Infrastruktur gas di Indonesia belum terhubung dan terintegrasi dengan cadangan gas terpencil untuk memasok konsumen. Kebijakan pengelolaan gas perlu menyeimbangkan kepentingan jangka pendek dan panjang serta berbagai pihak terkait."
Tata kelola gas bumi sebagai perwujudan kedaulatan energi di indonesia
1. Tata Kelola Gas Bumi sebagai Perwujudan Kedaulatan Energi di Indonesia
Oleh : Sampe L. Purba
I.
Pengantar
Ketahanan energi adalah terpenuhinya ketersediaan (availability), kemampuan untuk
membeli (affordability), dan adanya akses (accessibility), serta ramah lingkungan
(environment friendly) bagi masyarakat pengguna. Kemandirian energi adalah
kemampuan negara dan bangsa untuk memanfaatkan keaneka ragaman energi
dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan
kearifan lokal secara bermartabat. Kedaulatan energi adalah hak negara dan bangsa
untuk secara mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk mencapai
ketahanan dan kemandirian energi.
Produksi migas Indonesia dewasa ini telah bergeser dari era dominasi minyak yang
mulai menurun (decline), ke era gas yang semakin meningkat. Namun demikian,
kecenderungan pengelolaan ekonomi makro Indonesia masih menggunakan
paradigma minyak. Hal ini antara lain tergambar pada APBN 2014 yang
menggunakan minyak sebagai dasar menghitung penerimaan maupun subsidi. Gas
masih lebih diutamakan sebagai sumber penerimaan Negara melalui APBN, dari pada
menggunakannya sebagai driver untuk menggerakkan ekonomi domestik. Kekisruhan
di awal tahun terkait dengan penyesuaian harga LPG non subsidi yang menyentak
sendi kehidupan masyarakat mengkonfirmasi bahwa sesungguhnya gas telah menjadi
faktor penting dan signifikan yang mempengaruhi stabilitas suhu sosial-ekonomipolitik nasional.
Dalam Peraturan Menteri ESDM no. 3 tahun 2010 tentang alokasi dan pemanfaatan
gas bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dinyatakan bahwa bahwa gas
bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan sehingga perlu diatur
pemanfaatannya secara berkesinambungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dan berorientasi pada asas kemanfaatan yang implementasi kebijakannya
ditujukan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional.
Pengelolaan gas memiliki dimensi yang tidak sefleksibel mengelola minyak. Hal ini
terkait dengan karakteristik pengembangan dan komersialitas gas yang lebih
berdimensi jangka panjang, perlunya dukungan infrastruktur yang mendekatkan gas
dengan pengguna, manajemen tata kelola dan pemanfaatan dari sisi pemakai (user),
serta diversifikasi sumber energi dan penerimaan Negara.
Kebijakan pengelolaan energi harus mengubah paradigma penggunaan sumber daya
energi sebagai komoditas menjadi modal pembangunan nasional yang berperan
sebagai salah satu penggerak transformasi struktur perekonomian pada jangka
panjang . Karena itu yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan tata kelola gas bumi sebagai
perwujudan kedaulatan energi di Indonesia.
1
2. II.
Pokok-pokok Persoalan
Identifikasi pokok – pokok persoalan sehubungan dengan permasalahan tersebut di
atas adalah sebagai berikut :
a. Persebaran Cadangan Gas di stranded remote area
Persebaran cadangan gas Indonesia baik yang sedang dalam tahapan
pengembangan maupun yang sudah contracted terutama adalah di lokasi-lokasi
yang jauh dari pasar/ user dan tidak tersedia infrastruktur yang memadai.
Lapangan-lapangan gas giant, seperti dari Tangguh Papua, Lapangan Jangkrik di
lepas pantai Kalimantan, Lapangan Masela di perbatasan selatan laut Timor,
Natuna D – Alpha di sekitar perairan Laut Cina Selatan adalah masa depan yang
menjanjikan. Namun ketidaktersediaan infrastruktur, jauhnya dari pasar dan tidak
tersedianya offtaker domestik yang dapat mendemonstrasikan komitmen dan
kemampuan nyata untuk memonetisasinya, mengharuskan diperlukan kompromi
realistis ekonomis yang bijak untuk pengembangannya.
Pengembangan lapangan-lapangan gas memiliki dimensi pelibatan teknologi yang
rumit, permodalan yang besar dan jangka panjang, aspek operasional value chain
gas yang harus terpadu, offtaker pembeli gas yang kuat, serta memperhatikan
aspek geostrategis politik di kancah global.
Kompromi realistis yang berdimensi jangka pendek menengah adalah dengan
mengutamakan monetisasi aspek komersialnya, sedangkan untuk jangka
menengah dan panjang adalah dengan penguatan dan pemberdayaan kapasitas
nasional untuk memungkinkan partisipasi dalam seluruh rangkaian value chain
gas development secara bertahap, terencana, konsisten dan rasional.
KEMENTERIAN
ESDM
CADANGAN DAN SUMBER DAYA GAS BUMI &
SUMBER DAYA CBM SERTA POTENSIAL SHALE GAS
ACEH (NAD)
7.08
NATUNA
NORTH SUMATRA
1.23
50.27
CENTRAL SUMATRA
9.28
16.65
PAPUA
EAST BORNEO
SOUTH SUMATRA
2.57
16.03
24.14
CELEBES
WEST JAVA
2.98
5.26
MOLUCCAS
15.21
EAST JAVA
(Advance Resources Interational, Inc., 2003 processed)
GAS RESERVES
PROVEN
=
POTENTIAL
=
TOTAL
=
103.35 TSCF
47.35 TSCF
150.70 TSCF
CBM RESOURCES = 453.30 TCF
Total CBM Basin = 11
(Advance Resources International, Inc., 2003)
Contract Signed up to 2012 : 54 CBM PSCs
(As of January 1st 2012)
SHALE GAS POTENTIAL
Saat ini Pemerintah sedang
melakukan Studi awal
Inventarisasi Potensi shale gas di
Indonesia
15
2
3. b. Infrastruktur Gas yang belum memadai
Dalam PerMESDM nomor 3 tahun 2010 dinyatakan bahwa kebijakan
pemanfaatan gas bumi adalah dengan mempertimbangkan kepentingan
umum, kepentingan negara, kebijakan energi nasional, cadangan dan
peluang pasar gas bumi, infrastruktur yang tersedia maupun yang dalam
perencanaan, keekonomian lapangan dari cadangan migas yang akan
dialokasikan.
Pemanfaatan gas bumi net dalam tahun 2013 adalah sebagai berikut :
KEMENTERIAN
ESDM
PRODUKSI DAN PEMANFAATAN GAS BUMI (NET)
TAHUN 2013
KPS
7.031 BSCFD
0.982 BSCFD
PERTAMINA
MMSCFD
PROD *)
8.012 BSCFD
DOMESTIK
47.5 %
DOMESTIK
PUPUK
KILANG
PET. KIMIA
KONDENSASI
LPG
PGN
PLN
KRAKATAU STEEL
INDUSTRI LAIN**
CITY GAS
LNG DOMESTIK
SPBG/BBG
PEMAKAIAN SENDIRI
SUB TOTAL DOMESTIK
EKSPOR
FEED KILANG LNG
LPG
GAS PIPA
SUB TOTAL EKSPOR
EKSPOR
44.2 %
LOSSES
*) Status s.d. Juli 2013
(%)
630.7
88.9
74.2
12.1
64.9
699.3
819.5
43.9
680.6
0.22
174.6
1.8
517.9
3,808.5
7.9
1.1
0.9
0.2
0.8
8.7
10.2
0.5
8.5
0.003
2.2
0.02
6.5
47.5
2,596.2
948.2
3,544.4
32.4
0.0
11.8
44.2
659.6
8.2
**) Penyaluran KKKS ke industri selain pengguna PGN
Rendahnya absorpsi domestik terutama adalah karena beberapa hal.
Absorpsi industri pupuk yang masih rendah, terkait dengan keekonomian
harga, alokasi volume yang terbatas, jaringan infrastruktur yang belum
memadai dan kepastian jadwal pengembangan lapangan gas dengan
pengambilannya. Infrastruktur gas untuk rumah tangga dan transportasi
belum memadai. Jaringan Citi gas masih dalam tahap awal. Berhasilnya
konversi minyak tanah ke LPG seyogianya dipadukan dengan
pembangunan jaringan infrastruktur gas perkotaan dan stasiun LPG di
pedesaan.
Adapun hal pemanfaatan kelistrikan selain faktor ekonomi dan operasional
di sisi supply, adalah karena manfaat arbitrage sumber listrik dari gas yang
belum dioptimalkan di sisi demand.
3
6. disparitas harga yang besar antara energi untuk industri dibanding dengan
sektor rumah tangga, akan dapat mengakibatkan tidak berjalannya mekanisme
pasar yang efisien.
III.
Pokok-pokok Penyelesaian Persoalan
Untuk mengatasi persoalan-persoalan di atas beberapa hal yang dapat
dilakukan adalah
a. Mengoptimalkan nilai tambah dari value chain stranded gas.
Untuk lapangan-lapangan gas di stranded area yang secara teknis,
operasional dan finansial sangat sulit dan beresiko besar, biarlah
tetap dalam operatorship Perusahaan multi nasional yang telah
berpengalaman dengan mengikutkan mitra nasional untuk
apprenticeship dan pembelajaran eksposur global. Posisi dan letak
geografis dengan akses pasar akan menjadi pertimbangan dalam
alokasi gas. Namun Kapasitas Nasional akan didorong dengan
memanfaatkan secara optimal partisipasi pada industri penunjang.
Selain itu perusahaan-perusahaan asing seyogianya juga didorong
untuk membangun industri penunjangnya di dalam negeri. Pelaku
industri nasional harus memperoleh proteksi afirmasi rasional yang
memungkinkannya tumbuh, berkembang dan bersaing dengan
industri penunjang asing yang terintegrasi dan telah memiliki jaringan
yang kuat.
Diperlukan sinergitas antara manajemen supply, transportasi dan
manajemen demandnya.
6
8. Penguasaan dominan atas jaringan transmisi dan distribusi gas yang
cenderung monopolistis, atau kebijakan open access yang potensial
menambah mata rantai inefisiensi harus diminimalkan dengan
berbagai aturan dan regulasi yang ketat.
Institutional infrastructures meliputi pengaturan domain dan
kewenangan yang tegas antara pemegang kebijakan publik,
kebijakan bisnis, dan pelaku usaha.
c. Konsistensi dalam kebijakan untuk mendorong nilai tambah gas untuk
peningkatan produktivitas menuju keunggulan kompetitif. Sesuai
dengan arah yang digariskan dalam dokumen MP3EI, seyogianya
gas alam sebagai bagian dari sumber daya alam harus lebih
difokuskan untuk tujuan ekonomi jangka panjang dibandingkan
dengan untuk tujuan jangka pendek.
MP3EI : Bertahap, berlanjut, meningkat
Perlu Konsistensi dan Perubahan Paradigma
PRIVATE AND CONFIDENTIAL
13
1
3
d. Manajemen supply dan demand secara terstruktur
Pengelolaan gas pada dasarnya adalah lintas sektoral, lintas lini dan lintas
kewenangan. Selain itu, sisi ideal juga harus seimbang dengan sisi komersial,
di tengah persaingan yang bersifat lokal, regional dan global. Pertumbuhan
ekonomi di satu sisi, dan produksi migas yang menurun secara alamiah,
membuat gap/ jurang antara sisi supply dan demand semakin melebar.
Mengandalkan migas untuk penerimaan negara dan sebagai sumber energi
baik untuk konsumsi, kelistrikan, industri dan transportasi sudah tidak tepat.
Karena itu adalah penting untuk mewujudkan diversifikasi sumber daya energi
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Perpres 5 tahun 2006 tentang
Bauran Energi Nasional. Saat ini minyak masih merupakan porsi terbesar
8