Sepasang mata yang menyimpan duka mengisahkan tentang pertemuan seorang pengembara dengan seorang wanita di sebuah desa terpencil. Sepasang mata wanita itu menyimpan kesedihan yang membuat si pengembara tak tega meninggalkannya sendirian. Cerita wanita itu akhirnya membuat si pengembara terbawa perasaan dan menetap di desa itu untuk sementara waktu.
Sakai99 : Daftar Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Gampang Maxwin
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
1. Batam Pos
Minggu, 15 April 2007
Sepasang Mata yang Menyimpan Duka
Cerpen: Noer Mursidi
AKU tidak ingin tenggelam dalam linang air matamu. Sepasang mata yang setiap kali
kutatap lekat-lekat, selalu kutemukan peta kesedihan yang mirip dasar sebuah sumur
yang keruh. Ada genangan lumpur, bongkahan karang dan sorot matamu yang tajam
menatap itu, ah seperti mengundangku untuk basah kuyup diguyur hujan.
Di luar, hujan memang turun dengan deras. Aku sungguh tak tega meninggalkanmu
sendirian di sebuah rumah yang asing, karena aku (kamu juga tujuh teman yang lain) baru
memasuki kampung itu seminggu lalu untuk sebuah penelitian. Petir menjerit. Aku pun
mendekapmu. Demi air matamu yang mulai menitik.
Setelah hujan reda, aku sadar jika aku ini sungguh picik sebagai lelaki yang masih ingat
akan dosa. Aku melepas dekapan, hangat tubuhmu sirna bersama tatapan matamu yang
tajam. Aku tahu, kau tak rela ketika aku akan meninggalkanmu malam itu. Matamu terlihat
pedih. Dan aku berdiri melangkah menuju pintu. Tetapi sebelum itu masih sempat kulihat
matamu basah oleh air mata. Kutatap matamu, lagi-lagi kulihat ada gelap malam dan
gelombang laut yang tak bertepi.
"Tidurlah di sini, setidaknya untuk semalam!"
"Tidak! Aku harus pergi. Orang sepertiku adalah pengembara yang tak punya tempat
singgah".
"Ini tempat singgahmu! Aku nanti akan bercerita padamu tentang malam, bintang
gemintang dan bulan purnama sebelum kau menemukan tidur yang nyenyak."
Aku diam, tak menjawab juga tak mengangguk. Aku pergi, seperti angin, hilang dalam
gelap malam. Aku tak mau menoleh, tetapi cerita dan tatapan matamu yang sedih
sungguh merajut malamku ketika perjalananku menempuh gunung di sebelah barat
kampung yang kamu huni itu masih belum aku taklukkan. Ah, entah kapan, aku bisa jadi
lelaki dewasa yang bisa memberi air untuk dahagamu. Kabut masih bertebaran bak
selimut putih yang membuatku sejenak berteduh, dan lagi-lagi sepasang matamu yang
terlihat pedih itu masih menghantui perjalananku.
Aku akhirnya kembali padamu saat fajar merekah.
***
AKU adalah lelaki terluka. Hanya ada dua pilihan tatkala aku beranjak dewasa; jadi
pembunuh atau penolong. Ah, dua pilihan itu, kurasa tidak ada yang baik. Pernah aku jadi
penolong untuk sebuah pertarungan dalam perjalananku melintas tepian hutan. Aku
berjumpa dengan sekelompok lelaki bengis yang hendak memperkosa seorang gadis.
Namun, ujung-ujungnya aku pun menjadi seorang pembunuh.
Masih kuingat peristiwa itu. Senja jatuh dari sela-sela pohon jati, kudengar sebuah jeritan.
Aku tahu, itu jeritan perempuan terluka. Lalu, kuhentikan langkah kakiku. Kusibak
dedaunan dan tepat saat mataku melihat sekelompok lelaki buas disanjung degup berahi,
dengan lantang aku berteriak...
2. Sontak, mereka ‘lima orang’ terkejut, melihatku. Aku tantang mereka bertarung. Dengan
nada mengejek kulontarkan tantangan, "Jangan hanya berani kepada seorang gadis kalau
hanya ingin sekadar selangkangan!"
"Kau tak usah ikut campur, lelaki ingusan!"
"Hadapi aku atau kalian sama sekali tak akan mendapatkan apa yang kalian inginkan."
Mereka mengeroyokku. Tetapi bukan aku, jika hanya menghadapi lima orang sekaligus,
mati sekarat. Aku, terus terang saja adalah lelaki sakti yang hanya mati oleh tangisan
perempuan. Jujur, itu kelemahanku. Untuk itu, aku hanya mengibaskan sebilah pedang ke
udara, dalam sekejap mata, mereka sudah bergelimpangan di tanah, tak bernyawa.
Ujung pedangku meneteskan darah, menyiratkan sedih. Aku tahu gadis yang aku
selamatkan itu melihatku dengan takjup. Matanya terkagum-kagum, juga menyiratkan rasa
takut. Tapi saat mataku menemukan sayatan luka di tubuhnya, tiba-tiba aku ditimpali
birahi.
"Kamu sudah aman, pulanglah!"
"Aku tak ingin pulang, aku ingin bersamamu."
"Aku pengelana, nanti kau menemui banyak derita."
"Tak apa! Aku sudah terbiasa menderita..."
Aku pun mengembara bersamanya melewati laut, gunung, samudra dan sungai. Tetapi,
ketika suatu hari ia ditimpa sakit panas dan terpaksa harus kutinggal di sebuah kampung
di tepian pantai dan aku terpaksa melanjutkan kembara, betapa terkejutnya diriku setelah
tiga bulan menemuinya. Ia hamil. Demi langit dan bumi, aku tak pernah merabanya,
apalagi menyetubuhinya. Jelas, dalam kandungan itu bukan anakku.
Tak perlu alasan untuk ajalnya, saat malam tiba, aku membunuhnya. Terus terang, demi
luka di hatiku sebab ada goresan yang tak mungkin bisa diobati sampai kapan pun.
Kenanganku bersamanya hanya menjadikan hidupku sia-sia jika aku tidak membunuh
sesamanya. Dan, sejak itu aku jadi seorang pembunuh. Jika tak salah hitunganku, sudah
98 gadis yang kubunuh semata-mata karena aku tak ingin peristiwa tragis itu menyanyat
hatiku.
Hingga pengembaraanku demi sebuah kematian, aku berjumpa denganmu di sebuah
kampung terpencil. Lewat suatu perkenalan yang tak istimewa untuk sebuah
persabahatan, apalagi saat pertama kali kau menatapku, sepasang matamu sudah
menghukumku. Dan akupun berikrar dalam hati; sejak saat itu aku berencana akan
membunuhmu.
Tetapi setiap kali aku mau membunuhmu, entah kenapa sepasang matamu selalu
mencegahku. Aku, akhirnya menunggu saat yang tepat untuk membunuhmu. Sepasang
bola matamu itu akan kutunggu sampai tak membuatku basah kuyup sehingga aku bisa
leluasa membunuhmu, sebagai mangsaku yang ke 99 dari perempuan yang pernah aku
kenal dengan baik.
***
SUNGGUH, aku tidak ingin tenggelam dalam linang air matamu. Sudah cukup, aku
terganggu dengan bayangan bola matamu yang keruh setiap kali kita habis
bercengkrama. Aku selalu tidak betah menatapmu sekadar membaca kesedihan yang
tertampung di matamu. Selalu kutemukan masa lalu yang sudah kukubur dalam rajutan
3. waktu. Jika kemudian malam-malamku mirip malam-malammu yang tanpa gemintang, aku
hanya bisa tertegun dan termangu, gematar saat aku harus mendengar kisah sedihmu.
Aku tidak ingin mengenalmu lebih jauh. Untuk itu, aku memilih pergi untuk sementara
waktu. Tetapi, karena aku tahu tanggung jawabku sebagai anggota kelompok yang punya
kewajiban memberi penyuluhan kepada warga kampung, aku pun kembali padamu. Aku
harus kembali ke kampung itu untuk menemuimu dan bekerja membangun jembatan,
membuat batu bata, membuat kolam lele dan mencakul di ladang. Meski ada juga tugas
yang menurutku sungguh munafik untuk aku lakukan, memberi ceramah sehabis shalat
maghrib.
Demi tugas itu, aku terus kembali ke kampung itu dan menemuimu. Juga mendengar
ceritamu dan akhirnya mendakapmu ketika hujan turun lebat dan air matamu mulai
menetes di pipi. Jelas sekali, kulihat gemuruh di sudut matamu yang tak akan mampu
kauhapuskan. Lentik bulu tipis di atas matamu itu bak rerumputan kering dan di kelopak
matamu yang bulat itu adalah cermin yang mengabariku akan sebuah petaka.
Petaka itulah yang membuatku selalu pergi ketika malam telah merajut gelap langit, dan
aku kembali begitu fajar menyingsing. Lalu, saat mentari bersinar dari pohon-pohon jati di
sebelah timur, aku mulai bekerja setelah meneguk secangkir teh manis buatanmu.
Sungguh aneh, lambat laut aku justru kasihan padamu. Perhatian yang kutumpahkan
padamu setiap kali aku ke kampung itu, bisa berwujud aku bawakan oleh-oleh untukmu.
Meski aku pengembara yang tak terikat apapun tapi aku sungguh sulit meninggalkanmu
begitu saja saat ceritamu semakin seru. Kisah yang selalu membuatku seperti anak kecil
yang haus kasih sayang dan aku membayangkan semua itu seperti masa kecilku, pada
saat-saat ibuku bercerita untuk menghantarkanku tidur.
Entah kenapa, aku akhirnya terbius ceritamu. Kau mungkin pencerita ulung yang
membuatku terkesima. Setidak-tidaknya, kamu selalu membuatku kembali, meski dalam
perjalanan, aku dirundung capek. Tapi ada semacam kerinduan, meski aku harus dihajar
derai tangismu ‘dari sorot matamu yang sedih itu’ setelah aku bertemu denganmu kembali.
***
KAMU itu adalah perempuan terluka, yang kebetulan aku kenal. Setidaknya, itulah
penilaianku tentangmu. Entah kenapa saat angin malam berhembus dan aku haus darah
ingin membunuh perempuan yang sudah kukenal, kau justru memulai sebuah cerita. Aku
hanyut dalam linang air matamu. Sepasang mata yang setiap kali aku tatap lekat-lekat,
selalu mencegahku untuk membunuh. Karena itu, aku selalu urung membunuhmu.
Terus terang, aku kasihan padamu. Sorot matamu yang sedih itu, membuatku menunggu
saat yang tepat. Sudah banyak perempuan yang kubunuh. Tetapi aku tidak bisa berbuat
seperti itu padamu. Aku seperti mati di pelukanmu dan selalu lupa akan niatku; kalau sejak
awal aku akan membunuhmu.
Kurasa, dua bulan hidup bersamamu di sebuah kampung terpencil bersama tujuh teman,
sudah cukup membuatku dewasa sebagai lelaki. Ceritamu telah menghantarkanku punya
perhatian pada setiap perempuan dan kau juga telah mengajariku bagaimana cara
bercinta yang dahsyat.
Tetapi, aku adalah pengembara yang harus pergi dan tak terikat pada apa pun, tak
terkecuali padamu. Untuk itu, saat tugasku selesai, kutinggalkan kampung itu untuk
selamanya, aku pun berpisah denganmu setelah bercinta di bawah bulan purnama. Lalu,
aku pergi jauh. Tak jadi membunuhmu. Itu sepenuhnya, karena aku banyak berhutang
padamu, ceritamu dan sorot matamu yang sepenuhnya sorot mataku sendiri sepuluh
tahun yang lalu.
4. ***
TETAPI selang satu tahun sejak berpisah itu, kami bertemu kembali di sebuah pelabuhan.
Aku tatap matamu, kamu masih terus menceracau dengan cerita sedihmu seperti dahulu.
Akan tetapi, aku sudah tidak lagi menemukan sorot matamu yang kelabu. Sudah tak ada
batu karang, lumpur dan keruh sebuah dasar sumur yang membuatku sedih. Kau tampak
sudah berubah.
Ketika kapalmu akan berlayar dan kita akan berpisah, sekelebat camar menyibak duka;
kamu bercerita sudah memiliki kekasih dan sebulan lagi mau melangsungkan pernikahan.
Betapa terkejutnya aku. Di sudut mataku, keruh dengan kabar itu. Aku kecewa. Hampa.
Kosong, tapi sepenuhnya tak basah kuyup oleh dukaku sendiri seperti sepuluh tahun yang
lalu.
Rasanya, aku Ingin membunuhmu. Setidaknya, karena kamu telah mengobarkan obor
duka di mataku. Sepasang mataku tiba-tiba sedih akibat rencana pernikahanmu yang
akan membuatku terlunta. Tapi entah kenapa, aku lagi-lagi tak tega menyibakkan
pedangku di lehermu. Aku rasa, mungkin karena kamu telah membekaliku pelajaran
bercinta, menebar simpati pada perempuan dan membuatku sebagai lelaki kembali secara
psikologis akibat ceritamu yang tidak kusadari telah menjadi obat lukaku yang pernah aku
kira tak ada obatnya.
Ketika kapal berlayar meninggalkan pelabuhan membawamu ke seberang pulau, aku
menatap layar yang mengembang diterpa angin. Kapal semakin menjauh, dan aku tahu
kalau mataku mulai nanar oleh air mata. Juga aku tahu, ternyata sepasang mataku
menatap kepergianmu dengan sedih.***