1. Penelitian ini membahas analisis financial distress pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan mempertimbangkan variabel-variabel kunci yang berhubungan. Tujuannya adalah mengungkapkan fenomena kesulitan keuangan BUMN secara komprehensif.
2. Terdapat celah atau kelemahan pada penelitian-penelitian sebelumnya dalam mengukur variabel financial distress, seperti penggunaan skala pengukuran yang terlalu sederh
1. 1
CHAPTER I
INTRODUCTION
1.1 Background of the Study
Penelitian ini difokuskan pada analisis financial distress Badan Usaha milik
negara atau SOE, dengan memperhatikan sejumlah variabel kunci yang terkait.
Penelitian ini sebagai salah satu topik yang penting terutama dalam mengungkapkan
secara komprehensif fenomena kesulitan keuangan BUMN yang menjadi pusat
perhatian selama ini, karena belum mampu memenuhi harapan sebagaimana
diamanatkan dalam undang-undang Badan Usaha Milik Negara.
Badan Usaha Milik Negara seperti tercatat pada pasal 9 undang-undang
nomor 19 tahun 2003 terdiri dari dua bentuk perusahaan, yaitu Persero dan
Perusahaan Umum. BUMN dalam bentuk Persero, maksud dan tujuannya adalah: (a)
menyediakan barang/jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, dan (b)
mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Sedangkan BUMN
dalam bentuk Perusahaan Umum, maksud dan tujuannya adalah: (a)
menyelenggarakan usaha untuk kemanfaatan umum berupa menyediakan
barang/jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat
berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat, dan (b) untuk mendukung
tujuang tersebut, maka dengan persetujuan Menteri BUMN, Perusahaan Umum
dapat melakukan penyertaan modal pada badan usaha lain.
Fenomena yang terjadi selama ini, yaitu diantara 115 BUMN yang dilaporkan
pada tahun 2017 sebagaimana lampiran-9, terdapat tiga kelompok perusahaan yang
berpotensi mengalami financial distress, yaitu: (a) perusahaan yang menggantungkan
kebutuhan keuangannya pada subsidi pemerintah sebagaimana lampiran-1, sebanyak
9 BUMN untuk 8 sektor layanan; (b) perusahaan yang menerima tambahan
penyertaan modal negara atau PMN sebagaimana lampiran-2, sebanyak 27 BUMN;
dan (c) perusahaan yang mengalami kerugian sampai akhir semester pertama tahun
2017 sebagaimana lampiran 3, sebanyak 24 BUMN.
Berdasarkan potensi terjadinya financial distress yang semakin serius, maka
penelitian financial distress ini penting dilakukan dan diharapkan dapat memberi
masukan terhadap stakeholder utama BUMN terhadap variabel kunci yang harus
2. 2
diperhatikan dalam menyiapkan strategi dan kebijakan korporasi. Penelitian
financial distress ini juga dapat memberikan sinyal lebih dini sejak penyiapan
perencanaan taktis operasional dan perencanaan strategis, sehingga dalam
pelaksanaannya dapat diantisipasi bila terjadi perubahan terhadap variabel kunci
yang mempengaruhi financial distress tersebut.
Financial distress sebagai tantangan bagi manajemen BUMN untuk
mengatasinya agar tujuan BUMN dimaksud diatas dapat dicapai. Untuk mencapai
tingkat profitabilitas, meningkat nilai perusahaan dan menyelenggarakan perusahaan
berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat, secara praktis operasional
seharusnya dapat direalisasikan. BUMN memiliki opportunity meningkatkan
pelayanan sekaligus memupuk keuntungan, dan didukung oleh potensi dalam hal
penguasaan sumberdaya alam, dukungan pemerintah, skala usaha yang ekonomis,
pangsa pasar yang luas, berpeluang membina kemitraan antara BUMN yang dapat
meningkatkan efisiensi, memiliki sumber daya manusia dalam jumlah dan kualitas
yang mamadai, memiliki kemampuan mengadopsi teknologi dan penguasaan sistim
informasi.
Berdasarkan fenomena financial distress tersebut, maka pada penelitian ini
terdapat research gaop , yaitu (a) financial distress BUMN sebagai practical gap dan
(b) penyempurnaan pengukuran financial distress sebagai conseptual gap. Hal ini
sejalan dengan perumusan masalah seperti digambarkan pada lampiran-7. Practical
gap pada penelitian ini, yaitu celah atau selisih antara kondisi operasional yang
seharusnya terjadi dengan realisasi operasional yang dicapai oleh BUMN (das sollen
- das sein). Kondisi operasional yang seharusnya terjadi dimaksudkan bahwa BUMN
memiliki prospek bisnis yang kuat, sehingga terbuka peluang atau opportunity
memperoleh tingkat profitabilitas yang layak dan memiliki kemampuan untuk
memenuhi dan mengelola keuangan secara mandiri. Sedangkan realisasi operasional
yang dicapai BUMN tersebut, menunjukkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
pendanaan operasi dan investasi, karena pengelolaan perusahaan yang belum
optimal, sehingga berpotensi mengalami financial distress.
Berkaitan dengan fenomena dan kesenjangan atau gap dimaksud diatas, maka
proses selanjutnya pada penelitian ini adalah melakukan perumusan masalah dengan
memperhatikan variabel kunci yang mempengaruhi tingkat financial distress
3. 3
BUMN, sedangkan seleksi terhadap variabel tersebut dilakukan berdasarkan kondisi
empiris perusahaan yang didukung referensi teori dan penelitian sebelumnya.
Referensi yang digunakan pada penelitian ini menjadi dasar dalam mengajukan
hipotesis, pengukuran variabel dan menyiapkan model analisis untuk menguji
hipotesis.
Pengukuran variabel dependent financial distress masih terkendala sebagai
conceptual gap, karena penelitian sebelumnya menggunakan pengukuran yang relatif
sederhana dibanding fenomena financial distress BUMN yang relatif sangat
kompleks. Pengukuran financial distress pada penelitian sebelumnya sebagaimana
lampiran-12, yaitu menggunakan data kualitatif dengan skala nominal yang secara
statistik diakui sebagai skala paling sederhana atau tingkatannya paling rendah dalam
suatu penelitian, menyusul skala ordinal, skala interval dan yang paling tinggi
tingkatannya adalah skala rasio (Ilahi, 2016 dan Nurizzati, 2012). Hal ini terbukti
karena dengan skala nominal yang menggunakan kriteria 0 dan 1 atau 1 dan 2 yang
mewakili kelompok perusahaan yang mengalami financial distress dan kelompok
perusahaan sehat, adalah kurang rasional karena level kondisi kesulitan keuangan
atau financial distress perusahaan tersebut bervariasi mulai dari skala rendah sampai
dengan skala yang tinggi, sehingga tidak mungkin di generalisir dalam besaran nilai
0 atau 1 untuk keseluruhan perusahaan pada kelompok yang mengalami financial
distress.
Pengukuran variabel financial distress penelitian sebelumnya sebagaimana
lampiran-11 cenderung sama seperti dimaksud diatas, tetapi terjadi perbedaan dalam
penentuan batasan atau definsi kelompok perusahaan yang mengalami financial
distress, seperti berikut ini: (a) Altman, Marco dan Varetto (1994) dan Yang, Platt
dan Platt (1999), menggunakan model neural network untuk membedakan
perusahaan yang gagal dan tidak gagal; (b) Lau (1987) dan Hill et al. (1996),
menggunakan indikator perusahaan yang mengalami financial distress, yaitu adanya
pemberhentian tenaga kerja atau menghilangkan pembayaran dividen; (c) Asquith,
Gertner dan Scharfstein (1991), menggunakan indicator interest coverage ratio untuk
mendefinisikan perusahaan yang mengalami financial distress; (d) Whitaker (1999),
mengukur financial distress dengan menggunakan indikator adanya arus kas yang
lebih kecil dari utang jangka panjang yang jatuh tempo saat ini; dan (e) John, Lang
4. 4
dan Netter (1992), mendefinisikan financial distress sebagai perubahan harga
ekuitas, (Gamayuni, 2009).
Disamping perbedaan dalam penentuan batasan atau difinisi terhadap
perusahaan yang mengalami financial distress, penelitian sebelumnya juga
cenderung bervariasi dalam penggunaan model analisis dan pemilihan variabel
independent sebagaimana sejarah singkat kajian financial distress pada lampiran-11.
Analisis financial distress sejak pertama kali dikemukakan oleh Beaver
(1966) sampai saat ini secara umum menggunakan tiga model analisis (Gamayuni,
2009), yaitu: (a) Model analisis multiple discriminant analysis atau MDA,
menggunakan pengukuran financial distress dengan data nominal kategori 1 dan 2
pada penelitian sebelumnya yang diawali oleh Beaver (1966), Edward Altman
(1968), Gordon L.V. Springate (1978), Fulmer Model (US, 1984), dan Ca-score
(1987). Model analisis diskriminan ini ditandai dengan ciri khusus, yaitu data
variabel dependent harus berupa data kategori atau nominal dan disyaratkan variabel
independent berdistribusi normal. Jika data kategorikal hanya 2 kategori disebut
“Two-Groups Discriminant Analysis” dan apabila lebih dari 2 kategori disebut
“Multiple Discriminant Analysis”. (b) Model analisis regresi logistic, menggunakan
pengukuran financial distress dengan data nominal dikotomi 0 atau 1 pada penelitin
Ohlson (1980), Thomaidis et al. (1998), Platt and Platt (2002), Almilia dan Kristiaji
(2003), Angelina (2004), Berg (2005), Brahmana (2005), dan Hsieh et al. (2006).
Dalam model logistic ini, variabel dependent menggunakan data skala dikotomi atau
skala nominal dengan dua kategori, dan variabel independent tidak disyaratkan
berdistribusi normal. (c) Model analisis regresi linear, menggunakan pengukuran
financia distress berdasarkan score penelitian sebelumnya yang disebutkan diatas,
seperti score Altman (1968), score Springate (1978), score Fulmer Model (1984),
dan CA-score (1987), pada penelitian seperti: Wilopo (2001), Adnan dan Taufik
(2001), Aryati dan Manao (2002), dan lainnya seperti dikemukakan pada bab 2
penelitian sebelumnya.
Dari ketiga model analisis pada penelitian sebelumnya dimaksud diatas,
secara konseptual terdapat celah atau gap karena relatif sederhana dalam melakukan
pengukuran variabel financial distress sebagaimana lampiran-12 dan belum ada
kesepakatan dalam menentukan batasan atau difinisi perusahaan yang mengalami
5. 5
financial distress sebagaimana lampiran-11, sehingga hasil pengukuran variabel juga
berbeda antara satu penelitian dengan lainnya. Selanjutnya, bila penelitian
sebelumnya memiliki gap atau kelemahan seperti disebutkan diatas, maka penelitian
yang menggunakan pengukuran financial distress berbasis score Altman dan lainnya,
juga berpotensi memiliki gap atau kelemahan yang sama.
Untuk mengisi celah atau gap penelitian sebelumnya sebagaimana dimaksud
diatas dan lampiran-11, maka penelitian ini mengembangkan novelty atau kebaruan
pengukuran financial distress yang berbasis teori marginal sebagaimana
dikemukakan pada sub bab 2.1 dan sub bab 3.3. Selanjtunya, sebagai perbandingan
terhadap penelitian sebelumnya pada lampiran-12, maka penelitian ini menggunakan
model regresi linear berganda yang lebih komprehensif, yaitu disamping
menggunakan variabel independent untuk memprediksi variabel dependent financial
distress, juga dilengkapi dengan variabel intervening dan variabel control.
Variabel independent dipilih dari indikator atau rasio keuangan utama yang
mempengaruhi financial distress, yaitu: pertumbuhan investasi, pertumbuhan
working capital, pertumbuhan retained earning, pertumbuhan earning before intrest
and taxes, pertumbuhan contribution margin, pertumbuhan equity, tingkat efisiensi
dan produktifitas operasi, real activities earning management, dan accruals earning
management. Variabel intervening, dipilih dari cash flow from operating atau CFO
karena memiliki posisi penting yang menunjukkan kemampuan manajemen
perusahaan dalam mengendalikan cash inflow dan cash outflow agar tidak
mengalami financial distress. Variabel control dipilih dari ukuran perusahaan,
leverage, dan government subsidy and eqyuity, untuk mengontrol atau
menghilangkan pengaruhnya dalam model dan kesimpulan hasil penelitian agar tidak
menjadi bias atau salah penafsiran.
Model analisis penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan fenomena yang
diamati, namun diperlukan model pengukuran variabel financial distress yang lebih
realistis sesuai kondisi empiris BUMN. Dan untuk mencapai harapan tersebut, maka
dalam model analisis penelitian ini telah dikembangkan konsep kebaruan atau
novelty pengukuran variabel financial distress dengan pendekatan score marginal.
Pengukuran variabel tersebut menggunakan data skala rasio dari laporan keuangan,
dan formulasinya dikembangkan dari konsep keseimbangan marginal yang telah
6. 6
disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ini, seperti dijelaskan pada bab 2 dan bab
3.
Pengukuran variabel financial distress dengan score marginal dapat mengisi
celah atau gap penelitian sebelumnya yang selama ini hanya menggunakan
pengukuran yang relatif sederhana seperti disebutkan diatas, yaitu pengukuran
financial distress menggunakan kategori 1 dan 2 pada model multiple discriminant
analysis , menggunakan kategori dikotomi 0 dan 1 pada model regresi logistic, dan
menggunakan score yang diperoleh dari penelitian sebelumnya pada model regresi
linear berganda, misalnya, menggunakan pengukuran financial distress berbasis pada
score Altman (1968), score Sprigate (1978), score Fulmer (1984), CA-score (1987),
dan score Plat and Plat (2002).
Dibanding dengan pengukuran financial distress pada penelitian sebelumnya,
maka yang menjadi kekhususan atau originalitas pada pengukuran financial distress
penelitian ini, yaitu: (a) score marginal menggunakan data rasio yang bersumber dari
laporan keuangan, (b) score marginal tidak memisahkan kategori perusahaan sehat
dengan perusahaan yang mengalami financial distress, dan (c) hasil akhir penelitian
menunjukkan prediksi financial distress dengan nilai score marginal maksimum satu
untuk perusahaan dengan kondisi terbaik, mendekati satu bermakna mendekati
optimal, dan seterusnya bila nilai score marginal mendekati nol maka perusahaan
cenderung mengalami financial distress sebagaimana lampiran 6.
Keunggulan pendekatan score marginal ini, yaitu menyempurnakan dan
mengembangkan pengukuran financial distress yang dapat mengisi celah atau gap
yang menjadi kelemahan penelitian sebelumnya, terutama dalam hal: (a) data
kualitatif skala nominal terlalu sederhana dibanding kompleksitas yang dihadapi
perusahaan yang mengalami financial distress, (b) tidak terjadi keseragaman dalam
mendefinisikan atau menentukan batasan sebagai perusahaan yang mengalami
financial distress, (c) model penelitiaan sebelumnya kurang memperhatikan variasi
perusahaan yang mengalami financial distress, tetapi secara umum memberikan nilai
dengan kategori 0 atau 1, (d) penelitian sebelumnya tidak dapat dilakukan bila hanya
satu kelompok perusahaan, karena data variabel dependent tidak bervariasi, misalnya
keseluruhan sampel berasal dari kelompok yang sama yaitu perusahaan yang
mengalami financial distress (semuanya nilai= 0 atau 1), (e) pengukuran dengan
7. 7
score berdasarkan hasil penelitian sebelumnya seperi score Almant dan lainnya
adalah kurang realistis karena data yang digunakan kurang relevan dengan kondisi
bisnis dan insdustri saat ini.
Berdasarkan keunggulan konsep kebaruan atau novelty pengukuran
financial distress berbasis score marginal dimaksud diatas, maka dapat dinyatakan
bahwa penelitian ini dapat memberi kontribusi yang signifikan terhadap
implementasi kajian financial distress pada Badan Usaha Milik Negara. Kajian ini
dapat dimplementasikan dalam hal memberi masukan kepada stakholder utama
perusahaan seperti pemegang saham, manajemen perusahaan, karyawan, konsumen,
supplier, perbankan, praktisi, peneliti, dan pihak lainnya yang berkepentingan
terhadap perusahaan. Hasil penelitian ini dalam bentuk estimasi persamaan regresi
linear berganda yang dapat dijadikan sebagai instrument atau tools dalam proses
pengambilan keputusan BUMN.
Estimasi persamaan regresi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi
score marginal BUMN yang diamati, dengan cara memperhitungkan besaran
koefisien pengaruh masing-masing variabel dengan angka realisasi laporan keuangan
periode terakhir masing-masing BUMN. Hasil perhitungan prediksi score marginal
menunjukkan capaian tingkat financial distress yang dapat disimpulkan, yaitu bila
score marginal (SMg) sama dengan satu, maka perusahaan dalam kondisi optimal
atau terbaik dan tidak mengalami financial distress. Bila score marginal mendekati
satu bermakna bahwa perusahaan mendekat optimal, dan bila score marginal
mendekati nol, maka perusahaan cenderung mengalami financial distress.
Hasil perhitungan prediksi score marginal seperti dimaksud diatas, dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan internal BUMN, terutama dalam hal: (a)
perencanaan korporasi dengan target capaian score marginal tertentu yang semakin
meningat dari waktu ke waktu; (b) menilai keberhasilan manajemen perusahaan
dalam mencapai kinerja score marginal yang diprogramkan; (c) membandingkan
tingkat keberhasila capaian score marginal antara BUMN; (d) sebagai instrument
pengawasan kinerja manajemen BUMN agar lebih fokus pada strategi dan kebijakan
terhadap variable kunci untuk meningkatkan kinerja perusahaan dengan score
marginal yang lebih baik dimsa yang akan dating; dan (e) menjadi standar penilaian
8. 8
perusahaan sebagai perusahaan sehat atau kemungkinan mengalami financial distress
berdasarkan besaran score marginal.
Sedangkan manfaat lainnya dari penelitian ini, yaitu dapat dikembangkan
implementasinya pada konteks yang lebih luas, seperti: (a) BUMN lainnya diluar
penelitian ini, (b) perusahaan yang listed di Bursa Efek, (c) kelompok perusahaan
menurut sektor yang lebih spesifik misalnya sektor manufacture, sektor perbankan,
sektor jasa, dan lainnya, (d) usaha kecil dan menegah, dan (e) koperasi.
Berdasarkan kontribusi kebaruan atau novelty pengukuran financial distress
dimaksud diatas, maka penelitian ini penting dilakukan terutama karena tingkat
urgensi yang lebih spesifik dalam hal: (a) memetakan peringkat capaian score
marginal BUMN yang selama ini masih disubsidi, menerima tambahan penyertaan
modal negara, dan mengalami kerugian, sehingga dapat diketahui tingkat financial
distress masing-masing BUMN dimaksud, (b) memberikan masukan kepada
manajemen BUMN terhadap faktor prioritas yang perlu diperhatikan dalam
meningkatkan score marginal untuk mengatasi financial distress, dan (c) menjadi
acuan bagi manajemen BUMN dalam menyiapkan strategi dan kebijakan terkait
variabel yang mempengaruhi score marginal untuk mengatasi financial distress.
1.2 Motivation of the Study
Sebagai respon terhadap fenomena dan problem kesulitan keuangan yang
dihadapi Badan Usaha Milik Negara, maka penelitian ini termotivasi dalam hal,
yaitu: (a) mempelajari faktor yang berpengaruh terhadap financial distress BUMN,
dan (b) mempelajari dan mengembangkan metode pengukuran financial distress,
sebagai novelty untuk menyempurnakan metode pengukuran financial distress pada
penelitian sebelumnya.
Motivasi mempelajari faktor yang mempengaruhi financial distress
Penelitian ini termotivasi untuk menganalisis pengaruh variabel independent
terhadap variabel dependent financial distress. Pengaruh tersebut akan dianalisis
dengan pendekatan metode langsung dan metode tak langsung. Metode langsung
dilakukan dengan menganalisis pengaruh langsung dari variabel explanatory
terhadap variabel dependent financial distress.
Variabel explanatory terdiri dari kelompok variabel independent dan
kelompok variabel control yang meiliki fungsi yaitu variabel independent sebagai
9. 9
variabel kunci yang dianalisis dan diuji pengaruhnya, karena variabel independent
ini diprediksi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress.
Sedangkan kelompok variabel control berfungsi sebagai control untuk
mengantisipasi terjadinya bias dalam analisis bila variabel ini tidak masuk dalam
model analisis regresi. Dengan adanya variabel ini, maka hasil analisis yang
menunjukkan hubungan antara variabel independent dengan fianancial distress lebih
realistis karena variabel lainnya sebagai variabel kontrol yang mempengaruhi
financial distress tersebut diperhitungkan dalam analisis regresi.
Metode pengaruh tidak langsung dilakukan dengan menganlisis pengaruh
variabel explanatory terhadap variabel intervening cash flow from operating yang
berdampak terhadap variabel dependent financial distress. Dalam analisi ini
digunakan dua model analisis yaitu model pertama menganalisis pengaruh variabel
explanatory terhadap variabel intervening cash flow operating, kemudian model
kedua menganalisis pengaruh variabel intervening cash flow operating terhadap
variabel dependent financial distress. Selanjutnya dilakukan uji dengan metode
analisis jalur untuk membuktikan bahwa variabel cash flow operating adalah sebagai
variabel intervening dalam hubungan antara variabel independent dengan financial
distress. Jika hasil uji signifikan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel independent
berpengaruh signifikan terhadap cash flow dan berdampak signifikan terhadap
financial distress. Sebaliknya, bila hasil uji tersebut tidak signifikan, maka cash flow
from operating bukan sebagai variable intervening, yang berarti bahwa variabel
independent berpengaruh langsung terhadap financial distress.
Hasil analisis regresi tersebut menjadi masukan bagi manajemen SOE dalam
menyiapkan strategi dan kebijakan terhadap komponen yang terkait dengan variabel
kunci yang mempengaruhi financial distress. Untuk mencapai sasaran peningkatan
score marginal yang menjadi ukuran financial distress, maka manajemen SOE harus
memperhatikan anatomi variabel kunci dan menjadikan sebagai key performance
indicators berbagai bidang pada level manajemen yang lebih rendah. Berdasarkan
indicator KPI yang mengikuti anatomi variabel kunci tersebut, maka target score
marginal yang diproyeksikan oleh manajemen, dapat dicapai melalui dukungan
kinerja keseluruhan bidang baik secara horizontal antara bidang operasional yang
10. 10
terkait, maupun secara vertical dalam organisasi mulai dari unit terendah sampai ke
kantor pusat.
Motivasi mempelajari dan mengembangkan metode pengukuran financial
distress
Penelitian ini termotivasi untuk mengembangkan metode pengukuran
financial distress yang lebih realistis dan menyempurnakan penelitian sebelumnya.
Beberapa kelemahan dalam pengukuran financial distress pada penelitian, terjadi
pada penggunaan data kategorikal yang sangat sederhana atau kurang realistis karena
level kebangkrutan sangat bervariasi, sehingga tidak mungkin digeneralisasi dalam
ukuran 0 untuk perusahaan sehat dan 1 untuk perusahaan mengalami financial
distress. Penelitian sebelumnya tidak seragam dalam definisi atau menentukan
kategori perusahaan mengalami financial distress atau perusahaan sehat sebagaimana
dikemukakan pada lampiran 11. Penelitian selanjutnya, beberapa tahun terakhir
menggunakan score yang dihasilkan dari penelitian sebelumnya seperti score Altman
dan lain-lain, sehingga terjadi akumulasi kelemahan terhadap hasil penelitian
financial distress.
Dari fenomena conceptual gap dan methodological gap tersebut, maka
penelitian ini termotivasi mengembangkan metode baru sebagai novelty dalam
pengukuran financial distress. Metode pengukuran variabel ini dikembangkan
berdasarkan konsep teori marginal dengan pendekatan mathematis untuk
menghasilkan pengukuran financial yang lebih realistis, yang menghasilkan score
marginal atau SM dengan rentang yang bervariasi mulai 0 sampai dengan 1. Score
maginal tersebut bervariasi sehingga ukuran perusahaan mengalami kesulitan
keuangan atau sehat tidak dapat digeneralisasi, karena tiap perusahaan memiliki level
yang berbeda, misalmnya SM = 0 mengalami kesulitan keuangan, SM = mendekatai
0 cenderung mengalami financial distress, SM = mendekati 1 cenderung sehat, dan
seterusnya sampai dengan SM = 1 atau sehat.
Disinilah keunggulan pengukuran financial distress berbasis score marginal
yang dikembangkan sebagai novelty pada penelitian ini, karena secara empiris tiap
perusahaan memiliki level kesulitan keuangan dan level kesehatan yang bervariasi.
Penelitian sebelumnya hanya menentukan kategori 1 untuk perusahaan yang
mengalami financial distress dan kategori 0 untuk perusahaan sehat, sehingga kurang
11. 11
realistis bila dibandingkan dengan kondisi empris tingkat financial distress SOEatau
perusahaan pada umumnya.
1.3 Statement of the Problem
Yang menjadi problem statement pada penelitian ini adalah adanya gejala
yang semakin menurun dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (SOE)
Indonesia. Tahun 2018 sebagaimana appendix 4, dilaporkan bahwa sekitar 43%
BUMN mengalami kesulitan keuangan karena rugi, membutuhkan subsidi untuk
melanjutkan usahanya dan membutuhkan tambahan equity untuk memenuhi
kebutuhan operasionalnya.
Berdasarkan problem statement tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah menganalisis fenomena yang dihadapi SOE yang mengalami kesulitan
keuangan, sehingga membebani keuangan negara dan tidak mampu memberikan
dividen kepada pemerintah sebagai pemegang saham. Kondisi ini menjadi menarik
untuk diteliti, karena SOE meiliki potensi yang kuat sehingga tidak seharusnya
mengalami kesulitan keuangan. Potensi SOE antara lain penguasaan sumberdaya
alam yang luas, pengsa pasar yang luas, skala usaha yang pada modal dan padat
tenaga kerja, dukungan pemerintah, kemampuan mengadopsi teknologi, sumbedaya
manusia yang kuat dari segi kualitas dan kauantitas, dan manajemen yang
berpengalaman.
Penelitian ini akan menjadi suatu peluang untuk membantu mengidentifikasi
variabel kunci yang berpengaruh signifikan terhadap problem kesulitan keuangan
yang dihadapi SOE. Penelitian ini menganalisis variabel kunci yang mempengaruhi
financial distress SOE, dan menghasilkan suatu pengukuran yang digunakan untuk
menilai level financial distress tiap SOE. Score marginal sebagai level yang
menggambarkan tingkat financial distress, dan untuk meningkatkan level tersebut
harus memperhatikan variabel kunci pada penelitian. Hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk menilai keberhasilan manajemen SOE, karena score marginal dari
hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengukur maulai dari perusahaan yang
mengalami financial distress sampai pada perusahaan yang sehat. Score mendekati
nol menunjukkan kecenderungan mengalai financial distress, dan sebaliknya score
marginal mendekati satu menunjukkan perusahaan cenderung sehat. Hasil penelitian
ini juga bermanfaat memberi masukan kepada manajemen SOE dalam menyiapkan
12. 12
strategi dan kebijakan perusahaan baik jangka pendek maupun jangka Panjang.
Bagai pemegang saham atau pemerintah dapat digunakan dalam menentukan key
performance indicator (KPI) dan mengevaluasi hasil yang dicapai oleh manajemen
SOE.
Untuk menghasulkan hasil penelitian yang lebih realistis, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengembangkan metode baru (novelty) dalam pengukuran financial
distress, sehingga dapat menutupi kelemahan pengukuran penelitian sebelumnya
sebagaimana dikemukakan pada appendix 11. Penelitian ini mengembangkan
pengukuran financial distress atau score marginal berdasarkan pendekatan teori
marginal sebagaimana appendix 5. Konsep marginal ini sering digunakan dalam
kebijakan penentuan harga dan kebijakan penentuan kuantitas produksi atau
penjualan yang menghasilkan kondisi terbaik atau keuntungan maksimum bagi
perusahaan.
1.4 ResearchQuestions
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dirumuskan beberapa
permasalahan utama Badan Usaha Milik Negera berikut ini.
1. Apakah pertumbuhan investasi atau capital expenditure (X1ΔCAPEX)
berpengaruh langsung dan signifkan terhadap financial distress (YFINDIS)
Badan Usaha Milik Negara, atau berpengaruh tidak langsung melalui
pertumbuhan cash flow from operating(ZΔCFO) ?
2. Apakah pertumbuhan working capital (X2ΔWC) berpengaruh langsung dan
signifkan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara, atau
berpengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan cash flow from operating
(ZΔCFO)?
3. Apakah pertumbuhan retained earning (X3ΔRE) berpengaruh langsung dan
signifkan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara, atau
berpengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan cash flow from operating ?
4. 4b. Apakah pertumbuhan earning before interst and tax (X4ΔEBIT) berpengaruh
langsung dan signifkan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha
Milik Negara, atau berpengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan cash flow
from operating (ZΔCFO)?
13. 13
5. Apakah pertumbuhan Contribution margin (X5ΔCM) berpengaruh langsung dan
signifkan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara, atau
berpengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan cash flow from operating
(ZΔCFO)?
6. Apakah Pertumbuhan equity atau modal sendiri (X6ΔEQ) berpengaruh langsung
dan signifkan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara,
atau berpengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan cash flow from operating
(ZΔCFO)?
7. Apakah tingkat efisiensi atau produktifitas operasi (X7EFSO) berpengaruh
langsung dan signifkan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha
Milik Negara, atau berpengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan cash flow
from operating (ZΔCFO)?
8. Apakah real activities earning management (X8RAEM) berpengaruh langsung
dan signifkan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara,
atau berpengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan cash flow from operating
(ZΔCFO)?
9. Apakah accruals earning management (X9ACEM) berpengaruh langsung dan
signifkan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara, atau
berpengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan cash flow from operating
(ZΔCFO)?
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO) terhadap
financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara ?
1.5 Kontribusi penelitian
Penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis research gap dan
menjelaskan fenomena kesulitan keuangan yang dihadapi Badan usaha Milik Negara
(SOE). Disamping itu, penelitian ini mengembangkan metode baru terhadap
pengukuran financial distress yang merupakan novelty dalam metode pengukuran
financial distress.
Fenomena kesulitan keuangan sebagai gap practical, yaitu manajemen
BUMN belum mampu mengelola perusahaan untuk mencapai tujuan sebagaimana
ditetapkan dalam undang-undang pendirian BUMN no. 19 tahun 2003, yaitu; : (a)
BUMN-PERSERO tujuan pendiriannya adalah mengejar keuntungan guna
14. 14
meningkatkan nilai perusahaan, dan (b) BUMN-PERUM tujuan pendiriannya adalah
penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh
masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Hal ini terbukti
bahwa dari 118 BUMN yang tercatat tahun 2018, ternyata terdapat sejumlah BUMN
yang mengalami kesulitan keuangan sebagaimana appendix-4, yaitu 9 BUMN
menerima subsidi pemerintah karena total revenue lebih kecil dari tital cost, 27
BUMN menerima tambahan equity karena kesulitan keuangan memenuhi kebutuhan
pendanaan operasional dan investasi, dan 24 BUMN mengalami kerugian.
Fenomena kesulitan keuangan BUMN seharusnya tidak terjadi dan mampu
mencapai kinerja keuangan sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang no. 19
tahun 2003, karena BUMN memiliki potensi terutama dalam hal dukungan
pemerintah sebagai pemegang saham, memiliki pangsa pasar yang luas, penguasaan
sumber daya, dipercaya oleh lembaga keuangan, dan memiliki sumber daya manusia
dalam jumlah dan kualitas yang mamadai.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti termotivasi untuk mengkaji
faktor kunci yang mempengaruhi kesulitan keuangan BUMN, dan memberi masukan
pada manajemen dalam penyiapan strategi dan kebijakan korporasi yang dapat
mengatasi kesulitan keuangan BUMN.
Penelitian ini juga memberi kontribusi dalam mengatasi kelemahan
pengukuran financial distress yang digunakan selama ini. Kelemahan dalam
pengukuran financial distress yang digunakan pada penelitian sebelumnya
sebagaimana appendix-11.
Kelemahan penelitian sebelumnya dikelompokkan pada menjadi dua tahap
periode penelitian, yaitu: tahap pertama, dimulai dari penelitian financial distress
oleh Beaver (1966) yang dilanjutkan oleh Altman (1968, 1977), dan seterusnya yang
menggunakan model logistic dan model diskriminan. Penelitian tersebut
menggunakan data kategorical atau nominal, dengan metode pengukuran financial
distress, yaitu perusahaan sehat dinilai 0 atau 1 dan perusahaan bangkrut dinilai 1
atau 2. Kelemahan data kategorikal 0 dan 1 tersebut terutama terjadi dalam hal: (a)
terjadi perbedaan dalam penentuan batasan atau definisi kelompok perusahaan yang
mengalami financial distress, dan (b) kategori sehat 0 dan bangkrut 1 kurang relevan
karena level perusahaan sehat tidak dapat digeneralisir dengan score yang sama
15. 15
misalnya 0, karena tingkat kesehatan tersebut bervariasi, yaitu mulai dari sangat
sehat, sehat dan kurang sehat. Demikian juga dengan perusahaan bangkrut tidak
dapat digeneralisir dengan score 1, karena tingkat kebangkrutan bervariasi mulai dari
sangat bangkrut, bangkrut dan mulai bangkrut. Penelitian tahap pertama ini
menghasilkan score untuk mengukur tingkat kebangkrutan perusahaan, kemudian
score tersebut digunakan pada penelitian selanjutnya dalam mengukur financial
distress.
Tahap kedua, penelitian yang mengukur financial distress dengan
menggunakan score hasil penelitian sebelumnya, misalnya score Altman (1968),
score Springate (1978), score Fulmer Model (1984), Ca-score (1987), dan lain-lain.
Penelitian tahap kedua ini dapat dilihat pada penelitian seperti yang dilakukan oleh
Wilopo (2001), Adnan dan Taufik (2001), Aryati dan Manao (2002), dan lainnya,
yang mengukur financial distress berdasarkan score tersebut, kemudian
menggunakan model regresi untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi
financial distress. Kelamahan pengukuran financial distress pada penelitian tahap
pertama, berdampak terhadap penelitian tahap kedua karena menggunakan score dari
penelitian sebelumnya seperti score Altman dan lainnya.
Berdasarkan kelemahan penelitian tahap pertama dan tahap kedua, maka
penelitian ini memberi kontribusi untuk menjelaskan research gap bukan hanya
terhadap fenomena kesulitan keuangan BUMN tetapi juga berkontribusi dalam
menyempurnakan pengukuran financial distress dari penelitian sebelumnya.
Penelitian ini memberi kontribusi terhadap research gap sebagaimana dalam
Hazierah dan Jahja (2017) pada appendix-10, yaitu:
a. Theoritical gap, penelitian ini berkontribusi dalam hal menggunakan teori
marginal sebagaimana sub bab 2.1.1, appendix-5 dan appendix 6, untuk
mengembangkan pengukuran financial distress, sehingga memberikan hasil yang
relevan dengan kondisi empiris pada pengukuran financial distress.
b. Conceptual gap, pengukuran dengan score marginal yang digunakan pada
penelitian ini memberikan keseragaman dalam konsep pengukuran tingkat
kesulitan keuangan, mulai dari yang paling bagkrut sampai dengan sehat, dengan
rentang score mulai 0 sampai dengan 1. Penelitian ini berkontribusi dalam
menyempurkan penelitian sebelumnya, terutama dalam penggunaan data
16. 16
kategorical 0 terhadap perusahaan sehat dan 1 untuk perusahaan bangkrut.
Difinisi dan batasan kategori perusahaan bangkrut berbeda antara satu dengan
lainnya atau tidak seragam sebagaimana appendix 11.
c. Empirical gap, penelitian ini memberi kontribusi dalam hal pengembangan
pengukuran financial distress yang dapat digunakan untuk generalisasi secara
empiris, karena level financial distress tidak hanya ditentukan 0 atau 1 tetapi
diukur secara kuantitatif menurut level atau score mulai 0 sampai dengan 1.
Pengukuran score marginal menggunakan pendekatan mathematic yang sangat
realistis dan dapat dibuktikan secara kuantitatif berbasis data laporan keuangan
audited.
d. Methodological gap, penelitian ini memberi kontribusi dalam hal pengembangan
metode pengukuran financial distress, sehingga tidak hanya terbatas pada metode
pengukuran berbasis pada score penelitian sebelumnya seperti score Althman
dan lain-lain, tetapi menggunakan metode yang didukung dengan teori dan
pembuktian secara mathematic.
e. Practical gap, penelitian ini mengukur financial distress berdasarkan data laporan
keuangan audited. Secara praktis pengukuran financial distress tidak terpengaruh
oleh kondisi faktor lain diluar indicator keuangan yang membentuk marginal
revenue, marginal cost, dan score marginal pada pengukuran financial distress.
1.6 Significance of the Study
Penelitian ini sangat signfikan peranannya dalam upaya mengatasi
permasalahan financial distress khususnya terhadap BUMN yang masih
menggantungkan kebutuhan keuangannya terhadap subsidi APBN, memperoleh
tambahan penyertaan modal negara, dan mengalami kerugian. Hasil penelitian ini
dapat juga digunakan untuk menilai level keberhasilan BUMN yang
menguntungkan, karena keberhasilan optimal dicapai bila score marginal sama
dengan satu, sebaliknya cenderung mengalami financial distress bila score matginal
mendekati nol.
Penelitian ini signifikan dari aspek model pengukuran financial distress,
karena penelitain sebelumnya memiliki kelemahan sebagaimana lampiran-11 dan
lampiran-12. Penelitian ini mengembangkan model novelty atau kebaruan
pengukuran financial distress yang dapat mengisi gap atau kelemahan penelitian
17. 17
sebelumnya, sehingga penelitian ini memiliki kontribusi yang sangat signifikan
dalam pengukuran financial distress BUMN, bahkan dapat diimplementasikan pada
penelitian financial distress perusahaan yang listed di Bursa Efek.
1.7 Objective of the Study
Tujuan penelitian
Berdasarkan permasalahan Badan Usaha Milik Negara tersebut diatas, maka
tujuan utama penelitian dikemukakan berikut ini.
1. Menganalisis pengaruh langsung pertumbuhan investasi atau capital expenditure
(X1ΔCAPEX) terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik
Negara, dan menguji pengaruh tidak langsung melalui cash flow from operating
(ZΔCFO).
2. Mengkaji tingkat signifikansi pengaruh langsung pertumbuhan working capital
(X2ΔWC) terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara,
dan menguji pengaruh tidak langsung melalui cash flow from operating
(ZΔCFO).
3. Menganalisis pengaruh langsung pertumbuhan retained earning (X3ΔRE)
terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara, dan menguji
pengaruh tidak langsung melalui cash flow from operating (ZΔCFO).
4. Mengkaji tingkat signifikansi pengaruh langsung pertumbuhan earning before
interst and tax (X4ΔEBIT) terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha
Milik Negara, dan menguji pengaruh tidak langsung melalui cash flow from
operating (ZΔCFO).
5. Mengungkapkan tingkat signifikansi pengaruh langsung pertumbuhan
Contribution margin (X5ΔCM) terhadap financial distress (YFINDIS) Badan
Usaha Milik Negara, dan menguji pengaruh tidak langsung melalui cash flow
from operating (ZΔCFO).
6. Mempelajari pengaruh langsung pertumbuhan equity atau modal sendiri
(X6ΔEQ) terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara, dan
menguji pengaruh tidak langsung melalui cash flow from operating (ZΔCFO).
7. Menganalisis pengaruh langsung tingkat efisiensi atau produktifitas operasi
(X7EFSO) terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara,
18. 18
dan menguji pengaruh tidak langsung melalui cash flow from operating
(ZΔCFO).
8. Mempelajari pengaruh langsung praktek real activities earning management
(X8RAEM) terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara,
dan menguji pengaruh tidak langsung melalui cash flow from operating
(ZΔCFO).
9. Mengungkapkan pengaruh langsung praktek accruals earning management
(X9ACEM) terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara,
dan menguji pengaruh tidak langsung melalui cash flow from operating
(ZΔCFO).
10. Menganalisis pengaruh pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO)
terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
Manfaat penelitian
Penelitian ini menghasilkan konsep baru dalam pengukuran financial distress
dengan menggunakan serangkaian variabel yang terkait secara komprehensif,
sehingga dapat memberi manfaat dalam hal:
a. Pengembangan ilmu pengetahuan terhadap kajian financial distress dengan
analisis yang lebih komprehensif.
b. Memberi masukan kepada manajemen BUMN dalam perumusan kebijakan
korporasi terkait dengan faktor yang mempenaruhi financial distress BUMN. (c)
Memberi informasi kepada pihak investor dan pihak kreditur tentang kondisi
financial distress yang dihadapi BUMN.
c. Memperkaya informasi yang dapat digunakan oleh praktisi keuangan yang dapat
membantu mengantisipasi kondisi kesulitan keuangan BUMN.
d. Menjadi referensi bagi penelitian yang datang, baik terhadap kajian financial
distress BUMN maupun perusahaan lainnya.
1.8 Organization of Thesis
Proposal penelitian Badan Usaha Milik Negara ini disusun dengan
sistimatika, yaitu: Chapter I Introduction, terdiri dari Background of the Study,
Motivation of the Study, Statement of the Problem, Contribution of the Study,
Significance of the Study, Objective of the Study, and Organizational of Thesis.
19. 19
Chhapter II Literature Review, terdiri dari Agency Theory, Signalling
Theory, Marginal Approach, and Penelitian Terdahulu.
Chapter III Conceptual Framework, terdiri dari Hypothesis Development,
Research Design, Sample Selection, Measurement of Variable, and Research Model
20. 20
CHAPTER II
LITERATURE REVIEW
2.1. Agency Theory
Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini adalah agency theory yang
kembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976), dengan alasan bahwa teori ini
menjelaskan tentang dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda, yaitu pemegang
saham atau principal yang ingin memaksimalkan penerimaan dividen perlembar
saham atau earning pershare, sedangkan manajer perusahaan yang ingin
memaksimalkan penerimaan kompensasi. Manajer dapat mengelola perusahaan
tersebur untuk mencapai tujuan yang diinginkan pemegang saham, dan manajer akan
dibayarkan sejumlah kompensasi yang layak agar termotivasi dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya.
Pengelolaan perusahaan oleh menajer tersebut menjadi sangat penting karena
erat kaitannya dengan variabel yang mempengaruhi financial distress yang akan
mempengaruhi value perusahaan yang pada akhirnya memenuhi kepentingan
perusahaan seperti dikemukakan pada gambar-1. Hal ini menunjukkan bahwa agency
theory sebagai landasan teori yang relevan digunakan pada penelitian ini, khususnya
dalam menjawab permasalahan, menguji atau membuktikan hipotesis, dan
menjelaskan hasil analisis. Strategi dan kebijakan manajemen perusahaan (agent)
dalam memenuhi kepentingan pemegang saham (principal) mempengaruhi variabel
kunci yang terkait dengan financial distress.
Gambar 1: Agency theory dan financial distress
AGENCY
THEORY
KEPENTINGAN
PRINCIPAL
(PEMEGANG SAHAM)
KEPENTINGAN
AGENT
(MANAJEMEN)
TINGKAT KESULITAN
KEUANGAN
(FINANCIAL DISTRESS)
TUJUAN PERUSAHAAN
- VALUE PERUSAHAAN
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FINANCIAL DISTRESS
- Government Subsidy and Equity (GSAE)
- Pertumbuhan Cash Flow from Operating (ZΔCFO)
- Pertumbuhan Investasi (X1ΔCAPEX)
- Pertumbuhan Working Capital (X2ΔWC)
- Pertumbuhan Retained Earning (X3ΔRE)
- Pertumbuhan EarningBefore Intrest and Tax (X4ΔEBIT)
- Pertumbuhan Contribution Margin (X5ΔCM)
- Pertumbuhan Equity (X6ΔEQ)
- Tingkat Efisiensi atau Produktivitas Operasi (X7EFSO)
- Real Activities Earning Management X8EM)
- Accruals Earning Managt (X9ACEM)
- Ukuran Perusahaan (X10SIZE)
- Tingkat Leverage (X11LEV)
TINDAKAN AGENT
DALAM PENGELOLAAN
PERUSAHAAN
21. 21
2.2 Signalling Theory
Melewar dan Tucker (2005) mengemukakan bahwa signalling theory
menunjukkan bahwa perusahaan akan memberikan sinyal melalui tindakan dan
komunikasi. Perusahaan mengadopsi sinyal-sinyal tersebut dalam mengungkapkan
atribut yang tersembunyi untuk para pemangku kepentingan (stakeholder).
Perusahaan berusaha memberi informasi laporan keuangan, memberi sinyal tentang
berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan, serta
mengkomunikasikan langkah strategi dan kebijakan untuk meningkatkan kinerja
keuangan.
Penelitian ini menggunakan signalling theory sebagai dasar dalam melakukan
analisis financial distress, terutama karena tindakan manajemen dalam menyiapkan
strategi dan kebijakan perusahaan, adalah erat kaitannya dengan variabel yang
mempengaruhi level score marginal atau financial distress yang terjadi pada BUMN
seperti dikemukakan pada gambar-2 yang menunjukkan keterkaitan antara variabel
yang digunakan pada penelitian ini dengan signalling theory berikut ini.
Gambar 2: Signalling theory dan financial distress
22. 22
2.3 Marginal Approach
Pendekatan marginal merupakan pengaplikasian kalkulus diferensial
terhadap tingkah laku konsumen dan produsen, serta penentuan harga pasar pada
kuantitas optimal (Kastan dan Restiati, 2013). Implementasi pendekatan marginal
sebagaimana lampiran-5 digunakan juga untuk: (a) menentukan biaya minimum
perunit dengan syarat marginal cost sama dengan average cost (MC=AC), (b) tingkat
keuntungan maksiumum atau kerugian minimum dengan syarat marginal revenue
sama dengan marginal cost (MR=MC), dan (c) pendapatan maksimum dengan syarat
marginal revenue sama dengan nol (MR=0).
Kauder (1965) dalam tulisannya tentang a history of marginal utility theory,
mengemukakan bahwa teori marginal ini dikembangkan pertama kali oleh Hendrick
Gossen (1810-1858) dalam menjelaskan kepuasaan (utility) dari pengkonsumsian
sejenis barang (Kauder, 1965). Menurutnya, kepuasan marginal (Marginal Utility)
dari pengkonsumsian suatu macam barang akan semakin turun jika barang yang sama
dikonsumsi semakin banyak (Hukum Gossen I). Dalam Hukum Gossen II,
menjelaskan bahwa sumber daya dan dana yang tersedia selalu terbatas secara relatif
dalam memenuhui berbagai kebutuhan yang relatif tidak terbatas. Pada masanya
teori ini kurang mendapat perhatian dari para ekonom, tetapi sekitar 40 tahun
kemudian, kelompok ekonom yang tergabung dalam Mazhab Austria, seperti:
Jevons, Menger, Bohm-Bawerk dan Von Wieser, memberi pengakuan dan
penghargaan atas karya Gossen tersebut. Sejak itulah konsep marginal ini diakui
sebagai kontribusi utama dalam mazhab Austria. Hal ini juga dilaporkan dalam
Institut for new econmic thinking melalui The history of economic thought,
alphabetical indext schools of thought essyas and surveys contact seacrch (2015).
Dalam perkembangannya menurut Kauder (1965), teori ini telah digunakan
untuk berbagai temuan teori baru terutama sejak periode neoklasik seperti pada: (a)
mazhab Austria dengan tokoh utamanya Karl Menger yang mengembangkan teori
utilitas marginal dalam karyanya Grusatze der Volks Wirtshaftslehre (1817), (b)
mazhab Cambridge yang dipelopori oleh Alfred Marshal dengan karya utamanya
antara lain the pure theory of foreign trade (1829), dan (c) mazhab Lausanne yang
dipelopori oleh Leon Walras, dengan karyanya elements of pure economics (1878).
23. 23
Pada penelitian ini, konsep marginal dikembangkan dengan menambahkan
formula sebagai novelty dalam pengukuran financial distress sebagaimana
dikemukakan dalam pembahasan pengukuran score marginal pada butir 4 dan
lampiran-6.
Proses pengembangan formula pengukuran financial distress, didasarkan
pada pendekatan marginal yang digunakan pada fungsi turunan analisis fungsi
permintaan dan penawaran, analisis pemasaran, teori biaya, teori produksi, teori
utilitas, keputusan manajemen perusahaan pada berbagai struktur pasar, dan lain-
lain. Metode analisis dalam konsep marginal tersebut, adalah menggunakan
pendekatan matematis dan pendekatan analisis grafik sebagaimana dalam Debertin
(2012) dan lampiran 5.
1) Mathematis Approach
Optimum condition atau profit maximum tercapai pada keseimbangan
marginal revenue dengan marginal cost.Total profit (π) diperoleh dari toal revenue
(TR) dikurangi total cost (TC) dengan formula sebagaimana dalam Debertin (2012),
berikut ini.
Π = TR – TC
dimana: Π, TR dan TC merupakan fungsi dari quantity (Q)
Untuk memaksimumkan profit, perusahaan harus memproduksi sejumlah
tertentu dengan syarat MR = MC, sehingga profit maximum diperoleh pada turunan
pertama dari persamaan atau fungsi profit berikut ini.
dΠ
dQ
=
dTR
dQ
−
dTC
dQ
= 0
atau
dTR
dQ
=
dTC
dQ
Dalam bentuk lain, yaitu profit maximum diperoleh pada saat penerimaan
marginal (MR) sama dengan biaya marginal (MC). MR adalah perubahan
penerimaan toal perunit ouput atau penjualan. sedangkan MC adalah perubahan
biaya total perunit perubahan output, sebagaimana dalam Debertin (2012), berikut
ini.
24. 24
Δπ
ΔQ
=
ΔTR
ΔQ
−
ΔTC
ΔQ
= 0
ΔTR
ΔQ
−
ΔTC
ΔQ
= 0
ΔTR
ΔQ
=
ΔTC
ΔQ
Keseimbangan tersebut dapat disederhanakan menjadi MR − MC = 0 atau
dengan keseimbangan MR = MC.
Berdasarkan keseimbangan tersebut, dikembangkan formula pengukuran
score marginal (SMg), yaitu pada tahap pertama dengan perbandingan antara MR
dengan MC berikut ini.
MR
MC
= 1
ΔTR/ΔQ
ΔTC/ΔQ
= 1
Tahap selanjutnya, untuk menyesuaikan dengan kebutuhan analisis statistic
atau ekonometrika, maka disederhanakan seperti dikemukakan lebih rinci dalam
uraian selanjutnya pada novelty pengukuran financial distress dan Lampiran-6, yaitu:
SMg = 1 - √(
(
ΔTR
ΔQ
)−(
ΔTC
ΔQ
)
(
ΔTR
ΔQ
)
)
2
Dimana: SMg=score marginal, MR=marginal revenue, MC= marginal cost, ΔTR=
perubahan total revenue, ΔTC=perubahan total cost, ΔQ= perubahan kuantitas penjualan.
2) Pendekatan Analisis Grafik
Analisis hubungan kurva TC, TR, MR, MC, AVC dan AC digambarkan
dengan kondisi optimal pada kuantitas penjualan sebanyak Q1 dengan harga P1
terjadi pada titik A, sedangkan kuantitas penjualan Q1 dengan harga P3 adalah pada
kondisi kesuitan keuangan yang serius, sehingga lebih baik menghentikan operasinal
perusahaan agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar, karena harga P3 pada
kuantitas penjualan Q1 tidak mampu menutup biaya variable pada kurva AVC.
25. 25
Gambar 3: Keseimbangan Marginal Revenue dan Marginal Cost
(MR=MC)
Dimana: MR=marginal revenue, MC= marginal cost, AC= average cost, AFC= average
fixed cost, P= price, Q= quantity of sales, D= demand.
Keseimbangan marginal yang menghasilkan kondisi optimal dengan
pendekatan mathematis dan grafik, dikemukakan contoh perhtiungan pada lampiran-
5.
4. Novelty Pengukuran Financial Distress (Score Marginal)
Kebaruan pada penelitian ini yaitu pada pengukuran variabel dependen
financial distress atau tingkat kesulitan keuangan BUMN. Pengukuran financial
distress menggunakan formula yang berbasis pada pendekatan marginal yang telah
disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk menunjukkan identitas formula
pengukuran financial distress ini, maka digunakan sebutan sebagai score marginal
(SMg).
Score marginal sebagai turunan dari formula keseimbangan MR=MC yang
menghasilkan kondisi optimal atau kuntungan maksimum sebagaimana
dikemukakan sebelumnya dalam persamaan mathematis dan analisis grafik.
Pada tahap awal pengembangan pengukuran SMg, digunakan formula
perbandingan, yaitu SMg =
MR
MC
. Kondisi optimal bila
MR
MC
=1 atau MR = MC atau
26. 26
MR – MC = 0, dan kondisi tidak optimal bila
MR
MC
> 1 atau MR – MC > 1; dan
MR
MC
< 1 atau MR – MC < 1 , sehingga perbandingan MR dan MC atau score marginal di
formulasikan dengan nilai mutlak dari SMg = MR – MC, atau SMg = √(MR − MC)2
dengan nilai SMg yang optimal sama dengan nol. Kemudian untuk tujuan analisis
statistic atau ekonometrika pada penelitian ini, maka formula score marginal tersebut
disesuaikan dengan nilai SMg yang optimal sama dengan satu, sebagaimana contoh
perhitungan pada lampiran-6, dengan formula berikut ini.
SMg = 1 - √(
MR−MC
MR
)
2
Marginal revenue (MR) dan marginal cost (MC) diformulasikan sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, yaitu:
Marginal revenue (MR):
MR =
ΔTR
ΔQ
Marginal cost (MC):
MC =
ΔTC
ΔQ
Dimana:
ΔTR= TR (t) – TR (t-1)
ΔQ = Q (t) – Q (t-1)
ΔTC= TC(t) – TC (t-1)
Maka pada akhirnya, perhitungan score marginal (SMg) secara lebih operasional
diformulasikan menjadi:
SMg = 1 - √(
(
ΔTR
ΔQ
)−(
ΔTC
ΔQ
)
(
ΔTR
ΔQ
)
)
2
Dimana: SMg=score marginal, MR=marginal revenue, MC= marginal cost, ΔTR=
perubahan total revenue, ΔTC=perubahan total cost, ΔQ= perubahan kuantitas penjualan.
27. 27
Financial distress BUMN dapat digambarkan melalui pendekatan marginal,
dengan asumsi pasar BUMN membentuk kurva MR yang horizontal karena
penetapan harga dikontrol oleh pemerintah. Harga jual cenderung konstan untuk
jangka waktu tertentu pada berbagai kuantitas penjualan (Q), sehingga membentuk
kurva MR yang mirip dengan asumsi perusahaan pada struktur pasar persaingan
sempurna seperti digambarkan berikut ini.
Tingkat harga P dan MR dengan keseimbangan titik E pada strutkur pasar
persaingan sempurna yaitu perusahaan menerima harga yang dibentuk oleh
mekanisme pasar berdasarkan keseimbangan demand dan supply. Dalam penelitian
ini digunakan untuk menjelaskan bahwa tingkat haga P dan MR terbentuk melalui
mekanisme kebijakan pemerintah, pemegang saham dan manajemen perusahaan
yang dapat membentuk kondisi keseimbangan pada titik E.
Gambar 4 : Kurva Keseimbangan Marginal (MR=MC)
Dimana : MC=marginal cost, MR= marginal revenue, AC= average cost, S= supply,
D=demand, P=harga, dan Q= kuantitas penjualan
Perusahaan yang berada pada posisi margina revenue (MR) sama dengan
marginal cost (MC) menunjukkan bahwa pengelolaan perusahaan tersebut
menghasilkan kinerja operasional yang terbaik atau optimal, sehingga dapat
dinyatakan bahwa perusahaan tidak mengalami financial distress. Kondisi optimal
tersebut dijelaskan dalam perhitungan dan analisis pada lampiran 5 dan lampiran 6.
Kondisi keseimbangan tersebut terjadi pada titik E, yaitu: MR=MC atau MR-
MC = 0 atau MR/MC = 1. Bila terjadi gap antara MR dan MC yang semakin tinggi,
maka perusahaan cenderung mengalami kesulitan keuangan atau financial distress,
sebagaimana digambarkan pada jarak antara kurva MR dan MC sebelum dan setelah
titik E pada keseimbangan kurva marginal.
Rp Rp
S MC
AC
P E D P E MR = D = P
Q Q
0 Q* 0 Q*
28. 28
2.4 Financial Distress
Financial distress didefinisikan sebagai suatu tahap perusahaan tidak dapat
memenuhi jadwal pembayaran atau ketika proyeksi arus kas mengindikasikan bahwa
perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya (Brigham dan Daves,
2007). Sedangkan, Platt dan Platt (2002), berpandangan bahwa financial distress
adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang
terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Definis lainnya yang
sedikit berbeda, dikemukakan oleh Darsono dan Ashari (2005), yang menyatakan
bahwa financial distress dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk
membayar kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo yang menyebabkan
kebangkrutan perusahaan. Sedangkan, Gamayuni (2011), mengemukakan bahwa
financial distress adalah keadaan kesulitan keuangan atau likuiditas yang mungkin
merupakan awal dari terjadinya kebangkrutan.
Berdasarkan pandang tersebut diatas, dapat dinyatakan bahwa financial
distress adalah suatu kondisi keuangan perusahaan sedang dalam masalah, krisis atau
tidak sehat yang terjadi sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan. Dengan kata
lain, financial distress terjadi ketika perusahaan gagal atau tidak mampu lagi
memenuhi kewajiban kepada debitur karena mengalami kekurangan dan
ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya lagi.
Menurut sejarahnya sebagaimana appenedix 11, penelitian financial distress
pertama kali dilakukan oleh Beaver (1966), kemudian dilanjutkan oleh Athman
(1968) dan lainnya. Altman’s model (1968), menggunakan model Multiple
Discriminant Analysis, dan variabel financial distress diukur dengan kategori 1 dan
2 untuk perusahaan sehat dan perusahaan mengalami financial distress. Sedangkan
variabel independent yang digunakan, yaitu: working capital/total asset; retained
earning/total asset; earning before interest and taxes/total asset; market value
equity/book value of total liabilities, dan sales/total asset.
Kemudian oleh Springate’s Model (1978), menggunakan model Multiple
Discriminant Analysis, dan variabel financial distress diukur dengan kategori 1 dan
2 untuk perusahaan sehat dan perusahaan mengalami financial distress. Sedangkan
variabel independent yang digunakan, yaitu: Working Capital/Total Assets; Net
29. 29
Profit before Interest and Taxes/Total Assets; Net Profit before Taxes/Current
Liabilities, dan Sales/Total Assets.
Dilanjutkan oleh Fulmer’s Model (1984), menggunakan model Multiple
Discriminant Analysis dan variabel financial distress diukur dengan kategori 1 dan
2 untuk perusahaan sehat dan perusahaan mengalami financial distress. Sedangkan
variabel independent yang digunakan, yaitu: Retained Earning/Total Assets;
Sales/Total Assets; EBT/Equity; Cash Flow/Total Debt; Debt/Total Assets; Current
Liabilities/Total Assets; Log Tangible Total Assets; Working Capital/Total Debt;
dan Log EBIT/Interest.
Kemudian oleh CA-Score (1987), menggunakan model Multiple
Discriminant Analysis dan variabel financial distress diukur dengan kategori 1 dan
2 untuk perusahaan sehat dan perusahaan mengalami financial distress. Sedangkan
variabel independent yang digunakan, yaitu: shareholders' investments/total assets;
earnings before taxes and extraordinary items; financial expenses/total assets; dan
sales/total assets.
Selanjutnya, oleh Platt dan Platt (2002), menggunakan model analisis
logistic, dan variabel financial distress diukur dengan dikotomi 0 dan 1 untuk
perusahaan sehat dan perusahaan mengalami financial distress. Variabel independent
yang digunakan terdiri dari beberapa variabel rasio keuangan kunci, yaitu:
EBITDA/sales, current assets/current liabilities, cash flow growth rate, net fixed
assets/total assets, long-term debt/equity dan notes payable/total assets (Gamayuni,
2009).
Penelitian lainnya, pada umumnya menggunakan pengukuran financial
distress berdasarkan score yang dihasilkan oleh penelitian tersebut diatas. Dari hasil
penelitian tersebut, Weston & Copeland (1997) menemukan bahwa kebangkrutan
adalah sebagai suatu kegagalan yang terjadi dalam perusahaan yang dapat dibedakan
atas kegagalan ekonomi (economic distressed),dan kegagalan keuangan (financial
distressed).
Kemudian penelitian Hidayat, M.A. et al. (2014), Mas’ud, I. et al. (2012),
Altman (2000), Tzong dan Lin (2009), Brockett, et al. (2006), Salehi dan Abedini
(2009), Janes (2003), Kordestani, Biglari, dan Bakhtiari (2011), dan Zhang, et al.
(2001) menggunakan pengukuran financial berdasarkan score dimaksud diatas,
30. 30
mengemukakan bahwa financial distress dipengaruhi oleh faktor kinerja keuangan
berdasarkan rasio keuangan.
Sedangkan penelitian lainnya yang tidak hanya melihat aspek keuangan,
dikemukakan oleh Loui dan Smith (2006), Gilson danVetsuypens (2005), Pranowo,
Achsani, dan Manurung (2010), dan Elkamhi, Ericsson, dan Parsons (2009)
menggunakan pengukuran financial distress berdasarkan score dimaksud diatas,
menemukan bahwa financial distress dipengaruhi oleh faktor financial berdasarkan
rasio keuangan dan faktor non financial.
2.5 Marginal Approach Research
Pendekatan marginal sebagai suatu konsep yang dikembangkan pertama kali
oleh Hendrick Gossen (1810-1858) kemudian digunakan untuk beberapa teori baru
sebagaimana disebutkan pada pembahasan sub bab 2.3. Pendekatan marginal banyak
digunakan dalam praktek bisnis seperti pada penentuan harga dan kuantitas
penjualan atau produksi yang dikenal dengan marginal cost pricing, yaitu tingkat
harga dan kuantitas penjualan yang menghasilkan kondisi optimal dalam arti
maksimum profit atau minimum loss.
Terhadap perusahaan yang harganya dikontrol oleh pemerintah karena
disubsidi dan terkait dengan hajat hidup orang banyak dan menggunakan pendekatan
kelayakan ekonomis, maka kondisi optimal berlaku kerugian minimum. Sedangkan
perusahaan perusahaan atau SOE yang beroperasi berdasarkan profit oriented dan
menggunakan ukuran kelayakan financial, maka kondisi optimal tersebut adalah
maksimum profit.
Untuk mencapai kondisi optimal tersebut, maka diperlukan strategi dan
kebijakan terhadap struktur biaya dan struktur pendapatan yang menghasilkan
keseimbangan marginal revenue dan marginal cost. Hal ini dapat dicapai melalui
kompetensi manajemen SOE dalam mengelola potensi resources internal
perusahaan, mengatasi kelemahan internal perusahaan, memanfaatkan atau
mengoptimalkan potensi peluang eksternal, dan mengantisipasi ancaman eksternal.
Penelitian dengan pendekatan marginal oleh Yustiana, et al. (2015) dan Hall
(1988), mengemukakan bahwa Marginal Cost Pricing memiliki beberapa kelebihan,
antara lain bahwa mekanisme ini dianggap paling efisien dan dapat menghindari
terjadinya underpriced atau penilaian di bawah harga. Bagi perusahaan kompetitif
31. 31
yang menyamakan marginal cost dengan harga pasar produknya akan memperoleh
keuntungan maksimum.
Penelitian pendekatan marginal lainnya oleh Coase (1972), Hellyward
(2015), Misanam (2007), Septiantoro dan Utomo (2015), dan Widyantara dan Dewi
(2016) menggambarkan bahwa kurva keseimbangan demand, MR dan MC dan
mengemukakan bahwa harga dan kuantitas pada kurva demand yang terbentuk pada
perpotongan kurva MR = MC menghasilkan keuntungan maksimum. Dalam versi
yang hampir sama, penelitian Damayanti, et al. (2014) mengemukakan bahwa
keuntungan merupakan selisih antara penerimaan total (TR) dan biaya total (TC).
Dan untuk memperoleh laba yang maksimum, maka harga dan kuantitas penjualan
ditentukan pada nilai MR-MC=0.
Sedangkan penelitian Sutjati et al (2015) dalam penentuan transfer pricing,
mengemukakan bahwa optimalisasi laba dalam transfer pricing dapat dicapai ketika
marginal revenue (MR) dari divisi pemasaran sama dengan marginal cost (MC),
sehingga menghasilkan titik equlibrium yang akan diproyeksikan ke kurva
permintaan untuk mendapatkan harga transfer dan jumlah produk yang harus
diproduksi.
2.6 ResearchSOE
Badan usaha milik negara (SOE) sebagai perusahaan milik pemerintah
dengan nilai asset yang dilaporkan tahun 2018 sebesar Rp 8.092 triliun, bergerak
diberbagai sector usaha. Badan usahanya dibedakan atas PERSERO dan PERUM
sesuai dengan undang-undang nomor 19 tahun 2003. SOE dalam bentuk PERSERO
didirikan dengan tujuan mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan,
sedangkan SOE dalam bentuk PERUM didirikan dengan tujuan menyelenggarakan
usaha untuk kemanfaatan umum berupa menyediakan barang/jasa yang berkualitas
dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan yang sehat.
Kedua bentuk badan usaha dari SOE tersebut pada prinsipnya harus dikelola
secara sehat dan mencapai profitabilitas tertentu agar dapat menjalankan usahanya
secara berkelanjutan. Tetapi secara empris menunjukkan bahwa dari 115 BUMN
pada tahun 2018 terdapat 50 BUMN mengalami kesulitan keuangan sebagaimana
dikemukakan pad appendix 4.
32. 32
SOE sebagai perusahaan milik pemerintah banyak mendapat perhatian dari
masyarakat dan peneliti dari kalangan akademisi, untuk mengkaji dan menganalisis
fenomena dan problem SOE yang mengalami kesulitan keuangan.
Penelitian SOE sektor ketenagalistrikan oleh Assagaf (2015) menemukan
bahwa untuk mengoptimalkan pengelolaan PLN perlu serangkain kebijakan secara
terpadu terhadap empat pilar utama yang mempengaruhi keberhasilan perusahaan,
yaitu : (a) pengelolaan bahan bakar secara mandiri, (b) restrukturisasi kontrak
pembelian tenaga listrik dari listrik swasta terutama dalam menyelamatkan
opportunity income atau cost saving bagi PLN, (c) restrukturisasi tarif pada tingkat
keekonomian melalui mekanisme penentuan tarif yang berbasis marginal cost
pricing, dan (d) mengoptimalkan pengelolaan anak perusahaan melalui
restrukturisasi kewenangan pengelolaan perusahaan secara mandiri.
Penelitian kebijakan subsidi terhadap SOE, oleh Handoko dan Patriadi (2005)
mengemukakan bahwa kebijakan subsidi menimbulkan efek positif dan efek
negative dalam kehidupan social ekonomi. Kemudian Munawar dan Utama (2013)
mengemukakan bahwa kebijakan subsidi yang dilakukan pemerintah selalu
menimbulkan pendapat pro dan kontra. Sedangkan penelitian struktur kapital SOE,
oleh Mandana dan Artini (2012) mengemukakan bahwa struktur aktiva, tingkat
pertumbuhan penjualan, profitabilitas, dan pertumbuhan perusahaan mempunyai
pengaruh signifikan terhadap struktur modal.
33. 33
CHAPTER III
METHODOLOGY
3.1 Conceptual Framework
Rerangka konseptual sebagaimana gambar 5 berikut, terdiri dari beberapa
kelompok variabel, yaitu: variabel independe, variabel intervening, variabel control
dan variabel dependen. Untuk menguji konsistensi pengaruh variabel independent
terhadap financial distress SOE, maka pengukuran variabel dependent dilengkapi
dengan analisis sensitifitas, atau menggunakan pengukuran alternatif sebagai
pembanding terhadap pengukuran yang digunakan dalam model analisis ini.
Gambar 5: Conceptual framework
1. Variabel dependent
Variabel dependent financial distress (YFINDIS) pada penelitian ini adalah
menunjukkan tingkat kesulitan keuangan yang dihadapi BUMN terutama yang masih
tergantung pendanaannya dari subsidi pemerintah, menerima bantuan penyertaan
modal negara (PMN) dan mengalami kerugian. Financial distress menunjukkan
34. 34
kinerja keuangan yang dihasilkan oleh manajemen dalam menjalankan korporasi, hal
ini ditandai dengan level pencapaian score marginal (SMg).
Besaran nilai score marginal maksimum satu yang berarti kinerja keuangan
optimal dalam pengelolaan sumber daya karena kondisi tersebut menyebabkan
perusahaan mencapai keuntungan maksimum atau kerugian minimum. Sebaliknya
bila nilai score marginal kurang dari satu, maka kinerja keuangan tersebut dapat
ditingkatkan melalui tindakan startegi dan kebijakan manajemen terhadap faktor-
faktor yang mempengaruhi score marginal.
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menilai score marginal masing-
masing BUMN sebagaimana lampiran-8. Hasilnya dapat dinilai dan membandingkan
tingkat score marginal atau financial distress masing-masing BUMN, sehingga
bermanfaat dalam hal: (a) menilai keberhasilan BUMN dari waktu ke waktu; (b)
menyusun rangking capaian score marginal atau financial distress BUMN, sekaligus
membandingkan antara BUMN; (c) menentukan target kinerja score marginal
periode berikutnya dalam jangka pendek dan jangka panjang business plan BUMN;
(d) mencapai target score marginal dengan memperhatikan variabel kunci yang
mempengaruhi financial distress.
Analisis sensitivitas
Untuk membandingkan hasil persamaan regresi dengan pengukruan financial
distress berdasarkan pendekatan score marginal, maka pada penelitian ini digunakan
analisis sensitivitas dengan menggunakan pengukuran financial distress berdasarkan
pendekatan Altman model (1968), dan Springate (1978) sebagaimana tabel 1 dan
lampiran 12.
2. Variabel independent
Variabel independent sebagai variabel yang berpengaruh terhadap variable
dependent, sehingga perubahan yang terjadi terhadap variable independent akan
menyebabkan pengaruh terhadap perubahan variable dependent.
Alasan pemilihan variabel independent didasarkan pada pertibangan teoritis,
hasil penelitian sebelumnya, dan kondisi empris yang menunjukkan bahwa variabel
independent tersebut mempengaruhi financial distress BUMN, seperti pada gambar
5 rerangka konseptual berikut ini.
3. Variabel intervening
35. 35
Variabel intervening pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO)
berpengaruh terhadap financial distress (YFINDIS), sebagaimana gambar-5. Alasan
menggunakan cash flow from operating (ZΔCFO) sebagai variabel intervening,
karena variabel dependentt financial distress ditentukan oleh pengelolaan cash flow
operating. Sedangkan variabel intervening cash flow from operating dipengaruhi
oleh variabel independent dan variabel control.
Uji variabel intervening pada penelitian ini dapat dilakukan melalui Path
Analysis yang dikembangkan pertama kali oleh Sewal Wright pada tahun 1934
(Sarwono, 2011).
4. Variabel control
Peneliti tidak harus memasukkan semua variabel prediktor dalam model
penelitian, namun terhadap variabel prediktor yang diduga sangat berpengaruh tetapi
berada di luar lingkup topik penelitian, maka peneliti melakukan kontrol agar bisa
memberikaneksplanasihasilpenelitianyanglebihbaik. Variabel control yang digunakan
pada penelitian ini, terdiri dari: (a) ukuran perusahaan (X10SIZE), (b) leverage
(X11LEV), dan (c) government subsidy and equity (X12SUBE). Ketiga variabel
control tersebut berpengaruh terhadap financial distress (YFINDIS), tetapi fungsinya
hanya sebagai kontrol sebagaimana dijelaskan diatas.
Alasan penggunaan firm siza (X10SIZE) sebagai variabel kontrol, terutama
karena variabel ini memiliki peranan penting dalam skala usaha yang meiliki
kecenderungan pola kebijakan dalam mengatasi kesulitan keuangan, yaitu
perusahaan kecil lebih mudah untuk mengalihkan usahanya dan bersaing dengan
perusahaan kelas menengah dan untuk melakukan perbaikan dibutuhkan pendanaan
yang relatif tidak terlalu banyak. Sedangkan perusahaan dengan ukuran besar
memelukan pendanaan yang cukup besar untuk mengatasi kesulitan keuangan dan
sulit mencari lembaga keuangan yang dapat memenuhi kesukitan keuang tersebut.
Berdasarkan alasan tersebut, maka variabel ini digunakan sebagai alat kontrol untuk
menghidari terjadinya bias bila diabaikan.
Alasan penggunaan leverage (X11LEV) sebagai variabel kontrol, terutama
karena variabel ini memiliki peranan terhadap tingkat kesulitan keuangan.
Perusahaan dengan perbedaan komposisi perbandingan penggunaan debt dalam
memenuhi pendanaannya akan menghasilkan tingkat kesulitan keuangan yang
36. 36
berbeda. Perusahaan yang memiliki pendanaan yang lebih dominan dengan
menggunaakan debt akan sulit memperoleh tambahan pendanaan dari perbankan
dalam mengalami kesulitan keuangan, dibandinga perusahaan yang dominan
menggunakan modal sendiri. Berdasarkan alasan tersebut, maka variabel ini
digunakan sebagai variabel kontrol untuk menghidari terjadinya bias bila
mengabaikan dalam analisis regresi.
Alasan penggunaan government subsidy and equity (X12SUBE) sebagai
variabel kontrol, terutama karena adanya beberapa BUMN yang masih
menggantungkan kebutuhan pendanaannya dari bantuan subsidi atau tambahan
equity pemerintah, sehingga terjadi perbedaan dengan BUMN lainnya dalam
mengatasi kesulitan keuangan. Oleh sebab itu maka variabel ini digunakan sebagai
variabel kontrol dengan pengukuran sebagai variabel dummy, yaitu D=1 bila
menerima bantuan subsidi atau tambahan penyertaan modal, dan D=0 untuk lainnya.
Uji variabel kontrol menggunakan prosedur hierarchical regression, yang
merupakan pengembangan dari moderated regression equation yang dikemukakan
oleh Cohen & Cohen, Schmitt & Klimoski,1991 (Harsono, 2002). Hierarchical
regression adalah analisis regresi yang dilakukan secara berkali-kali dengan
komposisi variabel yang berbeda, mungkin ditambah, atau dikurangi, dengan tujuan
untuk melihat perbedaan tingkat pengaruh di setiap tingkat (step) pengujian.
3.2 Hypothesis Development
Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka pengembangan
hipotesis dilakukan untuk menjawab permasalahan penelitian ini dikemukakan
berikut ini.
1. Capital Expenditure (Hipotesis H1a dan H1b)
Pemilihan variabel independent capital expenditure (X1ΔCAPEX) erat
kaitannya dengan agency theory dan signalling theory. Tindakan manajemen dalam
memenuhi kepentingan pemegang saham dan memberi sinyal kepada stakeholder,
berdampak terhadap variabel capital expenditure (X1ΔCAPEX) yang dapat
mempengaruhi financial distress perusahaan, seperti pada gambar 1, 2 dan 5.
Dampak terhadap cash flow from operating terjadi karena keharusan
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Ketidak seimbangan yang terjadi pada
pengelolaan capital expenditure (X1ΔCAPEX) menyebabkan defisit cash flow from
37. 37
operating, dan mempengaruhi financial distress BUMN. Oleh sebab itu manajemen
capital expenditure (X1ΔCAPEX) penting peranannya dalam operasional BUMN
agar tidak menyulitkan cash flow from operating.
Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa capital expenditure
(X1ΔCAPEX) mempengaruhi keberhasilan atau kesulitan keuangan perusahaan.
Dan berdasarkan pentingnya variabel capital expenditure (X1ΔCAPEX) tersebut,
maka penelitian ini mengajukan hipotesis H1a dan H1b berikut.
H1a: Pertumbuhan investasi atau capital expenditure (X1ΔCAPEX) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik
Negara.
H1b: Pertumbuhan investasi atau capital expenditure (X1ΔCAPEX) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO), dan
berdampak terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
2. Working capital (Hipotesis H2a dan H2b)
Pemilihan variabel independent Working capital (X2WC) erat kaitannya
dengan agency theory dan signalling theory. Tindakan manajemen dalam memenuhi
kepentingan pemegang saham dan memberi sinyal kepada stakeholder, berdampak
terhadap variabel Working capital (X2WC) yang dapat mempengaruhi financial
distress perusahaan, seperti pada gambar 1, 2 dan 5.
Dampak terhadap cash flow from operating terjadi karena keharusan
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Ketidak seimbangan yang terjadi pada
pengelolaan Working capital (X2WC) menyebabkan defisit cash flow from
operating, dan mempengaruhi financial distress BUMN. Oleh sebab itu manajemen
Working capital (X2WC) penting peranannya dalam operasional BUMN agar tidak
menyulitkan cash flow from operating.
Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa Working capital (X2WC)
mempengaruhi keberhasilan atau kesulitan keuangan perusahaan. Dan berdasarkan
pentingnya variabel Working capital (X2WC) tersebut, maka penelitian ini
mengajukan hipotesis H2a dan H2b berikut.
H2a: Pertumbuhan Working capital (X2ΔWC) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
38. 38
H2b: Pertumbuhan Working capital (X2ΔWC) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO), dan berdampak terhadap
financial distress (YFINDIS)Badan Usaha Milik Negara.
3. Retained Earning (Hipotesis H3a dan H3b)
Pemilihan variabel independent retained earning (X3RE) erat kaitannya
dengan agency theory dan signalling theory. Tindakan manajemen dalam memenuhi
kepentingan pemegang saham dan memberi sinyal kepada stakeholder, berdampak
terhadap variabel retained earning (X3RE) yang dapat mempengaruhi financial
distress perusahaan, seperti pada gambar 1, 2 dan 5.
Dampak terhadap cash flow from operating terjadi karena keharusan
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Ketidak seimbangan yang terjadi pada
pengelolaan retained earning (X3RE) menyebabkan defisit cash flow from operating,
dan mempengaruhi financial distress BUMN. Oleh sebab itu manajemen retained
earning (X3RE) penting peranannya dalam operasional BUMN agar tidak
menyulitkan cash flow from operating.
Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa retained earning (X3RE)
mempengaruhi keberhasilan atau kesulitan keuangan perusahaan. Dan berdasarkan
pentingnya variabel retained earning (X3RE) tersebut, maka penelitian ini
mengajukan hipotesis H3a dan H3b berikut.
H3a: Pertumbuhan Retained earning (X3ΔRE) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
H3b: Pertumbuhan Retained earning (X3ΔRE) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO), dan berdampak terhadap
financial distress (YFINDIS)Badan Usaha Milik Negara.
4. Earning Before Intrest And Taxes (Hipotesis H4a dan H4b)
Pemilihan variabel independent earning before interst and tax (X4EBIT) erat
kaitannya dengan agency theory dan signalling theory. Tindakan manajemen dalam
memenuhi kepentingan pemegang saham dan memberi sinyal kepada stakeholder,
berdampak terhadap variabel earning before interst and tax (X4EBIT) yang dapat
mempengaruhi financial distress perusahaan, seperti pada gambar 1, 2 dan 5.
Dampak terhadap cash flow from operating terjadi karena keharusan
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Ketidak seimbangan yang terjadi pada
39. 39
pengelolaan earning before interst and tax (X4EBIT) menyebabkan defisit cash flow
from operating, dan mempengaruhi financial distress BUMN. Oleh sebab itu
manajemen earning before interst and tax (X4EBIT) penting peranannya dalam
operasional BUMN agar tidak menyulitkan cash flow from operating.
Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa earning before interst and
tax (X4EBIT) mempengaruhi keberhasilan atau kesulitan keuangan perusahaan. Dan
berdasarkan pentingnya variabel earning before interst and tax (X4EBIT) tersebut,
maka penelitian ini mengajukan hipotesis H4a dan H4b berikut.
H4a: Pertumbuhan Earning before interst and tax (X4ΔEBIT) berpengaruh positif
dan signifikan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
H4b: Pertumbuhan Earning before interst and tax (X4ΔEBIT) berpengaruh positif
dan signifikan terhadap pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO), dan
berdampak terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
5. Pertumbuhan Contribution Margin (Hipotesis H5a dan 5b)
Pemilihan variabel independent pertumbuhan contribution margin (X5ΔCM)
erat kaitannya dengan agency theory dan signalling theory. Tindakan manajemen
dalam memenuhi kepentingan pemegang saham dan memberi sinyal kepada
stakeholder, berdampak terhadap variabel pertumbuhan contribution margin
(X5ΔCM) yang dapat mempengaruhi financial distress perusahaan, seperti pada
gambar 1, 2 dan 5.
Dampak terhadap cash flow from operating terjadi karena keharusan
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Ketidak seimbangan yang terjadi pada
pengelolaan pertumbuhan contribution margin (X5ΔCM) menyebabkan defisit cash
flow from operating, dan mempengaruhi financial distress BUMN. Oleh sebab itu
manajemen pertumbuhan contribution margin (X5ΔCM) penting peranannya dalam
operasional BUMN agar tidak menyulitkan cash flow from operating.
Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa pertumbuhan contribution
margin (X5ΔCM) mempengaruhi keberhasilan atau kesulitan keuangan perusahaan.
Dan berdasarkan pentingnya variabel pertumbuhan contribution margin (X5ΔCM)
tersebut, maka penelitian ini mengajukan hipotesis H5a dan H5b berikut.
H5a: Pertumbuhan Contribution margin (X5ΔCM) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
40. 40
H5b: Pertumbuhan Contribution margin (X5ΔCM) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO), dan
berdampak terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
6. Pertumbuhan Equity (Hipotesis H6a dan H6b)
Pemilihan variabel independent pertumbuhan equity (X6ΔEQ) erat kaitannya
dengan agency theory dan signalling theory. Tindakan manajemen dalam memenuhi
kepentingan pemegang saham dan memberi sinyal kepada stakeholder, berdampak
terhadap variabel pertumbuhan equity (X6ΔEQ) yang dapat mempengaruhi financial
distress perusahaan, seperti pada gambar 1, 2 dan 5.
Dampak terhadap cash flow from operating terjadi karena keharusan
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Ketidak seimbangan yang terjadi pada
pertumbuhan equity (X6ΔEQ) menyebabkan defisit cash flow from operating, dan
mempengaruhi financial distress BUMN. Oleh sebab itu manajemen pertumbuhan
equity ((X6ΔEQ) penting peranannya dalam operasional BUMN agar tidak
menyulitkan cash flow from operating.
Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa pertumbuhan equity
(X6ΔEQ) mempengaruhi keberhasilan atau kesulitan keuangan perusahaan. Dan
berdasarkan pentingnya variabel pertumbuhan equity (X6ΔEQ) tersebut, maka
penelitian ini mengajukan hipotesis H6a dan H6b berikut.
H6a: Pertumbuhan equity atau modal sendiri (X6ΔEQ) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
H6b: Pertumbuhan equity atau modal sendiri (X6ΔEQ) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO), dan
berdampak terhadap financial distress (YFINDIS)Badan Usaha Milik Negara.
7. Tingkat Efisiensi atau Produktifitas Operasi (Hipotesis H7a dan H7b)
Pemilihan variabel independent tingkat efisiensi atau produktifitas operasi
(X7EFSO) erat kaitannya dengan agency theory dan signalling theory. Tindakan
manajemen dalam memenuhi kepentingan pemegang saham dan memberi sinyal
kepada stakeholder, berdampak terhadap variabel tingkat efisiensi atau produktifitas
operasi (X7EFSO) yang dapat mempengaruhi financial distress perusahaan, seperti
pada gambar 1, 2 dan 5.
41. 41
Dampak terhadap cash flow from operating terjadi karena keharusan
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Ketidak seimbangan yang terjadi pada
pengelolaan tingkat efisiensi atau produktifitas operasi (X7EFSO) menyebabkan
defisit cash flow from operating, dan mempengaruhi financial distress BUMN. Oleh
sebab itu manajemen tingkat efisiensi atau produktifitas operasi (X7EFSO) penting
peranannya dalam operasional BUMN agar tidak menyulitkan cash flow from
operating.
Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa tingkat efisiensi atau
produktifitas operasi (X7EFSO) mempengaruhi keberhasilan atau kesulitan
keuangan perusahaan. Dan berdasarkan pentingnya variabel tingkat efisiensi atau
produktifitas operasi (X7EFSO) tersebut, maka penelitian ini mengajukan hipotesis
H7a dan H7b berikut.
H7a: Tingkat efisiensi atau produktifitas operasi (X7EFSO) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
H7b: Tingkat efisiensi atau produktifitas operasi (X7EFSO) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO), dan
berdampak terhadap financial distress (YFINDIS)Badan Usaha Milik Negara.
8. Earning Management (Hipotesis H8a, H8b, H9a dan H9b)
Pemilihan variabel earning management erat kaitannya dengan agency theory
dan signalling theory. Tindakan manajemen dalam memenuhi kepentingan
pemegang saham dan memberi sinyal kepada stakeholder, berdampak terhadap
variabel earning management yang dapat mempengaruhi financial distress
perusahaan, seperti pada gambar 1, 2 dan 5.
Dampak terhadap cash flow from operating terjadi karena keharusan
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Ketidak seimbangan yang terjadi pada
pengelolaan earning management menyebabkan defisit cash flow from operating,
dan mempengaruhi financial distress BUMN. Oleh sebab itu earning management
penting peranannya dalam operasional BUMN agar tidak menyulitkan cash flow
from operating.
Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa earning management
mempengaruhi keberhasilan atau kesulitan keuangan perusahaan. Dan berdasarkan
42. 42
pentingnya variabel earning management tersebut, maka penelitian ini mengajukan
hipotesis H8a, H8b, H9a, dan H9b berikut.
H8a: Real activities earning management (X8RAEM) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
H8b: Real activities earning management (X8RAEM) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO), dan
berdampak terhadap financial distress (YFINDIS)Badan Usaha Milik Negara.
H9a: Accruals earning management (X9ACEM) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
H9b: Accruals earning management (X9ACEM) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO), dan berdampak terhadap
financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
9. Cash Flow From Operating (Hipotesis H10)
Pemilihan variabel cash flow from operating (ZΔCFO) erat kaitannya dengan
agency theory dan signalling theory. Tindakan manajemen dalam memenuhi
kepentingan pemegang saham dan memberi sinyal kepada stakeholder,
berdampakterhadap variabel cash flow from operating (ZΔCFO) yang dapat
mempengaruhi financial distress perusahaan, seperti pada gambar-1 dan gambar-2.
Dampak terhadap cash flow from operating terjadi karena keharusan
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Ketidak seimbangan yang terjadi pada
pengelolaan cash flow from operating (ZΔCFO mempengaruhi financial distress
BUMN. Oleh sebab itu manajemen cash flow from operating (ZΔCFO) penting
peranannya dalam operasional BUMN agar tidak menyulitkan keuangan perusahaan.
Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa cash flow from operating
(ZΔCFO) mempengaruhi keberhasilan atau kesulitan keuangan perusahaan. Dan
berdasarkan pentingnya variabel intervening cash flow from operating (ZΔCFO)
tersebut, maka penelitian ini mengajukan hipotesis H19 berikut.
H10: Pertumbuhan cash flow from operating (ZΔCFO) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap financial distress (YFINDIS) Badan Usaha Milik Negara.
43. 43
CHAPTER IV
METHODOLOGY
4.1 ResearchDesign
Desain penelitian ini menunjukkan proses pelaksanaan penelitian yang
dilaksanakan secara terstruktur agar dicapai hasil yang obyektif, efisien dan efektif.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan dalam rancangan penelitian ini, yaitu
: (a) Penelitian ini termasuk sebagai jenis pengujian hipotesis untuk menguji apakan
hipotesis yang diajukan untuk menjawab permasalahan penelitian dapat diterima
atau sesuai dengan prediksi. (b) Penelitian ini melakukan pengujian hipotesis yang
berbasis pada kausalitas untuk menunjukkan tingkat signifikansi pengaruh variabel
independent terhadap variabel dependent baik secara langsung maupun secara tidak
langsung melalui variabel intervening. (c) Data yang digunakan pada penelitian ini
adalah data cross section, data time series dan data panel atau pooled data yang
menggunakan data gabungan antara data cross section dengan data time series. (d)
Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari 50 BUMN pada periode pengamatan
5 tahun terakhir (2013-2017) sebagaimana lampiran-4. (e) Penelitian dilakukan
dengan lingkungan yang riil yaitu sesuai dengan kondisi operasional dan financial
perusahaan. (f) Penelitian ini menggunakan unit analisis entitas BUMN untuk
mengkaji dan memahami berbagai aspek operasional BUMN, terutama dalam hal
organisasi dari perusahaan BUMN yang diteliti, industry terkait, pasar modal yang
menyajikan informasi terkait BUMN tersebut, pemerintah melalui kantor
kementerian BUMN sebagai pemegang saham BUMN dan kantor kementerian
teknis yang terkait. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lengkap
terkait dengan analisis permasalahan dan tujuan penelitian ini. (g) Penelitian ini
membutuhkan sumber daya berupa sistim informasi online sehingga memudahkan
perolehan data yang diperlukan, disamping kemudahan akses untuk memperoleh
informasi langsung dari personal kunci di masing-masing BUMN yang menjadi unit
analisis penelitian ini.
4.2 Sample Selection
Populasi penelitian ini adalah keseluruhan BUMN yang masih beroperasi
secara aktif, sedangkan sampel ditentukan dengan menggunakan teknik purposive
44. 44
sampling yaitu penetapan sampel dengan memilih beberapa sampel tertentu yang
dinilai sesuai dengan tujuan atau masalah penelitian agar data yang diperoleh
nantinya bisa lebih representative atau mewakili populasi. Sampel dipilih
berdasarkan kriteria sebagaimana lampiran 4, yaitu: (a) BUMN yang menerima
subsidi sebanyak 9 BUMN untuk 8 sektor layanan, (b) BUMN yang menerima
tambahan penyertaan modal negara tahun 2016 sebanyak 27 BUMN, dan (c) BUMN
yang mengalami kerugian semester 1 tahun 2017 sebanyak 24 BUMN. Sebanyak 9
BUMN terkelompok secara overlapping, yaitu 2 BUMN menerima subsidi dan
menerima PMN, 2 BUMN menerima subsidi dan rugi, dan 5 BUMN menerima PMN
dan rugi. Jumlah unit analisis penelitian ini sebanyak 51 BUMN atau sekitar 44%
dari jumlah populasi sebanyak 115 BUMN yang dilaporkan pada tahun 2017
sebagaimana lampiran 9.
Pengamatan dilakukan dalam kurung waktu 5 tahun terakhir (2013-2017),
dengan alasan memperoleh gambaran yang lebih lengkap dalam satu siklus rencana
jangka panjang perusahaan (RJPP), sehingga jumlah pengamatan pada penelitian ini
sebanyak 250 BUMN-tahun (51 BUMN x 5 tahun = 255 BUMN-tahun).
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah melalui data sekunder
berdasarkan dokumen laporan keuangan BUMN dan dokumen lainnya yang terkait
dengan variabel yang digunakan pada penelitian ini. Dan sebagai kelengkapan
analisis, maka pengumpulan data juga menggunakan metode observasi dan
wawancara terhadap personal kunci BUMN yang menjadi unit analisis penelitian ini.
4.3 Measurement of Variable
Variabel dependent, variabel intervening, variabel independent, dan variabel
control didefinisikan dan diukur seperti berkut ini.
Dependent Variable
Dependent variables adalah sebagai variable yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang akan dianalisis untuk menjelaskan fenomena dan permasalahan penelitian ini. Financial
distress sebagai variable dependent yang akan dinalaisis dengan menggunakan beberapa
variabel kunci untuk menjelaskan problem financial distress yang dihadapi oleh SOE.
Financial distress (YFINDISt)
Financial distress, yaitu sebagai variabel dependent yang menunjukkan
tingkat kesulitan keuangan yang dihadapi oleh badan usaha milik negara (SOE)
45. 45
mulai dari skala kesulitan kecil, sedang sampai dengan kebangkrutan. Financial
distress sebagai istilah yang baku dalam banyak literatur dan penelitian sebelumnya
baik dalam skala nasional maupun internasional, sehingga penelitian ini
menggunakan istilah atau nama variabel financial distress, dengan alasan tidak
mengurangi makna dalam analisis kondisi kesulitan keuangan SOE. Pengukuran
variabel finacial distress SOE digunakan pendekatan score marginal (SMg)
sebagaimana dijelaskan pada sub bab 2.1, appendix 6, dan tabel 1 berikut.
Table 1: Measurement of Dependent and Intervening Variables
Penelitian ini menggunakan pengukuran financial distress berbasis pendekatan
marginal, sebagainovelty dalam metode pengukuran variabel yang memberikan kontribusi
untuk kesempurnaan pengukuran financial distress pada penelitian terdahulu. Untuk analisis
sensitifitas dalam menguji konsistensi dan membandingkan metode pengukuran lainnya,
maka penelitian ini menggunkana metode pengukuran score Althman (1968) dan score
Springate (1978), sebagaimana tabel 1.
Intervening Variabel
Cash flow from operating growth (ZΔCFOt)
Pertumbuhan Cash flow from operating (ZΔCFO), yaitu sebagai varaibel
intervening yang menggambarkan jumlah aliran cash yang berasal dari kegiatan
No. Variables Measurement Definition
A. Dependent Variable
1 Financial distress SMg= score marginal
Score Marginal (Assagaf, 2019) SMg = 1 - MR= marginal revenue
or MC=marginal cost
TR=total revenue
SMg = 1 - TC=total cost
Q= quantity of sales
2 Financial distress Z = 1.2*X1 + 1.4*X2 + 3.3*X3 + 0.6*X4 + 1.0*X5 Z= Z-Score Altman
( Score Altman, 1968) X!= Working capital/ Total assets
- Sensitivity analysis X2= Retained earning/ Total assets
X3= EBIT/ Total assets
X4= Market value of Eq/ BV of Liabts
X5= Sales/ Total assets
3 Financial distress Z = 1.03A + 3.07B + 0.66C + 0.4D Z= Z-Score Springate
(Springate, 1978) A= Working capital/ Total assets
- Sensitivity analysis B= EBIT/ Total assets
C= Net profit befor taxes/ Total assets
D= Sales/ Total assets
B Intervening Variable
Cash flow from operating ZΔCFOt CFO= cash flow from operating
(Gitman and Zutter, 2010) and
(Chen et al.2010)
46. 46
operasional perusahaan dalam sautu periode tetentu, misalnya satu tahun. Alasan
menggunakan variabel ini sebagai variabel intervening dan uji statistik yang
menyertainya, yaitu dilakukan sebagaimana sub bab 2.2 pada uraian kerangka
konseptual.
Pengukurannya variabel ini dilakukan berdasarkan hasil perhitungan cash
flow from operating yang disajikan pada laporan keuangan akhir tahun sebagaimana
penelitian Chen et al. (2010) pada tabel 1.
Independent Variables
Variabel independent, yaitu sebagai faktor yang mempengaruhi financial
distress sesuai kondisi empiris SOE, dan pengukurannya menggunakan referensi dan
penelitian terdahulu sebagaimana tabel 2.
Table 2: Measurement of Dependent and Intervening Variables
1. Pertumbuhan investasi (X1ΔCAPEXt)
No. Variables Measurement Definition
1 Investment growth X1ΔCAPEXt = CAPEX= capital expenditure
(Chen et al. 2010)
2 Working capital growth X2ΔWCt = WC= working capital
(Brigham and Daves, 2007)
3 Retained earnings growth X3ΔREt = RE= retained earning
(Gitman and Zutter, 2010)
4 EBIT growth X4ΔEBITt = EBIT= earning before interest
(Brigham and Daves, 2007) and taxes
5 Contribution margin growth X5ΔCMt = CM= contribution margin
(Ramadan, 2015)
6 Equity growth X6ΔEQt = EQ= equity
(Gitman and Zutter, 2010)
7 EFSO X7EFSOt = EFSO= efisiensi or productivity
(Warrad dan Omari, 2015) of the operation
8 Real-activities earnings X8RAEMt = AREALt = ACFOt + ACOGSt + AΔINVt+ RAEMt = abnormal of the RAEM
management APRODt + ADEXPt ACFO = residual operating cash flow
(Roychowdhury, 2006) Where: ACOGS = abnormal cost of goods sold
CFOt/At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + β1 (St/At-1) + AΔINV= abnormal changes in inventory
β2 (ΔSt/At-1) + et APROD = abnormal costs of production
COGSt/At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + β (St/At-1) + et ADEXP = abnormal discretionary expense
ΔINVt/At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + β1 (ΔSt/At-1) + At = total assets
β2 (ΔSt-1/At-1) + et St= sales
PRODt/At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + β1 (St/At-1) +
β2 (ΔSt/At-1) + B3 (ΔSt-1/At-1) + et
DEXPt/At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + β (St-1/At-1) + et
9 Accruals earnings management X9ACEM = ACEM = (ΔCA - ΔCash) - ACEM is total accrruals
(Habib, 2004), (ΔCL - ΔSTD) - Depreciation ΔCA is a change in current assets
(Baharuddin and ΔCL is a change in current liabilities
Setyanugraha, 2008) ΔCash is the change in cash
ΔSTD is long term debt in CL
47. 47
Pertumbuhan investasi (X1ΔCAPEXt), yaitu sebagai variabel independent
yang menunjukkan besarnya pengeluaran investasi suatu periode tertentu atau
dikenal dengan capital expenditure periode t. Variabel ini diukur dengan
menggunakan formula sebagaimana penelitian Chen et al. (2010) pada tabel 2.
2. Pertumbuhan Working Capital (X2ΔWCt)
Pertumbuhan Working Capital (X2ΔWCt), yaitu perubahan working capital
antara waktu, sedangkan working capital sebagai selisih antara asset lancar dengan
utang lancar yang menggambarkan modal kerja bersih yang dimiliki perusahaan
periode t. Pengukuran variabel ini menggunakan formula sebagaimana Brigham and
Daves (2007) pada tabel 2.
3. Pertumbuhan Retained Earning (X3ΔREt)
Pertumbuhan Retained Earning (X3ΔREt), yaitu perubahan retained earning
antara waktu, sedangkan reatained earning merupakan bagian laba yang tidak
dibagikan kepada pemegang saham, dan dapat digunakan oleh perusahaan untuk
memperkuat kebutuhan financial baik untuk pembiayaan operasional maupun untuk
pengembangan atau investasi periode t. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan
menggunakan formula sebagaimana dalam Gitman dan Zutter (2010) pada tabel 2.
4. Pertumbuhan Earning Before Intrest and Tax (X4ΔEBITt)
Pertumbuhan Earning Before Intrest and Tax (X4EBITt), yaitu perubahan
EBIT antara waktu, sedangkan EBIT menunjukkan pencapaian profitabilitas
operasional perusahaan sebelum diperhitungan beban dan pendapatan lainnya diluar
operasi dan beban pajak periode t. Pengukuran variabel ini menggunakan formula
sebagaimana dalam Brigham and Daves (2007) pada tabel 2.
5. Pertumbuhan contribution margin (X5ΔCMt)
Pertumbuhan contribution margin (X5ΔCMt), yaitu perubahan contributtion
margin antara waktu, sedangkan contribution margin menunjukkan selisih antara
total penjualan dengan total biaya variabel atau selisih antara harga rata-rata dengan
biaya variabel perunit periode t. Pengukuran variabel ini menggunakan formula
sebagaimana penelitian Ramadan (2015) pada tabel 2.
6. Pertumbuhan equity (X6ΔEQt)
Pertumbuhan equity (X6ΔEQt), yaitu tingkat pertumbuhan modal pemilik
baik karena pertambahan profitabilitas maupun dari tambahan setoran modal pemilik
48. 48
periode t. Pengukuran variabel ini menggunakan formula sebagaimana dalam
Gitman dan Zutter (2010) pada tabel 2.
7. Efisiensi atau produktivitas operasi (X7EFSOt)
Tingkat efisiensi atau produktivitas operasi (X7EFSOt), yaitu tingkat
perbandingan antara nilai pendapatan operasi (output) dengan jumlah aset operasi
yang digunakan dalam proses operasional (input) periode t. Variabel ini diukur
dengan menggunakan formula sebagaimana penelitian Warrad dan Omari (2015)
pada tabel 2.
8. Real activities earning management (X8RAEMt)
Real activities earning management (X8RAEMt), yaitu variabel independent
yang menunjukkan tindakan manajemen laba yang berbasis aktivitas perusahaan
periode t. Real Earnings Management didefinisikan sebagai tindakan-tindakan
manajemen yang menyimpang dari praktik bisnis yang normal yang dilakukan
dengan tujuan utama untuk mencapai target laba (Cohen and Zarowin, 2008;
Roychowdhury, 2006). Real activities earnings management dapat dilakukan
dengan 3 cara yaitu manipulasi penjualan, produksi yang berlebihan
(overproduction), dan penurunan discretionary expenditures.
Variabel ini diukur dengan mengunakan abnormal cash flow operating,
abnormal biaya prouksi dan abnormal discretionary expenses. Variabel independent
real activities earning management adalah tindakan yang dilakukan oleh manajemen
dalam mempengaruhi laporan keuangan melalui kebijakan yang berkaitan dengan
aktivitas perusahaan seperti produksi, penjualan, piutang, inventory dan lainnya.
Pengukuran variabel real activities menggunakan persamaan sebagaimana penelitian
Roychowdhury (2006) pada tabel 2.
Penelitian Setiawan et al. (2011) memodifikasi model pengukuran variabel
real activities earning management tersebut diatas, yaitu tanpa indikator At-1 dengan
persamaan CFO, PROD, dan DEXP untuk menghitung residual atau abnormal dari
real activities.
9. Accruals earning management (X9ACEMt)
Accruals earning management (X9ACEMt), yaitu variabel independent yang
menunjukkan tindakan manajemen laba yang berbasis pada transaksi accruals
49. 49
periode t. Pengukuran variabel accruals earning management menggunakan formula
sebagaimana penelitian Habib (2004), Baharuddin dan Setyanugraha (2008) pada
tabel 2.
Control Variable
Control variabel sebagai faktor yang digunakan agar tidak terjadi bias atas
pengaruh variabel independent terhadap financial distress. Penelitian ini
menggunakan beberapa variabel control dengan metode pengukuran sebagaimana
tabel 3.
Table 3: Measurement of control variables
1. Firm size (X10SIZEt)
Ukuran perusahaan (X10SIZEt), yaitu kapasistas operasional yang
direpleksikan oleh nilai kekayaan atau aset yang dimiliki perusahaan periode t.
Variabel ini diukur dengan menggunakan formula sebagaimana penelitian Ramadan
(2015) pada tabel 3.
2. Leverage (X11LEVt)
Tingkat leverage (X11LEVt), yaitu tingkat perbadingan antara jumlah hutang
jangka panjang (debt capital) dengan jumlah ekuitas (equity capital) yang dimiliki
perusahan periode t. Pengukuran variabel leverage adalah menggunakan formula
struktur kapital sebagaimana dalam Gitman dan Zutter (2010) dan penelitian Chen
et al. (2010) pada tabel 3.
Formula struktur kapital ini, adalah relevan dengan praktek pendanaan
perbankan pada BUMN seperti proyek pembangunan ketenagalistrikan dan lainnya,
No. Variables Measurement Definition
1 Firm size X10SIZEt = Log (Total Assetst) Size= firm size
(Roychowdhury, 2006)
2 Leverage X11LEVt = LEV= Leverage
(Gitman and Zutter, 2010)
( Chen et al. 2010)
3 Government subsidy Dummy variables: GSAE= government equity and
Dough Keplow (2009) D=1, subsidies and additional equity additional equity
D=0, others
50. 50
dengan komposisi debt capital dan equity capital pada perbandingan 65%:35%
sampai dengan 70%:30%.
3. Government subsidy and equity (X12SUBEt)
Government subsidy and equity (X12SUBE), yaitu sebagai variabel control
pendanaan subsidi dan tambahan equity pemerintah atau PMN. Alasan
menggunakan variabel ini sebagai variabel control karena sebagaian BUMN
memperoleh memperoleh bantuan subsidi dan tambahan penyertaan modal, sehingga
terhadap BUMN tersebut berbeda dengan BUMN lainnya dalam menghadapi
financial distress, sehingga penting digunakan sebagai variabel control agar tidak
bias dalam analisis bila variabel ini tidak diperhitungkan analisis regresi.
Berdasarkan kebijakan terhadap BUMN tertentu yang memperoleh bantuan subsidi
dan tambahan penyertaan modal, maka pengukuran variabel ini pada tabel 3,
menggunakan variabel dummy sebagaimana penelitian Dough Keplow (2009), yaitu
D=1 terhadap BUMN yang memperoleh bantuan subsidi atau tambahan penyertaan
modal, D=0 untuk lainnya.
4.4 ResearchModel
Secara substansial penelitian ini merupakan suatu konsep baru dalam
pengukuran variabel dependent financial distress yang berlandaskan pada teori dan
hasil penelitian sebelumnya untuk mengkaji faktor yang terkait dengan kesulitan
keuangan atau financial distress yang dialami oleh BUMN. Dan untuk menguji
hipotesis yang diajukan pada penelitian ini, maka model analisis yang digunakan
adalah sebagaimana persamaan regresi berikut.
Model 1: Menguji hipotesis variabel yang berpengaruh langsung terhadap financial
distress Badan Usaha Milik Negara (H1a sampai dengan H9a), dengan model
persamaan berikut ini.
YFINDISt = β0 + β1 X1ΔCAPEXt + β2 X2ΔWCt + β3 X3ΔREt + β4 X4ΔEBITt +
β5 X5ΔCMt + β6 X6ΔEQt + β7 X7EFSOt + β8 X8RAEMt +
β9 X9 ACEMt + β10 X10SIZEt + β11 X11LEVt + β12 X12SUBEt +
β13 ZΔCFOt + et .,………………….. (1)
Model 2: Menguji hipotesis variabel yang berpengaruh tidak langsung terhadap
financial distress Badan Usaha Milik Negara, melalui cash flow from operating (H1b