1. Cerita Pendek (Cerpen)
• Achmad Farhan XI MIA 5
• Arvel Giffary M.
• Khoiriyyah Amalia A.
• Nurmalita Galuh
• Rizka Amalia H.
• Silvia Dwi L.
2. Pemetik Air Mata
Karya : Agus Noor
Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata.
Selalu datang berombongan—kadang lebih dari dua puluh—seperti
arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk
dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka
tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji
kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata kesedihan di dunia
ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran
mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk,
kemudian pelan-pelan memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh,
mereka akan buru-buru menadahkan cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari
mereka yang ajaib, setiap butir air mata akan menjelma kristal.
Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air
mata yang dipetik itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu
kapur berselubung tirai marmer bening yang licin dan basah, di jejulur
akar-akar kalsit yang bercecabang di langit-langit stalagtit, peri-peri itu
membangun sarang. Butir-butir air mata itu ditata menjadi sarang
mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan
gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu
pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai menyerupai jutaan lampu
kristal yang berkilauan.
3. Seorang pencuri sarang walet menemukan tempat peri-peri
pemetik air mata itu tak sengaja. Setelah berhari-hari menyelusup
celah gua, ia merasakan kelembaban udara yang tak biasa, hawa
yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah
tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali
bersikeras mencari jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati
kematian. Kesepian gua itu begitu hitam dan mengerikan. Bahkan
kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih menjahuinya. Sayup
jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti berada di dunia yang
berbeda. Semua suara seperti lesap— bahkan ia tak mendengar
suara napasnya sendiri —dan ia merasakan betapa udara tipis dan
bau memualkan yang bukan berasal dari tumpukan kotoran
kelelawar atau lumpur belerang membuatnya limbung dan perlahan-lahan
seperti mulai mengapung.
Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya
tangisan yang begitu gaib, menggema dari palung gua. Sampai
kemudian ia menyadari betapa tangisan itu berasal dari butir-butir
kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris
memenuhi seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil
tampak beterbangan lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir
kristal air mata itu memang memperdengarkan kembali kesedihan
yang masih tersimpan di dalamnya. Tak ada yang bisa menghapus
kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan itu telah menjelma
kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang
terdengar bagaikan simfoni kesedihan yang agung.
4. Ketika akhirnya lelaki pencuri sarang walet itu meninggalkan
jazirah peri dan menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung
kristal air mata yang kemudian dijualnya eceran. Kristal-kristal air
mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran dan perempatan
jalan. Sandra tak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para
pengasong menjajakan kristal air mata itu. Sering mereka
mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa.
”Air mata, Bu? Murah… Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”
Dulu, semasa kanak, setiap kali melihat Mamanya diam-diam
menangis, Sandra selalu berharap peri-peri pemetik air mata itu
muncul. Mamanya memang sering menangis terisak malam-malam.
Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis. Tapi
Sandra berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan
langsung membentak bila tahu ia menangis.
5. “Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai
lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang
penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu
berantakan. (telah direvisi) *Selalu ada pakaian Mamanya yang
berceceran begitu saja di lantai.* Tumpahan bir di meja, bercak-bercak
sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang
menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot
seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah
tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur,
bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
Suara Mama memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali
Sandra bertanya soal Papanya, tetapi ia langsung disemprot
mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa
seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra
tahu kalau sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila
pulang setelah pergi berhari-hari— Mamanya memang selalu pergi
berhari-hari keluar kota atau entah ke mana, kadang mendadak
pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah menerima
pager — selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering
boneka. Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.
6. Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan.
Membelikannya baju, mengajak makan kentang goreng atau
ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu
tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia
akan bergumam, “Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut
Sandra yang belepotan.
Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat
perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris
dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah
cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes.
“Kenapa Mama menangis?”
“Tidak, Sandra… Mama tidak menangis.”
“Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”
“Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”
“Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?”
“Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”
Lalu Mama kembali membacakan cerita tentang peri-peri
pemetik air mata.
7. Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu
sedih dan kesepian, hingga meneteskan sebutir air mata. Dari
sebutir air mata sejernih putih telur itulah tercipta semesta,
hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang,
makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu.
Kemudian, pada hari ke tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air
mata itu pula muncul sepasang manusia pertama. Karena tahu
manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum menciptakan
maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah
kesedihan. Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan, yang
buah-buah bening segarnya selalu bercucuran dari ranting-rantingnya.
Setiap kali datang musim semi, peri-peri itulah yang
selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum, yang
membuat manusia tergoda menikmatinya.
Saat manusia sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri
pemetik air mata turun menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada
manusia menangis malam-malam, peri-peri itu akan muncul dan
memetik air matanya yang bercucuran.
8. Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun
berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu
bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi Sandra tak
pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak
menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan
lembut menciumi Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap
malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap,
terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra
tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan
memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur,
(telah direvisi) *padahal ia bisa mendengar suara Mamanya dan laki-laki
itu di atas ranjang*. Juga suara dengus sebal Mamanya ketika
akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang
Sandra terisak pelan, “Mama… Mama….” Pipinya basah air mata.
Bahkan saat itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya
tak pernah muncul. Itulah sebabnya ia tak percaya.
9. Bita menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan
selalu menaruhnya di sisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun
ketika didengarnya kristal-kristal air mata itu mengeluarkan
tangisan. “Bita senang mendengar tangisan mereka yang merdu,
Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?”
Tidak, tidak — tapi Sandra tak mengucapkannya.
“Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul,
Mama?”
Sandra mencoba tersenyum.
“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan
percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan mencium
keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar, terdengar
suara Bita,
“Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan- jalan?”
Sandra tersenyum. ”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu
kan tahu, Papamu sibuk.…”
Lalu mematikan lampu.
10. Suaminya tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk.
Senyumnya masih tetap memikat seperti saat pertama kali Sandra
melihatnya, ketika suatu malam ia menyanyi di sebuah kafe.
Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya
oleh senyum itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah
membuatnya percaya, bahwa ia akan menemukan hidup yang lebih
baik. Sandra memang tak ingin nasibnya berakhir celaka seperti
Mamanya: digerogoti penyakit kelamin saat tua dan ditemukan mati
tergorok di losmen murahan.
Tidak. Tidak. Sandra tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan
Sandra tahu kalau Mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi
seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di saat-saat Mamanya
begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya
erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, “Berjanjilah pada Mama,
kamu akan menjadi wanita baik -baik, Sandra.”
“Seperti Mama?”
“Tidak. Kamu jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti
Mama….”
11. Sandra merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup
Mamanya karena punya suami yang mencukupi hidupnya.
Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh perhatian yang
pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang
hanya iseng terhadapnya.
(telah di revisi)
*Sandra menghampiri suaminya yang sedang berbaring di atas
kasur.
“Kamu terlihat cantik sekali malam ini,” sambut laki-laki itu
dengan tersenyum.
“Makanya, kamu nginep saja malam ini. Biar besok kita berdua
bisa ngajak Bita jalan- jalan.”*
Laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta
yang tak mungkin laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang
sepakat, Sandralah yang akan mengurus Bita. Mengantar jemput ke
sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi makan. Dan Sandra selalu
mengatakan “Papamu sibuk…”, setiap kali Bita bertanya kenapa
Papa enggak pernah ikut?
12. Sandra tahu malam ini laki-laki itu pun harus pergi. Sandra
sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar
seperti ini. Tapi, ketika selepas jam 2 dini hari, Sandra mendengar
derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar tak kuasa
menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura
tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah
Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?
Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia
berusaha serapi mungkin menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih.
Ia ingin Bita menikmati masa-masa sekolahnya dengan nyaman dan
tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra kembali
merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia
tahu kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau
ibunya hanya istri simpanan.
Sandra merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh
berharap, para peri pemetik air mata itu muncul malam ini.
13. Unsur Intrinsik
• Tema
Cerpen Pemetik Air Mata merupakan cerpen yang mengengkat kisah
tentang kesedihan dan air mata seorang anak yang nasibnya tidak jauh
berbeda dari nasib ibunya. Di dalamnya mengungkapakan kehidupan
seorang anak yaitu tokoh Sandra yang merupakan anak seorang pelacur. Ia
berharap tidak akan memiliki nasib sama seperti Mamanya namun
ternyata yang nasib hidupnya tidak jauh berbeda dengan Mamanya, hanya
saja ia lebih sedikit beruntung karena semua kebutuhannya terpenuhi.
Namun tokoh Sandra sendiri berharap agar anaknya kelak tidak akan
bernasib sama dengan apa yang dialaminya saat kecil.
• Alur
Cerpen Pemetik Air Mata disajikan menggunakan alur campuran
yaitu alur maju dan mundur. Analisis tahap alur dalam novel Pemetik Air
Mata dapat dipaparkan sebagai berikut:
Tahap Eksposision (paparan awal cerita)
Cerpen Pemetik Air Mata diawali dengan menampilkan sebuah cerita
mengenai peri-peri air mata yang dibacakan oleh tokoh Mama kepada
tokoh Sandra.
14. Tahap Inciting Moment (peristiwa mulai adanya konflik)
Pada tahap ini mulai terlihat permasalahan yang mengenai tokoh
dalam cerita. Gambaran permasalahan tokoh cerpen Pemetik Air Mata
yaitu Sandra yang tidak memepercayai cerita tentang peri-peri air
mata.
Tahap Rising Action (penanjakkan konflik)
Peristiwa yang terjadi dalam cerpen Pemetik Air Mata terus
berkembang mengalami penanjakkan konflik cerita. Pada tahap ini
terlihat alur mundur atau flashback. Konflik terasa saat tokoh Sandra,
semasa kecil sering melihat Mamanya menangis, ia juga selalu ikut
menangis satiap kali melihat Mamanya menangis. Dan jika Mamanya
melihat ia ikut menangis maka Sandra akan dibentak.
Selain itu masalah lain yaitu mengenai keadaan rumah dari tokoh
Sandra sendiri yang sangat tidak wajar atau selalu berantakan.
Tahap Complication (puncak konflik)
Perkembangan pada tahap ini lebih kompleks. Dalam cerpen Pemetik
Air Mata. Dalam tahap ini permasalahan lebih berkembang saat tokoh
Sandra selalu dibentak oleh Mamanya jika menanyakan soal Papanya.
15. Tahap Klimaks (puncak dari keseluruhan cerita)
Pada tahap ini rangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi mencapai
klimaks. Pada cerpen Pemetik Air Mata permasalahan yang dialami
tokoh Sandra makin rumit. Hal tersebut terjadi saat Sandra selalu
berharap peri – peri air mata datang saat Mamanya menangis. Selain
itu tokoh Sandra juga tak pernah melupakan saat Mamanya
memindahkannya yang pura-pura tertidur ke kolong tempat tidur saat
ada laki – laki datang.
Tahap Falling Action (penurunan masalah)
Setelah mencapai klimaks dengan mengungkapkan permasalahan –
permasalahan tokoh kemudian pada tahap tertentu konflik cerita
mulai menurun. Pada bagian ini, sosok Sarah sudah dewasa dan sudah
memiliki anak. Dalam tahap ini terlihat alur maju. Tokoh Sandra
merasa beruntung beruntung kerena memiliki suami yang mencukupi
kebutuhan hidupnya dan itu sangat berbeda dengan sosok Papa yang
sangat diharapkannya dulu, yang tidak pernah ia ketahui
keberadaannya apalagi memenuhi kebutuhannya dan Mamanya. Ingin
anaknya tahu bahwa dirinya adalah istri simpanan.
16. Tahap Denovement (penyelesaian)
Setelah melalui proses penurunan konflik, dalam tahap ini tokoh
Sandra berharap bahwa anaknya kelak tidak akan bernasib sama
seperti dia, sebagaimana yang tokoh Sandra alami saat kecil dulu,
tokoh Sanda juga tidak ingin anaknya tahu bahwa dirinya adalah istri
simpanan.
• Penokohan
– Sandra = merupakan tokoh utama yang mengalami
banyak peristiwa dan keterlibatannya dalam cerpen. Tokoh sandra
adalah tokoh protagonis, anak yang menyayangi mamanya, sosok
penyabar yang menerima keadaan mamanya.
– Mama Sandra = merupakan tokoh yang memiliki watak seorang
pelacur, suka membentak, jorok, pemabuk tapi ia sangat menyayangi
Sandra dan mengharapkan anaknya tidak seperti dirinya.
– Bita = merupakan tokoh pendukung cerita, ia adalah
anaknya Sandra yang masih kecil, mempunyai sifat yang sama seperti
mamanya yaitu selalu menanyakan mengenai air mata kepada
mamanya, dan masih polos.
17. • Latar
– Latar waktu =
Sebagian besar menggunakan latar waktu pada malam hari.
– Latar tempat =
Rumah Sandra, Sekolah Bita, Kamar.
– Latar Suasana =
• Suasana menyedihkan
Salah satunya terbukti saat Sandra selalu miris setiap kali melihat
Mamanya menangis, bahkan ia juga ikut menangis.
• Susana menyenangkan
Dalam cerpen ini juga terdapat suasana menyenangkan. Salah
satunya terbukti jika setiap hari minggu Mamanya sering mengajak
Sandra jalan – jalan dan membersihkan bibir Sandra yang
belepotan es krim.
• Suasana menegangkan
Suasana menegangkan juga terdapat dalam cerpen ini, salah
satunya pada saat Sandra menanyakan soal Papanya.
18. • Sudut pandang
Sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang orang ketiga yang
serba tahu. Karena, dalam cerpen tersebut penulis atau pengarang
sebagai narator dan berada di luar cerita, tetapi ia mengetahui semua hal
mengenai pikiran, perasaan, perbuatan tokoh – tokoh ceita dan lingkungan
yang ada di sekitarnya.
• Amanat
Seorang ibu pasti menyayangi anaknya bagaimanapun keadaannya,
berharaplah yang baik untuk masa depan, dan tetap menyayangi ibu
bagaimanapun keadaannya dan profesinya.
• Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen Pemetik Air Mata adalah
bahasa indonesia yang diasa digunakan dalam kehidupan sehari–hari dan
tentunya mudah diterima bagi pembaca.
19. Unsur Ekstrinsik
• Nilai yang terkandung pada cerpen
– Nilai sosial
Saling berkomunikasi adalah salah satu bentuk kasih sayang
seperti yang sering dilakukan oleh Mama Sandra seperti
mengajaknya jalan-jalan dan membacakan buku cerita,
walaupun jarang tapi itu adalah salah satu bentuk rasa cinta
Mama kepada Sandra.
– Nilai moral
Menghormati dan menyayangi ibu adalah kewajiban yang
harus dilakukan oleh seluruh anak tidak peduli pekerjaan, sikap,
dan sifat ibu kita.
20. • Lingkungan Pengarang
Kemungkinan, lingkungan di sekitar pengarang adalah tempat
yang nyaman sehingga pengarang dapat menciptakan suatu karya
salah satunya cerpen Pemetik Air Mata.
• Identitas Pengarang
Agus Noor dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968.
Menulis cerita pendek dan esai, dan dipublikasikan antara lain di
Horison, Kompas, Jawa Pos. Karya-karyanya: Bapak Presiden yang
Terhormat (1999) dan Memorabilia (2000). Selain itu, tersebar di
berbagai antologi, antara lain: Lukisan Matahari (1993), Lampor
(1994; kumpulancerita pendek terbaik Kompas).
21. Being a mother is
learning about strengths
you didn't know you had,
and have to dealing with
fears you didn't know
existed.
Terima Kasih