Dokumen tersebut membahas tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Indonesia. Secara umum, BUMD belum berkontribusi optimal terhadap penerimaan daerah karena masih banyak yang belum dikelola dengan baik. Dokumen ini menganjurkan agar BUMD diperluas ke bidang-bidang strategis seperti pertambangan dan perkebunan, serta dikelola secara profesional dan transparan agar dapat berkontribusi lebih besar bagi pemb
1. BUMD Siapa yang Punya?
Tujuan didirikannya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) antara lain untuk mendorong pembangunan
ekonomi di daerah dan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Namun selama ini
kontribusi laba BUMD terhadap PAD rata-rata masih dibawah 5 persen. Total aset yang dimiliki
seluruh BUMD, yang berjumlah lebih dari 1000, mencapai Rp. 343,118 triliun. Sedangkan total
kontribusi laba seluruh BUMD tersebut hanya sebesar Rp. 10,372 triliun atau 3,02 persen dari total
aset. Rendahnya kontribusi laba ini mengindikasikan sebagian BUMD masih belum dikelola dengan
baik, sehingga belum mampu berperan secara optimal dalam menunjang penerimaan PAD.
Senasib dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), BUMD masih menghadapi kendala seperti
adanya kemungkinan intervensi dalam penyusunan struktur organisasi BUMD. Budaya perusahaan
juga masih bercorak birokrasi, belum banyak mengadopsi budaya perusahaan yang profesional dan
transparan. Selain itu, BUMD biasanya kalah efisien dibandingkan swasta dikarenakan proses
pengambilan keputusan yang lebih hierarkis.
Mengelola perusahaan negara/daerah bisa dibilang lebih sulit dibandingkan mengelola perusahaan
swasta. Di perusahaan swasta, kepada siapa manajemen bertanggung jawab adalah jelas, yaitu kepada
pemilik perusahaan atau pemegang saham. Tugasnya pun jelas yaitu memaksimalkan laba bagi
pemilik perusahaan. Namun pada kasus BUMD, sebagaimana kepanjangannya yaitu Badan Usaha
Milik Daerah, pemiliknya adalah daerah. Lalu kepada siapakah manajemen BUMD harus loyal?
Apakah kepala daerah, para anggota dewan, atau seluruh masyarakat di daerah?
Hal tersebut membuat banyak perusahaan negara/daerah yang tidak mampu menghasilkan laba
bahkan mengalami kerugian sehingga perlu disubsidi dari APBN/APBD. Berbagai permasalahan dan
inefisiensi tersebut membuat IMF dan World Bank dalam membantu negara-negara yang mengalami
krisis ekonomi, mensyaratkan model Washington Consensus yang salah satunya berisi kebijakan
untuk melakukan privatisasi atau menjual perusahaan milik negara. Alasannya, pemerintah tidak
seharusnya terjun ke bisnis, namun sektor swasta yang harus dikuatkan. Belakangan Beijing
Consensus muncul sebagai alternatif dari Washington Consensus untuk model pembangunan di
negara berkembang yang menekankan peran negara sebagai pemandu pembangunan ekonomi,
termasuk peran state-owned enterprises (SOE) yang perlu tetap dipertahankan.
Di China, walaupun SOE (BUMN dan BUMD) tidak lagi mendominasi secara total, namun masih
tetap memegang peranan penting dalam perekonomian. Diperkirakan SOE memiliki andil antara 40%
sampai 50% dari GDP. Di China terdapat sekitar 100.000 BUMD (sub-national SOE). Di beberapa
daerah disana, BUMD bisa menyediakan sekitar separuh dari lapangan pekerjaan yang tersedia di
masing-masing daerah tersebut. BUMD-BUMD tersebut sebagian besar bergerak dalam bidang
manufaktur, real estate/konstruksi, transportasi, perdagangan, pertambangan dan pertanian (termasuk
perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan).
Indonesia perlu mencontoh China yang terbukti selama beberapa dekade mampu mempertahankan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta mengentaskan ratusan juta penduduknya dari kemiskinan.
Negara seharusnya dapat lebih berperan dalam menangani bidang-bidang usaha yang strategis,
melalui perusahaan negara/daerah. Hal tersebut sesuai dengan amanat UUD 45 Pasal 33 ayat 2, yaitu
“cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara”.
Negeri ini dianugerahi kekayaan alam yang melimpah, mulai dari pertambangan, pertanian,
perkebunan, kehutanan, kelautan dan sebagainya. Kebijakan otonomi daerah memberi kewenangan
yang sangat luas bagi pemerintah daerah untuk mengatur daerah dan mengelola berbagai potensi
ekonomi yang ada di wilayahnya. Dengan kewenangannya tersebut, daerah berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui pengelolaan dan
pemanfaatan berbagai potensi yang ada.
2. Namun sayangnya belum banyak BUMD yang bergerak dibidang pengelolaan kekayaan alam.
Sebagian besar BUMD bergerak dibidang perbankan (BPD dan BPR) dan air minum (PDAM).
Bidang usaha BUMD perlu diperluas ke bidang-bidang strategis, terutama pengelolaan sumber daya
alam. Bidang usaha seperti pertambangan dan perkebunan memang memerlukan modal yang besar
dan resiko yang juga besar. Namun bidang tersebut menjanjikan keuntungan yang sangat besar pula.
Sebagai buktinya, banyak pemilik perusahaan pertambangan dan perkebunan yang masuk ke dalam
daftar orang terkaya di Indonesia. Apabila BUMD lebih diprioritaskan untuk mengelola kekayaan
alam, maka yang akan menikmati keuntungannya adalah seluruh masyarakat di daerah tersebut.
Sebaliknya, jika perusahaan swasta atau asing yang lebih banyak diberikan kesempatan maka
keuntungan terbesar akan dinikmati oleh pemilik perusahaan atau bahkan diangkut ke luar negeri.
UUD 45 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Agar kekayaan alam dapat lebih optimal dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, maka BUMN dan
BUMD yang seharusnya lebih diutamakan serta didorong kemajuannya untuk mengelola kekayaan
alam. Apabila BUMN/BUMD lebih diberi kesempatan mengelola kegiatan ekstraktif tersebut maka
diharapkan ke depan dapat tumbuh menjadi perusahaan yang besar dan mampu bersaing di tingkat
global. Beberapa perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia, sebelumnya adalah
perusahaan skala kecil, namun setelah mendapatkan konsesi pertambangan di Indonesia, berkembang
menjadi perusahaan terkemuka di dunia.
Masalah permodalan semestinya tidak menjadi masalah utama, mengingat disinyalir masih banyaknya
dana APBD yang diparkir di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau Surat Utang Negara (SUN). Untuk
membayar bunga SBI dan SUN tersebut tentu sangat membebani APBN. Dana yang menganggur
tersebut lebih baik dimanfaatkan untuk usaha yang riil dan produktif. Pinjaman dari bank
BUMN/BUMD juga bisa dimanfaatkan untuk membantu permodalan untuk perluasan usaha BUMD.
Salah satu tugas pemerintah termasuk pemda adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.
Saat ini tingkat pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan menurut data
KEMENDIKNAS jumlah pengangguran terdidik mencapai 2 juta orang. Penguatan dan perluasan
usaha BUMD pastinya akan dapat mengurangi tingkat pengangguran dan meningkatkan stabilitas
sosial di daerah.
Dengan pengembangan BUMD ke bidang-bidang yang strategis dan profitable serta pengelolaan yang
profesional dan transparan, diharapkan BUMD semakin maju dan mampu berkontribusi lebih banyak
bagi APBD dan pembangunan di daerah. Hal ini akan memberikan multiplier effect yang besar bagi
perekonomian daerah dan akan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat, pemilik sesungguhnya dari
BUMD.