Laporan ini membahas asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan pneumonia. Laporan meninjau konsep penyakit pneumonia pada lansia, definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, patofisiologi, penatalaksanaan, komplikasi, dan pencegahan.
1. LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATAN DAN TATALAKSANA PADA LANSIA DENGAN KASUS
PNEUMONIA
Disusun dan diajukan oleh :
SHINTIA RAHMA DEWI
NIM 202205109
PROGRAM STUDI S1
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ICHSAN SATYA BINTARO
2023
2. HALAMAN PENGESAHAN
Studi Kasus ini diajukan oleh:
Nama : Shintia Rahma
Dewi
NIM : 202205109
Program : Studi. S1
Judul Studi Kasus
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATAN DAN TATALAKSANA PADA LANSIA DENGAN KASUS
PNEUMONIA
Pembimbing
Ns. Sugiyono, M.Kep.Sp.Kep.MB (… )
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : Mei 2023
3. KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan
Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Asuhan
Keperawatan Kegawatan dan Tatatalaksana pada lansia dengan kasus Pneumonia.
Dalam melaksanakan Asuhan keperawatan gawat darurat ini, penulis banyak mengalami
hambatan dan kesulitan, namun semua itu menjadi ringan berkat dukungan, bimbingan
serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang setulus-tulusnya kepada
1. Bapak Ns.Sugiyono , M.Kep,S,Kep.MB selaku Dosen pembimbing stase KGD
dalam pembuatan Laporan kasus yang telah memberikan bimbingan dan berbagai
pengalaman kepada penulis
2. Kepada keluarga yang telah memberikan dukungan , semangat serta motivasi
kepada saya dalam menyelesaikan laporan ini
3. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima
kasih banyak, semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada
penulis mendapat balasan pahala dari Allah SWT.
Penulis menyadari laporan asuhan keperawatan ini jauh dari kesempurnaan, karena itu
dengan terbuka penulis mengharapkan bimbingan dan saran yang bersifat membangun
demi perbaikan dan kesempurnaan laporan asuhan keperawatan gawat darurat ini. Akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga laporan asuhan gawat darurat ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Jakarta, Mei 2023
Penulis
4. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..i
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN……………………………………ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….iv
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. v
DAFTAR GAMBAR........................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………...1
1.2.1Tujuan Umum…………………………………………………….. 5
1.2.2Tujuan Khusus……………………………………………………. 5
BAB II TINJAUAN TEORITIS……………………………………………..6
2.1 Konsep penyakit………………………………………………………….6
2.1.1 Pneumoni pada lansia……………………………………………….6
2.1.2 Definisi penyakit…………………………………………………….6
2.1.3 Etiologi………………………………………………………………7
2.1.4 Klasifikasi…………………………………………………………8
2.1.5 Manifestasi klinis……………………………………………………9
2.1.6 Patofisiologis……………………………………………………….10
2.1.7 Pathway……………………………………………………………12
2.1.8 Penatalaksanaan……………………………………………………12
2.1.9 Komplikasi…………………………………………………………13
2.1.10 Pemeriksaan penunjang…………………………………………14
5. 2.1.11 pencegahan………………………………………………………..14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN……………………………………..17
3.1 Pengkajian……………………………………………………..17
3.2 Diagnosa Keperawatan………………………………………28
3.3 Intervensi Keperawatan……………………………………….28
3.4 Impelementasi…………………………………………………33
3.5 Evaluasi ………………………………………………………34
BAB IV PENUTUP…………………………………………………………35
Kesimpulan ………………………………………………………………..35
DAFTAR PUSTAKA DAN LAMPIRAN…………………………………36
7. DAFTAR GAMBAR
1. Pathway Pneumonia
2. talaksana menurut GMC 7
3. Pedoman tatalaksana Pneumonia
4. Algoritma penanganan Pneumonia
5. Karakteristik terapi Pneumonia
6. Tatalaksana farmakologi
7. Gambar WOC
8. BABI
PENDAHULUA
1.1 Latar Belakang
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan
utama pada orang-orang dewasa. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada orang-orang dewasa. Pneumonia merupakan
salah satu penyakit peradangan akut parenkim paru yang biasanya dari suatu
infeksi saluran pernafasan bawah akut (Sylvia, 2015). Dengan gejala batuk
dan disertai dengan sesak nafas yang disebabkan agen infeksius seperti virus,
bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi subtansi asing, berupa radang paru
- paru yang disertai eksudasi dan konsodilatasi dan dapat dilihat melalui
gambaran radiologis (Amin Huda Nurarif, 2016). Adanya infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri dan jamur) yang masuk
kedalam tubuh dan menyerang system pertahanan tubuh, kemudian bakteri
bermultiplikasimembentuk koloni dan mengakibatkan infeksi sehingga
terjadi adanya peningkatan sputum dalam jalan nafas dan sulit untuk
dikeluarkan sehinggamenimbulkan masalah keperawatan bersihan jalan
nafas tidak efektif.
Menurut WHO 2013 menyebutkan bahwa penyebab tertinggi akibat
penyakit infeksi didunia adalah infeksi saluran nafas akut termasuk
pneumonia dan influenza. Insiden pneumonia komuniti di Amerika adalah 12
kasus per 1000 orang pertahun dan merupakan penyebab kematian
utamaakibat infeksi pada orang dewasa di Negara itu.
1
9. P
A
G
E
4
Penyakit pneumonia merupkan penyakit menular yang banyak diderita tiap
tahunnya. Angka kejadian pnemonia cukup tinggi di dunia yaitu sekitar
15% sampai 20% (WHO, 2015). Di Indonesia prevalensi berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan penyakit pneumonia selalu mengalami
peningkatan, dimana pada tahun 2013 angka kejadian pneumonia sebesar
1,8 % dan meningkat pada tahun 2018 mencapai angka 2,0 % (Riskesdas,
2018). Selain itu pneumonia merupakan salah satudari 10 besar penyakit
rawat inap di rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan
46,05% perempuan. Menurut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014).
Pneumonia merupakan penyakit yang memiliki tingkat crude fatality rate
(CFR) yang tinggi yaitu 7,6% (Abdjul & Herlina,2020). Data Riskesdas di
Indonesia tahun 2018 lima provinsi yang mempunyai insiden pneumonia
tertinggi dalah Papua (3,6%), Bengkulu (3,5%), Papua barat (2,9%), Jawa
barat (2,7%), dan Aceh (2,5%) sedangkan di Jawa Timur dengan urutan 19
pada kasus pneumonia (Kementerian Kesehatan RI Badan Asuhan
keperawatan ke pasien dan Pengembangan, 2018). Di Provinsi Jawa Timur
angka kejadian penyakit pneumonia masih 1,84 persen (Riskesdas, 2018).
Berdasarkan hasil asuhan keperawatan ke pasien yang dilakukan
oleh (Nurpratiwi Langke, 2015). penderita pneumonia terbanyak pada laki-
laki yaitu sebesar 55 %, sedangkan pada perempuan ditemukan sebanyak
45% dan penderita pneumonia terbanyak pada kelompok umur > 60 tahun
dengan persentasi sebanyak 27%. Menurut asuhan keperawatan ke pasien
yang dilakukan oleh (Sari, Rumende, & Harimurti, 2016). dari 106 pasien
yang menderita pneumonia sebanyak 73,3%
10. P
A
G
E
4
mengeluhkan batuk, sebanyak 24,8% mengeluhkan sputum berlebih, 74%
mengalami sesak napas, dan sebanyak 86,7% mengalami ronkhi,
berdasarkan hasil asuhan keperawatan ke pasien tersebut merupakan gejala
yang ditimbulkan dari bersihan jalan napas tidak efektif. Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan di ruang ICU RSUD Prof Dr. Soekandar
Mojosari pada tanggal 07 Februari 2022 didapatkan data bahwa dalam 1
bulan terakhir terdapat 9 pasien yang mengalami pneumonia dengan masalah
keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif dengan keluhan sesak
nafas,batuk,sputum berlebih dan terdapat suara ronkhi.
Mekanisme Pneumonia terjadi karena adanya sumber infeksi
disaluran pernafasan menyebabkan aspirasi bakteri berulang kemudian
mengakibatkan peradangan pada bronkus menyebar keparenkim paru,
adanya peradangan pada parenkim paru akan mengakibatkan edema
trakeal/faringeal, meningkatkan produksi sekret. Penumpukan sputum yang
berlebihan dapat mengakibatkan batuk produktif, sesak nafas dan penurunan
kemampuan batuk efektif akibatnya dapat menyumbat jalan nafas pernafaan,
sehingga muncul diagnosa keperawatan bersihan jalan afastidak efektif,
maka dari pada itu kita sebagai tenaga Kesehatan membantu pasien
mengeluarkan secret atau sputum (sylvia A Price, 2013). Dampak
yang terjadi jika bersihan jalan nafas tidak efektif pada pasien pneumonia
tidak segera ditangani mengakibatkan sekresi sputum mukopurulen dengan
hemoptysis menyebabkan penyumbatan dan mengganggu system transport
oksigen menuju ke paru, paru akan mengalami penurunan O2 dan CO2 akan
11. P
A
G
E
4
meningkat sehingga terjadi hipoksemia (Muttaqin, 2008). Sel tubuh yang
kekurangan oksigen akan sulitberkonsentrasi karena metabolisme terganggu
akibat kurangnya suplai oksigen dalam darah. Otak merupakan organ yang
sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen lebih dari lima menit dapat
terjadi kerusakan sel otak secara permanen, kerusakan sel yang menetap
dapat menimbulkan kematian(Barbara Kozier,Glenora Erb,Audrey Berman,
2011). Asuhan keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif secara
umumdapat diatasi dengan pembebasan jalan nafas dari sekret yang berlebih
dengan cara mengajarkan batuk efektif, mengatur posisi tidur semi fowler,
berlatih menarik nafas dalam dan memberikan bantuan oksigen agar
pernafasan lebih ringan juga saturasi oksigen dalam darah tidak menurun.
Memberikan terapi penguapan dengan nebulizer untuk membantu
pengenceran sekret (Imam Suprapto, 2013
12. PA
G
E
18
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penulisan Asuhan Keperawatan ini yaitu:
Penulis memperoleh gambaran umum mengenai asuhan keperawatan
KGD pada pasien lansia dengan Pneumonia.
1.2.2 Tujuan Khusus
Dalam melakukan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada lansia
dengan pneumonia, penulis diharapkan mampu untuk:
1. Melakukan pengkajian keperawatan Pada Pasien Pneumonia
2. Menetapkan diagnosa keperawatan Pada Pasien Pneumonia.
3. Menyusun perencanaan keperawatan Pada Pasien Pneumonia
4. Melaksanakan tindakan keperawatan Pada Pasien Pneumonia
5. Melakukan evaluasi dengan Pada Pasien Pneumonia
13. PA
G
E
18
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Peneumonia pada lansia
Kejadian pneumonia pada usia lanjut dapat disebabkan beberapa faktor
seperti, penurunan fungsi organ akibat proses penuaan yang terjadi pada
organ respirasi, yaitu penurunan refleks batuk, kemampuan silia saluran
nafas untuk membersihkan kotoran, kelemahan otot dinding dada serta
penurunan sistem kekebalan tubuh. Disfagia serta malnutrisi juga
merupakan masalah lain yang menjadi risiko terjadinya peneumonia.
Selain itu pada usia lanjut sering terjadi akumulasi penyakit kronis
degeneratif seperti diabetes, PPOK, gagal jantung, kanker, gangguan
ginjal, stroke yang mengakibatkan risiko dan prognosis pneumonia
menjadi semakin buruk.
2.1.2 Definisi penyakit
Pneumonia adalah salah satu penyakit peradangan akut parenkim paru
yang biasanya dari suatu infeksi saluran pernafasan bawah akut (Sylvia,
2015). Dengan gejala batuk dan disertai dengan sesak nafas yang
disebabkan agen infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan
aspirasi subtansi asing,berupa radang paru-paru yang disertai eksudasi dan
konsodilatasi dan dapat dilihat melalui gambaran radiologis (Amin
HudaNurarif, 2016).
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru- paru
(alveoli) dan mempunyai gejala batuk, sesak nafas, ronkhi, dan iflitrat pada
foto rontgen (Kaunang et al., 2016).
Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru, biasanya berhubungan
dengan pengisian alveoli dengan cairan (Imam Suprapto,2013).
Pneumonia adalah suatu proses peradangan di mana terdapat konsolidasi
14. PA
G
E
18
yang disebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas
tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi dan
darah dialirkan ke sekitar alveoli yang tidak berfungsi (Irman Somantri,
2008).
2.1.3 Etiologi
Menurut (Amin Huda Nurarif, 2016) penyebaran infeksi terjadi melalui
droplet dan sering disebabkan oleh streptococuspneumonia, melalui slang
infuse oleh staphylococus aureus sedangkan pada pemakaian ventilator
oleh p.aeruginosa danenterobacter. Dan masa kini terjadi karena
perubahan keadaan pasien seperti kekebalan tubuh dan penyakit kronis,
polusilingkungan, penggunaan antibiotic yang tidak tepat. Setelah masuk
ke paru-paru organism bermultiplikasi dan, jika telah berhasil
mengalahkan mekanisme pertahanan paru, terjadi pneumonia. Selain
diatas penyebab terjadinya pneumonia sesuai penggologan yaitu:
1) Bacteria: Diplococus pneumonia, Pneumococcus,
Streptokokushemolyticus, Streptokoccus aures, Hemophilus
influinzae,Mycobacterium tuberkolusis, Bacillus Friedlander.
2) Virus: Respiratory Syncytial Virus, Adeno virus,
V.Sitomegalitik, V.Influenza
3) Mycoplasma Pneumonia.
15. PA
G
E
18
4) Jamur: Histoplasma Capsulatum, Crytococcus Neuroformans,
Blastomyces, Dermatitides, Coccidodies
Immitis, AspergilusSpecies, Candida
Albicans.
5) Aspirasi: Makanan, Kerosene (bensin, minyak
tanah), Cairan Amnion, Benda Asing.
6) Pneumonia Hipostatik
7) Sindrom Loeffler.
2.1.4 Klasifikasi
Menurut (Amin Huda Nurarif, 2016) klasifikasi berdasarkan anatomi
(IKA FKUI)
1) Pneumonia Lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari
satu atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal
sebagai pneumonia bilateral atau “ganda”.
2) Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir
bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentu
bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya, disebut juga
pneumonia loburalis.
3) Pneumonia Interstitial (bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi di
dalam dinding alveolar (Interstisium) dan jaringan peribronkial serta
interlobular.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan inang dan lingkungan;
1) Pneumonia Komunitas
Dijumpai pada H. Influenza pada pasien perokok, pathogen atipikal
pada lansia, gram negative pada pasien dari rumah jompo, dengan
16. PA
G
E
18
adanya PPOK penyakit penyerta kardiopolmonal/jamak, atau paska
terapi antibotika spectrum luas.
2) Pneumonia Nosokomial
Tergantung pada 3 faktor yaitu: tingkat berat sakit, adanya resiko untuk
jenis pathogen tertentu, dan masa menjelang timbul onset pneumonia.
3) Pneumonia Aspirasi
Disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonitis kimia akibat aspirasi
bahan toksis, akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan makanan atau
lambung, edema paru, dan obtruksi mekanik simple oleh bahan padat.
4) Pneumonia pada Gangguan Imun
Terjadi karena akibat proses penyakit dan akibat terapi. Penyebab
infeksi dapat disebabkan oleh kuman pathogen atau mikroorganisme
yang biasanya nonvirulen, berupa bakteri, protozoa, parasit, virus,
jamur, dan cacing.
2.1.5 Manifestasi Klinis
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului infeksi saluran nafas
atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil,
suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 C, sesak nafas, nyeri dada,
dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning
hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti
nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala. Retraksi (penarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam saat bernafas bersama dengan
peningkatan frekuensi nafas), perkusi pekak, fremitus melemah, suara
nafas melemah, dan ronchi(Imam Suprapto, 2013).
Menurut Nanda Nic-Noc (2013) dan Nanda Nic- Noc (2015)
manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan pneumonia adalah:
1. Demam, sering tampak sebagai tanda infeksi yang pertama. Paling
17. PA
G
E
18
sering terjadi pada usia 6 bulan- 3 bulan dengan suhu mencapai 39,0
C -
40,50
C bahkan dengan infeksi ringan. Mungkin malas dan peka
rangsangan atau terkadang euforia dan lebih aktif dari normal, beberapa
anak bicara dengan kecepatan yang tidak biasa.
2. Meningismus, yaitu tanda-tanda meningael tanpa infeksi meninges.
Terjadi dengan awitan demam yang tiba-tiba disertai dengan nyeri
kepala, nyeri dan kekakuan pada punggung dan leher, adanya tanda
kerning dan brudzinski, dan akan berkurang saat suhu turun,
3. Anoreksia, merupakan hal yang umum disertai dengan penyakit masa
kanak-kanak. Seringkali merupakan bukti awal dari penyakit. Menetap
sampai pada derajat yang lebih besar atau lebih sedikit melalui tahap
demam dari penyakit, seringkali memanjang sampai ke tahap
pemulihan.
4. Muntah, Anak kecil mudah muntah bersamaan dengan penyakit yang
merupakan petunjuk untuk awitan infeksi. Biasanya berlangsung
singkat. Tetapi dapat menetap selama sakit.
5. Diare, Biasanya ringan, diare sementara tetapi dapat menjadi berat.
Sering menyertai infeksi pernafasan. Khususnya karena virus.
6. Nyeri abdomen, merupakan keluhan umum. Kadang tidak bisa
dibedakan dengan nyeri apendiksitis.
7. Sumbatan nasal, pasase nasal kecil dari bayi mudah tersumbat oleh
pembengkakan mukosa dan eksudasi, dapat mempengaruhi pernafasan
dan menyusu pada bayi.
8. Keluaran nasal, sering menyertai dengan infeksi saluran pernafasan.
Mungkin encer dan sedikit (rinorea) atau kental dan purulen,
bergantung pada tipe dan atau tahap infeksi.
9. Batuk, merupakan gambaran umum dari penyakit pernafasan. Dapat
menjadi bukti hanya fase akut.
18. PA
G
E
18
10. Bunyi pernafasan, seperti batuk, mengi, mengorok, auskultasi terdengar
mengi, krekels.
11. Sakit tenggorokan, merupakan keluhan yang sering terjadi pada anak
yang lebih besar. Ditandai dengan anak akan menolak untuk minum dan
makan per oral.
2.1.6 Patofisiologi
Menurut (Sujono Riyadi, 2009), kuman masuk kedalam jaringan paru-
paru melalui saluran nafas bagian atas menuju ke bronkiolus dan
alveolus. Setelah bakteri masuk dapat menimbulkanreaksi peradangan
dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein. Paru merupakan
struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit yang dibentuk
melalui percabangan progresif jalan napas. Saluran napas bagian bawah
yang normal adalah steril, walaupun berseblahan dengan sejumlah
besar mikroorganisme yang menempati orofaring dan terpajam oleh
mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup. Sterilitas
saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan
pembersihan yang efektif.
Saat terjadi inhalasi-bakteri mikroorganisme penyebab pneumonia
ataupun akibat dari penyebaran secara hematogen dari tubuh dan
aspirasi melalui orofaring tubuh pertama kali akan melakukan
mekanisme pertahanan primer dengan meningkatkan respon radang.
Timbulnya hepatisasi merah dikarenakan perembesan eritrosit dan
beberapa leukosit dari kapiler paru-paru. Pada tingkat lanjut aliran
darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relatif sedikit
eritrosit. Kuman pneumococcus difagosit oleh leukoasit dan sewaktu
resolusi berlangsung makrofag masuk ke dalam alveoli dan menelan
leukosit beserta kuman. Paru masuk ke dalam tahap hepatitis abu-abu
dan tampak berwarna abu-abu. Kekuningan. Secara perlahan sel darah
merah yang mati dan eksudat fibrin dibuang dari alveoli. Terjadi
21. PA
G
E
18
1. Humidifikasi: humidifier atau nebulizer jika sekret yang
kental dan berlebihan.
2. Oksigenasi
3. Fisioterapi: berperan dalam mempercepat resolusi
pneumonia, pasien harus didorong setidaknya untuk batuk
dan bernafas dalam untuk memaksimalkan kemampuan
ventilator.
4. Hidrasi: pemantauan asupan dan keluaran, cairan tambahan
untuk mempertahanakan hidrasi dan mencairkan sekresi
5. Pemberian antibiotik.
2.1.9 Komplikasi
Menurut (Mutaqin Arif, 2014). komplikasi yang dapat terjadi
adalah
1. Pleuritis: Peradangan pada selaput pembungkusau paru-paru atau
pleura
2. Atelektasis: Keadaan dimana paru-paru tidak dapat mengembang
dengan sempurna akibat kurangnya mobilisasi atau reflek batuk hilang
3. Empiema: Adanya pus pada rongga pleura
4. Abses paru: Penyakit yang menyerang organ paru-paru karena infeksi
bakteri yang menyebabkan jaringan paru-paru menjadi bernanah
5. Edema pulmonary: Suatu keadaan dimana cairan merembes keluar dari
pembuluh darah kecil paru ke dalam kantong udara dan daerah
disekitarnya
6. Infeksi super perikarditis: Peradangan yang terjadi pada selaput
pembungkus jantung (perikardium)
22. PA
G
E
18
7. Meningitis: Infeksi yang menyerang selaput otak
8. Arthritis: Suatu penyakit dimana persendian mengalami peradangan
(biasanya terjadi pada kaki dan tangan)
2.1.10 Pemeriksaan Penunjang
1) Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar,
brochial); dapat juga menyatakan abses)
2) Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
3) Pemeriksaan gram/kultur, sputumdan darah: untuk dapat
mengidentifikasi semua organisme yang ada
4) Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis
organisme khusus
5) Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan
luas berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan
6) Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
7) Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda
asing
2.1.11 Pencegahan
Terdapat beberapa vaksin pneumonia yang ditujukan untuk mencegah
pneumonia, namun tidak bisa mencegah pneumonia yang sedang
outbreak saat ini.
Beberapa vaksin tersebut yaitu sebagai berikut.
∙ Vaksin Pneumokokus (atau PCV : Pneumococcal Conjugate Vaccine)
Vaksin PCV13 (merek dagang Prevnar®) memberikan kekebalan
terhadap 13 strain bakteri Streptococcus pneumoniae, yang paling
sering menyebabkan penyakit pneumokokus pada manusia. Masa
perlindungan sekitar 3 tahun. Vaksin PCV13 utamanya ditujukan
kepada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun.
∙ Vaksin Pneumokokus PPSV23 Vaksin PPSV23 (nama dagang
Pneumovax 23®) memberikan proteksi terhadap 23 strain bakteri
23. PA
G
E
18
pneumokokus. Vaksin PPSV23 ditujukan kepada kelompok umur
yang lebih dewasa. Mereka adalah orang dewasa usia 65 tahun ke atas,
atau usia 2 hingga 64 tahun dengan kondisi khusus.
∙ Vaksin Hib Di negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae
type B (Hib) merupakan penyebab pneumonia dan radang otak
(meningitis) yang utama. Di Indonesia vaksinasi Hib telah masuk
dalam program nasional imunisasi untuk bayi. Terkait pencegahan
pneumonia yang sedang outbreak saat ini, belum ada vaksin untuk
mencegah kasus ini karena pneumonia pada kasus outbreak saat ini
disebabkan oleh coronavirus jenis baru. Menyikapi hal ini, PDPI
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia) menyarankan beberapa hal,
antara lain: 1. Agar masyarakat jangan panik. 2. Masyarakat tetap
waspada terutama bila mengalami gejala demam, batuk disertai
kesulitan bernafas, segera mencari pertolongan ke RS terdekat 3.
Health Advice
∙ Melakukan kebersihan tangan rutin, terutama sebelum memegang
mulut, hidung dan mata; serta setelah memegang instalasi publik.
∙ Mencuci tangan dengan air dan sabun cair serta bilas setidaknya 20
detik. Cuci dengan air dan keringkan dengan handuk atau kertas
PERHIMPUNAN DOKTER PARU INDONESIA sekali pakai. Jika
tidak ada fasilitas cuci tangan, dapat menggunakan alkohol 70-80%
handrub.
∙ Menutup mulut dan hidung dengan tissue ketika bersin atau batuk.
∙ Ketika meiliki gejala saluran napas, gunakan masker dan berobat ke
fasilitas layanan kesehatan.
4. Travel advice
∙ Hindari menyentuh hewan atau burung.
∙ Hindari mengunjungi pasar basah, peternakan atau pasar hewan hidup.
∙ Hindari kontak dekat dengan pasien yang memiliki gejala infeksi
saluran napas.
24. PA
G
E
18
∙ Patuhi petunjuk keamanan makanan dan aturan kebersihan.
∙ Jika merasa kesehatan tidak nyaman ketika di daerah outbreak
terutama demam atau batuk, gunakan masker dan cari layanan
kesehatan.
∙ Setelah kembali dari daerah outbreak, konsultasi ke dokter jika
terdapat gejala demam atau gejala lain dan beritahu dokter riwayat
perjalanan serta gunakan masker untuk mencegah penularan penyakit.
25. PA
G
E
18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Konsep Teori ASKEP
3.1.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan
dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan
kecermatan dan ketelitian tentang masalah- masalah
klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas: (Arif Muttaqin, 2008)
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses
keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
data baik data subyektif maupun data obyektif. Data
subyektif di dapatkan berdasarkan hasil wawancaraa
baik dengan pasien ataupun keluarga pasien,
sedangkan data obyektif diperoleh berdasarkan hasil
observasi dan pemeriksaan fisik. Pengkajian meliputi:
1. Pengkajian Primer (Primary Survey)
Menurut Rudi Hamamo (2016) pengkajian
Airway (A), Breathing (B). Circulation (C),
Disability (D), Expourse (E) pada pengkajian
gawat darurat adalah :
a. Airway
Apabila pasien memberi respon dengan suara
normal maka jalan napas itu normal (paten).
Kaji:
26. PA
G
E
18
1) Tanda-tanda adanya obstruksi jalan
napas atau jalan napas yang terganggu
adalah sebagai berikut :
a) Adanya suara bising (seperti stridor)
b)Adanya suara mendengkur
2) Bersihan jalan napas
3) Distres pernapasan
4) Tanda perdarahan di jalan napas
5) Edema laring
b. Breathing
1) Penilaian frekuensi pernapasan
2) Tanda sesak napas
3) Adanya retraksi dada
4) Auskultasi Paru untuk mengetahui suara napas
5) Saturasi oksigen
c.Circulation (sirkulasi darah)
1) Warna kulit, kelembaban kulit
2) CRV (Capilary Refill Time) < 2 detik
3) Palpasi denyut nadi (60-100x/menit)
4) Adanya tanda syok
5) Tekanan darah
6) Tanda perdarahan eksternal dan internal
d.Disability (Tingkat Kesadaran)
1) Tingkat kesadaran , diantaranya:
27. PA
G
E
18
a) A (alert) – Kewaspadaan
b) V (voice responsive) – Respon Suara
c) P (pain responsive) – Respon Rasa Nyeri
d) U (unresponsive) – Tidak Responsif
2) Reflex pupil terhadap cahaya
3) Kadar gula darah
4) Gerakan ekstremitas (adanya
hemiparesis dan nilai kekuatan otot)
5) GCS (Glasgow Coma Scale)
e.Exposure
1) Ekspor kulit
2) Keadaan suhu tubuh
3) Adanya tanda trauma
2. Pengkajian Sekunder (Secondary Survey)
Pengkajian sekunder menggunakan pendekatan SAMPLE, yaitu:
S : Sign and symptoms
A : Allergy
M : Medication
P : Post medical history
L : Last meal
E : Event leading
28. PA
G
E
18
Pengumpulan Data/Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat,
agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no. register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa
medis.
2) Keluhan Utama
Keluhan utama klien dengan pneumonia adalah
sesak napas, batuk, dan peningkatan suhu tubuh
atau demam.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung
keluhan utama. Apabila klien mengatakan batuk,
maka perawat harus menanyakan sudah berapa
lama, dan lama keluhan batuk muncul. Keluhan
batuk biasanya timbul mendadak dan tidak
berkurang setelah minum obat.
Pada awalnya keluhan batuk nonproduktif, lama
kelamaan menjadi batuk produktif dengan mukus
purulent kekuningan, kehijauan, kecoklatan, atau
kemerahan dan sering kali berbau busuk. Klien
biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan
menggigl serta sesak napas, peningkatan frekuensi
pernapasan, dan lemas.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
29. PA
G
E
18
Penyakit diarahkn pada waktu sebelumnya,
apakah klien pernah mengalami infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) dengan gejala seperti luka
tenggorokan, kongesti nasal, bersin, dan demam
ringan
5) Riwayat keperwatan berdasarkan pola kesehatan fungsional
(a) Pola persepsi sehat-penatalaksanaan sehat
Keluarga sering menganggap seperti batuk
biasa, dan menganggap benar-benar sakit
apabila sudah mengalami sesak napas.
(b) Pola metabolik nutrisi
Sering muncul anoreksia (akibat respon
sistematik melalui control saraf pusat), mual
muntah karena terjadi peningkatan
rangsangan gaster dari dampak peningkatan
toksik mikroorganisme.
(c) Pola eliminasi
Penderita mengalami penurunan produksi
urin akibat perpindahan cairan karena demam.
(d) Pola tidur-istirahat
Data yang muncul adalah pasien kesulitan
tidur karena sesak napas. Penampilan lemah,
sering menguap, dan tidak bisa tidur di malam
hari karena tidak kenyamanan tersebut.
(e) Pola aktivitas-latihan
30. PA
G
E
18
Aktivitas menurun dan terjadi kelemahan fisik.
(f) Pola kognitif-persepsi
Penurunan kognitif untuk mengingat apa yang
pernsh disampaikan biasanya sesaat akibat
penurunan asupan nutrisi dan oksigenasi pada
otak.
(g) Pola persepsi diri-konsep diri
Tampak gambaran keluarga terhadap pasien,
karena pasien diam.
(h) Pola peran hubungan
Pasien terlihat malas jika diajak bicara dengan
keluarga, pasien lebih banyak diam.
(i) Pola toleransi stress-koping
Aktivitas yang sering tampak saat
menghadapi stress adalah pasien selalu diam
dan mudah marah.
(j) Pola nilai-kepercayaan
Nilai keyakinan mungkin meningkat seiring
dengan kebutuhan untuk mendapat sumber
kesembuhan dari Allah SWT.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
31. PA
G
E
18
Wajah terlihat pucat, meringis, lemas, banyak
keringat, sesak, adanya PCH, Adanya
takipnea sangat jelas (25-45 kali/menit),
pernafasan cuping hidung, penggunaan otot-
otot aksesori pernafasan, dyspnea, sianosis
sirkumoral, distensi abdomen, sputum
purulen, berbusa, bersemu darah, batuk : Non
produktif
– produktif, demam menggigil, faringitis.
b) Palpasi
Denyut nadi meningkat dan bersambungan
(bounding), nadi biasanya meningkat sekitar
10 kali/menit untuk setiap kenaikan satu
derajat celcius, turgor kulit menurun,
peningkatan taktil fremitus di sisi yang sakit,
hati mungkin membesar.
c) Perkusi
Perkusi pekak bagian dada dan suara redup
pada paru yang sakit.
d) Auslkutasi
Terdengar stridor, bunyi nafas
bronkovesikuler atau bronkial, egofoni (bunyi
mengembik yang terauskultasi), bisikan
pektoriloquy (bunyi bisikan yang
terauskultasi melalui dinding dada), ronchii
pada lapang paru. Perubahan ini terjadi karena
bunyi ditransmisikan lebih baik melalui
32. PA
G
E
18
jaringan padat atau tebal (konsolidasi)
daripada melalui jaringan normal.
3) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum, tingkat kesadaran
b. Berat badan dan tinggi badan
c. Tanda-tanda vital
d. Pemeriksaan kepala, mata dan telinga
1) Amati ekspresi wajah
2) Konjungtiva: pucat, ptechiae
3) Sklera: ikterus pada gagal jantung kanan, penyakit hati, dll.
4) Kornea: arku senilis, refleks kornea
5) Eksopthalamus
6) Gerakan bola mata
7) Pemeriksaan fundoskopi untuk penyempitan retinal
arteriol, perdarahan, eksudat dan papil edema.
e. Pemeriksaan Leher
1) JVP
2) Pembesaran thyroid
f. Pemeriksaan Thoraks
1) Bentuk dada
2) Pernapasan (irama, frekuensi, jenis suara napas)
3) Palpasi vocal fremitus
4) Perkusi keadaan dan batas paru
5) Auskultasi jenis suara napas
33. PA
G
E
18
g. Pemeriksaan Kardiovaskuler
1) Denyut jantung
2) Suara jantung
3) Bising jantung
4) TD diukur minimal 2 klai dengan tenggang waktu 2
menit dalam posisi berbaring atau duduk dan berdiri
sekurangnya setelah 2 menit. Pengukuran
menggunakan yang sesuai dan sebaiknya dilakukan
pada kedua sisi lengan, dan jika berbeda maka nilai
yang tertinggi yang diambil.
h. Pemeriksaan
Abdomen
1) Pembesaran hepar
2) Bising
i. Pemeriksaan Genetourinaria
j. Pemeriksaan Ekstremitas
1) Lemahnya atau hilangnya nadi perifer
2) Edema
k. Pemeriksaan Neurologi
Tanda thrombosis cerebral dan perdarahan
4) Pemeriksaan Diagnostik
a) Sinar X
Mengidentifikasikan distribusi strukstural
(misal: Lobar, bronchial); dapat juga
menyatakan abses luas/infiltrat, empiema
34. PA
G
E
18
(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau
terlokalisasi (bacterial); atau
penyebaran/perluasan infiltrat nodul (lebih
sering virus). Pada pneumonia mikroplasma,
sinar x dada mungkin bersih.
b) GDA (Gas Darah Arteri)
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung
pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru
yang ada
c) Pemeriksaan darah.
Pada kasus pneumonia oleh bakteri akan
terjadi leukositosis (meningkatnya jumlah
netrofil) (Sandra M. Nettina, 2001 : 684)
Secara laboratorik ditemukan leukositosis
biasa 15.000- 40.000/m dengan pergeseran
LED meninggi.
d) LED meningkat.
Fungsi paru hipoksemia, volume menurun,
tekanan jalan nafas meningkat dan komplain
menurun, elektrolit Na dan Cl mungkin
rendah, bilirubin meningkat, aspirasi biopsi
jaringan paru
e) Rontegen dada
Ketidak normalan mungkin terjadi, tergantung pada
luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang
ada. Foto thorax bronkopeumonia terdapat
bercak-bercak infiltrat pada satu atau
35. PA
G
E
18
beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris
terlihat adanya konsolidasi pada satu atau
beberapa lobus.
f) Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsi jarum, aspirasi
transtrakeal,bronskoskopi fiberoptik, atau
biopsi pembukaan paru untuk mengatasi
organisme penyebab, seperti bakteri dan
virus. Pengambilan sekret secara broncoscopy
dan fungsi paru untuk preparasi langsung,
biakan dan test resistensi dapat menemukan
atau mencari etiologinya, tetapi cara ini tidak
rutin dilakukan karena sulit.
g) Tes fungsi paru
Volume mungkin menurun (kongesti dan
kolaps alveolar), tekanan jalan nafas mungkin
meningkat dan complain menurun. Mungkin
terjadi perembesan (hipokemia).
h) Elektrolit
Natrium dan klorida mungkin rendah.
i) Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka
Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan
keterlibatan sitoplasmik (CMV), karakteristik
sel raksasa (rubella).
36. PA
G
E
18
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada
klien pneumonia adalah sebagai berikut:
b. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif (D.0001)
c. Pola Napas Tidak Efektif (D.0005)
d. Defisit Nutrisi (D.0019)
e. Hipertemia (D.0130)
f. Resiko Hipovolemia (D.0034)
g. Nyeri akut (D.0077)
h. Gangguan Pertukaran Gas (D.0003)
i. Intoleransi aktivitas (D.0056)
3.1.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah bagian dari fase
pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai
pedoman untuk mengarahkan tindakan keperawatan dalam
usaha membantu, meringankan, memecahkan masalah atau
untuk memenuhi kebutuhan pasien (Setiadi, 2012).
Berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SLKI) dan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)
Tahun 2018 intervensi pada diagnosa yang muncul seperti di
table berikut ini
37. PA
G
E
18
Table 3.1 Tabel Intervensi Keperawatan
N
o
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil
Intervensi
1. Bersihan Jalan Nafas (D.0001)
Di buktikan dengan : Gejala
dan Tanda Mayor Subjektif:
Mengeluh sesak nafas
Objektif:
- Batuk tidak efektifatau mampu
batuk
- Sputum berlebih/obstruksi jalan
nafas
- Mengi, Wheezing, atau ronchi
kering
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif:
Tidak tersedia
Objektif:
- Gelisah
- Sianosis
- Bunyi nafas menurun
- Saturasi Oksigen berubah
Pola nafas berubah
Tujuan:
Setelah dilakukan
intervensi keperawatan
selama
bersi
han
jalan nafas meningkat
dengan kriteria hasil :
1. Produksi
sputum menurun
2. Mengi menurun
3. Whezing menurun
4. Dipsnea menurun
5. Saturasi
Oksigen membaik
6. Pola nafas membaik
Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
Observasi
● Monitor pola nafas
● Monitor bunyi nafas
● Monitor sputum
Terapeutik
● Pertahankan kepatenan jalan nafas
dengan headtill chin lift
● Posisikan semifowler atau fowler
● Berikan minum hangat
● Lakukan fisioterapi dada
● Lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15 detik
● Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
● Anjurkan asupan 2000 ml/hari
● Ajarkan batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator
38. PA
G
E
18
N
o
Diagnosa Keperawatan
Rencana
Keperawatan
Tujuan dan
Kriteria Hasil
Interv
ensi
2
.
Gangguan pertukaran gas
(D.0003)
Dibuktikan dengan :
Gejala dan Tanda
Mayor Subjektif:
Dipsnea
Objektif :
- Pco2 meningkat/menurun
- Po2 menurun
- Takikardi
- bunyi nafas
tambahan Gejala
dan Tanda Minor
Subjektif:
- Pusing
- Pengelihatan kabur
Objektif :
- sianosis
- gelisah
- nafas cuping hidung
- pola nafas abnormal
- kesadaran menurun
Tujuan:
Setelah dilakukan
intervensi
keperawatan selama
m
aka
gangguan pertukaran
gas meningkat
dengan kriteria hasil
:
1. Dipsnea
menurun
2. Bunyi nafas
tambahan
menurun
3. Pusing menurun
4. Pengelihatan
kabur
menurun
Pemantauan respirasi
(I.1014) Observasi:
● Monitor frekuensi, irama,
● kedalamam, dan upaya nafas
● Monitor kemampuan batuk
● Efektif
● Monitor pola nafas
● Monitor adanya sputum
● Monitor adanya
sumbatan jalan nafas
● Auskultasi suara nafas
● Monitor saturasi oksigen
● Monitor AGD
Terapeutik:
● Atur interval
pemantauan dan
prosedur pemantauan
● Dokumentasi hasil
pemantauan
Edukasi
● Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
● Informasikan hasil
pemantauan
39. PA
G
E
18
3 Intoleransi aktivitas (D.0056)
Dibuktikan dengan :
Gejala dan Tanda
Mayor Subjektif:
Mengeluh lelah
Objektif :
- Frekunsi jantung
meningkat Gejala dan
Tanda Minor
Subjektif:
- Dipsnea saat aktivitas
- Merasa lemas
Objektif :
- Tekanan darah berubah
(>20%) darikondisi
istirahat
- Gambaran EKG
Sianosis
Tujuan:
Setelah dilakukan
intervensi
keperawatan
selamamaka
gangguan pertukaran
gas meningkat
dengan kriteria hasil
:
1. Kemudahan
dalam
melakukan
aktivitas sehari-
hari Meningkat
2. Kekuatan tubuh
bagian atas dan
bawahMeningka
3. Keluhan lelah
menurun
Dispnea saat aktivitas
menurun
Manajemen
Energi
Observasi:
● Identifikasi gangguan
fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan
● Monitor pola dan jam tidur
● Monitor kelelahan
fisik dan emosional
Edukasi
● Anjurkan tirah baring
● Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
Terapeutik:
- Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus
- Lakukan latihan rentang
gerak pasif dan/atau aktif
- Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
- Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan
Kolaborasi
● Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
40. PA
G
E
18
asupan makanan
Terapi Relaksasi
(I.09326) Observasi
● Identifikasi perubahan
tingkat energi
● Pwerksa nadi, TD, dan
Suhu sebelum dan sesudah
latihan
● Monitor respon terhadap
relaksasi
Terapeutik
- Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus
● Gunakan nada suara yang
lembut dengan irama
lambat dan berirama
Edukasi
● Jelaskan tujuan, manfaat,
dan jenis relaksasi yg
tersedia (nafas dalam dan
humming)
● Jelaskan secara rinci
intervensi yg dipilih
● Anjurkan mengambil
posisi yg nyaman
● Anjurkan rileks
● Anjurkan sering
41. PA
G
E
18
mengulangi teknik
Demontrasikan dan latih
teknik relaksasi
3.1.4 Implementasi
Implementasi keperawatan yang merupakan
komponen proses keperawatan adalah kategori dari perilaku
keperawatan dimana tindakan yang diperlukan mencapai
tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan
dilakukan dan diselesaikan. Implementasi mencakup
melakukan, membantu, atau mengarahkan kinerja aktivitas
kehidupan sehari-hari, memberikan arahan perawatan untuk
mencapai tujuan yang berpusat pada klien, menyelia dan
mengevaluasi kerja anggota staff, dan mencatat serta
melakukan pertukaran informasi yang relevan dengan
perawatan kesehatan berkelanjutan dari klien (Hidayat,
2012).
42. PA
G
E
18
3.1.5 Evaluasi
Dokumentasi evaluasi adalah merupakan catatan
tentang indikasi kemajuan pasien terhadap tujuan yang
dicapai. Evaluasi bertujuan untuk menilai keefektifan
parawatan dan untuk mengkomunikasikan status pasien dari
hasil tindakan keperawatan (Hidayat, 2012).
Terdapat dua tipe evaluasi keperawatan menurut
yaitu; evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi
formatif terjadi secara periodik selama pemberian perawatan,
sedangkan evaluasi sumatif terjadi pada akhir aktivitas,
seperti diakhir penerimaan, pemulangan atau pemindahan ke
tempat lain, atau diakhir kerangka waktu tertentu, seperti
diakhir sesi penyuluhan (Setiadi, 2012)
43. PA
G
E
18
BAB IV
PENUTUP DAN KESIMPULAN
4.1.1 KESIMPULAN
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada orang-orang dewasa. Khususnya pada lansia yang dapat disebabkan beberapa
faktor seperti, penurunan fungsi organ akibat proses penuaan yang terjadi pada organ
respirasi. Dalam penatalaksanaannya menjadi lebih kompleks yaitu mrmbutuhkan
pemeriksaan penunjang lebih lengkap dan lebih banyak.
44. PA
G
E
18
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabet J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. EGC,
Jakarta Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), rencana asuhan keperawatan,
edisi 3, EGC. Jakarta
Depkes. 2013. Penyajian Pokok-pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
KesehatanRI.Diunduhdari
http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/pokok2%20hasil20riskesdas
%202013.pdf, Di aksesPada 23 Agustus 2017
Dinas Kesehatan. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang.
Kupang Laporan bulanan 2016-2017 Ruangan Teratai, RSUD. Prof. Dr.
W. Z. Johannes
Kupang. : Kupang
Mansjoer, dkk, (2001), kapita selekta kedokteran jilid I, media
aesculapius fakultas universitas indonesia, Jakarta.
Mutaqin, Arif, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan System Pernapasan Dan Hematologi. Jakarta : EGC
Nanda NIC-NOC, (2013), Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis Dan Nanda
Buku SDKI, SLKI, SIKI , PPNI 2019
Ovedoff, David. (1995). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 1.
EGC, Jakarta Sloane Ethel. (2003). Anatomi dan Fosiologi untuk
Pemula. EGC : Jakarta
Smeltzer, Suzanne. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2 Edisi 8.
EGC: Jakarta
Tucker susan martin, dkk, (1999), standar perawatan pasien, proses
keperawatan, diagnosis dan evaluasi, edisi V, Vol IV, EGC
Jakarta.
45. PA
G
E
18
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 183
LAPORAN PENELITIAN
Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis
Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Factors Related to Diagnosis of Community-Acquired Pneumonia
in the Elderly
Elza Febria Sari1,2, C. Martin Rumende3, Kuntjoro Harimurti4
1
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi
2
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
3
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah
Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
4
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Korespondensi:
C. Martin Rumende. Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah
Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Jln. Pangeran Diponegoro 71, Jakarta 10430, Indonesia. email: rumende_martin@yahoo.com
ABSTRAK
Pendahuluan. Menegakkan diagnosis pneumonia pada pasien usia lanjut seringkali sulit mengingat gejala dan tanda klinis
sering tidak lengkap dan manifestasi klinis yang tidak khas serta pemeriksaan penunjang yang sulit diinterpretasi. Hal ini
mengkibatkan under ataupun over diagnosis dengan konsekuensi meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Data faktor-
faktor yang berhubungan dengan diagnosis pneumonia baik manifestasi khas ataupun tidak khas pada pasien usia lanjut
belum banyak tersedia.
Metode. Penelitian diagnostik dilakukan terhadap 158 pasien usia lanjut dengan kecurigaan pneumonia yang dirawat
di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada kurun waktu Januari-Oktober 2010. Hubungan data klinis,
laboratoris serta radiologis yang mencakup manifestasi spesifik (batuk, sputum produktif, sesak napas, demam, ronki,
leukositosis , infiltrat) dan manifestasi tidak spesifik (intake sulit, jatuh, penurunan status fungsional inkontinensia urin) dengan
diagnosis pneumonia komunitas dianalisis dengan regresi logistik. Kemudian, ditentukan kontribusi masing-masing
determinan diagnosis terhadap diagnosis pneumonia. Kemampuan C-reactive protein dalam menegakkan diagnosis
pneumonia dinilai dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC.
Hasil. Dari 158 subjek, 106 didiagnosis pneumonia sesuai kriteria baku emas. Pada model akhir regresi logistik didapatkan tiga
faktor yang berhubungan dengan diagnosis pneumonia yaitu batuk, ronki dan infiltrat dengan nilai p masing-masing
secara berturut-turut yaitu <0,0001; 0,02; dan 0,0001. Nilai AUC yang diperoleh dari metode ROC untuk mengetahui
kemampuan CRP dalam mendiagnosis pneumonia adalah 0,57 (IK 95%; 0,47-0,66).
Simpulan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan diagnosis pneumonia pada usia lanjut adalah batuk, ronki dan infiltrat.
Sementara itu, c-reactive protein tidak memiliki peran dalam memprediksi diagnosis pneumonia pada pasien usia lanjut.
Kata Kunci: diagnosis, pneumonia komunitas, usia lanjut
ABSTRACT
Introduction. Diagnosing community-acquired pneumonia (CAP) in the elderly remains a clinical challenge for various
reasons. The clinical manifestation in the elderly is not frank and atypical manifestations, e.g. falls, decrease of functional
status and food intake or urinary incontinence, may be present. These reasons may be associated with under or over
diagnosis, which consequently contribute to the higher observed mortality rate in the elderly population with CAP. Study
about factors related to diagnosis of CAP in the elderly was rarely performed.
Methods. From January to October 2010, 158 elderly patients suspected of having pneumonia at RSCM were registered.
Relationship between clinical, laboratory and radiologic factors which consist of classic manifestations (cough, productive
cough, dyspnea, fever, rales, leucocytosis, infiltrates) and atypical manifestations (decrease of intake and functional
status, falls, urinary incontinence) with diagnosis community acquired pneumonia were analyzed. Receiver operating
characteristics analysis of C-reactive protein was performed to find its association with diagnosis of pneumonia.
46. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 184
Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Results. Of 158 subject, 106 were confirmed of having pneumonia. Final model of multiple logistics regression analysis
revealed three factors: cough (p<0,0001), rales (p=0,02) and infiltrate (p<0,0001) related to diagnosis of pneumonia. All four
atypical manifestations were proved unrelated with diagnosis of pneumonia. The area under the ROC curve for c-reactive
protein was 0,57 (95% CI 0,47- 0,66).
Conclusions. Factors related with diagnosis of community-acquired penumoni in the elderly are cough, rhales and infiltrates.
All four atypical manifestations are proven unrelated with diagnosis of pneumonia. C-reactive protein does not predict
diagnosis of CAP in the eldery.
Keywords: community-acquired pneumonia, diagnostic factors, elderly
PENDAHULUAN
Pneumonia komunitas atau community acquired
pneumonia (CAP) merupakan salah satu masalah
kesehatan yang sering dijumpai dan mempunyai dampak
yang signifikan di seluruh dunia, terutama pada populasi
usia lanjut.1,2
Insiden pneumonia komunitas dilaporkan
meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.3-5
Pada
pasien usia ≥65 tahun yang dirawat di rumah sakit,
pneumonia merupakan diagnosis terbanyak ketiga.
Angka ini menjadi semakin penting mengingat bahwa
diperkirakan sebanyak 20% dari penduduk dunia akan
berusia lebih dari 65 tahun di tahun 2050.1,6-9
Menegakkan diagnosis pneumonia pada pasien usia
lanjutmasihmerupakantantanganbagiparaklinisimengingat
tampilan klinis yang tidak lengkap dan tidak spesifik. Gejala
dantandapneumoniayangkhasseringtidakdidapatkanpada
pasien usia lanjut. Metlay, dkk.10
dan Fernandez, dkk.11
yang
melakukan studi pada pasien usia lanjut dengan pneumonia,
melaporkan bahwa gejala-gejala saluran pernapasan seperti
batukdansesaknapaslebihjarangdikeluhkanpadakelompok
usia yang lebih tua. Sementara itu, gejala berupa nyeri dada
pleuritik dan hemoptisis lebih banyak pada kelompok usia
muda. Hasil temuan fisik yang konsisten dengan diagnosis
pneumonia komunitas sama sekali tidak ditemukan pada
20%-47% pasien usia lanjut. Sesak napas dan ronki pada
umumnya lebih sering ditemukan.12,13
Manifestasi klinis yang tidak khas seperti hilangnya
nafsu makan, penurunan status fungsional, inkontinensia
urin dan jatuh bisa muncul sebagai penanda pneumonia
pada pasien usia lanjut. Menegakkan diagnosis suatu
penyakit akibat infeksi bakteri, termasuk pneumonia pada
pasien usia lanjut seringkali sulit. Sebab, riwayat penyakit
sulit didapat dan seringkali sulit dipercaya akibat adanya
sensory loss, gangguan kognisi dan isolasi sosial. Adanya
komorbiditas merancukan pemeriksaan fisik dan tanda-
tanda utama pneumonia seringkali tidak muncul, seperti
demam, batuk produktif, dan tanda-tanda konsolidasi paru.
Selain itu, parameter laboratorium seperti tidak adanya
peningkatan leukosit, serta gambaran radiologis yang sulit
diinterpretasi membuat penegakkan diagnosis pneumonia
pada usia lanjut masih menjadi tantangan para klinisi.14-16
Banyak kepustakaan yang menjelaskan tentang
manifestasi klinis tidak khas pneumonia pada seorang
pasien usia lanjut. Berbagai teori telah dikembangkan
tentang patogenesis yang mendasarinya. Gambaran klinis
yang menyimpang seperti yang telah disebutkan di atas
penting untuk diwaspadai dalam diagnosis pneumonia
pasien usia lanjut untuk menghindari kesalahan dan
keterlambatan diagnosis dengan segala konsekuensinya.
Sementara tidak banyak tersedia data mengenai seberapa
sering manifestasi klinis yang tidak khas ini muncul,
termasuk seberapa pengaruhnya terhadap penegakkan
diagnosis pneumonia pada usia lanjut.
Pemeriksaan dini c-reactive protein (CRP) serum24-
48 jam merupakan uji laboratorium yang telah dikenalluas
untuk mendiagnosis dan memonitor berbagai proses
infeksi dan inflamasi akut, termasuk pneumonia. Almiral,
dkk.17
melaporkan bahwa median kadar CRP pada pasien
yang sudah dikonfirmasi menderita pneumonia lebih
tinggi dibandingkan median CRP pada mereka yang tidak
pneumonia (110,7 mg/L vs. 31,9 mg/L, p<0,05). Studi
lainnya mendapatkan bahwa sensitifitas CRP dalam
mendiagnosis infeksi saluran napas bagian bawah berkisar
antara 10-98% dengan spesifisitas berkisar antara 44-
99%.18
Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut
tidak secara khusus melibatkan pasien usia lanjut maupun
melakukan analisis sub-grup pada kelompok usia lanjut.
Belum banyak penelitian sejenis yang meneliti
tentang peran CRP dalam menegakkan diagnosis
pneumonia komunitas. Penelitian-penelitian yang
mengevaluasi hubungan berbagai determinan diagnostik,
termasuk manifestasi pneumonia yang tidak khas pada
pasien usia lanjut juga belum banyak dilakukan.
METODE
Penelitian ini merupakan studi diagnostik dengan
desain potong lintang untuk mendapatkan kriteria
diagnosis pneumonia komunitas pada usia lanjut.
Penelitian dilakukan di Divisi Geriatri Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-
Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) pada
bulan Desember 2010 sampai dengan Maret 2011. Data
47. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 185
yang digunakan yaitu data sekunder berupa data rekam
medic pasien usia lanjut yang datang ke instalansi gawat
darurat dan atau poliklinik geriatri RSCM dengan dugaan
diagnosis pneumonia pada periode Januari-Oktober 2010.
Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien usia ≥60
tahun yang diduga menderita pneumonia di RSCM.
Teknik pengambilan sampel menggunakan metode
consecutive sampling, yaitu semua pasien usia lanjut yang
didiagnosis pneumonia serta mendapat perawatan di RSCM
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik
Jenis Kelamin, n (%)
Laki-laki 75 (47,5)
Perempuan 83 (52,5%)
Usia, rerata (SB), tahun 68,44 (6,65)
Katagori Usia, n (%)
>80 Tahun 11 (6,6)
70-79 Tahun 128 (83,2)
60-69 Tahun 19 (10,2)
Pendidikan, n (%)
Tidak sekolah/tidak lulus SD 58 (38)
baik di poli rawat jalan, unit gawat darurat dan ruang rawat
inap penyakit dalam. Kriteria inklusi sampel meliputi: 1)
SD
SMP
SM
A
30 (19,3)
19 (12,7)
30 (18,1)
pasien berusia ≥ 60 thn; 2) diduga menderita pneumonia
pneumonia komunitas; dan 3) mendapat perawatan di RSCM
(poli rawat jalan, Unit Gawat Darurat dan ruang rawat inap)
pada kurun waktu Januari-Oktober 2010. Kriteria eksklusi
Akademi/Perguruan Tinggi 21 (12)
Status Perkawinan, n (%)
Nikah 97 (61,39)
Belum Nikah 3 (1,89)
Duda/Janda 58 (43,03)
Suku, n (%)
sampel yaitu pasien yang menderita hospital aquired
pneumonia dan pasienyangmenderita infeksi lainnya. Pasien
Jawa
Betawi
Sunda
56 (34,7)
48 (30,5)
18 (13,2)
yangmemenuhikriteriainklusiselanjutnyadikumpulkandata
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
serta radiologi (rontgen toraks).
Padang 12 (7,8)
Batak 6 (3,6)
Lain-lain 12 (7,8)
Pembayaran , n (%)
Analisisdatadilakukandenganmenggunakanperangkat
SPSS versi 15.0 untuk mendapatkan tabel frekuensi dan tabel
Umum
ASKE
S
40 (42,2)
46 (27,7)
silang sesuai dengan tujuan penelitian. Perhitungan nilai
rerata hitung dan sebaran baku dilakukan untuk data yang
bersifat kuantitatif, sekaligus dihitung rentangan nilainya
menurut batas kepercayaan (confidence interval) 95%. Kurva
reciever operating characteristic (ROC) dibuatdan area under
curve(AUC) dari CRPdihitunguntuk mengetahui kemampuan
CRP untuk meningkatkan ketepatan dalam mendiagnosis
pneumonia komunitas pada usia lanjut.
HASIL
Penelitian ini dilakukan dengan melihat rekam
medik pasien usia lanjut yang didiagnosis pneumonia
serta mendapat perawatan di RSCM baik di poli rawat
jalan, unit gawat darurat dan ruang rawat inap penyakit
dalam pada kurun waktu Januari-Oktober 2010. Selama
kurun waktu tersebut, didapatkan sebanyak 158 pasien
usia lanjut dengan kecurigaan diagnosis pneumonia yang
diikutkan dalam penelitian. Rerata usia subjek penelitian
adalah 68,44 (6,65) tahun, dengan jumlah perempuan
sedikit lebih banyak dibanding laki-laki. Sebanyak 67,9%
pasien memenuhi kriteria Riquelme untuk diagnosis
pneumonia. Karakteristik demografi dan klinis subjek
penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada analisis bivariat, didapatkan determinan
diagnosis yang bermakna secara statistik adalah batuk,
ronki dan infiltrat dan demam (p <0,05) (Tabel 2).
Selanjutnya, Variabel yang dianalisis multivariat adalah
48. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 186
SKTM 10 (6,0)
JPS/Gakin 42 (24,1)
Faktor Klinis
Komorbiditas, n (%)
Keganasan 14 (8,4)
Gagal jantung kongestif 56 (33,7)
Penyakit hati kronik 13 (7,8)
Penyakit serebrovaskular 25 (15,1)
Penyakit ginjal 29 (7,5)
Diabetes melitus 50 (30,1)
PPOK 9 (5,4)
Tuberkulosis 15 (9)
Asma bronchial 2 (4)
Gula darah, rerata (SB) 147,6 ( 69,84)
Hematokrit, rerata (SB) 33,4 (7,61)
Status nutrisi (MNA), rerata (SB) 16,7 (4,26)
ADL, rerata (SB) 11,8 (7,12)
Tekanan Darah sistolik, rerata (SB) 136,1 ( 28,20)
Tekanan Darah diastolic, rerata (SB) 80,1 (13,89)
Suhu, rerata (SB) 37,1 (0,89)
Leukosit, rerata (SB), /mm3
13.060,5 (7297)
hsCRP, rerata (SB) 79,4 (74,08)
Diagnosis pneumonia, n (%) 106 (67)
batuk,sesaknafas,sputumproduktif,ronki,infiltrat,suhu
dan intake sulit (variabel yang dengan nilai p <0,2 pada
bivariat). Hasilnya, terdapat tiga variabel determinan
pada model akhir analisis multivariat yang mencapai
kemaknaan secara statistik yaitu batuk, ronki dan
infiltrat(Tabel 3). Selain itu, hasil analisis kemampuan
CRP dalam memprediksi pneumonia dengan metode
ROC mendapatkan nilai AUC CRP dalam memprediksi CAP
pada usia lanjut yaitu sebesar 0,57 (IK 95%; 0,47-0,66)
dengan
nilai p= 0,149 (Gambar 1).
49. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 187
Gambar 1. Kurva ROC nilai CRP dalam memprediksi diagnosis CAP
Tabel 2. Analisis bivariat kriteria diagnostik pneumonia
Faktor diagnosis Pneumonia p value P value OR (IK 95%)
Ya (n=106) Tidak (n=52)
Batuk 78 (74) 25 (48,1) <0,0001 3,12 (1,55-6,27)
Sputum produktif 26 (24,8) 6 (11,5) 0,053 2,52 (0,97-6,58)
Sesak Napas 57 (74) 20 (38,5) 0,07 1,81 (0,94-3,66)
Demam 37 (34,6-40,1) 36,8 (36,3-39,1) 0,04 2,6 (1-6,78)
Ronki 91 (86,7) 34 (65,4) 0,002 3,33 (1,54-7,67)
Leukositosis 11,4 (2,1-40) 11 (2-43) 0,8 1,09 (0,52-2,27)
Infiltrat 106 (100) 15 (28,8) <0,0001 8,06 (5,02-12,9)
Jatuh 15 (14,3) 9 (17,3) 0,62 0,79 (0,32-1,96)
Inkontinensia urin 19 (18,1) 7 (14) 0,52 1,35 (0,3-3,47)
Intake sulit 74 (70,5) 41 (80) 0,18 0,582 (0,25-1,3)
Penurunan status
fungsional
43 (41,9) 16 (31,4) 0,24 1,51 (0,74-3,07)
Tabel 3. Analisis multivariat determinan diagnostik
Variabel B Wald p value OR (IK 95%)
Batuk 2,72 9,457 0,002 15,18 (2,85-88,1)
Sputum produktif 0,62 0,25 0,612 1,876 (0,17-22,52)
Sesak nafas -0,26 0,15 0,695 0,76 (0,21-2,94)
Demam 0,69 2,63 0,10 2,01 (0,89-4,7)
Ronki 2,06 8,79 0,003 7,861 (2,0-30,1)
Infiltrat 6,13 34,17 <0,0001 461,57 (59-370)
Intake sulit -0,25 0,10 0,752 0,71 (0,19-2,83)
DISKUSI
Karakteristik Subjek
Penelitian ini merupakan suatu penelitian diagnostik
dengan jumlah subjek sebanyak 158 pasien usia lanjut
yang diduga menderita pneumonia komunitas. Subjek
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (52,53%).
Rerata usia subjek adalah 68,44 (6,65) tahun (Tabel 1).
Penelitian serupa yang melibatkan pasien usia lanjut
umumnya memiliki rerata usia subjek yang lebih tinggi.
Penelitian oleh Kaplan, dkk.19
yang mendapatkan rerata
usia pasien pneumonia adalah 77 tahun, sedangkan
Zalacain, dkk.18
mendapatkan rerata pasien adalah 76,3
(7,3) tahun. Perbedaan tersebut disebabkan oleh batasan
usia lanjut yang diterapkan pada penelitian di negara barat
lebih tinggi, yaitu >65 tahun.
Pada subjek penelitian ini didapatkan penyakit
komorbid yang paling banyak adalah gagal jantung
kongestif (33,7%), diikuti diabetes melitus (DM) (30,1%)
dan penyakit serebrovaskular (15,1%) (Tabel 1). Hasil ini
50. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 188
kurang lebih sama dengan penelitian sebelumnya. Lera,
dkk.20
yang membagi pasien menjadi 2 grup (>85 tahun
dan 65-85 tahun) mendaparkan komorbiditas terbanyak
adalah gagal jantung kongestif, pada masing-masing
kelompok yaitu sebesar 31,2% dan 18,4% (p<0,001).
Komorbiditas merupakan determinan penting pada
risiko terjadinya pneumonia dan memengaruhi prognosis.
Gagal jantung kongestif dan penyakit serebrovaskular akan
memengaruhi fungsi saluran pernafasan yang bersaman
dengan gangguan refleks batuk, gangguan bersihan
muko silier dan batuk tidak efektif. Kondisi tersebut
berakibat pada tertundanya kemunculan manifestasi
klinis pada pneumonia.9
Penyakit komorbid lainnya yang
dinilai memengaruhi pneumonia adalah keganasan, DM,
penyakit paru kronik dan penyakit ginjal kronik.21
Frekuensi penyakit komorbid pada pasien pneumonia
usia lanjut sangat tinggi. Fry, dkk.22
mendapatkan bahwa
diantara pasien usia lanjut yang dirawat di RS dengan
diagnosis pneumonia, minimal terdapat satu penyakit
komorbid pada tiap pasien. Penyakit jantung kongestif
didapatkan pada 56,9% kasus, PPOK pada 47,25% dan DM
pada 19,5% kasus.
Rerata nilai albumin pada penelitian ini lebih rendah
dari nilai normal, yaitu 3,117 mg/dl dan rerata skor mini
nutritional assessment (MNA) adalah 16,796 (skor <17
adalah malnutrisi). Kobashi, dkk.23
mendapatkan nilai
albumin serum <3,5 gr/dl pada 35% pasien usia lanjut
dengan pneumonia. Sementara itu, Riquelme, dkk.24
mendapatkan bahwa kadar albumin yang rendah dan
variabel antropometrik yang menunjukkan adanya
malnutrisi berhubungan dengan timbulnya pneumonia
pada pasien usia lanjut.
Malnutrisi merupakan penyebab utama menurunnya
fungsi imun. Terdapat 10-25% populasi usia lanjut yang
mengalami defisit nutrisional dan meningkat menjadi
sekitar 50% pada pasien usia lanjut yang dirawat. Malnutrisi
pada usia lanjut dapat muncul sebagai defisiensi kalori
global, defisiensi protein dan atau nutrisi mikro (vitamin
dan mineral). Bukan hanya sebagai faktor risiko untuk
timbulnya infeksi, meningkatnya demand metabolik dan
durasi serta infeksi juga merupakan penyebab malnutrisi.
Hubungan dua arah antara nutrisi dan infeksi seperti ini
menciptakan pola yang continue dan harus diputus.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa
penurunan fungsi imun akibat malnutrisi harus dibedakan
dengan imunosenescence. Sebab, imunosenescene tidak
berhubungan dengan usia. Selain itu, yang paling penting
yaitu malnutrisi merupakan penyebab penurunan fungsi
imun yang dapat diobati.25
Pada penelitian ini, didapatkan sebanyak 106 (67%)
subjek yang diduga menderita CAP memenuhi kriteria
diagnosis pneumonia komunitas. Angka ini hampir sama
dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Muller, dkk.26
yang meneliti tentang akurasi diagnostik dan prognostik
parameter klinis dan laboratorium pada CAP. Muller, dkk.26
mendapatkan sebanyal 373 (68,4%) subjek dikonfirmasi
diagnosis pneumonia komunitas dengan menggunakan
kriteria diagnostik infiltrat di rontgen toraks disertai
adanya gejala dan tanda kelainan saluran pernafasan.
Manifestasi Pneumonia
Komunitas Pada Pasien Usia
Lanjut
Pada penelitian ini, dikumpulkan sebanyak 12
determinan diagnostik pneumonia komunitas pada usia
lanjut yang terdiri dari 7 manifestasi khas dan 4 manifestasi
tidak khas pneumonia, serta CRP. Pada analisis bivariat,
didapatkan determinan diagnostik yang bermakna adalah
batuk, sesak napas, sputum produktif, intake sulit, ronki,
infiltrat dan demam (Tabel 2). Sementara itu, hasil analisis
mulivariat menunjukkan hanya determinan diagnostik batuk,
ronki dan infiltrat yang didapatkan bermakna (Tabel 3).
Manifestasi Khas
Pneumonia Pada Usia
Lajut
Batuk
Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik
antara batuk dengan diagnosis pneumonia (p= 0,002, OR
15,18; IK 95%; 2,85-88,1) (Tabel 3). Sebanyak 74,3% pasien
usia lanjut yang didiagnosis pneumonia komunitas dari
penelitian ini mengeluhkan batuk. Hasil ini lebih sedikit jika
dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Muller, dkk.26
dan Christ, dkk.27
yang mendapatkan proporsi batuk masing-
masing 91,2% dan 89%. Penelitian serupa dengan populasi
pasien usia lanjut oleh Riquelme, dkk.12
yang meneliti 101
pasien menemukan bahwa batuk dikeluhkan 67% pasien
usia lanjut. Sementara itu, Hopstaken, dkk.16
mendapatkan
nilai yang lebih sedikit, yaitu 29% pasien pneumonia
komunitas usia lanjut (>65 tahun) yang mengalami batuk.
Terdapat sedikitnya enam mekanisme pertahanan
yang penting dalam pencegahan CAP yang terganggu
pada pasien-pasien usia lanjut, yaitu filtrasi aerodinamik,
refleks batuk, transport mukosilier, fungsi sel fagositik,
fungsi imunologi dan klirens sekresi pulmoner. Perubahan
ini akan memengaruhi epidemiologi, faktor risiko dan
keluaran pneumonia komunitas.6
Teori-teori ini
51. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 189
menjelaskan mengapa pada populasi pasien pneumonia
komunitas usia lanjut keluhan batuk relatif lebih jarang
muncul seperti pada penelitian ini.
52. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 190
Sputum Produktif
Diantara subjek penelitian yang dikonfirmasi
R
o
n
k
i
Ronki didapatkan pada 86,7% subjek dan terdapat
diagnosis pneumonia komunitas, terdapat sebanyak 26
orang (24,8%) yang mengeluhkan sputum produktif (p=
0,053, OR 1,87; IK 95% 017-22,52). Persentase sputum
produktif pada pasien CAP penelitian ini lebih sedikit
daripada yang didapatkan Metlay, dkk.10
Penelitian
tersebut mengkaji mengenai pengaruh usia terhadap
tampilan klinis pneumonia dan mendapatkan keluhan
sputum produktif yang tidak jauh berbeda pada kelompok
usia 18-44, 45-64, 65-74 dan >75 tahun yaitu masing-
masing 64%, 62%, 65%, dan 64%.
Berbagai kepustakaan menyatakan bahwa mayoritas
pasien usia lanjut dengan pneumonia mengeluhkan
sputum produktif. Namun, pasien-pasien usia lanjut yang
mengalami dehidrasi atau gangguan dalamkemampuan
untuk batuk hanya mengekspektorasi sedikitbahkan tidak
ada sputum.28
Selain itu, data sputum produktif pada
penelitian ini didapatkan dari anamnesis. Adanya
gangguan kognitif juga sangat berperan dalam
mempersulit diagnosis pneumonia komunitas pada pasien
usia lanjut. Subjek tidak mampu mengkomunikasikan
secara tepat kepada dokter gejala yang timbul, terutama
pada pasien usia lanjut dengan penurunan fungsi kognitif
dan status fungsional.29
Sesak napas
Keluhan sesak napas didapatkan pada 57 subjek
penelitian (74%), namun tidak mencapai kemaknaan
secara statistik bila dihubungkan dengan diagnosis
pneumonia komunitas (p= 0,07, OR 0,76; IK 95% 0,21-
2,94). Hopstaken, dkk.16
yang meneliti 246 pasien usia 18-
89 tahun untuk mengetahui kontribusi gejala dan tanda
klinis, LED serta CRP terhadap diagnosis pneumonia
menemukan bahwa 77,4% pasien pneumonia komunitas
mengeluhkan sesak napas (OR= 0,7; IK 95% 0,3-1,6). Pada
penelitian dengan subjek pasien pneumonia usia lanjut
oleh Riquelme, dkk.12
, didapatkan keluhan sesak napas
hampir sama dengan yang didapatkan pada penelitian ini,
yaitu 68%.
Berkurangnya sensitifitas dari pusat pernafasan
terhadap hipoksia atau hiperkapnia pada pasien usia
lanjut mengakibatkan hilangnya respon ventilasi pada
kasus-kasus akut seperti pneumonia. Hal ini secara lebih
lanjut menyebabkan terlambatnya muncul gejala dan
tanda klinis yang penting seperti sesak napas yang berguna
untuk menegakkan diagnosis pneumonia.30
hubungan bermakna dengan diagnosis pneumonia (p=
0,002, OR 7,861; IK 95% 2,0-30,1). Hopstaken, dkk.16
yang
melakukan penelitian tentang kontribusi gejala dan tanda
klinis serta CRP terhadap diagnosis pneumonia komunitas
pada subjek berusia 18-89 tahun mendapatkan ronki
ditemukan pada 20.6% kasus (OR 1,5, 95% IK 0,7-3,7).
Penelitian lain mendapatkan bahwa ketiadaan ronki pada
auskultasi didapatkan lebih banyak pada kelompok usia
sangat lanjut (>80 tahun) dibandingkan dengan kelompok
usia lebih muda (77% dan 84%).7
Namun, penelitian lain
mendapatkan bahwa walaupun secara umum temuan
klinis yang konsisten pada pasien usia lanjut dengan
pneumonia sama sekali tidak ditemukan pada 20%- 47%
pasien, sesak napas dan adanya ronki lebih sering
ditemukan.31
Demam
Rerata suhu tubuh pasien pneumonia pada
penelitian ini adalah 37,1o
C (0,89). Sesuai kriteria diagnosis
pneumonia pada penelitian ini, yaitu pasien dikatakan
demam jika suhu >37,8o
C, maka didapatkan hubungan
yang bermakna antara demam dengan diagnosis
pneumonia (p= 0,04 OR 2,01; IK 95% 0,89-4,7). Nilai OR
yang hampir sama juga didapatkan oleh Muller, dkk.26
yang
mendapatkan nilai OR sebesar 2,71 (IK 95% 2,02-3,64).
Penelitian tentang pneumonia pada usia lanjut
oleh Riquelme, dkk.32
mendapatkan bahwa demam tidak
didapat sesering pada pasien dewasa muda. Hal ini
disebabkan terdapat penurunan nilai dasar suhu tubuh
pada pasien usia lanjut, yang dikenal dengan istilah the
older the colder. Selain itu, juga terdapat respon yang
tumpul terhadap demam akibat gangguan kapasitas
termoregulator untuk memproduksi dan berespon
terhadap pirogen endogen. Setiap penambahan usia satu
dekade, suhu tubuh rata-rata selama tiga hari pertama
sakit pasien pneumonia menurun 0,15o
C.12
Perbedaan ini
dapat diterjemahkan sebagai perbedaan 10o
C antara suhu
tubuh pasien pneumonia berusia 20 tahun dengan usia 80
tahun.33
Muder, dkk.34
mendapatkan hanya sekitar sepertiga
pasien dari panti rawat yang mengeluhkan batuk dan
demam. Waterer, dkk.28
menemukan bahwa pasien CAP
usia lanjut dengan tidak adanya demam dan adanya
perubahan status mental mengakibatkan pasien menjadi 4
jam lebih lambat mendapat antibiotik dan keterlambatan
53. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 191
ini memengaruhi mortalitas. Walaupun pemberian
antibiotik pada waktu yang tepat telah menjadi standar
54. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 192
perawatan pasien pneumonia, namun memenuhi target ini
menjadi problematik pada pasien pneumonia komunitas
usia lanjut. Hal tersebut mengingat tampilan klinis infeksi
yang tidak biasa, sehingga menimbulkan ketidakyakinan
diagnosis pada populasi usia lanjut. Beberapa peneliti
lainnya menambahkan bahwa penyakit-penyakit komorbid
menambah ketidakpastian diagnosis pneumonia dan
meningkatkan mortalitas akibat penundaan dalam
memulai terapi.28
Leukositosis
Rerata leukosit pada pasien pneumonia adalah
114.00/mm3
. Bila dihubungkan dengan diagnosis
pneumonia, jumlah leukosit >15.000/mm3
tidak memiliki
kemaknaan secara statistik (p= 0,8, OR 1,09; IK 95% 0,52-
2,27). Rerata leukosit pada penelitian ini lebih rendah
dibandingkan dengan yang didapat Zalacain, dkk.18
yaitu
sebesar 15.400/mm3
.
Proses infeksi menstimulasi pelepasan akut netrofil
dari pool storage marginated di sumsum tulang. Netrofilia
lazim terjadi pada infeksi bakteri akut dan jarang pada
infeksi virus. Peningkatan netrofil batang dan metamielosit
juga sering ditemukan. Namun demikian, proses penuaan
tidak menyebabkan perubahan signifikan dari jumlah
leukosit ataupun hitung jenis leukosit. Karenanya, kelainan
dalam hal jumlah leukosit harus dievaluasi sebagai
kemungkinan tanda proses penyakit aktif.35
Pemeriksaan laboratorium memiliki keterbatasan
untuk menegakkan diagnosis dan penyebab spesifik
pneumonia. Meskipun temuan jumlah leukosit >15,000/
mm3
meningkatkan probabilitas pasien menderita
pneumonia akibat infeksi bakteri daripada virus, namun
hasil ini tergantung kepada stadium penyakit. Selain itu,
kondisi tersebut belum diketahui apakah cukup sensitif
atau spesifik untuk membantu memutuskan pilihan terapi
pada pasien tertentu.26
Pasien usia lanjut secara in vitro menunjukkan
penurunan fungsi leukosit polimorfonuklear secara jelas.
Selain itu, terjadi pula gangguan migrasi, ingesti dan
killing netrofil. Namun demikian, temuan in vitro ini tidak
memliki kepentingan klinis yang jelas. Walaupun terdapat
penurunan fungsi yang bermakna secara statistik dalam
kisaran 10%-30%, umumnya para ahli berpendapat bahwa
fungsi netrofil memang harus menurun sampai lebih dari
90% agar risiko infeksi meningkat.29
Infiltrat
Terdapat hubungan yang bermakna antara adanya
infiltrat pada rontgen thoraks dengan diagnosis pneumonia
(p <0,0001). Semua pasien yang didiagnosis pneumonia
memiliki gambaran infiltrat pada rontgen toraks. Hal ini
disebabkan oleh kriteria diagnosis yang dijadikan baku
emas pada penelitian ini mengharuskan adanya gambaran
infiltrat baru atau bertambah dibandingkan rontgen
thoraks sebelumnya. Pada pasien yang bukan pneumonia,
didapatkan gambaran infiltrat pada sebanyak 15 subjek
(28,8%). Penyakit komorbid yang dapat memunculkan
gambaran infiltrat yang sering ditemukan pada penelitian
ini adalah gagal jantung kongestif, keganasan dan PPOK.
Manifestasi Tidak
Khas Pneumonia Pada
Usia Lajut
Jatuh
Sebanyak 14,3% pasien CAP usia lanjut datang
dengan keluhan jatuh, namun dalam hubungannya dengan
diagnosis pneumonia tidak mencapai kemaknaan secara
statistik (p= 0,79, OR 0,79; IK 95% 0,32-1,96) (Tabel 2).
Pneumonia pada pasien usia lanjut dapat bermanifestasi
sebagai jatuh akibat perubahan status mental, hipotensi
postural, ataupun kelemahan umum.38
Pneumonia
merupakan bagian dari faktor intrinsik sistemik yang
dapat memicu timbulnya gangguan keseimbangan dan
jatuh. Beberapa pasien memiliki baroreseptor karotis yang
sensitif dan rentan mengalami sinkop akibat refleks tonus
vagal yang meningkat akibat batuk, mengedan, berkemih
sering terjadi bradikardia dan hipotensi.36
Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin terdapat pada 18,1% pasien
pneumonia. Keluhan ini tidak bermakna secara statistik
jika dihubungkan dengan diagnosis pneumonia (p= 0,524,
OR 1,35; IK 95% 0,3-3,47) (Tabel 2). Inkontinensia urin
yang terjadi pada pasien penumonia tergolong ke dalam
inkontinensia akut yang terjadi secara mendadak yang
berkaitan dengan kondisi sakit akut yang menghilangjika
kondisi akut teratasi. Pada usia lanjut, inkontinensia urin
juga berhubungan dengan depresi, batuk, gangguan
mobilitas, demensia, depresi, stroke, DM dan parkinson.
Pada penelitian terhadap 5.418 usia lanjut di luar negeri
mendapatkan tiga faktor risiko yang dapat dimodifikasi
dan berhubungan secara bermakna dengan inkontinensia
urin yaitu ISK, keterbatasan aktifitas dan faktor gangguan
lingkungan.37
Intake sulit
Keluhan intake sulit didapatkan pada sebanyak
70,5%, namun tidak bermakna secara statistik bila
55. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 193
dihubungkan dengan diagnosis pneumonia (p= 0,18,
56. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 194
OR 0,77; IK 95% 0,19-2,83) (Tabel 2). Persentase pada
penelitian ini didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan
berbagai penelitian tentang gejala intake sulit pada
pneumonia usia lanjut berkisar antara 57%-64%.38
Efek merugikan penyakit akut terhadap
metabolisme nutrisi menjadi lebih jelas pada usia lanjut.
Hal ini disebabkan oleh penyakit akut ataupun kronik
yang menginduksi respon inflamasi. Seiring dengan
pertambahan usia, respon inflamasi yang menjadi
disregulasi terlihat pada peningkatan persisten mediator
inflamasi. Sitokin proinflamasi diantaranya IL-6, IL-1(beta),
tumor necrosis factor (TNF)-alpha dan kemungkinan IL-
8. Sitokin-sitokin ini berfungsi baik secara intermediet
ataupun langsung dalam menginduksi gejala dan tanda
yang berkaitan dengan inflamasi, termasuk nafsu makan.39
Penurunan Status Fungsional
Sebanyak 41,9% subjek mengalami penurunan
status fungsional yang bila dihubungkan dengan diagnosis
pneumonia tidak mencapai kemaknaan secara statistik
(p= 1,51, OR 1,51; IK 95% 0,74-3,07). Pengukuran
status fungsional merupakan komponen esensial dalam
penatalaksaan paripurna pasien usia lanjut. Kemampuan
seorang usia lanjut untuk berfungsi dapat dipandang
sebagai pengaruh keseluruhan dari kondisi kesehatan
dalam konteks sistem lingkungan dan dukungan sosial.
Pada pasien usia lanjut, kemampuan untuk berfungsi
sesuai dengan gaya hidup yang diinginkan harus menjadi
pertimbangan penting dalam perencanaan perawatan.
Karenanya, perubahan pada status fungsional harus
dievaluasi dan diintervensi lebih lanjut. Penilaian status
fungsional juga berguna dalam memonitor respon
terhadap terapi dan juga sebagai faktor prognostik yang
akan membimbing klinisi dalam merencanakan perawatan
jangka panjang.40
Perubahan status fungsional, gangguan metabolik,
episode jatuh yang berulang ataupun eksaserbasi akut
dari penyakit kronik bisa menjadi gejala yang paling utama
muncul atau bahkan menjadi satu-satunya manifestasi
pneumonia pad pasien usia lanjut. Perubahan status
fungsional ditandai dengan ketidakmampuan seorang usia
lanjut dalam melakukan aktivitas yang biasa dilakukan
sehari-hari.35
Peran C-Reactive Protein Dalam
MendiagnosisPneumonia
Komunitas Pada Usia Lanjut
Pada penelitian ini, didapatkan median CRP pada
pasien pneumonia adalah 86,09 mg/dl (0,59-300). Nilai
AUC yang diperoleh dari metode ROC untuk mengetahui
kemampuan CRP dalam mendiagnosis pneumonia adalah
sebesar 0,57 (95% IK 0,47- 0,66), p= 0,149 (Gambar 1).
Hasil ini menunjukkan bahwa CRP tidak memiliki peranan
dalam mendiagnosis pneumonia komunitas pada usia
lanjut.
Harus diperhitungkan bahwa CRP merupakan
penanda non-spesifik inflamasi akut, sehingga banyak
faktor yang memengaruhi. Karakteristik umum pasien
seperti usia dan jenis kelamin juga memengaruhi kadar
CRP, sehingga nilai titik potong yang didapat bisa berbeda-
beda. Oleh karena itu, sebaiknya pemeriksaan CRP
dibedakan menurut usia dan jenis kelamin. Selain itu,
kondisi-kondisi patologis dapat menimbulkan kerusakan
jaringan yang menjadi stimulus penting untuk sintesis CRP
di hepar. Pada penelitian ini, persentase penyakit-penyakit
kronik seperti DM dapat memengaruhi kadar CRP.21
Meer, dkk.41
mengevaluasi keakuratan diagnostik
CRP dalam mendeteksi pneumonia yang didagnosis secara
radiologis. Penelitian tersebut juga mengevaluasi seberapa
baik CRP dalam membedakan infeksi bakteri dengan viral
pada pneumonia. Kesimpulannya, CRP cukup sensitif pada
rule in dan juga cukup spesifik dalam rule out pneumonia.
Albazzaz, dkk.21
yang meneliti tentang penanda
inflamasi pada pneumonia mendapatkan bahwa pasien
usia lanjut mampu menginisiasi respon inflamasi yang
adekuat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya suhu,
jumlah leukosit dan kadar CRP jika dibandingkan dengan
pasien bukan pneumonia. Pada orang dewasa, konsentrasi
CRP lebih dari 100 mg/l merupakan indikator kuat infeksi
bakterial aktif dan memerlukan antibiotik meskipun tidak
spesifik untuk infeksi bakteri.
Kelebihan dan
Keterbatasan
Penelitian
Kelebihan penelitian ini yaitu merupakan penelitian
pertama yang menilai faktor-faktor diagnosis pneumonia
pada pasien usia lanjut di Indonesia dan mencoba mencari
peranan manifestasi tidak khas terhadap diagnosis
pneumonia pada usia lanjut di Indonesia. Sedangkan,
keterbatasan pada penelitian ini adalah jumlah subjek
yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan penelitian-
penelitian serupa di luar negeri. Selain itu, terdapat
overlap antara baku emas diagnostik pneumonia dengan
faktor diagnostik yang diteliti dapat mengakibatkan over
estimate hasil analisis. Sebenarnya, standar baku emas
tidak boleh mengandung komponen variabel yang diteliti.
Namun, kriteria diagnostik dapat dipakai karena memiliki
kriteria terbaik yang dapat dijadikan baku emas.32
57. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 195
SIMPULAN
Faktor-faktor yang berhubungan dengan diagnosis
pneumonia pada usia lanjut adalah batuk, ronki dan
infiltrat. Sementara itu, manifestasi tidak khas pneumonia
pada pasien usia lanjut (intake sulit, jatuh, inkontinensia
urin dan penurunan status fungsional) tidak berhubungan
dengan diagnosis pneumonia komunitas pada usia lanjut.
Hasil analisis CRP pada penelitian ini juga didapatkan tidak
mempunyai peranan dalam mendiagnosis pneumonia
komunitas pada pasien usia lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Joseph JG, Hillary RB. The context of geriatric care. In: Joseph JG,
editor. Handbook of Geriatric Asessment edisi 4. Massachusetts:
Jones and Bartlett publishers inc; 2006. p.3-11
2. Hoare Z, Wei SL. Pneumonia: update on diagnosis and management.
BMJ. 2006;332(7549):1077-9.
3. Pilotto A, Addante F, Ferucci L, Leandro G, D’onofrio G. The
multidimensional prognostik index predicts short-and long-Term
mortality in hospitalized geriatric patients with pneumonia. J
Gerontol A Biol Sci Med. 2009;64(8):880-7.
4. Viegi G, Pistelli R, Cazzola M, Falcon F, Cerveri I, Rossi, et al.
Epidemiological survey on incidence and treatment of community
acquired pneumonia in Italy. Respir Med. 2006;100(1):46-55.
5. Ochoa-Gondar O, Vila-corcoles A, Diego C, Arija V, Maxenchs M,
Grive M, dkk. The burden of community-acquired pneumonia in
the elderly: The Spanish EVAN-65 study. BMC Public Health.
2008;222:751-71.
6. Donowitz GR, Heather L. Bacterial community-acquired pneumonia
in older patients. Clin Geriatr Med. 2007;23(3):515–34.
7. Chong, Carol P, Street, Philip R. Pneumonia in elderly: a review
of the epidemiology, pathogenesis, microbiology, and clinical
features. South Med J. 2008;101(11):1141-4.
8. Bahar A. Penatalaksanaan paripurna pasien geriatri dengan
pneumonia. Dalam: Soepartondo, Setiati S,Soejono CH, editor.
Prosiding temu ilmiah geriatri 2003; penatalaksanaan pasien geriatri
dengan pendekatan interdisiplin. Jakarta: Pusat informasi dan
penerbitan bagian ilmu penyakit dalam FKUI; 2003. hal.55-8.
9. Niederman MS, Ahmed QA. Community-acquired pneumonia in
elderly patients. Clin Geriatr Med. 2003;19(1):101–20.
10. Metlay JP, Schulz R, Li H, et al. Influence of age on symptoms at
presentation in patients with community-acquired pneumonia. Arch
Intern Med. 1997;157(13):1453–9.
11. Fernandez-Sabe N, Carratala J, Roson B, et al. Community-
acquired pneumonia in very elderly patients: causative organism,
clinical characteristics and outcomes. Medicine (Baltimore).
2003;82(3):159–69.
12. Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M. Community-aquired
pneumoniain the elderly clinical and nutritional aspect. Am J Respir
Crit Care Med. 1997;156(6):56-9.
13. Steichen O, Bouvard E,Grateau G, Bailleul S, Capeau J, Lefèvre G.
Diagnostic value of procalcitonin in acutely hospitalized elderly
patients. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2009;28(12):1471–6.
14. Viegi G, Pistelli R, Cazzola M, Falcon F, Cerveri I, Rossi ,dkk.
Epidemiological survey on incidence and treatment of community
acquired pneumonia in Italy. Respir Med. 2006;100(1):46-55.
15. Espana PP, Capestagui A, Gorordo I, Esteban C, Oribe M, Ortega
M, dkk. Development and validation of a prediction rule for severe
community-acquired pneumonia. Am J Respir Crit Care Med.
2006;174(11):1249-56
16. Hopstaken RM, Muris JW, Knottnerus JA, Kester AD, Rinkens PE,
Dinant GJ,dkk. Contributions of symptoms, signs, erythrocyte
sedimentation rate, and C-reactive protein to a diagnosis of
pneumonia in acute lower respiratory tract infection. Br J Gen Pract.
2003;53(490):358-64.
17. Almirall J,Bolíbar I,Toran P,Pera G, Boquet X,Balanzó X,
et al. Contribution of C-reactive protein to the diagnosis and
assesment of severity of community-acquired pneumonia. Chest.
2004;125(4):1335-42.
18. Zalacain R, Torres A, Celis R, Blanquer J, Aspa J, Esteban L, et
al. Community-acquired pneumonia in the elderly: Spanish
multicentre study. Eur Respir J. 2003;21(2):294-302.
19. Nazarian DJ, Eddy OL, Lukens TW, Weingart SD, Decker WW.
Clinical policy: Critical issue in the managenment of adult patients
presenting to the emergency departement with community- acquired
pneumonia. Ann Emerg Med. 2009;54(5):704-29.
20. Lera R, Cervera A, Fernandez-Fabrellas E, Aguar MC, Chiner E,
Sanz F, Blanquer J, et al. Characteristics of community acquired
pneumonia in very elderly patients. Am J Respir Crit Care Med.
2010;181:293-8.
21. Albazzaz MK, Pal C, Berman P, Shale DJ. Inflammatory markers
of lower respiratory tract infection in elderly people. Age Aging.
1994;23(4):299-302.
22. Fry AM, Shay DK, Holman RC. Trends in hospitalization for
pneumonia among persons aged 65 yers and older in the United
States, 1988-2002. JAMA. 2005;294(21):272-9.
23. Kobashi Y, Okimoto N, Matsushima T, Soejima R. Clinical analysis
of Community-acquired pneumonia in the elderly. Intern Med.
2001;40(8):703-7.
24. Gavazziand G, Krause KH. Ageing and infection. Lancet Infect Dis.
2002;2(11):659-66.
25. High KP. Infection in the elderly. In: Halter JB, Ouslander JG,
RtinetiME, Studenski S,High KP, Asthana S, dkk, editors. Hazzard’s
GeriatricMedicine and Gerontology Edisi 6. New York: McGraw-
Hill; 2009. p.1507-15.
26. Muller B, Harbarth S, Stolz D, Bingisser R, Mueller C, Leuppi J,
etal. Diagnostic and prognostic accuracy of clinical and laboratory
parameters in community-acquired pneumonia. BMC Infect Dis.
2007;7:1-10.
27. Christ-Crain M, Muller B. Procalcitonin on the dusty way to the
holy grail: a progress report. In: Vincent JL, editor. 2005 Yearbook
of intensive care and emergency medicine. Berlin: Springer Berlin
Heidelberg; 2005. p.461-765
28. Waterer GW, Kessler LA, Wunderink RG. Delayed administration
of antibiotics and atypical presentation in community-acquired
pneumonia. Chest. 2006;130(1):11-5.
29. Bender BS. Infectious disease risk in the elderly. Immunol Allergy
Clin North Am. 2003;23(1):57–64.
30. Roghman MC, Warner J, Mackowiak PA. The relationship between
age and fever magnitude. Am J Med Sci. 2001;322(2):68-70.
31. Coroles AV, Blanco TR, Gondar OG, Serrano ES, Cabanes CD.
Incidence and clinical characteristics of community-acquired
pneumonia managed as outpatient among elderly peoplein
Tarragana-Valls, Spain. Revista Espanola De Salud Publica.
2009;83:321-9.
32. RiquelmeR, TorresA, El-EbiaryM.Communityacquiredpneumonia
in the elderly;a multivariate analysis of risk and prognostic factors.
Am J Respir Crit Care Med. 1996;154(5):1450-5.
33. King MB. Falls. In: Halter JB, Ouslander JG, Rtineti ME, Studenski
S,High KP, Asthana S, dkk, editor. Hazzard’s Geriatric Medicine
andGerontology Edisi 6. New York: McGraw-Hill; 2009. p.659-69.
34. Muder RR, Aghababian RV, Loeb MB. Nursing home-acquired
pneumonia : an emergency departement treatment algorithm.Curr
Med Res Opin. 2004;20(8):1309-20.
35. Klepin HD, Powell BL. White cell disorders. In: Halter JB,
OuslanderJG, Rtineti ME, Studenski S,High KP, Asthana S, dkk,
editors. Hazzard”s Geriatric Medicine and Gerontology Edisi 6.
New York: McGraw-Hill; 2009. p.1215-27.
36. Setiati s, Laksmi PW. Gangguan keseimbangan, jatuh dan fraktur.
Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Kolopaking MS, Setiati
S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi ke-4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2006. hal.1388-96.
37. Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensia urin dan kandung kemih
hiperaktif. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Kolopaking
MS,Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. edisi ke-4.
Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2006. hal.1402-9.
58. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 196
38. Donowitz GR, Cox HL. Bacterial
communityiacquired pneumonia in older
patient. Clin Geriatr Med. 2007;23(3):515-34.
39. Baez-Franceshi D, Morley JE.
Physiopathology of the catabolism associated
with malnutrition in the elderly. Z Gerontol
Geriatr. 1999;32(Suppl 1):12-9.
40. Meteresky ML, Sweeney TA, Getzow MB.
Antibiotic timing and diagnostic uncertainty
in medicare patient with pneumonia: is it
reasonable to expect all patients to receive
antibiotics within 4 hours? Chest.
2006;130(1):16-21
41. Van der Meer V, Neven AK, Van den Broek
PJ, Assendelft WJ. Diagnostic value of C
reactive protein in infections of the lower
respiratory tract: systematic review. BMJ
2005;331(7507):26.