1. Good Governance Sebagai Agenda Reformasi
Reformasi dalam amanatnya menegaskan bahwa hapus praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme sebagai konsekuensi dari tuntutan masyarakat dan tuntutan perubahan paradigma.
Sektor publik dalam perubahan paradigma barunya telah menegaskan pula bentuk dan model
birokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, transparan dan pengelolaan administrasi
yang akuntabel, melalui perubahan sistem dan pemangkasan struktur birokrasi serta model
administrasi dan pemerintahan yang baik (good governance). Fenomena menarik untuk
dicermati dan diangkat kepermukaan adalah, masih adanya praktek-praktek penyalahgunaan
wewenang dan tanggung jawab pada tingkat managerial birokrasi, sehingga indikasi ke arah
paradigma baru pemerintahan dan etika pemerintahan dalam penilaian publik belum sesuai
dengan amanat reformasi.
“Patologi dan Birokrasi”
Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu
tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an
organisation with a certain position and role in running the government administration of a
contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan
suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah
suatu negara. Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit
atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Lebih lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan beberapa patologi birokrasi yang
dapat dijumpai, antara lain :
1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2. Pengaburan masalah
3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4. Indikasi mempertahankan status quo
5. Empire bulding (membina kerajaan)
6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8. Takut mengambil keputusan
9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
“Good Governance”
Secara etimologi good adalah “baik” dan governance adalah “kepemerintahan”, jadi
good governance dapat diartikan “kepemerintahan yang baik”. Word Bank mendefinisikan
sebagai the way state power is used in managing economic and social resources for
development of society. Dari definisi ini dapat dilihat bahwa good governance merupakan suatu
jalan atau cara dalam mengatur ekonomi, sumber daya sosial untuk membangun atau
mengembangkan masyarakat. UNDP memberikan definisi good governance sebagai hubungan
yang sinergi dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan msyarakat.
2. Adapun karakterisitik good governance menurut UNDP (dalam LAN dan BPK dan
Pembangunan 2000), adalah:
Participation. Setiap warganegara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik
secara langsung mapun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingan.
Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartsipasi secara konstruktif.
Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama
hukum untuk hak azasi manusia.
Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-
proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang
membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitoring.
Responsiveness. Lembaga-lembaga atau proses-proses harus mencoba untuk melayani
setiap stakeholders.
Equity. Semua warganegara, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau
menjaga kesejahteraan mereka.
Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai
dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik
mungkin.
Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders.
Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan
tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai prespektif good
governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang
diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Good Governance Sebagai Agenda Reformasi.
Semangat reformasi politik yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1997 adalah
pembalikan karakteristik tatanan politik yang telah terpola selama beberapa dekade.
Sentralisme penyelenggaraan pemerintahan ingin dibalik menjadi tatanan yang desentralistik,
dan otoritarianisme ingin dibalik menjadi tatanan pemerintahan yang demokratis. Rezime
kesemena-menaan penguasa ingin diganti dengan rezime pemihakan terhadap rakyat.
Meskipun kenginan untuk melakukan perubahan ke arah tersebut telah meluas, perubahan itu
sendiri tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Perubahan tersebut hanya bisa difahami sebagai
hasil tarik-ulur antara para pelaku politik utama. Hal ini sangat jelas terlihat kalau kita pahami
proses reformasi dari kerangka berfikir transisi menuju demokrasi.
Reformasi ini tidak bisa diprogram secara teknokratik oleh pemerintah. Persoalannya,
dalam banyak hal, justru ada pada pemerintah itu sendiri. Pada tataran formal berubahan
sudah mulai merebak, namun pada tataran substantif perubahan masih belum signifikan.
Adanya persoalan tarik ulur ini menjelaskan mengapa yang terjadi adalah reformasi setengah
hati. Dambaan bagi terlembaganya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik (local good
governanve) mengedepan bersamaan dengan melimpahnya tuntutan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik dan otoriter yang dipraktekkan semasa
3. kepemimpinan orde baru. Ukuran yang populer saat ini untuk melihat baik tidaknya
penyelenggaraan pemerintahan dirumuskan berdasarkan idealitas 'otonomi' dan 'demokrasi'.
Jargon good governance memang baru belakangan ini memperoleh popularitas, namun
bukan berarti bahwa pada masa Orde baru tidak memiliki konsep penyelenggaraan
pemerintahan yang baik. Persoalannya, adalah apa yang waktu itu dipahami sebagai good
governanve kini sudah dianggap sebagai pola yang usang (Purwo Santoso, 2000). Singkat kata,
reformasi politik di tingkat lokal melibatkan proses penting yang tidak mudah dilihat, yakni
melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep tentang penyelenggaraan pemerintahan.
Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu di catat. Pertama,
konsep penyelenggaraan pemerintahan sudah bersifat build in pada benak dan ketentuan-
ketentuan penyelenggaraan pemerintahan. Sungguhpun demikian, bukan berarti bahwa
konsep-konsep yang ada bisa dijalankan dengan baik. Problema penyelenggaraan
pemerintahan di masa Orde Baru, pada dasarnya bukan semata berakar pada kualitas
konsepnya semata, melainkan juga pada ketidakmampuan merealisasikan konsep-konsep
tersebut. Kedua, sementara makna good governanve versi lama sudah jauh kehilangan
popularitas, pemaknaan konsep good governance dalam versi baru masih simpang siur. Bias
pemaknaan konsep good governance ini menjadi sulit dielakkan manakala konsep 'good
governance' itu sendiri sebetulnya, secara praktis, diperankan sebagai stigma untuk
mendelegitimasikan sentralisme dan otoritarianisme yang terlembaga pada era Orde Baru.
Peran stigmatik konsep good governance sebetulnya tidak bisa dipisahkan dari sangat derasnya
arus perwacanaan dalam kerangka berfikir yang neo-liberal, yang pada dasarnya tigak
terlampau setuju dengan adanya peran sentral negara. Ketiga, pemaknaan konsep good
governance saat ini terjadi dalam suasana dimana hegemoni wacana yang berakar pada
liberalisme terlihat sangat kental. Liberalisme difahami sebagai pintu pendobrak
otoritarianisme, namun masih menjadi pertanyaan besar apakah hal itu akan terlembaga.
Dalam suasana dimana hegemoni faham liberal di era reformasi ini sangat kuat, ukuran bagi
baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan bisa bergeser dari otonomi dan demokrasi,
menjadi liberal atau tidak. Pola good governance ala liberal mungkin bisa terlembaga kalau
masyarakat dan pejabat sama-sama sepenuh hati meliberalkan diri. Kecenderungan yang
terjadi adalah sabotasi terhadap liberalisme dalam arti bahwa masyarakat mau enaknya
memiliki kebebasan, namun tidak mau menanggung persyarakat-persyaratan untuk tegaknya
sistem yang liberal itu. Sebagai contoh, maraknya demostrasi adalah pertanda dari
pemanfaatan secara baik iklim politik liberal, namun penghargaan terhadap hak orang lain tidak
dilindungi tatkala melakukan hal itu.