Teks tersebut menjelaskan tentang istidrāj, yaitu penangguhan hukuman dari Allah kepada pelaku dosa dengan memberikan kemakmuran dan kesenangan sementara. Istidrāj merupakan ujian bagi pelaku dosa sebelum mendapatkan azab. Teks tersebut memberikan contoh situasi yang mungkin termasuk istidrāj seperti kemakmuran orang yang tidak taat ibadah, kemajuan kelompok atau organisasi yang menggunakan uang haram
1. 1
Istidrâj
Jika ada di antara kita, saat ini bergelimang harta dan
kemewahan atau meraih tahta dan menduduki jabatan bergengsi, jangan
terburu-buru untuk mengucapkan alhamdulillâh, sebagai ungkapan
syukur, melainkan (hendaknya) ia bermuhâsabah (berkaca diri dan
melakukan introspeksi). Sebab, apabila semua itu didapat – misalnya --
dari tindakan –korupsi, suap atau cara-cara haram lainnya, semua
kemewahan dunia dan jabatan yang nyaman itu bukanlah ni'mah
(nikmat) yang harus disyukuri, melainkan justeru merupakan niqmah
(malapetaka) yang seharusnya diwaspadai. Dalam terminologi syar'i
(Islam) hal ini disebut dengan istidrâj.
Istidrâj secara bahasa diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang
artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara
istidrâj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang
diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah
biarkan orang ini dan tidak disegerakan adzabnya. Sebagaimana yang
telah ditegaskan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin 'Āmir radhiyyallâhu ‘anhu,
"Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas
maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu
adalah istidrâj". Kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam membaca
[QS al-An'âm/6: 44, pen.], "maka tatkala mereka melupakan peringatan yang
telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu
kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang
telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong,
maka ketika itu mereka terdiam berputus asa " (Hadits Riwayat Ahmad,
Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz IV, hal 145, no. 17349, Ath-Thabrani, Al-
Mu’jam al-Kabîr, juz XII, hal. 300, hadits no. 14327, dari ‘Uqbah bin 'Āmir
radhiyyallâhu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani di dalam kitab As-Silsilah ash-Shahîhah, juz I, hal. 412, hadits no.
2. 2
414; Ibnu Katsir mengutipnya dalam kitab tafsirnya, Tafsîr al-Qurân al-
‘Azhîm, juz. III, hal. 256).
Hadits dan ayat di atas menggariskan sunnatullah dalam
kehidupan pendosa (pelaku perbuatan dosa) dan pelaku maksiat.
Terkadang Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ membukakan beragam pintu
rezeki dan pintu kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak
aspek kehidupan seperti termaktub dalam redaksi ayat di atas, "Kami pun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka". Bisa berbentuk
kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, kesehatan,
kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya.
Ini (semuanya) merupakan istidrâj (mengulur-ulur) dan imlâ'
(penangguhan) dari Allah bagi mereka, sebagaimana firman Allah,
ۖ
ۚ
"Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang
mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka
dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka
ketahui, Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku
amat tangguh" (QS al-Qalam/68: 44-45).
Jadi, ketika ada orang yang tidak menegakkan shalat, tidak
menunaikan ibadah puasa Ramadhan, hidup dalam kubangan maksiat,
namun hidupnya makmur, sejahtera dan bergelimang kemewahan, ini --
‘mungkin saja’ -- adalah istidrâj.
Ketika ada kelompok atau organisasi menghidupi kelompok dan
organisasinya dengan uang haram, tetapi ‘kelihatannya’ tambah maju
dengan semakin bertambah banyaknya anggota dan pendukungnya serta
semakin meluasnya pengaruh dan cabang-cabangnya, ini pun --
‘mungkin saja’ -- termasuk istidrâj.
Ketika seseorang bisa meraih pangkat dan jabatan atau
kemenangan dengan cara-cara yang zhalim dan menghalalkan segala
cara, sesungguhnya hal ini juga – ‘mungkin saja’ -- merupakan istidrâj.
Demikian pula, kalau ada sebuah ‘sistem kekuasaan’ (baca:
pemerintah, pen.) yang ‘kufur’ kepada Allah, menghalalkan apa yang
3. 3
diharamkan oleh Allah, melegalkan beragam bentuk maksiat, memerangi
orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, membatasi atau
melarang berbagai aktivitas dakwah, namun secara zhahir (lahiriah)
tampak maju di dalam beragam aspek kehidupan, hal ini -- ‘mungkin
saja’ -- termasuk dalam kategori istidrâj.
Begitu bahayanya istidrâj, sampai-sampai Umar bin al-Khaththab
radhiyallâhu ‘anhu pernah berdoa,
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang
yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan)" (Imam asy-Syafi’i,
Al-Umm, juz IV, hal. 157).
Oleh karena itu, waspadalah terhadap istidrâj, karena ia adalah
kenikmatan yang membinasakan.
Na'ûdzbillâhi min dzâlik.
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, M.A.,
Rabu, 19 Juni 2013, 03:00 WIB, dalam
http://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/hikmah/13/06/18/mol4dl-Istidrâj)