PEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptx
Analisa empiris atas asset dan growth beta dalam penentuan cost of capital
1. www.futurumcorfinan.com
Page 1
Paper Analisa Empiris atas Asset dan
Growth Beta dalam Penentuan Cost of
Capital: Konteks Indonesia
Latar belakang penelitian
Keputusan investasi tidak dapat dibuat tanpa pengetahuan mengenai cost of capital
sehingga cost of capital adalah input utama dalam proses capital budgeting. Meskipun
terdapat banyak argumen baik secara teoritikal maupun empiris yang menentangnya,
single-period CAPM tealh merupakan metode yang paling popular dalam menentukan
cost of equity capital untuk proyek-proyek investasi. Graham and Campbell (2001)
dalam surveynya terhadap 302 Chief Financial Officers mengenai cost of capital, capital
budgeting dan capital structure mendapatkan bahwa perusahaan-perusahaan besar
sangat mengandalkan penggunaan teknik-teknik present value dan capital asset pricing
model, sedangkan perusahaan-perusahaan kecil relatif lebih banyak menggunakan
kriteria payback. Dan lebih mengejutkan adalah banyak perusahaan yang menggunakan
firm risk daripada project risk dalam mengevaluasi investasi baru.
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
3. www.futurumcorfinan.com
Page 3
Jagannathan dan Iwan Meier (2002) memberikan penjelasan atau argumentasi
mengapa manager tetap menggunakan CAPM sebagai alat utama dalam mengestimasi
cost of capital. Alternatif model yang lain yang dapat disebut sebagai empirically
motivated factors (Fama dan French, 1992 dan Fama dan French, 1993) yang kemudian
lebih dikenal sebagai Fama-French three-factors model, adalah bermasalah untuk
menentukan cost of capital karena factor loadings adalah sangat tidak stabil sepanjang
waktu dan terdapat perbedaan pendapat di antara akademik mengenai apakah factor
loading tersebut adalah resiko. Alternatif model yang juga diajukan, misalnya
berdasarkan spesifikasi stochastic discount factor atau versi inter-temporal dari CAPM
membutuhkan input yang relatif sulit untuk diamati atau diestimasi (Brennan dan Xia,
2006; Ang dan Liu, 2004; Letta dan Wachter, 2005). Keunggulan utama CAPM memang
terletak pada hanya dibutuhkan tiga estimasi yang relatif mudah diperoleh atau dihitung,
yaitu:
1. risk-free rate
2. risk premium on market portfolio, dan
3. asset’s beta.
4. www.futurumcorfinan.com
Page 4
Salah satu kesulitan yang ditemukan pada saat mengimplementasikan CAPM adalah
bahwa proyek-proyek investasi bukan merupakan traded securities dan oleh karenanya
tidak mempunyai beta yang secara langsung dapat diamati. Praktik standar yang dipakai
untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengestimasi beta proyek berdasarkan
sekumpulan sekuritas yang diperdagangkan dan dapat diperbandingkan (comparable
traded securities). Buku-buku teks keuangan yang standar lebih lanjut menyebutkan
bahwa comparables yang dipakai harus memiliki cyclicality dan operating leverage yang
sama dan bahwa dampak dari financial leverage atas equity beta harus difaktorkan ke
dalam penentuan beta proyek (lihat Brealey dan Myers, 2003).
Dalam paper ini, kami ingin memperlihatkan secara empiris bahwa growth opportunities
adalah faktor penentu yang paling penting dalam penentuan beta perusahaan, bahkan
sesudah operating dan financial leverage dikendalikan, dan kegagalan untuk
memperhitungkan hal ini memberikan mis-estimasi cost of equity capital dengan sekian
persentase tergantung industrinya.
Identifikasi, pembatasan dan rumusan permasalahan
Terdapat alasan yang baik untuk mengharapkan, apabila semua sama, maka
perusahaan yang memiliki growth opportunities yang lebih akan memiliki beta yang lebih
tinggi. Pertama, growth opportunities suatu perusahaan termasuk embedded options,
seperti option to delay, abandon, or expand suatu proyek. Keputusan-keputusan ini
tergantung pada informasi mengenai arus kas yang dihasilkan oleh proyek tersebut,
yang tentu saja mempunyai komponen resiko sistematis. Karena embedded options ini
secara implisit memiliki leverage, resiko sistematis dari growth opportunities
kemungkinan akan lebih tinggi daripada asset sejenis yang sudah ada (Berk, Green,
dan Naik, 2004; Carlson, Fisher dan Giammarino, 2004, 2006). Kedua, Campbell dan
Wei (1993) secara empiris memperlihatkan bahwa beta sebagian besar ditentukan oleh
variasi yang umum dalam expected returns. Karena perusahaan dengan growth
opportunities yang lebih besar mempunyai arus kas dengan durasi yang lebih panjang,
maka nilai mereka akan lebih sensitif terhadap perubahan-perubahan tingkat bunga dan
dengan demikian memiliki beta yang lebih tinggi (lihat Cornell, 1999; Dechow, Sloan dan
Soliman, 2004).
5. www.futurumcorfinan.com
Page 5
Tujuan penelitian
Tujuan kami dalam paper ini adalah
1. untuk memperlihatkan secara empiris adanya hubungan antara growth
opportunities perusahaan dengan asset beta, dan
2. untuk memberikan aturan-aturan yang sederhana mengenai bagaimana memilih
beta proyek berdasarkan penelitian empiris ini.
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian, diharapkan dapat ditunjukkan beberapa rules of thumbs yang
penting pada saat menerapkan CAPM dalam capital budgeting atau investasi proyek.
Misalnya, dalam industri retail, pada saat membuka outlet di pasar baru dengan
berbagai options to expat seharusnya memiliki cost of capital yang lebih tinggi daripada
membuka outlet di pasar yang telah mature dan dengan kompetisi yang tinggi. Pada
waktu mencari comparables untuk mengestimasi beta proyek, perusahaan retail dengan
growth opportunities yang tinggi sebaiknya dipakai untuk kasus yang pertama dan untuk
kasus yang kedua, dipilih perusahaan retail dengan growth opportunities yang rendah.
Di samping itu, beta perusahaan sendiri belum tentu merupakan ukuran resiko
sistematis yang baik untuk salah satu proyek investasi, walaupun jika berada pada line
of business yang sama. Analisa kami akan memperlihatkan (jika hipotesa terbukti)
bahwa manajer harus mempertimbangkan apakah perusahaan memiliki relatif growth
opportunities yang lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan proyek yang
dievaluasi. Misalnya, suatu perusahaan oil support telah memiliki dua product line dan
beberapa product line yang akan dikembangkan. Beta perusahaan mungkin bukan
merupakan estimator beta yang baik untuk salah satu product line-nya yang akan
dikembangkan. Pada saat bersamaan, beta perusahaan bukan juga merupakan
estimator beta yang baik untuk salah satu product line yang telah menghasilkan arus
kas signifikan. Beta untuk product line ini akan lebih kecil dan jika digunakan beta
perusahaan untuk mendiskonto arus kas product line tersebut maka akan kemungkinan
menghasilkan nilai product line yang under-estimated. Ini menjadi pertimbangan yang
penting, pada saat, perusahaan akan menjual salah satu product line dengan arus kas
yang signifikan.
6. www.futurumcorfinan.com
Page 6
Metode yang digunakan dalam penelitian ini juga dapat dipakai untuk menentukan
tingkat diskonto untuk perusahaan baru (startup firms). Ini dapat mengatasi masalah
yang dihadapi pada waktu mencari comparables karena relatif sulit ditemukan. Dengan
mengesampingkan masalah di mana bahwa perusahaan baru secara fundamental
berbeda dengan perusahaan publik atau matang, kita dapat melihat perusahaan baru
sebagai suatu perusahaan dengan tidak ada assets-in-place tetapi hanya memiliki
growth opportunities option. Metode tidak mengestimasi beta untuk growth opportunities
untuk industri dan dapat dipakai untuk mendiskonto arus kas proyeksi untuk perusahaan
startup dalam suatu industri.
Nilai suatu perusahaan dapat dipisahkan ke dalam value of assets-in-place dan growth
opportunities, oleh karenanya, asset beta perusahaan juga merupakan value-weighted
average dari masing-masing beta tersebut. Kami membuat dua asumsi untuk
memisahkan beta assets-in-place dan growth opportunities yang terdapat pada data:
1. book-to-market ratio suatu perusahaan adalah proxi yang baik untuk rasio value
assets-in-place terhadap total value dari perusahaan.
2. beta assets-in-place dan beta growth opportunities adalah konstan untuk semua
perusahaan dalam industri yang sama pada waktu tertentu. Oleh karenanya,
kami mengasumsikan bahwa variasi beta perusahaan dalam industri yang sama
pada waktu tertentu dapat dijelaskan secara lengkap oleh proporsi relative value
assets-in-place terhadap growth opportunities.
Bahwa proporsi relative growth opportunities dan assets-in-place adalah faktor penentu
yang penting dalam beta investasi proyek akan membawa implikasi sebagaimana
dijelaskan di bawah.
Implikasi:
Beta assets-in-place adalah ukuran yang tepat untuk resiko perusahaan yang matang
(mature firms) dengan growth opportunities yang lebih sedikit sedangkan beta growth
opportunities adalah ukuran yang tepat untuk resiko perusahaan yang relatif masih
muda atau baru dimulai (startup firms).
7. www.futurumcorfinan.com
Page 7
Kaplan dan Peterson (1998) telah mendokumentasikan bahwa beta dari perusahaan-
perusahaan yang memiliki market capitalization yang besar cenderung lebih rendah
daripada beta perusahaan-perusahaan berkapitalisasi kecil.
Dengan demikian, secara umum, pada saat memilih comparable firms untuk
mengestimasi beta investasi, manajer sebaiknya memilih perusahaan berdasarkan proxi
growth opportunities, dalam hal ini, market-to-book ratios.
Kajian Pustaka
Nilai equity perusahaan (dapat pula dibaca sebagai harga saham perusahaan, walaupun
penulis lebih suka menggunakan nilai equity perusahaan) terdiri dari 2 komponen:
1) Nilai tunai uniform, perpetual earnings on assets currently held (dikenal sebagai
“assets-in-place”)
2) Nilai tunai dari opportunities that the firm offers for making additional investments
in real assets that will yield more than the “normal” (market) rate of return.
(dikenal sebagai “growth opportunities”).
Pengakuan adanya dua elemen in dapat ditelusuri ke paper yang ditulis oleh Miller dan
Modigliani (1961). Terdapat beberapa literatur mengenai metode untuk mengukur kedua
elemen tersebut. Misalnya, Kester (1984) menulis bahwa ”.... valuable growth options
constitute well over half the market value of many companies’ equity”.
Myers (1977) mencatat perbedaan antara:
Asset yang dianggap call option untuk membeli real asset di mana nilai akhir
(ultimate) tergantung lebih lanjut pada investasi discretionary oleh perusahaan.
Real asset dengan nilai pasar yang tidak tergantung pada investasi discretionary
lebih lanjut.
Myers mencatat secara spesifik bahwa pemeliharaan aktiva tetap merupakan keputusan
investasi discretionary dan kelanjutan usaha perusahaan saat ini juga merupakan
8. www.futurumcorfinan.com
Page 8
keputusan investasi discretionary dengan sendirinya. Jadi Myers mengakui adanya
option not to replace assets-in-place. Namun pembicaraan kami sepanjang paper ini
hanya berkaitan antara perbedaan nilai growth opportunities dengan assets-in-place.
Perbedaan ini menjadi penting atau central dalam valuasi equity perusahaan (misalnya
Miller dan Modigliani, 1961), struktur keuangan perusahaan (Myers, 1977) dan
keputusan capital budgeting dan cost of capital perusahaan (Myers dan Turnbull, 1977;
Majd and Pindyck, 1987).
Kedua komponen ini didasarkan pada arus kas masa depan yang tidak pasti. Walaupun
demikian, tidak terdapat dasar untuk mengasumsikan bahwa keduanya memiliki resiko
yang sama. Dengan menggunakan pendekatan CAPM standar, cost of equity capital
untuk keputusan investasi real pada umumnya diambil dari beta saham. Secara teknis
dapat dikatakan ini adalah suatu kesalahan dan ini diakui oleh Myers and Turnbull
(1977). Beta untuk suatu proyek yang menambah assets-in-place secara logika harus
berkaitan dengan beta dari current assets-in-place.
Myers dan Turnbull (1977) mengembangkan lebih lanjut option ini untuk mengakui
bahwa resiko sistematis dari real options kemungkinan berbeda dari risiko sistematis
dari real asset perusahaan dan bahwa investor akan meminta expected rate of return
yang berbeda atas keduanya. Concern utama dari Myers dan Turnbull (1977) adalah
untuk menunjukkan bagaimana beta dari proyek spesifik akan bervariasi tergantung
kepada metode peramalan (forecasting) arus kas, usia asset dan pola arus kas yang
diharapkan. Mereka juga menunjukkan bahwa growth opportunities dapat dilihat secara
luas sebagai option to expand skala dan ruang lingkup dari current assets-in-place.
Karena suatu call option adalah pada umumnya lebih beresiko daripada underlying
asset yang di-write, Myers dan Turnbull (1977) berkesimpulan bahwa beta assets-in-
place kemungkinan lebih kecil daripada beta untuk growth opportunities (dan oleh
karena itu lebih rendah daripada weighted average dari kedua beta tersebut, yang
merupakan equity beta). Dari sini, mereka berkesimpulan bahwa:
“…..the systematic risk of the firm’s stock is an over-estimate of the beta for tangible
assets, and the rate of return derived from observed common stock ‘s will be an
9. www.futurumcorfinan.com
Page 9
overestimate of the appropriate hurdle rate for capital investment whenever firms have
valuable growth options” (p. 332).
Namun demikian, mereka tidak mengembangkan pemikiran lebih lanjut dan hanya
berkesimpulan bahwa “the practical and theoretical difficulties created by this
phenomenon are obvious” (p. 332).
Kester (1984) menunjukkan suatu metode yang praktis untuk memisahkan nilai equity
(atau harga saham) ke dalam nilai assets-in-place dan growth opportunities.
Pengembangan lebih lanjut dari model ini tampak dalam buku Principles of Corporate
Finance (Brealey dan Myers). Nilai dari harga satu saham perusahaan Ps dan nilai
saham yang berasal dari assets-in-place (Pa) diperoleh dari formula:
Pa = EPS/Ks
Earnings-per-share (EPS) dinilai dalam konteks perpetuity di mana diasumsikan
menghasilkan nilai assets-in-place perusahaan. Arus kas ini didiskonto pada tingkat Ks
yang dihitung dengan menggunakan CAPM (menggunakan equity beta perusahaan).
Pendekatan ini tentu saja mengabaikan pemikiran dari Myers and Turnbull di mana
equity beta perusahaan tidak tepat digunakan untuk tujuan ini.
Komponen nilai equity (atau nilai saham) perusahaan yang berasal dari growth
opportunities, Pg, dihitung dari :
Pg = Ps – Pa
Baik Kester dan Brealey and Myers menggunakan model untuk menunjukkan growth
opportunities yang membentuk bagian terbesar (seringkali di atas 50%) dari sebagian
besar nilai saham perusahaan-perusahaan.
Danbolt, Hirst dan Jones (2002) mencoba menggunakan model Kester dan Brealey dan
Myers di atas terhadap sample 278 perusahaan besar di Inggris untuk tahun 1987 –
1995 dan mendapatkan bahwa pengujian atas model tersebut memberikan keraguan
terhadap kredibilitas hasil yang diperoleh dan validitas dari model.
Miles (1986) mencoba menguji dampak dari growth options terhadap beta perusahaan.
Dengan menggunakan teori CAPM dan Black-Scholes option theory, Miles membangun
10. www.futurumcorfinan.com
Page 10
model teoritis yang mengkaitkan beta saham dengan beta assets-in-place. Namun
Miles tidak mencoba menerapkan model tersebut terhadap data-data aktual
perusahaan. Memang didapatkan bahwa akan sulit untuk menguji model tersebut
karena model tersebut memerlukan nilai numerik untuk elastisitas ekspektasi dan
variabel-variabel lainnya yang tidak dapat diamati secara langsung. Angka-angka yang
digunakan dalam tabel mereka hanya menunjukkan hubungan antara kedua beta secara
ilustratif daripada secara empiris.
Paper oleh Ben-Horim dan Callen (1989) merekomendasikan penggunaan Tobin’s q
untuk mengestimasi future growth opportunities. Mereka menggunakan dividend
discount model terhadap perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang besar. Namun
demikian, Ben-Horim dan Callen tidak menggunakan asset-pricing model dan hanya
mengukur cost of equity capital yang didefinisikan sebagai return saham yang
diharapkan oleh investor.
Paper Pindyck (1988) mewakili sejumlah paper yang menawarkan solusi matematika
terhadap model spesifik dari perusahaan. Model Pyndick mencakup fungsi permintaan
stochastic untuk produt perusahaan dan juga fungsi biaya. Khusus pernyataannya :
”Thus an implication of the model is that for many firms, the fraction of market value
attributable to the value of capital in place should be one-half or less” (p.979).
Walaupun model Pindyck (1988) dapat menjelaskan bahwa real asset perusahaan
diidentifikasi sebagai kapasitas perusahaan dan real options adalah options untuk
menambah “more units of capacity” di masa depan, paper Pindyck sebagian besar
bersifat teoritis dan dan memberikan dukungan empiris yang nyata hanya pada satu
variable dalam modelnya, yaitu product price volatility.
Chung dan Charoenwong (1991) memeriksa dampak dari growth opportunities
perusahaan terhadap resiko tertentu dengan menggunakan Black-Scholes option-pricing
model. Kedua penulis ingin menunjukkan hubungan umum, walaupun model mereka
dapat digunakan pada tingkat perusahaan individu. Sekalipun demikian, Chung dan
Charoenwong menggunakan nilai buku equity untuk mengukur proporsi equity sebagai
cerminan assets-in-place. Ini adalah simplifikasi yang mempunyai masalah. Jika nilai
11. www.futurumcorfinan.com
Page 11
perusahaan sebagian terdiri dari net-present-value (NPV) dari proyek-proyek masa
depan, akan sangat beralasan untuk mengasumsikan bahwa proyek saat ini juga
mempunyai NPV yang positif dan nilai pasar akan melebihi nilai bukunya.
Hubungan teoritis antara Growth Options dan Beta
Kaitan antara beta perusahaan dengan growth opportunitiesnya telah banyak ditemukan
di literature-literatur akademik. Beberapanya adalah sebagai berikut:
Carlson, Fisher dan Giammarino (selanjutnya disebut CFG; 2004, 2006)
memperlihatkan bahwa growth opportunities memiliki leverage secara implicit dan oleh
karena itu, beta growth opportunities akan lebih besar daripada beta assets-in-place.
Dalam bagian ini, kami menyajikan versi yang disederhanakan dan dimodifikasi sedikit
dari hasil yang telah dibuktikan oleh CFG.
Bayangkan adalah perusahaan dengan assets-in-place dengan market value pada
waktu t, denoted At, yang mengikuti proses difusi
di mana
μ adalah expected growth rate of return dari assets-in-place
σ adalah return volatility
zt adalah standard Wiener process
Perusahaan juga mempunyai growth opportunities yang memungkinkan ia menduplikasi
arus kas dari assets-in-place untuk investasi X. Dengan kata lain, perusahaan
mempunyai option atas assets-in-place. Misalkan Ct menunjukkan nilai growth
opportunities dari perusahaan pada waktu t. Diasumsikan opportunity investasi dapat
dilakukan pada waktu tertentu t+T dan bahwa resiko assets-in-place perusahaan diwakili
oleh returns on tradeable asset, maka nilai growth opportunities dalam pasar yang
frictionless sebagaimana diberikan oleh formula Black-Scholes adalah :
12. www.futurumcorfinan.com
Page 12
Black-Scholes model berlaku untuk European options tetapi dalam hal ini, perusahaan
dapat memilih kapan memutuskan untuk melaksanakan suatu proyek. Timing options ini
merupakan bagian yang penting dari real options. Analisa teoritis dari CFG
13. www.futurumcorfinan.com
Page 13
memperlihatkan bahwa hubungan antara growth options dan resiko memungkinkan
penerapannya dalam memasukkan timing decision.
Data untuk menghitung nilai growth opportunities (call option atas underlying assets-in-
place) diambil dari laporan keuangan perusahaan, di mana data yang tersedia adalah
nilai asset, nilai hutang dan rata-rata tertimbang jangka waktu hutang. Suku bunga
bebas resiko (risk-free rate) digunakan data JIBOR (Jakarta Inter-Bank Offered Rate).
Implied volatilitas diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan metode iterasi dari
Newton-Rhapson. Metode ini sudah digunakan oleh Manester dan Koehler (1982) dan
Cuthberson dan Nitsche (2001) di mana harga awal dari standar deviasi adalah :
Hasil perhitungan standar deviasi awal di atas kemudian dilanjutkan dengan proses
iterasi dengan persamaan :
Iterasi ini dilakukan berulang-ulang sampai didapat harga standar deviasi σ yang stabil.
Namun pekerjaan ini dengan mudah diselesaikan dengan menggunakan tools Solver
dari software Excel.
Misalkan menunjukkan beta assets-in-place pada waktu t dan demikian juga
menunjukkan beta growth opportunities perusahaan pada waktu t sehingga dapat
ditunjukkan hubungannya :
14. www.futurumcorfinan.com
Page 14
Juga diketahui bahwa dGt/dAt = N(d1) sehingga dihasilkan . Intuisi ini
sederhana : growth opportunities perusahaan adalah opsi atas assets-in-place dan
karena option ini mempunyai leverage secara implisit maka beta growth opportunities
lebih besar daripada beta assets-in-place.
Berk, Green dan Naik (2004) menunjukkan bahwa dalam konteks penilaian new
ventures, keputusan untuk melanjutkan suatu proyek seringkali tergantung pada hasil
dari systematic uncertainty. Compound option atas systematic uncertainty ini
memberikan leverage secara implisit atas growth opportunities sehingga dengan
demikian, ia memberikan resiko sistematis yang lebih tinggi daripada underlying assets-
in-place. Mekanisme teoritis yang berbeda diajukan oleh Berk, Green dan Naik (1999) di
mana mereka berargumentasi bahwa dengan expected cash flows yang konstan,
perusahaan – perusahaan cenderung untuk menerima proyek-proyek dengan tingkat
resiko yang rendah dan menolak proyek-proyek dengan tingkat resiko tinggi. Dengan
demikian, assets-in-place cenderung memiliki tingkat resiko yang lebih rendah
dibandingkan dengan growth opportunities perusahaan.
Alasan alternative untuk perbedaan beta growth opportunities dan beta assets-in-place
juga dibicarakan oleh Campbell dan Mei (1993), dan Dechow, Sloan dan Soliman
(2004). Campbell dan Mei (1999) menunjukkan secara empiris bahwa beta sebagian
besar ditentukan atau berkaitan dengan common variation in expected returns. Karena
arus kas dari growth opportunities cenderung datang dari periode yang lebih jauh ke
masa depan dari pada arus kas yang dihasilkan oleh assets-in-place, Dechow, Sloan
dan Soliman (2004) berargumentasi bahwa dampak dari common variation in expected
returns lebih besar untuk perusahaan-perusahaan dengan growth opportunities yang
lebih tinggi. Dengan demikian, kenaikan tingkat bunga, misalnya, tidak hanya
mengakibatkan jatuhnya nilai portofolio pasar, tapi juga mungkin mengakibatkan nilai
growth opportunities turun lebih besar daripada penurunan nilai assets-in-place, yang
berimplikasi covariation yang lebih tinggi antara market returns dan assets dengan
durasi yang lebih panjang (sehingga memiliki beta yang lebih tinggi). Dengan
menggunakan alur berpikir yang sama, Cornell (1999) memberikan argumentasi bahwa
beta perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri farmasi misalnya Amgen akan
15. www.futurumcorfinan.com
Page 15
terlalu besar untuk dapat dijelaskan oleh resiko sistematis yang ada pada arus kas
mereka.
Dalam kerangka empiris yang dijelaskan di bawah ini, kami tidak memperdulikan
sumber perbedaan antara beta growth opportunities dan beta assets-in-place. Implikasi
dari pengetahuan bahwa βG
> βA
for capital budgeting pada suatu perusahaan,
misalnya Amgen, adalah bahwa resiko sistematis suatu proyek R&D lebih besar pada
awal-awal dari life-cyle-nya. Tujuan kami adalah untuk menunjukkan dukungan
kuantitatif terhadap hipotesa ini dan memberikan petunjuk praktis untuk memilih tingkat
diskonto.
Kerangka pemikiran
Dekomposisi Growth Options atas Beta
Untuk mengkuantifikasi dampak growth opportunities perusahaan atas asset beta
perusahaan, pertama-tama dilakukan pemisahan/dekomposisi nilai perusahaan i pada
waktu t ke dalam dua komponen, value of assets-in-place, Ai,t, dan nilai sekarang dari
growth opportunities, Gi,t :
Vi,t = Ai,t + Gi,t
Asset beta perusahaan adalah weighted-average dari beta assets-in-place dan beta
growth opportunities:
Untuk mengoperasionalkan dekomposisi ini, perlu dibuat dua asumsi penting.
Pertama, kami mengasumsikan bahwa rasio nilai assets-in-place terhadap total nilai
perusahaan, Ai,t/ Vi,t, adalah diwakili oleh rasio (nilai buku utang jangka panjang
ditambah nilai buku common equity) terhadap (nilai buku utang jangka panjang
ditambah market value equity) perusahaan i pada waktu t.
16. www.futurumcorfinan.com
Page 16
Kedua, untuk memisahkan beta assets-in-place dengan beta growth opportunities, kami
mengasumsikan bahwa beta-beta ini adalah sama untuk semua perusahaan dalam
industri yang sama pada waktu kapanpun. Asumsi ini berimplikasi bahwa variasi dari
beta perusahaan dalam suatu industri pada waktu kapanpun ditentukan oleh variasi
proporsi nilai assets-in-place terhadap total nilai perusahaan. Dengan demikian,
dimungkinkan bahwa beta assets-in-place dan growth opportunities dalam suatu industri
berbeda-beda sepanjang waktu tetapi kami mengasumsikan bahwa beta-beta ini tidak
berbeda-beda antar perusahaan dalam suatu industri pada waktu tertentu. Walaupun
terdapat alasan yang baik untuk meyakini bahwa terhadap variasi beta assets-in-place
dan growth opportunites dalam industri (misalnya perusahaan-perusahaan dalam suatu
industri mungkin saja dalam tahap-tahap yang berbeda dalam life-cycle mereka), kami
memperkirakan bahwa variasi ini relatif kecil sehingga biaya yang timbul dari asumsi ini
kecil dibandingkan manfaat yang diperoleh dengan mengurangi estimation error melalui
penggunaan rata-rata. Pengelompokkan industri mengikuti klasifikasi industri yang ada
di Bursa Efek Indonesia.
Dengan dua asumsi di atas, maka kami bisa memperoleh hubungan sebagai berikut:
untuk semua peruahaan i pada industri tertentu pada waktu t.
β i,t adalah unlevered beta perusahaan yang diperoleh dengan :
(i) menghitung equity beta perusahaan berdasarkan market model satu faktor
dengan lima tahun window period (minimum tiga tahun kalau data tidak
memadai) dan dimuktahirkan secara tahunan; dan
(ii) unlevering equity beta menggunakan formula :
17. www.futurumcorfinan.com
Page 17
di mana
adalah equity beta perusahaan i pada waktu t
Tc adalah rata-rata tarif pajak perusahaan
Di,t/Ei,t adalah rasio hutang jangka panjang terhadap nilai pasar ekuitas perusahaan
untuk perusahaan i pada waktu t.
Salah satu cara untuk mengestimasi dan dilakukan dengan regresi
cross-sectional untuk menentukan intercept dan slope dari persamaan ini :
Di mana Єi,t adalah measurement error dalam estimasi β i,t. Namun demikian, kami tidak
melakukan regresi ini. Hal ini karena regressor yang kami pakai yaitu Ai,t/ Vi,t diwakili oleh
book-to-market ratio yang merupakan ukuran yang noise dari nilai assets-in-place
terhadap total nilai perusahaan.
Perumusan Hipotesis
Untuk semua periode dan semua industri, perusahaan-perusahaan dengan growth
opportunities di atas rata-rata (sebagaimana ditunjukkan oleh rasio market-to-book yang
tinggi) mempunyai unlevered beta perusahaan yang lebih tinggi daripada perusahaan-
perusahaan dengan growth opportunities yang di bawah rata-rata (rasio market-to-book
yang rendah). Atau dengan kata lain, secara empiris, dapat ditunjukkan bahwa beta
growth opportunities lebih besar daripada beta assets-in-place.
.
Untuk semua periode dan semua industri, beta growth opportunities lebih besar
daripada beta assets-in-place.
18. www.futurumcorfinan.com
Page 18
Metodologi penelitian
Dari hasil penelitian empiris akan dihasilkan tiga tabel yaitu:
1.Tabel rata-rata beta perusahaan
Untuk menghitung rata-rata beta perusahaan per industri, langkah-langkah yang
dilakukan adalah:
1. Equity beta dari market model satu faktor yang dihitung secara rolling basis
menggunakan data lima tahun terakhir dan kemudian di-unlevered
menggunakan leverage ratio perusahaan.
2. Pada akhir setiap tahun, perusahaan-perusahaan pada setiap industri disortasi
berdasarkan market-to-book ratio mereka (dihitung rasio market equity dan
hutang terhadap book equity dan hutang).
3. Kemudian dihitung rata-rata unlevered beta secara keseluruhan (Q2), unlevered
beta untuk rata-rata 25th
percentile market-to-book (Q1) dan 75th
percentile
market-to-book (Q3) pada setiap industri
Rata-rata beta dihitung untuk tiga periode : lima tahun (2002-2006), sepuluh tahun (1998
– 2006), dan seluruh periode pengamatan (1998 – 2006).
Periode sesudah 1997 dipilih dengan alasan untuk menghindari beta perusahaan yang
berubah akibat krisis moneter. Dalam hal ini diutamakan stabilitas beta perusahaan
(catatan : untuk ini diperlukan penelitian apakah memang beta perusahaan berubah
secara signifikan sebelum, selama dan sesudah krisis moneter 1997).
Tabel ini untuk menguji secara empiris atas hipotesa I bahwa :
Untuk semua periode dan semua industri, perusahaan-perusahaan dengan growth
opportunities di atas rata-rata (sebagaimana ditunjukkan oleh rasio market-to-book yang
tinggi) mempunyai unlevered beta perusahaan yang lebih tinggi daripada perusahaan-
perusahaan dengan growth opportunities yang di bawah rata-rata (rasio market-to-book
yang rendah). Atau dengan kata lain, secara empiris, dapat ditunjukkan bahwa beta
growth opportunities lebih besar daripada beta assets-in-place (lihat Tabel 2).
19. www.futurumcorfinan.com
Page 19
Apabila hipotesa ini dapat dibuktikan secara empiris maka, implikasinya terhadap capital
budgeting, beta growth opportunities menjadi penting karena akan berdampak pada
perhitungan cost of capital (catatan : dalam penelitian empiris ini, tidak dipertimbangkan
permasalah penentuan market equity risk premium, atau dengan kata lain, market equity
risk premium diasumsikan given).
Hasil penelitian empiris akan dibandingkan apakah konsisten dengan temuan empiris
dalam penelitian yang dilakukan oleh Carlson, Fisher dan Giammarino (2004) dan Fama
dan French (2002). Fama dan French (2002) menemukan adanya korelasi cross-
sectional yang lemah antara equity beta dengan equity book-to-market ratio. Perlu
dicatat terdapat dua perbedaan antara penelitian empiris ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fama dan French, di mana
(a) Fama dan French menguji kaitan antara equity beta dengan equity book-to-
market ratio sedangkan kami menguji kaitan antara unlevered beta dan rasio
book-to-market perusahaan. Unlevering akan menghasilkan hubungan negatif
yang lebih kuat antara unlevered beta dan rasio book-to-market perusahaan
karena market leverage dan book-to-market berkorelasi secara negative.
(b) Fama dan French menguji korelasi antara equity beta dengan ratio equity book-
to-market tanpa mengendalikan industrinya, sedangkan penelitian empiris ini
disortasi berdasarkan industri. Kami menghitung korelasi cross-sectional antara
asset beta perusahaan dan rasio book-to-market perusahaan yang disortasi
berdasarkan industri setiap tahun.
2.Tabel rata-rata asset dan growth beta dan perbedaannya
Tahap selanjutnya, dihitung rata-rata asset dan growth beta (dan perbedaan di antara
keduanya) untuk seluruh industri. Beta ini dihitung dengan cara:
Rata-rata asset dan growth beta dihitung setiap tahun dari beta perusahaan di atas dan
market-to-book ratio perusahaan dengan menggunakan persamaan Black-Scholes
option pricing.
20. www.futurumcorfinan.com
Page 20
Rata-rata ini disajikan untuk tiga periode : lima tahun (2002-2006), sepuluh tahun (1998
– 2006), dan seluruh periode pengamatan (1998 – 2006). Perbedaan yang timbul
antara asset beta dengan growth beta akan diuji secara statistik untuk menentukan
apakah secara statistik signifikan pada level 95%.
Tabel ini untuk menguji secara empiris atas hipotesa I bahwa :
Untuk semua periode dan semua industri, beta growth opportunities lebih besar
daripada beta assets-in-place.
3.Tabel operating leverage dengan asset growth beta
Sesudah itu, juga akan dihitung perbedaan asset beta dengan growth beta untuk
seluruh industri dikaitkan dengan operating leverage. Operating leverage diwakilkan
dengan net margin yang dihitung sebagai :
Net margin = EBITDA dibagi Net Sales
Rata-rata asset dan growth beta dihitung setiap tahun dari beta perusahaan di atas dan
market-to-book ratio perusahaan dengan menggunakan persamaan Black-Scholes
option pricing.
Perbedaan yang ada akan dipisahkan antara perusahaan-perusahaan pada industri
yang sama dengan operating leverage yang tinggi dan rendah.
Rata-rata ini disajikan untuk tiga periode : lima tahun (2002-2006), sepuluh tahun (1998
– 2006), dan seluruh periode pengamatan (1998 – 2006).
Tabel III dilakukan untuk memastikan bahwa perbedaan antara perusahaan-perusahaan
dengan growth opportunities yang tinggi dan rendah bukan merupakan perwujudan dari
perbedaan dalam operating leverage (lihat robustness check bagian (3) di bawah).
21. www.futurumcorfinan.com
Page 21
Robustness check
Sebagaimana diutarakan di atas, kami menggunakan rasio book-to-market sebagai
proxy untuk rasio nilai assets-in-place terhadap nilai perusahaan Ai,t/ Vi,t. Kami juga
menggunakan proxy yang lain untuk nilai assets-in-place. Misalnya, kami
mengasumsikan bahwa assets-in-place menghasilkan tingkat arus kas yang perpetual
sehingga nilai assets-in-place adalah Ai,t = Ci,t / ri di mana Ci,t adalah arus kas perusahaan
i pada waktu t dan ri adalah tingkat diskonto perusahaan. Di samping arus kas, kami
juga menggunakan earnings dalam pembilang. Kami juga mempertimbangkan
kemungkinan bahwa nilai assets-in-place bisa melebihi total nilai perusahaan sehingga
nilai growth opportunities adalah negatif. Kemungkinan ini adalah beralasan jika,
misalnya, arus kas perusahaan diharapkan turun sepanjang waktu (contohnya,
perusahaan – perusahaan pada sunset industri, seperti rokok); namun demikian,
kemungkinan ini tidak beralasan jika growth opportunities menggambarkan option to
expand di mana lower level nilai growth opportunities adalah nol. Dengan alasan ini
maka kami melakukan analisa tanpa harus memeriksa apakah nilai growth opportunities
bisa negatif.
Karena rasio book-to-market dan proxi-proxi lain yang digunakan, adalah noisy measure
dari Ai,t/ Vi,t, masalah errors-in-variables menjadi penting karena dapat mengakibatkan
downward bias pada slope koefisien dalam regresi. Untuk memastikan apakah hal ini
terjadi maka kami akan melakukan dua robustness check:
1) Kami akan mengulang penelitian kami dengan tingkat agregasi yang lebih tinggi
di mana 2, 4 dan 8 portofolio akan dibuat dengna menggunakan semua
perusahaan yang ada di setiap industri. Kami akan menjalankan regresi atas
persamaan Black-Scholes option pricing untuk latihan ini dan menghitung slope
koeffisien (perbedaan antara beta asset dan growth opportunities) dan melihat
apakah perbedaan tersebut akan signifikan secara statistik antara rata-rata slope
koeffisien antara dua portofolio, 4 portofolio, 8 portofolio dan seluruh perusahaan
untuk semua industri dan tahun dalam sample period.
2) Kami akan menggunakan instrumental variables (IV) regression. Pendekatan
standar untuk mengatasi kesalahan pengukuran adalah mencari instrumental
variables di mana kesalahan pengukurannya tidak memiliki korelasi dnegan
22. www.futurumcorfinan.com
Page 22
kesalahan pengukuran dalam proxy yang digunakan (book-to-market). Slope
koeffisien dari regresi IV adalah estimator konsisten untuk true slope dan
membantu dalam mengelimasi bias pelemahan (attenuation bias). Kesulitannya,
tentu saja, dalam memilih instrumen yang tepat. Kami bereksperimen dengan
tiga instrumen yang berbeda, yaitu earnings-to-price (E/P), cash flow-to-price
ratio (CF/P) dan dividend yield (D/P). Untuk setiap instrumen, kami menjalankan
standard OLS regression dan IV regression untuk setiap tahun dan setiap
industri (menggunakan semua perusahaan dalam setiap industri). Kami
melakukan test spesifikasi Hausman untuk masing-masing regresi untuk menguji
hipotesa null bahwa kesalahan regresi tidak berkorelasi dengan regressor.
3) Sebagian besar buku-buku teks keuangan menganjurkan bahwa pada saat
memilih perusahaan-perusahaan comparables untuk mengestimasi beta proyek,
manajer sebaiknya menggunakan perusahaan-perusahaan dengan operating
leverage yang sama (misalnya Brealey dan Myers, 2003). Karena operating
leverage dan rasio market-to-book berkorelasi, maka dapat diperkirakan bahwa
perbedaan antara perusahaan dengan growth opportunities yang tinggi dan
rendah merupakan perwujudan perbedaan dalam operating leverage. Untuk
menguji ini, kami melakukan sortasi dua kali secara independen dalam suatu
industri ke dalam rasio market-to-book yang tinggi dan rendah dan operating
leverage yang tinggi dan rendah. Operating leverage tidak dapat diukur secara
langsung, tetapi beralasan untuk diwakili dengan net margins sebagai rasio
EBITDA/Net Sales. Kami menghitung beta assets-in-place dan growth
opportunities menggunakan persamaan Black-Scholes option pricing secara
terpisah untuk perusahaan-perusahaan dengan operating leverage tinggi dan
rendah. Perbedaan ini disajikan di Tabel III.
~~~~~~ ####### ~~~~~~
23. www.futurumcorfinan.com
Page 23
Daftar Bacaan
Ang, A. and J. Liu, 2004, “How to Discount Cashflows with Time-Varying Expected
Returns,” Journal of Finance 59, 2745-2783.
Ben-Horim, M., and Callen, J.L., (1989), ‘The Cost of Capital, Macaulay's Duration, and
Tobin's q’, Journal of Financial Research, Vol. XII, No. 2, Summer, pp. 143-156.
Berk, J., R. Green, and V. Naik, 1999, “Optimal Investment, Growth Options and
Security Returns,” Journal of Finance 54 , 1553-1608.
Berk, J., R. Green, and V. Naik, 2004, “Valuation and Return Dynamics of New
Ventures,” Review of Financial Studies 17, 1-35.
Brealey, R.A. and S.C. Myers, 2003, Principles of Corporate Finance, New York, NY,
McGraw-Hill Irwin.
Brennan, M.J. and Y. Xia, 2006, “Risk and Valuation under an Intertemporal Capital
Asset Pricing Model,” Journal of Business 79, 1-35.
Campbell, J.Y. and J. Mei, 1993, “Where do Betas Come From? Asset Price Dynamics
and the Sources of Systematic Risk,” Review of Financial Studies 6, 567-592.
Carlson, M., A. Fisher, and R. Giammarino, 2004, “Corporate Investment and Asset
Price Dynamics: Implications for the Cross-section of Returns,” Journal of Finance
59, 2577-2603.
Carlson, M., A. Fisher, and R. Giammarino, 2006, “Corporate Investment and Asset
Price Dynamics: Implications for SEO Event Studies and Long-Run Performance,"
Journal of Finance 61, 1009-1034.
Chung, K.H., and Charoenwong, C., (1991), ‘Investment Options, Assets in Place, and
the Risk of Stocks’, Financial Management, Vol. 20, No. 3, Autumn, pp. 21-33.
Cornell, B., 1999, “Risk, Duration, and Capital Budgeting: New Evidence on Some Old
Questions,” Journal of Business 72, 183-200.
Danbolt, J., Hirst, I., and Jones, E., (2002), ‘Measuring Growth Opportunities’, Applied
Financial Economics, Vol. 12, No. 3, pp. 203-212.
Dechow, P.M., R.G. Sloan, and M.T. Soliman, 2004, “Implied Equity Duration: A New
Measure of Equity Risk,” Review of Accounting Studies 9, 197-228.
Fama, E.F. and K.R. French, 1992, “The Cross-Section of Expected Stock Returns,”
Journal of Finance 47, 427-465.
Fama, E.F. and K.R. French, 1997, “Industry Costs of Equity,” Journal of Financial
Economics 43, 153-193.
24. www.futurumcorfinan.com
Page 24
Graham, J.R. and C.R. Harvey, 2001, “The Theory and Practice of Corporate Finance:
Evidence from the Field,” Journal of Financial Economics 60, 187-243.
Jagannathan, R. and I. Meier, 2002, “Do We Need CAPM for Capital Budgeting?”
Financial Management 31, 55-77.
Kaplan, P.D. and J.D. Peterson, 1998, “Full-information Industry Betas,” Financial
Management 27, 85-94.
Kester, W.C., (1984), ‘Today's Options for Tomorrow's Growth’, Harvard Business
Review, March/April, pp. 153-160.
Miles, J.A., (1986), ‘Growth Options and the Real Determinants of Systematic Risk’,
Journal of Business Finance and Accounting, Vol. 13, No. 1, Spring, pp. 95-115.
Letta, M. and J.A. Wachter, 2005, “Why is Long-horizon Equity Less Risky? A Duration-
based Explanation of the Value Premium,” Journal of Finance.
Miller, M.H., and Modigliani, F., (1961). ‘Dividend Policy, Growth and the Valuation of
Shares’, Journal of Business, 34, October, 411-433.
Myers, S.C., and Turnbull, S.M., (1977), ‘Capital Budgeting and the Capital Asset Pricing
Model: Good News and Bad News’, Journal of Finance, Vol. XXXII, No. 2, May,
pp. 321-332.
Pindyck, R.S., (1988), ‘Irreversible Investment, Capacity Choice, and the Value of the
Firm’, American Economic Review, Vol. 78, December, pp. 969-985.