SlideShare a Scribd company logo
1 of 16
Di Bawah Pohon Mahoni
3 Oktober 2010 2.122 views No Comment

Senja
Menghindari senja, aku pun harus bertemu dengan senja itu. Menunggu kesetiaan dan
kejujuran di bawah pohon mahoni yang berada di halaman sebuah bangunan TK yang
sudah tua. Sebuah ayunan yang satu-satunya permainan anak yang tersisa dibuai
angin kencang. Lalu, rintik hujan singgah di ayunan tersebut. Hujan semakin lebat,
menyuruhku menepi ke bawah pohon mahoni. Bukan tentang hujan, sebenarnya. Tapi
saat ini hujan menemaniku yang gelisah menunggu Darmawan. Hujan menjadi jurus
ampuh untuk manakar kesetiaan dan kejujuran itu. Berdiri di bawah mahoni, aku bisa
melihat kedatangannya dari ujung jalan. Walaupun rintik-rintik hujan dari sela-sela
mahoni singgah di tubuhku.

Dari ujung jalan, Darmawan berlari melintasi hujan. Langkah cepatnya, adalah
pertanyaan yang menyediakan jawaban buram untukku. Apakah itu langkah kesetiaan
dan pengorbanan atau itu adalah langkah kebimbangan. Terasa darahku naik ke ubun-
ubun, dadaku berdebar sangat dahsyat ketika Darmawan berada di hadapanku dengan
nafas tersengal-sengal. Sebentar ia berdiri, menyaksikan bagaimana aku. Ia menggigil
kedinginan bersamaan dengan air mataku yang jatuh.

“Padahal aku mengenal dirimu sebagai wanita yangkikir air mata.” Darmawan
menatap tajam ke arahku
“Tapi kali ini berbeda, Mawan,” aku menyambung kata-katanya

Darmawan menarik tanganku, membawaku berlari menuju bangunan TK. Kami
duduk menepi. Bersandar di bangunan Taman Kanak-Kanak yang sudah tua itu.

“Mawan!” Sapaan akrabnya yang acap kali aku panggil. “Jangan pernah berpikir aku
berkorban,” kataku dengan suara yang terisak. “Pastinya dirimu mengenal bagaimana
aku. Pernah aku berkorban? Untuk satu hal yang kecilpun aku tidak mau, Mawan!”
Sinar mata Darmawan tajam, walau ketika itu ia basah kuyup. Saat ini, sepi sedang
berada di antara kami karena Mawan tak memberi sedikit pun tanggapan. Aku duduk
sejajar dengan Mawan. Daun mahoni yang disinggahi butir-butir hujan yang semakin
lebat menjadi tontonan kami berdua. Tak ada instrument selain lebatnya hujan. Desah
nafas Darmawan yang selalu aku dengar apabila berada di sampingnya saat ini tak
terdengar.

“Aku tak akan berkorban, Mawan!” Air mataku kembali jatuh. “Sekalipun dia
sahabatku.” Aku menyambung kata-kataku sambil mengusir sepi. “Tapi, berpikirlah!”
Ada pertempuran besar di hatiku untuk mengeluarkan kata-kata selanjutnya. “Aku
berharap dirimu menerima cintanya, jika ia lebih baik dariku. Tentang bagaimana
aku, jangan hiraukan!” Aku bukan melepasmu Mawan, tapi mengukur kejujuran dan
kesetiaanmu, teriakku dalam hati. Itulah kata terakhirku sebelum menyonsong hujan
yang tak jua berkurang lebatnya. Tak ada lagi senja. Antara hujan dan gelap aku
tinggalkan Mawan di bangunan TK tua itu. Sayup-sayup terdengar Mawan
memanggilku, “Aya…!”

Pagi
Mereka bertemu di antara kabut. Bukan cerita tentang kabut, tapi kabut hadir dengan
pesonanya yang memburamkan pandangan di pagi ini. Darmawan duduk di sudut
bangunanTK. Ayunan yang kemarin ia lihat bersama Aya masih tertutup kabut.
Sesekali Darmawan melihat ke ujuang jalan, menunggu seseorang yang akan
melintasi kabut.

Kabut, tak menipiskan keinginan Reka berjalan menelusuri jalan setapak dan berhenti
di sebuah bangunan TK yang sudah tua. Reka berharap Darmawan menunggunya di
sana.
“Reka! Aku pikir dirimu tak akan datang.” Kata Darmawan menyambut kedatangan
Reka. Reka membalasnya dengan senyum kegembiraan karena Darmawan telah
menunggunya.

“Terimakasih telah menungguku!” Disapu dinginnya kabut pagi, mereka duduk di
sudut TK. “Setiap berjumpa dengan dirimu, Mawan, hari selalu terasa pagi. Dan pagi
ini, sangat tak kuinginkan berlalu begitu saja. Aku harap, ini adalah pagi yang
membawa berita baik” Ada senyum di bibir Reka, memperindah wajahnya yang
lesung pipi.
“Boleh aku mengajukan satu pertanyaan, Rek?”
“Apa?”

“Tentang sahabatmu.” Darmawan menatap lekat ke arah Reka. “Apa dirimu tak
pernah tahu tentang. . .”
“Tentang kalian. Bukankah begitu, Mawan?” sekilas mereka saling bertatapan. Reka
lalu melarikan pandangannya ke pohon mahoni yang diburamkan oleh kabut.
“Pastinya aku tahu. Tapi cinta ini memaksaku untuk berkorban, Mawan!. Tak pernah
aku inginkan kehadirannya, namun rasa ini datang tanpa aku sadari.”
“Tapi, Aya sahabatmu!”

“Sekalipun dia sahabatku!”
“Apa yang dirimu inginkan dariku, Rek? Masih banyak pria yang lebih baik dariku.”
“Itu benar. Tapi, bagiku dirimu lebih baik untukku dibanding mereka!”
“Jika Aya melepasku untukmu, apa yang dirimu lakukan agar ia juga bahagia seperti
kebahagiaan yang dirimu rasakan?”

“Sekali ini aku mohon pengorbanan dari seorang Aya!”
Mereka duduk sejajar menghadap jalan setapak. Sesekali kendaraan mondar-mandir
di jalan itu. “Mawan, apakah cintaku hanya akan sia-sia saja? Berharap pada
seseorang yang tak mungkin akan membalasnya.”
Mawan menatap lekat mata Reka. Mereka bertemu pandang pada situasi klimaks dari
cerita segitiga ini. Jawaban yang diharapkan Reka tak kunjung keluar dari mulut
Darmawan. Matahari semakin merangkak ke tengah. Kabut semakin menipis. Mahoni
yang tadinya tertutup kabut kini terlihat sangat jelas dengan daunnya yang hijau.

Matahari tepat di atas kepala
“Kekuranganmu membuat aku merasa nyaman. Kehadiranmu menjadi langkah
semangat bagiku. Melepasmu adalah kehancuranku.” Kataku di tengah terik
matahari. Aku dan Mawan bersandar di bawah mahoni. “Satu hal lagi, Mawan!”

“Apa?”

“Tak semudah itu aku memberitahunya!”
Mawan menatapku. Dapat aku baca pikirannya, seolah ingin tahu apa yang aku
maksud.
“Karena dirimu belum memilih, Mawan!” Di balik dinding TK itu, aku tahu ada
sepasang telinga yang me-nangkap suaraku. Mendengar pembicaraan kami. “Aku
atau Reka?” aku lanjutkan kata-kataku, berharap sepasang telinga di balik diding itu
juga mendengarnya.

“Apa dirimu masih menginginkan kehadiranku di sisimu, Aya? Bukan aku yang
memilihnya. Tapi dirimu sendiri yang akan memberi jawaban dari semua pertanyaan
dan pilihan itu!”

“Terjawab sudah kebimbanganku, Mawan!” Reka, seseorang yang berada di balik
dinding itu, aku tahu pengorbananmu yang sia-sia untuk Mawan. Tapi, dia memilih
aku, Ma’af! Walapun dirimu sahabatku, kata hatiku saat itu. “Kesetiaanmu tak
sanggup aku lepaskan. Itulah yang ingin aku katakan.” Ucap Aya.***

Kumala Sari
Kuliah di UIN Suska Riau
Saat ini aktif di Forum Lingkar Pena



Posting cerpen by: zam.master
Total cerpen di baca: 0
Total kata dlm cerpen: 2097
Tanggal cerpen diinput: 7 Oct 2010 Jam cerpen diinput: 1:25 PM
0 Komentar cerpen


Amanda Suryani, Lorong Manggarai Menjelang Tengah malam
Setengah menggigil aku berdiri mematungMenahan luapan emosi yang hampir tak
terbendung di sudut gelap lorong ManggaraiKu genggam erat pisau dan catatan rani
Aku menanti …..
==================================================
Rani, Lembar Pengakuan
Aku terlahir untuk menjadi tegar. Setidaknya itulah yang selalu aku percaya terntang
diriku. Dibesarkan bersama dengan 40 saudara, bukanlah impianku. Terlebih jika
harus hidup tanpa pernah mengetahui siapa orang tua kandungku. Satu hal yang aku
tahu tentang orang tuaku adalah bahwa mereka tidak menginginkan diriku. Mereka
adalah orang yang egois yang hanya memikirkan kesenangan. Dan sudah menjadi
kemakluman jika aku membenci mereka. Walaupun sesekali pernah terpikir olehku
untuk mencoba mencari tahu tentang keberadaan mereka dan bertemu hanya untuk
merasakan belaian jari jemari di atas rambutku, namun hal itu sama sekali tidak
berarti bahwa aku membutuhkan mereka. Aku hanya ingin bertemu mereka untuk
mengatakan “Lihatlah anakmu ini! Anak yang tidak kau inginkan ini telah berhasil
tumbuh di dunia tanpa harus bersama dengan kalian. Aku telah berhasil dan segala
rencana kalian untuk menghancurkan hidupku telah gagal. Kalian telah gagal!!
Akulah pemenangnya !”
Lalu kemudian pada usia 12 tahun aku pergi dari rumah Yatim yang telah mengurung
seumur hidupku. Tidak pernah ada tangis mengiringi kepergianku. Tidak ada kata-
kata terakhir yang harus diucapkan. Aku pergi begitu saja.
Aku sendirian ditengah hiruk pikuknya kota. Tak ada tujuan. Aku hanya berjalan
mengikuti kemana arah langkahku ingin pergi.
Perkenalan pertamaku dengan Amanda bertepatan dengan peristiwa kerusuhan 1998.
Ketika itu usiaku sudah menginjak 15 tahun. Saat itu untuk yang ke enam kalinya aku
dijebloskan ke dalam penjara kota karena hal-hal sepele yang dianggap tidak baik.
Sedangkan Amanda sendiri ketika itu masih menjabat sebagai sipir tempat aku
ditahan. Aku tidak tahu persis berapa umurnya ketika itu. Wajahnya masih amat
muda. Setidaknya itulah yang masih ku ingat tentang dirinya. Tidak ku ingat dangan
pasti kapan tepatnya aku menjadi benar-benar akrab dengannya. Yang aku tahu saat
itu aku merasa bagai memiliki seorang saudara. Seseorang yang setidaknya dapat
kuajak berbicara tentang pahit getirnya kehidupan yang aku hadapi. Aku bahagia.
Penjara telah menjadi surgaku .
Banyak hal yang diajarkan Amanda kepadaku. Filosofi kehidupannya tentang
kematian, benar-benar meresap dalam pikiranku. “Kita adalah mayat yang berjalan”
begitulah katanya. “Bahwa dunia adalah tempat kita merasakan kehidupan, setelah itu
… semuanya adalah bangkai”.
Aku benar-benar tidak memahami mengapa ada juga manusia yang percaya akan
kehidupan setelah mati. Isapan jempol mungkin, atau sekedar alasan untuk mencari
ketenangan jiwa setelah tak mampu lagi menghadapi kerasnya dunia. Dan bagiku …,
serta bagi mereka yang telah berhasil menaklukkan kerasnya dunia..., kami tidak lagi
membutuhkan harapan kosong yang demikian.
Kehidupan adalah kehidupan, begitu pula tentang kematian. Manusia ditakdirkan
untuk terus hidup, menambah usia kehidupannya dengan mangambil hak hidup orang
lain – yakni mereka yang memang tak pantas hidup. Dan aku tentu saja bukan
termasuk manusia yang terlahir untuk membantu kehidupan orang lain. Musuhku
adalah mereka yang mengambil hak-hak hidup orang lain untuk menjadi terus
hidup…. Dan temanku, adalah mereka yang secara dengan bodoh memberikan
kehidupannya agar aku bisa terus hidup.
Orang yang pertama kali aku bunuh…., tentu saja suamiku tersayang.
Saat itu usiaku 19 tahun, dan 2 tahun berikutnya selama masa pernikahan adalah
masa yang penderitaan yang terpanjang dalam hidupku. Sebagai seorang istri
simpanan dari pria tengik dengan predikat “jawara kampung”, mungkin memang tak
sepantasnya aku berharap banyak atas cinta suci ataupun kabahagiaan sejati
sebagaimana yang sering ku dengar. Saru-satunya yang kuharapkan saat itu hanyalah
keamanan dan perasaan terlindungi. Namun hal itu tak pernah ku terima. Kekerasan
dan makian adalah makanan sehari-hari yang harus ku teguk seberapa pahitpun
rasanya.
Laki-laki itu - bajingan tengik jawara kampung - matanya buta karena nafsu, rela
melakukan apapun demi sekecup ciuman. Aku bisa mendapatkan apa saja yang aku
minta.
Sungguh aku tak pernah perduli dengan semua gaun mahal ataupun dengan semua
perhiasan yang melekat padaku. Satu-satunya hal yang aku perdulikan adalah
menghabiskan semua harta suamiku hingga ia tak mampu lagi untuk hidup.
Maka setelah menyadari jumlah hutang yang telah melilitnya, dan juga mungkin
setelah menanggung derita batin akibat entah berapa kali memergoki diriku sedang
bercumbu dengan pria lain. Dan setelah semuanya… akhirnya suamiku tersayang
“sang jawara” mengakhiri hidupnya dengan meminum racun serangga.
Tak ada apapun yang kurasakan kecuali kepuasan membalas penderitaan yang aku
tanggung selama 2 tahun. Lalu aku berpindah dari satu laki-laki ke laki laki yang lain.
Hanya untuk bertahan hidup… berharap agar aku tidak terlalu cepat mati sebelum
dunia bisa mengenal bisa mengenal diriku
Saat usiaku mencapai 28 tahun, kecantikan mungkin telah pudar dari wajahku. Dan
tubuhku yang dulu menjadi dambaan, mungkin tak lagi di inginkan karena telah
banyak terjamah. Aku terabaikan dari masyarakat, itulah saat kedua kali ku bertemu
dengan Amanda. Ia telah banyak berubah sejak terakhir ku bertemu dengannya.
Amanda bukan lagi seorang sipir perjara yang suka berteriak kasar dan memukul
wanita lain tanpa banyak kata.
Amanda telah menjelma menjadi seorang tokoh masyarakat yang disegani. Hidupnya
telah sedemikian sempurna dalam kacamata manusia, walaupun aku berpikir semua
itu tak lebih dari pengaruh yang ia dapatkan dari suaminya. Pun begitu pula
pandangannya tentang kehidupan, “berpikirlah tentang kebaikan apa yang bisa kamu
perbuat untuk orang lain” begitulah yang sering kali di katakannya padaku "Tuhan
telah menetapkan, kita hanya tinggal mematuhinya"... begitu katanya di lain waktu.
Hah !!! sampah apa pula yang keluar dari mulut Amanda yang dia coba jejalkan ke
otakku???, Sejak kapan pula ia bertemu Tuhan?? Atau mungkin Tuhanlah yang telah
menetapkan semua penderitaan hidupku ??? itukah yang ia coba
sampaikan !? Sampah…. Yang kulihat hanyalah kemunafikan. “Manusia ditakdirkan
untuk terus hidup, menambah usia kehidupannya dengan mangambil hak hidup orang
lain – yakni mereka yang memang tak pantas hidup” itulah cara hidupmu yang
sebenarnya, Amanda…. Dan itulah yang tengah kau lakoni saat ini !!!
Namun demikian aku tetap mencoba mengikuti kehendak Amanda untuk berubah.
Entah guna-guna apa yang telah di hembuskan ke dalam pikiranku, aku tak perduli…
Dia tidak pernah bertanya tentang masa-masa yang telah kulewati. Dan akupun tak
pernah berharap untuk mengungkapkan kembali jalan yang telah ku lalui.. Tapi
kebencianku kepada dunia tak akan pernah aku lupakan!! Suatu saat akan kubalas
semua penderitaan yang telah di timpakan kepadaku
Amanda…….., aku tahu siapa dirimu sebenarnya
Aku tahu siapa temanku….
Dan aku tahu hidup siapa yang ku inginkan saat ini….
Aku ingin semua yang kamu miliki saat ini, Amanda Suryani
==================================================
Amanda Suryani, Lorong Manggarai Menjelang Subuh
Hari masih teramat pagi. Bahkan masih belum tardengar kokok ayam jantan
mengalun mengisi keheningan hari yang masih gelap. Aku terus berjalan gontai
melintasi lorong-lorong sempit daerah Manggarai, Jakarta. Langkah demi langkah
terasa amat berat, bagai memikul beban yang berat – aku terus memaksakan jasadku
agar dapat sampai di ujung lorong.
Sebuah perjalanan yang teramat jauh kurasakan. Rasanya amat mustahil bagiku untuk
bisa menemukan akhir dari lorong yang panjang ini … batinku. Dibenakku terus
berkecamuk permasalahan yang terus menghantui. Hingga tadi malam, saat-saat
terakhir pikiranku masih berada di alam sadar – bayangan akan sosok tubuh Rani
yang tegeletak lunglai masih terus melayang dalam pandanganku.
Seakan terus melayang berputar-putar di sekitar rongga otakku dan tak mau berhenti
hingga akhirnya berhasil merobohkan ketegaran dan kekuatan batinku …, entah aku
yakin akan masih dapat terus hidup sampai hari esok.
“Musuhku adalah mereka yang mengambil hak-hak hidup orang lain untuk menjadi
terus hidup…. Dan temanku, adalah mereka yang secara dengan bodoh memberikan
kehidupannya agar aku bisa terus hidup… ” Pikiranku berkecamuk mencoba menerka
makna kata-kata yang disusun Rani dalam lembar-lembar pengakuannya.
“Apa yang telah merasuki pikiranmu !!!”, makiku dalam hati.
Ku ingat kembali rangkaian kata buah tangan terakhir dari temanku Rani… dan kali
ini aku benar-benar menangis, membayangkan kehidupan yang telah Rani jalani
selama ini. “Mungkin kematian adalah anugerah terindah yang bisa dimilikinya…”
gumamku.
Lalu semuanya mulai menjadi gelap… Apa yang sebenarnya telah terjadi ?? mengapa
jalan takdir berbuat seperti ini ??
Aku… Amanda Suryani, tak pernah dapat memahami semua ini…
Aspal lorong Manggarai perlahan mulai berubah berwana kemerahan. “Mungkin
darah sudah mulai banyak keluar dari urat nadi yang tadi ku iris dengan potongan
kaca….. aah rasanya aneh…” batinku. Seorang teman telah membunuhku dengan
caranya sendiri…
==================================================
Aku, Manggarai, Satu Jam Sebelumnya
Ciiiiiiiiiiiiiit …………… Suara decit ban berpacu dengan degup jantungku,
mengalahkan alunan musik keras Marylin Manson dari speaker mobilku.
SIAAAAL!!!
Biasanya saat tengah malam seperti ini saat lalu lintas sudah sedemikian lengangnya,
aku bisa saja menerobos lampu merah perempatan Manggarai menuju Matraman.
Tapi tidak dengan malam ini.
Karena diantara perjuanganku melawan beban kantuk serta keinginan untuk segera
berada di rumah, sedetik sebelum keputusanku menerobos lampu lalu linta yang
berwana merah……., dari sudut mata kananku sempat tertangkap bayangan dua
orang polisi sedang berpatroli lengkap dengan motor besarnya.
“Alamaaak….. hampir aja kena tilang …” batinku. Namun meskipun aku berhasil
menghentikan mobil tepat di garis batas lampu merah, tetap saja perasaan was-wasku
belum hilang sepenuhnya. Suara decit rem mendadak di tengah malam di jalan
protokol yang lengang – tak ayal lagi pasti menjadi perhatian polisi (yang mungkin
perlu uang kopi untuk jaga malam???)… dan benar saja, sejurus kemudian salah
seorang dari mereka mulai menatap ke arahku, mengambil sesuatu dari begasi
motornya dan mulai berjalan tenang ke arahku seperti seorang kawan lama yang ingin
menyapa sekedar bertukar kabar….. DAMN.
Setelah mengambil nafas dalam-dalam, aku mencoba menenangkan diri dan bersikap
wajar sedapat mungkin (tentu saja tidak lupa berdoa kepada Illahi Robbi, sambil
memeriksa posisi dompet…, SIM, STNK dan perkiraan budget yang perlu di
anggarkan. Aku pikir ini adalah prosedur standar jika pengemudi awam bertemu
dengan polisi ).
Mencoba mengalihkan perhatian, aku melayangkan pandangan ke luat melalui
jendela kanan mobilku. Beberapa orang tukang ojek terlihat tersenyum iba ke arahku,
“mereka pasti sedang membicarakan aku… “ pikirku dengan nyali yang semakin ciut.
Dan aku hanya dapat membalas dengan senyum pasrah….
Tak mau larut dalam perang senyum yang jelas-jelas tidak membuatku bahagia,
akupun mengalihkan pandanganku kesisi kiri jendela mobil. Seorang pria dan dua
orang wanita tampak sedang bertengkar di depan sebuah motel murah. Entah apa
yang sedang mereka ributkan, aku tidak terlalu memperhatikan. Sang pria kira-kira
berumur 50 tahun, berperawakan sedang dan beberapa kali mengucapkan …maaf
Amanda… maaf…..Seorang wanita yang terlihat lebih tua yang mungkin bernama
Amanda tersebut terlihat begitu emosi sambil mengucap berbagai ucapan serapah
kepada sang pria. Tak lupa iapun menunjuk kasar ke arah si wanita muda sambil
berterial “Dasar wanita murahan kamu Rani!!!”.Sebaliknya si wanita muda yang di
tunjuk justru bersikap tenang dan bahkan membalas dengan senyuman
“Hahaha… pasti ketahuan selingkuh” batinku. Pikiranku mulai melayang. Jujur aku
merasa bingung, apa aku harus merasa iba kepada si pria tua, yang mungkin setelah
ini akan terus mendapat makian – atau iba kepada wanita yang mungkin istri sah si
pria tua – atau iba kepada wanita muda yang menyia-nyiakan hidupnya demi seorang
pria tua ???.…..
Atau aku justru harus iba kepada diriku sendiri ???? Karena pada saat itulah aku
menyadari bahwa seorang petugas polisi telah berdiri di sisi pintu kanan mobilku dan
hanya berjarak sekitar 30 centi dari batang hidungku. MASYA ALLAH...
Separuh nyawaku seakan melayang saat berpaling dan menatap wajah polisi di
hadapanku berubah yang secara dramatis. Senyumnya menghilang secepat kilat.
Tidak ada sapaan ramah selamat malam khas polisi …..
Dari pandanganku, tubuh polisi itu terlihat berguncang cukup hebat sebelum akhirnya
ia berhasil menenangkan diri. Dan beberapa detik kemudian, ia telah berlari
meninggalkan aku (yang sedang mempersiapkan strategi menghindari tilangan)
APA ???. APA AKU GAK JADI DI TILANG ???
Sambil sedikit mengucap rasa syukur, mataku mengikuti arah petugas polisi yang
berlari melintasi depan mobilku. Tepat di sisi kiri mobilku, dari sudut spion aku
melhat seorang pria dan seorang wanita terbujur bersimbah darah, membuat merah
warna trotoar dan sebagian body mobilku. Aku masih sempat melihat arah segar
menyemprot keluar dari kerongkongan si laki-laki tua. Sementara di sebelahnya,
seorang wanita muda tampak sedang memegang perutnya yang telah tertancap pisau.
Samar-samar, aku lihat seorang wanita berlari memasuki salah satu lorong sempit
Manggarai.
Diam…. Hanya itu yang bisa aku lakukan.Aku baru saja melihat dua orang manusia
merengang nyawa dengan cara mengenaskan.
Dan besok aku harus buru-buru nyuci mobil, batinku...



Posting cerpen by: satriaxxx
Total cerpen di baca: 0
Total kata dlm cerpen: 739
Tanggal cerpen diinput: 4 Oct 2010 Jam cerpen diinput: 11:52 AM
1 Komentar cerpen


Marco menatap Jendra dengan tatapan kosong dan kuyu . Ia ingin menghentikan apa
yang berkecamuk diotaknya semenjak Jendra menelponnya dan menangis sambil
bercerita tentang kepedihan hidupnya tiga malam yang lalu . Berbagai pertimbangan
dan keraguan mulai muncul dibenak Marco. Tapi dia berusaha memaksa buah
pikirannya untuk tetap fokus . Ia lalu menatap lagi pada Jendra yang sudah mulai
mabuk . Parasnya masih menyiratkan aura kecantikan . Tapi dahi dan pipinya tidak
sanggup menutupi kalau usianya sudah mulai tua. Ia terdiam saja mendengar ocehan
Jendra yang kadang - kadang diselingi tawa . Entah apa yang dia ucapkan atau apa
yang ia tertawai . Terhitung kira - kira sudah hampir satu bungkus batang rokok
mampir ditangan kusamnya sejak mereka duduk bersama . Dan Marco masih tetap
tidak tahu atau mendengar dengan jelas apa yang Jendra bicarakan .Jendra tersadar
kalau Marco memperhatikan tingkah lakunya yang mungkin aneh . Ia lalu menatap ke
mata Marco , dihisapnya rokok yang tinggal seperempat batang sebelum ia mulai
tersenyum kecil dan berujar ," Marco...kekasih sejatiku ... mengapa kau
terdiam...kamu teringat masa lalu kita ? "Marco hanya menjawab dengan senyum
tipis , namun matanya menyiratkan jika Marco sebenarnya ingin berkata lebih dari
sekadar senyuman . Tapi ada bongkah batu besar yang seperti menahannya untuk
berbicara ." Atau kau merasa aku sudah tidak semenarik seperti dulu ya ..sampai
kamu memandangiku seperti itu .. " tanya Jendra dengan manja .Kali ini dia berbicara
sambil mendekat dan mengelus - elus paha Marco . Sejenak kemudian , Jendra lalu
menyandarkan kepalanya pada bahu tipis Marco . Tangannya masih tetap terus
bergerak - gerak . Mencoba memancing dengan nakal . Tapi Marco masih tidak
meresponnya , ia hanya mencoba berpaling sambil menatap rambut dan batok kepala
Jendra yang terlihat botak untuk ukuran wanita . Benaknya semakin berkecamuk
dengan hebat .Ketika Jendra mendongakkan kepalanya dan memandang penuh harap
pada Marco , barulah Marco tersentuh . Ia merasa kepalanya tiba - tiba pusing .
Kilasan - kilasan masa lalu datang silih berganti . Bahagia ...sedih...perih...kata -kata
indah , cacimaki ...umpatan...teriakan penuh sayang... dan yang lain datang bagaikan
roll film yang diputar dengan kecepatan tinggi .Sampai sebuah momen yang sangat
kuat dimemorinya tiba - tiba berhenti , tepat saat Marco hendak menarik nafas
panjang akibat sesak otak yang ia alami . Momen itu berhenti dan bergerak melambat
seperti kibasan kain dari seorang matador dalam film aksi yang diperlambat hingga
10 kali dari kecepatan aslinya .Seketika itu juga Marco mulai menunjukkan reaksinya
, ia sentuh dengan lembut wajah Jendra dengan bahu telapak tangannya . Diusapnya
semua bagian wajah perempuan itu . Jendra membalasnya dengan tatapan yang
semakin sendu . Marco kemudian membenamkan kepala perempuan yang pernah
dicintainya itu kedalam pelukannya dengan penuh rasa sayang . Jendra terlihat seperti
anak ayam yang kembali dalam pelukan induknya . Ia pun merajuk manja . Marco
kemudian membalas rajukan itu dengan menciumi kepala Jendra dengan penuh rasa
sayang yang lebih dalam . Jendra memejamkan matanya , ia ingin menikmati momen
ini lebih lama .Sedetik kemudian ..... Dhuar..... Dhuar....Satu dua letusan terdengar
menyalak dari arah dua insan yang sedang berpelukan itu . Mata Jendra terbelalak .
Tidak jelas antara kaget karena timah panas yang tiba - tiba merangsek paksa
tubuhnya atau merasa kesakitan kala malaikat dengan kasar mencabut ruhnya dari
tubuh yang mulai keriput itu . Marco membalasnya dengan tatapan serta raut
gamang.. ia merasa tiba - tiba area matanya penuh dengan air . Ia memejam -
mejamkan matanya , mencoba untuk menahan agar air matanya tidak sampai lebih
deras lagi mengucur . Tubuh Jendra ia dekap lebih erat lagi . Marco seakan hendak
menunjukkan jika ia tidak akan meninggalkan Jendra sampai semua proses
menyakitkan itu berlalu . Saat tubuh Jendra hendak mengejang untuk terakhir
kalinya ... dengan bola mata yang kian berair Marco mengucap lirih...." Aku pernah
berjanji untuk membebaskanmu dari kepedihan hidup ... maafkan baru sekarang aku
bisa menepatinya ... pergilah merpati yang patah sayapnya ... jalani kehidupan lebih
baik di alam sana ...tinggalkan dunia yang tak lelah melukaimu ini "Bersamaan
dengan hentakan terakhir , bayangan gadis bersayap patah yang tersirat di kepala
Marco selama bertahun - tahun belakangan mulai menghilang . Senyum pun terlihat
tergurat diwajah gadis itu . Menghapus tatap mata dan raut wajah kosong yang
selama ini berdiam disana . Saat bayangan itu hendak sepenuhnya hilang , ia
tersenyum pada Marco dan melambaikan tangannya. Marco pun tertunduk lemas
.Malam itu .... Marco telah menepati janjinya pada Jendra seperti yang pernah ia
sumpahkan 20 tahun yang lalu kala mereka masih jadi sepasang kekasih . Walaupun
dengan cara yang lain , Marco benar - benar telah membebaskan Jendra dari
kesemrawutan , kekotoran , frustasi , rasa lelah , perendahan diri , pencampakan ,
hinaan , umpatan , kemaksiatan ,serta ketidakmampuan untuk lepas dari belenggu
kekacauan yang didapatkan semenjak ia dan Marco berpisah dan memutuskan untuk
jadi pelacur
    Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini :
Bukan Pilihan
18 April 2010 12.684 views 6 Comments

“Kapan melamarku, Zul?” jemari Silvy bermain di atas lengan kananku. Ia duduk
satu kursi bersamaku. Dua matanya tajam menatapku.

Cahaya meredup, matahari siap kembali ke peraduan. Awan membusung merah di
barat, angin berhembus menggoyang daun pepohonan depan kost. Aku diam,
menatap seorang ibu menyapu halaman rumahnya, terkadang ibu itu melirik anaknya
yang bermain kelereng bersama teman-temannya, wajahku berpaling dari Silvy.
“Jawab, Zul!” Silvy menggoyang lenganku.

Sejenak kupejamkan kedua mataku, mengingat saat Silvy kuantarkan men-daftar di
salah satu perguruan tinggi, mengenang dua bulan lalu aku mendampinginya wisuda,
berpose dengan keluarganya, juga kami berpose bersama, ia tersenyum lebar saat
lampu kilat menyambar.

Kubuka dua mataku, mencoba sadarkan diri. Aku masuk kuliah lebih dulu, tapi
sampai sekarang aku masih betah berangkat ke kampus dengan tas di punggung.
Entah, aku sendiri tak tahu sudah berapa tahun aku bertemu dosen di kelas, sudah
berapa kali aku harus mengulang meteri-meteriku, bahkan aku tidak tahu sekarang
semester berapa, mungkin sebelas, tapi kata Silvy tiga belas.

“Tunggu aku wisuda, Silvy,” suaraku berat menjawab.
“Kamu selalu berkata setelah wisuda, setelah wisuda. Tapi kamu sendiri tidak tahu
kapan akan diwisuda!” Silvy sudah bosan. Ketika silvy masih kuliah, ia pernah
memintaku untuk melamarnya. Permintaan itu semakin sering kudengar seiring
ibunya bertanya tentang keseriusanku, tapi jawabanku sama, “setelah wisuda.”
“Pasti aku akan wisuda, Silvy,” kucoba tenangkan dia.

Wajahnya tampak mengkerut, ia benarkan duduknya, semakin menghimpitku, “Zul,
wisuda memang selalu datang, tapi kalau kamu tidak pernah mengejarnya, tidak
berusaha, sama saja,” hari ini Silvy yang sabar, ketus.
“Aku janji, aku pasti datang melamarmu,” aku rajut jemari halusnya sambil menatap
untuk meyakinkannya, aku tak ingin dia pergi dariku.

“Janji, tak semudah itu berjanji, tapi tidak bisa kau tepati. Utangmu sudah banyak,
Zul,” Silvy kesal, ia mengibas tanganku lalu pergi meninggalkanku terpaku di atas
kursi, kerudungnya melambai dengan jalan setengah berlari terpacu emosi. Aku
berdiri ingin memanggilnya kembali tapi ia tak mungkin mendengar, telinganya tak
lagi terbuka. Silvy sudah hapal semua kata dariku, ia bosan, ia tak lagi butuh
romantis-romantisan, tanganku menggantung, mulutku yang menganga kututup
kembali.

“Fuh…” kusandarkan tubuhku di tiang kayu, kepalaku tertunduk lesu, jemariku
mengurai rambut, lidahku terasa membeku.

Aku sendiri tak mengerti, kenapa aku tidak menyadari umurku semakin berkurang,
dua puluh lima, waktu yang tepat untuk bersanding di pelaminan, bukan memeluk
bantal, memegang obeng memoles sepeda motorku, tapi aku…ah…aku…kupijat
keningku.

***

Akhir pekan aku pulang ke rumah, Air Tiris. Ayahku sakit, jalannya sudah bungkuk,
sedangkan tongkat tak lagi bisa membantu, ibu memapahnya ke kamar mandi, ayah
tertatih-tatih berjalan, makan harus disuapi, nafasnya berat, tulang di tangan tampak
ke permukaan, otot sisa kejantanan menyembul. Ayah lebih sering terbaring di
ranjang menatap atap.

Kusibak tirai kamar, kulihat mata ayah terpejam, dadanya turun naik, sebagian
tubuhnya tertutup selimut. Aku duduk di sampingnya, kugenggam tangan ayah
setelah menciumnya, mataku berkaca menatap wajah ayah yang teronggok layu di
atas bantal, semakin lama mataku melihat ayah semakin banyak doa yang berkelebat
di bibir.
Ibu sedang menjahit, aku ambil posisi duduk sebelahnya di ruang tamu, “Bu….”
“Apa?” ibu membenarkan kacamatanya.

“Zulhamdi mau melamar Silvy, bu,” aku jujur.
Seketika itu ibu berhenti meneruskan jahitannya, ”Kamu belum selesai, Zul, dan
menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan.”

“Zul sudah berpikir berkali-kali,” aku melihat anak kecil bermain sepeda dari lubang
jendela.
Ibu melepas kacamatanya, menatapku dalam-dalam, “Tanyakan pada ayahmu.”
Aku diam, kusandarkan tubuhku sembari kuusap wajah.

“Ukh…ukh…ukh…” suara batuk menyeruak, aku berlari ke kamar ayah sebelum ibu
berdiri.
“Yah,” seketika kulihat ayah terbangun dari tidurnya. Segelas air putih kuberikan
padanya.
Ayah menyeret tubuh, ia ingin duduk, kusiapkan bantal belakang punggungnya, ayah
langsung menghabiskan segelas kecil air putih.
“Sudah lama, Zul?” suara ayah serak.
“Zulhamdi baru datang, yah,” kuletakkan gelas di atas meja kecil.
Ayah menghirup nafas, tangannya menarik selimut, “Bagaimana kuliahmu, Zul?”
Kalimat itu selalu menyapa seperti salam, namun matanya tak pernah melihatku, ayah
sudah bosan dan aku hanya bisa diam.

Sekilas kupandangi guratan kecewa di wajahnya, “Zul ingin melamar Silvy, yah,”
aku beranikan diri.
Ayah tak terkejut, matanya lurus menatap bias ke jemari kakinya. sejenak ayah
menunduk, “Ukh…ukh…ukh…” suara batuk kembali terdengar, “Ayah tidak
melarangmu, tapi sisa umur ayah hanya untuk menunggu kamu lulus S1.”
Ayah menoleh ke arahku, “Ayah sudah puas dengan tiga cucu dari kakakmu, sudah
bahagia mendapat dua menantu, tapi semua itu tak berarti jika kamu belum lulus, Zul.
Jangan buat ayah selalu datang dalam mimpimu menanyakan kelulusanmu.”

Hatiku bergetar mendengar suara serak ayah.
“Zul, kesempurnaan kebahagiaan orang tua ada pada anaknya.”
Mulutku terkunci, semua keinginanku pudar, semua kata ayah merasuk mengisi
setiap relung dalam ragaku, sekujur tubuhku merenung.

***

Aku berjalan di antara rak buku perpustakaan, langkahku merambat pelan mengikuti
mataku yang menelisik setiap judul, kadang aku berhenti, menarik buku ke luar dari
barisannya, tapi tak jarang kukembalikan. Beberapa hari ini aku terjebak di sini.

“Zulhamdi, Silvy datang,” salah satu temanku memberi tahu.
Kututup buku, kuletakkan di meja paling pojok, setengah berlari aku ke luar, demi
Silvy kucoba menjadi lelaki yang sempurna.

Kuhampiri Silvy, ia duduk di kursi panjang bawah pohon sawit depan gedung
perkuliahan, aku duduk di sampingnya, “Sudah lama, Silvy?”

Silvy menggelang, “Gimana, Zul? ibuku selalu bertanya. Kamu tahu sendirilah, Zul,
bagaimana orang tuaku.”
Seketika teringat setiap kata dari ayahku, tubuhnya, suara batuknya, bagaimana ia
terbaring. Kutatap mata Silvy, kulihat ia berharap aku menjawab, “Tunggu aku, Silv.”
“Bosan aku mendengarnya, Zul,” wajah silvy berpaling dariku.***

Aidillah Suja,
Anggota Komunitas Alinea-1
FLP Pekanbaru
Titipan Seorang Pelaut
21 Maret 2010 10.640 views 2 Comments




                                             AYAHMU adalah seorang pelaut. Ia telah
mengarungi tujuh samudera di dunia. Laut adalah kehidupannya. Sebelum Ayahmu
bertemu dengan ibu, dia hanya mengisi kehidupannya di laut. Katanya lautlah yang
telah membesarkan dia. Dari sebelum Bandar Melaka menjadi bandar yang ramai
dikunjungi oleh para pelaut-pelaut dunia, dia telah biasa hidup di laut. Bahkan laut
telah menjadi sahabatnya. Itulah sedikit sketsa sekilas cerita tentang Ayahku yang
tidak pernah aku temui itu.
“Tapi, Mak, mengapa Mak tidak pernah mengajari aku sedikitpun tentang laut?
Sedangkan darah dagingku adalah seorang pelaut ulung?”
“Hal itulah yang tidak aku inginkan. Karena jika kau menjadi seorang pelaut, maka
Mak akan sulit untuk bertemu dengan kau. Pasti kehidupan kau hanya ada di laut.
Apalagi di pelabuhan Malaka ini telah ramai sekali Pedagang-pedagang dunia yang
singgah, jalur untuk kau menjadi seorang pelaut akan sangat mudah,”
“Lalu bagaimana Mak bertemu dengan ayah, sedangkan hidup ayah hanya ada di
laut?”
“Itulah keajaiban cinta, nak. tidak ada seorangpun yang bisa menduga, takdir cinta itu
sudah ditentukan oleh yang maha kuasa, siapa menduga kalau Mak bisa menikah
dengan seorang pelaut, sedangkan Mak kau sendiri berasal bukan dari keluarga
pelaut.”
Cerita itu yang selalu Ibu ceritakan kepadaku. Pada akhir hikayatnya, ia pasti akan
mengatakan kalau cintanya kepada ayahku karena keajaiban semata. Dan ia akan
mengatakan kalau itu sudah takdir yang tidak mampu diubah oleh manusia manapun,
termasuk dirinya sendiri.
Aku memang tidak pernah melihat wajah ayahku. Tapi kata Ibuku, wajahku mirip
sekali dengan wajah ayahku. Sifat dan karekternya pun sangat mirip denganku. “Jika
kau penasaran dengan ayahmu, maka segeralah kau pergi ke Kubangan, maka
cerminan wajah ayah kau ada pada dirimu.”
Bandar Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis adalah Bandar yang sangat maju.
Semua pedagang-pedagang dari Asia dan Eropa selalu singgah untuk membeli
rempah-rempah yang didatangkan dari Nusantara. Rempah-rempah yang
diperdagangkan adalah berupa pala dan lada. Pedagang-pedagang yang datang adalah
dari Arab, China, India dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Spanyol dan
Prancis. Para pedagang itu memiliki kapal-kapal layar yang sangat besar. Apalagi
kalau kapal dagang itu milik Inggris. Dari kejauhan sudah sangat kelihatan
megahnya.
Mungkinkah Ayahku bekerja di salah satu kapal-kapal itu? Tapi ibuku tidak pernah
menjawabnya. Dia hanya diam seribu bahasa. Ketika pertanyaan itu kulontarkan pada
ibu. Entah mengapa ia pasti akan berlalu. Ayahku hidup atau mati pun aku tidak
pernah tahu. Dan akhirnya pada suatu malam itu ketika aku desak, ibuku akhirnya
menceritakan tentang ayahku dan ke mana sekarang ia pergi sehungga tidak pernah
kembali.

*****
“Aku akan kembali Dinda, tunggulah aku di Dermaga ini hingga peperangan ini
selesai. Sudah tidak ada cara lain lagi untuk memerangi mereka, “Pantang melayu
hilang di Bumi!” Selama ini Malaka adalah negeri yang damai, tidak ada satupun
peperangan yang terjadi. Meski aku hanya seorang Lanun, tapi aku tetap tidak rela
jika Malaka bisa dikuasai oleh bangsa lain.”
Perempuan yang dipanggil Dinda hanya diam. Tapi air matanya tidak bisa ditahan
lagi. Bulir-bulir air mata itu menandakan kepedihan yang sangat dalam. Sementara
sekarang ia sedang hamil tua. Laki-laki itu pergi ke Pantai. Beberapa orang
temannya sudah me-nunggu. Ia masih menatap kepergian suaminya.
Dengan hanya menggunakan sampan biasa, ia dan rakan-rakannya terus pergi. Di
tengah laut, Kapal milik raja sudah ada yang berlabuh. Para angkatan laut Kerajaan
Melaka telah menyiapkan segala perlengkapan perang untuk memerangi angkatan
laut Portugis. Di Perairan selat Malaka Ratusan Kapal Portugis telah berlabuh di
tengah lautan. Mereka tinggal menunggu arahan untuk menakluki kota Melaka.
Pada awalnya sang raja tidak mempercayai jika Portugis akan menyerang kota
Malaka. Tapi setelah mendengar berita bahwa Pelabuhan-pelabuhan penting di
Nusantara telah berhasil dikuasai oleh Portugis. Menanggapi itulah sang Raja
memilih untuk mencegah pasukan Portugis memasuki kota Malaka. Raja
mengumpulkan semua angkatan laut Malaka agar segera bersiap. Perang akan terjadi.
Ternyata berita itu sampai di telinga rakyat jelata. Sehingga rakyatpun membuat
inisiatif untuk ikut berperang melawan Portugis meski dengan hanya menggunakan
sampan biasa. Mereka tidak gentar. Mereka tidak rela jika bumi Melayu jatuh ke
tangan Portugis.
Maka berita itu juga sampai ke telinga Awang. Ia adalah seorang lanun. Biasa
membajak kapal-kapal pedagang dari Arab, China juga dari Nusantara. Mendengar
berita penyerangan Portugis, naluri cinta tanah airnya menggebu. Ia dan beberapa
rekan Pembajaknya pun merencanakan untuk ikut dalam peperangan ini. Merasa laut
adalah rumahnya, maka hanya ada satu kata yang harus mereka pegang, “Perang.”
Dan laut akan memberi kemenangan pada mereka.
Alhasil merekapun ikut dalam kumpulan rakyat jelata dengan menggunakan sampan
biasa, di tengah laut itu dipenuhi oleh sampan-sampan rakyat biasa. Mereka semua
satu hati untuk memerangi Portugis. Hati mereka sedikitpun tidak gentar ketika
melihat kapal-kapal perang Portugis yang telah menyambut mereka dengan
mengarahkan moncong-moncong meriam ke arah mereka.
“Seraaaang!!!!” seru Laksamana.
Maka dengan semangat menggebu mereka mengayuhkan sampan menuju kapal-kapal
Portugis yang juga mengeluarkan tembakan meriam ke arah mereka. Letusan
peperangan angkatan laut itupun pecah dengan masing-masing pihak saling serang.
Awang pun menyerang membabi buta. Dengan sebilah keris ia bisa membunuh satu
persatu pasukan Portugis ketika sampan-sampan mereka berhasil merapat ke salah
satu kapal Portugis dan menyerang seluruh awak yang ada dalam kapal itu. Dan
akhirnya satu buah kapal Portugis berhasil mereka takluki. Mereka tidak memberi
ampun kepada tentara-tentara Portugis yang ada dalam kapal itu. Semuanya mati
mereka bunuh.
“Horeeeeeeee!!!” mereka berseru beramai-ramai. Awang pun ikut dalam euforia itu.
Dari kejauhan laksamana hanya tersenyum melihat kapal itu berhasil ditakluki.
Ketika semua larut dalam euforia itu, tiba-tiba sebuah tembakan Meriam menuju ke
arah mereka. Dan tanpa sepengetahuan mereka dua kapal Portugis telah merapat ke
arah mereka langsung melepaskan tembakan betubi-tubi menggunakan meriam-
meriam yang ada di sekelilingi kapal-kapal itu ke arah mereka.
Akhirnya Awang dan rekan-rekannya hanya memberi perlawanan tidak berarti.
Mereka kocar-kacir dalam kapal tersebut. Sementara tembakan terus saja di lepaskan
oleh tentara-tentara Portugis. Laksmana yang melihat hal itu mencoba membantu,
tapi mereka pun ditubikan dengan tembakan-tembakan dari kapal Portugis yang lain.
Kapal yang dinaiki Awang semakin mendekati masa yang kritis. Para awak di
dalamnya banyak yang menjadi Korban tembakan dari meriam-meriam Portugis.
Awang yang melihat keadaan yang tidak berimbang itu semakin panik. Ia tidak bisa
berbuat apa-apa. Dan lambat laun kapal yang dinaikinya itu tenggelam dan akhirnya
hilang di atas permukaan laut bersama Awang. Sementara angkatan laut kerajaan
terus berperang sampai titik penghabisan. Terus berusaha melawan tentara Portugis
dengan segala upaya.

*****
“Kekalahan angkatan laut Kerajaan Malaka membuat Potrugis berhasil memasuki
kota Malaka dan menaklukkan seluruh kerajaan Malaka. Sejak itu Bandar Malaka
tidak ramai dikunjungi pedagang-pedagang negeri lain, karena Portugis telah
menguasai pelabuhan Malaka dan meminta upeti begitu tinggi. Mak hanya
mendengar berita dari orang-orang yang berhasil lari dari peperangan itu dan
mengatakan mungkin Ayahmu ikut mati dalam peperangan tersebut. Tapi keyakinan
Mak mengatakan bahwa Ayahmu tidak mati. Dia pernah mengatakan kalau laut
adalah sahabatnya, tidak mungkin sahabat tega membunuh sahabatnya sendiri. Lagi
pun Mak tidak pernah menemui jenazah ayahku hingga sekarang.”
Ibuku mengakhiri ceritanya dengan air mata. Aku sendiri merasa bangga mendengar
cerita ibuku, walaupun pada awalnya ayahku adalah seorang Lanun, tapi ia telah
mengorbankan raganya untuk membela Bandar Malaka jangan sampai jatuh ke
tangan Bangsa lain. Sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, kerajaan-kerajaan
Nusantara semuanya mengumumkan perang kepada Portugis.
Tapi aku sendiri setelah mendengar cerita ibuku, semangat menggebu untuk menjadi
Pelaut merasuki seluruh ragaku. Keinginan itu belum aku utarakan pada ibu karena
aku tahu ia pasti melarang aku menjadi seorang Pelaut. Tapi aku akan berusaha
membujuknya. Karena aku adalah anak seorang pelaut, pembajak sekaligus pahlawan
yang tidak di kenal di Bandar Malaka.***

Muhammad Nazar Albani
Pelajar, tinggal di Selatpanjang

More Related Content

What's hot

What's hot (19)

Kabut jingga
Kabut jinggaKabut jingga
Kabut jingga
 
Kisah nyata mengharukan
Kisah nyata mengharukanKisah nyata mengharukan
Kisah nyata mengharukan
 
Cerpen 1
Cerpen 1Cerpen 1
Cerpen 1
 
Filosofi ok
Filosofi okFilosofi ok
Filosofi ok
 
Kasih berarti mempercayai seseorang
Kasih berarti mempercayai seseorangKasih berarti mempercayai seseorang
Kasih berarti mempercayai seseorang
 
Tenggelamnya kapal van der wijck
Tenggelamnya kapal van der wijckTenggelamnya kapal van der wijck
Tenggelamnya kapal van der wijck
 
Cintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakulaCintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakula
 
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
 
Cerpe
CerpeCerpe
Cerpe
 
Lirik lagu 2 bimbo
Lirik lagu 2 bimboLirik lagu 2 bimbo
Lirik lagu 2 bimbo
 
Suara 3 hati
Suara 3 hatiSuara 3 hati
Suara 3 hati
 
Pudarnya Pesona Cleopatra
Pudarnya Pesona CleopatraPudarnya Pesona Cleopatra
Pudarnya Pesona Cleopatra
 
Depok, i'm lost in love
Depok, i'm lost in loveDepok, i'm lost in love
Depok, i'm lost in love
 
Cerpen Tiara
Cerpen TiaraCerpen Tiara
Cerpen Tiara
 
Setelah Kau Menikahiku
Setelah Kau MenikahikuSetelah Kau Menikahiku
Setelah Kau Menikahiku
 
Anak semata wayang (whani darmawan)
Anak semata wayang (whani darmawan)Anak semata wayang (whani darmawan)
Anak semata wayang (whani darmawan)
 
Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)
Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)
Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)
 
cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiri
 
Penyair muda, istri muda (leo kelana)
Penyair muda, istri muda (leo kelana)Penyair muda, istri muda (leo kelana)
Penyair muda, istri muda (leo kelana)
 

Viewers also liked

Viewers also liked (8)

Yori zuwendra eka putra
Yori zuwendra eka putraYori zuwendra eka putra
Yori zuwendra eka putra
 
Java Stammtisch Würzburg - CONAIR
Java Stammtisch Würzburg - CONAIRJava Stammtisch Würzburg - CONAIR
Java Stammtisch Würzburg - CONAIR
 
Ctl
CtlCtl
Ctl
 
Upharmacia. Ноябрь 2011
Upharmacia. Ноябрь 2011Upharmacia. Ноябрь 2011
Upharmacia. Ноябрь 2011
 
Upharmacia. №3. Май 2012
Upharmacia. №3. Май 2012 Upharmacia. №3. Май 2012
Upharmacia. №3. Май 2012
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Ctl
CtlCtl
Ctl
 
Pp no 50_th_2007
Pp no 50_th_2007Pp no 50_th_2007
Pp no 50_th_2007
 

Similar to Cerpen (20)

Bahasa Indonesia - Cerpen
Bahasa Indonesia - CerpenBahasa Indonesia - Cerpen
Bahasa Indonesia - Cerpen
 
My cerpen "Kotak Buah"
My cerpen "Kotak Buah"My cerpen "Kotak Buah"
My cerpen "Kotak Buah"
 
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
 
Karangan naratif
Karangan naratif Karangan naratif
Karangan naratif
 
Karangan naratif Cikgu Lila
Karangan naratif Cikgu LilaKarangan naratif Cikgu Lila
Karangan naratif Cikgu Lila
 
Tentang aku
Tentang akuTentang aku
Tentang aku
 
Karena aku mencintai manusia setengah dewa onessfee.blogspot.com
Karena aku mencintai manusia setengah dewa onessfee.blogspot.comKarena aku mencintai manusia setengah dewa onessfee.blogspot.com
Karena aku mencintai manusia setengah dewa onessfee.blogspot.com
 
Sayembara rohis gara -gara Rohis
Sayembara rohis gara -gara RohisSayembara rohis gara -gara Rohis
Sayembara rohis gara -gara Rohis
 
bung!
bung!bung!
bung!
 
Boarkim 2009.pdf
Boarkim 2009.pdfBoarkim 2009.pdf
Boarkim 2009.pdf
 
media pembelajaran membaca puisi
media pembelajaran membaca puisimedia pembelajaran membaca puisi
media pembelajaran membaca puisi
 
Dilema Arjuna
Dilema ArjunaDilema Arjuna
Dilema Arjuna
 
Sang raja jin
Sang raja jinSang raja jin
Sang raja jin
 
Post 1
Post 1Post 1
Post 1
 
Puisi mone
Puisi monePuisi mone
Puisi mone
 
Thermodinamika Cinta Boarkim'09
Thermodinamika Cinta Boarkim'09Thermodinamika Cinta Boarkim'09
Thermodinamika Cinta Boarkim'09
 
Dialog cinta
Dialog cintaDialog cinta
Dialog cinta
 
Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)
 
Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)
 
Bertujuh
BertujuhBertujuh
Bertujuh
 

Cerpen

  • 1. Di Bawah Pohon Mahoni 3 Oktober 2010 2.122 views No Comment Senja Menghindari senja, aku pun harus bertemu dengan senja itu. Menunggu kesetiaan dan kejujuran di bawah pohon mahoni yang berada di halaman sebuah bangunan TK yang sudah tua. Sebuah ayunan yang satu-satunya permainan anak yang tersisa dibuai angin kencang. Lalu, rintik hujan singgah di ayunan tersebut. Hujan semakin lebat, menyuruhku menepi ke bawah pohon mahoni. Bukan tentang hujan, sebenarnya. Tapi saat ini hujan menemaniku yang gelisah menunggu Darmawan. Hujan menjadi jurus ampuh untuk manakar kesetiaan dan kejujuran itu. Berdiri di bawah mahoni, aku bisa melihat kedatangannya dari ujung jalan. Walaupun rintik-rintik hujan dari sela-sela mahoni singgah di tubuhku. Dari ujung jalan, Darmawan berlari melintasi hujan. Langkah cepatnya, adalah pertanyaan yang menyediakan jawaban buram untukku. Apakah itu langkah kesetiaan dan pengorbanan atau itu adalah langkah kebimbangan. Terasa darahku naik ke ubun- ubun, dadaku berdebar sangat dahsyat ketika Darmawan berada di hadapanku dengan nafas tersengal-sengal. Sebentar ia berdiri, menyaksikan bagaimana aku. Ia menggigil kedinginan bersamaan dengan air mataku yang jatuh. “Padahal aku mengenal dirimu sebagai wanita yangkikir air mata.” Darmawan menatap tajam ke arahku “Tapi kali ini berbeda, Mawan,” aku menyambung kata-katanya Darmawan menarik tanganku, membawaku berlari menuju bangunan TK. Kami duduk menepi. Bersandar di bangunan Taman Kanak-Kanak yang sudah tua itu. “Mawan!” Sapaan akrabnya yang acap kali aku panggil. “Jangan pernah berpikir aku berkorban,” kataku dengan suara yang terisak. “Pastinya dirimu mengenal bagaimana aku. Pernah aku berkorban? Untuk satu hal yang kecilpun aku tidak mau, Mawan!” Sinar mata Darmawan tajam, walau ketika itu ia basah kuyup. Saat ini, sepi sedang berada di antara kami karena Mawan tak memberi sedikit pun tanggapan. Aku duduk sejajar dengan Mawan. Daun mahoni yang disinggahi butir-butir hujan yang semakin lebat menjadi tontonan kami berdua. Tak ada instrument selain lebatnya hujan. Desah nafas Darmawan yang selalu aku dengar apabila berada di sampingnya saat ini tak terdengar. “Aku tak akan berkorban, Mawan!” Air mataku kembali jatuh. “Sekalipun dia sahabatku.” Aku menyambung kata-kataku sambil mengusir sepi. “Tapi, berpikirlah!” Ada pertempuran besar di hatiku untuk mengeluarkan kata-kata selanjutnya. “Aku berharap dirimu menerima cintanya, jika ia lebih baik dariku. Tentang bagaimana aku, jangan hiraukan!” Aku bukan melepasmu Mawan, tapi mengukur kejujuran dan
  • 2. kesetiaanmu, teriakku dalam hati. Itulah kata terakhirku sebelum menyonsong hujan yang tak jua berkurang lebatnya. Tak ada lagi senja. Antara hujan dan gelap aku tinggalkan Mawan di bangunan TK tua itu. Sayup-sayup terdengar Mawan memanggilku, “Aya…!” Pagi Mereka bertemu di antara kabut. Bukan cerita tentang kabut, tapi kabut hadir dengan pesonanya yang memburamkan pandangan di pagi ini. Darmawan duduk di sudut bangunanTK. Ayunan yang kemarin ia lihat bersama Aya masih tertutup kabut. Sesekali Darmawan melihat ke ujuang jalan, menunggu seseorang yang akan melintasi kabut. Kabut, tak menipiskan keinginan Reka berjalan menelusuri jalan setapak dan berhenti di sebuah bangunan TK yang sudah tua. Reka berharap Darmawan menunggunya di sana. “Reka! Aku pikir dirimu tak akan datang.” Kata Darmawan menyambut kedatangan Reka. Reka membalasnya dengan senyum kegembiraan karena Darmawan telah menunggunya. “Terimakasih telah menungguku!” Disapu dinginnya kabut pagi, mereka duduk di sudut TK. “Setiap berjumpa dengan dirimu, Mawan, hari selalu terasa pagi. Dan pagi ini, sangat tak kuinginkan berlalu begitu saja. Aku harap, ini adalah pagi yang membawa berita baik” Ada senyum di bibir Reka, memperindah wajahnya yang lesung pipi. “Boleh aku mengajukan satu pertanyaan, Rek?” “Apa?” “Tentang sahabatmu.” Darmawan menatap lekat ke arah Reka. “Apa dirimu tak pernah tahu tentang. . .” “Tentang kalian. Bukankah begitu, Mawan?” sekilas mereka saling bertatapan. Reka lalu melarikan pandangannya ke pohon mahoni yang diburamkan oleh kabut. “Pastinya aku tahu. Tapi cinta ini memaksaku untuk berkorban, Mawan!. Tak pernah aku inginkan kehadirannya, namun rasa ini datang tanpa aku sadari.” “Tapi, Aya sahabatmu!” “Sekalipun dia sahabatku!” “Apa yang dirimu inginkan dariku, Rek? Masih banyak pria yang lebih baik dariku.” “Itu benar. Tapi, bagiku dirimu lebih baik untukku dibanding mereka!” “Jika Aya melepasku untukmu, apa yang dirimu lakukan agar ia juga bahagia seperti kebahagiaan yang dirimu rasakan?” “Sekali ini aku mohon pengorbanan dari seorang Aya!” Mereka duduk sejajar menghadap jalan setapak. Sesekali kendaraan mondar-mandir di jalan itu. “Mawan, apakah cintaku hanya akan sia-sia saja? Berharap pada
  • 3. seseorang yang tak mungkin akan membalasnya.” Mawan menatap lekat mata Reka. Mereka bertemu pandang pada situasi klimaks dari cerita segitiga ini. Jawaban yang diharapkan Reka tak kunjung keluar dari mulut Darmawan. Matahari semakin merangkak ke tengah. Kabut semakin menipis. Mahoni yang tadinya tertutup kabut kini terlihat sangat jelas dengan daunnya yang hijau. Matahari tepat di atas kepala “Kekuranganmu membuat aku merasa nyaman. Kehadiranmu menjadi langkah semangat bagiku. Melepasmu adalah kehancuranku.” Kataku di tengah terik matahari. Aku dan Mawan bersandar di bawah mahoni. “Satu hal lagi, Mawan!” “Apa?” “Tak semudah itu aku memberitahunya!” Mawan menatapku. Dapat aku baca pikirannya, seolah ingin tahu apa yang aku maksud. “Karena dirimu belum memilih, Mawan!” Di balik dinding TK itu, aku tahu ada sepasang telinga yang me-nangkap suaraku. Mendengar pembicaraan kami. “Aku atau Reka?” aku lanjutkan kata-kataku, berharap sepasang telinga di balik diding itu juga mendengarnya. “Apa dirimu masih menginginkan kehadiranku di sisimu, Aya? Bukan aku yang memilihnya. Tapi dirimu sendiri yang akan memberi jawaban dari semua pertanyaan dan pilihan itu!” “Terjawab sudah kebimbanganku, Mawan!” Reka, seseorang yang berada di balik dinding itu, aku tahu pengorbananmu yang sia-sia untuk Mawan. Tapi, dia memilih aku, Ma’af! Walapun dirimu sahabatku, kata hatiku saat itu. “Kesetiaanmu tak sanggup aku lepaskan. Itulah yang ingin aku katakan.” Ucap Aya.*** Kumala Sari Kuliah di UIN Suska Riau Saat ini aktif di Forum Lingkar Pena Posting cerpen by: zam.master Total cerpen di baca: 0 Total kata dlm cerpen: 2097 Tanggal cerpen diinput: 7 Oct 2010 Jam cerpen diinput: 1:25 PM 0 Komentar cerpen Amanda Suryani, Lorong Manggarai Menjelang Tengah malam Setengah menggigil aku berdiri mematungMenahan luapan emosi yang hampir tak terbendung di sudut gelap lorong ManggaraiKu genggam erat pisau dan catatan rani Aku menanti …..
  • 4. ================================================== Rani, Lembar Pengakuan Aku terlahir untuk menjadi tegar. Setidaknya itulah yang selalu aku percaya terntang diriku. Dibesarkan bersama dengan 40 saudara, bukanlah impianku. Terlebih jika harus hidup tanpa pernah mengetahui siapa orang tua kandungku. Satu hal yang aku tahu tentang orang tuaku adalah bahwa mereka tidak menginginkan diriku. Mereka adalah orang yang egois yang hanya memikirkan kesenangan. Dan sudah menjadi kemakluman jika aku membenci mereka. Walaupun sesekali pernah terpikir olehku untuk mencoba mencari tahu tentang keberadaan mereka dan bertemu hanya untuk merasakan belaian jari jemari di atas rambutku, namun hal itu sama sekali tidak berarti bahwa aku membutuhkan mereka. Aku hanya ingin bertemu mereka untuk mengatakan “Lihatlah anakmu ini! Anak yang tidak kau inginkan ini telah berhasil tumbuh di dunia tanpa harus bersama dengan kalian. Aku telah berhasil dan segala rencana kalian untuk menghancurkan hidupku telah gagal. Kalian telah gagal!! Akulah pemenangnya !” Lalu kemudian pada usia 12 tahun aku pergi dari rumah Yatim yang telah mengurung seumur hidupku. Tidak pernah ada tangis mengiringi kepergianku. Tidak ada kata- kata terakhir yang harus diucapkan. Aku pergi begitu saja. Aku sendirian ditengah hiruk pikuknya kota. Tak ada tujuan. Aku hanya berjalan mengikuti kemana arah langkahku ingin pergi. Perkenalan pertamaku dengan Amanda bertepatan dengan peristiwa kerusuhan 1998. Ketika itu usiaku sudah menginjak 15 tahun. Saat itu untuk yang ke enam kalinya aku dijebloskan ke dalam penjara kota karena hal-hal sepele yang dianggap tidak baik. Sedangkan Amanda sendiri ketika itu masih menjabat sebagai sipir tempat aku ditahan. Aku tidak tahu persis berapa umurnya ketika itu. Wajahnya masih amat muda. Setidaknya itulah yang masih ku ingat tentang dirinya. Tidak ku ingat dangan pasti kapan tepatnya aku menjadi benar-benar akrab dengannya. Yang aku tahu saat itu aku merasa bagai memiliki seorang saudara. Seseorang yang setidaknya dapat kuajak berbicara tentang pahit getirnya kehidupan yang aku hadapi. Aku bahagia. Penjara telah menjadi surgaku . Banyak hal yang diajarkan Amanda kepadaku. Filosofi kehidupannya tentang kematian, benar-benar meresap dalam pikiranku. “Kita adalah mayat yang berjalan” begitulah katanya. “Bahwa dunia adalah tempat kita merasakan kehidupan, setelah itu … semuanya adalah bangkai”. Aku benar-benar tidak memahami mengapa ada juga manusia yang percaya akan kehidupan setelah mati. Isapan jempol mungkin, atau sekedar alasan untuk mencari ketenangan jiwa setelah tak mampu lagi menghadapi kerasnya dunia. Dan bagiku …, serta bagi mereka yang telah berhasil menaklukkan kerasnya dunia..., kami tidak lagi membutuhkan harapan kosong yang demikian. Kehidupan adalah kehidupan, begitu pula tentang kematian. Manusia ditakdirkan untuk terus hidup, menambah usia kehidupannya dengan mangambil hak hidup orang lain – yakni mereka yang memang tak pantas hidup. Dan aku tentu saja bukan termasuk manusia yang terlahir untuk membantu kehidupan orang lain. Musuhku adalah mereka yang mengambil hak-hak hidup orang lain untuk menjadi terus hidup…. Dan temanku, adalah mereka yang secara dengan bodoh memberikan
  • 5. kehidupannya agar aku bisa terus hidup. Orang yang pertama kali aku bunuh…., tentu saja suamiku tersayang. Saat itu usiaku 19 tahun, dan 2 tahun berikutnya selama masa pernikahan adalah masa yang penderitaan yang terpanjang dalam hidupku. Sebagai seorang istri simpanan dari pria tengik dengan predikat “jawara kampung”, mungkin memang tak sepantasnya aku berharap banyak atas cinta suci ataupun kabahagiaan sejati sebagaimana yang sering ku dengar. Saru-satunya yang kuharapkan saat itu hanyalah keamanan dan perasaan terlindungi. Namun hal itu tak pernah ku terima. Kekerasan dan makian adalah makanan sehari-hari yang harus ku teguk seberapa pahitpun rasanya. Laki-laki itu - bajingan tengik jawara kampung - matanya buta karena nafsu, rela melakukan apapun demi sekecup ciuman. Aku bisa mendapatkan apa saja yang aku minta. Sungguh aku tak pernah perduli dengan semua gaun mahal ataupun dengan semua perhiasan yang melekat padaku. Satu-satunya hal yang aku perdulikan adalah menghabiskan semua harta suamiku hingga ia tak mampu lagi untuk hidup. Maka setelah menyadari jumlah hutang yang telah melilitnya, dan juga mungkin setelah menanggung derita batin akibat entah berapa kali memergoki diriku sedang bercumbu dengan pria lain. Dan setelah semuanya… akhirnya suamiku tersayang “sang jawara” mengakhiri hidupnya dengan meminum racun serangga. Tak ada apapun yang kurasakan kecuali kepuasan membalas penderitaan yang aku tanggung selama 2 tahun. Lalu aku berpindah dari satu laki-laki ke laki laki yang lain. Hanya untuk bertahan hidup… berharap agar aku tidak terlalu cepat mati sebelum dunia bisa mengenal bisa mengenal diriku Saat usiaku mencapai 28 tahun, kecantikan mungkin telah pudar dari wajahku. Dan tubuhku yang dulu menjadi dambaan, mungkin tak lagi di inginkan karena telah banyak terjamah. Aku terabaikan dari masyarakat, itulah saat kedua kali ku bertemu dengan Amanda. Ia telah banyak berubah sejak terakhir ku bertemu dengannya. Amanda bukan lagi seorang sipir perjara yang suka berteriak kasar dan memukul wanita lain tanpa banyak kata. Amanda telah menjelma menjadi seorang tokoh masyarakat yang disegani. Hidupnya telah sedemikian sempurna dalam kacamata manusia, walaupun aku berpikir semua itu tak lebih dari pengaruh yang ia dapatkan dari suaminya. Pun begitu pula pandangannya tentang kehidupan, “berpikirlah tentang kebaikan apa yang bisa kamu perbuat untuk orang lain” begitulah yang sering kali di katakannya padaku "Tuhan telah menetapkan, kita hanya tinggal mematuhinya"... begitu katanya di lain waktu. Hah !!! sampah apa pula yang keluar dari mulut Amanda yang dia coba jejalkan ke otakku???, Sejak kapan pula ia bertemu Tuhan?? Atau mungkin Tuhanlah yang telah menetapkan semua penderitaan hidupku ??? itukah yang ia coba sampaikan !? Sampah…. Yang kulihat hanyalah kemunafikan. “Manusia ditakdirkan untuk terus hidup, menambah usia kehidupannya dengan mangambil hak hidup orang lain – yakni mereka yang memang tak pantas hidup” itulah cara hidupmu yang sebenarnya, Amanda…. Dan itulah yang tengah kau lakoni saat ini !!! Namun demikian aku tetap mencoba mengikuti kehendak Amanda untuk berubah. Entah guna-guna apa yang telah di hembuskan ke dalam pikiranku, aku tak perduli…
  • 6. Dia tidak pernah bertanya tentang masa-masa yang telah kulewati. Dan akupun tak pernah berharap untuk mengungkapkan kembali jalan yang telah ku lalui.. Tapi kebencianku kepada dunia tak akan pernah aku lupakan!! Suatu saat akan kubalas semua penderitaan yang telah di timpakan kepadaku Amanda…….., aku tahu siapa dirimu sebenarnya Aku tahu siapa temanku…. Dan aku tahu hidup siapa yang ku inginkan saat ini…. Aku ingin semua yang kamu miliki saat ini, Amanda Suryani ================================================== Amanda Suryani, Lorong Manggarai Menjelang Subuh Hari masih teramat pagi. Bahkan masih belum tardengar kokok ayam jantan mengalun mengisi keheningan hari yang masih gelap. Aku terus berjalan gontai melintasi lorong-lorong sempit daerah Manggarai, Jakarta. Langkah demi langkah terasa amat berat, bagai memikul beban yang berat – aku terus memaksakan jasadku agar dapat sampai di ujung lorong. Sebuah perjalanan yang teramat jauh kurasakan. Rasanya amat mustahil bagiku untuk bisa menemukan akhir dari lorong yang panjang ini … batinku. Dibenakku terus berkecamuk permasalahan yang terus menghantui. Hingga tadi malam, saat-saat terakhir pikiranku masih berada di alam sadar – bayangan akan sosok tubuh Rani yang tegeletak lunglai masih terus melayang dalam pandanganku. Seakan terus melayang berputar-putar di sekitar rongga otakku dan tak mau berhenti hingga akhirnya berhasil merobohkan ketegaran dan kekuatan batinku …, entah aku yakin akan masih dapat terus hidup sampai hari esok. “Musuhku adalah mereka yang mengambil hak-hak hidup orang lain untuk menjadi terus hidup…. Dan temanku, adalah mereka yang secara dengan bodoh memberikan kehidupannya agar aku bisa terus hidup… ” Pikiranku berkecamuk mencoba menerka makna kata-kata yang disusun Rani dalam lembar-lembar pengakuannya. “Apa yang telah merasuki pikiranmu !!!”, makiku dalam hati. Ku ingat kembali rangkaian kata buah tangan terakhir dari temanku Rani… dan kali ini aku benar-benar menangis, membayangkan kehidupan yang telah Rani jalani selama ini. “Mungkin kematian adalah anugerah terindah yang bisa dimilikinya…” gumamku. Lalu semuanya mulai menjadi gelap… Apa yang sebenarnya telah terjadi ?? mengapa jalan takdir berbuat seperti ini ?? Aku… Amanda Suryani, tak pernah dapat memahami semua ini… Aspal lorong Manggarai perlahan mulai berubah berwana kemerahan. “Mungkin darah sudah mulai banyak keluar dari urat nadi yang tadi ku iris dengan potongan kaca….. aah rasanya aneh…” batinku. Seorang teman telah membunuhku dengan caranya sendiri… ================================================== Aku, Manggarai, Satu Jam Sebelumnya Ciiiiiiiiiiiiiit …………… Suara decit ban berpacu dengan degup jantungku, mengalahkan alunan musik keras Marylin Manson dari speaker mobilku. SIAAAAL!!! Biasanya saat tengah malam seperti ini saat lalu lintas sudah sedemikian lengangnya,
  • 7. aku bisa saja menerobos lampu merah perempatan Manggarai menuju Matraman. Tapi tidak dengan malam ini. Karena diantara perjuanganku melawan beban kantuk serta keinginan untuk segera berada di rumah, sedetik sebelum keputusanku menerobos lampu lalu linta yang berwana merah……., dari sudut mata kananku sempat tertangkap bayangan dua orang polisi sedang berpatroli lengkap dengan motor besarnya. “Alamaaak….. hampir aja kena tilang …” batinku. Namun meskipun aku berhasil menghentikan mobil tepat di garis batas lampu merah, tetap saja perasaan was-wasku belum hilang sepenuhnya. Suara decit rem mendadak di tengah malam di jalan protokol yang lengang – tak ayal lagi pasti menjadi perhatian polisi (yang mungkin perlu uang kopi untuk jaga malam???)… dan benar saja, sejurus kemudian salah seorang dari mereka mulai menatap ke arahku, mengambil sesuatu dari begasi motornya dan mulai berjalan tenang ke arahku seperti seorang kawan lama yang ingin menyapa sekedar bertukar kabar….. DAMN. Setelah mengambil nafas dalam-dalam, aku mencoba menenangkan diri dan bersikap wajar sedapat mungkin (tentu saja tidak lupa berdoa kepada Illahi Robbi, sambil memeriksa posisi dompet…, SIM, STNK dan perkiraan budget yang perlu di anggarkan. Aku pikir ini adalah prosedur standar jika pengemudi awam bertemu dengan polisi ). Mencoba mengalihkan perhatian, aku melayangkan pandangan ke luat melalui jendela kanan mobilku. Beberapa orang tukang ojek terlihat tersenyum iba ke arahku, “mereka pasti sedang membicarakan aku… “ pikirku dengan nyali yang semakin ciut. Dan aku hanya dapat membalas dengan senyum pasrah…. Tak mau larut dalam perang senyum yang jelas-jelas tidak membuatku bahagia, akupun mengalihkan pandanganku kesisi kiri jendela mobil. Seorang pria dan dua orang wanita tampak sedang bertengkar di depan sebuah motel murah. Entah apa yang sedang mereka ributkan, aku tidak terlalu memperhatikan. Sang pria kira-kira berumur 50 tahun, berperawakan sedang dan beberapa kali mengucapkan …maaf Amanda… maaf…..Seorang wanita yang terlihat lebih tua yang mungkin bernama Amanda tersebut terlihat begitu emosi sambil mengucap berbagai ucapan serapah kepada sang pria. Tak lupa iapun menunjuk kasar ke arah si wanita muda sambil berterial “Dasar wanita murahan kamu Rani!!!”.Sebaliknya si wanita muda yang di tunjuk justru bersikap tenang dan bahkan membalas dengan senyuman “Hahaha… pasti ketahuan selingkuh” batinku. Pikiranku mulai melayang. Jujur aku merasa bingung, apa aku harus merasa iba kepada si pria tua, yang mungkin setelah ini akan terus mendapat makian – atau iba kepada wanita yang mungkin istri sah si pria tua – atau iba kepada wanita muda yang menyia-nyiakan hidupnya demi seorang pria tua ???.….. Atau aku justru harus iba kepada diriku sendiri ???? Karena pada saat itulah aku menyadari bahwa seorang petugas polisi telah berdiri di sisi pintu kanan mobilku dan hanya berjarak sekitar 30 centi dari batang hidungku. MASYA ALLAH... Separuh nyawaku seakan melayang saat berpaling dan menatap wajah polisi di hadapanku berubah yang secara dramatis. Senyumnya menghilang secepat kilat. Tidak ada sapaan ramah selamat malam khas polisi ….. Dari pandanganku, tubuh polisi itu terlihat berguncang cukup hebat sebelum akhirnya
  • 8. ia berhasil menenangkan diri. Dan beberapa detik kemudian, ia telah berlari meninggalkan aku (yang sedang mempersiapkan strategi menghindari tilangan) APA ???. APA AKU GAK JADI DI TILANG ??? Sambil sedikit mengucap rasa syukur, mataku mengikuti arah petugas polisi yang berlari melintasi depan mobilku. Tepat di sisi kiri mobilku, dari sudut spion aku melhat seorang pria dan seorang wanita terbujur bersimbah darah, membuat merah warna trotoar dan sebagian body mobilku. Aku masih sempat melihat arah segar menyemprot keluar dari kerongkongan si laki-laki tua. Sementara di sebelahnya, seorang wanita muda tampak sedang memegang perutnya yang telah tertancap pisau. Samar-samar, aku lihat seorang wanita berlari memasuki salah satu lorong sempit Manggarai. Diam…. Hanya itu yang bisa aku lakukan.Aku baru saja melihat dua orang manusia merengang nyawa dengan cara mengenaskan. Dan besok aku harus buru-buru nyuci mobil, batinku... Posting cerpen by: satriaxxx Total cerpen di baca: 0 Total kata dlm cerpen: 739 Tanggal cerpen diinput: 4 Oct 2010 Jam cerpen diinput: 11:52 AM 1 Komentar cerpen Marco menatap Jendra dengan tatapan kosong dan kuyu . Ia ingin menghentikan apa yang berkecamuk diotaknya semenjak Jendra menelponnya dan menangis sambil bercerita tentang kepedihan hidupnya tiga malam yang lalu . Berbagai pertimbangan dan keraguan mulai muncul dibenak Marco. Tapi dia berusaha memaksa buah pikirannya untuk tetap fokus . Ia lalu menatap lagi pada Jendra yang sudah mulai mabuk . Parasnya masih menyiratkan aura kecantikan . Tapi dahi dan pipinya tidak sanggup menutupi kalau usianya sudah mulai tua. Ia terdiam saja mendengar ocehan Jendra yang kadang - kadang diselingi tawa . Entah apa yang dia ucapkan atau apa yang ia tertawai . Terhitung kira - kira sudah hampir satu bungkus batang rokok mampir ditangan kusamnya sejak mereka duduk bersama . Dan Marco masih tetap tidak tahu atau mendengar dengan jelas apa yang Jendra bicarakan .Jendra tersadar kalau Marco memperhatikan tingkah lakunya yang mungkin aneh . Ia lalu menatap ke mata Marco , dihisapnya rokok yang tinggal seperempat batang sebelum ia mulai tersenyum kecil dan berujar ," Marco...kekasih sejatiku ... mengapa kau terdiam...kamu teringat masa lalu kita ? "Marco hanya menjawab dengan senyum tipis , namun matanya menyiratkan jika Marco sebenarnya ingin berkata lebih dari sekadar senyuman . Tapi ada bongkah batu besar yang seperti menahannya untuk berbicara ." Atau kau merasa aku sudah tidak semenarik seperti dulu ya ..sampai kamu memandangiku seperti itu .. " tanya Jendra dengan manja .Kali ini dia berbicara sambil mendekat dan mengelus - elus paha Marco . Sejenak kemudian , Jendra lalu menyandarkan kepalanya pada bahu tipis Marco . Tangannya masih tetap terus bergerak - gerak . Mencoba memancing dengan nakal . Tapi Marco masih tidak meresponnya , ia hanya mencoba berpaling sambil menatap rambut dan batok kepala
  • 9. Jendra yang terlihat botak untuk ukuran wanita . Benaknya semakin berkecamuk dengan hebat .Ketika Jendra mendongakkan kepalanya dan memandang penuh harap pada Marco , barulah Marco tersentuh . Ia merasa kepalanya tiba - tiba pusing . Kilasan - kilasan masa lalu datang silih berganti . Bahagia ...sedih...perih...kata -kata indah , cacimaki ...umpatan...teriakan penuh sayang... dan yang lain datang bagaikan roll film yang diputar dengan kecepatan tinggi .Sampai sebuah momen yang sangat kuat dimemorinya tiba - tiba berhenti , tepat saat Marco hendak menarik nafas panjang akibat sesak otak yang ia alami . Momen itu berhenti dan bergerak melambat seperti kibasan kain dari seorang matador dalam film aksi yang diperlambat hingga 10 kali dari kecepatan aslinya .Seketika itu juga Marco mulai menunjukkan reaksinya , ia sentuh dengan lembut wajah Jendra dengan bahu telapak tangannya . Diusapnya semua bagian wajah perempuan itu . Jendra membalasnya dengan tatapan yang semakin sendu . Marco kemudian membenamkan kepala perempuan yang pernah dicintainya itu kedalam pelukannya dengan penuh rasa sayang . Jendra terlihat seperti anak ayam yang kembali dalam pelukan induknya . Ia pun merajuk manja . Marco kemudian membalas rajukan itu dengan menciumi kepala Jendra dengan penuh rasa sayang yang lebih dalam . Jendra memejamkan matanya , ia ingin menikmati momen ini lebih lama .Sedetik kemudian ..... Dhuar..... Dhuar....Satu dua letusan terdengar menyalak dari arah dua insan yang sedang berpelukan itu . Mata Jendra terbelalak . Tidak jelas antara kaget karena timah panas yang tiba - tiba merangsek paksa tubuhnya atau merasa kesakitan kala malaikat dengan kasar mencabut ruhnya dari tubuh yang mulai keriput itu . Marco membalasnya dengan tatapan serta raut gamang.. ia merasa tiba - tiba area matanya penuh dengan air . Ia memejam - mejamkan matanya , mencoba untuk menahan agar air matanya tidak sampai lebih deras lagi mengucur . Tubuh Jendra ia dekap lebih erat lagi . Marco seakan hendak menunjukkan jika ia tidak akan meninggalkan Jendra sampai semua proses menyakitkan itu berlalu . Saat tubuh Jendra hendak mengejang untuk terakhir kalinya ... dengan bola mata yang kian berair Marco mengucap lirih...." Aku pernah berjanji untuk membebaskanmu dari kepedihan hidup ... maafkan baru sekarang aku bisa menepatinya ... pergilah merpati yang patah sayapnya ... jalani kehidupan lebih baik di alam sana ...tinggalkan dunia yang tak lelah melukaimu ini "Bersamaan dengan hentakan terakhir , bayangan gadis bersayap patah yang tersirat di kepala Marco selama bertahun - tahun belakangan mulai menghilang . Senyum pun terlihat tergurat diwajah gadis itu . Menghapus tatap mata dan raut wajah kosong yang selama ini berdiam disana . Saat bayangan itu hendak sepenuhnya hilang , ia tersenyum pada Marco dan melambaikan tangannya. Marco pun tertunduk lemas .Malam itu .... Marco telah menepati janjinya pada Jendra seperti yang pernah ia sumpahkan 20 tahun yang lalu kala mereka masih jadi sepasang kekasih . Walaupun dengan cara yang lain , Marco benar - benar telah membebaskan Jendra dari kesemrawutan , kekotoran , frustasi , rasa lelah , perendahan diri , pencampakan , hinaan , umpatan , kemaksiatan ,serta ketidakmampuan untuk lepas dari belenggu kekacauan yang didapatkan semenjak ia dan Marco berpisah dan memutuskan untuk jadi pelacur Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini :
  • 10. Bukan Pilihan 18 April 2010 12.684 views 6 Comments “Kapan melamarku, Zul?” jemari Silvy bermain di atas lengan kananku. Ia duduk satu kursi bersamaku. Dua matanya tajam menatapku. Cahaya meredup, matahari siap kembali ke peraduan. Awan membusung merah di barat, angin berhembus menggoyang daun pepohonan depan kost. Aku diam, menatap seorang ibu menyapu halaman rumahnya, terkadang ibu itu melirik anaknya yang bermain kelereng bersama teman-temannya, wajahku berpaling dari Silvy. “Jawab, Zul!” Silvy menggoyang lenganku. Sejenak kupejamkan kedua mataku, mengingat saat Silvy kuantarkan men-daftar di salah satu perguruan tinggi, mengenang dua bulan lalu aku mendampinginya wisuda, berpose dengan keluarganya, juga kami berpose bersama, ia tersenyum lebar saat lampu kilat menyambar. Kubuka dua mataku, mencoba sadarkan diri. Aku masuk kuliah lebih dulu, tapi sampai sekarang aku masih betah berangkat ke kampus dengan tas di punggung. Entah, aku sendiri tak tahu sudah berapa tahun aku bertemu dosen di kelas, sudah berapa kali aku harus mengulang meteri-meteriku, bahkan aku tidak tahu sekarang semester berapa, mungkin sebelas, tapi kata Silvy tiga belas. “Tunggu aku wisuda, Silvy,” suaraku berat menjawab. “Kamu selalu berkata setelah wisuda, setelah wisuda. Tapi kamu sendiri tidak tahu kapan akan diwisuda!” Silvy sudah bosan. Ketika silvy masih kuliah, ia pernah memintaku untuk melamarnya. Permintaan itu semakin sering kudengar seiring ibunya bertanya tentang keseriusanku, tapi jawabanku sama, “setelah wisuda.” “Pasti aku akan wisuda, Silvy,” kucoba tenangkan dia. Wajahnya tampak mengkerut, ia benarkan duduknya, semakin menghimpitku, “Zul, wisuda memang selalu datang, tapi kalau kamu tidak pernah mengejarnya, tidak berusaha, sama saja,” hari ini Silvy yang sabar, ketus. “Aku janji, aku pasti datang melamarmu,” aku rajut jemari halusnya sambil menatap untuk meyakinkannya, aku tak ingin dia pergi dariku. “Janji, tak semudah itu berjanji, tapi tidak bisa kau tepati. Utangmu sudah banyak, Zul,” Silvy kesal, ia mengibas tanganku lalu pergi meninggalkanku terpaku di atas kursi, kerudungnya melambai dengan jalan setengah berlari terpacu emosi. Aku berdiri ingin memanggilnya kembali tapi ia tak mungkin mendengar, telinganya tak lagi terbuka. Silvy sudah hapal semua kata dariku, ia bosan, ia tak lagi butuh
  • 11. romantis-romantisan, tanganku menggantung, mulutku yang menganga kututup kembali. “Fuh…” kusandarkan tubuhku di tiang kayu, kepalaku tertunduk lesu, jemariku mengurai rambut, lidahku terasa membeku. Aku sendiri tak mengerti, kenapa aku tidak menyadari umurku semakin berkurang, dua puluh lima, waktu yang tepat untuk bersanding di pelaminan, bukan memeluk bantal, memegang obeng memoles sepeda motorku, tapi aku…ah…aku…kupijat keningku. *** Akhir pekan aku pulang ke rumah, Air Tiris. Ayahku sakit, jalannya sudah bungkuk, sedangkan tongkat tak lagi bisa membantu, ibu memapahnya ke kamar mandi, ayah tertatih-tatih berjalan, makan harus disuapi, nafasnya berat, tulang di tangan tampak ke permukaan, otot sisa kejantanan menyembul. Ayah lebih sering terbaring di ranjang menatap atap. Kusibak tirai kamar, kulihat mata ayah terpejam, dadanya turun naik, sebagian tubuhnya tertutup selimut. Aku duduk di sampingnya, kugenggam tangan ayah setelah menciumnya, mataku berkaca menatap wajah ayah yang teronggok layu di atas bantal, semakin lama mataku melihat ayah semakin banyak doa yang berkelebat di bibir. Ibu sedang menjahit, aku ambil posisi duduk sebelahnya di ruang tamu, “Bu….” “Apa?” ibu membenarkan kacamatanya. “Zulhamdi mau melamar Silvy, bu,” aku jujur. Seketika itu ibu berhenti meneruskan jahitannya, ”Kamu belum selesai, Zul, dan menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan.” “Zul sudah berpikir berkali-kali,” aku melihat anak kecil bermain sepeda dari lubang jendela. Ibu melepas kacamatanya, menatapku dalam-dalam, “Tanyakan pada ayahmu.” Aku diam, kusandarkan tubuhku sembari kuusap wajah. “Ukh…ukh…ukh…” suara batuk menyeruak, aku berlari ke kamar ayah sebelum ibu berdiri. “Yah,” seketika kulihat ayah terbangun dari tidurnya. Segelas air putih kuberikan padanya. Ayah menyeret tubuh, ia ingin duduk, kusiapkan bantal belakang punggungnya, ayah langsung menghabiskan segelas kecil air putih.
  • 12. “Sudah lama, Zul?” suara ayah serak. “Zulhamdi baru datang, yah,” kuletakkan gelas di atas meja kecil. Ayah menghirup nafas, tangannya menarik selimut, “Bagaimana kuliahmu, Zul?” Kalimat itu selalu menyapa seperti salam, namun matanya tak pernah melihatku, ayah sudah bosan dan aku hanya bisa diam. Sekilas kupandangi guratan kecewa di wajahnya, “Zul ingin melamar Silvy, yah,” aku beranikan diri. Ayah tak terkejut, matanya lurus menatap bias ke jemari kakinya. sejenak ayah menunduk, “Ukh…ukh…ukh…” suara batuk kembali terdengar, “Ayah tidak melarangmu, tapi sisa umur ayah hanya untuk menunggu kamu lulus S1.” Ayah menoleh ke arahku, “Ayah sudah puas dengan tiga cucu dari kakakmu, sudah bahagia mendapat dua menantu, tapi semua itu tak berarti jika kamu belum lulus, Zul. Jangan buat ayah selalu datang dalam mimpimu menanyakan kelulusanmu.” Hatiku bergetar mendengar suara serak ayah. “Zul, kesempurnaan kebahagiaan orang tua ada pada anaknya.” Mulutku terkunci, semua keinginanku pudar, semua kata ayah merasuk mengisi setiap relung dalam ragaku, sekujur tubuhku merenung. *** Aku berjalan di antara rak buku perpustakaan, langkahku merambat pelan mengikuti mataku yang menelisik setiap judul, kadang aku berhenti, menarik buku ke luar dari barisannya, tapi tak jarang kukembalikan. Beberapa hari ini aku terjebak di sini. “Zulhamdi, Silvy datang,” salah satu temanku memberi tahu. Kututup buku, kuletakkan di meja paling pojok, setengah berlari aku ke luar, demi Silvy kucoba menjadi lelaki yang sempurna. Kuhampiri Silvy, ia duduk di kursi panjang bawah pohon sawit depan gedung perkuliahan, aku duduk di sampingnya, “Sudah lama, Silvy?” Silvy menggelang, “Gimana, Zul? ibuku selalu bertanya. Kamu tahu sendirilah, Zul, bagaimana orang tuaku.” Seketika teringat setiap kata dari ayahku, tubuhnya, suara batuknya, bagaimana ia terbaring. Kutatap mata Silvy, kulihat ia berharap aku menjawab, “Tunggu aku, Silv.” “Bosan aku mendengarnya, Zul,” wajah silvy berpaling dariku.*** Aidillah Suja, Anggota Komunitas Alinea-1 FLP Pekanbaru
  • 13. Titipan Seorang Pelaut 21 Maret 2010 10.640 views 2 Comments AYAHMU adalah seorang pelaut. Ia telah mengarungi tujuh samudera di dunia. Laut adalah kehidupannya. Sebelum Ayahmu bertemu dengan ibu, dia hanya mengisi kehidupannya di laut. Katanya lautlah yang telah membesarkan dia. Dari sebelum Bandar Melaka menjadi bandar yang ramai dikunjungi oleh para pelaut-pelaut dunia, dia telah biasa hidup di laut. Bahkan laut telah menjadi sahabatnya. Itulah sedikit sketsa sekilas cerita tentang Ayahku yang tidak pernah aku temui itu. “Tapi, Mak, mengapa Mak tidak pernah mengajari aku sedikitpun tentang laut? Sedangkan darah dagingku adalah seorang pelaut ulung?” “Hal itulah yang tidak aku inginkan. Karena jika kau menjadi seorang pelaut, maka Mak akan sulit untuk bertemu dengan kau. Pasti kehidupan kau hanya ada di laut. Apalagi di pelabuhan Malaka ini telah ramai sekali Pedagang-pedagang dunia yang singgah, jalur untuk kau menjadi seorang pelaut akan sangat mudah,” “Lalu bagaimana Mak bertemu dengan ayah, sedangkan hidup ayah hanya ada di laut?” “Itulah keajaiban cinta, nak. tidak ada seorangpun yang bisa menduga, takdir cinta itu sudah ditentukan oleh yang maha kuasa, siapa menduga kalau Mak bisa menikah dengan seorang pelaut, sedangkan Mak kau sendiri berasal bukan dari keluarga pelaut.” Cerita itu yang selalu Ibu ceritakan kepadaku. Pada akhir hikayatnya, ia pasti akan mengatakan kalau cintanya kepada ayahku karena keajaiban semata. Dan ia akan mengatakan kalau itu sudah takdir yang tidak mampu diubah oleh manusia manapun, termasuk dirinya sendiri. Aku memang tidak pernah melihat wajah ayahku. Tapi kata Ibuku, wajahku mirip sekali dengan wajah ayahku. Sifat dan karekternya pun sangat mirip denganku. “Jika kau penasaran dengan ayahmu, maka segeralah kau pergi ke Kubangan, maka cerminan wajah ayah kau ada pada dirimu.” Bandar Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis adalah Bandar yang sangat maju. Semua pedagang-pedagang dari Asia dan Eropa selalu singgah untuk membeli
  • 14. rempah-rempah yang didatangkan dari Nusantara. Rempah-rempah yang diperdagangkan adalah berupa pala dan lada. Pedagang-pedagang yang datang adalah dari Arab, China, India dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Spanyol dan Prancis. Para pedagang itu memiliki kapal-kapal layar yang sangat besar. Apalagi kalau kapal dagang itu milik Inggris. Dari kejauhan sudah sangat kelihatan megahnya. Mungkinkah Ayahku bekerja di salah satu kapal-kapal itu? Tapi ibuku tidak pernah menjawabnya. Dia hanya diam seribu bahasa. Ketika pertanyaan itu kulontarkan pada ibu. Entah mengapa ia pasti akan berlalu. Ayahku hidup atau mati pun aku tidak pernah tahu. Dan akhirnya pada suatu malam itu ketika aku desak, ibuku akhirnya menceritakan tentang ayahku dan ke mana sekarang ia pergi sehungga tidak pernah kembali. ***** “Aku akan kembali Dinda, tunggulah aku di Dermaga ini hingga peperangan ini selesai. Sudah tidak ada cara lain lagi untuk memerangi mereka, “Pantang melayu hilang di Bumi!” Selama ini Malaka adalah negeri yang damai, tidak ada satupun peperangan yang terjadi. Meski aku hanya seorang Lanun, tapi aku tetap tidak rela jika Malaka bisa dikuasai oleh bangsa lain.” Perempuan yang dipanggil Dinda hanya diam. Tapi air matanya tidak bisa ditahan lagi. Bulir-bulir air mata itu menandakan kepedihan yang sangat dalam. Sementara sekarang ia sedang hamil tua. Laki-laki itu pergi ke Pantai. Beberapa orang temannya sudah me-nunggu. Ia masih menatap kepergian suaminya. Dengan hanya menggunakan sampan biasa, ia dan rakan-rakannya terus pergi. Di tengah laut, Kapal milik raja sudah ada yang berlabuh. Para angkatan laut Kerajaan Melaka telah menyiapkan segala perlengkapan perang untuk memerangi angkatan laut Portugis. Di Perairan selat Malaka Ratusan Kapal Portugis telah berlabuh di tengah lautan. Mereka tinggal menunggu arahan untuk menakluki kota Melaka. Pada awalnya sang raja tidak mempercayai jika Portugis akan menyerang kota Malaka. Tapi setelah mendengar berita bahwa Pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara telah berhasil dikuasai oleh Portugis. Menanggapi itulah sang Raja memilih untuk mencegah pasukan Portugis memasuki kota Malaka. Raja mengumpulkan semua angkatan laut Malaka agar segera bersiap. Perang akan terjadi. Ternyata berita itu sampai di telinga rakyat jelata. Sehingga rakyatpun membuat inisiatif untuk ikut berperang melawan Portugis meski dengan hanya menggunakan sampan biasa. Mereka tidak gentar. Mereka tidak rela jika bumi Melayu jatuh ke tangan Portugis. Maka berita itu juga sampai ke telinga Awang. Ia adalah seorang lanun. Biasa membajak kapal-kapal pedagang dari Arab, China juga dari Nusantara. Mendengar berita penyerangan Portugis, naluri cinta tanah airnya menggebu. Ia dan beberapa rekan Pembajaknya pun merencanakan untuk ikut dalam peperangan ini. Merasa laut adalah rumahnya, maka hanya ada satu kata yang harus mereka pegang, “Perang.” Dan laut akan memberi kemenangan pada mereka. Alhasil merekapun ikut dalam kumpulan rakyat jelata dengan menggunakan sampan biasa, di tengah laut itu dipenuhi oleh sampan-sampan rakyat biasa. Mereka semua
  • 15. satu hati untuk memerangi Portugis. Hati mereka sedikitpun tidak gentar ketika melihat kapal-kapal perang Portugis yang telah menyambut mereka dengan mengarahkan moncong-moncong meriam ke arah mereka. “Seraaaang!!!!” seru Laksamana. Maka dengan semangat menggebu mereka mengayuhkan sampan menuju kapal-kapal Portugis yang juga mengeluarkan tembakan meriam ke arah mereka. Letusan peperangan angkatan laut itupun pecah dengan masing-masing pihak saling serang. Awang pun menyerang membabi buta. Dengan sebilah keris ia bisa membunuh satu persatu pasukan Portugis ketika sampan-sampan mereka berhasil merapat ke salah satu kapal Portugis dan menyerang seluruh awak yang ada dalam kapal itu. Dan akhirnya satu buah kapal Portugis berhasil mereka takluki. Mereka tidak memberi ampun kepada tentara-tentara Portugis yang ada dalam kapal itu. Semuanya mati mereka bunuh. “Horeeeeeeee!!!” mereka berseru beramai-ramai. Awang pun ikut dalam euforia itu. Dari kejauhan laksamana hanya tersenyum melihat kapal itu berhasil ditakluki. Ketika semua larut dalam euforia itu, tiba-tiba sebuah tembakan Meriam menuju ke arah mereka. Dan tanpa sepengetahuan mereka dua kapal Portugis telah merapat ke arah mereka langsung melepaskan tembakan betubi-tubi menggunakan meriam- meriam yang ada di sekelilingi kapal-kapal itu ke arah mereka. Akhirnya Awang dan rekan-rekannya hanya memberi perlawanan tidak berarti. Mereka kocar-kacir dalam kapal tersebut. Sementara tembakan terus saja di lepaskan oleh tentara-tentara Portugis. Laksmana yang melihat hal itu mencoba membantu, tapi mereka pun ditubikan dengan tembakan-tembakan dari kapal Portugis yang lain. Kapal yang dinaiki Awang semakin mendekati masa yang kritis. Para awak di dalamnya banyak yang menjadi Korban tembakan dari meriam-meriam Portugis. Awang yang melihat keadaan yang tidak berimbang itu semakin panik. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dan lambat laun kapal yang dinaikinya itu tenggelam dan akhirnya hilang di atas permukaan laut bersama Awang. Sementara angkatan laut kerajaan terus berperang sampai titik penghabisan. Terus berusaha melawan tentara Portugis dengan segala upaya. ***** “Kekalahan angkatan laut Kerajaan Malaka membuat Potrugis berhasil memasuki kota Malaka dan menaklukkan seluruh kerajaan Malaka. Sejak itu Bandar Malaka tidak ramai dikunjungi pedagang-pedagang negeri lain, karena Portugis telah menguasai pelabuhan Malaka dan meminta upeti begitu tinggi. Mak hanya mendengar berita dari orang-orang yang berhasil lari dari peperangan itu dan mengatakan mungkin Ayahmu ikut mati dalam peperangan tersebut. Tapi keyakinan Mak mengatakan bahwa Ayahmu tidak mati. Dia pernah mengatakan kalau laut adalah sahabatnya, tidak mungkin sahabat tega membunuh sahabatnya sendiri. Lagi pun Mak tidak pernah menemui jenazah ayahku hingga sekarang.” Ibuku mengakhiri ceritanya dengan air mata. Aku sendiri merasa bangga mendengar cerita ibuku, walaupun pada awalnya ayahku adalah seorang Lanun, tapi ia telah mengorbankan raganya untuk membela Bandar Malaka jangan sampai jatuh ke tangan Bangsa lain. Sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, kerajaan-kerajaan
  • 16. Nusantara semuanya mengumumkan perang kepada Portugis. Tapi aku sendiri setelah mendengar cerita ibuku, semangat menggebu untuk menjadi Pelaut merasuki seluruh ragaku. Keinginan itu belum aku utarakan pada ibu karena aku tahu ia pasti melarang aku menjadi seorang Pelaut. Tapi aku akan berusaha membujuknya. Karena aku adalah anak seorang pelaut, pembajak sekaligus pahlawan yang tidak di kenal di Bandar Malaka.*** Muhammad Nazar Albani Pelajar, tinggal di Selatpanjang