangka
dan/atau korban dan/atau barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana
tersebut dapat ditemukan. Hal tersebut sebagaimana tercantum juga pada asal 1
ayat (19) PERKAP POLRI Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Tindak Pidana.
Berdasarkan pengertian ”Tempat Kejadian Perkara” tersebut diatas, jelaslah
bahwa secara umum setiap tempat dimana telah terjadi tindak pidana harus
dianggap sebagai TKP. TKP merupakan bagian pokok dari pangkal
pengungkapan perkara pidana pada saat terjadi peristiwa pidana karena ditempat
kejadian perkara dapat ditemukan interaksi antara pelaku kejahatan (tersangka) alat
bukti yang digunakan dan saksi/korban kejahatan.
TKP merupakan salah satu sumber keterangan yang penting dan bukti-bukti
yang dapat menunjukkan/membuktikan adanya hubungan antara korban, pelaku,
barang bukti dan TKP itu sendiri. Dari hubungan tersebut diusahakan untuk dapat
mengungkapkan pokok-pokok masalah sebagai berikut :
17. 16
1. Benarkah tindak pidana telah terjadi ? Tindak pidana apa ?
2. Bagaimana tindak pidana dilakukan ?
3. Siapa yang melakukan tindak pidana itu ?
4. Dengan apa itu dilakukan ?
5. Mengapa tindak pidana itu dilakukan ?
6. Dimana dilakukan ?
7. Bilamana dilakukan ?
TKP biasa juga disebut locus delicti. Dalam menentukan locus delicti ,
perlu diperhatikan teori berikut ini :
1. Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah) adalah penentuan tempat
terjadinya tindak pidana ditentukan oleh perbuatan badan dari pelaku yang
dilakukan untuk mewujudkan tindak pidana itu.
2. Teori instrumen (alat) adalah penentuan tempat terjadinya tindak pidana
berdasarkan dimana bekerjanya alat yang digunakan oleh pembuat. Alat dalam
hal ini dapat berupa benda atau orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3. Teori akibat adalah penentuan tempat terjadinya tindak pidana berdasarkan dari
akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana.
B. Langkah-Langkah Pengamanan TKP
Pada saat mendatangi TKP, kemudian melakukan penanganan TKP,
mengamankan barang bukti, mengumpulkan fakta dan petunjuk, maka petugas
sudah secara otomatis menyusun hipotesa/dugaan yang mengarah kepada siapa
pelakunya dan bagaimana cara perbuatan itu dilakukan. Untuk itu pengamanan TKP
harus dilakukan dengan baik untuk menjaga agar TKP tidak rusak atau berubah.
Mengapa demikian? Ada dua alasan, pertama karena TKP merupakan gudangnya
bahan bukti yang menghubungkan dengan pelaku, dan kedua jika TKP rusak maka
tidak dapat dikembalikan pada kondisi awal/ kondisi semula. Maka dapatlah
disimpulkan bahwa status quo TKP dapat menjadi titik awal (starting point)
pembuktian secara ilmiah dalam proses penyidikan perkara pidana.
18. 17
Pengamanan TKP ini bertujuan untuk memastikan bahwa area tersebut
dibawah pengawasan dan pengendalian penuh tim penanganan TKP. Hal ini
dilakukan dengan cara :
1. Segera menutup dan mengamankan TKP (mempertahankan status quo) dengan
membuat batas di TKP dengan tali atau alat lain, dimulai dari jalur yang
diperkirakan merupakan arah masuknya pelaku, melingkar kesekitar tempat
yang diperkirakan akan didapatkan barang bukti, kemudian ke jalan yang
diperkirakan merupakan arah keluarnya pelaku meninggalkan TKP dan
memberikan tanda arah keluar masuknya pelaku
2. memerintahkan orang yang berada di TKP pada saat terjadi tindak pidana untuk
tidak meninggalkan TKP,
3. melarang setiap orang yang tidak berkepentingan masuk ke TKP yang sudah
diberi batas,
4. berusaha menangkap pelaku yang diperkirakan masih berada di TKP,
5. Meminta bantuan kepada aparat setempat seperti ketua RT/RW dalam
melakukan pengamanan TKP.
6. Minta partisipasi warga untuk mengamankan kerumunan massa, dan tidak
menambah atau mengurangi barang bukti yang ada di TKP.
7. Buatlah tanda di TKP seperti tanda bekas sidik jari atau kaki.
8. Memisahkan satu sama lain orang-orang yang ada di TKP dan melarang satu
sama lain membicarakan perkara yang baru saja terjadi dengan maksud agar
tidak saling mempengaruhi, sehingga menyulitkan dalam mendapatkan
keterangan yang obyektif.
9. Mencari dan mengumpulkan saksi-saksi serta mencari identitasnya
10. Amankan semua barang bukti dan Jangan sekali-kali menambah/mengurangi
barang bukti yang ada di TKP.
11. Membuat sketsa kasar dan catatan kejadian sebagai bahan laporan kejadian.
19. 18
BAB VI
TEKNIK PENGAMANAN TERSANGKA
A. Pengertian Tersangka
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Ini
berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Dalam putusan Mahkamah Konstitusi
nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa
“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai
minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Alat Bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah :
1. keterangan saksi,
2. keterangan ahli,
3. surat,
4. petunjuk, dan
5. keterangan terdakwa.
Sedangkan dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, selain kelima alat bukti tersebut
ditambahkan lagi tiga alat bukti yang sah yaitu :
1. informasi elektronik : informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2. dokumen elektronik : data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca
dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau
yang terekam secara elektronik, berupa :
a. tulisan, suara atau gambar
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, dan/atau
c. huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
3. peta.
20. 19
B. Langkah-Langkah Pengamanan Tersangka
Pengamanan terhadap tersangka yang diduga melakukan tindak pidana
kehutanan saat mendatangi TKP dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Tangkap/borgol tersangka bila masih berada di TKP, jangan biarkan ada waktu
bagi pelaku untuk memikirkan rencana melawan balik atau melarikan diri.
2. Amankan barang-barang pelaku dengan melakukan penggeledahan badan untuk
memastikan apakah pelaku membawa senjata. Setiap pelaku yang membawa
senjata harus segera diperlakukan sebagai pelaku yang berbahaya.
3. Apabila pelaku lebih dari satu orang, pastikan posisi mereka terpisah dan tidak
saling berhadapan.
4. Catat identitas tersangka seperti nama, umur, alamat dan lain-lain dan
konfrontasikan dengan pelaku yang lain jika ada.
5. Cegah jangan sampai pelaku menghapus bekas/menghilangkan bukti-bukti yang
ada di TKP.
6. Apabila pelaku tidak ditemukan di TKP, adakan pencarian singkat kalau
diperkirakan pelaku masih berada disekitar TKP.
Pengamanan tersangka dapat dilakukan dengan taktik pelumpuhan dan
penyerbuan. Taktik pelumpuhan ada dua jenis yaitu pelumpuhan spontan dan
pelumpuhan terencana. Pelumpuhan spontan adalah pengamanan pelaku dilakukan
ketika tim patroli menemukan pelaku sedang melakukan tindak pidana kehutanan,
dan saat itu juga ketua tim memutuskan untuk menangkap pelaku. Sedangkan
pelumpuhan terencana adalah pengamanan pelaku yang direncanakan berdasarkan
hasil analisa bahan keterengan yang dikumpulkan oleh tim intelijen. Pelumpuhan
terencana ini membutuhkan latihan menyeluruh, simulasi terus menerus serta
koordinasi seluruh anggota tim yang terlibat.
Prosedur pelumpuhan tersangka adalah :
1. Ketua tim memerintahkan anggotanya untuk menyebar dalam formasi shaf dan
secara diam-diam maju kedepan.
2. Pada sampai pada titik serbu (disertai aba-aba “jangan bergerak”), tim
menyerbu camp dan mengejutkan para pelaku tindak pidana.
21. 20
3. Polhut yang paling dekat dengan pelaku tindak pidana akan melakukan
penangkapan terhadap pelaku, sementara anggota tim lainnya menyapu dan
menyisir area TKP serta mengejar pelaku tindak pidana yang melarikan diri.
4. Pada saat sampai pada jarak tertentu dalam melakukan penyisiran area TKP,
anggota tim akan berteriak “AMAN”, dan disambut dengan perintah ketua tim
“MERAPAT”.
5. Pada saat tim sudah merapat, anggota tim yang tidak bertugas menjaga pelaku
akan bergerak melaksanakan tugas yang sudah ditentukan sebelumnya oleh
ketua Tim.
Hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh ketua tim dalam menganalisa
situasi adalah :
1. Jumlah pelaku tindak pidana kehutanan dibandingkan dengan anggota timnya.
Panduan dasarnya adalah 2 : 1 (dua Polhut dan 1 pelaku tipihut). Jadi
berdasarkan teori ini, apabila anggota tim ada 5 (lima) orang, maka seharusnya
tidak mencoba untuk melakukan pelumpuhan terhadap lebih dari tiga orang
pelaku bersenjata.
2. Apakah pelaku bersenjata atau tidak ? Contoh senjata yaitu parang, pisau atau
senjata api.
3. Reaksi pelaku ketika melihat tim patrol, apakah melarikan diri ? Apakah
mereka akan menembak Polhut atau akan menyerahkan diri ?
4. Apakah area TKP berada ditanah terbuka? Apakah ada vegetasi yang
memungkinkan untuk persembunyian ? Atau apakah lebih baik mendekati TKP
dengan arah yang lain ?
5. Dengan analisa diatas, ketua tim dapat menyusun rencana secara cepat dan
memberitahukan lewat isyarat lapangan tanpa suara atau membisikkan ke setiap
anggota tim.
22. 21
DAFTAR PUSTAKA
Muhktar A. Ahmadi, dkk., 2012. Patroli Pengamanan Kawasan Hutan, Panduan
Pelaksanaan Kegiatan Polhut. Freeland Foundation, Jakarta.
Sudirman S. dan Arman L., 2015. Proses Pemberkasan, Modul Diklat
Pemberkasan Perkara Bagi Polhut. Balai Diklat Kehutanan, Makassar.
Sudirman S. dan Arman, 2015. Pengolahan Tempat Kejadian Perkara. Modul
Diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara. Balai Diklat
Kehutanan Makassar, Makassar.
Susanti, Dwi Siswa, 2017. Wawancara Investigatif, Modul Integritas Bisnis
Cetakan-II. Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyakarat, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemya.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.26/Menlhk/Setjen/ Kum.1/4/2017
tentang Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang
Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri sipil
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.