Dokumen tersebut membahas pemikiran Imam Nawawi tentang etika seorang guru. Imam Nawawi mengklasifikasikan etika guru menjadi 5 bagian: etika personal guru, etika guru dalam mengajar, etika guru terhadap murid, etika guru terhadap ilmu, dan etika guru terhadap sesama. Imam Nawawi menyatakan bahwa seorang guru harus memiliki akhlak yang mulia, mengajar dengan niat ikhlas, dan memperlakukan
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG ETIKA PENDIDIK.docx
1. Pemikiran Imam Nawawi Tentang Etika
Seorang Pendidik (Guru)
Irdayanti cibro
Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe
Jl. Medan Banda Aceh, Alue Awe, Muara Dua, Lhokseumawe,24352
e-mail:
irdayantiirda37@gmail.com
Pendahuluan
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang sangat ideal,
pendidikan Islam tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya
dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw. Berkaitan
dengan itu pula, pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik
yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan
terus menerus pasca generasi Nabi, sehingga dalam perjalanan
selanjutnya, pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari
segi kurikulum maupun dari segi lembaga pendidikan Islam yang
dimaksud.
Penelitaian merupakan tokoh-tokoh pendidikan Islam di
Indonesia, maka kita akan mengenal beberapa nama tokoh terkenal.
Diantara para tokoh tersebut, sangat andil besar dalam
memperbaharui konsep dan sistem pendidikan di Indonesia
khususnya mengenai pendidikan Islam. Diantara mereka ada yang
merubah atau menggabungkan konsep pendidikan modern dengan
konsep pendidikan pesantren dimana menambahkan mata pelajaran
yang tidak hanya pelajaran agama saja, tetapi juga mata pelajaran
umum. Pendidikan Islam berkembang dengan pesat sejak dari
peninggalan Rasulullah hingga sampai pada masa kita saat ini.
Banyak para tokoh pendidikan Islam yang tampil sebagai pembaharu
salah satunya ialah Imam Nawawi.
2. A. Riwayat Hidup Imam Nawawi
Nama lengkap Imam Nawawi ialah Yahya bin Syaraf bin Murry
bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam. Beliau
disebut juga sebagai Abu Zakaria, walaupun beliau tidak mempunyai
anak yang bernama Zakaria, karena ia belum sempat menikah selama
hidupnya. Beliau lahir di Nawa, sebuah daerah di bumi Hauran,
bagian dari wilayah Damaskus, pada bulan Muharram 631 H. sejak
kecil, ia biasa dipanggil An-Nawawi (dinisbatkan pada “Nawa”),
dengan bermadzhabkan Imam Syafi’i.
Imam Nawawi memperoleh pendidikan yang ketat dari
ayahnya, Syaraf bin Murry. Ia belajar di katatib (tempat belajar baca
tulis untuk anak-anak), dan berhasil menghafalkan Al-Qur’an
sebelum menginjak usia baligh. Bahkan, ia juga berhasil menghafal
kitab At-Tanbiih fii Furuu’isy Syaafi’iyah, karya Abu Ishaq asy-
Syairazi dalam waktu kurang lebih empat setengah bulan dan
menghafal seperempat kitab Al-Muhadzdzab fil Furuu’.1
Ketika berumur 10 tahun, Syekh Yasin bin Yusuf az-Zarkasyi,
yang tak lain adalah guru mengaji Imam Nawawi, melihat keutamaan
pada diri muridnya. Ketika itu, Imam Nawawi muda selalu menolak
ketika dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya. Sang guru
lantas berkata bahwa muridnya ini kelak akan menjadi seorang
ulama yang paling alim dan zuhud pada masanya. Bahkan,ia
diprediksi akan mampu memberikan banyak kemanfaatan bagi umat
Islam.
Imam Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun.
Kemudian, pada tahun 649 H, ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke
Damaskus dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang
diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di Madrasah ar-
Rawahiyyah di dekat Al-Jami’ al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi
sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri
dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak
hal. Alhasil ia mengungguli teman-temannya yang lain.
Pada masa itu, Imam Nawawi telah berhasil berguru kepada
1
Republika,co.id.
3. banyak ulama. Diantaranya ialah Abul Baqa’ an-Nablusi, Abdul Aziz
bin Muhammad al-Ausi, Abu Ishaq al-Muradi, Abul Faraj Ibnu
Qudamah al-Maqdisi, Ishaq bin Ahmad al-Maghribi dan Ibnu Firkah.
Sementara itu, diantara para ulama yang menjadi muridnya ialah
Ibnul ‘Aththar as-Syafi’I, Abul Hajjaj al-Mizzi, Ibnul Naqib as-Syafi’i,
Abul ‘Abbas al-Isybili dan Ibnu ‘Abdil Hadi.2
Pada tahun 651 H, Imam Nawawi menunaikan ibadah haji di
tanah suci bersama ayahnya, Yahya bin Syaraf. Kemudian, ia pergi ke
Madinah dan menetap di sana selama setengah bulan, lalu kembali
ke Damaskus. Pada tahun 665 H, ia memutuskan mengajar di Darul
Hadits al-Asyrafiyyah (Damaskus) dan menolak untuk mengambil
gaji. Ia dikenal sebagai seorang alim yang sangat zuhud, tawadhu’
dan alim.3
Imam Nawawi digelari Muhyiddin (yang menghidupkan
agama). Namun, ia membenci gelar ini karena sikapnya yang
tawadhu’. Selain itu, ia juga beranggapan bahwa agama Islam
merupakan agama yang hidup dan kokoh. Agama ini tidak
memerlukan orang untuk menghidupkannya. Apalagi ia amat takut
jika gelar tersebut hanya akan menjadi hujjah bagi orang-orang yang
meremehkan Islam atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa ia
berkata “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku
Muhyiddin.”
Imam Nawawi banyak mempergunakan waktunya untuk
beribadah kepada Allah Swt, dan mengabdi untuk kemashlahatan
umat. Sering kali, ia tidak tidur malam hanya untuk beribadah dan
menulis. Ia juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk
kepada para penguasa dengan cara yang telah digariskan oleh Islam.
sering kali pula, ia menulis surat yang isinya ialah petuah-petuah
nasihat kepada pemerintah atau para pemimpin agar mereka
menjalankan amanat Allah Swt secara baik.
Sebagai seorang alim, Imam Nawawi semasa hidup berhasil
melahirkan beberapa karya. Konon, jumlahnya sekitar empat puluh
2
Muslim,or.id.
3
Sri Andryani Hamid,” Etika Guru dan Murid Menurut Imam Nawawi dan Relevansinya Dengan
UU RI No. 14 Th. 2005 dan PP RI No. 17 Th. 2010” Tesis Magister, Riau: UIN Sultan Syarif Kasim,2011,
hlm.54
4. kitab. Diantaranya ialah Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Minhaj
ath-Thalibin, Tahdzib al-Asma, Taqrib at-Taisir, Al-Arba’in an-
Nawawiyah, Syarh Shahih Muslim, dan sebagainya.
B. Pemikiran Pendidikan Imam Nawawi
Imam Nawawi menuangkan pemikiran-pemikiran briliannya di
bidang pendidikan dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allimin.
Kitab ini banyak membincang tema-tema penting dalam pendidikan,
seperti tujuan pendidikan, keutamaan ilmu, klasifikasi ilmu
pengetahuan, etika guru, dan etika murid. Dengan merujuk pada
banyak dalil, baik berupa Al-Qur,an, hadits, maupun atsar, Imam
Nawawi berhasil membangun argumentasi yang kuat ketika
mengulas persoalan-persoalan tersebut.
1. Etika Guru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika bermakna ilmu
tentang sesuatu yang baik, dan sesuatu yang buruk serta tentang hak
dan kewajiban moral. Sementara itu, guru bermakna orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya,profesinya) ialah mengajar.
Dengan demikian, etika guru dapat bermakna ilmu bagi guru
dalam menentukan sesuatu yang baik dan buruk ketika menjalankan
profesinya.
Dalam konteks inilah, dalam kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’allim, Imam Nawawi mengklasifikasikan etika guru kedalam
beberapa bagian , yaitu etika personal guru, etika guru dalam
mengajar, etika guru terhadap murid, etika guru terhadap ilmu dan
etika guru terhadap sesama. Ulasan lengkap mengenai keseluruhan
etika guru tersebut ialah sebagai berikut:
a. Etika Personal Guru
Imam Nawawi menyatakan bahwa hendaknya seorang guru itu
berakhlak mulia sesuai tuntunan syariat dan mewarnai dirinya
dengan perangai yang mulia, seperti bersikap zuhud (menjauhkan
diri dari kesenangan duniawi untuk beribadah), sabar, wara’
khusyuk, tenang, tawadhu’ dan tunduk. Selain itu, ia juga semestinya
5. selalu bertasbih, bertahlil dan berdzikir selainnya, serta berdoa sesuai
dengan adab-adab yang telah disyari’atkan4.
Lebih jauh, menurut Imam Nawawi, sepatutnya bagi seorang
guru selalu merasa bahwa dirinya dalam pengawasan Allah Swt., baik
secara lahir maupun batin, kemudian ia juga mesti menjaga bacaan
Al-qur’an, mendirikan shalat dan puasa sunnah serta senantiasa
bersandar kepada Allah Swt., dan menyerahkan segala urusan hanya
kepada-Nya.
Bahkan, menurut Imam Nawawi, seorang guru mesti mampu
menjaga tangannya dari perbuatan sia-sia dan menjaga matanya dari
pandangan tanpa ada kebutuhan. Apabila ia hendak melakukan suatu
perbuatan yang dianggapnya benar dan boleh namun pada
hakikatnya pekerjaan itu haram atau makruh, ia sebaiknya
menanyakan kebenaran perbuatan tersebut kepada orang lain agar
tidak terjerumus dalam lubang dosa dan perasangka yang salah.
Dari penjabaran tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa
seorang guru dalam perspektif Imam Nawawi mestilah mampu
menampilkan pribadi diri yang paripurna. Bahkan, ia hendaknya
membekali dirinya dengan akhlak atau budi pekerti yang mulia
sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw., para sahabat
dan salafush shalih. Dengan begitu, maka sempurnalah pribadinya
sebagai seorang guru.
b. Etika Guru Dalam Mengajar
Imam Nawawi menyatakan bahwa seorang guru mestilah
meniatkan aktivitas mengajarnya hanya untuk memperoleh ridha
Allah Swt., bukan berorientasi pada pekara duniawi, seperti harta,
kedudukan, prestise, atau pamer. Selain itu, ia mesti menjauhi ragam
pekerjaan yang hina dan selalu giat serta sibuk dengan ilmu
(menelaah, mengingat dan menerbitkan karya) dan tidak malu untuk
bertanya kepada orang lain.
Masih menurut Imam Nawawi, seorang guru hendaklah
berkenan menyampaikan sesuatu yang telah ia dapatkan. Bahkan, ia
4
Imam an-Nawawi, Adabul….,hlm. 29-31.
6. mesti menyampaikan sesuatu secara efektif dan efisien serta dengan
sikap penuh kelembutan. Ia tidak menyembunyikan sesuatu dari
ilmu yang dibutuhkan oleh muridnya dan tidak menyampaikan
sesuatu yang belum dikuasainya.
Imam Nawawi juga menerangkan bahwa ketika mengajar
seorang guru hendaknya duduk dengan tenang dan pada posisi yang
bisa dilihat oleh seluruh murid serta mengenakan pakaian yang
bersih. Ia juga mesti memulai pelajaran dengan membaca sesuatu
yang mudah dari Al-Qur’an, membaca basmalah, memuji Allah Swt
dan bershalawat kepada Rasulullah Saw serta mendoakan para
ulama.
c. Etika Guru Terhadap Murid
Adapun diantara etika guru terhadap murid, menurut Imam
Nawawi , ialah guru tidak boleh menghalangi para murid yang
hendak belajar sekalipun niat mereka salah. Sebab, dengan
menghalangi para murid yang hendak belajar, dapat menyebabkan
hilangnya ilmu. Dengan kata lain, tugas guru ialah mengajar, dan ia
tidak punya hak untuk menghalang-halangi murid-murid
memperoleh ilmu dari dirinya.
Selanjutnya, Imam Nawawi menyatakan bahwa hendaknya
seorang guru mampu mengarahkan para murid untuk beretika,
bertabiat mulia dan melatih mereka agar lebih beradab serta berhati-
hati dalam setiap urusan yang mereka lakukan.
Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa guru hendaknya
mampu memberikan kemashlahatan bagi para muridnya dan ia
menganggap mereka selayaknya anak sendiri. Oleh karenanya, ia
mesti bersabar terhadap kebodohan dan etika para murid yang boleh
jadi buruk. Dan sepatutnya, seorang guru tidak membangga-
banggakan dirinya dihadapan para murid, tetapi ia mesti bersikap
lembut dan endah hati terhadap mereka.
d. Etika Guru Terhadap Ilmu
Imam Nawawi menyatakan “ Dan yang terpenting dari etika
7. guru terhadap ilmu ialah tidak merendahkan ilmu, akan tetapi justru
senantiasa menjaganya sebagaimana jalan yang telah ditempuh oleh
para salaf.”
Melalui pernyataan tersebut, Imam Nawawi seolah-olah ingin
berkata bahwa pantang bagi seorang guru merendahkan ilmu,
sekalipun boleh jadi ilmu itu bukanlah bidang kajiannya. Sebab, para
ulama salaf senantiasa memuliakan ilmu, bahkan menjaganya secara
baik sehingga ilmu tersebut dapat terwariskan kepada generasi
selanjutnya.
e. Etika Guru Terhadap Sesama
Menurut Imam Nawawi, diantara etika guru terhadap sesama
ialah menampilkan diri sebagai pribadi yang dermawan dan
penyayang. Dan juga menampilkan wajah yang berseri-seri tetapi
tidah berlebih-lebihan, serta santun, menjauhi banyak tertawa dan
bercanda. Semua ini tentunya dimaksudkan agar kewibawaan
seorang guru di hadapan orang lain tidak sirna.
Selanjutnya, Imam Nawawi menyatakan bahwa hendaknya
seorang guru juga menjauhkan diri dari hasud, riya, membanggakan
diri, menghina orang lain dan berlaku sombong atas sesama.
Penyakit-penyakit hati semacam ini tentu banyak menyerang
manusia, namun seorang guru mesti mampu menghilangkan semua
itu dari dalam hatinya.
Dengan menghilangkan atau setidaknya membersihkan hati
dari ragam penyakit hati tersebut, seorang guru tentu diharapkan
mampu menampilkan dirinya sebagai pribadi dengan karakter moral
yang paripurna. Setidaknya, ia diharapkan mampu menjadi pribadi
yang bermanfaat, bukan malah menyebabkan kerugian bagi orang
lain, terutama bagi para muridnya.
Penutup
A. Kesimpulan
Adab guru menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Tibyan Fi
Adabi Hamalah Al-Qur’an dan Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
8. terbagi menjadi lima bagian yaitu etika personal guru, etika guru
dalam mengajar, etika guru terhadap murid, etika guru terhadap ilmu
dan yang terakhir ialah etika guru terhadap sesama.
Adab guru terhadap dirinya sendiri seperti menata niat karena
mencari keridhaan Allah, berakhlak mulia seperti dermawan dan
mengingatkan orang yang salah faham terhadapnya. Adab guru
terhadap ilmu seperti bersungguh-sungguh dalam menekuni ilmu,
selalu aktif mencari informasi untuk meningkatkan kualitas
mengajar. Adab guru terhadap murid seperti sabar dalam mendidik
dan memperhatikan keperluan murid serta tidak menghalang-
halangi mereka dalam memperoleh ilmu darinya.
Daftar Pustaka
Kurniawan. Samsul dan Erwin Makhrus, 2011. Jejak Pemikiran Tokoh
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hamid, Sri Andryani. 2011. Etika Guru dan Murid Menurut Imam Nawawi
dan Relevansinya dengan UU RI No.14 Th. 2005 dan PP RI
No.17 Th. 2010. Tesis Magister. Riau: UIN Sultan Kasim.
Aly. Herry Noer, 2003. Tranformasi Otoritas Keagamaan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Arifin, Yanuar. Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Diva Press, 2017.
Muslim,or.id.
Republika, co.id.