Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya spirit ishlâh (perdamaian) dalam Islam untuk meredakan perselisihan dan menjaga ukhuwah. Ayat Al-Quran menyeru umat Islam untuk selalu berusaha mendamaikan dua kelompok muslim yang berselisih dengan cara adil. Islam menekankan pentingnya dialog dan rekonsiliasi dalam berbagai aspek kehidupan untuk menciptakan kedamaian dan harmoni.
1. 1
Tafsir al-Quran QS al-Hujurât/49: 9
“Membangun Kembali Spirit Ishlâh”
Spirit Ishlâh, yang pada zaman keemasan Islam menjadi 'andalan' untuk
merajut ukhuwah, kini semakin pudar. Hingga rajutan ukhuwah yang
pernah terjalin, kini lepas 'bak' benang-benang yang tengah terurai; bahkan
ada pula yang sudah berwujud benang kusut yang sangat sulit untuk diurai
kembali. Oleh karenanya, kini saatnya kita -- umat Islam -- merajut
kembali benang-benang itu dengan spirit Ishlâh yang baru, agar ukhuwah
yang pernah terajut bisa terwujud kembali. Ingat pepatah Jawa: “Rukun
Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah”, atau dalam bahasa Indonesia
sering dikatakan: “Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh”.
Berkaitan dengan artipentingnya Ishlâh, Allah berfirman:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah olehmu antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya itu
berbuat aniaya, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya tersebut,
sehingga golongan itu kembali kepada Allah. Jika golongan tersebut telah
kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku
adilllah kamu sekalian, (karena) sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.” (QS al-Hujurât [49]: 9).
Tafsîr al-Mufradât:
: Maka kamu sekalian (orang-orang yang beriman) memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk mendamaikan
antarmereka (orang-orang yang beriman). Kalimat ini berasal
dari kata kerja shaluha, yang berarti “terhentinya kerusakan atau
diraihnya manfaat”. Perintah dengan menggunakan kata ashlih,
2. 2
berasal dari fi’il mâdhi “ashlaha”, yang bermakna: “hentikan
kerusakan atau tingkatkan kualitas kebaikan, sehingga bisa
memberi manfaat lebih banyak”. Dalam konteks hubungan
antarmanusia, nilai kebaikan itu tercermin dalam keharmonisan
hubungan antarmereka. Oleh karenanya, jika ada keretakan
hubungan antarmereka, mereka sendirilah yang berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memerbaikinya, agar hubungan
yang (pernah) harmonis -- yang kini retak - itu (menjadi) pulih
kembali. Inilah yang disebut dengan spirit/ruh/semangat ishlâh
(perbaikan), agar hubungan yang harmonis itu tetap tumbuh
subur, dan terhindar dari konflik yang bisa berakibat retaknya
hubungan antar-mereka.
: Dengan adil; Dalam melakukan ishlâh, tidak boleh ada
keberpihakan kepada salah satu pihak, sehingga pihak yang lain
mungkin ‘bisa’ terzalimi karenanya. Ishlâh yang dilakukan oleh
siapa pun untuk siapa pun – idealnya – harus mendatangkan
kemashlahatan bagi kedua pihak yang bermasalah (berseteru)
dalam berbagai ragamnya.
: Berasal dari kata al-qisth, yang semakna dengan kata al-‘adl;
sehingga bermakna (perintah) “berbuat adillah kamu sekalian” –
hai orang-orang yang beriman – kepada siapa pun (orang-orang
yang beriman) yang tengah berseteru di antara mereka. Dalam
menafsirkan kata al-qisth, para ulama menyatakan bahwa al-
Qisth adalah keadilan yang diterapkan atas dua pihak atau lebih,
keadilan yang yang menjadikan mereka senang dan puas.
Sedang al-‘adl adalah “menempatkan sesuatu pada tempatnya,
walaupun tidak menyenangkan dan (tidak) memuaskan
antarpihak yang berseteru. Dengan demikian, perintah untuk
berbuat adil dengan kalimat “aqsithû”, bermakna perintah untuk
menciptakan win-win solution (pemecahan masalah yang dapat
memberikan keuntungan semua pihak yang berseteru, tanpa
merugikan satu pihak pun), sehingga bangunan harmoni yang
pernah tercipta akan selalu tercipta setelah adanya ishlâh, tanpa
ada satu pihak pun yang merasa tercederai atau tersakiti.
Penjelasan (Tafsîr) Ayat
Dalam bahasa Arab, ishlâh berarti berdamai atau perdamaian. Menurut
ayat di atas, terjadinya perselisihan, keributan, maupun tawuran antara dua
kelompok harus didamaikan melalui tindakan ishlâh. Apabila terdapat
kelompok yang tidak mau diajak berdamai (ishlâh), maka kelompok tersebut
harus ditekan, agar mau melaksanakan ishlâh.
3. 3
Islam sebagai agama yang membawa kedamaian, bebas dari ajaran
yang mengajarkan tentang (pemeliharaan) sikap dendam dan rasa sakit hati.
Bahkan menekankan agar kegiatan ishlâh ini senantiasa (harus)
dikumandangkan dan diterapkan dalam upaya untuk membangun harmoni
dalam kehidupan bermasyarakat dalam arti luas. Apa saja masalah yang
dihadapi serta kapan saja perselisihan itu muncul, maka ishlâh harus menjadi
pilihan untuk diadakan, sehingga keutuhan Ukhuwwah Islâmiyyah dalam
pengertian yang luas akan tetap terjaga, dan perseteruan dalam berbagai
ragamnya akan selalu sirna .
Sudah seharusnya Umat Islam menjadi trend-setter (pemrakarsa yang
pertama dan utama) dalam tindakan ishlâh ini, sebagaimana firman Allah yang
substansinya memberikan motivasi kepada semua orang yang beriman, tanpa
perkecualian:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat.”' (QS al-Hujurât [49]: 10).
Betapa pentingnya ishlâh ini, sehingga Rasulullah s.a.w. mencela
seseorang muslim yang tidak saling bertutur-sapa dengan sesamanya lebih dari
tiga hari. Sebagaimana sabda beliau,
.
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk membiarkan saudaranya lebih
dari tiga hari, keduanya bertemu tetapi saling memalingkan muka. Dan
yang terbaik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.”
(HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, VIII/65, hadits nomor 6237 dan
HR Muslim, Shahîh Muslim, VII/9, hadits nomor 6697, dari Abu
Ayyub al-Anshari)
4. 4
Bahkan, dalam kehidupan berumah tangga pun Allah menekankan arti
penting ishlâh ini, sebagaimana firman-Nya:
“Dan jika wanita khawatir akan dimusuhi atau sikap acuh tak acuh
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka,
walaupun manusia itu menurutkan tabiat kikirnya.” (QS an-Nisâ' [4]:
128).
Ibnu Katsir – dalam kitab tafsirnya Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, II/426,
menjelaskan, bahwa ayat di atas berkisah tentang seorang isteri yang khawatir
akan diceraikan suaminya, sebab suaminya tidak mencintai dirinya lagi atau
karena memiliki utang kepada dirinya. Jalan ishlâh yang dilakukan sang isteri
ialah mengurangi tuntutan haknya kepada suami. Lantaran hal itu, suaminya
membatalkan rencana untuk menceraikan Sang Isteri. Akhirnya keharmonisan
serta keutuhan keluarga mereka tetap terjaga, Karena solusi dengan cara itu.
Islam pun memerintahkan, agar perceraian harus dihindari dengan jalan ishlâh,
karena perceraian merupakan pekerjaan yang – meskipun – halal, tetapi dibenci
(dimurkai) oleh Allah SWT. Sehingga, kalau pun perceraian itu harus terjadi,
sebaiknya dipilih untuk menjadi alternatif terakhir.
Inilah uraian tentang artipenting Ishlâh. Mudah-mudahan doktrin Islam
tentang ishlâh ini dapat dijadikan sebagai sebuah solusi yang terpilih bagi kita,
agar kita selalu berupaya untuk menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi di
antara kita; sehingga ketenangan, ketenteraman, serta kekhusyu’an kita dalam
beribadah akan menjadi ‘warna kita’ dalam menjalani samudera kehidupan ini.
Âmîn Yâ Rabbal ‘Âlamîn.