INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
Masalah Pendidikan di NTT
1. Hardiknas Dan Pendidikan Di NTT
Oleh: Elkana Goro Leba, S. Sos
(Alumni FISIPOL UNDANA)
Sekarang Mahasiswa Program Pascasarjana
Program Studi Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL)
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
Pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan manusia. Berdasarkan Surat
Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959, maka setiap tanggal
2 Mei kita merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hal ini sebagai salah satu
bentuk penghargaan dan penghormatan atas lahirnya tokoh pejuang pendidikan Indonesia
Ki Hadjar Dewantara yang bernama kecil Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang juga
terkenal dengan semboyannya, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan"). Tidak luput juga Propinsi Nusa Tengara Timur sebagai bagian dari NKRI ikut
merayakannya.
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu wilayah yang berada di garda terdepan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai 22 kabupaten/kota karena
berbatasan langsung dengan Timor Leste. NTT juga menjadi salah satu daerah “3T” (Terluar,
Terpencil dan Terdepan), saya tambahkan satu “T” lagi, Tertinggal. Meskipun kata-kata itu
kedengarannya sangat menyayat hati, tetapi itulah kenyataan yang harus kita hadapi. NTT
tertinggal dalam banyak hal, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Dalam bidang pendidikan NTT masih tertinggal jauh oleh propinsi lain di Indonesia.
Pada tahun 2013 yang lalu, presentase Kelulusan hasil ujian Nasional (salah satu indikator
kebehasilan bidang pendidikan) NTT berada di urutan ke-29 dari 33 propinsi, lebih baik dari
tahun sebelumnya urutan ke-33. Hasil ini mencerminkan keprihatinan bidang pendidikan di
NTT. Banyak hal yang menjadi biang dari masalah itu. Salah satunya adalah minimnya sarana
dan prasarana pendidikan. Ini juga sebagai sumbangsih dari masalah politik, dan
2. kesejahteraan rakyat. Isu yang paling sering di angkat juga adalah kita tertinggal jauh dalam
hal Teknologi Informasi dan modernisasi.
Sebelum kita berangan jauh tentang teknologi informasi dan modernisasi, ada masalah yang
paling urgen dari itu yang mungkin kita pernah lihat, ingat, renungkan, dan harus selesaikan.
Masalah yang dimaksudkan adalah “tidak tersedianya Gedung Sekolah di Pedesaaan dan
penyebaran guru yang tidak merata”. Bila di kota sedang berbicara tentang komputer,
perpustakaan dan buku serta gedung sekolah yang rubuh. Tetapi di pedesaan masih berbicara
tentang, dimana gedung sekolahnya. Gedung saja tidak ada apa lagi perpustakaan dan bukunya. Di
daerah-daerah di luar kota Kupang, gedung sekolah masih sangat jarang kita temukan. Gedung SD
saja jarang apa lagi SMP dan SMA/SMK. Itu pun kita harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya untuk
menemukan. Dengan kaeadaan yang demikian, maka anak-anak di daerah yang ingin melanjutkan
sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus merantau jauh dari orangtuanya ke kota yang mempunyai
sekolah SMP dan SMA/SMK. Kita dapat membayangkan resikonya kalau anak-anak yang umur 13-15
tahun (usia SMP) tahun harus merantau jauh dari orangtuanya, apakah secara mental mereka siap
untuk hidup di kota dengan segala carut-marutnya? Selain itu, anak-anak ini mempunyai tugas dan
tanggung jawab membantu orangtuanya untuk mencari nafkah. Bila mereka pergi, bagaimana
dengan tugas dan tanggung jawab itu? Karena jika gedung sekolah ada di daerah mereka, maka
ketika pulang sekolah mereka bisa membantu orangtua. Keadaan yang demikian, membuat anak-
anak ini putus asa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ini sama halnya dengan
menutup kesempatan bagi anak-anak di pedesaan untuk bersekolah.
Disamping itu, bila gedung sekolah sudah tersedia, pergumulan berikutnya adalah
kekurangan sarana dan prasarana lainnya, seperti perpustakaan, buku, alat-alat peraga yang
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar hingga pada kekurangan guru. Bila di kota Kupang
banyak sekolah yang berkelebihan guru, dan bingung mengatur jadwal siapa yang harus mengajar
karena satu mata pelajaran saja bisa 4-5 guru, maka pada saat yang sama, di desa-desa sedang
bingung gurunya darimana. Oleh sebab itu, maka guru di pedesaan harus bermultidisiplin dalam hal
mengajar. Guru yang mempunyai keahlian di bidang lain, harus mengajar juga di bidang lain, bahkan
orang-orang yang bukan lulusan pendidikan guru pun menjadi guru. Bagaimana mutu pendidikan di
daerah ini bisa bersaing dengan daerah lain bila itu yang terjadi.
Bila itu realitanya, bagaimana penyelenggaraan pendidikan di daerah ini? Apakah
anak-anak di daerah ini sudah mendapatkan haknya? Sudahkah anak-anak NTT mendapatkan
pendidikan yang nyaman, adil dan sejahtera? Sudahkan guru-guru mendapatkan hak mereka? Ini
pertanyaan besar yang perlu dijawab dengan tindakan oleh pempimpin di daerah ini baik legislatif
maupun eksekutif. Bukan hanya retorika yang terbatas pada sandiwara belaka.
Kemelutan ini tidak terlepas dari tanggung jawab kita semua. Tetapi yang paling
bertanggung jawab adalah pemerintah. Perilaku korup para pemimpin di daerah ini menjadi embrio
lahirnya keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah-sekolah. Bagaimana tidak, bila
pengadaan buku saja dananya harus di korupsi oleh orang-orang tertentu untuk memperkaya diri
sendiri, dana untuk pembangunan gedung sekolah harus dipangkas kesana-kemari. Tunjangan
kesejahteraan guru sunat sini, sunat sana, penerimaannya tidak jelas. Selain itu, penerimaan uang
sertifikasi guru hampir semua bank di negeri ini menjadi penyalurnya. Bagaimana tidak, periode ini
pengambilan uang sertikasi di bank NTT, periode berikut di BNI, periode berikut lagi di BRI dan
seterusnya, sehingga semua guru yang mempunyai sertifikasi mempunyai rekening di semua bank.
Padahal gaji mereka hanya beberapa rupiah saja di dibanding dengan gaji para pejabat di senayan
3. yang sebagian besar katanya pintar, tetapi kebanyakan pintar dalam hal Duduk, Dengar, Diam, Duit
dan Pulang untuk membangun tahta kemewahan hingga dalam penjara sekalipun.
Sementara itu, carut-marutnya politik di daerah ini, akibat salah implementasi konsep
otonomi daerah, menjadi penyumbang bagi kemerosotan pendidikan. Katanya, pendidikan jauh dari
hiruk-pikuk politik, tetapi kenyataannya tidak demikian. Ini terlihat dengan jelas ketika ada
pergantian kepala daerah, maka harus ada pergantian kepala dinas dan kepala sekolah. Jadi politik di
daerah ini identik dengan pilitik “dagang sapi”, atau politik “sunat-menyunat jabatan” atau “gusur-
menggusur”. Siapa yang mendukung pemenang kepala daerah, akan menuai hasil yang baik, tetapi
siapa yang tidak mendukungnya akan menuai badai. Ini akan menjadi dilema bagi mereka yang
sedang menduduki jabatan tertentu, apalagi bila yang bersangkutan termasuk gila jabatan. Maka
bersikap netral salah, dukung si A salah, dukung si B salah. Maju kena, mundur juga kena, samping
kiri kanan jurang. Dengan demikian, maka penempatan kepala dinas dan kepala sekolah tidak
akan sesuai standar berdasarkan “merit system (menempatkan sesorang pada jabatan yang
sesuai keahliannya)”, tetapi pengangkatan kepala sekolah lebih bernuansa politis
dibandingkan kepentingan pendidikan. Bupati atau walikota terpilih cenderung memilih
guru-guru yang diketahuinya sebagai tim sukses, sebaliknya orang-orang yang bukan tim
sukses akan digusur.
Selain dua pokok masalah di atas, korupsi dan kepentingan politik yang berpengaruh
pada mutu pendidikan di NTT adalah kesejahteraan rakyat. Masyarakat NTT masih banyak
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Fakta menunjukkan bahwa pendapatan perkapita
masyarakat NTT hanya seperlima pendapatan per kapita rata-rata nasional. Provinsi NTT berada
pada posisi 32 dari 33 provinsi dengan angka kemiskinan yang tinggi. Maka pertnyaannya Ini tugas
siapa? Ini tugas kita semua tetapi lagi-lagi yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah.
Oleh sebab itu, pada peristiwa peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini, yang
terpenting adalah tidak hanya terbatas pada upacara seremonial untuk mengenang jasa para
pahlawan pendidikan tetapi juga mengenang apa yang telah kita kerjakan untuk kemajuan
pendidikan di daerah ini, dan bagaimana hasilnya. Kita perlu berantas koruptor, kemudian bangun
gedung sekolah, perlu juga kebijakan pemertaan guru antara kota dan desa, maka kita akan
mencapai mutu pendidikan untuk menigkatkan kesejahteraan rakyat di Nusa Tenggara Timur.
“Selamat merayakan Hario Pendidikan Nasional”
********Tut Wuri Handayani*******