1. ADAT ISTIADAT KABUPATEN MUNA
A. Kangkilo Dalam Adat Muna
1. Pengertian
Kangkilo dalam bahasa muna yang artinya sunatan merupakan adat masyarakat muna yang masih
dilestarikan sampai saat ini. Kangkilo atau sunatan dilakukan pada saat anak beranjak dewasa dan
pelaksanaannya sebelum acara katoba. Kangkilo ditinjau dari segi bahasa atau kosakata adalah
bersih sedamgkan dalam pertiannya kangkilo adalah pembersiah diri.
2.Sejarah munculnya kangkilo di Muna
Kangkilo muncul di muna pada saat penyebaran agama islam di muna yang di bawa oleh
saudagar dari arab yang bernama sayyid arab ,masyarakat muna lebih mengenalnyadengan nama
saidji rabba yang artinya sayyidina dari arab. Beliau menyebarkan agama islam di muna tidak serta
merta hanya secara teoritis, namun dengan penerapan dan kaidah-kaidah dalam berislam.
Terutama pentingnya kangkilo atau sunatan dalam mencegah najis yang ada pada manusia.
3. Makna kangkilo
Makna dari kangkilo yaitu sebagai pembersihan diri, dalam adat istiadat muna seorang anak
yang beranjak remaja atau memasuki usia 7 tahun diwajibkan untuk di kangkilo, kangkilo disini
dimaksudkan untuk pembersihan diri dalam menghadapi tugas dan kewaibannya terhadap allah
swt. sebagaimana yang di hadiskan dalam riwayat bahawa anak yang berusia diatas 7 tahun harus
diwajibkan untuk melaksanakan shalat, dan syarat seseorang yang diterima atau diijaba shalatnya
oleh allah adalah seseorang yang telah bersig dari haadas dan najis.
4. Tata cara kangkilo
- dimandikan oleh modji menghadap timur
-dimandikan oleh modji menghadap barat
-pelaksanaan sunatan
-mencuci kemaluan dengan air daun jeruk
-pembacaan doa selamat/syukuran .
B. KARIA ATAU PINGITAN
Karia atau pingitan adalah sala satu kebudayaan yang ada di kabupaten muna, karia di
tujukan untuk semua wanita-wanita muna. Pada dasarnya karia atau dalam bahasa indonesianya
Ribut yang bermakna kemeriaan.
WANITA-WANITA MUNA WAJIB HUKUMNYAUNTUK DI KARIA/di PINGIT Sebelum menikah, hal ini
sebenarnya bermaksud baik, karena dalam prosesi karia para wanita di tempatkan pada ruangan
kecil dimana di dalam tidak terdapat sumber listrik dan dindingan harus terbuat dari papan yang
di kelilingi oleh kain yang berlapis-lapis sampai sinar mataharipun tidak dapat masuk kedalam
ruangan itu (kaghombo/ rumah pingit), ruangan ini dalam bentuk rumah tinggi, para wanita
sebelum masuk kedalam untuk di Pingit, maka mereka wajib mengikuti yang istilanya GHOME
GHAGHE (CUCI KAKI) Setelah prosesi ini dilakukan mereka tidak boleh menyentu tanah selama 4
hari 4 malam namun mereka masi bisa beraktifitas di dalam rumah dan masi bisa ketemu tamu,
biasanya dalam prosesi ini mereka di buat sibuk untuk membantu kegiatan dalam mengahadapi
puncak karia, kegiatan yang paling sering dibebankan kepada mereka adalah memilih beras dan
membersikan dalam rumah, setelah 4 hari 4 malam berlalu MAKA mereka memasuki prosesi yang
istilahnya kakadiu (mandi) mereka di beri mantra, sehingga mampu berada di ruangan kaghombo
nantiNYA (rumah pingit), di dalam prosesi mandi itu di pastikan wanita-wanita tersebut dalam
keadaan bersih atau tidak lagi datang bulan. Setelah mandi mereka di iring oleh pelaku –pelaku
orang tua pingitan di dalam rombongan itu harus ada wanita yang disebut matansala, matansala
adalah wanita yg suda pernah dipinggit dan tidak mempunyai cacatan sosial buruk sama sekali.
Matansala nantinya berperan penting dalam acara pingitan, dimana matansala adalah satu-
satunya pihak yang bisa berbicara dengan pihak lain di luar kaghombo itupun dia lewat bisano
(dukun wanita yang bertanggung jawab dalam acara pingitan). Dalam ruangan pingitan belum ada
satu pihakpun yang perna mengabadikan gambar didalam karena disitu memang tidak ada hal-hal
yang berbau teknologi bahkan suara wanita di dalampun tidak bisa didengar oleh orang diluar,
2. didalam KAGHOMBO mereka cukup sabar karena selama 4 hari 4 malam mereka berpuasa dan
tidak buang air besar sama sekali (dilarang dan diangap hal yang memalukan) namun bisa buang
air kecil, mereka harus jalan duduk sampai tujuan dan buang air kecil di bansa (keranjang di
anyaman bambu ukuran kecil). Dan mereka duduk di atas papan yang dilapisi anyaman daun
kelapa ukuran satu orang duduk sebagai alas mereka, dan selama 4 hari 4 malam itu bunyi gong
dan tarian linda dan lagu sare di dendangkan selalu (nonstop). Music yang keluarpun bersifat
mistis karena mereka pelaku adat mampu memukul gong selama 4 hari 4 malam nonstop, orang
tua bahkan saudara-saudara yang di pingitpun tidak bisa tidur karena mereka harus tetap terjaga
dan jaga dalam setiap waktu, mereka di wajibkan patroli atau control di bawah kolong rumah
kaghombo menghindari hal-hal yang sifatnya mistis yang sering terjadi saat pinggitan, dimana
mereka sering mengalami hal-hal ane, yang di kenal dengan kesurupan dan bahkan adanya
kejadian-kejadian ane dimana berupa sihir dan jelmahan dan ini memang sering terjadi. Bahkan
bunyi gongpun bisa berbicara dengan aneh menurut saya. Karena goong itu jika di dalam
kaghombo ada wanita yang sebentar lagi akan nikah atau setelah prosesi pinggit tidak hitung
bulan akan mendapatkan jodonya maka bunyi gong itu pasti berirama “tarimakodhoino” jika tidak
hanya berbunyi “ kariakogandano” dan bunyi itu tidak bisa di ubah siapapun.
Selama 4 hari 4 malam para peserta kaghombo yang terdiri dari beberapa orang wanita, biasanya
lebih dari 10 wanita seperti di rumah la ode ndibale dengan jumlah peserta 39 dan 1 matansala
berarti 40 orang. Mereka di dalam diberi nasihat-nasihat baik untuk dibimbing mental, dan iman
mereka nantinya jika berkeluarga sendiri dan ketika menjadi isteri dan ibu mereka harus berbuat
seperti apa. Sebenarnya mereka di ajarkan kalau susah sekalipun nantinya dalam keluarga yang
baru mereka bina nantinya, mereka akan tetap mampu bertahan, sabar dan bisa bangkit menjadi
lebih baik karena mereka suda perna di ajar dalam kondisi terpuruk dimasa mereka dipingit. Itulah
banyak pihak mengatakan, wanita-wanita muna itu setia dan bertanggung jawab, sopan, pandai
dan professional
ntung kebiasaan wilaya dimuna menyebutnya. Ngibi,mpotanga, ewamuna adalah tarian silat muna
yang berkelahi antara pemuda yang memegan bendera dan tongkat bersenjata pisau dan ini
membuar rame teriakan wogha (pukul) dan berhenti ketiaka seseorang tersinggung sala satu
senjata dari yang dipegangnya. Lalu iring-iringan pun berjalan di teranggi lampu strongkin dan
kalego yg membuat suasana menarik. Sesampainya di rumah untuk menyimpan air tadi maka
prosesi ngibi atau ewawuna tadi kembali diperaganakan sama prosesi sebelum berangkat. Setelah
itu utusan yang membuat acara meminta izin kepada yang punya rumah akan maksud kedatangan
mereka menyimapan air tadi, maka jika prosesi terizinkan mereka pun balik dan berlangsung lagi
tarian silat menarik dan lengokkan tangan wanita dan laki-laki yang saling serang saputangan dan
untuk kembali tidak boleh lewat dijalan yang sama waktu datang harus kembali memutar sambil
diiringgi seperti saat datang. Ketika sampai mereka suda di tunggu pihak rumah (kolambuno)
disediakan haroa ( sajian makanan lalu yang menari tadi saling suap dan jadi totonan seru yang
membawa tawa pada peserta yang datang. Pada malam ketiga air tadi di ambil kembali dgn
prosesi yang sama saat menyimpannya. Pada malam ke 4 mereka di keluarkan yang istilahnya
kafosampu, kafosampu berjalan menarik dimana mereka di gendong tidak singgung tanah dan di
antarkan di bangsal acara, mereka di sediakan kursi dimana di kawal oleh 2 orang wanita ada
yang ghawi (duduk dibelakang peserta pingit) ada yang pegang busara (yang duduk memegang
lampu dihadapan yang pingit) lalu doa sukur dipanjatkan setelah itu dibuka dengan tarian paling
super yaitu linda oleh bisa yang di percayakan oleh kolambuno (dukun wanita yang dipercayakan
oleh pembuat acara). Setelah itu selendang yang dipake oleh bisano di pakekan kematansala lalu
matansala menari linda juga disini di baung2kan kado, uang atau apapun itu yang sifatnya hadia
untuk yang melakukan pingit setelah merasa menarinya cukup maka diberikan kepada peserta
pingit lain biasanya anak wanita tuan rumah yang bikin acara dan berlangsung begitu terus dan
semua dibuangkan atau dilemparkan hadia oleh semua penonton yang datang. Prosesi ini
berlanjut berdasarkan pemberian selendang dan sampai semua kebagian maka acara di tutup
dengan doa bersama dan mereka bisa bertemu dan bersosialisasi kembali seperti semula, setelah
itu dilakukan dengan kaghorono bansa, atau buang kotaran hidup ini dilakukan oleh semua yang
di pingit mereka di antar ditempat pengambilan air saat kegiatan kaalono patiiranga biasa
3. masyarakat tongkuno dimuna mereka lakukan di oe wakambulu ( air wakambulu) disini mereka
kemabali dimantrai di kawal oleh bisa yang sama setelah itu di tutup dengan tarian linda lagi oleh
semua peserta dan ngibi atau tarian silat muna…!! Itulah cerita singkat dari KEBUDAYAAN DI
KABUPATEN MUNA YANG NAMANYA KARIA ATAU PINGITAN.
3. KAMPUA (AQIQAH)
Kampua adalah proses pemotongan rambut anak yang berumur 40 hari. Dalam adat muna
kampua atau aqiqah, berbeda dengan prosesi aqiqah pada umumnya (daerah lain).
Adapun syarat-syarat kampua ialah :
1. Wajib ada seorang imam/modhi (imam dalam masyarakat muna) yang bertugas untuk
memimpin jalanya prosesi kampua
2. Menyiapkan alat-alat yang akan di gunakan untuk prosesi kampua :
a. Pisau atau gunting yang berfungsi untuk memotong rambut sang anak yang akan di
kampua.
b. Air/air kelapa muda, berfungsi sebagai alat membasuh kepala sang bayi.
c. kelapa yang telah di bentuk, baik itu perempuan maupun laki-laki. Untuk laki-laki kelapa
tersebut di bentuk menyerupai segi lima atau segi tiga. Sedangkan untuk perempuan kelapa di
bentuk menyerupai segi empat. Kelapa tersebut berfungsi sebagai tempat penyimpanan helai
rambut bayi yang telah di cukur atau di potong.
d. Menyiapkan pisang sebanyak 44 buah bagi anak laki-laki dan menyiapkan ketupat sebanyak
44 buah pula, maknanya pisang merupakan symbol bagi jenis kelamin laki-laki dan ketupat
melambangkan jenis kelamin untuk wanita dalam adat muna.
e. Pembakaran dupa, prosesi ini merupakan prosesi yang melambangkan unsure
perumpamaan dari kejadian manusia.
f. Segenggam tanah, merupakan salah satu syarat sakral dari prosesi kampua menurut adat
muna. Maknanya tanah merupakan penciptaan manusia.
Setelah syarat-syarat kampua telah tersedia maka akan di lanjutkan dengan prosesi kampua :
1. Membakar dupa, diiringi membaca doa pembuka yang di lakukan oleh seorang modhi atau
imam.
2. Setelah itu di lanjutkan dengan Pemotongan rambut, bagi laki-laki rambut yang di potong
mulai ubun-ubun, samping kiri, kanan, dan belakang kepala. Sedangkan untuk wanita bagian
rambut yang di potong yaitu bagian kiri dan kanan saja.
3. Kemudian helai rambut yang telah di potong tadi di simpan di kelapa yang di bentuk dan
berisi air tadi.
4. Selanjutnya segenggam tanah yang telah di siapkan tadi diletakan pada beberapa bagian
tubuh sang bayi yaitu : dahi, kedua telinga, kedua mata,bibir, kedua bahu, kedua siku, kedua
telapak tangan, kedua lutut, dan kedua mata kaki. Maknanya yakni peletakkan tanah di dahi yaitu
agar sang bayi mendapat pemikiran yang baik, kembali pada illahi dan nur Muhammad. Pada
telinga agar sang bayi mendengar hal-hal yang baik saja. Pada mata bermakna sang bayi hanya
melihat hal-hal yang baik saja. Begitu pula seterusnya hingga pada bagian mata kaki memiliki
makna yang sama (makna baik).
5. Setelah itu di lanjutkan dengan membaca shalawat nabi yang di pimpin oleh modhi/imam
yang di ikuti oleh semua orang yang hadir dalam prosesi kampua. Setelah semua prosesi selesai,
air kelapa tempat penyimpanan helai rambut bayi yang telah dimasukkan tadi, di basuhkan ke
rambut sang bayi dan sisanya di tumpahkan dan di basuhkan di rambut sang ibu. Hal ini
bermakna, supaya menghilangkan bala dan menjauhkan bayi dari bahaya (dan juga keluarga).