SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
OPTIMASI PPP
1.
2. DAFTAR PUSTAKA KODE
A. Habibullah. 2009. “Kebijakan Privatisasi BUMN” : Relasi state, Market dan
Civil Society. Malang: Averoes Press
1
Aswab Mahasin (pengantar), Rustam Ibrahim (editor). 1997. Agenda LSM
Menyongsong tahun 2000. Jakarta: CESDA-LP3ES
2
Denhardt, Janet. V dan Robert. B. Denhardt. 2002. Pelayanan Publik Baru,
dari Manajemen Steering ke Serving. Yogyakarta: Kreasi Wacana
3
Djunedi, P. 2007. Implementasi PubliK Privat Partnership dan Dampaknya ke
APBN. Warta Anggaran , pp. 19-23.
4
Gibelman, Margaret . Spaefcontracting For Social Services: Boom Or Bust For
The Voluntary Sector? : P. 27
5
Good Governance. A Code for the Voluntary and Community Sector:
www.ncoss.org.au
6
Greve, C. 2003. Public Private Partnership in Scandinavia. International Public
Management Review , 59-69.
7
HM Treasury United Kingdom. (2012). A New Approach to Public Private
Partnership. London: Crown.
8
Indra Bastian. 2002. “Privatisasi di Indonesia” : Teori dan Implementasi.
Jakarta: Salemba Empat
9
3. DAFTAR PUSTAKA KODE
Khanom, N. A. 2009. Conceptual Issues in Defining Public Private Partnerships. Asian
Business Research Conference. pp. 1-19. Canberra: University of Canberra.
11
Mansyur Semma. 2008. Alat Negara dan Korupsi, pemikiran Muchtar Lubis atas
Negara, Manusia, dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
12
Morris, Robbert . Government and Voluntary Agency Relationships : P. 334 13
Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How The
Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. New York: Plume
14
Parsons. Wayne. 2011. Public Policy: Pengantar Teori & Praktek Analisis Kebijakan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
15
Riant. D. Nugroho D. 2001. “Reinveting Indonesia“ :Menata Ulang Manajemen
Pemerintah untuk Membangun Indonesia Baru dengan keunggulan Global. Jakarta: Elex
Media Komputindo
16
Tan, V., Allen, & Overy. 2012. Public-Private Partnership. Advocates for International
Development , 1-6.
17
Utama, D. (2010). Prinsip dan Strategi Penerapan Public Private Partnership dalam
Penyediaan Infrastruktur Transportasi. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 12 No.3
, 145-151.
18
Utama, D. (2010). Prinsip dan Strategi Penerapan Public Private Partnership dalam
Penyediaan Infrastruktur Transportasi. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 12 No.3
, 145-151.
19
4.
5.
6. APA ITU PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP
Kemitraan Sektor Publik – Privat (Public-Private
Partnership-PPP) terkenal dengan Pemerintahan
campuran sektoral merupakan:
Pelayanan yang diperankan atas kombinasi
antara organisasi publik dan privat, dan antara
sektor sukarela (lembaga swadaya) dengan agen
“komunitas” terhadap masyarakat sipil. (16 : 499)
The Issue is not public versus private. It is
competition versus monopoly. (15 : 76)
7. William J. Parente: Public-Private Partnership (PPP)” is an agreement or contract,
between a public entity and a private party, under which:
Private party undertakes government function for specified period of
time,
The private party receives compensation for performing the function,
directly or indirectly,
The private party is liable for the risks arising from performing the
function and,
The public facilities, land or other resources may be transferred or made
available to the private party.” ( 4 )
Privatisasi adalah paradigma korporatis, berorientas kepada pasar,
mencari keuntungan dan meminimalkan peran negara dalam
perekonomian. Dalam praktiknya privatisasi adalah menjualan asset-aset
pemerintah secara murah kepada swasta, bahkan asset yang termasuk
hajat hidup orang banyak seperti, air, listrik, jala raya dan lain-lain. (1 :
19)
Privatisasi pada intinya adalah pemindahan pengelolaan dari sektor
publik ke swasta. (1 : 16)
8. Kerja sama, dimana PPP selalu merupakan kegiatan kerja
sama dan kolaborasi antara organisasi yang berbeda;
Kemitraan organisasi publik dengan organisasi swasta;
Terdapat komitmen bahwa kemitraan dilaksanakan dalam
jangka panjang;
Hasil PPP ada pada barang dan jasa tertentu.
( 12 )
9. PPP adalah keterkaitan/sinergi yang berkelanjutan (kontrak kerjasama
jangka panjang) dalam pembangunan proyek untuk meningkatkan pelayanan
umum (pelayanan publik), antara:
Pemerintah atau pemerintah daerah selaku regulator;
Perbankan/konsorsium selaku penyandang dana; dan
Pihak Swasta/BUMN/BUMD selaku Special Purpose Company (SPC) yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan suatu proyek mulai dari Desain,
Konstruksi, Pemeliharaan dan Operasional.
( 19 )
Kebijakan privatisasi dapat dipakai sebagai justifikasi, seperti: untuk
mendapatkan kas, mendapatkan nilai tukar luar negeri, mendapatka utang
luar negeri, mendorong pengembangan industry yang spesifik, mendorong
investasi asing, memperbaiki atau mengembangkan pasar modal,
menyebarkan kepemilikan di sektor ekonomi, dan implementasi pasar
bebas.
(1 : 8)
10. 1) BOT (Build, Operate, Transfer), Swasta membangun,
mengoperasikan fasilitas dan mengembalikannya ke pemerintah
setelah masa konsesi/kontrak berakhir.
2) BTO (Build, Transfer, Operate), Swasta membangun, menyerahkan
asetnya ke pemerintah dan mengoperasikan fasilitas sampai
masa konsesi/kontrak berakhir.
3) ROT (Rehabilitate, Operate, Transfer), Swasta memperbaiki,
mengoperasikan fasilitas dan mengembalikannya ke pemerintah
setelah masa konsesi/kontrak berakhir.
4) BOO (Build, Own, Operate), Swasta membangun, swasta
merupakan pemilik fasilitas dan mengoperasikannya.
5) O&M (Operation and Maintenance), Untuk kasus khusus,
pemerintah membangun, swasta mengoperasikan dan
memelihara.
( 19 )
11. PPP memungkinkan sector publik untuk memanfaatkan
keahlian dan efisiensi sektor public dalam
penyelenggaraan fasilitas dan pelayanan yang
sebelumnya dilaksanakan oleh sektor public secara
tradisional.
PPP memiliki struktur dimana organisasi publik tidak
mengeluarkan biaya, dan modal pelaksanaan proyek
dikeluarkan oleh pihak swasta yang melaksanakan proyek
tersebut.
( 18 )
12. Di Indonesia, PPP dilaksanakan dengan menerapkan jenis proyek
infrastruktur yang akan dan dapat dikerjasamakan dengan investor
swasta meliputi :
Transportasi (pelabuhan laut, sungai atau danau, pelabuhan udara,
jaringan rel dan stasiun kereta api)
Jalan (jalan tol dan jembatan tol)
Pengairan (saluran pembawa air baku)
Air minum (bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi,
jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum)
Air limbah (instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan
jaringan utama) serta sarana persampahan (pengangkut dan tempat
pembuangan)
13. Telekomunikasi (jaringan telekomunikasi)
Ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga
listrik)
Minyak dan gas bumi (pengolahan, penyimpanan, pengangkutan,
transmisi atau distribusi migas)
Indonesia Infrastructure Summit I pada pertengahan Januari 2005
dengan menawarkan 91 proyek kepada investor swasta.
Indonesia Infrastructure Summit II (Indonesia Infrastructure Conference
and Exhibition 2006) pemerintah menawarkan 111 proyek.
Sejak saat itu, upaya yang dilakukan untuk mendukung PPP antara
lain: membentuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan
Infrastruktur (KKPPI), serta harmonisasi, reformasi dan revisi
kebijakan agar market friendly.
( 4 )
14. Membangun kemitraan (partnership) antara sektor publik
dan privat (atau public-private partnership – PPPs)
dilakukan di sejumlah area kebijakan. Area ini adalah:
Pembangunan infrastruktur
Pembaruan urban
Pembangunan regional
Training dan pendidikan
Lingkungan
(16 :499)
15. Alasan dari ekspansi PPP adalah kesadaran akan
adanya manfaat yang diperoleh pemerintah dalam hal
dana dan keahlian manajemen sektor privat serta
manfaat financial dan manfaat lain yang mungkin bisa
didapatkan dari sektor privat. (16 : 499)
16. Perkembangan dan Kesuksesan PPP
1. Kondisi awal untuk PPP
Interdependensi antara kedua sektor tersebut
Konvergensi tujuan
2. Kondisi sekunder (penghubung)
- Adanya jaringan saluran komunikasi antara sektor publik dan privat
- Adanya broker (perantara) untuk memfasilitasi negosiasi.
3. Kondisi proyek
- Rasa saling percaya (Mutual trust)
- Kejelasan (unambiguity) – dan pencatatan – tujuan dan strategi;
- Kejelasan (unambiguity) – dan pencatatan – pembagian biaya, resiko dan hasil;
- Kejelasan (unambiguity) – dan pencatatan – pembagian tanggung jawab dan otoritas;
- Penentuan penahapan proyek;
- Aturan konflik ditetapkan lebih dulu;
- Legalitas;
- Perlindungan kepentingan dan hak pihak ketiga;
- Dukungan dan fasilitas control yang memadai;
- Pemikiran dan tindakan yang berorientasi pasar dan bisnis;
- Koordinasi “internal”
- Organisasi proyek yang memadai.
(16 : 499-500)
17. Pentingnya PPP
Dalam proyek-proyek beerskala besar kemitraan adalah
satu-satunya cara untuk mengatasi problem (seperti
regenerasi urban) dan menangkap peluang (seperti
pengamanan Olimpiade).
(16 : 500)
Proyek sosial berskala kecil, penggunaan kemitraan
memberi dana tambahan dan keahlian dari sektor privat
bagi pemerintah local, sedangkan sektor privat selain bisa
mendapat keuntungan financial juga bisa mendapat
keuntungan dari promosi dan pengakuan akan tanggung
jawab sosial dan etis bisnis mereka. (16 : 500)
18.
19. 1) Lamanya proyek PPP dapat menciptakan kontrak dan
negosiasi yang rumit dengan biaya transaksi dan legal
yang mahal
2) Terdapat kemungkinan dimana pihak swasta yang
terlibat dalam PPP akan mengambil keuntungan untuk
dirinya yang akan merugikan masyarakat
3) Sifat PPP yang berjangka waktu lama berarti bahwa
manfaat baru bisa dilihat dalam jangka waktu lama
4) Ada kalanya biaya yang dibutuhkan lebih murah tanpa
melalui sekor swasta.
( 18 )
20. Model relasi mikro yakni relasi kuasa dalam negeri
antara negara, pasar dan masyarakat meliputi tiga
varian utama yaitu;
Relasi kuasa negara dengan pasar secara umum
bersifat dualitas (sifat khusus).
Relasi kuasa negara dengan masyarakat secara umum
bersifat asimetris
Relasi kuasa pasar dengan masyarakat yang secara
umum juga bersifat asimetris di mana pasar
mendominasi negara dan masyarakat
21. Relasi ekonomi dalam negeri antara pasar secara
umum bersifat dualistis, pada satu sisi negara
memberikan peluang (enabling) kepada pasar,
namun pada sisi lain negara membatasi (constraining)
pengembangan pasar sebagaimana teori strukturasi.
Masyarakat kapitalis, kelas elit yang berkuasa
menjalin kerjasama dengan negara dimana
kerjasama tersebut diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan structural masing-masing dan bersifat
simbiosis mutualisme. (1 : 99-100)
22. Pola relasi kuasa antara negara dengan masyarakat
pada dasarnya bersifat asimetris dalam suasana
dominative dimana negara mendominasi peran-peran
dari masyarakat.
(1 : 106)
23. Partnership (Kemitraan) antara swasta dan negara dapat
dijadikan pilihan terakhir yang diperlukan untuk menangani
setiap sektor dalam melakukan kegiatan yang saling
melengkapi. Agar vos untuk melaksanakan permintaan
berbasis Pembangunan, mewakili masyrakat yang
termarjinalkan, menghubungkan mereka kepada negara, dan
untuk menawarkan alternatif-alternative dan pengembangan
solusi-solusi yang inovatif, negara harus bersedia untuk terlibat
dalam dialog, terbuka untuk saran dan untuk memperlakukan
swasta sebagai sumber keahlian. Artinya, negara harus
bersedia untuk mempertanyakan asumsi-asumsi mereka sendiri
"apa yang terbaik", dan menyerahkan beberapa tanggung
jawab membentuk perencanaan pembangunan.
( 11 )
24. Dapat disimpulkan bahwa pasar lebih dominan dari
negara dan masyarakat, dengan demikiann relavan
teori New Public Service (NPS) yang menganjurkan
adanya administrasi demokratis untuk menjamin
keseimbangan hubungan di antara ketiga actor
tersebut. ( 1 )
NPS merupakan koreksi terhadap New Public
Management (NPM) dari Osborne dan Gaebler yang
menganggap warga negara sebagai konsumen dalam
program-program mewirausahakan negara termasuk
melalui privatisasi. ( 1 )
25.
26. Komunitas
Masyarakat modern melihat kerusakan sense of
community dan organisasi sukarela, dan berlebihnya
tuntutan akan hak-hak individual dengan
mengorbankan tanggung jawab dan kewajiban.
Dalam term kebijakan komunitarian mengatakan
bahwa pembuat kebijakan haruslah berusaha
membangun institusi sosial perantara untuk menciptakan
kohesi sosial, kebanggaan sipil dan menghadapi efek
dari individualism dan fragmentasi sosial.
(16 : 504)
27. Secara signifikan, gelombang baru kebijakan publik
berbasis “komunitas” di era 1990-an mulai muncul
setelah kehancuran kamunitas didaerah-daerah industry
dan kota-kota indistri yang terjadi selama satu decade
sebelumnya. (16:505)
Komponen penting lainnya dalam campuran
penyampaian kebijakan sektoral adalah “komunitas” –
yang bertentangan dengan “pasar” atau “negara” atau
“hierarki”.
(16:505)
28. Secara umum, ide komunitas merujuk kepada kelompok
yang menempati lokasi atau ruang fisik yang sama atau
memiliki kepentingan yang sama, cirri yang sama, atau
karakteristik yang sama. Jadi, dalam “kebijakan
komunitas” konsep tersebut diaplikasikan dalam
pengertian “territorial” atau “nonteritorial”.
(16 : 505)
29. Masyarakat sipil semakin terdegradasi haknya dalam sistem politik
oleh kelas profesional dan pelobi yang sangat kuat.
Merosotnya nilai-nilai kewarganegaraan pada sistem politik para elit
yang ditunggangi oleh kepentingan pribadi dan kelompok elit.
Adanya ketidakpercayaan, dan kekecewaan warga sipil terhadap
keperintah karena tidak mengekomodir kepentingan rakyat
Adanya kesadaran warga negara, bahwa hak dan kewajiban
kewarganegaraan mereka belum dimanfaatkan
Adanya kesadaran dari warga sipil untuk membangun organisasi
kontrabirokrasi untuk menjadi kekuatan eksternal penilai birokrasi.
(3 : 49)
30. Komunitas itu berupa eksistensi warga negara yang terlibat
dalam segala jenis kelompok sipil, seperti:
Asosiasi-asosiasi warga negara
Keluarga-keluarga
Kelompok-kelompok kerja
Gereja-gereja
Kelompok-kelompok lingkungan
Organisasi-organisasi relawan
Dan kelompok sosial lainnya.
Kelompok-kelompok ini secara kolektif merencanakan dan
membangun kepentingan-kepentingan mereka untuk masuk ke
dalam sistem politik yang lebih besar.
(3 : 48)
31. Pembentukan komunitas itu juga adalah sebagai usaha dari
anggota kelompok untuk:
Membangun sekumpulan (lemabaga perantara) yang sehat
dan aktif yang secara serempak
Membantu memfokuskan keinginan-keinginan dan
kepentingan-kepentingan warga negara dan
Memberikan pengalaman-pengalaman yang akan membawa
anggota komunitas untuk masuk ke dalam sistem politik yang
lebih besar
Mempengaruhi kehidupan politik dan menyampaikan aspirasi
mereka dalam kebijakan pemerintah.
(3 : 48)
32. Kepedulian
Kepercayaan
Kerja tim
menJembatani dan merukunkan antar individu dan
kolektivitas
Semua itu diikat bersama suatu sistem yang kuat dan efektif
untuk komunikasi dan pemecahan konflik
(3 : 47)
33. “pencarian komunitas juga merupakan suatu pencarian
untuk arah dan maksud dalam penetapan kolektif atas
kehidupan individual” (3 : 48)
Investasi diri di dalam komunitas, penerimaan otoritasnya
dan kesediaan untuk mendukung kehidupannya dapat
memberikan identitas, makna pribadi, dan kesempatan
untuk tumbuh dalam kaitannnya dengan standar dalam
prinsip-prinsip pemandu yang dirasakan anggota sebagai
tujuan bersama dari sebuah komunitas. (3 : 48)
34.
35. SEKTOR SUKARELA (VOLUNTARY)
Penggunaan lembaga sukarela (voluntary sector)
dan eksklusif untuk memberikan kesepakatan
pemerintah adalah untuk memenuhi mengatur
layanan pemerintah yang membuat tanggung
jawab dengan cara yang paling hemat biaya,
efisien, dan kualitatif. (5)
lembaga sukarela lebih fleksibel dan inovative (5)
36. Mereka memiliki keahlian yang sangat dibutuhkan
pemerintah. (5)
Lembaga sukarela selalu akuntabel. (5)
Memiliki semangat kompetitif. (5)
Penyedia layanan primer yang berkompeten dan
dapat dipercayai oleh publik. (14)
Mengadvokasi kepentingan publik primer (14)
37. Voluntary and Community sector
Charities and other voluntary and community organisations
play a vital role in our lives and they command enormous
public trust and confidence. This is reflected in the
generosity with which people in Britain give their time and
money to charities.
( 6 )
38. Voluntary sector dan Public Sector
Di pihak “kiri”, pertumbuhan organisasi sukarela sebagai agen
atau instrument kebijakan pemerintah dianggap sebagai tanda
dari krisis negara liberal di masyarakat kapitalis.
(16 : 501)
Di pihak “kanan” , munculnya negara kesejahteraan dan
ambruknya pelayanan sukarela dan self-help merupakan
perkembangan yang menggangu, dan dari sudut pandang ini
masa depan kebijakan sosial mengarah pada perkembangan
sistem yang tidak terlalu didominasi negara di mana sektor
sukarela memiliki peran yang lebih luas dalam menyampaikan
pelayanan berdasarkan kontrak (16 : 501).
“ide” sektor sukarela harus digantikan dengan gagasan “sektor
ketiga”. (16 : 501)
39. Bantuan atau amal (charity) adalah bisnis besar.
(16 : 502)
Sektor sukarela akan menyerupai organisasi yang memberi
dukungan dana di bidang mereka.
(16 : 502)
Agen-agen publik mungkin menjadi tergantung kepada sektor
sukarela untuk memberikan pelayanan yang sulit mereka
sediakan atau karena mereka tidak punya sumber daya untuk
menyediakannya atau karena memang pelayanan itu
biasanya dikerjakan oleh sektor sukarela.
(16 : 503)
40. Partisipasi sektor swasta dalam mendukung organisasi
sukarela mengindikasikan bahwa sektor privat
memandang bahwa aktivitas seperti itu memberi
peluang menjalin hubungan dengan masyarakat dan
berpotensi mempromosikan citra etis dari organisasi
dengan baik. Efek limpahan dari keterlibatan
manajeme sektor privat dalam sektor sukarela juga
dianggap membawa manfaat yang lebih besar bagi
perusahaan dan bisnis
(16 : 503)
41. Bahayanya adalah bahwa hubungan yang makin erat
antara negara dengan sektor privat dan sukarela
akan menimbulkan efek membahayakan terhadap
independensi agen-agen sukarela qua penyedia
pelayanan yang berkompetensi mencari sumber daya.
(16:503)
Kontribusi yang mereka berikan sebagai pengkritik
pemerintah akan melemah karena adanya “budaya
kontrak” (contract culture), dimana kritik akan
menyebabkan hilangnya dana dan kontrak
(16 : 503-504)
42. Voluntary and Community sector
Voluntary and Community sector, which focuses on the
key principles that trustees and board members
should follow and provides clear information about
what those principles imply in practice. ( 6 )
As voluntary and community organisations driven by
altruistic values and working for public benefit, we
are increasingly expected to demonstrate how well
we are governed. Good governance is a vital part of
how voluntary and community organisations operate
and are held accountable. ( 6 )
43. All sectors – public, private and voluntary is the agenda in
Governance. As voluntary and community organisations
driven by altruistic values and working for public benefit,
we are increasingly expected to demonstrate how well we
are governed. Good governance is a vital part of how
voluntary and community organisations operate and are
held accountable. ( 16 )
44. The voluntary and community sector is The principles of
good governance. All board members will need to have
access to more detailed guidance on their legal duties.
Charity trustees will also need to refer to Charity
Commission guidance on charity law and regulation.
( 6 )
45. The Voluntary and Community sector arose from directly
expressed needs in the sector.
These came from organisations which wanted guidance to
clarify the main principles of governance and to help
them in decision making, accountability and the work of
their boards.
In response to these demands, a group of voluntary
sector infrastructure associations, with the Charity
Commission, came together and decided to work towards
developing the Code. Vitally, the Code was developed
by and for voluntary and community organisations.
( 6 )