1) Khutbah Jumat ini membahas pentingnya menuntut ilmu sepanjang hayat sebagai kewajiban bagi umat Islam dan jalan untuk menjadi pemenang.
2) Menuntut ilmu ditekankan oleh Rasulullah saw, bahkan wahyu pertama yang diterimanya memerintahkan untuk membaca dan menuntut ilmu.
3) Umat Islam harus bersemangat menuntut ilmu agar menjadi manusia dan komunitas yang bijak, bukan pecundang.
1. Saatnya Menjadi Pemenang
Oleh: Muhsin Hariyanto
(Disampaikan dalam Khutbah Jumat, di Masjid Asy-Syifa’, RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta, 1 Agustus 2014)
نَ نيِ مِ ؤْ مّ تمُ كنُ إنِ نَ وْ لَ عْ لَ ا مُ تُ أنَ وَ نواُ زَ حْ تَ لَ وَ نواُ هِ تَ لَ وَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (berderajat pemenang), jika kamu orang-
orang yang beriman.” (QS Âli ‘Imrân/3: 139)
Ayat ini, menurut sebagian mufasir, menerangkan tentang
artipenting sikap percaya diri sebagai seorang yang beriman. Karena sikap
tidak percaya diri merupakan penghambat kemajuan dan kemenangan.
Manusia yang bersikap pesimistik, sebenarnya tengah terjangkiti
dua penyakit mental; yaitu: al-wahn (bersikap lemah) dan al-hazn (bersedih
hati), yang menjadikan dirinya tidak memiliki sikap percaya diri dan (juga
tidak memiliki) motivasi untuk menjadi ‘Sang Pemenang’.
Tidak sedikit bilangan orang -- termasuk di dalamnya orang Islam
-- yang pada saat ini lebih mencintai harta daripada ilmu. Bahkan ada juga
yang sangat haus kekuasaan yang ‘bisa’ diharapkan akan mendatangkan
harta. Ada juga beberapa orang yang berebut ‘kedudukan’ seraya saling
menjatuhkan, lebih seru daripada peristiwa perebutan ‘sebutir gula’ yang
dilakukan sekelompok semut yang tengah kelaparan. Padahal Rasulullah
s.a.w pernah bersabda:
ثواُ رّ وَ ماَ نّ إِ ، ماً هَ رْ دِ لَ وَ راً ناَ ديِ ثواُ رّ وَ يُ مْ لَ ءَ ياَ بِ نْ لَ ا نّ إِ
رٍ فِ واَ ظّ حَ بِ ذَ خَ أَ هُ ذَ خَ أَ نْ مَ فَ ، مَ لْ عِ لْ .ا
“Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya
mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil
bagian yang banyak." (HR at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, V/48, hadits nomor
2682; HR Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, III/354, hadits nomor 3643 dan
HR Ibnu Majah, Sunan Ibn Mâjah, I/150, hadits nomor 223, dari Abu Darda’).
Ingatlah -- hai kaum muslimin -- terhadap firman Allah:
1
2. . . . مَ لْ عِ لْ ا تواُ أوُ نَ ذيِ لّ واَ مْ كُ منِ نواُ مَ آ نَ ذيِ لّ ا هُ لّ ال عِ فَ رْ يَ
تٍ جاَ رَ دَ . . .
''... Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu
beberapa derajat ...'' (QS al-Mujâdilah/58: 11).
Menuntut ilmu merupakan kewajiban individual bagi setiap
muslim (baca: fardhu ‘ain), sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w.:
مِ لْ عِ لْ ا عُ ضِ واَ وَ ، مٍ لِ سْ مُ لّ كُ لىَ عَ ةٌ ضَ ريِ فَ مِ لْ عِ لْ ا بُ لَ طَ
ؤَ لُ ؤْ لّ والَ رَ هَ وْ جَ لْ ا رِ زيِ ناَ خَ لْ ا دِ لّ قَ مُ كَ هِ لِ هْ أَ رِ يْ غَ دَ نْ عِ
بَ هَ ذّ والَ .
"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan
ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan
dan emas ke leher babi." (HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik, Sunan Ibn
Mâjah, I/151, hadits nomor 224)
Bahkan, wahyu pertama dari Allah yang diberikan olehNya melalui
Malaikat Jibril di Gua Hira’ kepada Rasulullah s.a.w. sendiri merupakan
uswah pertama dalam menuntut ilmu. Wahyu pertama yang beliau terima
adalah perintah untuk menjadi orang berilmu melalui aktivitas membaca:
) قَ لَ خَ ذيِ لّ ا كَ بّ رَ مِ سْ باِ أْ رَ قْ ا١(نْ مِ نَ ساَ لنِ ا قَ لَ خَ
) قٍ لَ عَ٢) (مُ رَ كْ لَ ا كَ بّ رَ وَ أْ رَ قْ ا٣) (مِ لَ قَ لْ باِ مَ لّ عَ ذيِ لّ ا٤(
) مْ لَ عْ يَ مْ لَ ماَ نَ ساَ لنِ ا مَ لّ عَ٥ )
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam [Maksudnya: Allah
mengajar manusia dengan perantaraan tulis-baca], Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq/96: 1-5). Dan, dengan melalui
kegiatan membaca inilah ilmu pengetahuan akan senantiasa diperoleh dan
seseorang akan menjadi bersikap bijak dalam tutur kata dan perbuatannya.
2
3. Semangat untuk mencari ilmu sangat ditekankan oleh Rasulullah
s.a.w.. Bahkan beliau nyatakan ‘sikap iri-hati’ pun diperkenankan ‘ada’
pada dua hal, yaitu: kepemilikan harta dan ilmu yang diikuti dengan
pemanfaatannya yang proporsional. Sebagaimana sabda beliau:
لىَ عَ طَ لّ سُ فَ لً ماَ هُ لّ ال هُ تاَ آ لٌ جُ رَ نِ يْ تَ نَ ثْ ا فيِ لّ إِ دَ سَ حَ لَ
وَ هْ فَ ةَ مَ كْ حِ لْ ا هُ لّ ال هُ تاَ آ لٌ جُ رَ وَ قّ حَ لْ ا فيِ هِ تِ كَ لَ هَ
هاَ مُ لّ عَ يُ وَ هاَ بِ ضيِ قْ يَ .
"'Tidak boleh hasad (iri-hati) kepada orang lain kecuali kepada orang yang diberi
kekayaan oleh Allah, kemudian ia menggunakannya untuk membela kebenaran dan
kepada orang yang diberi ilmu tatkala ilmunya diamalkan dan diajarkan kepada
orang lain.'' (HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I/28, hadits nomor 73 dan
HR Muslim, Shahîh Muslim, II/201, hadits nomor 1933 dari Abdullah bin
Mas’ud).
Bahkan setiap upaya yang dilakukan oleh setiap orang (baca:
“orang yang beriman”) untuk mencari, menggali dan mengembangkan ilmu
akan ‘diganjar’ (diberi pahala) oleh Allah dengan pahala sepadan dengan
(pahala) orang yang berjihad di jalan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah
s.a.w.:
تىّ حَ هِ لّ ال لِ بيِ سَ فىِ وَ هُ فَ مِ لْ عِ لْ ا بِ لَ طَ فىِ جَ رَ خَ نْ مَ
عَ جِ رْ يَ
“Siapa pun yang keluar rumah untuk menuntut ilmu, maka ia (dinilai sedang
berjuang) fisabilillah hingga kembali ke rumahnya.'' (HR At-Tirmidzi dari Anas
bin Malik, Sunan at-Tirmidzi, V/29, hadits nomor 2647).
Dengan penjelasan di atas, masihkah kita – sebagai umat
Muhammad s.a.w – “ragu” untuk menuntut (mencari dan menggali),
mengembangkan dan (selanjutnya) menerapkan ilmu yang kita peroleh
untuk mematangkan sikap dan perilaku kita, hingga kita menjadi “muslim
kâffah”?
Kita seharusnya ‘sadar’, bahwa tanpa ilmu, kita akan tetap menjadi
manusia dan komunitas pecundang. Dan dengan ‘kekuatan’ ilmu, kita bisa
berharap menjadi manusia dan komunitas pemenang!
3
4. Kini – saatnya – ‘kita ‘mulai untuk berbuat sesuatu untuk menjadi
penuntut ilmu ‘sepanjang hayat’, kemudian “mengamalkannya dengan
semangat ihsân (menjadi yang pertama dan utama)”. Dan, dengan semangat
ihsân dalam mencari ilmu, kita berharap semoga Allah senantiasa meridhai
setiap upaya kita untuk menjadi “Ulû al-Albâb”.
Dan Rasulullah s.a.w. pun mengajarkan kepada diri kita untuk
selalu berdoa,
زِ جْ عَ لْ واَ نِ زَ حَ لْ واَ مّ هَ لْ ا نَ مِ كَ بِ ذُ عوُ أَ نيّ إِ مّ هُ لّ ال
لِ جاَ رّ ال ةِ بَ لَ غَ وَ نِ يْ دّ ال عِ لَ ضَ وَ نِ بْ جُ لْ واَ لِ خْ بُ لْ واَ لِ سَ كَ لْ واَ
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari (sifat) gelisah, sedih, lemah, malas, kikir,
pengecut, terlilit utang dan dari keberingasan orang." (HR al-Bukhari, Shahîh al-
Bukhâriy, IV/43, hadits no. 2893; An-Nasâi, Sunan an-Nasâi, VIII/258, hadits
no. 5453; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, III/220, hadits no.
13328; Al-Bazzar, Musnad al-Bazzâr, XII/344, hadits no. 6228; Abu Ya’la,
Musnad Abî Ya’lâ, VI/369, hadits no. 3700; Al-Baihaqi, Sunan al-Kubrâ,
VI/304, hadits no. 13133, dari Anas bin Malik)
Ma’ an-Najâh.
Keterangan: “Khutbah Jumat, di Masjid Asy-Syifa’, RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta, 1 Agustus 2014” ini bisa diakses melalui News
Letter, Program Studi Komunikasi dan Konseling Islam, Fakultas Agama
Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan
http://www.slideshare.net/MuhsinHariyanto/newsfeed?redirect=1)
4