1. Ayat al-Hujurat 49:13 menjelaskan bahwa semua manusia diciptakan dari satu asal, yaitu Adam dan Hawa, dan dibedakan menjadi berbagai suku dan bangsa agar saling mengenal.
2. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa, bukan berdasarkan keturunan atau status sosial.
3. Ayat ini mengajarkan agar manusia tidak sombong dan merendahkan orang lain berdasarkan
1. 1
MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB
AKHLAQ QUR’ANI
MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA
Tafsir al-Hujurât/49:13
Berta’aruf Tanpa Kesombongan
Teks Ayat al-Quran
ۚۚ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu sekalian di sisi Allâh ialah orang yang paling takwa di antara kamu sekalian.
Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-
Hujurât/49:13)
Tafsîr al-Mufradât
: “supaya kamu saling mengenal”. Kalimat perintah ini
mengisyaratkan peringatan sekaligus anjuran kepada semua
orang agar memahami artipenting ta’aruf dalam kehidupan ini.
Karena mereka tidak bisa hidup sendiri dan selalu memiliki
ketergantungan satu sama lain.
: “orang yang paling takwa di antara kamu”. Orang yang paling
mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara
seluruh umat manusia. Yang oleh karenanya, manusia tidak
‘boleh’ merasa lebih mulia dibandingkan yang lain karena
persepsinya terhadap kelebihan yang mereka miliki.
Penjelasan
Pada ayat mulia di atas, Allâh menyebutkan Dia (Allah) telah
menciptakan anak Adam dari satu permulaan dan jenis yang sama, dari
seorang lelaki dan perempuan, yaitu Adam dan Hawa. Kemudian dari
keduanya, Allâh mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak
dan menyebarkan mereka ke tempat-tempat yang berbeda-beda.1
Allâh berfirman:
1
Lihat Al-Qurtbubi, Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân, juz XVI dan 292; Ibnu Katsir,
Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm, juz VII, hal. 385, As-Sa’di, Taisîrul Karîmir Rahmân , hal. 880
dan Asy-Syinqithi, Adhwâul Bayân, juz VII, hal. 631.
2. 2
ۚ
ۚ
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu
sekalian dari seorang diri, dan dari padanya Allâh menciptakan isterinya; dan dari
keduanya Allâh mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allâh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu sekalian
saling meminta (satu sama lain), dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allâh selalu menjaga dan mengawasi kamu sekalian.” (QS an-
Nisâ/4:1]
Dalam ayat lain, Allâh berfirman:
…
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia
menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya… (QS al-A’râf/7:189)2
Ini menunjukkan bahwa manusia pada asalnya sederajat satu sama
lain. Sebab, asal ayah dan ibu mereka sama, Adam dan Hawa. Kesamaan asal
ini menjadi faktor terpenting untuk menghalangi manusia dari
membanggakan nasab dan menginjak-injak kehormatan orang lain.”3
Selanjutnya, Allâh menjelaskan hikmah menjadikan manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu dengan
yang lain dan guna membedakan satu dengan yang lain, bukan supaya orang
membanggakan diri di hadapan yang lain. Oleh karena itu, ayat ini datang
setelah larangan bergunjing dan merendahkan sesama yang ada pada ayat
sebelumnya untuk mempertegas kesamaan derajat mereka sebagai manusia
agar terjadi proses saling mengenal di antara mereka.4 Akhirnya, manusia
mengetahui siapa saja yang dekat dengan garis nasabnya dan termasuk
karib-kerabatnya.5
Dengan kata lain, itu menunjukkan bahwa keutamaan dan
kemuliaan seseorang di atas orang lain hanya terjadi oleh faktor lain, bukan
dengan nasab atau hubungan darah. Allâh telah menjelaskannya pada
kelanjutan ayat:
……
2
Lihat juga QS az-Zumar/39: 6.
3
Asy-Syinqîthi, Adhwâul Bayân, juz VII, hal. 635.
4
Lihat Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm, juz VII, hal. 385 dan Adhwâul Bayân, juz VII,
hal. 635.
5
Lihat Ath-Thabari , Jâmi’ul Bayân fî Tafsîr Āyil Qur`ân, juz XIII, hal. 171.
3. 3
“…sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allâh
ialah orang yang paling takwa di antara kamu sekalian …”
Melalui firman Allâh ini, jelaslah bahwa keutamaan dan kemuliaan
manusia hanya berdasarkan ketakwaan kepada Allâh, tidak dengan
hubungan suku dan darah maupun besar kecilnya keluarga dan tempat
tinggal.
“Maksud ketakwaan ialah memperhatikan rambu-rambu batas Allâh
baik berupa perintah atau larangan, dan menghiasi diri dengan apa yang
Allâh perintahkan kepadamu”.6
Ibnu Katsîr mengatakan, “Sesungguhnya kalian bertingkat-tingkat
kedudukannya di sisi Allâh dengan ketakwaan, bukan dengan status sosial”7
Sungguh benar ucapan orang yang melantunkan untaian bait syair
berikut:8
“Sungguh Islam telah mengangkat derajat Salman al-Farisi, dan sungguh kekufuran
telah merendahkan orang yang (dipersepsi dan memersepsi diri) mulia, (yaitu) Abu
Lahab.”
Salmân al-Fârisi r.a. pernah melantunkan:9
“Ayahku adalah Islam, aku tidak memunyai ayah selainnya
saat mereka bangga dengan suku Qais dan Tamim.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Dînul Islâm satu-satunya dîn samawi
yang shahih. Agama ini tidak memandang warna kulit, ras maupun asal-
muasal seseorang. Satu-satunya yang diperhitungkan hanyalah ketakwaan
dan ketaatan kepada Allâh. Insan yang paling utama adalah orang yang
paling bertakwa kepada Allâh.10 Berbeda dengan agama lain yang
melakukan tindakan diskriminasi terhadap para penganutnya. Walillâhil
hamdi ‘alâ minnatil Islâm (Segala puji bagi Allah atas karunia Islam). Semoga
Allâh mewafatkan kita dalam keadaan Muslim.
Inilah keadilan, karena bisa dicapai oleh siapa saja yang
mendapatkan taufik dari Allâh. Tidak ada kemuliaan dan keutamaan bagi
selain orang bertakwa, meski berdarah biru dan berstatus sosial tinggi. Tidak
ada kasta rendah dan kasta tinggi.
6
Al-Qurthubi, Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân , juz XVI, hal. 296.
7
Ibnu Katsir, Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm , juz VII, hal. 386.
8
Adhwâul Bayân, juz VII, hal. 417.
9
Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, XXVII, hal. 106.
10
Adhwâul Bayân, juz VII, hal. 635.
4. 4
Rasûlullâh s.a.w. bersabda:11
“Sesungguhnya Allâh tidak melihat kepada fisik dan kekayaan kalian. Akan tetapi
melihat hati dan amalan kalian.”
Hadits ini memuat kandungan yang sama dengan QS al-Hujurât,
49:13.12
As-Sa’di menyatakan: “Orang yang paling mulia di sisi Allâh adalah
yang paling bertakwa, yaitu orang yang paling sempurna dalam
menjalankan perintah Allâh dan paling sempurna dalam menjauhi larangan
(maksiat-maksiat).”13
“Tidak ada hubungan antara Allâh dengan makhluk-Nya kecuali
dengan ketakwaan. Siapa saja yang lebih bertakwa kepada Allâh niscaya
akan lebih dekat dengan-Nya. Dia lebih mulia di sisi Allâh. Karena itu, orang
tidak boleh membanggakan kekayaan, paras wajah, fisik, anak dan
keturunan, istana ataupun dengan kendaraannya, serta apa pun yang ada di
dunia ini.“14
Sejarah telah mencatat terjadinya pernikahan antara seorang yang
berasal dari suku mulia dengan orang biasa. Sebagai contoh, Bilal r.a. seorang
budak yang dimerdekakan menikahi saudari Sahabat ‘Abdur Rahmân bin
‘Auf r.a. yang berasal dari suku Quraisy, Zainab binti Jahsy Radhiyallahu
anha diperistri oleh Zaid bin Hâritsah r.a., seorang budak yang
dimerdekakan.15
Pada penghujung ayat, Allâh berfirman:
Maksudnya, Allâh Maha Mengetahui siapa saja yang bertakwa
kepada-Nya (secara lahir dan batin), dan siapa saja yang tidak bertakwa
(secara lahir dan batin). Kemudian Allâh akan membalas setiap orang dengan
apa yang ‘ia’ (orang tersebut) berhak mendapatkannya.16
Allâh Maha Mengetahui tentang kalian dan Maha Mengenal urusan-
urusan kalian. Allâh memberikan hidayah bagi orang-orang yang Dia (Allah)
11
HR Muslim dari Abu Hurairah, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 11, hadits no.
2564.
12
Al-‘Utsaimin, Syarh Riyâdhish Shâlihin, juz I, hal. 31.
13
Taisîrul Karîmir Rahmân , hal. 881
14
Al-‘Utsaimin, Syarh Riyâdhish Shâlihin, juz I, hal. 31.
15
Lihat Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân , juz XVI, hal. 297-298.
16
Taisîrul Karîmir Rahmân, hal. 881.
5. 5
kehendaki, menyesatkan orang-orang yang Dia (Allah) kehendaki,
merahmati orang-orang yang Dia (Allah) kehendaki, dan menyiksa orang-
orang yang Dia (Allah) kehendaki, serta menaikkan derajat orang yang Dia
(Allah) kehendaki di atas orang lain. Allâh Maha Bijaksana, Maha
Mengetahui dan Maha Mengenal dalam segala urusan (masalah) ini.17
Pelajaran Yang Bisa Kita Peroleh
Dari ayat tersebut di atas (QS Hujurât/49 13), kita bisa mengambil
beberapa pelajaran. Antara lain:
1. Allah telah menciptakan manusia dari asal yang sama, seluruhnya
berasal dari (keturunan) Adam dan Hawa. Masing-masing diberi
kelebihan atas yang lain, dan dengan kelebihan yang dimilikinya
mereka dilarang untuk bersikap sombong dengan cara memandang
‘rendah’ orang lain; karena kelebihan itu adalah bagian dari nikmat
Allah yang harus disyukuri.
2. Ketakwaan adalah unsur yang diperhitungkan di sisi Allâh dan Rasul-
Nya, bukan derajat sosial ataupun garis keturunan.18
3. Jika seseorang mendapatkan hidayah dan taufik dari Allâh, sehingga
menjadi orang yang bertakwa, hendaklah ia bersyukur, dan jangan
pernah lalai untuk selalu mengingat Allah. Karena semua yang telah
ia miliki adalah ‘amanah’ dari Allah yang harus selalu dijaga
sepanjang waktu.
4. Setiap orang tidak boleh memersepsi dirinya ‘paling baik’ dan
memersepsi orang lain ‘tidak lebih baik’ daripada dirinya. Karena
hanya Allahlah yang ‘berhak memberikan penilaian atasnya. Allahlah
yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal siapa yang ‘terbaik’ di
antara umat manusia.
17
Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm, juz VII, hal 388.
18
Simak kembali, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân, juz XVI, hal. 296.