SlideShare a Scribd company logo
1 of 179
Download to read offline
1
BUDI HATEES
JALAN
MENUJU
BAHAGIA
Himpunan Sepuluh Cerita Pendek
Bandar Lampung
2016
2
Untuk Anakku
Raraz Asghari Ghiffarina Hutasuhut (Aaz)
Ratu Raghina Zakhirah Hutasuhut (Nina)
3
Daftar Isi
TENTANG PENGARANG
PENGANTAR PENGARANG
1. Dalam Balut Kematian
2. Jalan Menuju Bahagia
3. Perempuan-Perempuan Ayah
4. Pemecah Batu
5. Qodam
6. Gajah Berkaki Tiga
7. Penggali Emas Tambang Liar
8. Kleptomania
9. Lubang Tambang
10. Bunga Pekuburan
RIWAYAT PUBLIKASI
4
Riwayat Penulis
BUDI HATEES lahir 3 Juni 1972 di
Sipirok (Tapanuli Selatan), Sumatra
Utara dengan nama Budi Parlindungan
Hutasuhut.
Menulis cerpen sejak masih
sekolah di SMP Negeri Sipirok pada
dekade 1980-an dan disiarkan di
berbagai media cetak di Sumatra Utara
dan Jakarta seperti Taruna Baru, Demi Massa, Mimbar
Umum, Waspada, Medan Post, Sinar Harapan, Simphony,
Swadesi, dan sebagainya.
Tahun 1991 melanjutkan studi ke Fakultas Ilmu
Komunikasi, Jurusan Ilmu Jurnalistik, Institut Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Sambil bekerja sebagai
wartawan, menulis sajak, esai, cerpen, di berbagai media
cetak seperti Suara Pembaruan, Media Indonesia, Kompas,
Koran Tempo, Suara Karya, Tabloid Nova, Tabloid Mutiara,
Majalah Horison, Majalah Keluarga, Majalah Femina, Majalah
Anita, dan lain sebagainya.
Tahun 1996 pindah ke Lampung, bekerja sebagai
jurnalis, pengajar, peneliti, dan konsultan media. Menjadi
pemateri dalam sejumlah diskusi dan seminar masalah
jurnalisme dan kebudayaan. Ketua Program Studi Ilmu
Komunikasi di FISIP Universitas Saburai Bandar Lampung
dan dosen luar biasa matakuliah ilmu komunikasi dan
jurnalistik di FISIP Universitas Lampung, dan dosen di
Universitas Bandar Lampung (UBL).
Bersama sejumlah intelektual di Lampung
mendirikan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung pada
2004 yang bekerja melakukan riset, kajian, dan sosialisasi
atas ragam ekspresi kebudayaan Lampung dengan out put
5
berupa penerbitan buku lewat usaha non-profit pendirian
Penerbit MataKata. Pernah jadi Ketua Komite Sastra
Dewan Kesenian Lampung 2004-2007 dan pengurus
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung.
Telah menghasilkan buku berupa kumpulan cerpen,
sajak, esai, dan hasil penelitian antropologi. Dua buku
tentang kebudayaan Lampung, Dilema Orang Lampung:
Membangun Tradisi dengan Sikap Tradisional (Penerbit
MataKata, 2005) dan Kematian Pemimpin Adat: Politisiasi
Budaya Menjelang Pilkada (Penerbit MataKata, 2007) sudah
terbit.
Sehari-hari bekerja sebagai peneliti di Institute
Matakata sambil menulis opini di berbagai media cetak.
Kontak email: budi.hatees@gmail.com, Phone: 0852 6918
5553 dan 0812 7160 1722. @budi_hatees, dan Facebook:
@budiphatees.
Buku antologi Bersama dan Tunggal
Narasi Sunyi (Kumpulan Puisi Tunggal diterbitkan
Panggung Sastra, 1996), Graffiti Gratuted (Kumpulan puisi
diterbitkan Yayasan Multimedia Sastra, 2000), Konser di
Ujung Pulau (Kumpulan puisi diterbitkan Dewan Kesenian
Lampung, 2004), Bersepeda ke Bulan (Kumpulan puisi
diterbitkan Indopos, 2014), Pelabuhan Merah (Kumpulan
puisi diterbitkan Sagang Inter Media Pekanbaru, 2015),
Laskar di Garis Belakang (Diterbitkan Penerbit Matakata,
2009), Ketika Duka Tersenyum (Kumpulan cerpen
diterbitkan FLP Jakarta, 2001), Ini Sirkus Senyum
(Kumpulan cerpen diterbitkan Yayasan Bumi Manusia,
2001), Cermin dan Malam Ganjil (Kumpulan cerpen
diterbitkan FBA Press Jakarta, 2002), Pun (Manuskrip
novel, sedang dipersiapkan untuk diterbitkan oleh Penerbit
Matakata), Melabuhkan Kesumat (Kumpulan Cerpen
6
diterbitkan Yayasan Sagang Pekanbaru, 2012), Tulisan
yang Tak Enak Dibaca Jilid I dan II (Diterbitkan Penerbit
Matakata tahun 2008), Ulat di Kebun Polri (diterbitkan
Penerbit RAS Grup Bina Swadaya, 2013), Merindu Tunjuk
Ajar Melayu (Kumpulan esai sastra dan kebudayaan
diterbitkan oleh Yayasan Sagang Pekanbaru, 2015), dan
Pelabuhan Merah (Kumpulan Puisi Riau Pos diterbitkan
Yayasan Sagang Pekanbaru, 2015).
7
Kumpulan I
HATOBAN
8
Denggan
USIA DENGGAN BARU LIMA TAHUN. Masih sangat
kecil. Tapi sudah ada tanda-tanda bahwa kelak ia akan
tumbuh jadi bajingan seperti almarhum ayahnya,
Marapande. Ia sering pulang membawa berbagai jenis
mainan. Entah dari mana barang-barang itu diperolehnya.
Bukan mainan yang biasa dimiliki anak-anak di
kampungmu, yang bisa dengan mudah dibuat seperti saat
masa kecilmu membuat mainan dari berbagai tanam-
tanaman yang tumbuh di sekitar kampung.
Mainan-mainan yang dibawanya buatan pabrik.
Mainan-mainan itu pun masih bersegel dalam kotaknya,
tandanya masih baru. Kau bisa memperkirakan berapa
harga mainan-mainan buatan pabrik itu. Bukan itu saja,
mainan-mainan seperti itu hanya bisa diperoleh di kota.
Usahamu membujuk agar ia memberitahu dari mana
mainan-mainan itu diperolehnya, sama sekali tidak
ditanggapinya. Anak itu bersikap masa bodoh. Apapun
yang kau katakan tidak pernah masuk ke telinganya. Ia
malah sibuk memainkan mainan-mainan itu. Ia sama sekali
tak menganggapmu.
Awalnya kau masih bersabar menghadapinya,
bersikap lembut dan membujuk dengan berbagai cara agar
ia mau memberitahu dari mana asal mainan-mainan yang
ia bawa ke rumah. Kau juga mengatakan, mainan itu harus
dikembalikan kepada pemiliknya. Kau singgung seolah-olah
pemilik mainan itu sedang bersedih karena kehilangan
barang-barangnya.
”Ini punyaku!” Ia berkata sambil terus memainkan
mainannya.
9
“Punyamu bagaimana?” Nada bicaramu meninggi.
“Mainan ini harganya mahal,” katamu. “Ompung tak
pernah membeli mainan seperti ini untukmu.”
Ia tetap memainkan mainan-mainannya. Kau tak
hilang akal. Kau coba menakut-nakutinya. Kau bilang
pemilik mainan itu akan mencarinya, lalu menemukannya,
kemudian memukulinya. Tapi, usaha seperti itu tidak
mempan. Anak itu tak punya rasa takut. Ia malah bersikap
seakan-akan kau tidak pernah ada.
Akhirnya kau tak bisa menahan diri. Kau rampas
mainan itu dengan kasar, lalu menyembunyikannya. Anak
itu menatapmu dengan sorot mata yang tajam. Sama sekali
tidak menangis. Mata itu begitu menakutkan. Seakan-akan
anak itu ingin melahapmu dengan tatapannya. Kau merasa
ditantang, lalu memberinya sebuah tamparan.
Anak itu diam saja.
KETIKA KALI PERTAMA AKU AJAK DENGGAN KE
RUMAHKU, dan Denggan bertemu dengan kedua orang
tuaku, temanku ini bisa dengan cepat mengambil hati
orang dewasa. Mungkin karena wajahnya yang lucu dengan
pipi tembam dan tatapan selalu sayu akibat kelopak
matanya yang cembung. Ia juga sangat sopan, selalu
bertutur sapa ketika bicara atau menjawab pertanyaan yang
diajukan ayah maupun ibuku. Kadang ia menjadi sangat
lucu. Apapun yang diucapkannya mengundang tawa kedua
orang tuaku, meskipun ia tidak berniat melucu.
Tapi, ketika Denggan sudah pulang, kedua orang
tuaku memarahiku. Mereka melarangku berkawan akrab
dengan Denggan. Kata ayah, Denggan itu punya darah
seorang penjahat. Ia memperolehnya dari ayahnya,
Marapande.
10
Tentu saja aku membantah karena tidak kenal
dengan Marapande. Ayah kemudian bercerita, seumur
hidupnya Marapande selalu menyusahkan orang lain.
Pekerjaannya mencuri, apa saja dicurinya. Kalau
Marapande sudah berniat akan mencuri di sebuah rumah,
tak akan ada yang mampu menghalangi niat itu. Sekalipun
rumah itu dijaga ratusan orang, ia akan tetap bisa masuk
tanpa ada yang mengetahuinya.
Kemampuan Marapande itu diperoleh dari
leluhurnya, yang memang mewariskan ilmu mencuri itu
kepada anak keturunannya. Meskipun begitu, tak semua
orang di dalam keluarga Marapande punya ilmu mencuri.
Hanya Marapande yang menguasai ilmu mencuri itu,
padahal mereka ada tujuh orang bersaudara.
Marapande sendiri tidak pernah mengenal
ompungnya, apalagi leluhurnya. Ketika ia lahir,
ompungnya sudah lama meninggal. Ia tidak pernah
menerima ilmu mencuri itu langsung dari ompung apalagi
leluhurnya. Konon pula dari ayahnya, yang bukan seorang
pencuri.
Ayah Marapande itu seorang yang taat beragama.
Semua orang menghormatinya karena wibawanya.
Meskipun orang tahu ia punya darah pencuri, tapi ia tidak
pernah mencuri. Ilmu mencuri itu tidak menitis ke
darahnya. Ilmu itu justru menitis kepada Marapande.
“Denggan itu satu-satunya anak Marapande. Anak
itu pasti mewarisi ilmu mencuri itu,” kata ayah.
Aku tidak mudah dipengaruhi ayah, karena Denggan tidak
pernah aku lihat mencuri. Lagi pula untuk apa Denggan
mencuri, ia bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya
hanya dengan memikirkannya. Aku sering menyaksikan
ketika Denggan ingin mobil-mobilan, misalnya, pada saat
itu juga sebuah mobil-mobilan sudah ada di tangannya.
Entah dari mana mobil-mobilan itu datang. Tiba-tiba saja
11
sudah digenggamnya. Seperti sihir, segala sesuatu terjadi
begitu saja.
KAU BERPIKIR KALAU DENGGAN AKAN JERA
DAN TIDAK LAGI membawa pulang mainan-mainan
baru ke rumah. Tapi dugaanmu keliru. Ia semakin sering
membawa mainan ke dalam rumah. Setiap kali ia bawa
mainan-mainan itu, setiap saat itu pula kau memarahinya.
Sikapnya tetap seperti biasa. Kemarahanmu tidak berarti
apa pun baginya.
Sejak itu kau tak pernah bertanya lagi, langsung
menyita mainan-mainan itu. Kau menyembunyikannya.
Kau berharap suatu saat ada orang yang mengaku
kehilangan mainan, dan kau tinggal memberikan mainan-
mainan itu. Tapi, sejak pertama kali mainan-mainannya
kau sita, tidak pernah ada yang datang mengeluhkan
kehilangan mainan-mainan itu. Kau tetap menunggu.
Berhari-hari, sepekan pun lewat. Tidak ada yang datang.
Sebulan pun berlalu. Tetap tak ada yang datang. Sementara
ia tetap pulang membawa mainan-mainan baru.
Setiap kali mainannya kau sita, besoknya ia pulang
membawa mainan baru. Mainan-mainan yang kau sita itu
semakin lama semakin banyak. Lemari tempat kau
menyembunyikannya sudah penuh. Kau kehabisan tempat
untuk menyembunyikannya.
Kau pikir anak itu sudah keterlaluan. Kalau
dibiarkan, seluruh rumah akan penuh mainannya. Suatu
saat orang akan melihat mainan-mainan itu. Mereka akan
heran. Sangat pasti, mereka akan menyebut Denggan
mewarisi perilaku buruk Marapande.
Marapande!? Setiap kali ingat Marapande, kau
menyesal punya menantu seperti dirinya. Mestinya kau
melarang Nauli, anak gadismu, menikah dengan laki-laki
12
itu. Tapi, ketika pertama kali Marapande mendatangimu
dan mengatakan niatnya untuk menikahi Nauli, kau justru
kagum pada keberaniannya mengungkapkan isi hatinya.
Kau tak kuasa menolak, karena kau percaya laki-laki yang
punya keberanian seperti itu pastilah laki-laki yang
bertanggung jawab.
Memang rasa percayamu itu tidak keliru. Marapane
sangat bertanggung jawab. Ia menghidupi Nauli layaknya
seorang suami menghidupi keluarganya. Cuma, kau tak
pernah tahu bagaimana cara Marapande menghidupi
keluarganya. Tidak pernah jelas apa pekerjaannya. Ia jarang
keluar rumah, tapi apa pun keinginan Nauli selalu bisa
dipenuhinya.
Segala sesuatu kemudian terungkap ketika salah
seorang warga mengaku memergoki Marapande sedang
mencuri di rumahnya. Tidak jelas betul kabar itu. Tapi,
seluruh warga langsung percaya, lalu melabrak Marapande
ke rumahnya. Mereka kemudian menyeret Marapande ke
luar. Entah siapa yang memulai, warga menghakimi
Marapande. Selang beberapa menit, Marapande tewas.
Cuma, setelah seluruh isi rumahnya diperiksa, ternyata
tidak satu pun barang yang hilang milik orang itu
ditemukan di dalam rumah. Nauli sendiri mengatakan,
pada saat peristiwa pencurian itu terjadi, ia bersama
Marapande semalaman.
Nauli yang sedang mengandung anak yang
kemudian setelah lahir diberi nama Denggan, shock
mengetahui kematian Marapande. Sejak itu tubuhnya
menjadi lemas, sakit-sakitan. Ketika ia melahirkan anaknya,
tubuhnya sangat lemah. Ia meninggal sebelum anaknya
lahir. Anak itu kemudian kau beri nama Denggan, yang
artinya baik. Kau beri nama itu sebagai doa agar kelak
Denggan seperti namanya.
13
AKU PERCAYA DENGGAN ITU PUNYA
KEMAMPUAN SIHIR. Dengan kemampuannya, ia
mewujudkan apa saja yang diinginkannya. Tapi, kau malah
selalu mencurigainya, sama seperti kedua orang tuaku, juga
sebagian besar warga di kampung kita. Kau menuduhnya
mencuri kalau ia pulang membawa main-mainan ke rumah.
Tanpa mau mendengarkan penjelasannya, kau langsung
menyita dan menyimpannya. Padahal, jangankan mereka,
orang tua mereka pun tidak pernah melihat langsung
Denggan mencuri.
Aku jatuh kasihan pada Denggan. Sikapmu sering
kasar padanya, padahal ia hanya punya dirimu. Tidak ada
seorang pun yang percaya kalau ia tidak pernah mencuri.
Semua orang percaya ia seorang pencuri.
Kau harus memikirkan bagaimana ia mau mencuri?
Ia jarang keluar rumah. Tidak punya banyak kawan. Hanya
aku kawannya, karena yang lain menolak berkawan.
Mereka takut dimarahi orang tua masing-masing. Tapi
kalau Denggan memberi izin agar mereka memainkan
mainan-mainannya, barulah mereka mau berkawan dengan
dirinya.
Cuma, Denggan kurang suka berkawan dengan
mereka. Bagi Denggan, mereka berkawan bukan karena
ingin berkawan, tetapi karena ingin memainkan mainan-
mainannya. Ia ingin perkawanan dengan siapa pun terjalin
karena hati, bukan karena mengharapkan pamrih. Denggan
juga tahu, kawan-kawannya sering ikut-ikutan orang tua
mereka, menjelek-jelekannya dan menuduhnya sebagai
pencuri.
Hanya aku satu-satunya orang yang menjalin
perkawanan secara tulus. Bagiku, Denggan itu anak yang
baik. Sangat baik. Terlalu baik, malah. Ia mau memberikan
mainan-mainannya kepadaku. Gratis. Aku yang tidak
pernah mau menerimanya, karena takut kedua orang tuaku
14
akan bertanya-tanya darimana mainan-mainan itu aku
peroleh. Sudah tentu aku tak tahu harus menjawab apa.
Tidak mungkin aku katakana mainan itu diberikan
Denggan. Mereka akan menyangka kalau aku sudah ikut-
ikutan mencuri seperti anggapan mereka tentang Denggan.
Aku lebih suka memainkan mainan-mainan itu
bersama Denggan. Kalau kami sudah bosan, Denggan akan
membawa pulang mainan itu ke rumahnya. Seperti biasa,
kau akan marah padanya dan menyita mainan itu. Denggan
akan menceritakan semuanya padaku.
“Kau harus sabar,” kataku.
Kau tahu, Denggan memang penyabar. Ia terima
apapun yang kau tuduhkan meskipun ia tidak pernah
melakukannya. Itu sebabnya ia sering bersikap seolah-olah
tak mendengarkan ketika kau menasehatinya.
Ia mendengarkan semua perkaaanmu, juga caci-
maki yang kadang tidak bisa kau kendalikan. Hatinya sering
sakit. Tapi ia diam saja.
Sebetulnya ia kasihan kepadamu. Kau tidak pernah
tahu kemampuannya yang luar biasa, tapi kau sudah
memvonisnya lebih dahulu. Baginya, kau sama saja seperti
orang lain, yang menghukumnya tanpa alasan jelas seperti
juga mereka menghukum ayah dan ibunya tanpa alasan
jelas.
Sebagai satu-satunya orang yang dimilikinya,
seharusnya kau mendukungnya. Tapi tidak. Kau malah
selalu ketakutan kelak ia akan seperti almarhum ayahnya.
Rasa ketakutanmu itu luar biasa. Kau selalu curiga
kepadanya. Puncak kecurigaanmu malah tak masuk akal.
SUATU SORE, SAAT INGIN BERTEMU DENGGAN
karena sudah lama tidak pernah melihatnya, aku lihat kau
mengambil lampu minyak yang disangkutkan di dinding
papan rumahmu. Di luar malam mulai merambat. Dengan
15
lampu di tangan, kau melangkah ke jendela, menutupkan
daun jendela. Setelah memastikan terkunci rapat, kau
melangkah ke pintu rumah dan memastikan bahwa pintu
itu juga terkunci rapat.
Setelah itu kau melangkah ke pintu yang
memisahkan ruang tamu dengan dapur. Kau berhenti
sebentar ketika tubuhnya sejajar dengan sebuah foto
berbingkai kayu yang ditempel di dinding. Kau pandangi
foto yang berisi seorang perempuan muda dan seorang anak
perempuan yang masih berumur lima tahun. Itulah foto
almarhum istrimu, Dumasari, bersama almarhun anak
gadismu, Nauli. Mendadak air matamu menggenangi
kelopak mata. Buru-buru kau tinggalkan foto itu.
Kau sibak korden bercorak bunga-bunga yang jadi
pemisah ruang tamu dengan dapur. Dapur perlahan-lahan
mulai terang oleh pendaran lampu minyak yang kau bawa.
Sudut-sudut dapur yang kelam dan jorok terlihat jelas. Pada
beberapa tiang tampak sarang laba-laba. Kau menarik nafas
dalam-dalam.
Kau melangkah sangat perlahan. Suara langkahmu
tak terdengar pada lantai kayu. Tak ada derit pada lantai itu
seolah-olah tubuhmu sangat ringan. Lalu kau angkat lampu
minyak tinggi-tinggi untuk menyinari seluruh bagian dapur.
Dan, tiba-tiba, cahaya yang temaram itu menangkap sosok
anak kecil sedang jongkok dekat tungku. Kedua tangan
yang kecil itu terikat pada sebatang kayu, sedangkan
pergelangan kaki yang sangat ramping itu terbelenggu dua
batang kayu balok yang disatukan. Di samping anak itu
ada sebuah cangkir kaleng dan piring kaleng. Beberapa butir
nasi terserak di sekitarnya.
Aku terhenyak. Aku tahu itu Denggan. Pantas ia tak
pernah lagi terlihat.*
16
Si Loak
KAU dipanggil si Loak. Kata “loak” itu berarti “sangat
bodoh”. Padahal namamu bagus: Borkat Pangidoan. Itu
artinya, permintaan yang diberkati. Tapi, keluargamu,
terutama ayahmu, memanggilmu Si Loak. Kalau panggilan
itu sudah diteriakkan ayahmu, kau—dalam keadaan apa
pun dan sedang melakukan apa pun—mendadak pucat dan
tergopoh-gopoh menghampiri ayahmu. Kau begitu
ketakutan. Wajahmu pucat seperti kertas buku gambar kita
di sekolah. Aku akan menghampirimu dan bertanya ada
apa. Kau hanya menatapku, sekilas, lalu berlari seperti
diburu segerombolan tawon yang ingin menyengatmu.
Besoknya, pasti, kau tak akan ada di sekolah. Tak akan ada
di mana-mana. Kau akan menghilang.
Pada saat kau tak ada, mereka—anak-anak yang
selalu mengejek bekas sumbing bibirku yang sudah dijahit,
yang bekas jahitannya tidak rapih karena dokter di rumah
sakit umum tak bisa merapikannya—akan menghampiriku
dan menjadikanku sebagai objek penderita dari kenakalan
mereka yang kadang kurang hajar. Kalau kau ada, mereka
tidak akan berani mendekatiku. Uh, dasar, bajingan-
bajingan kecil itu hanya berani pada orang lemah seperti
aku.
Mereka takut padamu. Bahkan, untuk menatapku
saja, mereka tidak akan berani. Tapi saat kau tidak ada,
saat yang mereka tunggu-tunggu, dan sepertinya mereka
memang sengaja menunggu saat seperti itu. Mereka
kemudian mengejekku, mengejek sumbingku, mengejek
caraku berbicara. Mereka sangat keterlaluan. Aku sedih,
takut, dan mau marah. Perasaan itu bergejolak dalam
dadaku. Membuatku menjadi sangat ketakutan. Aku seperti
berada di dalam sebuah lobang yang penuh ular berbisa dan
17
setiap ular seperti bicara akan mematokku untuk
menyalurkan bisa mereka ke seluruh tubuhku.
Kau tahu, mereka juga mengatakan tak akan ada
orang yang suka padaku, karena tidak ada seorang pun
yang mengerti ucapanku yang sengau. Mereka juga
mengatakan bahwa kau pun tidak suka padaku, makanya
kau menghilang. Kata mereka, kau hanya berpura-pura
suka kepadaku, padahal kau hanya mengincar uang
jajanku. Tapi, aku merasa, selama bersamamu, kau tidak
pernah mempertanyakan apakah aku punya uang jajan atau
tidak. Kau malah sering menolak ketika aku ingin
membelanjaimu membeli makanan di kantin sekolah.
Walapun begitu, aku takut omongan mereka tentang
dirimu benar. Cara mereka mengatakannya sangat
meyakinkan. Aku jadi takut kau tak menyukaiku. Aku takut
kau menghilang karena tidak suka padaku. Aku takut
banyak hal. Aku takut sendirian. Aku pun mencarimu. Tapi
aku tak pernah bisa menemukanmu. Ke rumahmu, aku
sangat takut. Aku takut pada ayahmu. Semua orang takut
pada ayahmu. Ia, ah, aku tak akan menjelek-jelekkan
ayahmu. Kau tahu maksudku, karena kau pun sangat takut
pada ayahmu. Rasa takut yang membuatmu pucat seketika
setiap kali mendengar ayahmu meneriakkan namamu.
Teriakkan yang begitu melengking, lebih nyaring dari suara
apa pun.
Mula-mula aku kira kau takut hanya pada suara
ayahmu. Tapi, belakangan baru aku tahu, ternyata kau
takut pada kebiasaan ayahmu melampiaskan semua
amarahnya kepadamu. Aku baru tahu setelah pada suatu
hari, tanpa sengaja saat kehilangan dirimu, aku
menemukanmu di bawah pohon beringin di pinggir sungai.
Kau duduk mencangkung pada salah satu akar pohon itu,
menatap kosong ke permukaan air sungai yang berwarna
cokelat. Kau sangat kaget ketika aku muncul. Saat itulah
18
aku lihat darah kering di sudut bibirmu dan matamu lembab
berwarna hitam kebiru-biruan.
“Apa yang terjadi padamu? Apa kau dipukuli anak-
anak itu. Siapa yang melakukan semua ini padamu?”
Aku menyerbumu dengan sekian banyak
pertanyaan. Aku khawatir sekali. Aku pegang tanganmu
dan aku perhatikan seluruh tubuhmu untuk memastikan
apakah kau mengalami luka lain di bagian lain.
“Sudahlah.” Kau menepis tanganku. “Aku baik-baik
saja.” Kau bangkit dan berdiri pada akar pohon.
Aku kaget kau perlakukan seperti itu. Aku ingat
ejekan mereka, dan aku merasa kau sudah tidak
menyukaiku lagi.
“Tinggalkan aku sendiri di sini!”
“Siapa yang melakukan semua ini?” Aku tidak
peduli kau mengusirku.
Kau marah, lalu membentakku, “Pergi kataku!”
Suaramu begitu kencang. Aku ketakutan sekali. Aku
undur lalu berlari pulang. Sepanjang perjalanan ke rumah
aku menjadi yakin omongan anak-anak itu bahwa kau tidak
menyukaiku lagi. Aku ketakutan. Aku takut karena
kehilangan teman. Aku tidak punya siapa pun selain kau.
Setiba di rumah, aku menangis meraung-raung.
Ayah dan ibuku kaget, meskipun aku biasa pulang sambil
menangis. Tapi, kebiasaan itu berhenti setelah kita sering
bersama. Ibu langsung mendatangiku ke kamar. Dengan
lembut ibu bertanya apa yang menimpaku. Aku tidak
menjawab, tetap menangis. Ibuku membujuk, “Kenapa,
Sayang, mereka menjahatimu lagi ya?”
Suara Ibu berhenti, mungkin, menunggu jawabanku.
Tapi aku hanya menangis, “Memang Borkat tak membela
kau ya?”
Ibu menyebut namamu. Aku tetap menangis.
19
Seharusnya aku bilang soal dirimu. Tapi aku hanya
menangis. Aku terlalu ketakutan kehilangan dirimu. Dan,
inilah kesalahanku yang paling fatal. Saat ibu berusaha
menenangkanku, ternyata kau sedang di halaman rumah.
Entahlah, mungkin, kau merasa kasihan padaku setelah
membentakku. Kau tahu aku sangat ketakutan kehilangan
dirimu. Makanya, kau berusaha mengejarku untuk meminta
maaf. Namun, begitu Ibu mendengar suaramu, Ibu
langsung keluar untuk menemuimu. Aku masih menangis
dan ketakutan kehilangan dirimu.
Ketika Ibu kembali lagi menghapiriku, Ibu bilang
bahwa ia baru saja memarahimu dan menyuruhmu agar
tidak menemuiku lagi. “Ibu tidak suka anak itu. Seharusnya
Borkat itu menjagamu, tetapi ia malah ikut-ikutan
menyakitimu. Ibu mengusirnya dan melarangnya
menemuimu kapan pun.”
Aku bangkit dari tempat tidur dan berlari keluar
untuk mengejarmu. Tapi kau tidak ada. Aku kembali
meraung sambil masuk rumah. Aku tidak peduli teguran
Ibu dan terus ke kamar. Aku mengunci diri di dalamnya.
Sejak itu, aku tak pernah lagi bertemu dirimu.
Mereka, yang selalu mengejekku, mengatakan kau pergi
karena tidak suka padaku. Pergi jauh, jauh sekali….
KAU DIPANGGIL SI LOAK DAN ITU ARTINYA
SANGAT BODOH. Aku tak tahu kenapa. Meskipun aku
ingin tahu kenapa. Aku juga ingin tahu banyak hal tentang
dirimu, karena kau mengingatkanku pada kawanku pada
masa lalu. Ia juga dipanggil Si Loak, terutama oleh
keluarganya, meskipun ia tidak seperti namanya. Aku yakin
kau pun tak seperti namamu.
Ketika kali pertama bertemu, saat kali pertama
memasuki ruang kuliah, aku sudah mencurigai bahwa aku
20
mengenalmu. Sepintas dari kejauhan, aku menangkap
sosokmu, dan segera ingatanku kembali kepada seorang
kawanku di masa lalu. Sekitar belasan tahun lalu, di sebuah
kampung, yang kemudian aku tinggalkan karena mengikuti
ayahku yang pindah pekerjaan ke kantornya di Jakarta.
Dan saat kita berpapasan di pintu ruang kuliah, aku
tersenyum padamu. Tapi kau tidak menggubris, bahkan
tidak menganggap aku ada di hadapanmu.
Karena itu, aku menjadi paham bahwa kau bukan
orang yang aku kenal. Kalian berdua hanya mirip. Hal
seperti itu bisa saja terjadi. Dua orang, yang tak ada
hubungan apa pun antara satu dengan lainnya, memiliki
kemiripan.
Beberapa menit kemudian, setelah mengambil
tempat duduk, aku dengar seseorang berteriak: “Hei,
Loak!” Aku melihat kau mengangkat kepala. Orang yang
berteriak itu tergelak. Kau menatapnya. Aku pernah
melihat cara menatap seperti itu. Tatapan orang marah,
tatapan kawanku pada masa lalu. Hanya menatap. Tapi, itu
bukan akhir, karena setelah itu kawanku akan mencegat
siapa pun yang memangilnya seperti itu di luar sekolah.
Kalau kawanku mampu menghadapinya, ia akan
menghajarnya dan tak memberi ampun. Kalau tidak
mampu, ia akan melakukan apa saja untuk melampiaskan
dendamnya.
Dulu, kawanku itu, merubuhkan dan
menghancurkan etalase sebuah toko kelontongan hanya
karena anak pemilik toko mengeroyoknya. Seluruh etalase
itu hancur, dan kawanku itu melangkah meninggalkan toko
dengan santai. Pemilik toko tak berani mengejar, karena
mereka tahu siapa kawanku itu; anak seseorang yang sangat
ditakuti.
Aku yakin kau juga akan melakukan hal serupa.
Caramu menatap orang itu sangat aku kenal. Tatapan yang
21
penuh dendam. Aku bisa menduga, sepulang kuliah, kau
pasti akan mencegat orang itu. Dan, betul, kau memang
mencegatnya di gerbang kampus. Begitu melihatnya, kau
tarik kerah bajunya dan kau pukuli tanpa memberi
kesempatan kepada orang itu untuk melawan. Kau baru
berhenti ketika orang itu terkapar berlumuran darah.
Saat itulah, ketika kau pergi dengan santai dan
terlihat sangat tenang, aku memanggil namamu. Kau tidak
menoleh. Aku pikir karena kau tidak mendengar, lalu
kupercepat langkahku untuk menjejeri langkahmu di
koridor jalan raya. “Kau pasti Borkat,” tebakku.
“Siapa Borkat?!” nada suaramu tinggi.
“Ah, maaf. Aku salah orang,” kataku.
Kau pun diam sambil menatap ke ujung jalan. Kau
sedang menunggu bus. Aku memperhatikanmu begitu
seksama. Sungguh, kau mirip dengan kawanku. Kawan
yang tak pernah kujumpai lagi sejak belasan tahun lalu,
sejak orang tuaku memutuskan meninggalkan kampung itu.
Aku sangat kehilangan. Sejak itu pula, aku tahu, aku
membutuhkanmu. Karena itulah, aku merasa harus dekat
denganmu. Aku tidak ingin kehilangan dirimu lagi.
“Mau pulang ya?” tanyaku, berusaha mengajakmu
bicara.
“Apa itu penting?”
“Ketus sekali.”
“Apa itu penting.”
“Aku hanya ingin berteman.”
“Apa itu penting?”
Aku putuskan diam. Tapi, sejak itu, entah
bagaimana awalnya kita pun menjadi dekat. Di ruang
kuliah kita sering duduk berdekatan. Meskipun tak bertegur
sapa, tapi aku senang. Dan ternyata, kau memang banyak
persamaan dengan kawanku itu, bukan hanya soal nama
panggilan itu. Kau pendiam dan, ini yang terpenting, kau
22
sangat cerdas. Kau menguasai perkuliahan, acap berdebat
dengan dosen. Tapi, ada satu hal yang sangat
membedakanmu dari kawanku. Kau acap kulihat
memegang kepalamu seperti menderita sesuatu. Tak jarang
kau tiba-tiba mengeluh kesakitan. Kau tak pernah terlihat
sehat. Tiap sebentar kau mengeluh sakit kepala. Secara
mendadak, kau sering diserang oleh rasa sakit pada
kepalamu. Kau mengibaratkan serangan itu seperti seribu
jarum yang ditembakkan sekaligus ke dalam otakmu, lalu
jarum-jarum itu masuk ke urat-urat darahmu, kemudian
menusuki sel-sel otakmu.
Awalnya aku sangat takut ketika kali pertama
melihatmu diserang oleh rasa sakit itu. Kita sedang di
dalam kelas mengikuti perkuliahan. Ketika dosen yang
bertubuh kecil dan terlihat tenggelam dalam stelan safari
warna coklat susu yang dikenakannya itu menuliskan
sesuatu di white board, seluruh mahasiswa mendengarkan
dengan seksama sehingga suasana kelas jadi hening. Pada
saat itulah, kau yang duduk di sampingku tiba-tiba
mengeluh oleh rasa sakit pada kepalamu, kemudian seluruh
isi kelas riuh karena kau terjatuh dari kursimu.
Kau pingsan seketika. Aku rasa seluruh tubuhku
pucat. Aku terkesiap. Aku baru tersentak setelah dosen
mendekat dan memerintahkan mahasiswa lainnya untuk
membaringkanmu di atas meja. Kuliah hari itu jadi kacau.
Seluruh mahasiswa mengerubuki. Dosen marah-marah dan
menyuruh para mahasiswa keluar. Aku diminta menunggu
di dalam ruangan. Setelah tinggal aku, dosen, dan kau yang
masih tergeletak, dosen itu berusaha melepas bajumu dan
mengendurkan ikat pinggangmu. Aku melihat dosen sangat
khawatir. Wajahnya pucat pias. Kau sendiri belum
menunjukkan gelagat akan sadar. Aku bilang pada dosen
agar membawamu ke rumah sakit. Dosen keluar kelas
23
memanggil beberapa siswa. Kau pun digotong ke rumah
sakit.
Sejak kejadian itu, kita jadi akrab. Sejak itu aku tahu
ada sesuatu yang bersarang di otakmu. Kata dokter, ia
semacam tumor, tetapi tidak terlalu membahayakan. Aku
tak tahu bagaimana dokter bisa menyimpulkan “tidak
terlalu membahayakan”. Kau sendiri tidak terlalu peduli
dengan perkataan dokter. Bagimu, kau baik-baik saja.
Meskipun kau tidak pernah membantah ada sesuatu yang
bersarang di kepalamu. “Ia sudah ada di kepalaku sejak aku
kecil. Sekali-sekali ia memberitahuku bahwa ia masih setia
di dalam kepalaku,” katamu.
Aku tak mengerti kenapa ada orang seperti dirimu,
sama sekali tidak memiliki rasa khawatir atas penyakit yang
menimpamu. Meskipun begitu, kau selalu saja mengeluh
bila sakit kepala itu mulai menyerangmu. Kau memintaku
menjaga agar saat pingsang kepalamu tidak membentur
benda keras. Aku pun jadi waspada. Begitu kau mengeluh
sakit kepala, aku langsung bersiap-siap.
Tapi tidak setiap saat serangan di kepalamu itu
membuatmu pingsan. Kau akan tersenyum jika bisa
mengatasi serangan itu tanpa pingsan. “Kau kawan yang
baik,” katamu.
Itulah kali pertama kau memujiku. Pujian itu juga
menjadi pujian terakhir yang kau berikan. Beberapa hari
kemudian, kau kembali diserang oleh rasa sakit yang hebat
pada kepalamu, teramat hebat. Aku tak ada di sampingmu.
Serangan itu datang saat kau di dalam bus. Kau tak bisa
mengendalikan diri dan terjatuh. Sebelum menyentuh lantai
bus, kepalamu membentur bangku. Besok harinya, sebuah
kertas yang ditempel di papan pengumuman kampus,
menyebut bahwa kau telah meninggal karena terjatuh dari
bus. Dan aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Aku
kembali kehilangan dirimu.
24
“ORANG MEMANGGILKU SI LOAK,” katamu setelah
minta izin duduk di bangku kosong di depanku saat sedang
menikmati menu di sebuah restoran di bilangan Jakarta
Pusat. “Itu artinya sangat bodoh, tapi itu hanya nama.
Sesungguhnya semua orang tahu kalau aku cerdas.”
Aku diam saja, hanya menatapmu. Nama itu, tentu,
segera membawa ingatanku ke masa lalu. Si Loak, ah,
apakah semua laki-laki bernama sama? Ataukah Kalian
memang orang yang sama. Aku yakin tidak. Secara fisik,
kau lebih gemuk. Begitu percaya diri, menyunggingkan
senyum sambil duduk di hadapanku. Beda betul dengan Si
Loak sebelumnya. Mereka tidak perduli apa yang terjadi di
lingkungannya, pendiam, dan pemurung. Sedang kau,
terlihat begitu riang.
“Sejak kau masuk ke restoran ini, aku sudah curiga
pernah mengenalmu,” katamu.
Kau diam sambil menatapku seolah-olah ingin
memastikan dugaanmu tentang diriku tidak keliru. “Tidak
salah lagi, kau pasti Berlian,” tebakmu. Kau menyebut
namaku. Aku tersentak. Sungguh, ini mengejutkan. Aku tak
pernah mengenalmu, kecuali nama yang kauperkenalkan.
Aku menatapmu dalam-dalam. “Kau tahu namaku?”
tanyaku.
Kau pun tertawa. Satu hal yang tak pernah
dilakukan si Loak yang pernah aku kenal.
“Kau tidak mengenaliku lagi, Berlian?”
“Mungkin kau salah orang,” kataku. “Kebetulan saja
nama kami sama.”
“Tidak. Aku tak pernah keliru. Kau….”
Kau diam. “Maaf, bekas jahitan di atas bibirmu itu,
itu yang mengingatkanku padamu.”
Aku terkejut. Ia menangkap bekas itu meskipun
orang lain tidak lagi melihat bekas jahitan operasi
25
sumbingku. Selepas aku kuliah, aku bekerja di sebuah
perusahaan internasional yang bergerak di bidang
telekomunikasi. Aku menjabat sebagai manajer komunikasi
dan public relation. Pekerjaan itu memaksaku mengubah
penampilan fisik, mengoperasi ulang bekas jahitan di bawah
hidungku, dan memperbaiki caraku berbicara. Semua orang
bilang aku lebih cantik, dewasa, dan sangat terpelajar.
“Kau tak bisa menutupinya dariku,” katamu.
“Bagaimana kau bisa tahu.”
“Karena aku mengenalimu.”
“Aku tak mengenalimu sampai kau sebutkan
namamu.”
“Kau mengenalku dengan nama si Loak, kau juga
tahu namaku Borkat Pangidoan. Hanya kawan-kawan pada
masa lalu yang memanggilku si Loak.”
Aku kaget. Jadi, sungguh, kau betul kawanku pada
masa lalu. Tapi aku tidak percaya. Kau terlihat berbeda,
jauh betul dari sosok si Loak yang aku kenal. Kau seolah
bisa membaca pikiranku, lalu bercerita tentang anak-anak
yang mengejek sumbingku. Kau bercerita semuanya. Kau
bilang, mereka sering menanyaiku. “Mereka tinggal di
Jakarta ini juga. Kami sering bertemu,” katamu.
“Mereka?”
Mendadak semua kenangan itu muncul. Ceritamu
betul-betul meyakinkan, karena hanya si Loak yang tahu
cerita itu. “Jadi, kau benar-benar Borkat?”
“Ya, kenapa? Apa aku berubah?”
Aku mengangguk. “Sangat berubah. Apa yang
terjadi padamu?”
“Setiap orang harus berubah. Kau juga berubah.”
Aku tersenyum. Kau kembali tergelak. Kita pun
cepat akrab. Kau mengungkit kenangan masa kecil. Berkali-
kali kita tertawa bersama. Tapi, ketika aku bertanya
26
bagaimana keluargamu, mendadak kau murung. “Kasihan
ibuku,” katamu, “Ia harus kehilangan aku.”
“Apa maksudmu?”
“Sejak ibumu mengusirku dari rumahmu, aku
meninggalkan kampung. Kaulah satu-satunya orang yang
dekat denganku. Orangtuaku sama sekali tidak
menyukaiku, apalagi ayahku. Bagi mereka aku hanya anak
bodoh yang menyusahkan. Semula aku kira karena
memang aku bodoh, tapi belakangan aku tahu karena
mereka memang tidak menginginkan kehadiranku. Mereka
tidak menginginkanku lahir, dan kelahiranku membuat
hubungan kasih di antara mereka jadi renggang.”
“Apa maksudmu?”
“Ibuku mengandung aku sebelum menikah. Karena
ibuku hamil, mereka dipaksa menikah. Selama pernikahan
itu, mereka menjadi paham kalau mereka memang tidak
cocok menjadi suami istri. Setelah aku lahir, mereka
mengabaikanku dan mengurus urusan masing-masing. Kau
tahu, ayahku seorang bajingan, sama seperti ibuku. Tiap
hari mereka melampiaskan kemarahan masing-masing
dengan cara memukulku. Aku tak tahan dan memutuskan
meninggalkan mereka.”
“Kenapa kau tidak pernah memberitahu soal ini?”
“Itu masa lalu. Aku sudah melupakan mereka.”
“Melupakan orang tuamu.”
“Bukan. Mereka tidak pantas jadi orangtua.”
Mendadak kau emosi, menatap tajam padaku. “Mereka tak
pantas jadi orangtua.”
Tiba-tiba kau tergelak. Suaramu begitu kencang.
Orang-orang yang sedang menikmati menu restoran,
menatap ke arah kita. Kau tidak peduli. Lalu kau diam
seketika seolah-olah kau tidak pernah tertawa. Kemudian
menantap tajam padaku. “Kau tahu,” katamu seperti
27
menyuruhku menebak apa yang akan kau ceritakan. Aku
menggeleng.
“Aku membunuh mereka.”
Mendadak aku pucat. Aku sandarkan punggungku
ke kursi. Kembali kau tergelak. (*)
28
Hatoban
TAK USAHLAH KUSEBUT NAMA GADIS YANG
AKU CINTAI ITU. Ia sudah pergi dan semua ini hanya
kenangan. Cukup aku jelaskan serbasedikit: ia sangat
cantik, tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal
yang tidak bisa diubahnya; disebabkan karena ia hatoban.
SERIBU TAHUN LALU LELUHUR MARGAKU,
panusunan bulung, menaklukkan leluhur marganya dalam
sebuah drama pertempuran yang kolosal. Leluhur margaku
berhasil menggiring leluhur marganya ke tepi Aek
Lappesong yang deras dan berbatu-batu dimana sebuah
jurang menganga dan mengaum garang. Hanya ada dua
pilihan bagi leluhur marganya, meloncat ke mulut jurang
dengan resiko berkeping-keping dicabik batu cadas, atau
takluk kepada leluhur margaku dengan resiko hidup sebagai
hatoban.
Pilihan kedua yang dipilih leluhur marganya, entah
apa alasannya. Aku meyesalkan pilihan leluhur marganya
itu. Kalau saja ia memilih pilihan pertama, tak akan
kualami kisah ini. Tapi tidak, ia pilih pilihan kedua. Sejak
itulah cerita ini bermula dan hingga hari ini keturunan
leluhur marganya tetap menjadi hatoban. Dengan sendirinya
dirinya pun menjadi hatoban.
“Kau tak bisa mengubah itu,” kata Inang ketika aku
cerita betapa ia, gadis yang aku cintai itu, telah merebut
hatiku dengan cara yang sangat lembut. “Bagaimana
mungkin keluarga panusunan bulung menikahi hatoban.”
Bah! Vonis Inang betul-betul meruntuhkan hatiku.
Kenapa Inang membuat semuanya menjadi begitu berat?
Padahal Inang tinggal merestui hubungan kami. Habis
perkara. Tetapi aku tak berani mendebat Inang. Bisa kualat
29
aku. Aku diam saja ketika Inang mewanti-wanti agar aku
jangan pernah lagi memikirkannya. “Kau mau semua
hatobangon di kampong ini memusuhi kita,” ancam Inang.
Amang seperti biasa tak banyak cakap. Ia
menatapku dengan cara yang sangat aneh.
Tak kutanggapi kemarahan Inang, tak kumasukkan
ke hati tatapan Amang. Aku diam saja meskipun dalam hati
aku merencanakan akan menemui gadis yang aku cintai itu
secara sembunyi-sembunyi. Maka aku temuilah ia secara
sembunyi-sembunyi. Kami berkasih-kasihan secara
sembunyi-sembunyi, sehingga hubungan kami menjadi
sangat akrab dan kami berencana akan menikah. Lalu
rencana itu pun terbersit; kami akan awin lari (marlojong).
Tetapi ketika tiba hari yang kami rencanakan untuk
marlojong, Amanguda, adik kedua Amang, mencegat kami
saat melewati jalan setapak menuju kota kecamatan. Tidak
banyak cakap ia dan langsung menghantam hidungku
dengan tinjunya. Sakitnya minta ampun. Kepalaku pusing
bukan main, tetapi aku diam saja. “Dasar kau tak tahu adat.
Kau mau merusak paradaton. Kau itu anak raja.”
Amangudaku diam. “Kau ditunggu Mangaraja
Marulam di rumah. Habislah kau kali ini!!!” Amangudaku
menyebut nama Amang, lalu berbalik kepada perempuan
yang aku cintai. Ia terlipat ketakutan. Ia menyembunyikan
wajahnya pada lututnya. Aku kasihan sekali padanya.
Amangudaku menyemprotnya dengan makian-makian yang
memerihkan hatiku. “Dasar hatoban. Tak tahu diri kau.
Anjing kau. Babi kau….”
“Amanguda!” Aku melawan. “Dia sama seperti aku,
kami sama-sama manusia.”
SESUNGGUHNYA hubungan kami sudah berlangsung
sangat lama, sejak kami kecil. Kami lahir pada hari yang
sama, tetapi jamnya yang berbeda. Aku lebih tua tiga jam.
30
Perbedaan yang lain, aku lahir dibantu seorang bidan. Ia
lahir dibantu Ompu Erna, seorang datu beranak. Aku lahir
di puskesmas, sedang ia lahir pada salah satu kamar di
belakang rumahku.
Di kamar itu Inang dan Amangnya tinggal sebagai
pembantu kami. Entah sejak kapan mereka tinggal bersama
kami. Kedua orangtuanya sangat baik kepadaku. Mereka
memperlakukan aku seperti kepada anaknya sendiri, apalagi
aku sangat akrab dengan putri mereka. Keakrabanku tak
pernah dipersoalkan siapa pun, termasuk Inang maupun
Amang. Barangkali karena mereka mengira kami masih
anak-anak dan semua keakraban kami hanya sebatas
hubungan anak-anak.
Tetapi mereka keliru. Itulah hubungan yang
menumbuhkan perasaan membahagiakan. Setiap kali
bersama perempuan yang aku cintai itu, aku merasa sangat
hidup. Aku menjadi seorang laki-laki dewasa yang
dirongrong oleh perasaan ingin selalu melindunginya.
Rupanya ia tahu aku sangat menyayanginya dan begitu
melindunginya. Ia bangga sekali mendapat perlakuan
seperti itu dariku. Aku menyadarinya karena ia selalu
berusaha memberi peran besar kepadaku agar aku tetap
berusaha melindunginya.
Begitulah kami selalu bersama sejak kecil. Ketika
beranjak dewasa, aku mulai memiliki perasaan yang luar
biasa ketika berdekatan dengannya. Ada debar dalam
jantung aku setiap kali kami bersitatap. Matanya yang bulat
dan bercahaya itu betul-betul meruntuhkan jiwaku. Ketika
itulah aku susah payah menata kata untuk menyatakan
perasaanku kepadanya. Aku juga kepayahan menyusun
keberanian untuk mengungkapkan kata-kata cintaku.
Setelah bertahun-tahun, setelah kami sama-sama
bersekolah di SMA, barulah kata-kata itu tersusun rapih
bersama dengan menguatnya keberanianku. Maka,
31
sepulang dari sekolah, saat kami berjalan berdua di bukit
padang lalang menuju perkampungan—satu-satunya SMA
hanya ada di kota kecamatan—aku minta ia berhenti
karena ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Saat itu
kami berada di puncak bukit, dan dari tempat itu kami bisa
melihat matahari menggeser tubuhnya ke barat secara
perlahan-lahan. Aku bilang padanya bahwa aku jatuh cinta
dan tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa dirinya.
Aku berdebar-debar menunggu jawabannya. Aku sangat
takut ia menolak. Tetapi ia tak menolak, hanya
mengangguk pelan. Aku lihat kulit pipinya yang putih
bersih itu memerah seperti bunga kincung. Sore itu aku
melihatnya seperti bidadari yang baru keluar dari
dongengngan. Lalu aku peluk tubuhnya, aku cium
keningnya dengan keriangan yang luar biasa.
Sejak itu kami berkasih-kasihan. Semakin hari,
semakin dalam aku masuk ke hatinya. Semakin dalam pula
ia menyusup ke hatiku, mengendap sari-sari jiwanya di
darahku. Karena keriangan yang luar biasa, akupun
mengungkapkannya kepada Inang. Dengan kening
berkerut, Inang berkata: “Dia hatoban dan sampai kapan
pun tetap hatoban. Kau tidak bisa dekat dengannya.”
Seharusnya tak kusampaikan kepada Inang tentang
perasaanku kepada gadis yang aku cintai itu. Tetapi aku
terlalu bahagia dan sangat ingin agar orang lain ikut
menikmati kebahagiaanku. Tetapi keputusan aku itu
ternyata jadi petaka. Sejak Inang tahu, ia melarangku
berdekatan dengan gadis yang aku cintai itu. Malah, suatu
hari Inang menghardik orangtua gadis yang aku cintai itu
dengan sangat kasar. Aku tak tahu bagaimana dan kapan
kejadiannya. Mungkin saat kami sedang berkasih-kasihan
secara sembunyi-sembunyi di pinggir Aek Lappesong, atau
saat kami sedang di sekolah. Yang jelas, orangtua gadis
yang aku cintai itu meminta dengan sangat kepadaku agar
32
menjauhi putri mereka. Aku bilang tidak bisa. “Aku
mencintainya, sangat mencintainya,” kataku.
Orangtua gadis yang aku cintai itu menangis.
Mereka memohon. Aku bersikeras. Saat itulah muncul
gagasan itu. “Kalau begitu, kami akan marlojong,” kataku.
Mereka kaget. “Jangan!”
Aku tak perduli. Malam itu pun aku mengajak gadis
yang kucintai itu marlojong. Ia mengangguk. Kami pun
membuat rencana. Dan ketika rencana itu final, kami pun
bergerak. Sayang, Amangudaku mengetahuinya. Lalu….
SEMUA HARAPANKU KANDAS. Dengan cara yang
sangat kasar Amang mengusir aku dari kampong. “Kau tak
bisa menjaga adat,” katanya.
“Inang sudah mengingatkanmu,” timpal Inang.
Aku diam saja. Ada kemarahan meledak, tetapi aku
tahankan. Juga ketika aku melangkah meninggalkan
kampong mengikuti perintah Amang. Ia seorang yang
keras, kaku, dan tidak boleh dibantah. Maklum, ia seorang
raja, raja dalam trah marga kami, panusunan bulung.
Apapun yang ia katakan adalah titah. Panusunan bulung itu
turunan langsung dari mulajadi nabolon. Aku, anak
tunggalnya yang juga pewaris panusunan bulung, hanya bisa
menunduk meninggalkan kampong.
Aku diwajibkan ke Jakarta, ke rumah Inangboruku,
adik perempuan Amang. Ketika aku tiba di rumah
Inangboruku yang luas dan megah di Jakarta Selatan, ia
langsung mewanti-wanti dengan sekian banyak peraturan
dalam rumah yang tak boleh aku langgar. Aku sudah
membayangkan akan menjalani hidup yang kerontang,
setidaknya mirip kehidupan yang dijalani Inangboruku.
Inangboruku menikah dengan orang dari
Mandailing, tetapi aku belum pernah bertemu langsung
dengannya. Orang Mandailing itu, Amangboruku, konon
33
kabarnya tidak terlalu perduli dengan situasi Inangboruku
dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Ia
seorang polisi laut, bekerja di Pelabuhan Tanjungpriok, dan
banyak menghabiskan waktunya di sejumlah hotel dan bar
bersama para pengusaha pengiriman barang. Mereka
sengaja menjamu Amangboruku dan membuatnya merasa
dihargai agar Amangboruku tidak perlu memeriksa jenis-
jenis barang yang mau keluar maupun yang masuk ke
Pelabuhan Tanjungpriok.
Amangboruku memang tidak memeriksanya, tetapi
dengan syarat para pengusaha itu menyisahkan saham di
perusahaan mereka masing-masing 20% untuk dimilikinya.
Itu sebabnya Amangboruku sangat kaya, sangat kaya.
Tetapi aku yakin, suatu saat ia akan jadi sasaran petugas
yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi. Suatu saat
pasti. Karena hidup Amangbaruku dengan mobil yang
selalu baru dan Inangborku selalu mempertontonkannya
kepada setiap orang dalam acara arisan yang penuh
percikan ludah basi, sangat terkesan seolah-olah mereka
punya saham juga di PT Perusahaan Uang Republik
Indonesia (Peruri).
Aku tak terlalu memusingkan itu. Aku cuma pusing
oleh bayangan gadis yang aku cintai itu. Ia tidak pernah
redup. Seperti bola lampu yang terbuat dari cahaya
keabadian, ia berpijar-pijar dalam diriku. Ia menyala-nyala
dalam hatiku. Tetapi entah dimana ia saat ini.
Sejak Amangudaku menangkap tangan kami saat
mau marlojong, ia mendapat perlakuan yang tidak baik dari
setiap orang di kampong. Perlakuan yang lebih kurang
seperti diberikan Amangudaku saat menangkap tangan
kami. Dan, karena kasihan pada dirinya, orangtuanya
mengajaknya pindah ke tempat lain tanpa memberitahuku
ke mana.
34
Itulah salah satu alasan aku menerima perintah
Amang agar pergi ke Jakarta.
Namun aku selalu memikirkan gadis yang aku cintai
itu selama bertahun-tahun. Ia tak tergantikan oleh apa pun,
oleh siapa pun. Semakin tahun ia semakin berpijar-pijar.
Nyalanya lebih terang dari matahari, lebih indah dari
rembulan. Sampai bertahun-tahun kemudian aku kembali
ke kampong saat tidak muda lagi. Tapi aku tetap saja
seorang pemuda dengan jantung yang berdebar-debar
seperti dulu sembari membayangkan aku akan bertemu
dengannya.
Meskipun aku tak yakin ia akan ada di sana
mengingat bagaimana ia sangat disakiti orang kampong
sehingga memutuskan pergi. Entahlah, dadaku berdebar-
debar sepanjang perjalanan pulang. Aku menata kata-kata
yang pas untuk disampaikan kepadanya. Situasi ini sama
persis seperti bertahun-tahun lalu ketika aku akan
mengatakan cinta kepadanya.
Dan tiba-tiba semua seperti baru dimulai, seperti
tidak pernah ada yang berubah.
TAK USAHLAH KUSEBUT NAMA GADIS yang aku
cintai itu. Cukup aku jelaskan serbasedikit: ia sangat cantik,
tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal yang
tidak bisa diubahnya. Juga saat aku temui ia kembali,
beberapa tahun kemudian. Ia berdiri di tempat kami sering
berkasih-kasihan, di pingir Aek Lappesong yang tak dialiri
air lagi. Di sana tak ada batu-batu cadas karena orang-orang
menambangnya. Tetapi yang sangat menarik bagiku adalah
sosoknya. Ia tidak berubah sama sekali, juga kecantikannya.
Waktu tak membuatnya lebih tua. “Kau?” kataku.
Ia tersenyum. “Ya, aku. Aku menunggumu di sini
bertahun-tahun. Aku yakin suatu saat kau akan menepati
janjimu.”***
35
Teanan
GONG…gong…gong….
Gema gong dipukul dengan nada tiga-tiga,
bergaungan di langit Huta Ginjang ketika Namora menapak
pada anak tangga rumah. Ransel berisi beberapa potong
pakaian yang tercantel di pundaknya menghasilkan suara
derit pada anak tangga dari kayu merbau tua itu setiap kali
ia memindahkan kaki ke anak tangga berikutnya. Tapi
suara itu tidak begitu menyita perhatiannya, karena gaung
gong dengan nada tiga-tiga itu melahirkan tanda tanya di
kepalanya.
“Siapa yang meninggal, Amangboru,” kata Namora
kepada Amangboru Sangap, suami dari Inangboru Halimah—
adik ayahnya yang paling bungsu—yang membukakan
pintu rumah untuknya.
Amangboru Sangap menyebut nama Partaonan,
tapi Namora merasa tak punya ingatan apa pun terhadap
pemilik nama itu. “Apa saya mengenalnya Amangboru?”
Namora mencoba menggali ingatannya di masa lalu, saat
ia masih anak-anak dan menjadi bagian dari penduduk di
Huta Ginjang, dan itu terjadi sekitar 15 tahun lalu.
“Kau ingat rumah tua di ujung kampong, rumah
kosong itu? Kau dan kawan-kawanmu sering bermain
perang-perangan di halaman rumah itu,” kata Amangboru
Sangap, mencoba membongkar ingatan Namora pada masa
kecilnya.
“Apa hubungannya Amangboru. Bukankah rumah itu
sudah lama tak berpenghuni?”
“Lima tahun lalu Partaonan pulang dari rantau dan
tinggal di rumah itu, tapi justru karena itulah hidupnya
menjadi sengsara.” Amangboru Sangap menghela nafas dan
terdengar begitu berat. “Sejak tinggal di rumah itu, nasib
36
buruk selalu menimpanya hingga semalam ia ditemukan
meninggal dunia di dalam rumahnya.”
“Meninggal?!” Namora masih berusaha menggali
banyak hal tentang almarhum Partaonan, tapi Amangboru
Sangap memberi isyarat agar ia membersihkan diri dan
beristirahat karena pasti kecapaian sehabis perjalanan jauh
dari Kota Medan. “Amangboru mau melayat dulu.
Inangborumu sudah di sana sejak pagi. Selesai pemakaman,
nanti kita lanjutkan pembicaraan,” kata Amangboru Sangap.
“Saya ikut melayat, Amangboru,” kata Namora.
“Saya bagian dari huta ini.”
Di angkasa, suara gong dengan nada tiga-tiga sudah
tak terdengar lagi.
LIMA BELAS TAHUN LALU, 1998, Namora
meninggalkan Huta Ginjang. Saat itu ia baru selesai SMA,
dan bermaksud melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi
di Kota Bandung.
Di Kota Bandung itulah Namora lahir, tapi saat
masuk SMP, ia harus meninggalkan Kota Bandung dan
ayah mengirimkannya ke Huta Ginjang lantaran suatu
sebab yang tak pernah diketahuinya. Ia hanya ingat,
sebelum keputusan itu dibuat ayahnya, terjadi pertengkaran
hebat antara ayah dengan ibunya. Pertengkaran yang
dipicu oleh suatu soal yang tak bisa dingatnya dengan jelas
hingga hari ini, dan ia harus menuruti keinginan ayahnya
tanpa penolakan.
Mula-mula Namora merasa bagai dibuang dari
keluarga, tapi setelah sekian tahun menjadi bagian dari
warga Huta Ginjang, ia merasa sangat beruntung. Di
tempat baru inilah ia menjadi paham siapa dirinya, juga
mengerti betul dari keluarga seperti apa ayahnya dilahirkan.
37
“Di Huta Ginjang ini, semua orang akan
menghormatimu tanpa kau minta,” kata Amangboru
Sangap.
Namora menduga ucapan Amangboru Sangap itu
hanya untuk membahagiakan hatinya agar betah tinggal di
Huta Ginjang. Tapi, setelah beberapa hari tinggal di Huta
Ginjang dan Amangboru Sangap membawanya berkeliling
serta mengunjungi setiap rumah yang ada di Huta Ginjang,
barulah ia menyadari bahwa ucapan Amangboru Sangap
tidak hanya bermaksud menyenangkan hatinya.
“Kau berasal dari keluarga panusunan bulung,” kata
Amangboru Sangap. Kemudian Amangboru Sangap
bercerita tentang panusunan bulung yang merupakan
keluarga pembuka Huta Ginjang. Sebelum panusunan bulung
muncul, Huta Ginjang hanyalah sebuah kawasan hutan
lebat yang perawan di kaki Gunung Sibualbuali.
Ratusan tahun lalu leluhur Namora memasuki hutan
perawan itu dan membukanya untuk berkebun. Setelah satu
kali musim tanam mengalami panen yang luar biasa,
leluhur Namora kemudian membangun rumah, lalu
memutuskan pindah dan tinggal di rumah itu. Selang
beberapa tahun kemudian, leluhur Namora kembali lagi ke
kampung lama dan mengajak beberapa kerabat untuk
pindah ke sekitar lahan perkebunan yang baru dibukanya.
Sejak itulah, muncul sebuah perkampungan di bekas hutan
perawan itu, yang kemudian disepakati namanya sebagai
Huta Ginjang.
Kata gi njang berarti tinggi, diberikan karena
letak perkampungan itu di kawasan yang lebih tinggi. Dari
jendela rumah-rumah penduduk di sana, bisa menatap ke
bawah yang merupakan lahan perkebunan milik warga
yang sebagian besar ditanami kopi, kulit manis, cengkih,
dan sayur-mayur. Pemandangan itu memberikan
ketenangan pada diri siapa pun yang menebarkan
38
tatapannya jauh ke lembah hingga berhenti di pinggir
sebatang sungai jernih. Air dari sungai itu dimanfaatkan
warga Huta Ginjang untuk mencetak lahan persawahan,
dan manakala musim padi tiba, dari jendela rumah-rumah
warga sawah-sawah itu akan terlihat seperti permadani
hijau yang dibentangkan.
“Kalau ada kerajaan di sini, kaulah putra
mahkotanya,” tambah Amangboru Sangap. “Tapi semua
kelebihanmu jangan sampai membuatmu bersikap
sombong. Keturunan panusunan bulung adalah keturunan
manusia yang boleh bersikap sombong.”
Namora mengangguk. Ingatan tentang ucapan
Amangboru Sangap itu tak akan pernah lekang, juga saat ia
memasuki halaman rumah almarhum Partaonan. Di
halaman rumah itu, di tempat dimana Namora pernah
bermain perang-perangan bersama kawan-kawan masa
kecilnya, sudah dipasang dua tenda. Di bawah tenda ada
kursi plastik yang disiapkan ahlul bait untuk para pelayat,
beberapa anak muda terlihat sibuk menata kursi-kursi lain.
Sebagian kursi sudah dihuni para pelayat, pada barisan
pertama kursi dihuni pihak keluarga dekat dari almarhum
Partogi.
Berjalan di belakang Amangboru Sangap, Namora
juga menyalami setiap orang yang duduk di bawah tenda
itu, setelah Amangboru Sangap menyalami mereka. Sambil
menyebutkan namanya, Namora melemparkan senyum
dan sekali-sekali meladeni warga yang merasa mengingat
dirinya. Beberapa diantara mereka adalah kawan
sebayanya, tetapi secara fisik mereka terlihat lebih tua
dibandingkan Namora, sehingga ia baru mengenali bila
mereka menyebut namanya.
“Masya Allah, Monang! Kalau tak kau sebut
namamu, pasti saya tak mengenalimu lagi,” kata Namora
sambil merengkuh tubuh Monang ke dalam pelukannya.
39
Dulu, Namora banyak menghabiskan waktunya bersama
Monang, dan laki-laki itu sangat terpukul ketika Namora
memutuskan kembali ke Kota Bandung.
“Sudah hebat kau sekarang,” kata Monang. “Tak
aku sangka kita akan bertemu lagi.”
Namora tersenyum. Ia bertanya tentang anak-anak
Monang, dan Monang bercerita bahwa ia menikah selesai
SMA. “Aku sudah punya dua cucu. Anak pertamaku tak
mau sekolah, ia memutuskan menikah agar bisa membantu
aku di sawah. Dia memberiku dua cucu,” katanya.
“Istri kau?” tanya Namora. “Apa kau menikahi
Rumondang?” Namora membongkar ingatan pada gadis
manis yang sama-sama mereka taksir saat SMA, dan itu
membuat Monang terpingkal-pingkal. “Aku tak berjodoh
dengan Rumondang, “ kata Monang, “dia menolak
cintaku.”
Namora ikut tergelak.
“ADA APA KAU PULANG?” tanya Monang, beberapa
saat setelah mereka bernostalgia tentang masa lalu.
“Rindu.” Namora berusaha tersenyum.
“Aku kenal kau jauh lebih baik daripada amangboru
kau. Pasti ada hal lain yang ingin kau lakukan,” tebak
Monang.
Namora tersentak, tapi ia sembunyikan
keterkejutannya. Ia tidak menyangka Monang akan
menduga-duga sampai sejauh itu. Dan, mendadak,
Namora ingat percakapan terakhirnya dengan ayahnya, hal
yang membuatnya bertolak dari Kota Bandung ke Huta
Ginjang.
Semua lantaran warisan, harta peninggalan
almarhum ompung, ayahnya ayah, yang ada di Huta
Ginjang: lima petak rumah, 10 petak kebun kopi, ratusan
hektar sawah, dan banyak lagi. Harta-hrta itu menjadi hak
40
ayahnya sebagai anak laki-laki satu-satunya, tapi semua
harta itu dikelola Amangboru Sangap bersama Inangboru.
Namora membutuhkan sebagian dari harta itu untuk dijual
dan uangnya guna menambah investasinya. Bisnis jaringan
kafe yang dibukanya lima tahun lalu sedang berkembang
pesat, dan ia harus membuka beberapa cabang di sejumlah
mall di Kota Bandung. Upayanya untuk meminjam
tambahan investasi ke bank gagal karena masih terkait
utang-piutang pada beberapa bank, dan hal ini membuat
Namora sangat pusing. Ayah kemudian member alternatif,
bahwa Namora masih punya harta yang melimpah di Huta
Ginjang, dan ia boleh menjualnya untuk menambah modal
usahanya.
“Coba bicarakan pada Amangboru dan Inangboru di
Huta Ginjang. Mereka pasti mengerti,” saran ayah.
Namora memang menolak, karena ia tahu persis
kondisi Amangboru dan Inangboru di Huta Ginjang. Mereka
tak bisa disebut kaya meskipun punya harta yang
melimpah, karena hasil dari seluruh harta itu tidak
dinikmati sendiri. Pasalnya, saudara-saudara ayah,
semuanya empat orang perempuan—salah seorang tinggal
di Huta Ginjang dan menikah dengan Amangboru Sangap—
selalu meminta jatah mereka dari harta-harta tersebut.
Mereka beralasan, ayah Namora tidak
membutuhkan harta itu karena hartanya sendiri sudah
terlalu banyak, dan karena itulah mereka yang paling
berhak atas harta-harta itu.
Namora ingat ketika masih tinggal bersama
Amangboru Sangap. Dulu, Amangboru Sangap sering
mengeluhkan sikap saudara-daudara perempuan ayah---
Namora memanggil Inangboru kepada semua saudara
perempuan ayah—yang selalu mendesak agar membagi-
bagi harta warisan dari almarhum ompung itu. Tapi,
lantaran ayah Namora masih ada dan ia satu-satunya ahli
41
waris yang paling berhak atas harta warisan itu, Amangboru
Sangap mengatakan baru akan melayani keinginan mereka
jika sudah mendapat izin dari ayah Namora. Tapi, setiap
kali Amangboru Sangap meminta izin dari ayah Namora,
jawaban yang didapat selalu sama.
“Harta itu warisan, tak boleh dibagi. Siapa pun yang
tinggal di Huta Ginjang, dia yang berhak mendapatkan
semua hasil dari harta itu,” kata ayah Namora.
Tapi sekarang, lantaran kebutuhan dana yang
mendesak untuk mengembangkan bisnis kafe itu, Namora
tidak punya pilihan. Seperti juga ayahnya, Namora adalah
anak laki-laki satu-satunya. Bedanya, kalau ayah Namora
punya empat saudara perempuan, maka Namora hanya
seorang diri. Sebab itulah, Namora menjadi satu-satunya
ahli waris dari harta yang diwariskan almarhum
ompungnya.
Itu pula alasan ayah Namora memberi tahu soal
harta itu. “Kalau kau mau, kau bisa menjual semuanya,”
kata ayah Namora.
“Hei!” Monang menepuk pundak Namora. “Apa
yang kau pikirkan?”
Tapi Namora diam saja.
“Kau tak mau cerita padaku seperti dulu?” tanya
Monang.
Namora mengeleng. “Tidak. Tidak ada masalah
apapun. Aku hanya rindu mau bertemu Amangboru dan
Inangboru. Sudah lama sekali, sudah lima belas tahun saya
tak ke mari.”
“Kalau kau tak mau, ya, sudah. Masih lama kau di
sini. Sempatkan ke rumah biar kau lihat siapa yang jadi ibu
anak-anakku!” kata Monang.
“KASIHAN KALI PARTAONAN,” kata Inangboru
Halima, sehari kemudian setelah pemakaman Partaonan.
42
Suara inangboru begitu lembut, masih seperti lima belas
tahun lalu. Namora mencoba menyimaknya.
Mereka sedang duduk di beranda rumah sambil
menunggu Amangboru Sangap pulang dari kebun kopi.
Jelang Magrib, Amangboru Sangap selalu pulang tepat
waktu. Seharian ia menghabiskan waktunya di kebun kopi,
menyiangi gulma, dan menunasi pohon-pohon kopinya.
Tidak seperti dulu, kini Amangboru Sangap kerja sendiri.
Inangboru Halima tidak boleh ikut, menunggu di rumah.
Rumah tangga Amangboru Sangap dengan Inangboru
Halima belum dikarunia anak, meskipun usia mereka sudah
kepala lima. Saat mereka masih muda, Inangboru Halimah
terkena serangan tumor indung rahim, dan harus diangkat.
Karena penderitaan itulah makanya ayah Namora sangat
menyayangi Inangboru Halimah, dan untuk mengobati luka
hatinya karena tidak punya anak, Namora dikirim ke Huta
Ginjang. Meskipun begitu, keduanya menjadi pasangan
yang bahagia, dan tak merasa bahwa hidup mereka menjadi
sangat kering tanpa kehadiran seorang anak pun.
“Ada apa sebetulnya Inangboru?” tanya Namora.
“Aku dengar semua orang mengatakan nasib Partaonan
begitu buruk.”
“Seharusnya ia tidak pernah pindah ke rumah itu.”
Inangboru Halima bicara seperti mengeluh. “Sejak awal
Amangboru kau sudah mengingatkannya, tapi niatnya untuk
pulang kampong dan mengurusi semua harta warisan
almarhum orangtuany begitu luhur.”
“Rumah tua itu,” tebak Namora.
“Ya, rumah itu tak ada yang mengurusinya. Mereka
enam bersaudara, semuanya merantau. Hanya Partaonan
yang berpikir untuk pulang dan mengurusi rumah itu. Kata
Partaonan itu rumah tempatnya lahir, makanya ia ingin
rumah itu terawat.”
“Itu niat yang baik.” Namora mengomentari.
43
“Mestinya begitu,” kata Inangboru Halimah, “tapi
nyatanya jadi malapetaka.”
“Kenapa begitu?”
“Lima saudaranya, terutama tiga saudara
perempuannya, meminta agar menjual rumah itu dan hasil
penjualannya dibagi-bagi kepada semua ahli waris. “
“Rumah sebesar itu dibagi-bagi. Berapalah totalnya
untuk satu orang. Untuk beli kerupuk saja tak cukup.”
Namora geleng kepala. “Partaonan menolaknya pasti.”
“Ya. Partoanan menolak menjualnya. Katanya,
rumah itu satu-satunya tanda peninggalan almarhum
orangtuanya. Dia berniat memperbaiki rumah itu agar
setiap saudaranya yang hendak pulang bisa mengunjungi
rumah tersebut. Tapi sikap itu justru membuat persoalan
semakin berat, saudara-saudaranya memfitnahnya,
memburuk-burukkannya, dan memaki-makinya.”
“Sampai seperti itu?!” Namora menggeleng.
“Partaonan sendiri tidak mengira akan seperti itu.
Dia hanya ingin mempertahankan, tapi dia menjadi musuh
semua orang. Itu membuatnya sedih, dan sejak itu ia sering
sakit-sakitan.”
“Betulkah semua ini, Inangboru.” Namora
meragukan cerita yang baru didengarnya. “Hubungan tali
darah bisa putus gara-gara itu.”
“Harta membutakan mata manusia.” Inangboru
Halimah bicara dengan suara bergetar. Kalimat itu seakan-
akan ditujukan kepada dirinya sendiri, karena memang
Inangboru Halimah tahu persis perasaan seperti apa yang
dialami Partaonan, penderitaan seperti apa yang mendera
nasibnya. Seperti itulah yang dialami Inangboru Halimah
karena saudara-saudaranya selalu mendesak agar seluruh
harta warisan dibagi-bagi, tapi rasa sakit Inangboru Halimah
sedikit terobati karena ayah Namora selalu mendukungnya.
44
Mendadak Namora ingat tujuan kedatangannya
untuk menjual harta warisannya itu, tapi keraguan
memerangkapnya. Ia tatapan Inangboru Halimah tepat pada
bola matanya, dan ia lihat kesedihan menggenang di sana.
“Kenapa?” tanya Inangboru Halimah, “caramu
melihat Inangboru agak berbeda.”
Namora tersentak mendapat pertanyaan seperti itu.
Ia alihkan tatapannnya ke tempat lain, ke pohon jambu air
di halaman rumah. Di bawah pohon jambu air itu, dulu, ia
sering bermain bersama kawan-kawannya. Telinganya
bagai mendengar tawa mereka yang riang. Ia juga
menangkap suara Amangboru Sangap saat menyuruh
mereka berhenti bermain ketika terdengar suara azan dari
masjid.
“Berapa lama rencanamu di sini?” tanya Inangboru
Halimah.
“Sepekan.”
“Bagaimana dengan pekerjaanmu? Keluargamu?
Anak-anakmu?”
Namora tersenyum. “Saya rindu kepada
Amangboru dan Inangboru. Saya juga rindu pada masa kecil
saya di sini.” Kalimat itu diungkapkan Namora sambil
menahan getar di dadanya. Terbayang bisnis jaringan
kafenya di Kota Bandung, terbayang percakapan dengan
ayahnya. *
45
Partonun
INANG, MENURUTKU, seorang penenun kemiskinan
seperti juga sebagian besar penenun di kampungku. Seluruh
waktu mereka habis untuk merangkai benang-benang
kemiskinan, sehelai demi sehelai, sehingga menjadi
sebentang kain yang justru melahirkan kemiskinan lain.
Jari-jemari Inang seperti punya mata, meniti di
rentangan helai demi helai benang kain tenun berwarna
hitam, lalu menyusup untuk mengaitkan benang warna-
warni di antara benang-benang itu hingga terbentuk
ornamen-ornamen indah. Tumpukan ornament-ornamen
itu kemudian menjelma menjadi kain, dan orang-orang di
kampungku menyebutnya ulos. Tiap ornamen itu
merupakan symbol yang mengacu pada makna-makna
filosofis budaya mpasyarakat kami. Sebab itu, seorang
penenun seperti Inang juga seorang yang sangat paham
tradisi, sehingga ia pun sangat mengerti untuk apa
seseorang membeli ulos.
Jari-jemari Inang seolah bisa membedakan warna
setiap benang yang terserak di sekitarnya, yang diraih Inang
tanpa melihatnya. Ada puluhan benang, digulung dalam
kertas hingga membentuk bulatan-bulan sebesar kelereng,
sehingga gampang keluar-masuk di antara benang-benang
yang tipis. Gulungan benang sebesar kelereng itu
dimasukkan ke dalam kaleng bekas biscuit, dan apabila
Inang menarik benang-benang itu, maka timbul suara yang
sangat khas.
Silih berganti, setiap kali satu rajutan selebar
setengah meter rentangan benang itu selesai, dengan
kecekatan serupa jari-jemarinya, Inang mengeluarkan bilah-
bilah bambo yang kami sebut balobas yang semula di dalam
rentangan benang sembari mengetuk-ngetukkannya.
Semilimeter demi semilimeter, rentangan benang-benang itu
46
berubah menjadi kain. Inang harus mengetukkan balobas
itu kencang-kencang sehingga benang menegang dan
rajutan yang terbentuk juga akan lebih rapih.
Begitu terus-menerus Inang mengerjakan ulos itu
dengan ketekunan seorang pengrajin tradisional, yang
mewarisi bakat itu secara turun-temurun dari almarhumah
ompung. Inang cuma butuh tiga pekan untuk
menyelesaikan satu ulos sepanjang tiga meter itu, dan itu
waktu yang sangat cepat dibanding penenun lainnya yang
membutuhkan empat sampai enam pekan untuk
menyelesaikan tenunannya. Selama tiga pekan itu, tubuh
Inang terikat dengan peralatan yang sederhana itu, seolah-
olah mereka telah menyatu. Inang baru melepas ikatan alat-
alat tenun itu dari tubuhnya jika ingin buang air, atau saat
panggilan azan terdengar dari langgar yang letaknya tak
jauh dari rumah kami. Selama itu pula, aku yang menjaga
Inang dan mengambilkan makanan atau minuman
untuknya, serta menyuapinya.
Dua adikku, Tiurma (10) dan Sangap (5),
untungnya, sangat mengerti dengan kondisi Inang sehingga
mereka tidak berani bermanja-manja. Aku pun sering
mengingatkan agar mereka belajar mengurus diri sendiri.
Mereka menurut meskipun tidak jarang sikap anak-anak
yang ingin mendapat perhatian lebih dari ibunya sering
mereka perlihatkan di hadapan Inang, tetapi aku
memakluminya asal tidak mengganggu pekerjaan Inang.
Kalau mereka mulai mengganggu pekerjaan Inang, cepat-
cepat aku bawa keluar rumah, dan mengajak mereka duduk
di bangku panjang di bawah pohon nangka di halaman
rumah. Mereka biasanya tanggap bahwa aku akan
menceritakan suatu cerita seperti biasa selalu aku lakukan
setiap kali mulai kewalahan meladeni kemanjaan-
kemanjaan mereka.
47
Aku bukan tukang cerita yang bagus, karena aku
sering mengulang-ulang cerita yang sudah pernah
kuceritakan. Aku kewalahan mencari cerita karena semua
cerita yang ada sudah kuceritakan, dan aku terpaksa
mengarang sendiri cerita-cerita baru. Pernah aku
menceritakan seekor ratu lebah yang terpaksa berdiam diri
di dalam sarangnya sambil membangun sepotong demi
sepotong sarang untuk meletakkan telur-telurnya. Pekerjaan
itu dilakukan ratu lebah selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun tanpa pernah melihat dunia luar, dan tanpa
melakukan hal-hal lain yang dilakukan lebah-lebah lain
seperti mengisap sari bunga-bunga.
Ketika menceritakan itu, aku selalu teringat kepada
Inang yang dalam bayanganku seperti ratu lebah itu,
sembari kuandaikan alangkah tersiksanya kehidupan yang
dijalani Inang dengan menutup diri terhadap dunia luar.
Tapi, Amang, bukanlah lebah-lebah jantan yang pergi
keluyuran mencari bunga-bunga mekar dan menghisap
madunya untuk dibawa ke rumah. Amang memang
keluyuran ke luar rumah, lalu pulang untuk mengambil
madu dari dalam rumah dan menghamburkannya di kedai
Amani Husor dengan berjudi sambil meminum tuak.
Sejak pabrik bubuk kopi milik Amani Luhut
bangkrut karena tidak ada lagi biji kopi yang bisa
digilingnya—sebagian besar kebun kopi ditebangi menjadi
perkampungan--ditambah banyaknya kopi kemasan yang
masuk ke kampung kami melalui pedagang-pedagang
kamvaser dari Padangsidempuan, Amang dan sebagian
besar laki-laki di kampung kami yang semula bekerja
menjadi buruh di pabrik itu menjadi kehilangan pekerjaan.
Amani Luhut sendiri terpaksa hidup dari hasil menjual satu
per satu mesin penggiling kopinya yang masih sisa, karena
sebagian besar sudah disita bank, dan ia semakin sering
terlihat berjalan-jalan sendirian mengelilingi kampung kami
48
sembari menggerutu sepanjang jalan. Belakangan Amani
Luhut ditangkap orang sekampung dan dipasung di gubuk
kecil bekas gudang penimbunan biji kopi di belakang
rumahnya, karena ia tidak cuma suka menggerutu tetapi
mulai gemar membentak-bentak setiap orang yang
berpapasan dengannya seperti kebiasaannya membentak-
bentaki para pekerja ketika pabrik penggilingan kopinya
masih aktif.
Hampir semua bekas buruh di pabrik Amani Luhut
itu tidak siap kehilangan pekerjaan, karena mereka tidak
tahu mau bekerja apapun untuk menghidupi keluarganya.
Pekerjaan lama mereka sebagai petani tidak bisa lagi
diandalkan karena mereka tidak punya sawah untuk
digarap. Semua penduduk di kampung kami, yang semula
memiliki lahan garapan warisan dari orang tua masing-
masing, kini tidak punya lahan lagi. Mereka menjual lahan-
lahan itu beberapa tahun lalu ketika Amani Luhut baru
membuka pabrik kopinya dan mengajak semua laki-laki di
kampung kami yang biasa bersawah menjadi buruh di
pabriknya. Para laki-laki itu pun merasa sangat betah
bekerja di pabrik itu, lalu memutuskan menjual sawah
mereka karena yakin gaji sebagai buruh pabrik cukup untuk
menghidupi keluarganya.
Ketika sawah-sawah itu dijual, di kampung kami
sedang demam orang memiliki parabola. Cuma dengan
teknologi itulah orang-orang bisa mengikuti perkembangan
zaman melalui pesawat televisi, karena antena biasa cuma
bisa menangkap TVRI yang acaranya melulu propaganda
politik pemerintah. Makanya, hampir semua rumah di
kampung kami memiliki parabola, sekalipun kondisi
rumah-rumah itu sangat memprihatinkan dengan dinding
kayu tua lapuk dan atap seng buruk yang sudah karatan dan
penuh tambalan.
49
Namun, sejak pabrik kopi itu tutup dan banyak laki-
laki yang menganggur, parabola tidak ada lagi di kampung
kami. Para pemiliknya menjual parabolanya untuk membeli
beras atau kebutuhan hidup lainnya. Satu-satunya parabola
cuma ada di kedai milik Amani Husor, dan setiap orang di
kampung kami senantiasa berada di dalam kedai itu
menghabiskan waktu berhari-hari, sambil memesan kopi
yang setiap jam selalu ditambah airnya.
Amang termasuk salah seorang yang gemar
menghabiskan sehari penuh di kedai Amani Husor, dan
baru pulang ke rumah dinihari ketika kami—ketiga
anaknya—sudah terlelap. Biasanya, Amang pulang
membawa aroma minuman keras di mulutnya, yang sering
membuat aku tersentak bangun dan cepat-cepat
membukakan pintu. Pagi harinya Amang bangun dengan
sisa tuak yang masih mengendap di rongga kepalanya.
Suaranya yang keras menggoyangkan tiang-tiang rumah
seperti ingin merobohkannya ketika meminta dibuatkan
secangkir kopi, lalu duduk di kursi rotan tua sambil
menyedot rokok Union-nya.
Berulangkali ia akan mendahak dan meludah keluar
dari jendela. Akulah yang memenuhi semua kebutuhan
Amang, membuatkannya secangkir kopi kalau kopi dan
gula ada. Kalau tidak ada, aku akan diam-diam ke warung
Amani Husor, membeli gula atau kopi dengan sisa uang
belanja yang diberikan Inang kepadaku. Selesai ngopi,
biasanya, Amang keluar. ”Ada kau simpan uang, Nurma,”
katanya.
Aku tak pernah bisa menolak, karena Amang tidak
akan segan-segan memukuliku. Sisa uang belanja dari Inang
kuberikan.
Sedangkan Inang yang sudah mulai mengikatkan
tubuhnya pada peralatan tenun, biasanya tidak banyak
bicara. Inang harus memburu menyelesaikan pekerjaannya
50
untuk menenuhi pesanan pelanggan dari
Padangsidempuan, yang membutuhkan Ulos Godang itu
untuk menikahkan anak sulungnya.
Inang selalu berusaha menjaga pelanggannya agar
tidak kecewa. Semua keinginan mereka dipenuhinya tanpa
banyak menuntut, sekalipun tidak jarang pelanggan yang
datang itu menjual kembali hasil tenunan Inang dengan
harga yang lebih tinggi dari harga yang diberikan oleh
Inang. Inang juga tahu soal itu tetapi ia tidak pernah mau
meributkannya, karena Inang selalu bilang, ”Yang penting
kita harus mensyukuri rezeki yang ada. Begitu kita
mensyukurinya, Tuhan akan menambah rezeki itu.”
Tapi, aku tak pernah bisa menerima perlakuan para
pelanggan Inang itu. Sering kukatakan agar Inang
menetapkan harga lebih tinggi karena cuma Inang satu-
satunya penenun yang mampu menghasilkan kain bagus
dan indah. Banyak penenun lain tetapi hasil karya mereka
sering tidak memenuhi keinginan para pembeli, karena
banyak dari ornamennya tidak sesuai dengan ornamen ulos
yang semestinya. Ornamen-ornamen yang mereka buat
tidak lagi mengandung falsafah warisan leluhur budaya
Batak Angkola, karena penempatan ornamen di setiap
lembar ulos mengandung ajaran-ajaran kehidupan yang bila
diamalkan akan membuat hidup lebih tenang, dan orang
bersangkutan selalu akan tawadu dan husnuzon.
Begitulah Inang selalu menceritakan makna setiap
motif dan ornamen ulos yang ditenunnya, lalu Inang
mengatakan, ”Inang tidak cuma mencari nafkah dengan
menenun ulos, tapi juga melestarikan ajaran-ajaran leluhur
kita agar orang-orang zaman sekarang bisa hidup tenang
dengan rasa toleransi yang tinggi.”
HAMPIR TIGA PEKAN, AKHIRNYA, Inang
menyelesaikan tenunannya. Bertepatan dengan itu,
51
pemesan ulos datang dari Padangsidempuan. Kijang biru
metalik yang dikendarainya diparkir di halaman rumah.
Kulihat Tiurma dan Sangap mendekati mobil itu,
mengaguminya, tetapi sopir orang itu menyuruh mereka
menjauh. Aku keluar dan menyuruh mereka menjauh, lalu
ke dalam lagi untuk menyiapkan minuman. Ketika aku
datang sambil membawa minuman, kulihat pemesan itu
sedang memeriksa hasil kerja Inang.
”Luar biasa!” Perempuan bertubuh gendut yang
gemar tersenyum untuk memperlihatkan sebutir gigi
emasnya itu memuji karya Inang. Berulang-ulang
diselempangkannya ulos itu di pundaknya, dan setiap kali
ulos itu sudah terselempangkan, perempuan gendut itu
membuat gerakan-gerakan menari tor-tor. ”Maaf, aku selalu
tidak bisa menahan diri untuk tidak manortor kalau sudah
kuselempangkan ulos,” katanya.
Kulihat Inang tersenyum. ”Eda pantas sekali
memakainya. Kapan horjanya diadakan?” tanya Inang.
”Anu...rencananya besok,” perempuan gendut itu
terlihat gugup.
Aku dan Inang tahu persis, ulos itu bukan untuk
dirinya sendiri. Perempuan gendut itu pedagang dari
Padangsidempuan, yang akan menjual ulos itu kepada
pemesannya. Tapi, ia berpura-pura sebagai orang yang akan
memakai ulos itu. Dengan begitu, ia akan mendapat ulos
dengan harga lebih murah dari harga biasanya, karena para
penenun ulos tidak boleh menaikkan harga bagi orang yang
akan menggunakan kain adat itu untuk keperluan horja.
Ada semacam toleransi yang tak tertulis dari para penenun
ulos untuk mempermudah semua urusan orang-orang yang
akan melaksanakan horja. Aku tahu persis soal itu dari
Inang, makanya perempuan gendut itu membuat aku muak.
Buru-buru aku ke dapur, meninggalkan Inang bersama
tamunya.
52
”Berapa lagi sisa uangnya?” Perempuan gendut itu
mengalihkan pembicaraan. ”Sebelumnya aku sudah kasih
Rp50.000, tinggal Rp200.000 lagi kan?” katanya.
”Rp300.000 lagi, Eda.” Inang meralatnya. ”Kita
sepakat harganya Rp350.000.”
”Eda! Ulos ini mau kupakai sendiri. Persiapan horja
perkawinan anak sulungku sudah banyak menghabiskan
uang. Tolonglah aku, Eda, jangan sampai karena ulos ini
horja itu jadi batal.”
Inang terdiam. Dari dapur aku menunggu reaksi
Inang. Aku berharap kali ini Inang mau bicara lugas dan
mengatakan yang sebenarnya bahwa perempuan gendut itu
berbohong. Tapi, ketika aku dengar Inang mengatakan
”baiklah”, aku terduduk di kursi rotan tua. Aku sudah
menduga Inang pasti tidak sanggup bicara lugas karena ia
selalu berusaha menjaga agar pelanggannya tidak pergi.
”Mauliate ma da, Eda,” kata Inang setelah menerima
sisa uang Rp200.000.
Ah, Inang, ia masih juga berterima kasih meskipun
dibohongi.
”Mauliate.” Perempuan gendut itu tersenyum.
Aku melihat wajah perempuan gendut itu begitu
puas. Aku tahu rasa puas itu bukan karena sudah
memperoleh ulos dengan harga murah, tetapi karena
berhasil membohongi Inang. Begitu ia berada di dalam
perjalanan ke Padangsidempuan, ia pasti akan bilang
kepada sopirnya, ”Bodoh kali orang itu mau aku bohongi.
Ulos sebagus ini bisa aku bisa jual Rp500.000, bahkan Rp1
juta.”
Setelah perempuan gendut itu pergi, Inang
memberiku Rp100.000 dari uang itu, ”Kau bayar uang
sekolah kau dan adikmu Tiurma, sisanya untuk belanja kita
sehari-hari. Sekarang kau pergi beli beras dan minyak
53
goreng! Inang mau membeli benang-benang baru karena
benang tenun Inang sudah habis.”
Aku mengajak Tiurma dan Sangap ke kedai Amani
Husor. Tapi, baru saja kami mau melangkah keluar rumah,
tiba-tiba datang seseorang memberi tahu bahwa Amang
ditangkap polisi di kedai Amani Husor. Amang bersama
kawan-kawannya tertangkap basah sedang berjudi. ”Amani
Husor juga ditahan,” kata tamu itu.
Aku lihat Inang tenang saja sambil meremas uang
Rp100.000 di tangannya. ***
54
Butet
Kita akhirnya terpisah meskipun tidak menghendakinya.
Perpisahan itu berlangsung bertahun-tahun hingga saya
tidak lagi punya keyakinan bahwa suatu saat kita akan
bertemu. Saya pun tidak lagi mencarimu ketika pada hari
yang cemerlang itu kau muncul di halaman rumah dengan
niat hendak membeli salah satu lukisan yang saya buat.
Hari itu, 1958 pada almanak. Kau pergi ke kanan,
saya bergerak ke kiri. Saya ingin ke kanan, tapi sebuah
kekuatan memaksa agar saya ke kiri. Kau tahu kekuatan
itu? Moncong senapan SS diarahkan ke punggung saya.
Saya tahu tak ada peluruh pada magazin, tapi saya
ketakutan bukan main. Bukan karena senapan serbu itu,
tapi karena orang yang memegangnya, yang mengarahkan
moncongnya ke punggung saya, adalah Ja Soimbangon.
Saya mengenal Ja Soimbangon sejak lama sebagai
seorang pemabuk yang sinting. Saya sering mentraktirnya
minum tuak di lapo milik Ja Tigor, dulu lapo itu berdiri di
Lobu Jelok. Tapi sebuah peristiwa politik yang terjadi di
Jakarta tiba-tiba mengubahnya menjadi komandan pasukan
gerilya, yang memimpin sebanyak tiga puluhan orang, dan
bergerilya di dalam hutan di lereng Tor Sibual-buali.
Konon ia diangkat oleh Kolonel Simbolon, pimpinan
pemberontakan yang keluar dari kesatuan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) karena ingin mengembalikan Negara
Kesatuan Indonesia Timur. Tapi tidak seorang pun pernah
tahu ada upacara militer untuk pengangkatan itu.
Jabatan baru itu membuat Ja Soimbangon tinggi
hati. Ia sangat kasar, bengis, dan tidak mau berkompromi.
Senjata di tangannya tidak mampu mengenali siapa pun.
Peluruh di dalam magazin sering meletup dan bersarang di
dada sembarang orang. Tidak ada ampunan. Ia sangat
berkuasa. Ia pula yang menentukan siapa yang harus mati
55
ditembak, dan siapa yang harus diajak bergabung sebagai
gerilyawan.
Ia memaksa saya bergabung dengan gerilyawan yang
dipimpinnya. Saya sudah menolak dengan alasan bahwa
kau masih kecil dan sangat membutuhkan kasih sayang,
sedangkan ibumu sudah meninggal. Ja Soimbangon tidak
mau tahu. Ia beralasan, setiap orang harus punya pilihan,
dan setiap pilihan selalu punya resiko. “Di dalam
peperangan, tidak ada seorang pun yang tidak berkorban,”
katanya.
“Saya sudah terlalu banyak berkorban.” Saya
berusaha mengingatkan Ja Soimbangon bahwa ibumu
belum lama meninggal karena terkena peluruh nyasar yang
diberondongkan gerombolan pemberontak ke tempat
pemandian umum di Aek Lappesong. Di tempat itu, ada
satu regu tentara pusat yang dipimpinpin Kapten Sunaryo
sedang beristirahat sambil mandi. Gerombolan
pemberontak yang dipimpin Ja Soimbangon memergoki
mereka, lalu memberondongi regu itu dengan peluruh
secara membabi-buta. Salah satu peluruh nyasar ke dada
ibumu, yang menyebabkan kematiannya.
Usiamu belum tiga tahun ketika kehilangan ibu.
Belum sepekan duka cita itu berlalu, kau harus kehilangan
saya. Ja Soimbangon memaksa saya ikut bergerilya sambil
mengancam akan menyebarluaskan berita bohong bahwa
saya mata-mata tentara pusat jika menolak bergerilya.
Ketika itu, siapa saja yang disebut mata-mata, nasibnya
tidak akan indah. Saya tak punya kuasa untuk menolak.
Saya membayangkan betapa malang nasibmu jika harus
kehilangan ayah pula.
Itu sebabnya, saya menerima menjadi bagian dari
gerombolan pemberontak yang bergerilya di dalam hutan di
Tor Sibualbuali. Di dalam hutan belantara itu, kami
menyusun strategi perang gerilya. Kami hanya keluar
56
malam hari setelah beberapa mata-mata dikirim siang hari
untuk memantau markas tentara pusat, juga untuk melihat
apakah ada penduduk yang menjadi pengkhianat.
Bila kami keluar dari hutan, hal pertama yang akan
kami lakukan adalah mencari bahan-bahan makanan di
rumah-rumah penduduk. Kami tidak seperti pejuang, tapi
lebih mirip gerombolan perampok yang bersembunyi di
dalam hutan. Kami terpaksa melakukannya, karena tidak
punya lagi bahan makanan. Di dalam hutan, kami
menyantap apa saja yang kami temukan. Kami sering
makan ular. Rasa dagingnya selalu tinggal seperti serbuk di
lidah.
Kami hidup di dalam hutan entah berapa lama.
Selama itu pula saya selalu berusaha mencari tahu kabar
tentang dirimu. Tanpa sengaja, suatu hari saya mendengar
kabar kalau kau dipungut salah seorang tentara pusat
bernama Muhammad. Ia seorang prajurit berpangkat
rendah, bertugas di pos tentara pusat yang ada di Desa
Baringin. Suatu malam saya pergi ke pos itu diam-diam
untuk menemui Muhammad. Tapi, laki-laki bodoh itu
memberi perlawanan, dan saya terpaksa melumpuhkannya.
Sebelum Muhammad menghembuskan nafas terakhir, saya
tanyakan keberadaan dirimu. Dari Muhammad saya tahu,
kau dipungut salah seorang komandan tentara pusat, dan
telah dibawanya ke Medan karena perwira itu
dipindahtugaskan ke wilayah tersebut.
Komandan berpangkat letnan itu kemudian pindah
ke Jakarta, ditugaskan sebagai komandan untuk pasukan
khas yang bermarkas di Cilandak. Saya tidak tahu persis
tentang perwira itu. Saya terus berusaha mencari kabar,
memastikan bahwa kau benar-ben ar diasuhnya sebagai
anak.
Kabar itu tidak kunjung saya peroleh hingga masa
pemberontakan berakhir. Kau tahu kenapa berakhir.
57
Semua karena Ja Soimbangon. Komandan pasukan itu
terlalu percaya diri, dan tidak waspada saat beraksi. Suatu
siang, tentara pusat memergoki saat Ja Soimbangon sedang
menemui seorang janda yang tinggal di Desa Mandurana.
Saat sedang bertamu di rumah janda itu, tentara pusat
mengepung. Ja Soimbangon diminta menyerah, tetapi ia
memilih melawan dan akhirnya mati diberondong.
Kematian Ja Soimbangon menjadi alasan kuat bagi
kami—para gerilyawan—untuk menyerah. Kami turun
gunung dan mengakui kekeliruan. Kami meminta
ampunan. Presiden Soekarno kemudian berpidato di radio,
yang menegaskan bahwa pemerintah pusat mengajak
seluruh pemberontak untuk bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Saya kembali menjadi warga
biasa. Sejak itu pula, saya mencari informasi tentang
dirimu. Setiap orang yang saya kenal, saya tanyakan
kebenaran tentang dirimu. Tak seorang pun yang tahu.
Bertahun-tahun saya mencarimu. Saya pernah ke Jakarta,
tapi karena saya tidak tahu siapa perwira yang telah
menjadikanmu anak angkatnya, perjalanan ke Jakarta
menjadi sia-sia.
Akhirnya saya kembali ke kampung dan hidup
sebagai pelukis. Hanya melukis yang bisa saya lakukan.
Saya melukis pengalaman selama mengikuti perang gerilya.
Saya memilih melukis tema itu untuk menunjukkan kepada
siapa saja bahwa saya punya kenangan yang sangat pahit
tentang pemberontakan. Saya berharap tidak ada seorang
manusia pun yang akan mengalami apa yang saya alami.
Sebuah lukisan yang menceritakan perpisahan kita di
persimpangan itu, ketika kau pergi ke kanan dan saya harus
bergerak ke kiri, yang saya buat dominan memakai warna
hitam dan oranye, mendapat pujian dari para pengamat
seni rupa. Lukisan itu kemudian dibeli oleh seorang
kolektor yang tinggal di Jakarta, yang kemudian
58
memamerkannya dalam sebuah peristiwa pameran yang
digelar di Taman Ismail Marzuki.
Lukisan itu saya beri judul namamu, “Berpisah
dengan Butet”. Konon, media banyak mengulas tentang
lukisan itu, dan para kritikus seni rupa memuji goresan dan
sapuan kuas pada permukaan kanvas sebagai teknik baru
dalam seni rupa di negeri ini.
Saya tak perduli pujian-pujian itu. Saya hanya
perduli pada suatu hal, bahwa tema lukisan itu akan
menggetarkan hati siapa saja yang punya kenangan pahit
tentang pemberontakan. Saya berharap, suatu saat kau akan
melihat lukisan itu. Kau akan merasakan getaran yang
sama. Getaran itu akan membawamu kepada saya.
Dan, benar, kita akhirnya bertemu setelah bertahun-
tahun berpisah. Saya sudah renta saat kau muncul di
halaman rumah. Meskipun kau sudah banyak berubah, saya
tahu persis bahwa kau adalah gadis kecilku yang hilang
bertahun-tahun. Kau tak tahu soal itu, meskipun kau
mengaku sangat tergetar ketika pertama sekali menatap
lukisan berjudul “Berpisah dengan Butet” itu.
Kau sengaja menghubungiku lewat telepon, dan
mengatakan ingin menemui pelukis yang menghasilkan
lukisan berjudul “Berpisah dengan Butet” itu. Katamu, kini
lukisan itu ada di ruang tamu rumahmu setelah kau
membelinya dengan harga mahal dalam sebuah acara amal
yang digelar sebuah lembaga sosial yang mengurus anak-
anak terlantar korban kerusuhan.
“Entah kenapa, setiap kali melihat lukisan itu, saya merasa
tidak asing. Entahlah. Saya merasa seperti pernah
mengalami peristiwa yang ada dalam lukisan itu,” katamu.
Saya ingin menangis. Saya ingin mengatakan bahwa
kau tidak keliru. Tapi saya tahankan perasaan itu. Saya
takut kau tak percaya seandainya saya bicara jujur. Saya
59
tidak ingin kau mendebat, karena hal itu akan membuat
impian saya menjadi luluh. Saya ingin menikmati sendiri
bahwa akhirnya bisa bertemu dengan dirimu.
“Dari mana asalmu, Nak?” tanyaku.
“Aku anak tentara. Dulu, ayahku pernah dikirim
untuk memberantas pemberontakan ke daerah ini,”
katanya.
“Siapa nama ayahmu? Siapa tahu saya pernah
bertemu. Zaman pemberontakan, saya sudah di daerah ini.”
“Ketika itu ayah masih berpangkat letnan. Ayah
pensiun dengan pangkat terakhir mayor jenderal.”
Butet! Saya berteriak dalam hati. Saya ingin
meluaskan teriakan saya, tapi saya tahankan. Saya
menatapmu, begitu lekat. Sungguh, saya tak ragu lagi, kau
adalah anak yang saya rindukan.
Tapi biarlah hanya saya yang tahu soal itu. ***
60
Bulan Bulat Penuh
Bulan bulat penuh di atas pohon bacang yang tumbuh
semarak di halaman rumah. Pendaran cahayanya bagai
hendak mengganti malam menjadi siang. Terang di
halaman. Membias cahayanya sampai ke dalam rumah,
menyusup lewat celah dinding tepas, membentuk jarum-
jarum cahaya dan menembus binar redup lampu minyak
tanah yang digantung di dinding. Angin malam yang dingin
ikut menyusuf, lalu menusukkan gigil pada kulit tubuhmu
yang tua dan rapuh. Perlahan kau bangkit dari sisi ranjang,
mengansur selangkah untuk meraih lampu minyak,
mendekatkan nyalanya ke ranjang untuk memastikan
apakah Salminah sudah terlelap.
Kelopak mata anak gadismu itu mengatup rapat,
membuat bulu mata yang lentik itu terlihat melengkung
keluar. Dipadu bentuk hidung yang bangir dengan alis yang
rapih bak semut beriringan, Salminah sesungguhnya
jelmaan bidadari yang turun dari langit. Kecantikannya itu
telah menjadi buah bibir bukan hanya di Huta Parausorat,
tetapi juga di seluruh Kecamatan Sipirok. Orang-orang
memuji kecantikannya nyaris sebanding dengan rupa
Marbintang. Tapi dulu, sebelum Salminah menderita hilang
akal karena satu dan lain hal yang tidak seorang pun tahu.
Kabar burung yang lepas dari mulut setiap orang dan
hinggap di sembarangan telinga warga Huta Parausorat,
menyebut Salminah mengalami apa yang telah mendera
hidup Marbintang.
Kabar burung itu sampai juga ke telingamu, tapi tak
sekalipun terbit di hatimu untuk meluruskannya. Padahal
kau yang lebih paham kenapa Salminah sampai menderita
hilang akal seperti itu. Tapi, tidak, kau tak akan pernah
membuka rahasia yang telah berhasil kau sembunyikan
sekian lama. Kabar burung itu biarlah menjadi kepercayaan
61
warga Huta Parausorat, meskipun terkadang ada rasa
bersalah yang menyebabkan hati risau, yang kadang-kadang
pula menjelma menjadi pisau. Kau merasakan hatimu diiri-
iris pisau itu, tepat pada saat ingatanmu kembali bangkit
ketika terakhir kali Salminah bicara tentang Torang,
pemuda miskin asal Desa Sialagundi yang dengan tak tahu
diri mengajak Salminah berumah tangga. Tegas betul kau
melarang Salminah melunaskan niatnya untuk menikah,
karena Torang hanya akan membuat hidupnya menjadi
lebih sengsara, padahal ada banyak pemuda kaya raya yang
datang untuk melamarnya.
“Aku mencintai Bang Torang, lebih dari apapun.”
Untuk pertama kali Salminah membatahmu sejak 20 tahun
lalu. Kalimat itu seperti ribuan batang jarum yang
ditembakkan bersamaan ke ulu hatimu. Rasa sakitnya luar
biasa. Dengan serta merta, sembari menanggung rasa perih
itu, kau bangkitkan almarhum suamimu di dalam
ingatanmu. Tiba-tiba saja kau ingat pesan terakhirnya
sebelum maut menjemput pada malam kematian itu, bahwa
ia menitipkan Salminah agar dijaga dan dibesarkan menjadi
kebanggan orang tuanya, bangsa, dan negara. Lima tahun
masih usia Salminah ketika nafas terakhir ayahnya
menghambur bersama nyawa. Sejak itu, kau melakukan apa
saja untuk membesarkan Salminah, seorang diri kau hadapi
segala sesuatu. Semakin berat cobaan yang mengadang,
semakin kuat hatimu untuk mendidik Salminah. Tapi,
setelah usianya 20 tahun, Salminah sampai hati
membantahmu hanya karena si Torang.
Diam-diam kau pupuk kebencian kepada Torang.
Pemuda miskin itu adalah kunci dari semuanya, sebatang
kunci yang gampang untuk dipatahkan. Sedikit bekas,
seperti cacat pada kaki yang membuat Torang tidak lagi
mampu menerangi hati Salminah. Ketika itu terjadi, tak ada
lagi alasan bagi Salminah untuk bersikeras menikah dengan
62
pemuda miskin itu. Dan pada suatu malam, saat bulan
bulat penuh di atas kepala, seperti biasa Torang datang
untuk mengunjungi Salminah. Dari rumahnya di Desa
Sialagundi, melintasi kebun kakao dan mengambil jalan
memotong melalui sebentang pesawahan, dalam hitungan
setengah jam akan sampai di hadapan Salminah.
Di dalam kebun kakao itu, tiga pemuda pemabuk
yang sebelumnya kau belikan rokok dan beberapa botol
tuak, berpesta pora sambil menunggu Torang melintas. Di
bawah semarak cahaya bulan, yang menerabas ranting-
ranting kakao, ketiga pemuda pemabuk itu mencegat
Torang. Pada mulanya hanya ingin mengingatkan agar
Torang tidak lagi mendambakan Salminah. Tapi cinta telah
membuat Torang tidak mengenal aral rintangan. Meledak
emosi Torang. Gelegar suaranya justru seperti percik api
menyulut alcohol yang terlanjur mengendap di darah ketiga
pemuda pemabuk itu. Dada dan kepala ketiga pemuda
pemabuk itu terbakar. Malam itu, disaksikan bulan bulat
penuh, Torang rubuh bersimbah darah.
Pagi harinya, pemilik kebun kakao menemukan
mayat Torang dengan darah yang mongering pada bibir
setiap luka robek di perut dan dadanya. Ketiga pemuda
pemabuk itu menghilang. Bagai ditelan bumi, jejak mereka
tidak terlihat dimana-mana. Tapi jejak kematian Torang
meninggalkan bekas yang dalam pada diri Salminah. Gadis
itu sangat terguncang. Tangisnya melengking panjang, lebih
nyaring dari suara apapun, lebih pilu dari kesedihan
apapun. Kau menyesal belakangan, dan merasa sangat
bersalah ketika Salminah sejak itu kehilangan akal
sehatnya. Bagai dikejar-kejar bayangan dan rasa bersalah
yang hebat, kau berniat mengakui segalanya dan meminta
maaf kepada Salminah. Tapi kabar burung tentang nasib
Salminah yang mirip nasib Marbintang, membuatmu punya
cukup alasan untuk merahasiakan semuanya.
63
Marbintang adalah dara rupawan yang
kecantikannya tersohor kemana-mana. Orang akan dengan
mudah mengetahui bila Marbintang melintas di sekitarnya,
karena dari tubuh gadis itu selalu tercium aroma harum
yang mengingatkan orang pada aroma dari paduan
bermacam-macam bunga yang kembang. Kecantikan dan
aroma tubuh Marbintang telah membuat seorang pangeran
dari Kerajaan Bunian yang bertahta di puncak Tor
(Gunung) Nangge berhasrat luar biasa untuk menikahi
gadis itu. Suatu hari si Pangeran menculik Marbintang,
bermaksud membawanya ke puncak Tor Nangge, bukit
tertinggi dari tujuh bukit yang mengelilingi Huta
Parausorat. Tapi, di tengah perjalanan, Marbintang
menolak dengan halus karena dia telah jatuh cinta dan
berkasih-kasihan sejak lama dengan seorang pemuda yang
tinggal di Huta Baringin. Kecewa lantaran keinginannya tak
terpenuhi, si Pangeran mengutuk Marbintang tidak akan
pernah bisa pulang ke rumahnya agar tidak pernah bisa
menikah dengan siapa pun.
Sejak peristiwa itu, Marbintang dinyatakan hilang
meskipun dia tidak pernah jauh dari Huta Parauorat.
Marbintang tak pernah bisa pulang ke rumahnya, dan dia
hanya berkeliling-keliling di sebuah bukit sebelum Tor
Nangge. Siapa pun yang datang ke bukit itu, pasti akan
mencium aroma harum seperti aroma yang menguap dari
pori-pori Marbintang. Karena aroma harum itu tak mau
hilang dari bukti tersebut, orang-orang memberi nama bukit
itu sebagai Tor Simuap Bujing (Gunung Beraroma Gadis).
Semua warga Desa Parausorat tahu kisah
Marbintang yang malang. Tidak seorang pun akan
melupakan nasib buruk gadis yang luar biasa itu meskipun
telah berlalu sekian lama dan kisah itu sendiri telah menjadi
semacam dongeng yang diceritakan kepada anak-anak
sebelum tidur. Kau pun sering menceritakan dongeng
64
Marbintang kepada Salminah pada masa kecilnya, dan
Salminah selalu bertanya apakah dirinya akan secantik
Marbintang. “Kau jauh lebih cantik, sayang,” katamu.
Kau pandang lagi wajah Salminah, kau pastikan
gadis itu sudah lelap. Kau angsur langkah ke kamar sambil
merekatkan kain sarung ke seluruh tubuhmu. Suara
jangkrik di luar berjalin orchestra simphoni dengan
repertoar sebuah lagu paling sunyi. Sebelum masuk ke
kamar, kau toleh ke dinding dimana potret hitam putih
alamarhum suamimu dipajang. Ketampanannya memang
tak berbanding, tetapi paru-parunya sangat payah. Sesuatu
yang sangat ganas menggendon di paru-parunya,
menggerogoti paru-paru itu hingga penuh lobang yang
berdarah dan terdesak keluar setiap kali alamarhum batuk-
batuk.
Ada rasa rindu yang mengelus hatimu, membawa
ingatanmu pada kalimat-kalimat mesra yang acap
dibisikkan almarhum ke telingamu. Laki-laki yang romantic
itu tidak tergantikan oleh siapa pun. Itu sebabnya, sejak
kematiannya, tidak pernah terlintas di pikiranmu untuk
berbagi ranjang dengan laki-laki lain. Cintamu pada
lamarhum begitu memberkas. Tak terasa, sebutir air mata
bergulir di pipimu, meninggalkan asin garam ketika sampai
di bibirmu. Buru-buru kau uap mata dengan punggung
tangan, ceepat-cepat masuk ke kamar.
Tapi, sebelum merebahkan tubuh yang letih seharian
bekerja dan menjaga Salminah di ranjang tua, sebuah
hentakan seperti suara pintu dibuka paksa dan
dibantingkan, membuatmu terlonjak dan menghambur
keluar kamar. “Salminah!” Seperti kau duga, Salminah tak
ada lagi di tempat tidurnya. Kau tahu tak perlu panik.
Salminah tidak akan kemana-mana, pasti kembali ke
tempat itu, ke bawah pohon bacang itu. Ia tidak pernah
65
jauh dari sana. Tak pernah jauh dari tempat dimana
Salminah selalu berjanji bertemu dengan Torang.
Kau melongokkan kepala dari pintu, menjenguk
Salminah di bawah pohon bacang. Angin malam yang
dingin bagai berputar-putar di bawah rimbun dedaun pohon
bacang, menyambut tubuh tuamu yang tertutup rapat
dengan kain sarung. Suara angin ketika mengalir di udara,
meninggalkan desing yang mempertajam sunyi suasana.
“Ayo masuk, sayang!” Kau coba membujuk
Salminah, yang duduk memunggungimu. “Di luar sangat
dingin. Nanti kau sakit.”
Salminah bergeming. Tetap memunggungimu. Kau
lihat Salminah menatap lurus ke depan seperti mendongak
ke langit. Kau mengikuti arah pandangannya. Jauh di sana,
di dalam kegelapan malam yang semakin larut, hanya ada
lima bukit yang mengelilingi Desa Parausorat. Tapi dari
cara Salminah mendongak, kau paham matanya tertuju
pada Tor Nangge, puncak tertinggi dari lima bukit itu.
“Ayo, sayang. Kita ke dalam saja.” Kau menyentuh
pundak Salminah.
Gadis itu terlonjak, langsung menolak. “Tidak. Aku
berjanji menunggu Bang Torang di sini.”
“Tidak, saying. Torang sudah meninggal.”
“Tidak. Ibu berbohong. Baru saja Bang Torang dari
sini. Ia memintaku menunggu sebentar, karena ada yang
mau diambilnya di rumahnya.”
“Rumahnya?!”
“Sekarang Bang Torang tinggal di sana!” Salminah
menunjuk ke atas, dan arah telunjuk itu tertuju ke puncak
Tor Nangge. Tiba-tiba Salminah bangkit, bersorak riang,
lalu berlari menghambur ke dalam kegelapan sambil
berteriak: “Bang Toraaaaaang!”. ***
Catatan:
66
Marbintang adalah nama seorang gadis cantik yang hilang
di Bukit Simuap Bujing, hingga kini diyakini masih hidup.
Penduduk di Desa Parausorat, Kecamatan Sipirok,
Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, mengenang
Marbintang sebagai dongeng yang diwariskan secara turun-
temurun hingga hari ini.
67
Porkas
ORANG BAIK ITU, yang tubuhnya ditutup kain putih
dan baru saja dua perawat berpakaian putih mendorongnya
ke ruang mayat, jadi mayat tanpa identitas lantaran satu
dan lain hal yang akan aku jelaskan nanti. Bukan cuma tak
ada yang menangis saat maut menemuinya, tapi juga tak
ada seorang kerabat pun yang menemani detik-detik
terakhir itu.
Dokter Yulius, dokter muda yang bertugas sebagai
dokter jaga pada malam itu adalah dokter yang memastikan
bahwa orang baik itu sudah meninggal beberapa saat
sebelum tiba di rumah sakit. “Siapa yang mengantarkan
orang ini?” Ia bertanya kepada dua perawat jaga. Kedua
perawat itu saling pandang, serentak mereka menyebut
nama Firkah.
Tapi Firkah, satpam yang bertugas malam itu, tak
punya penjelasan apapun. Ia hanya bicara tentang seorang
laki-laki berseragam safari warna hitam-hitam, masih
sangat muda, dan potongan rambutnya cepak. “Ia datang
mengantar orang itu, lalu izin mau memberi kabar kepada
keluarganya,” katanya.
DOKTER YULIUS masih sangat muda, sekitar 30
tahunan. Tak terlalu tampan, tapi ketidaktampanannya
segera akan diabaikan orang jika tahu bahwa ia seorang
dokter. Ia membuka praktik di rumahnya di kawasan
Teladan, di pinggir Jalan Sisingamangaraja yang ramai dan
riuh. Pasiennya selalu bertambah setiap hari, meskipun ia
lebih mengharapkan agar semua manusia sehat walafiat.
Itu sebabnya, rezeki yang melimpah itu tak membuatnya
menjadi angkuh, tetap saja rendah hati dan orang tak akan
pernah menduga kalau ia seorang yang sukses dalam
menjalani profesinya.
68
Pagi hari, Dokter Yulius mengumpulkan perawat
yang mendapat giliran jaga pada jam ketika orang baik itu
diantar ke rumah sakit. Dua satpam yang mendapat tugas
pada jam itu juga dipanggil. Ada enam orang, empat
perawat —tiga perempuan dan satu laki-laki—dan dua
satpam: Firkah dan Sultoni. Keenam orang itu
dikumpulkan di ruang pertemuan. Satu per satu ditanyainya
bagaimana bisa seorang pasien ditinggalkan di rumah sakit
sedangkan mereka tidak berusaha untuk mengetahui
identitasnya.
Marlina, seorang perawat senior, mengatakan dia
dan rekan-rekannya tak sempat berpikir soal identitas itu
karena pikiran mereka lebih fokus untuk memberikan
pertolongan pertama. “Kami baru menyadari keteledoran
kami setelah pasien tak tertolong,” kata Marlina sambil
menatap Dokter Yulius. “Kami minta maaf.”
Dokter Yulius diam, menarik nafas dalam-dalam,
lalu menghamburkannya. “Ya, sudah. Kalian sudah
berbuat yang seharusnya dilakukan perawat. Sayang, orang
itu tak tertolong.”
Dokter Yulius mengalihkan pandangan ke Firkah
dan Sultoni, lalu katanya: “Kalian berdua kan tak terlibat
soal pertolongan pertama.”
Firkah mengangguk. Ia mengakui keteledorannya,
tapi ia membela diri karena mengira perawat jaga sudah
mencatat data-data pasien. “Seharusnya saya mendampingi,
dan saya memang melakukannya, tapi saya tak pernah
bertanya tentang data-data pribadi.” Firkah menatap
Sultoni. “Kami mengajak ngobrol orang yang mengantar
pasien itu, tapi kami tak pernah bertanya siapa dirinya.”
“Betul, Pak,” timpal Sultoni. “Kami tak memikirkan
sampai ke arah itu.”
“Kalau dari penampilannya, orang itu jelas
mengantar seseorang yang penting. Ia mengenakan safari,
69
seperti pakaian yang biasa dikenakan para pengawal
pejabat,” kata Firkah.
“Apa mungkin pasien itu seorang pejabat?” Dokter
Yulius bertanya. “kalau benar, pasti akan ada yang
mencarinya.”
Tapi, dua hari kemudian, tak ada seorang pun yang
datang menanyakan mayat itu. Dokter Yulius tak mau
pusing dan memanggil wartawan untuk memberitakan soal
mayat itu. Ia menceritakan semuanya, lalu meminta
wartawan menulis tentang ciri-ciri khusus pada mayat itu.
MUHAMMAD PORKAS, itulah nama orang baik yang
malang itu. Ia seorang pejabat. Pada malam sebelum
mendapat serangan jantung, ia bertelepon dengan
Junainah. Aku duduk di sampingnya, mengendalikan setir
mobil, berupaya membuat perjalanan kami senyaman
mungkin.
Junainah, perempuan itu, pembantu di rumahnya,
seorang gadis yang dibawanya dari sebuah desa di Kisaran.
Ia sengaja memilih Junainah dari sekian banyak gadis yang
ada di desa itu. Tak terlalu cantik, tapi tubuhnya terlihat
sehat dan segar. Itulah syarat yang dibuatnya bagi
perempuan yang ingin bekerja menjadi pembantu di
rumahnya. Untuk itu, ia bersedia memberi gaji besar.
Malam itu, kami hendak ke Kisaran, ke desa
Junainah, untuk menemui orang tua gadis itu. Rencananya,
Muhammad Porkas akan meminta izin untuk menikahi
Junainah, langsung kepada ayahnya. Ia ceritakan kalau
keinginan itu murni dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Tulus untuk menjadikan Junainah sebagai istrinya yang
sah.
Sudah pernah keinginan itu disampikan langsung
kepada Junainah. Cuma, ia tak yakin Junainah mau. Gadis
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL
MENCARI ASAL MUASAL

More Related Content

What's hot

7. materi mpls pengenalan kurikulum 2013
7. materi mpls pengenalan kurikulum 20137. materi mpls pengenalan kurikulum 2013
7. materi mpls pengenalan kurikulum 2013PId PId AJ AJ
 
PENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH 2023 (2).pptx
PENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH 2023 (2).pptxPENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH 2023 (2).pptx
PENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH 2023 (2).pptxJoeIsmail2
 
Rpp teks berita kd 3
Rpp teks berita kd 3Rpp teks berita kd 3
Rpp teks berita kd 3astutyutomo
 
Power point teks puisi
Power point teks puisiPower point teks puisi
Power point teks puisisuhartonotono9
 
MODEL – MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS YANG KREATIF, INOVATIF DAN MENYEN...
MODEL – MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS YANG KREATIF, INOVATIF DAN MENYEN...MODEL – MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS YANG KREATIF, INOVATIF DAN MENYEN...
MODEL – MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS YANG KREATIF, INOVATIF DAN MENYEN...safitkafit
 
Pengelolaan Pusat Sumber Belajar
Pengelolaan Pusat Sumber BelajarPengelolaan Pusat Sumber Belajar
Pengelolaan Pusat Sumber Belajarchaya pebiyana
 
NO. 37 Laporan Evaluasi KTSP.pdf
NO. 37 Laporan Evaluasi KTSP.pdfNO. 37 Laporan Evaluasi KTSP.pdf
NO. 37 Laporan Evaluasi KTSP.pdfMarutdinSidabungke1
 
Susunan acara upacara bendera
Susunan acara upacara benderaSusunan acara upacara bendera
Susunan acara upacara benderailham faqih
 
RENCANA TINDAK LANJUT.2023.docx
RENCANA TINDAK LANJUT.2023.docxRENCANA TINDAK LANJUT.2023.docx
RENCANA TINDAK LANJUT.2023.docxDedeApriyanto2687
 
Sikap dan implikasi terhadap pengaruh globalisasi
Sikap dan implikasi terhadap pengaruh globalisasiSikap dan implikasi terhadap pengaruh globalisasi
Sikap dan implikasi terhadap pengaruh globalisasiistiim68
 
Karakteristik Media Pembelajaran
Karakteristik Media PembelajaranKarakteristik Media Pembelajaran
Karakteristik Media PembelajaranDedy Wiranto
 
Analisis Evaluasi Diri Sekolah menggunakan metoda Manajemen Control Sistem (M...
Analisis Evaluasi Diri Sekolah menggunakan metoda Manajemen Control Sistem (M...Analisis Evaluasi Diri Sekolah menggunakan metoda Manajemen Control Sistem (M...
Analisis Evaluasi Diri Sekolah menggunakan metoda Manajemen Control Sistem (M...Andy Wrx
 

What's hot (20)

7. materi mpls pengenalan kurikulum 2013
7. materi mpls pengenalan kurikulum 20137. materi mpls pengenalan kurikulum 2013
7. materi mpls pengenalan kurikulum 2013
 
Laporan panitia PPDB SMK
Laporan panitia PPDB SMKLaporan panitia PPDB SMK
Laporan panitia PPDB SMK
 
PENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH 2023 (2).pptx
PENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH 2023 (2).pptxPENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH 2023 (2).pptx
PENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH 2023 (2).pptx
 
PPT PANTUN
PPT PANTUNPPT PANTUN
PPT PANTUN
 
Rpp teks berita kd 3
Rpp teks berita kd 3Rpp teks berita kd 3
Rpp teks berita kd 3
 
Teks ceramah
Teks ceramahTeks ceramah
Teks ceramah
 
Power point teks puisi
Power point teks puisiPower point teks puisi
Power point teks puisi
 
Program kerja perpustakaan
Program kerja perpustakaanProgram kerja perpustakaan
Program kerja perpustakaan
 
Materi kepramukaan
Materi kepramukaanMateri kepramukaan
Materi kepramukaan
 
MODEL – MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS YANG KREATIF, INOVATIF DAN MENYEN...
MODEL – MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS YANG KREATIF, INOVATIF DAN MENYEN...MODEL – MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS YANG KREATIF, INOVATIF DAN MENYEN...
MODEL – MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS YANG KREATIF, INOVATIF DAN MENYEN...
 
Pengelolaan Pusat Sumber Belajar
Pengelolaan Pusat Sumber BelajarPengelolaan Pusat Sumber Belajar
Pengelolaan Pusat Sumber Belajar
 
NO. 37 Laporan Evaluasi KTSP.pdf
NO. 37 Laporan Evaluasi KTSP.pdfNO. 37 Laporan Evaluasi KTSP.pdf
NO. 37 Laporan Evaluasi KTSP.pdf
 
Susunan acara upacara bendera
Susunan acara upacara benderaSusunan acara upacara bendera
Susunan acara upacara bendera
 
RENCANA TINDAK LANJUT.2023.docx
RENCANA TINDAK LANJUT.2023.docxRENCANA TINDAK LANJUT.2023.docx
RENCANA TINDAK LANJUT.2023.docx
 
Jadwal kegiatan sehari
Jadwal kegiatan sehariJadwal kegiatan sehari
Jadwal kegiatan sehari
 
Sikap dan implikasi terhadap pengaruh globalisasi
Sikap dan implikasi terhadap pengaruh globalisasiSikap dan implikasi terhadap pengaruh globalisasi
Sikap dan implikasi terhadap pengaruh globalisasi
 
Karakteristik Media Pembelajaran
Karakteristik Media PembelajaranKarakteristik Media Pembelajaran
Karakteristik Media Pembelajaran
 
PPT Teks Prosedur
PPT Teks ProsedurPPT Teks Prosedur
PPT Teks Prosedur
 
Proposal Madrasah Digital
Proposal Madrasah DigitalProposal Madrasah Digital
Proposal Madrasah Digital
 
Analisis Evaluasi Diri Sekolah menggunakan metoda Manajemen Control Sistem (M...
Analisis Evaluasi Diri Sekolah menggunakan metoda Manajemen Control Sistem (M...Analisis Evaluasi Diri Sekolah menggunakan metoda Manajemen Control Sistem (M...
Analisis Evaluasi Diri Sekolah menggunakan metoda Manajemen Control Sistem (M...
 

Similar to MENCARI ASAL MUASAL

Persahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhPersahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhAmore Tsuki
 
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)Rizka A. Hutami
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPindai Media
 
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptxTEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptxdinamarsela423
 
Dondang sayang dan pantun
Dondang sayang dan pantunDondang sayang dan pantun
Dondang sayang dan pantunSheila Baskaran
 
Hobi Hobi Buruk Orang Kita
Hobi Hobi Buruk Orang KitaHobi Hobi Buruk Orang Kita
Hobi Hobi Buruk Orang KitaAidilRizali
 
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Thalia Dini Vasa
 
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Thalia Dini Vasa
 
SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia
SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra IndonesiaSASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia
SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra IndonesiaGhina Siti Ramadhanty
 
Juara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid IIJuara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid IIdevunira
 
Sinopsis film rumah tanpa jendela
Sinopsis film rumah tanpa jendelaSinopsis film rumah tanpa jendela
Sinopsis film rumah tanpa jendelaira yuniar
 
Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba tammi prastowo
 
Perahu Kertas [Ali D. Nobilem]
Perahu Kertas [Ali D. Nobilem]Perahu Kertas [Ali D. Nobilem]
Perahu Kertas [Ali D. Nobilem]Ali Nobilem
 
Aku Sayang Keluargaku_Agustina Dwi Rahayu_Harapan6.pdf
Aku Sayang Keluargaku_Agustina Dwi Rahayu_Harapan6.pdfAku Sayang Keluargaku_Agustina Dwi Rahayu_Harapan6.pdf
Aku Sayang Keluargaku_Agustina Dwi Rahayu_Harapan6.pdfnanangsetyawan14
 

Similar to MENCARI ASAL MUASAL (20)

Persahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhPersahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuh
 
Glisten #4
Glisten #4Glisten #4
Glisten #4
 
Krakteristik balai pustaka
Krakteristik balai pustakaKrakteristik balai pustaka
Krakteristik balai pustaka
 
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku Dongeng
 
Perempuan bunga kertas (yetti a ka)
Perempuan bunga kertas (yetti a ka)Perempuan bunga kertas (yetti a ka)
Perempuan bunga kertas (yetti a ka)
 
Perempuan bunga kertas (yetti a ka)
Perempuan bunga kertas (yetti a ka)Perempuan bunga kertas (yetti a ka)
Perempuan bunga kertas (yetti a ka)
 
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptxTEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
 
Dondang sayang dan pantun
Dondang sayang dan pantunDondang sayang dan pantun
Dondang sayang dan pantun
 
Hobi Hobi Buruk Orang Kita
Hobi Hobi Buruk Orang KitaHobi Hobi Buruk Orang Kita
Hobi Hobi Buruk Orang Kita
 
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
 
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
 
SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia
SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra IndonesiaSASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia
SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia
 
Juara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid IIJuara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid II
 
Sinopsis film rumah tanpa jendela
Sinopsis film rumah tanpa jendelaSinopsis film rumah tanpa jendela
Sinopsis film rumah tanpa jendela
 
Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba
 
Puisi untuk ibu
Puisi untuk ibuPuisi untuk ibu
Puisi untuk ibu
 
Perahu Kertas [Ali D. Nobilem]
Perahu Kertas [Ali D. Nobilem]Perahu Kertas [Ali D. Nobilem]
Perahu Kertas [Ali D. Nobilem]
 
Aku Sayang Keluargaku_Agustina Dwi Rahayu_Harapan6.pdf
Aku Sayang Keluargaku_Agustina Dwi Rahayu_Harapan6.pdfAku Sayang Keluargaku_Agustina Dwi Rahayu_Harapan6.pdf
Aku Sayang Keluargaku_Agustina Dwi Rahayu_Harapan6.pdf
 
Laskar pelangi
Laskar pelangiLaskar pelangi
Laskar pelangi
 

Recently uploaded

Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxbkandrisaputra
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)3HerisaSintia
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxnerow98
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASreskosatrio1
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxSyaimarChandra1
 

Recently uploaded (20)

Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
 

MENCARI ASAL MUASAL

  • 1. 1 BUDI HATEES JALAN MENUJU BAHAGIA Himpunan Sepuluh Cerita Pendek Bandar Lampung 2016
  • 2. 2 Untuk Anakku Raraz Asghari Ghiffarina Hutasuhut (Aaz) Ratu Raghina Zakhirah Hutasuhut (Nina)
  • 3. 3 Daftar Isi TENTANG PENGARANG PENGANTAR PENGARANG 1. Dalam Balut Kematian 2. Jalan Menuju Bahagia 3. Perempuan-Perempuan Ayah 4. Pemecah Batu 5. Qodam 6. Gajah Berkaki Tiga 7. Penggali Emas Tambang Liar 8. Kleptomania 9. Lubang Tambang 10. Bunga Pekuburan RIWAYAT PUBLIKASI
  • 4. 4 Riwayat Penulis BUDI HATEES lahir 3 Juni 1972 di Sipirok (Tapanuli Selatan), Sumatra Utara dengan nama Budi Parlindungan Hutasuhut. Menulis cerpen sejak masih sekolah di SMP Negeri Sipirok pada dekade 1980-an dan disiarkan di berbagai media cetak di Sumatra Utara dan Jakarta seperti Taruna Baru, Demi Massa, Mimbar Umum, Waspada, Medan Post, Sinar Harapan, Simphony, Swadesi, dan sebagainya. Tahun 1991 melanjutkan studi ke Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Ilmu Jurnalistik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Sambil bekerja sebagai wartawan, menulis sajak, esai, cerpen, di berbagai media cetak seperti Suara Pembaruan, Media Indonesia, Kompas, Koran Tempo, Suara Karya, Tabloid Nova, Tabloid Mutiara, Majalah Horison, Majalah Keluarga, Majalah Femina, Majalah Anita, dan lain sebagainya. Tahun 1996 pindah ke Lampung, bekerja sebagai jurnalis, pengajar, peneliti, dan konsultan media. Menjadi pemateri dalam sejumlah diskusi dan seminar masalah jurnalisme dan kebudayaan. Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Saburai Bandar Lampung dan dosen luar biasa matakuliah ilmu komunikasi dan jurnalistik di FISIP Universitas Lampung, dan dosen di Universitas Bandar Lampung (UBL). Bersama sejumlah intelektual di Lampung mendirikan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung pada 2004 yang bekerja melakukan riset, kajian, dan sosialisasi atas ragam ekspresi kebudayaan Lampung dengan out put
  • 5. 5 berupa penerbitan buku lewat usaha non-profit pendirian Penerbit MataKata. Pernah jadi Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung 2004-2007 dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. Telah menghasilkan buku berupa kumpulan cerpen, sajak, esai, dan hasil penelitian antropologi. Dua buku tentang kebudayaan Lampung, Dilema Orang Lampung: Membangun Tradisi dengan Sikap Tradisional (Penerbit MataKata, 2005) dan Kematian Pemimpin Adat: Politisiasi Budaya Menjelang Pilkada (Penerbit MataKata, 2007) sudah terbit. Sehari-hari bekerja sebagai peneliti di Institute Matakata sambil menulis opini di berbagai media cetak. Kontak email: budi.hatees@gmail.com, Phone: 0852 6918 5553 dan 0812 7160 1722. @budi_hatees, dan Facebook: @budiphatees. Buku antologi Bersama dan Tunggal Narasi Sunyi (Kumpulan Puisi Tunggal diterbitkan Panggung Sastra, 1996), Graffiti Gratuted (Kumpulan puisi diterbitkan Yayasan Multimedia Sastra, 2000), Konser di Ujung Pulau (Kumpulan puisi diterbitkan Dewan Kesenian Lampung, 2004), Bersepeda ke Bulan (Kumpulan puisi diterbitkan Indopos, 2014), Pelabuhan Merah (Kumpulan puisi diterbitkan Sagang Inter Media Pekanbaru, 2015), Laskar di Garis Belakang (Diterbitkan Penerbit Matakata, 2009), Ketika Duka Tersenyum (Kumpulan cerpen diterbitkan FLP Jakarta, 2001), Ini Sirkus Senyum (Kumpulan cerpen diterbitkan Yayasan Bumi Manusia, 2001), Cermin dan Malam Ganjil (Kumpulan cerpen diterbitkan FBA Press Jakarta, 2002), Pun (Manuskrip novel, sedang dipersiapkan untuk diterbitkan oleh Penerbit Matakata), Melabuhkan Kesumat (Kumpulan Cerpen
  • 6. 6 diterbitkan Yayasan Sagang Pekanbaru, 2012), Tulisan yang Tak Enak Dibaca Jilid I dan II (Diterbitkan Penerbit Matakata tahun 2008), Ulat di Kebun Polri (diterbitkan Penerbit RAS Grup Bina Swadaya, 2013), Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Kumpulan esai sastra dan kebudayaan diterbitkan oleh Yayasan Sagang Pekanbaru, 2015), dan Pelabuhan Merah (Kumpulan Puisi Riau Pos diterbitkan Yayasan Sagang Pekanbaru, 2015).
  • 8. 8 Denggan USIA DENGGAN BARU LIMA TAHUN. Masih sangat kecil. Tapi sudah ada tanda-tanda bahwa kelak ia akan tumbuh jadi bajingan seperti almarhum ayahnya, Marapande. Ia sering pulang membawa berbagai jenis mainan. Entah dari mana barang-barang itu diperolehnya. Bukan mainan yang biasa dimiliki anak-anak di kampungmu, yang bisa dengan mudah dibuat seperti saat masa kecilmu membuat mainan dari berbagai tanam- tanaman yang tumbuh di sekitar kampung. Mainan-mainan yang dibawanya buatan pabrik. Mainan-mainan itu pun masih bersegel dalam kotaknya, tandanya masih baru. Kau bisa memperkirakan berapa harga mainan-mainan buatan pabrik itu. Bukan itu saja, mainan-mainan seperti itu hanya bisa diperoleh di kota. Usahamu membujuk agar ia memberitahu dari mana mainan-mainan itu diperolehnya, sama sekali tidak ditanggapinya. Anak itu bersikap masa bodoh. Apapun yang kau katakan tidak pernah masuk ke telinganya. Ia malah sibuk memainkan mainan-mainan itu. Ia sama sekali tak menganggapmu. Awalnya kau masih bersabar menghadapinya, bersikap lembut dan membujuk dengan berbagai cara agar ia mau memberitahu dari mana asal mainan-mainan yang ia bawa ke rumah. Kau juga mengatakan, mainan itu harus dikembalikan kepada pemiliknya. Kau singgung seolah-olah pemilik mainan itu sedang bersedih karena kehilangan barang-barangnya. ”Ini punyaku!” Ia berkata sambil terus memainkan mainannya.
  • 9. 9 “Punyamu bagaimana?” Nada bicaramu meninggi. “Mainan ini harganya mahal,” katamu. “Ompung tak pernah membeli mainan seperti ini untukmu.” Ia tetap memainkan mainan-mainannya. Kau tak hilang akal. Kau coba menakut-nakutinya. Kau bilang pemilik mainan itu akan mencarinya, lalu menemukannya, kemudian memukulinya. Tapi, usaha seperti itu tidak mempan. Anak itu tak punya rasa takut. Ia malah bersikap seakan-akan kau tidak pernah ada. Akhirnya kau tak bisa menahan diri. Kau rampas mainan itu dengan kasar, lalu menyembunyikannya. Anak itu menatapmu dengan sorot mata yang tajam. Sama sekali tidak menangis. Mata itu begitu menakutkan. Seakan-akan anak itu ingin melahapmu dengan tatapannya. Kau merasa ditantang, lalu memberinya sebuah tamparan. Anak itu diam saja. KETIKA KALI PERTAMA AKU AJAK DENGGAN KE RUMAHKU, dan Denggan bertemu dengan kedua orang tuaku, temanku ini bisa dengan cepat mengambil hati orang dewasa. Mungkin karena wajahnya yang lucu dengan pipi tembam dan tatapan selalu sayu akibat kelopak matanya yang cembung. Ia juga sangat sopan, selalu bertutur sapa ketika bicara atau menjawab pertanyaan yang diajukan ayah maupun ibuku. Kadang ia menjadi sangat lucu. Apapun yang diucapkannya mengundang tawa kedua orang tuaku, meskipun ia tidak berniat melucu. Tapi, ketika Denggan sudah pulang, kedua orang tuaku memarahiku. Mereka melarangku berkawan akrab dengan Denggan. Kata ayah, Denggan itu punya darah seorang penjahat. Ia memperolehnya dari ayahnya, Marapande.
  • 10. 10 Tentu saja aku membantah karena tidak kenal dengan Marapande. Ayah kemudian bercerita, seumur hidupnya Marapande selalu menyusahkan orang lain. Pekerjaannya mencuri, apa saja dicurinya. Kalau Marapande sudah berniat akan mencuri di sebuah rumah, tak akan ada yang mampu menghalangi niat itu. Sekalipun rumah itu dijaga ratusan orang, ia akan tetap bisa masuk tanpa ada yang mengetahuinya. Kemampuan Marapande itu diperoleh dari leluhurnya, yang memang mewariskan ilmu mencuri itu kepada anak keturunannya. Meskipun begitu, tak semua orang di dalam keluarga Marapande punya ilmu mencuri. Hanya Marapande yang menguasai ilmu mencuri itu, padahal mereka ada tujuh orang bersaudara. Marapande sendiri tidak pernah mengenal ompungnya, apalagi leluhurnya. Ketika ia lahir, ompungnya sudah lama meninggal. Ia tidak pernah menerima ilmu mencuri itu langsung dari ompung apalagi leluhurnya. Konon pula dari ayahnya, yang bukan seorang pencuri. Ayah Marapande itu seorang yang taat beragama. Semua orang menghormatinya karena wibawanya. Meskipun orang tahu ia punya darah pencuri, tapi ia tidak pernah mencuri. Ilmu mencuri itu tidak menitis ke darahnya. Ilmu itu justru menitis kepada Marapande. “Denggan itu satu-satunya anak Marapande. Anak itu pasti mewarisi ilmu mencuri itu,” kata ayah. Aku tidak mudah dipengaruhi ayah, karena Denggan tidak pernah aku lihat mencuri. Lagi pula untuk apa Denggan mencuri, ia bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya hanya dengan memikirkannya. Aku sering menyaksikan ketika Denggan ingin mobil-mobilan, misalnya, pada saat itu juga sebuah mobil-mobilan sudah ada di tangannya. Entah dari mana mobil-mobilan itu datang. Tiba-tiba saja
  • 11. 11 sudah digenggamnya. Seperti sihir, segala sesuatu terjadi begitu saja. KAU BERPIKIR KALAU DENGGAN AKAN JERA DAN TIDAK LAGI membawa pulang mainan-mainan baru ke rumah. Tapi dugaanmu keliru. Ia semakin sering membawa mainan ke dalam rumah. Setiap kali ia bawa mainan-mainan itu, setiap saat itu pula kau memarahinya. Sikapnya tetap seperti biasa. Kemarahanmu tidak berarti apa pun baginya. Sejak itu kau tak pernah bertanya lagi, langsung menyita mainan-mainan itu. Kau menyembunyikannya. Kau berharap suatu saat ada orang yang mengaku kehilangan mainan, dan kau tinggal memberikan mainan- mainan itu. Tapi, sejak pertama kali mainan-mainannya kau sita, tidak pernah ada yang datang mengeluhkan kehilangan mainan-mainan itu. Kau tetap menunggu. Berhari-hari, sepekan pun lewat. Tidak ada yang datang. Sebulan pun berlalu. Tetap tak ada yang datang. Sementara ia tetap pulang membawa mainan-mainan baru. Setiap kali mainannya kau sita, besoknya ia pulang membawa mainan baru. Mainan-mainan yang kau sita itu semakin lama semakin banyak. Lemari tempat kau menyembunyikannya sudah penuh. Kau kehabisan tempat untuk menyembunyikannya. Kau pikir anak itu sudah keterlaluan. Kalau dibiarkan, seluruh rumah akan penuh mainannya. Suatu saat orang akan melihat mainan-mainan itu. Mereka akan heran. Sangat pasti, mereka akan menyebut Denggan mewarisi perilaku buruk Marapande. Marapande!? Setiap kali ingat Marapande, kau menyesal punya menantu seperti dirinya. Mestinya kau melarang Nauli, anak gadismu, menikah dengan laki-laki
  • 12. 12 itu. Tapi, ketika pertama kali Marapande mendatangimu dan mengatakan niatnya untuk menikahi Nauli, kau justru kagum pada keberaniannya mengungkapkan isi hatinya. Kau tak kuasa menolak, karena kau percaya laki-laki yang punya keberanian seperti itu pastilah laki-laki yang bertanggung jawab. Memang rasa percayamu itu tidak keliru. Marapane sangat bertanggung jawab. Ia menghidupi Nauli layaknya seorang suami menghidupi keluarganya. Cuma, kau tak pernah tahu bagaimana cara Marapande menghidupi keluarganya. Tidak pernah jelas apa pekerjaannya. Ia jarang keluar rumah, tapi apa pun keinginan Nauli selalu bisa dipenuhinya. Segala sesuatu kemudian terungkap ketika salah seorang warga mengaku memergoki Marapande sedang mencuri di rumahnya. Tidak jelas betul kabar itu. Tapi, seluruh warga langsung percaya, lalu melabrak Marapande ke rumahnya. Mereka kemudian menyeret Marapande ke luar. Entah siapa yang memulai, warga menghakimi Marapande. Selang beberapa menit, Marapande tewas. Cuma, setelah seluruh isi rumahnya diperiksa, ternyata tidak satu pun barang yang hilang milik orang itu ditemukan di dalam rumah. Nauli sendiri mengatakan, pada saat peristiwa pencurian itu terjadi, ia bersama Marapande semalaman. Nauli yang sedang mengandung anak yang kemudian setelah lahir diberi nama Denggan, shock mengetahui kematian Marapande. Sejak itu tubuhnya menjadi lemas, sakit-sakitan. Ketika ia melahirkan anaknya, tubuhnya sangat lemah. Ia meninggal sebelum anaknya lahir. Anak itu kemudian kau beri nama Denggan, yang artinya baik. Kau beri nama itu sebagai doa agar kelak Denggan seperti namanya.
  • 13. 13 AKU PERCAYA DENGGAN ITU PUNYA KEMAMPUAN SIHIR. Dengan kemampuannya, ia mewujudkan apa saja yang diinginkannya. Tapi, kau malah selalu mencurigainya, sama seperti kedua orang tuaku, juga sebagian besar warga di kampung kita. Kau menuduhnya mencuri kalau ia pulang membawa main-mainan ke rumah. Tanpa mau mendengarkan penjelasannya, kau langsung menyita dan menyimpannya. Padahal, jangankan mereka, orang tua mereka pun tidak pernah melihat langsung Denggan mencuri. Aku jatuh kasihan pada Denggan. Sikapmu sering kasar padanya, padahal ia hanya punya dirimu. Tidak ada seorang pun yang percaya kalau ia tidak pernah mencuri. Semua orang percaya ia seorang pencuri. Kau harus memikirkan bagaimana ia mau mencuri? Ia jarang keluar rumah. Tidak punya banyak kawan. Hanya aku kawannya, karena yang lain menolak berkawan. Mereka takut dimarahi orang tua masing-masing. Tapi kalau Denggan memberi izin agar mereka memainkan mainan-mainannya, barulah mereka mau berkawan dengan dirinya. Cuma, Denggan kurang suka berkawan dengan mereka. Bagi Denggan, mereka berkawan bukan karena ingin berkawan, tetapi karena ingin memainkan mainan- mainannya. Ia ingin perkawanan dengan siapa pun terjalin karena hati, bukan karena mengharapkan pamrih. Denggan juga tahu, kawan-kawannya sering ikut-ikutan orang tua mereka, menjelek-jelekannya dan menuduhnya sebagai pencuri. Hanya aku satu-satunya orang yang menjalin perkawanan secara tulus. Bagiku, Denggan itu anak yang baik. Sangat baik. Terlalu baik, malah. Ia mau memberikan mainan-mainannya kepadaku. Gratis. Aku yang tidak pernah mau menerimanya, karena takut kedua orang tuaku
  • 14. 14 akan bertanya-tanya darimana mainan-mainan itu aku peroleh. Sudah tentu aku tak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin aku katakana mainan itu diberikan Denggan. Mereka akan menyangka kalau aku sudah ikut- ikutan mencuri seperti anggapan mereka tentang Denggan. Aku lebih suka memainkan mainan-mainan itu bersama Denggan. Kalau kami sudah bosan, Denggan akan membawa pulang mainan itu ke rumahnya. Seperti biasa, kau akan marah padanya dan menyita mainan itu. Denggan akan menceritakan semuanya padaku. “Kau harus sabar,” kataku. Kau tahu, Denggan memang penyabar. Ia terima apapun yang kau tuduhkan meskipun ia tidak pernah melakukannya. Itu sebabnya ia sering bersikap seolah-olah tak mendengarkan ketika kau menasehatinya. Ia mendengarkan semua perkaaanmu, juga caci- maki yang kadang tidak bisa kau kendalikan. Hatinya sering sakit. Tapi ia diam saja. Sebetulnya ia kasihan kepadamu. Kau tidak pernah tahu kemampuannya yang luar biasa, tapi kau sudah memvonisnya lebih dahulu. Baginya, kau sama saja seperti orang lain, yang menghukumnya tanpa alasan jelas seperti juga mereka menghukum ayah dan ibunya tanpa alasan jelas. Sebagai satu-satunya orang yang dimilikinya, seharusnya kau mendukungnya. Tapi tidak. Kau malah selalu ketakutan kelak ia akan seperti almarhum ayahnya. Rasa ketakutanmu itu luar biasa. Kau selalu curiga kepadanya. Puncak kecurigaanmu malah tak masuk akal. SUATU SORE, SAAT INGIN BERTEMU DENGGAN karena sudah lama tidak pernah melihatnya, aku lihat kau mengambil lampu minyak yang disangkutkan di dinding papan rumahmu. Di luar malam mulai merambat. Dengan
  • 15. 15 lampu di tangan, kau melangkah ke jendela, menutupkan daun jendela. Setelah memastikan terkunci rapat, kau melangkah ke pintu rumah dan memastikan bahwa pintu itu juga terkunci rapat. Setelah itu kau melangkah ke pintu yang memisahkan ruang tamu dengan dapur. Kau berhenti sebentar ketika tubuhnya sejajar dengan sebuah foto berbingkai kayu yang ditempel di dinding. Kau pandangi foto yang berisi seorang perempuan muda dan seorang anak perempuan yang masih berumur lima tahun. Itulah foto almarhum istrimu, Dumasari, bersama almarhun anak gadismu, Nauli. Mendadak air matamu menggenangi kelopak mata. Buru-buru kau tinggalkan foto itu. Kau sibak korden bercorak bunga-bunga yang jadi pemisah ruang tamu dengan dapur. Dapur perlahan-lahan mulai terang oleh pendaran lampu minyak yang kau bawa. Sudut-sudut dapur yang kelam dan jorok terlihat jelas. Pada beberapa tiang tampak sarang laba-laba. Kau menarik nafas dalam-dalam. Kau melangkah sangat perlahan. Suara langkahmu tak terdengar pada lantai kayu. Tak ada derit pada lantai itu seolah-olah tubuhmu sangat ringan. Lalu kau angkat lampu minyak tinggi-tinggi untuk menyinari seluruh bagian dapur. Dan, tiba-tiba, cahaya yang temaram itu menangkap sosok anak kecil sedang jongkok dekat tungku. Kedua tangan yang kecil itu terikat pada sebatang kayu, sedangkan pergelangan kaki yang sangat ramping itu terbelenggu dua batang kayu balok yang disatukan. Di samping anak itu ada sebuah cangkir kaleng dan piring kaleng. Beberapa butir nasi terserak di sekitarnya. Aku terhenyak. Aku tahu itu Denggan. Pantas ia tak pernah lagi terlihat.*
  • 16. 16 Si Loak KAU dipanggil si Loak. Kata “loak” itu berarti “sangat bodoh”. Padahal namamu bagus: Borkat Pangidoan. Itu artinya, permintaan yang diberkati. Tapi, keluargamu, terutama ayahmu, memanggilmu Si Loak. Kalau panggilan itu sudah diteriakkan ayahmu, kau—dalam keadaan apa pun dan sedang melakukan apa pun—mendadak pucat dan tergopoh-gopoh menghampiri ayahmu. Kau begitu ketakutan. Wajahmu pucat seperti kertas buku gambar kita di sekolah. Aku akan menghampirimu dan bertanya ada apa. Kau hanya menatapku, sekilas, lalu berlari seperti diburu segerombolan tawon yang ingin menyengatmu. Besoknya, pasti, kau tak akan ada di sekolah. Tak akan ada di mana-mana. Kau akan menghilang. Pada saat kau tak ada, mereka—anak-anak yang selalu mengejek bekas sumbing bibirku yang sudah dijahit, yang bekas jahitannya tidak rapih karena dokter di rumah sakit umum tak bisa merapikannya—akan menghampiriku dan menjadikanku sebagai objek penderita dari kenakalan mereka yang kadang kurang hajar. Kalau kau ada, mereka tidak akan berani mendekatiku. Uh, dasar, bajingan- bajingan kecil itu hanya berani pada orang lemah seperti aku. Mereka takut padamu. Bahkan, untuk menatapku saja, mereka tidak akan berani. Tapi saat kau tidak ada, saat yang mereka tunggu-tunggu, dan sepertinya mereka memang sengaja menunggu saat seperti itu. Mereka kemudian mengejekku, mengejek sumbingku, mengejek caraku berbicara. Mereka sangat keterlaluan. Aku sedih, takut, dan mau marah. Perasaan itu bergejolak dalam dadaku. Membuatku menjadi sangat ketakutan. Aku seperti berada di dalam sebuah lobang yang penuh ular berbisa dan
  • 17. 17 setiap ular seperti bicara akan mematokku untuk menyalurkan bisa mereka ke seluruh tubuhku. Kau tahu, mereka juga mengatakan tak akan ada orang yang suka padaku, karena tidak ada seorang pun yang mengerti ucapanku yang sengau. Mereka juga mengatakan bahwa kau pun tidak suka padaku, makanya kau menghilang. Kata mereka, kau hanya berpura-pura suka kepadaku, padahal kau hanya mengincar uang jajanku. Tapi, aku merasa, selama bersamamu, kau tidak pernah mempertanyakan apakah aku punya uang jajan atau tidak. Kau malah sering menolak ketika aku ingin membelanjaimu membeli makanan di kantin sekolah. Walapun begitu, aku takut omongan mereka tentang dirimu benar. Cara mereka mengatakannya sangat meyakinkan. Aku jadi takut kau tak menyukaiku. Aku takut kau menghilang karena tidak suka padaku. Aku takut banyak hal. Aku takut sendirian. Aku pun mencarimu. Tapi aku tak pernah bisa menemukanmu. Ke rumahmu, aku sangat takut. Aku takut pada ayahmu. Semua orang takut pada ayahmu. Ia, ah, aku tak akan menjelek-jelekkan ayahmu. Kau tahu maksudku, karena kau pun sangat takut pada ayahmu. Rasa takut yang membuatmu pucat seketika setiap kali mendengar ayahmu meneriakkan namamu. Teriakkan yang begitu melengking, lebih nyaring dari suara apa pun. Mula-mula aku kira kau takut hanya pada suara ayahmu. Tapi, belakangan baru aku tahu, ternyata kau takut pada kebiasaan ayahmu melampiaskan semua amarahnya kepadamu. Aku baru tahu setelah pada suatu hari, tanpa sengaja saat kehilangan dirimu, aku menemukanmu di bawah pohon beringin di pinggir sungai. Kau duduk mencangkung pada salah satu akar pohon itu, menatap kosong ke permukaan air sungai yang berwarna cokelat. Kau sangat kaget ketika aku muncul. Saat itulah
  • 18. 18 aku lihat darah kering di sudut bibirmu dan matamu lembab berwarna hitam kebiru-biruan. “Apa yang terjadi padamu? Apa kau dipukuli anak- anak itu. Siapa yang melakukan semua ini padamu?” Aku menyerbumu dengan sekian banyak pertanyaan. Aku khawatir sekali. Aku pegang tanganmu dan aku perhatikan seluruh tubuhmu untuk memastikan apakah kau mengalami luka lain di bagian lain. “Sudahlah.” Kau menepis tanganku. “Aku baik-baik saja.” Kau bangkit dan berdiri pada akar pohon. Aku kaget kau perlakukan seperti itu. Aku ingat ejekan mereka, dan aku merasa kau sudah tidak menyukaiku lagi. “Tinggalkan aku sendiri di sini!” “Siapa yang melakukan semua ini?” Aku tidak peduli kau mengusirku. Kau marah, lalu membentakku, “Pergi kataku!” Suaramu begitu kencang. Aku ketakutan sekali. Aku undur lalu berlari pulang. Sepanjang perjalanan ke rumah aku menjadi yakin omongan anak-anak itu bahwa kau tidak menyukaiku lagi. Aku ketakutan. Aku takut karena kehilangan teman. Aku tidak punya siapa pun selain kau. Setiba di rumah, aku menangis meraung-raung. Ayah dan ibuku kaget, meskipun aku biasa pulang sambil menangis. Tapi, kebiasaan itu berhenti setelah kita sering bersama. Ibu langsung mendatangiku ke kamar. Dengan lembut ibu bertanya apa yang menimpaku. Aku tidak menjawab, tetap menangis. Ibuku membujuk, “Kenapa, Sayang, mereka menjahatimu lagi ya?” Suara Ibu berhenti, mungkin, menunggu jawabanku. Tapi aku hanya menangis, “Memang Borkat tak membela kau ya?” Ibu menyebut namamu. Aku tetap menangis.
  • 19. 19 Seharusnya aku bilang soal dirimu. Tapi aku hanya menangis. Aku terlalu ketakutan kehilangan dirimu. Dan, inilah kesalahanku yang paling fatal. Saat ibu berusaha menenangkanku, ternyata kau sedang di halaman rumah. Entahlah, mungkin, kau merasa kasihan padaku setelah membentakku. Kau tahu aku sangat ketakutan kehilangan dirimu. Makanya, kau berusaha mengejarku untuk meminta maaf. Namun, begitu Ibu mendengar suaramu, Ibu langsung keluar untuk menemuimu. Aku masih menangis dan ketakutan kehilangan dirimu. Ketika Ibu kembali lagi menghapiriku, Ibu bilang bahwa ia baru saja memarahimu dan menyuruhmu agar tidak menemuiku lagi. “Ibu tidak suka anak itu. Seharusnya Borkat itu menjagamu, tetapi ia malah ikut-ikutan menyakitimu. Ibu mengusirnya dan melarangnya menemuimu kapan pun.” Aku bangkit dari tempat tidur dan berlari keluar untuk mengejarmu. Tapi kau tidak ada. Aku kembali meraung sambil masuk rumah. Aku tidak peduli teguran Ibu dan terus ke kamar. Aku mengunci diri di dalamnya. Sejak itu, aku tak pernah lagi bertemu dirimu. Mereka, yang selalu mengejekku, mengatakan kau pergi karena tidak suka padaku. Pergi jauh, jauh sekali…. KAU DIPANGGIL SI LOAK DAN ITU ARTINYA SANGAT BODOH. Aku tak tahu kenapa. Meskipun aku ingin tahu kenapa. Aku juga ingin tahu banyak hal tentang dirimu, karena kau mengingatkanku pada kawanku pada masa lalu. Ia juga dipanggil Si Loak, terutama oleh keluarganya, meskipun ia tidak seperti namanya. Aku yakin kau pun tak seperti namamu. Ketika kali pertama bertemu, saat kali pertama memasuki ruang kuliah, aku sudah mencurigai bahwa aku
  • 20. 20 mengenalmu. Sepintas dari kejauhan, aku menangkap sosokmu, dan segera ingatanku kembali kepada seorang kawanku di masa lalu. Sekitar belasan tahun lalu, di sebuah kampung, yang kemudian aku tinggalkan karena mengikuti ayahku yang pindah pekerjaan ke kantornya di Jakarta. Dan saat kita berpapasan di pintu ruang kuliah, aku tersenyum padamu. Tapi kau tidak menggubris, bahkan tidak menganggap aku ada di hadapanmu. Karena itu, aku menjadi paham bahwa kau bukan orang yang aku kenal. Kalian berdua hanya mirip. Hal seperti itu bisa saja terjadi. Dua orang, yang tak ada hubungan apa pun antara satu dengan lainnya, memiliki kemiripan. Beberapa menit kemudian, setelah mengambil tempat duduk, aku dengar seseorang berteriak: “Hei, Loak!” Aku melihat kau mengangkat kepala. Orang yang berteriak itu tergelak. Kau menatapnya. Aku pernah melihat cara menatap seperti itu. Tatapan orang marah, tatapan kawanku pada masa lalu. Hanya menatap. Tapi, itu bukan akhir, karena setelah itu kawanku akan mencegat siapa pun yang memangilnya seperti itu di luar sekolah. Kalau kawanku mampu menghadapinya, ia akan menghajarnya dan tak memberi ampun. Kalau tidak mampu, ia akan melakukan apa saja untuk melampiaskan dendamnya. Dulu, kawanku itu, merubuhkan dan menghancurkan etalase sebuah toko kelontongan hanya karena anak pemilik toko mengeroyoknya. Seluruh etalase itu hancur, dan kawanku itu melangkah meninggalkan toko dengan santai. Pemilik toko tak berani mengejar, karena mereka tahu siapa kawanku itu; anak seseorang yang sangat ditakuti. Aku yakin kau juga akan melakukan hal serupa. Caramu menatap orang itu sangat aku kenal. Tatapan yang
  • 21. 21 penuh dendam. Aku bisa menduga, sepulang kuliah, kau pasti akan mencegat orang itu. Dan, betul, kau memang mencegatnya di gerbang kampus. Begitu melihatnya, kau tarik kerah bajunya dan kau pukuli tanpa memberi kesempatan kepada orang itu untuk melawan. Kau baru berhenti ketika orang itu terkapar berlumuran darah. Saat itulah, ketika kau pergi dengan santai dan terlihat sangat tenang, aku memanggil namamu. Kau tidak menoleh. Aku pikir karena kau tidak mendengar, lalu kupercepat langkahku untuk menjejeri langkahmu di koridor jalan raya. “Kau pasti Borkat,” tebakku. “Siapa Borkat?!” nada suaramu tinggi. “Ah, maaf. Aku salah orang,” kataku. Kau pun diam sambil menatap ke ujung jalan. Kau sedang menunggu bus. Aku memperhatikanmu begitu seksama. Sungguh, kau mirip dengan kawanku. Kawan yang tak pernah kujumpai lagi sejak belasan tahun lalu, sejak orang tuaku memutuskan meninggalkan kampung itu. Aku sangat kehilangan. Sejak itu pula, aku tahu, aku membutuhkanmu. Karena itulah, aku merasa harus dekat denganmu. Aku tidak ingin kehilangan dirimu lagi. “Mau pulang ya?” tanyaku, berusaha mengajakmu bicara. “Apa itu penting?” “Ketus sekali.” “Apa itu penting.” “Aku hanya ingin berteman.” “Apa itu penting?” Aku putuskan diam. Tapi, sejak itu, entah bagaimana awalnya kita pun menjadi dekat. Di ruang kuliah kita sering duduk berdekatan. Meskipun tak bertegur sapa, tapi aku senang. Dan ternyata, kau memang banyak persamaan dengan kawanku itu, bukan hanya soal nama panggilan itu. Kau pendiam dan, ini yang terpenting, kau
  • 22. 22 sangat cerdas. Kau menguasai perkuliahan, acap berdebat dengan dosen. Tapi, ada satu hal yang sangat membedakanmu dari kawanku. Kau acap kulihat memegang kepalamu seperti menderita sesuatu. Tak jarang kau tiba-tiba mengeluh kesakitan. Kau tak pernah terlihat sehat. Tiap sebentar kau mengeluh sakit kepala. Secara mendadak, kau sering diserang oleh rasa sakit pada kepalamu. Kau mengibaratkan serangan itu seperti seribu jarum yang ditembakkan sekaligus ke dalam otakmu, lalu jarum-jarum itu masuk ke urat-urat darahmu, kemudian menusuki sel-sel otakmu. Awalnya aku sangat takut ketika kali pertama melihatmu diserang oleh rasa sakit itu. Kita sedang di dalam kelas mengikuti perkuliahan. Ketika dosen yang bertubuh kecil dan terlihat tenggelam dalam stelan safari warna coklat susu yang dikenakannya itu menuliskan sesuatu di white board, seluruh mahasiswa mendengarkan dengan seksama sehingga suasana kelas jadi hening. Pada saat itulah, kau yang duduk di sampingku tiba-tiba mengeluh oleh rasa sakit pada kepalamu, kemudian seluruh isi kelas riuh karena kau terjatuh dari kursimu. Kau pingsan seketika. Aku rasa seluruh tubuhku pucat. Aku terkesiap. Aku baru tersentak setelah dosen mendekat dan memerintahkan mahasiswa lainnya untuk membaringkanmu di atas meja. Kuliah hari itu jadi kacau. Seluruh mahasiswa mengerubuki. Dosen marah-marah dan menyuruh para mahasiswa keluar. Aku diminta menunggu di dalam ruangan. Setelah tinggal aku, dosen, dan kau yang masih tergeletak, dosen itu berusaha melepas bajumu dan mengendurkan ikat pinggangmu. Aku melihat dosen sangat khawatir. Wajahnya pucat pias. Kau sendiri belum menunjukkan gelagat akan sadar. Aku bilang pada dosen agar membawamu ke rumah sakit. Dosen keluar kelas
  • 23. 23 memanggil beberapa siswa. Kau pun digotong ke rumah sakit. Sejak kejadian itu, kita jadi akrab. Sejak itu aku tahu ada sesuatu yang bersarang di otakmu. Kata dokter, ia semacam tumor, tetapi tidak terlalu membahayakan. Aku tak tahu bagaimana dokter bisa menyimpulkan “tidak terlalu membahayakan”. Kau sendiri tidak terlalu peduli dengan perkataan dokter. Bagimu, kau baik-baik saja. Meskipun kau tidak pernah membantah ada sesuatu yang bersarang di kepalamu. “Ia sudah ada di kepalaku sejak aku kecil. Sekali-sekali ia memberitahuku bahwa ia masih setia di dalam kepalaku,” katamu. Aku tak mengerti kenapa ada orang seperti dirimu, sama sekali tidak memiliki rasa khawatir atas penyakit yang menimpamu. Meskipun begitu, kau selalu saja mengeluh bila sakit kepala itu mulai menyerangmu. Kau memintaku menjaga agar saat pingsang kepalamu tidak membentur benda keras. Aku pun jadi waspada. Begitu kau mengeluh sakit kepala, aku langsung bersiap-siap. Tapi tidak setiap saat serangan di kepalamu itu membuatmu pingsan. Kau akan tersenyum jika bisa mengatasi serangan itu tanpa pingsan. “Kau kawan yang baik,” katamu. Itulah kali pertama kau memujiku. Pujian itu juga menjadi pujian terakhir yang kau berikan. Beberapa hari kemudian, kau kembali diserang oleh rasa sakit yang hebat pada kepalamu, teramat hebat. Aku tak ada di sampingmu. Serangan itu datang saat kau di dalam bus. Kau tak bisa mengendalikan diri dan terjatuh. Sebelum menyentuh lantai bus, kepalamu membentur bangku. Besok harinya, sebuah kertas yang ditempel di papan pengumuman kampus, menyebut bahwa kau telah meninggal karena terjatuh dari bus. Dan aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Aku kembali kehilangan dirimu.
  • 24. 24 “ORANG MEMANGGILKU SI LOAK,” katamu setelah minta izin duduk di bangku kosong di depanku saat sedang menikmati menu di sebuah restoran di bilangan Jakarta Pusat. “Itu artinya sangat bodoh, tapi itu hanya nama. Sesungguhnya semua orang tahu kalau aku cerdas.” Aku diam saja, hanya menatapmu. Nama itu, tentu, segera membawa ingatanku ke masa lalu. Si Loak, ah, apakah semua laki-laki bernama sama? Ataukah Kalian memang orang yang sama. Aku yakin tidak. Secara fisik, kau lebih gemuk. Begitu percaya diri, menyunggingkan senyum sambil duduk di hadapanku. Beda betul dengan Si Loak sebelumnya. Mereka tidak perduli apa yang terjadi di lingkungannya, pendiam, dan pemurung. Sedang kau, terlihat begitu riang. “Sejak kau masuk ke restoran ini, aku sudah curiga pernah mengenalmu,” katamu. Kau diam sambil menatapku seolah-olah ingin memastikan dugaanmu tentang diriku tidak keliru. “Tidak salah lagi, kau pasti Berlian,” tebakmu. Kau menyebut namaku. Aku tersentak. Sungguh, ini mengejutkan. Aku tak pernah mengenalmu, kecuali nama yang kauperkenalkan. Aku menatapmu dalam-dalam. “Kau tahu namaku?” tanyaku. Kau pun tertawa. Satu hal yang tak pernah dilakukan si Loak yang pernah aku kenal. “Kau tidak mengenaliku lagi, Berlian?” “Mungkin kau salah orang,” kataku. “Kebetulan saja nama kami sama.” “Tidak. Aku tak pernah keliru. Kau….” Kau diam. “Maaf, bekas jahitan di atas bibirmu itu, itu yang mengingatkanku padamu.” Aku terkejut. Ia menangkap bekas itu meskipun orang lain tidak lagi melihat bekas jahitan operasi
  • 25. 25 sumbingku. Selepas aku kuliah, aku bekerja di sebuah perusahaan internasional yang bergerak di bidang telekomunikasi. Aku menjabat sebagai manajer komunikasi dan public relation. Pekerjaan itu memaksaku mengubah penampilan fisik, mengoperasi ulang bekas jahitan di bawah hidungku, dan memperbaiki caraku berbicara. Semua orang bilang aku lebih cantik, dewasa, dan sangat terpelajar. “Kau tak bisa menutupinya dariku,” katamu. “Bagaimana kau bisa tahu.” “Karena aku mengenalimu.” “Aku tak mengenalimu sampai kau sebutkan namamu.” “Kau mengenalku dengan nama si Loak, kau juga tahu namaku Borkat Pangidoan. Hanya kawan-kawan pada masa lalu yang memanggilku si Loak.” Aku kaget. Jadi, sungguh, kau betul kawanku pada masa lalu. Tapi aku tidak percaya. Kau terlihat berbeda, jauh betul dari sosok si Loak yang aku kenal. Kau seolah bisa membaca pikiranku, lalu bercerita tentang anak-anak yang mengejek sumbingku. Kau bercerita semuanya. Kau bilang, mereka sering menanyaiku. “Mereka tinggal di Jakarta ini juga. Kami sering bertemu,” katamu. “Mereka?” Mendadak semua kenangan itu muncul. Ceritamu betul-betul meyakinkan, karena hanya si Loak yang tahu cerita itu. “Jadi, kau benar-benar Borkat?” “Ya, kenapa? Apa aku berubah?” Aku mengangguk. “Sangat berubah. Apa yang terjadi padamu?” “Setiap orang harus berubah. Kau juga berubah.” Aku tersenyum. Kau kembali tergelak. Kita pun cepat akrab. Kau mengungkit kenangan masa kecil. Berkali- kali kita tertawa bersama. Tapi, ketika aku bertanya
  • 26. 26 bagaimana keluargamu, mendadak kau murung. “Kasihan ibuku,” katamu, “Ia harus kehilangan aku.” “Apa maksudmu?” “Sejak ibumu mengusirku dari rumahmu, aku meninggalkan kampung. Kaulah satu-satunya orang yang dekat denganku. Orangtuaku sama sekali tidak menyukaiku, apalagi ayahku. Bagi mereka aku hanya anak bodoh yang menyusahkan. Semula aku kira karena memang aku bodoh, tapi belakangan aku tahu karena mereka memang tidak menginginkan kehadiranku. Mereka tidak menginginkanku lahir, dan kelahiranku membuat hubungan kasih di antara mereka jadi renggang.” “Apa maksudmu?” “Ibuku mengandung aku sebelum menikah. Karena ibuku hamil, mereka dipaksa menikah. Selama pernikahan itu, mereka menjadi paham kalau mereka memang tidak cocok menjadi suami istri. Setelah aku lahir, mereka mengabaikanku dan mengurus urusan masing-masing. Kau tahu, ayahku seorang bajingan, sama seperti ibuku. Tiap hari mereka melampiaskan kemarahan masing-masing dengan cara memukulku. Aku tak tahan dan memutuskan meninggalkan mereka.” “Kenapa kau tidak pernah memberitahu soal ini?” “Itu masa lalu. Aku sudah melupakan mereka.” “Melupakan orang tuamu.” “Bukan. Mereka tidak pantas jadi orangtua.” Mendadak kau emosi, menatap tajam padaku. “Mereka tak pantas jadi orangtua.” Tiba-tiba kau tergelak. Suaramu begitu kencang. Orang-orang yang sedang menikmati menu restoran, menatap ke arah kita. Kau tidak peduli. Lalu kau diam seketika seolah-olah kau tidak pernah tertawa. Kemudian menantap tajam padaku. “Kau tahu,” katamu seperti
  • 27. 27 menyuruhku menebak apa yang akan kau ceritakan. Aku menggeleng. “Aku membunuh mereka.” Mendadak aku pucat. Aku sandarkan punggungku ke kursi. Kembali kau tergelak. (*)
  • 28. 28 Hatoban TAK USAHLAH KUSEBUT NAMA GADIS YANG AKU CINTAI ITU. Ia sudah pergi dan semua ini hanya kenangan. Cukup aku jelaskan serbasedikit: ia sangat cantik, tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal yang tidak bisa diubahnya; disebabkan karena ia hatoban. SERIBU TAHUN LALU LELUHUR MARGAKU, panusunan bulung, menaklukkan leluhur marganya dalam sebuah drama pertempuran yang kolosal. Leluhur margaku berhasil menggiring leluhur marganya ke tepi Aek Lappesong yang deras dan berbatu-batu dimana sebuah jurang menganga dan mengaum garang. Hanya ada dua pilihan bagi leluhur marganya, meloncat ke mulut jurang dengan resiko berkeping-keping dicabik batu cadas, atau takluk kepada leluhur margaku dengan resiko hidup sebagai hatoban. Pilihan kedua yang dipilih leluhur marganya, entah apa alasannya. Aku meyesalkan pilihan leluhur marganya itu. Kalau saja ia memilih pilihan pertama, tak akan kualami kisah ini. Tapi tidak, ia pilih pilihan kedua. Sejak itulah cerita ini bermula dan hingga hari ini keturunan leluhur marganya tetap menjadi hatoban. Dengan sendirinya dirinya pun menjadi hatoban. “Kau tak bisa mengubah itu,” kata Inang ketika aku cerita betapa ia, gadis yang aku cintai itu, telah merebut hatiku dengan cara yang sangat lembut. “Bagaimana mungkin keluarga panusunan bulung menikahi hatoban.” Bah! Vonis Inang betul-betul meruntuhkan hatiku. Kenapa Inang membuat semuanya menjadi begitu berat? Padahal Inang tinggal merestui hubungan kami. Habis perkara. Tetapi aku tak berani mendebat Inang. Bisa kualat
  • 29. 29 aku. Aku diam saja ketika Inang mewanti-wanti agar aku jangan pernah lagi memikirkannya. “Kau mau semua hatobangon di kampong ini memusuhi kita,” ancam Inang. Amang seperti biasa tak banyak cakap. Ia menatapku dengan cara yang sangat aneh. Tak kutanggapi kemarahan Inang, tak kumasukkan ke hati tatapan Amang. Aku diam saja meskipun dalam hati aku merencanakan akan menemui gadis yang aku cintai itu secara sembunyi-sembunyi. Maka aku temuilah ia secara sembunyi-sembunyi. Kami berkasih-kasihan secara sembunyi-sembunyi, sehingga hubungan kami menjadi sangat akrab dan kami berencana akan menikah. Lalu rencana itu pun terbersit; kami akan awin lari (marlojong). Tetapi ketika tiba hari yang kami rencanakan untuk marlojong, Amanguda, adik kedua Amang, mencegat kami saat melewati jalan setapak menuju kota kecamatan. Tidak banyak cakap ia dan langsung menghantam hidungku dengan tinjunya. Sakitnya minta ampun. Kepalaku pusing bukan main, tetapi aku diam saja. “Dasar kau tak tahu adat. Kau mau merusak paradaton. Kau itu anak raja.” Amangudaku diam. “Kau ditunggu Mangaraja Marulam di rumah. Habislah kau kali ini!!!” Amangudaku menyebut nama Amang, lalu berbalik kepada perempuan yang aku cintai. Ia terlipat ketakutan. Ia menyembunyikan wajahnya pada lututnya. Aku kasihan sekali padanya. Amangudaku menyemprotnya dengan makian-makian yang memerihkan hatiku. “Dasar hatoban. Tak tahu diri kau. Anjing kau. Babi kau….” “Amanguda!” Aku melawan. “Dia sama seperti aku, kami sama-sama manusia.” SESUNGGUHNYA hubungan kami sudah berlangsung sangat lama, sejak kami kecil. Kami lahir pada hari yang sama, tetapi jamnya yang berbeda. Aku lebih tua tiga jam.
  • 30. 30 Perbedaan yang lain, aku lahir dibantu seorang bidan. Ia lahir dibantu Ompu Erna, seorang datu beranak. Aku lahir di puskesmas, sedang ia lahir pada salah satu kamar di belakang rumahku. Di kamar itu Inang dan Amangnya tinggal sebagai pembantu kami. Entah sejak kapan mereka tinggal bersama kami. Kedua orangtuanya sangat baik kepadaku. Mereka memperlakukan aku seperti kepada anaknya sendiri, apalagi aku sangat akrab dengan putri mereka. Keakrabanku tak pernah dipersoalkan siapa pun, termasuk Inang maupun Amang. Barangkali karena mereka mengira kami masih anak-anak dan semua keakraban kami hanya sebatas hubungan anak-anak. Tetapi mereka keliru. Itulah hubungan yang menumbuhkan perasaan membahagiakan. Setiap kali bersama perempuan yang aku cintai itu, aku merasa sangat hidup. Aku menjadi seorang laki-laki dewasa yang dirongrong oleh perasaan ingin selalu melindunginya. Rupanya ia tahu aku sangat menyayanginya dan begitu melindunginya. Ia bangga sekali mendapat perlakuan seperti itu dariku. Aku menyadarinya karena ia selalu berusaha memberi peran besar kepadaku agar aku tetap berusaha melindunginya. Begitulah kami selalu bersama sejak kecil. Ketika beranjak dewasa, aku mulai memiliki perasaan yang luar biasa ketika berdekatan dengannya. Ada debar dalam jantung aku setiap kali kami bersitatap. Matanya yang bulat dan bercahaya itu betul-betul meruntuhkan jiwaku. Ketika itulah aku susah payah menata kata untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Aku juga kepayahan menyusun keberanian untuk mengungkapkan kata-kata cintaku. Setelah bertahun-tahun, setelah kami sama-sama bersekolah di SMA, barulah kata-kata itu tersusun rapih bersama dengan menguatnya keberanianku. Maka,
  • 31. 31 sepulang dari sekolah, saat kami berjalan berdua di bukit padang lalang menuju perkampungan—satu-satunya SMA hanya ada di kota kecamatan—aku minta ia berhenti karena ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Saat itu kami berada di puncak bukit, dan dari tempat itu kami bisa melihat matahari menggeser tubuhnya ke barat secara perlahan-lahan. Aku bilang padanya bahwa aku jatuh cinta dan tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa dirinya. Aku berdebar-debar menunggu jawabannya. Aku sangat takut ia menolak. Tetapi ia tak menolak, hanya mengangguk pelan. Aku lihat kulit pipinya yang putih bersih itu memerah seperti bunga kincung. Sore itu aku melihatnya seperti bidadari yang baru keluar dari dongengngan. Lalu aku peluk tubuhnya, aku cium keningnya dengan keriangan yang luar biasa. Sejak itu kami berkasih-kasihan. Semakin hari, semakin dalam aku masuk ke hatinya. Semakin dalam pula ia menyusup ke hatiku, mengendap sari-sari jiwanya di darahku. Karena keriangan yang luar biasa, akupun mengungkapkannya kepada Inang. Dengan kening berkerut, Inang berkata: “Dia hatoban dan sampai kapan pun tetap hatoban. Kau tidak bisa dekat dengannya.” Seharusnya tak kusampaikan kepada Inang tentang perasaanku kepada gadis yang aku cintai itu. Tetapi aku terlalu bahagia dan sangat ingin agar orang lain ikut menikmati kebahagiaanku. Tetapi keputusan aku itu ternyata jadi petaka. Sejak Inang tahu, ia melarangku berdekatan dengan gadis yang aku cintai itu. Malah, suatu hari Inang menghardik orangtua gadis yang aku cintai itu dengan sangat kasar. Aku tak tahu bagaimana dan kapan kejadiannya. Mungkin saat kami sedang berkasih-kasihan secara sembunyi-sembunyi di pinggir Aek Lappesong, atau saat kami sedang di sekolah. Yang jelas, orangtua gadis yang aku cintai itu meminta dengan sangat kepadaku agar
  • 32. 32 menjauhi putri mereka. Aku bilang tidak bisa. “Aku mencintainya, sangat mencintainya,” kataku. Orangtua gadis yang aku cintai itu menangis. Mereka memohon. Aku bersikeras. Saat itulah muncul gagasan itu. “Kalau begitu, kami akan marlojong,” kataku. Mereka kaget. “Jangan!” Aku tak perduli. Malam itu pun aku mengajak gadis yang kucintai itu marlojong. Ia mengangguk. Kami pun membuat rencana. Dan ketika rencana itu final, kami pun bergerak. Sayang, Amangudaku mengetahuinya. Lalu…. SEMUA HARAPANKU KANDAS. Dengan cara yang sangat kasar Amang mengusir aku dari kampong. “Kau tak bisa menjaga adat,” katanya. “Inang sudah mengingatkanmu,” timpal Inang. Aku diam saja. Ada kemarahan meledak, tetapi aku tahankan. Juga ketika aku melangkah meninggalkan kampong mengikuti perintah Amang. Ia seorang yang keras, kaku, dan tidak boleh dibantah. Maklum, ia seorang raja, raja dalam trah marga kami, panusunan bulung. Apapun yang ia katakan adalah titah. Panusunan bulung itu turunan langsung dari mulajadi nabolon. Aku, anak tunggalnya yang juga pewaris panusunan bulung, hanya bisa menunduk meninggalkan kampong. Aku diwajibkan ke Jakarta, ke rumah Inangboruku, adik perempuan Amang. Ketika aku tiba di rumah Inangboruku yang luas dan megah di Jakarta Selatan, ia langsung mewanti-wanti dengan sekian banyak peraturan dalam rumah yang tak boleh aku langgar. Aku sudah membayangkan akan menjalani hidup yang kerontang, setidaknya mirip kehidupan yang dijalani Inangboruku. Inangboruku menikah dengan orang dari Mandailing, tetapi aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Orang Mandailing itu, Amangboruku, konon
  • 33. 33 kabarnya tidak terlalu perduli dengan situasi Inangboruku dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Ia seorang polisi laut, bekerja di Pelabuhan Tanjungpriok, dan banyak menghabiskan waktunya di sejumlah hotel dan bar bersama para pengusaha pengiriman barang. Mereka sengaja menjamu Amangboruku dan membuatnya merasa dihargai agar Amangboruku tidak perlu memeriksa jenis- jenis barang yang mau keluar maupun yang masuk ke Pelabuhan Tanjungpriok. Amangboruku memang tidak memeriksanya, tetapi dengan syarat para pengusaha itu menyisahkan saham di perusahaan mereka masing-masing 20% untuk dimilikinya. Itu sebabnya Amangboruku sangat kaya, sangat kaya. Tetapi aku yakin, suatu saat ia akan jadi sasaran petugas yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi. Suatu saat pasti. Karena hidup Amangbaruku dengan mobil yang selalu baru dan Inangborku selalu mempertontonkannya kepada setiap orang dalam acara arisan yang penuh percikan ludah basi, sangat terkesan seolah-olah mereka punya saham juga di PT Perusahaan Uang Republik Indonesia (Peruri). Aku tak terlalu memusingkan itu. Aku cuma pusing oleh bayangan gadis yang aku cintai itu. Ia tidak pernah redup. Seperti bola lampu yang terbuat dari cahaya keabadian, ia berpijar-pijar dalam diriku. Ia menyala-nyala dalam hatiku. Tetapi entah dimana ia saat ini. Sejak Amangudaku menangkap tangan kami saat mau marlojong, ia mendapat perlakuan yang tidak baik dari setiap orang di kampong. Perlakuan yang lebih kurang seperti diberikan Amangudaku saat menangkap tangan kami. Dan, karena kasihan pada dirinya, orangtuanya mengajaknya pindah ke tempat lain tanpa memberitahuku ke mana.
  • 34. 34 Itulah salah satu alasan aku menerima perintah Amang agar pergi ke Jakarta. Namun aku selalu memikirkan gadis yang aku cintai itu selama bertahun-tahun. Ia tak tergantikan oleh apa pun, oleh siapa pun. Semakin tahun ia semakin berpijar-pijar. Nyalanya lebih terang dari matahari, lebih indah dari rembulan. Sampai bertahun-tahun kemudian aku kembali ke kampong saat tidak muda lagi. Tapi aku tetap saja seorang pemuda dengan jantung yang berdebar-debar seperti dulu sembari membayangkan aku akan bertemu dengannya. Meskipun aku tak yakin ia akan ada di sana mengingat bagaimana ia sangat disakiti orang kampong sehingga memutuskan pergi. Entahlah, dadaku berdebar- debar sepanjang perjalanan pulang. Aku menata kata-kata yang pas untuk disampaikan kepadanya. Situasi ini sama persis seperti bertahun-tahun lalu ketika aku akan mengatakan cinta kepadanya. Dan tiba-tiba semua seperti baru dimulai, seperti tidak pernah ada yang berubah. TAK USAHLAH KUSEBUT NAMA GADIS yang aku cintai itu. Cukup aku jelaskan serbasedikit: ia sangat cantik, tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal yang tidak bisa diubahnya. Juga saat aku temui ia kembali, beberapa tahun kemudian. Ia berdiri di tempat kami sering berkasih-kasihan, di pingir Aek Lappesong yang tak dialiri air lagi. Di sana tak ada batu-batu cadas karena orang-orang menambangnya. Tetapi yang sangat menarik bagiku adalah sosoknya. Ia tidak berubah sama sekali, juga kecantikannya. Waktu tak membuatnya lebih tua. “Kau?” kataku. Ia tersenyum. “Ya, aku. Aku menunggumu di sini bertahun-tahun. Aku yakin suatu saat kau akan menepati janjimu.”***
  • 35. 35 Teanan GONG…gong…gong…. Gema gong dipukul dengan nada tiga-tiga, bergaungan di langit Huta Ginjang ketika Namora menapak pada anak tangga rumah. Ransel berisi beberapa potong pakaian yang tercantel di pundaknya menghasilkan suara derit pada anak tangga dari kayu merbau tua itu setiap kali ia memindahkan kaki ke anak tangga berikutnya. Tapi suara itu tidak begitu menyita perhatiannya, karena gaung gong dengan nada tiga-tiga itu melahirkan tanda tanya di kepalanya. “Siapa yang meninggal, Amangboru,” kata Namora kepada Amangboru Sangap, suami dari Inangboru Halimah— adik ayahnya yang paling bungsu—yang membukakan pintu rumah untuknya. Amangboru Sangap menyebut nama Partaonan, tapi Namora merasa tak punya ingatan apa pun terhadap pemilik nama itu. “Apa saya mengenalnya Amangboru?” Namora mencoba menggali ingatannya di masa lalu, saat ia masih anak-anak dan menjadi bagian dari penduduk di Huta Ginjang, dan itu terjadi sekitar 15 tahun lalu. “Kau ingat rumah tua di ujung kampong, rumah kosong itu? Kau dan kawan-kawanmu sering bermain perang-perangan di halaman rumah itu,” kata Amangboru Sangap, mencoba membongkar ingatan Namora pada masa kecilnya. “Apa hubungannya Amangboru. Bukankah rumah itu sudah lama tak berpenghuni?” “Lima tahun lalu Partaonan pulang dari rantau dan tinggal di rumah itu, tapi justru karena itulah hidupnya menjadi sengsara.” Amangboru Sangap menghela nafas dan terdengar begitu berat. “Sejak tinggal di rumah itu, nasib
  • 36. 36 buruk selalu menimpanya hingga semalam ia ditemukan meninggal dunia di dalam rumahnya.” “Meninggal?!” Namora masih berusaha menggali banyak hal tentang almarhum Partaonan, tapi Amangboru Sangap memberi isyarat agar ia membersihkan diri dan beristirahat karena pasti kecapaian sehabis perjalanan jauh dari Kota Medan. “Amangboru mau melayat dulu. Inangborumu sudah di sana sejak pagi. Selesai pemakaman, nanti kita lanjutkan pembicaraan,” kata Amangboru Sangap. “Saya ikut melayat, Amangboru,” kata Namora. “Saya bagian dari huta ini.” Di angkasa, suara gong dengan nada tiga-tiga sudah tak terdengar lagi. LIMA BELAS TAHUN LALU, 1998, Namora meninggalkan Huta Ginjang. Saat itu ia baru selesai SMA, dan bermaksud melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi di Kota Bandung. Di Kota Bandung itulah Namora lahir, tapi saat masuk SMP, ia harus meninggalkan Kota Bandung dan ayah mengirimkannya ke Huta Ginjang lantaran suatu sebab yang tak pernah diketahuinya. Ia hanya ingat, sebelum keputusan itu dibuat ayahnya, terjadi pertengkaran hebat antara ayah dengan ibunya. Pertengkaran yang dipicu oleh suatu soal yang tak bisa dingatnya dengan jelas hingga hari ini, dan ia harus menuruti keinginan ayahnya tanpa penolakan. Mula-mula Namora merasa bagai dibuang dari keluarga, tapi setelah sekian tahun menjadi bagian dari warga Huta Ginjang, ia merasa sangat beruntung. Di tempat baru inilah ia menjadi paham siapa dirinya, juga mengerti betul dari keluarga seperti apa ayahnya dilahirkan.
  • 37. 37 “Di Huta Ginjang ini, semua orang akan menghormatimu tanpa kau minta,” kata Amangboru Sangap. Namora menduga ucapan Amangboru Sangap itu hanya untuk membahagiakan hatinya agar betah tinggal di Huta Ginjang. Tapi, setelah beberapa hari tinggal di Huta Ginjang dan Amangboru Sangap membawanya berkeliling serta mengunjungi setiap rumah yang ada di Huta Ginjang, barulah ia menyadari bahwa ucapan Amangboru Sangap tidak hanya bermaksud menyenangkan hatinya. “Kau berasal dari keluarga panusunan bulung,” kata Amangboru Sangap. Kemudian Amangboru Sangap bercerita tentang panusunan bulung yang merupakan keluarga pembuka Huta Ginjang. Sebelum panusunan bulung muncul, Huta Ginjang hanyalah sebuah kawasan hutan lebat yang perawan di kaki Gunung Sibualbuali. Ratusan tahun lalu leluhur Namora memasuki hutan perawan itu dan membukanya untuk berkebun. Setelah satu kali musim tanam mengalami panen yang luar biasa, leluhur Namora kemudian membangun rumah, lalu memutuskan pindah dan tinggal di rumah itu. Selang beberapa tahun kemudian, leluhur Namora kembali lagi ke kampung lama dan mengajak beberapa kerabat untuk pindah ke sekitar lahan perkebunan yang baru dibukanya. Sejak itulah, muncul sebuah perkampungan di bekas hutan perawan itu, yang kemudian disepakati namanya sebagai Huta Ginjang. Kata gi njang berarti tinggi, diberikan karena letak perkampungan itu di kawasan yang lebih tinggi. Dari jendela rumah-rumah penduduk di sana, bisa menatap ke bawah yang merupakan lahan perkebunan milik warga yang sebagian besar ditanami kopi, kulit manis, cengkih, dan sayur-mayur. Pemandangan itu memberikan ketenangan pada diri siapa pun yang menebarkan
  • 38. 38 tatapannya jauh ke lembah hingga berhenti di pinggir sebatang sungai jernih. Air dari sungai itu dimanfaatkan warga Huta Ginjang untuk mencetak lahan persawahan, dan manakala musim padi tiba, dari jendela rumah-rumah warga sawah-sawah itu akan terlihat seperti permadani hijau yang dibentangkan. “Kalau ada kerajaan di sini, kaulah putra mahkotanya,” tambah Amangboru Sangap. “Tapi semua kelebihanmu jangan sampai membuatmu bersikap sombong. Keturunan panusunan bulung adalah keturunan manusia yang boleh bersikap sombong.” Namora mengangguk. Ingatan tentang ucapan Amangboru Sangap itu tak akan pernah lekang, juga saat ia memasuki halaman rumah almarhum Partaonan. Di halaman rumah itu, di tempat dimana Namora pernah bermain perang-perangan bersama kawan-kawan masa kecilnya, sudah dipasang dua tenda. Di bawah tenda ada kursi plastik yang disiapkan ahlul bait untuk para pelayat, beberapa anak muda terlihat sibuk menata kursi-kursi lain. Sebagian kursi sudah dihuni para pelayat, pada barisan pertama kursi dihuni pihak keluarga dekat dari almarhum Partogi. Berjalan di belakang Amangboru Sangap, Namora juga menyalami setiap orang yang duduk di bawah tenda itu, setelah Amangboru Sangap menyalami mereka. Sambil menyebutkan namanya, Namora melemparkan senyum dan sekali-sekali meladeni warga yang merasa mengingat dirinya. Beberapa diantara mereka adalah kawan sebayanya, tetapi secara fisik mereka terlihat lebih tua dibandingkan Namora, sehingga ia baru mengenali bila mereka menyebut namanya. “Masya Allah, Monang! Kalau tak kau sebut namamu, pasti saya tak mengenalimu lagi,” kata Namora sambil merengkuh tubuh Monang ke dalam pelukannya.
  • 39. 39 Dulu, Namora banyak menghabiskan waktunya bersama Monang, dan laki-laki itu sangat terpukul ketika Namora memutuskan kembali ke Kota Bandung. “Sudah hebat kau sekarang,” kata Monang. “Tak aku sangka kita akan bertemu lagi.” Namora tersenyum. Ia bertanya tentang anak-anak Monang, dan Monang bercerita bahwa ia menikah selesai SMA. “Aku sudah punya dua cucu. Anak pertamaku tak mau sekolah, ia memutuskan menikah agar bisa membantu aku di sawah. Dia memberiku dua cucu,” katanya. “Istri kau?” tanya Namora. “Apa kau menikahi Rumondang?” Namora membongkar ingatan pada gadis manis yang sama-sama mereka taksir saat SMA, dan itu membuat Monang terpingkal-pingkal. “Aku tak berjodoh dengan Rumondang, “ kata Monang, “dia menolak cintaku.” Namora ikut tergelak. “ADA APA KAU PULANG?” tanya Monang, beberapa saat setelah mereka bernostalgia tentang masa lalu. “Rindu.” Namora berusaha tersenyum. “Aku kenal kau jauh lebih baik daripada amangboru kau. Pasti ada hal lain yang ingin kau lakukan,” tebak Monang. Namora tersentak, tapi ia sembunyikan keterkejutannya. Ia tidak menyangka Monang akan menduga-duga sampai sejauh itu. Dan, mendadak, Namora ingat percakapan terakhirnya dengan ayahnya, hal yang membuatnya bertolak dari Kota Bandung ke Huta Ginjang. Semua lantaran warisan, harta peninggalan almarhum ompung, ayahnya ayah, yang ada di Huta Ginjang: lima petak rumah, 10 petak kebun kopi, ratusan hektar sawah, dan banyak lagi. Harta-hrta itu menjadi hak
  • 40. 40 ayahnya sebagai anak laki-laki satu-satunya, tapi semua harta itu dikelola Amangboru Sangap bersama Inangboru. Namora membutuhkan sebagian dari harta itu untuk dijual dan uangnya guna menambah investasinya. Bisnis jaringan kafe yang dibukanya lima tahun lalu sedang berkembang pesat, dan ia harus membuka beberapa cabang di sejumlah mall di Kota Bandung. Upayanya untuk meminjam tambahan investasi ke bank gagal karena masih terkait utang-piutang pada beberapa bank, dan hal ini membuat Namora sangat pusing. Ayah kemudian member alternatif, bahwa Namora masih punya harta yang melimpah di Huta Ginjang, dan ia boleh menjualnya untuk menambah modal usahanya. “Coba bicarakan pada Amangboru dan Inangboru di Huta Ginjang. Mereka pasti mengerti,” saran ayah. Namora memang menolak, karena ia tahu persis kondisi Amangboru dan Inangboru di Huta Ginjang. Mereka tak bisa disebut kaya meskipun punya harta yang melimpah, karena hasil dari seluruh harta itu tidak dinikmati sendiri. Pasalnya, saudara-saudara ayah, semuanya empat orang perempuan—salah seorang tinggal di Huta Ginjang dan menikah dengan Amangboru Sangap— selalu meminta jatah mereka dari harta-harta tersebut. Mereka beralasan, ayah Namora tidak membutuhkan harta itu karena hartanya sendiri sudah terlalu banyak, dan karena itulah mereka yang paling berhak atas harta-harta itu. Namora ingat ketika masih tinggal bersama Amangboru Sangap. Dulu, Amangboru Sangap sering mengeluhkan sikap saudara-daudara perempuan ayah--- Namora memanggil Inangboru kepada semua saudara perempuan ayah—yang selalu mendesak agar membagi- bagi harta warisan dari almarhum ompung itu. Tapi, lantaran ayah Namora masih ada dan ia satu-satunya ahli
  • 41. 41 waris yang paling berhak atas harta warisan itu, Amangboru Sangap mengatakan baru akan melayani keinginan mereka jika sudah mendapat izin dari ayah Namora. Tapi, setiap kali Amangboru Sangap meminta izin dari ayah Namora, jawaban yang didapat selalu sama. “Harta itu warisan, tak boleh dibagi. Siapa pun yang tinggal di Huta Ginjang, dia yang berhak mendapatkan semua hasil dari harta itu,” kata ayah Namora. Tapi sekarang, lantaran kebutuhan dana yang mendesak untuk mengembangkan bisnis kafe itu, Namora tidak punya pilihan. Seperti juga ayahnya, Namora adalah anak laki-laki satu-satunya. Bedanya, kalau ayah Namora punya empat saudara perempuan, maka Namora hanya seorang diri. Sebab itulah, Namora menjadi satu-satunya ahli waris dari harta yang diwariskan almarhum ompungnya. Itu pula alasan ayah Namora memberi tahu soal harta itu. “Kalau kau mau, kau bisa menjual semuanya,” kata ayah Namora. “Hei!” Monang menepuk pundak Namora. “Apa yang kau pikirkan?” Tapi Namora diam saja. “Kau tak mau cerita padaku seperti dulu?” tanya Monang. Namora mengeleng. “Tidak. Tidak ada masalah apapun. Aku hanya rindu mau bertemu Amangboru dan Inangboru. Sudah lama sekali, sudah lima belas tahun saya tak ke mari.” “Kalau kau tak mau, ya, sudah. Masih lama kau di sini. Sempatkan ke rumah biar kau lihat siapa yang jadi ibu anak-anakku!” kata Monang. “KASIHAN KALI PARTAONAN,” kata Inangboru Halima, sehari kemudian setelah pemakaman Partaonan.
  • 42. 42 Suara inangboru begitu lembut, masih seperti lima belas tahun lalu. Namora mencoba menyimaknya. Mereka sedang duduk di beranda rumah sambil menunggu Amangboru Sangap pulang dari kebun kopi. Jelang Magrib, Amangboru Sangap selalu pulang tepat waktu. Seharian ia menghabiskan waktunya di kebun kopi, menyiangi gulma, dan menunasi pohon-pohon kopinya. Tidak seperti dulu, kini Amangboru Sangap kerja sendiri. Inangboru Halima tidak boleh ikut, menunggu di rumah. Rumah tangga Amangboru Sangap dengan Inangboru Halima belum dikarunia anak, meskipun usia mereka sudah kepala lima. Saat mereka masih muda, Inangboru Halimah terkena serangan tumor indung rahim, dan harus diangkat. Karena penderitaan itulah makanya ayah Namora sangat menyayangi Inangboru Halimah, dan untuk mengobati luka hatinya karena tidak punya anak, Namora dikirim ke Huta Ginjang. Meskipun begitu, keduanya menjadi pasangan yang bahagia, dan tak merasa bahwa hidup mereka menjadi sangat kering tanpa kehadiran seorang anak pun. “Ada apa sebetulnya Inangboru?” tanya Namora. “Aku dengar semua orang mengatakan nasib Partaonan begitu buruk.” “Seharusnya ia tidak pernah pindah ke rumah itu.” Inangboru Halima bicara seperti mengeluh. “Sejak awal Amangboru kau sudah mengingatkannya, tapi niatnya untuk pulang kampong dan mengurusi semua harta warisan almarhum orangtuany begitu luhur.” “Rumah tua itu,” tebak Namora. “Ya, rumah itu tak ada yang mengurusinya. Mereka enam bersaudara, semuanya merantau. Hanya Partaonan yang berpikir untuk pulang dan mengurusi rumah itu. Kata Partaonan itu rumah tempatnya lahir, makanya ia ingin rumah itu terawat.” “Itu niat yang baik.” Namora mengomentari.
  • 43. 43 “Mestinya begitu,” kata Inangboru Halimah, “tapi nyatanya jadi malapetaka.” “Kenapa begitu?” “Lima saudaranya, terutama tiga saudara perempuannya, meminta agar menjual rumah itu dan hasil penjualannya dibagi-bagi kepada semua ahli waris. “ “Rumah sebesar itu dibagi-bagi. Berapalah totalnya untuk satu orang. Untuk beli kerupuk saja tak cukup.” Namora geleng kepala. “Partaonan menolaknya pasti.” “Ya. Partoanan menolak menjualnya. Katanya, rumah itu satu-satunya tanda peninggalan almarhum orangtuanya. Dia berniat memperbaiki rumah itu agar setiap saudaranya yang hendak pulang bisa mengunjungi rumah tersebut. Tapi sikap itu justru membuat persoalan semakin berat, saudara-saudaranya memfitnahnya, memburuk-burukkannya, dan memaki-makinya.” “Sampai seperti itu?!” Namora menggeleng. “Partaonan sendiri tidak mengira akan seperti itu. Dia hanya ingin mempertahankan, tapi dia menjadi musuh semua orang. Itu membuatnya sedih, dan sejak itu ia sering sakit-sakitan.” “Betulkah semua ini, Inangboru.” Namora meragukan cerita yang baru didengarnya. “Hubungan tali darah bisa putus gara-gara itu.” “Harta membutakan mata manusia.” Inangboru Halimah bicara dengan suara bergetar. Kalimat itu seakan- akan ditujukan kepada dirinya sendiri, karena memang Inangboru Halimah tahu persis perasaan seperti apa yang dialami Partaonan, penderitaan seperti apa yang mendera nasibnya. Seperti itulah yang dialami Inangboru Halimah karena saudara-saudaranya selalu mendesak agar seluruh harta warisan dibagi-bagi, tapi rasa sakit Inangboru Halimah sedikit terobati karena ayah Namora selalu mendukungnya.
  • 44. 44 Mendadak Namora ingat tujuan kedatangannya untuk menjual harta warisannya itu, tapi keraguan memerangkapnya. Ia tatapan Inangboru Halimah tepat pada bola matanya, dan ia lihat kesedihan menggenang di sana. “Kenapa?” tanya Inangboru Halimah, “caramu melihat Inangboru agak berbeda.” Namora tersentak mendapat pertanyaan seperti itu. Ia alihkan tatapannnya ke tempat lain, ke pohon jambu air di halaman rumah. Di bawah pohon jambu air itu, dulu, ia sering bermain bersama kawan-kawannya. Telinganya bagai mendengar tawa mereka yang riang. Ia juga menangkap suara Amangboru Sangap saat menyuruh mereka berhenti bermain ketika terdengar suara azan dari masjid. “Berapa lama rencanamu di sini?” tanya Inangboru Halimah. “Sepekan.” “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Keluargamu? Anak-anakmu?” Namora tersenyum. “Saya rindu kepada Amangboru dan Inangboru. Saya juga rindu pada masa kecil saya di sini.” Kalimat itu diungkapkan Namora sambil menahan getar di dadanya. Terbayang bisnis jaringan kafenya di Kota Bandung, terbayang percakapan dengan ayahnya. *
  • 45. 45 Partonun INANG, MENURUTKU, seorang penenun kemiskinan seperti juga sebagian besar penenun di kampungku. Seluruh waktu mereka habis untuk merangkai benang-benang kemiskinan, sehelai demi sehelai, sehingga menjadi sebentang kain yang justru melahirkan kemiskinan lain. Jari-jemari Inang seperti punya mata, meniti di rentangan helai demi helai benang kain tenun berwarna hitam, lalu menyusup untuk mengaitkan benang warna- warni di antara benang-benang itu hingga terbentuk ornamen-ornamen indah. Tumpukan ornament-ornamen itu kemudian menjelma menjadi kain, dan orang-orang di kampungku menyebutnya ulos. Tiap ornamen itu merupakan symbol yang mengacu pada makna-makna filosofis budaya mpasyarakat kami. Sebab itu, seorang penenun seperti Inang juga seorang yang sangat paham tradisi, sehingga ia pun sangat mengerti untuk apa seseorang membeli ulos. Jari-jemari Inang seolah bisa membedakan warna setiap benang yang terserak di sekitarnya, yang diraih Inang tanpa melihatnya. Ada puluhan benang, digulung dalam kertas hingga membentuk bulatan-bulan sebesar kelereng, sehingga gampang keluar-masuk di antara benang-benang yang tipis. Gulungan benang sebesar kelereng itu dimasukkan ke dalam kaleng bekas biscuit, dan apabila Inang menarik benang-benang itu, maka timbul suara yang sangat khas. Silih berganti, setiap kali satu rajutan selebar setengah meter rentangan benang itu selesai, dengan kecekatan serupa jari-jemarinya, Inang mengeluarkan bilah- bilah bambo yang kami sebut balobas yang semula di dalam rentangan benang sembari mengetuk-ngetukkannya. Semilimeter demi semilimeter, rentangan benang-benang itu
  • 46. 46 berubah menjadi kain. Inang harus mengetukkan balobas itu kencang-kencang sehingga benang menegang dan rajutan yang terbentuk juga akan lebih rapih. Begitu terus-menerus Inang mengerjakan ulos itu dengan ketekunan seorang pengrajin tradisional, yang mewarisi bakat itu secara turun-temurun dari almarhumah ompung. Inang cuma butuh tiga pekan untuk menyelesaikan satu ulos sepanjang tiga meter itu, dan itu waktu yang sangat cepat dibanding penenun lainnya yang membutuhkan empat sampai enam pekan untuk menyelesaikan tenunannya. Selama tiga pekan itu, tubuh Inang terikat dengan peralatan yang sederhana itu, seolah- olah mereka telah menyatu. Inang baru melepas ikatan alat- alat tenun itu dari tubuhnya jika ingin buang air, atau saat panggilan azan terdengar dari langgar yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Selama itu pula, aku yang menjaga Inang dan mengambilkan makanan atau minuman untuknya, serta menyuapinya. Dua adikku, Tiurma (10) dan Sangap (5), untungnya, sangat mengerti dengan kondisi Inang sehingga mereka tidak berani bermanja-manja. Aku pun sering mengingatkan agar mereka belajar mengurus diri sendiri. Mereka menurut meskipun tidak jarang sikap anak-anak yang ingin mendapat perhatian lebih dari ibunya sering mereka perlihatkan di hadapan Inang, tetapi aku memakluminya asal tidak mengganggu pekerjaan Inang. Kalau mereka mulai mengganggu pekerjaan Inang, cepat- cepat aku bawa keluar rumah, dan mengajak mereka duduk di bangku panjang di bawah pohon nangka di halaman rumah. Mereka biasanya tanggap bahwa aku akan menceritakan suatu cerita seperti biasa selalu aku lakukan setiap kali mulai kewalahan meladeni kemanjaan- kemanjaan mereka.
  • 47. 47 Aku bukan tukang cerita yang bagus, karena aku sering mengulang-ulang cerita yang sudah pernah kuceritakan. Aku kewalahan mencari cerita karena semua cerita yang ada sudah kuceritakan, dan aku terpaksa mengarang sendiri cerita-cerita baru. Pernah aku menceritakan seekor ratu lebah yang terpaksa berdiam diri di dalam sarangnya sambil membangun sepotong demi sepotong sarang untuk meletakkan telur-telurnya. Pekerjaan itu dilakukan ratu lebah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa pernah melihat dunia luar, dan tanpa melakukan hal-hal lain yang dilakukan lebah-lebah lain seperti mengisap sari bunga-bunga. Ketika menceritakan itu, aku selalu teringat kepada Inang yang dalam bayanganku seperti ratu lebah itu, sembari kuandaikan alangkah tersiksanya kehidupan yang dijalani Inang dengan menutup diri terhadap dunia luar. Tapi, Amang, bukanlah lebah-lebah jantan yang pergi keluyuran mencari bunga-bunga mekar dan menghisap madunya untuk dibawa ke rumah. Amang memang keluyuran ke luar rumah, lalu pulang untuk mengambil madu dari dalam rumah dan menghamburkannya di kedai Amani Husor dengan berjudi sambil meminum tuak. Sejak pabrik bubuk kopi milik Amani Luhut bangkrut karena tidak ada lagi biji kopi yang bisa digilingnya—sebagian besar kebun kopi ditebangi menjadi perkampungan--ditambah banyaknya kopi kemasan yang masuk ke kampung kami melalui pedagang-pedagang kamvaser dari Padangsidempuan, Amang dan sebagian besar laki-laki di kampung kami yang semula bekerja menjadi buruh di pabrik itu menjadi kehilangan pekerjaan. Amani Luhut sendiri terpaksa hidup dari hasil menjual satu per satu mesin penggiling kopinya yang masih sisa, karena sebagian besar sudah disita bank, dan ia semakin sering terlihat berjalan-jalan sendirian mengelilingi kampung kami
  • 48. 48 sembari menggerutu sepanjang jalan. Belakangan Amani Luhut ditangkap orang sekampung dan dipasung di gubuk kecil bekas gudang penimbunan biji kopi di belakang rumahnya, karena ia tidak cuma suka menggerutu tetapi mulai gemar membentak-bentak setiap orang yang berpapasan dengannya seperti kebiasaannya membentak- bentaki para pekerja ketika pabrik penggilingan kopinya masih aktif. Hampir semua bekas buruh di pabrik Amani Luhut itu tidak siap kehilangan pekerjaan, karena mereka tidak tahu mau bekerja apapun untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan lama mereka sebagai petani tidak bisa lagi diandalkan karena mereka tidak punya sawah untuk digarap. Semua penduduk di kampung kami, yang semula memiliki lahan garapan warisan dari orang tua masing- masing, kini tidak punya lahan lagi. Mereka menjual lahan- lahan itu beberapa tahun lalu ketika Amani Luhut baru membuka pabrik kopinya dan mengajak semua laki-laki di kampung kami yang biasa bersawah menjadi buruh di pabriknya. Para laki-laki itu pun merasa sangat betah bekerja di pabrik itu, lalu memutuskan menjual sawah mereka karena yakin gaji sebagai buruh pabrik cukup untuk menghidupi keluarganya. Ketika sawah-sawah itu dijual, di kampung kami sedang demam orang memiliki parabola. Cuma dengan teknologi itulah orang-orang bisa mengikuti perkembangan zaman melalui pesawat televisi, karena antena biasa cuma bisa menangkap TVRI yang acaranya melulu propaganda politik pemerintah. Makanya, hampir semua rumah di kampung kami memiliki parabola, sekalipun kondisi rumah-rumah itu sangat memprihatinkan dengan dinding kayu tua lapuk dan atap seng buruk yang sudah karatan dan penuh tambalan.
  • 49. 49 Namun, sejak pabrik kopi itu tutup dan banyak laki- laki yang menganggur, parabola tidak ada lagi di kampung kami. Para pemiliknya menjual parabolanya untuk membeli beras atau kebutuhan hidup lainnya. Satu-satunya parabola cuma ada di kedai milik Amani Husor, dan setiap orang di kampung kami senantiasa berada di dalam kedai itu menghabiskan waktu berhari-hari, sambil memesan kopi yang setiap jam selalu ditambah airnya. Amang termasuk salah seorang yang gemar menghabiskan sehari penuh di kedai Amani Husor, dan baru pulang ke rumah dinihari ketika kami—ketiga anaknya—sudah terlelap. Biasanya, Amang pulang membawa aroma minuman keras di mulutnya, yang sering membuat aku tersentak bangun dan cepat-cepat membukakan pintu. Pagi harinya Amang bangun dengan sisa tuak yang masih mengendap di rongga kepalanya. Suaranya yang keras menggoyangkan tiang-tiang rumah seperti ingin merobohkannya ketika meminta dibuatkan secangkir kopi, lalu duduk di kursi rotan tua sambil menyedot rokok Union-nya. Berulangkali ia akan mendahak dan meludah keluar dari jendela. Akulah yang memenuhi semua kebutuhan Amang, membuatkannya secangkir kopi kalau kopi dan gula ada. Kalau tidak ada, aku akan diam-diam ke warung Amani Husor, membeli gula atau kopi dengan sisa uang belanja yang diberikan Inang kepadaku. Selesai ngopi, biasanya, Amang keluar. ”Ada kau simpan uang, Nurma,” katanya. Aku tak pernah bisa menolak, karena Amang tidak akan segan-segan memukuliku. Sisa uang belanja dari Inang kuberikan. Sedangkan Inang yang sudah mulai mengikatkan tubuhnya pada peralatan tenun, biasanya tidak banyak bicara. Inang harus memburu menyelesaikan pekerjaannya
  • 50. 50 untuk menenuhi pesanan pelanggan dari Padangsidempuan, yang membutuhkan Ulos Godang itu untuk menikahkan anak sulungnya. Inang selalu berusaha menjaga pelanggannya agar tidak kecewa. Semua keinginan mereka dipenuhinya tanpa banyak menuntut, sekalipun tidak jarang pelanggan yang datang itu menjual kembali hasil tenunan Inang dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang diberikan oleh Inang. Inang juga tahu soal itu tetapi ia tidak pernah mau meributkannya, karena Inang selalu bilang, ”Yang penting kita harus mensyukuri rezeki yang ada. Begitu kita mensyukurinya, Tuhan akan menambah rezeki itu.” Tapi, aku tak pernah bisa menerima perlakuan para pelanggan Inang itu. Sering kukatakan agar Inang menetapkan harga lebih tinggi karena cuma Inang satu- satunya penenun yang mampu menghasilkan kain bagus dan indah. Banyak penenun lain tetapi hasil karya mereka sering tidak memenuhi keinginan para pembeli, karena banyak dari ornamennya tidak sesuai dengan ornamen ulos yang semestinya. Ornamen-ornamen yang mereka buat tidak lagi mengandung falsafah warisan leluhur budaya Batak Angkola, karena penempatan ornamen di setiap lembar ulos mengandung ajaran-ajaran kehidupan yang bila diamalkan akan membuat hidup lebih tenang, dan orang bersangkutan selalu akan tawadu dan husnuzon. Begitulah Inang selalu menceritakan makna setiap motif dan ornamen ulos yang ditenunnya, lalu Inang mengatakan, ”Inang tidak cuma mencari nafkah dengan menenun ulos, tapi juga melestarikan ajaran-ajaran leluhur kita agar orang-orang zaman sekarang bisa hidup tenang dengan rasa toleransi yang tinggi.” HAMPIR TIGA PEKAN, AKHIRNYA, Inang menyelesaikan tenunannya. Bertepatan dengan itu,
  • 51. 51 pemesan ulos datang dari Padangsidempuan. Kijang biru metalik yang dikendarainya diparkir di halaman rumah. Kulihat Tiurma dan Sangap mendekati mobil itu, mengaguminya, tetapi sopir orang itu menyuruh mereka menjauh. Aku keluar dan menyuruh mereka menjauh, lalu ke dalam lagi untuk menyiapkan minuman. Ketika aku datang sambil membawa minuman, kulihat pemesan itu sedang memeriksa hasil kerja Inang. ”Luar biasa!” Perempuan bertubuh gendut yang gemar tersenyum untuk memperlihatkan sebutir gigi emasnya itu memuji karya Inang. Berulang-ulang diselempangkannya ulos itu di pundaknya, dan setiap kali ulos itu sudah terselempangkan, perempuan gendut itu membuat gerakan-gerakan menari tor-tor. ”Maaf, aku selalu tidak bisa menahan diri untuk tidak manortor kalau sudah kuselempangkan ulos,” katanya. Kulihat Inang tersenyum. ”Eda pantas sekali memakainya. Kapan horjanya diadakan?” tanya Inang. ”Anu...rencananya besok,” perempuan gendut itu terlihat gugup. Aku dan Inang tahu persis, ulos itu bukan untuk dirinya sendiri. Perempuan gendut itu pedagang dari Padangsidempuan, yang akan menjual ulos itu kepada pemesannya. Tapi, ia berpura-pura sebagai orang yang akan memakai ulos itu. Dengan begitu, ia akan mendapat ulos dengan harga lebih murah dari harga biasanya, karena para penenun ulos tidak boleh menaikkan harga bagi orang yang akan menggunakan kain adat itu untuk keperluan horja. Ada semacam toleransi yang tak tertulis dari para penenun ulos untuk mempermudah semua urusan orang-orang yang akan melaksanakan horja. Aku tahu persis soal itu dari Inang, makanya perempuan gendut itu membuat aku muak. Buru-buru aku ke dapur, meninggalkan Inang bersama tamunya.
  • 52. 52 ”Berapa lagi sisa uangnya?” Perempuan gendut itu mengalihkan pembicaraan. ”Sebelumnya aku sudah kasih Rp50.000, tinggal Rp200.000 lagi kan?” katanya. ”Rp300.000 lagi, Eda.” Inang meralatnya. ”Kita sepakat harganya Rp350.000.” ”Eda! Ulos ini mau kupakai sendiri. Persiapan horja perkawinan anak sulungku sudah banyak menghabiskan uang. Tolonglah aku, Eda, jangan sampai karena ulos ini horja itu jadi batal.” Inang terdiam. Dari dapur aku menunggu reaksi Inang. Aku berharap kali ini Inang mau bicara lugas dan mengatakan yang sebenarnya bahwa perempuan gendut itu berbohong. Tapi, ketika aku dengar Inang mengatakan ”baiklah”, aku terduduk di kursi rotan tua. Aku sudah menduga Inang pasti tidak sanggup bicara lugas karena ia selalu berusaha menjaga agar pelanggannya tidak pergi. ”Mauliate ma da, Eda,” kata Inang setelah menerima sisa uang Rp200.000. Ah, Inang, ia masih juga berterima kasih meskipun dibohongi. ”Mauliate.” Perempuan gendut itu tersenyum. Aku melihat wajah perempuan gendut itu begitu puas. Aku tahu rasa puas itu bukan karena sudah memperoleh ulos dengan harga murah, tetapi karena berhasil membohongi Inang. Begitu ia berada di dalam perjalanan ke Padangsidempuan, ia pasti akan bilang kepada sopirnya, ”Bodoh kali orang itu mau aku bohongi. Ulos sebagus ini bisa aku bisa jual Rp500.000, bahkan Rp1 juta.” Setelah perempuan gendut itu pergi, Inang memberiku Rp100.000 dari uang itu, ”Kau bayar uang sekolah kau dan adikmu Tiurma, sisanya untuk belanja kita sehari-hari. Sekarang kau pergi beli beras dan minyak
  • 53. 53 goreng! Inang mau membeli benang-benang baru karena benang tenun Inang sudah habis.” Aku mengajak Tiurma dan Sangap ke kedai Amani Husor. Tapi, baru saja kami mau melangkah keluar rumah, tiba-tiba datang seseorang memberi tahu bahwa Amang ditangkap polisi di kedai Amani Husor. Amang bersama kawan-kawannya tertangkap basah sedang berjudi. ”Amani Husor juga ditahan,” kata tamu itu. Aku lihat Inang tenang saja sambil meremas uang Rp100.000 di tangannya. ***
  • 54. 54 Butet Kita akhirnya terpisah meskipun tidak menghendakinya. Perpisahan itu berlangsung bertahun-tahun hingga saya tidak lagi punya keyakinan bahwa suatu saat kita akan bertemu. Saya pun tidak lagi mencarimu ketika pada hari yang cemerlang itu kau muncul di halaman rumah dengan niat hendak membeli salah satu lukisan yang saya buat. Hari itu, 1958 pada almanak. Kau pergi ke kanan, saya bergerak ke kiri. Saya ingin ke kanan, tapi sebuah kekuatan memaksa agar saya ke kiri. Kau tahu kekuatan itu? Moncong senapan SS diarahkan ke punggung saya. Saya tahu tak ada peluruh pada magazin, tapi saya ketakutan bukan main. Bukan karena senapan serbu itu, tapi karena orang yang memegangnya, yang mengarahkan moncongnya ke punggung saya, adalah Ja Soimbangon. Saya mengenal Ja Soimbangon sejak lama sebagai seorang pemabuk yang sinting. Saya sering mentraktirnya minum tuak di lapo milik Ja Tigor, dulu lapo itu berdiri di Lobu Jelok. Tapi sebuah peristiwa politik yang terjadi di Jakarta tiba-tiba mengubahnya menjadi komandan pasukan gerilya, yang memimpin sebanyak tiga puluhan orang, dan bergerilya di dalam hutan di lereng Tor Sibual-buali. Konon ia diangkat oleh Kolonel Simbolon, pimpinan pemberontakan yang keluar dari kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) karena ingin mengembalikan Negara Kesatuan Indonesia Timur. Tapi tidak seorang pun pernah tahu ada upacara militer untuk pengangkatan itu. Jabatan baru itu membuat Ja Soimbangon tinggi hati. Ia sangat kasar, bengis, dan tidak mau berkompromi. Senjata di tangannya tidak mampu mengenali siapa pun. Peluruh di dalam magazin sering meletup dan bersarang di dada sembarang orang. Tidak ada ampunan. Ia sangat berkuasa. Ia pula yang menentukan siapa yang harus mati
  • 55. 55 ditembak, dan siapa yang harus diajak bergabung sebagai gerilyawan. Ia memaksa saya bergabung dengan gerilyawan yang dipimpinnya. Saya sudah menolak dengan alasan bahwa kau masih kecil dan sangat membutuhkan kasih sayang, sedangkan ibumu sudah meninggal. Ja Soimbangon tidak mau tahu. Ia beralasan, setiap orang harus punya pilihan, dan setiap pilihan selalu punya resiko. “Di dalam peperangan, tidak ada seorang pun yang tidak berkorban,” katanya. “Saya sudah terlalu banyak berkorban.” Saya berusaha mengingatkan Ja Soimbangon bahwa ibumu belum lama meninggal karena terkena peluruh nyasar yang diberondongkan gerombolan pemberontak ke tempat pemandian umum di Aek Lappesong. Di tempat itu, ada satu regu tentara pusat yang dipimpinpin Kapten Sunaryo sedang beristirahat sambil mandi. Gerombolan pemberontak yang dipimpin Ja Soimbangon memergoki mereka, lalu memberondongi regu itu dengan peluruh secara membabi-buta. Salah satu peluruh nyasar ke dada ibumu, yang menyebabkan kematiannya. Usiamu belum tiga tahun ketika kehilangan ibu. Belum sepekan duka cita itu berlalu, kau harus kehilangan saya. Ja Soimbangon memaksa saya ikut bergerilya sambil mengancam akan menyebarluaskan berita bohong bahwa saya mata-mata tentara pusat jika menolak bergerilya. Ketika itu, siapa saja yang disebut mata-mata, nasibnya tidak akan indah. Saya tak punya kuasa untuk menolak. Saya membayangkan betapa malang nasibmu jika harus kehilangan ayah pula. Itu sebabnya, saya menerima menjadi bagian dari gerombolan pemberontak yang bergerilya di dalam hutan di Tor Sibualbuali. Di dalam hutan belantara itu, kami menyusun strategi perang gerilya. Kami hanya keluar
  • 56. 56 malam hari setelah beberapa mata-mata dikirim siang hari untuk memantau markas tentara pusat, juga untuk melihat apakah ada penduduk yang menjadi pengkhianat. Bila kami keluar dari hutan, hal pertama yang akan kami lakukan adalah mencari bahan-bahan makanan di rumah-rumah penduduk. Kami tidak seperti pejuang, tapi lebih mirip gerombolan perampok yang bersembunyi di dalam hutan. Kami terpaksa melakukannya, karena tidak punya lagi bahan makanan. Di dalam hutan, kami menyantap apa saja yang kami temukan. Kami sering makan ular. Rasa dagingnya selalu tinggal seperti serbuk di lidah. Kami hidup di dalam hutan entah berapa lama. Selama itu pula saya selalu berusaha mencari tahu kabar tentang dirimu. Tanpa sengaja, suatu hari saya mendengar kabar kalau kau dipungut salah seorang tentara pusat bernama Muhammad. Ia seorang prajurit berpangkat rendah, bertugas di pos tentara pusat yang ada di Desa Baringin. Suatu malam saya pergi ke pos itu diam-diam untuk menemui Muhammad. Tapi, laki-laki bodoh itu memberi perlawanan, dan saya terpaksa melumpuhkannya. Sebelum Muhammad menghembuskan nafas terakhir, saya tanyakan keberadaan dirimu. Dari Muhammad saya tahu, kau dipungut salah seorang komandan tentara pusat, dan telah dibawanya ke Medan karena perwira itu dipindahtugaskan ke wilayah tersebut. Komandan berpangkat letnan itu kemudian pindah ke Jakarta, ditugaskan sebagai komandan untuk pasukan khas yang bermarkas di Cilandak. Saya tidak tahu persis tentang perwira itu. Saya terus berusaha mencari kabar, memastikan bahwa kau benar-ben ar diasuhnya sebagai anak. Kabar itu tidak kunjung saya peroleh hingga masa pemberontakan berakhir. Kau tahu kenapa berakhir.
  • 57. 57 Semua karena Ja Soimbangon. Komandan pasukan itu terlalu percaya diri, dan tidak waspada saat beraksi. Suatu siang, tentara pusat memergoki saat Ja Soimbangon sedang menemui seorang janda yang tinggal di Desa Mandurana. Saat sedang bertamu di rumah janda itu, tentara pusat mengepung. Ja Soimbangon diminta menyerah, tetapi ia memilih melawan dan akhirnya mati diberondong. Kematian Ja Soimbangon menjadi alasan kuat bagi kami—para gerilyawan—untuk menyerah. Kami turun gunung dan mengakui kekeliruan. Kami meminta ampunan. Presiden Soekarno kemudian berpidato di radio, yang menegaskan bahwa pemerintah pusat mengajak seluruh pemberontak untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya kembali menjadi warga biasa. Sejak itu pula, saya mencari informasi tentang dirimu. Setiap orang yang saya kenal, saya tanyakan kebenaran tentang dirimu. Tak seorang pun yang tahu. Bertahun-tahun saya mencarimu. Saya pernah ke Jakarta, tapi karena saya tidak tahu siapa perwira yang telah menjadikanmu anak angkatnya, perjalanan ke Jakarta menjadi sia-sia. Akhirnya saya kembali ke kampung dan hidup sebagai pelukis. Hanya melukis yang bisa saya lakukan. Saya melukis pengalaman selama mengikuti perang gerilya. Saya memilih melukis tema itu untuk menunjukkan kepada siapa saja bahwa saya punya kenangan yang sangat pahit tentang pemberontakan. Saya berharap tidak ada seorang manusia pun yang akan mengalami apa yang saya alami. Sebuah lukisan yang menceritakan perpisahan kita di persimpangan itu, ketika kau pergi ke kanan dan saya harus bergerak ke kiri, yang saya buat dominan memakai warna hitam dan oranye, mendapat pujian dari para pengamat seni rupa. Lukisan itu kemudian dibeli oleh seorang kolektor yang tinggal di Jakarta, yang kemudian
  • 58. 58 memamerkannya dalam sebuah peristiwa pameran yang digelar di Taman Ismail Marzuki. Lukisan itu saya beri judul namamu, “Berpisah dengan Butet”. Konon, media banyak mengulas tentang lukisan itu, dan para kritikus seni rupa memuji goresan dan sapuan kuas pada permukaan kanvas sebagai teknik baru dalam seni rupa di negeri ini. Saya tak perduli pujian-pujian itu. Saya hanya perduli pada suatu hal, bahwa tema lukisan itu akan menggetarkan hati siapa saja yang punya kenangan pahit tentang pemberontakan. Saya berharap, suatu saat kau akan melihat lukisan itu. Kau akan merasakan getaran yang sama. Getaran itu akan membawamu kepada saya. Dan, benar, kita akhirnya bertemu setelah bertahun- tahun berpisah. Saya sudah renta saat kau muncul di halaman rumah. Meskipun kau sudah banyak berubah, saya tahu persis bahwa kau adalah gadis kecilku yang hilang bertahun-tahun. Kau tak tahu soal itu, meskipun kau mengaku sangat tergetar ketika pertama sekali menatap lukisan berjudul “Berpisah dengan Butet” itu. Kau sengaja menghubungiku lewat telepon, dan mengatakan ingin menemui pelukis yang menghasilkan lukisan berjudul “Berpisah dengan Butet” itu. Katamu, kini lukisan itu ada di ruang tamu rumahmu setelah kau membelinya dengan harga mahal dalam sebuah acara amal yang digelar sebuah lembaga sosial yang mengurus anak- anak terlantar korban kerusuhan. “Entah kenapa, setiap kali melihat lukisan itu, saya merasa tidak asing. Entahlah. Saya merasa seperti pernah mengalami peristiwa yang ada dalam lukisan itu,” katamu. Saya ingin menangis. Saya ingin mengatakan bahwa kau tidak keliru. Tapi saya tahankan perasaan itu. Saya takut kau tak percaya seandainya saya bicara jujur. Saya
  • 59. 59 tidak ingin kau mendebat, karena hal itu akan membuat impian saya menjadi luluh. Saya ingin menikmati sendiri bahwa akhirnya bisa bertemu dengan dirimu. “Dari mana asalmu, Nak?” tanyaku. “Aku anak tentara. Dulu, ayahku pernah dikirim untuk memberantas pemberontakan ke daerah ini,” katanya. “Siapa nama ayahmu? Siapa tahu saya pernah bertemu. Zaman pemberontakan, saya sudah di daerah ini.” “Ketika itu ayah masih berpangkat letnan. Ayah pensiun dengan pangkat terakhir mayor jenderal.” Butet! Saya berteriak dalam hati. Saya ingin meluaskan teriakan saya, tapi saya tahankan. Saya menatapmu, begitu lekat. Sungguh, saya tak ragu lagi, kau adalah anak yang saya rindukan. Tapi biarlah hanya saya yang tahu soal itu. ***
  • 60. 60 Bulan Bulat Penuh Bulan bulat penuh di atas pohon bacang yang tumbuh semarak di halaman rumah. Pendaran cahayanya bagai hendak mengganti malam menjadi siang. Terang di halaman. Membias cahayanya sampai ke dalam rumah, menyusup lewat celah dinding tepas, membentuk jarum- jarum cahaya dan menembus binar redup lampu minyak tanah yang digantung di dinding. Angin malam yang dingin ikut menyusuf, lalu menusukkan gigil pada kulit tubuhmu yang tua dan rapuh. Perlahan kau bangkit dari sisi ranjang, mengansur selangkah untuk meraih lampu minyak, mendekatkan nyalanya ke ranjang untuk memastikan apakah Salminah sudah terlelap. Kelopak mata anak gadismu itu mengatup rapat, membuat bulu mata yang lentik itu terlihat melengkung keluar. Dipadu bentuk hidung yang bangir dengan alis yang rapih bak semut beriringan, Salminah sesungguhnya jelmaan bidadari yang turun dari langit. Kecantikannya itu telah menjadi buah bibir bukan hanya di Huta Parausorat, tetapi juga di seluruh Kecamatan Sipirok. Orang-orang memuji kecantikannya nyaris sebanding dengan rupa Marbintang. Tapi dulu, sebelum Salminah menderita hilang akal karena satu dan lain hal yang tidak seorang pun tahu. Kabar burung yang lepas dari mulut setiap orang dan hinggap di sembarangan telinga warga Huta Parausorat, menyebut Salminah mengalami apa yang telah mendera hidup Marbintang. Kabar burung itu sampai juga ke telingamu, tapi tak sekalipun terbit di hatimu untuk meluruskannya. Padahal kau yang lebih paham kenapa Salminah sampai menderita hilang akal seperti itu. Tapi, tidak, kau tak akan pernah membuka rahasia yang telah berhasil kau sembunyikan sekian lama. Kabar burung itu biarlah menjadi kepercayaan
  • 61. 61 warga Huta Parausorat, meskipun terkadang ada rasa bersalah yang menyebabkan hati risau, yang kadang-kadang pula menjelma menjadi pisau. Kau merasakan hatimu diiri- iris pisau itu, tepat pada saat ingatanmu kembali bangkit ketika terakhir kali Salminah bicara tentang Torang, pemuda miskin asal Desa Sialagundi yang dengan tak tahu diri mengajak Salminah berumah tangga. Tegas betul kau melarang Salminah melunaskan niatnya untuk menikah, karena Torang hanya akan membuat hidupnya menjadi lebih sengsara, padahal ada banyak pemuda kaya raya yang datang untuk melamarnya. “Aku mencintai Bang Torang, lebih dari apapun.” Untuk pertama kali Salminah membatahmu sejak 20 tahun lalu. Kalimat itu seperti ribuan batang jarum yang ditembakkan bersamaan ke ulu hatimu. Rasa sakitnya luar biasa. Dengan serta merta, sembari menanggung rasa perih itu, kau bangkitkan almarhum suamimu di dalam ingatanmu. Tiba-tiba saja kau ingat pesan terakhirnya sebelum maut menjemput pada malam kematian itu, bahwa ia menitipkan Salminah agar dijaga dan dibesarkan menjadi kebanggan orang tuanya, bangsa, dan negara. Lima tahun masih usia Salminah ketika nafas terakhir ayahnya menghambur bersama nyawa. Sejak itu, kau melakukan apa saja untuk membesarkan Salminah, seorang diri kau hadapi segala sesuatu. Semakin berat cobaan yang mengadang, semakin kuat hatimu untuk mendidik Salminah. Tapi, setelah usianya 20 tahun, Salminah sampai hati membantahmu hanya karena si Torang. Diam-diam kau pupuk kebencian kepada Torang. Pemuda miskin itu adalah kunci dari semuanya, sebatang kunci yang gampang untuk dipatahkan. Sedikit bekas, seperti cacat pada kaki yang membuat Torang tidak lagi mampu menerangi hati Salminah. Ketika itu terjadi, tak ada lagi alasan bagi Salminah untuk bersikeras menikah dengan
  • 62. 62 pemuda miskin itu. Dan pada suatu malam, saat bulan bulat penuh di atas kepala, seperti biasa Torang datang untuk mengunjungi Salminah. Dari rumahnya di Desa Sialagundi, melintasi kebun kakao dan mengambil jalan memotong melalui sebentang pesawahan, dalam hitungan setengah jam akan sampai di hadapan Salminah. Di dalam kebun kakao itu, tiga pemuda pemabuk yang sebelumnya kau belikan rokok dan beberapa botol tuak, berpesta pora sambil menunggu Torang melintas. Di bawah semarak cahaya bulan, yang menerabas ranting- ranting kakao, ketiga pemuda pemabuk itu mencegat Torang. Pada mulanya hanya ingin mengingatkan agar Torang tidak lagi mendambakan Salminah. Tapi cinta telah membuat Torang tidak mengenal aral rintangan. Meledak emosi Torang. Gelegar suaranya justru seperti percik api menyulut alcohol yang terlanjur mengendap di darah ketiga pemuda pemabuk itu. Dada dan kepala ketiga pemuda pemabuk itu terbakar. Malam itu, disaksikan bulan bulat penuh, Torang rubuh bersimbah darah. Pagi harinya, pemilik kebun kakao menemukan mayat Torang dengan darah yang mongering pada bibir setiap luka robek di perut dan dadanya. Ketiga pemuda pemabuk itu menghilang. Bagai ditelan bumi, jejak mereka tidak terlihat dimana-mana. Tapi jejak kematian Torang meninggalkan bekas yang dalam pada diri Salminah. Gadis itu sangat terguncang. Tangisnya melengking panjang, lebih nyaring dari suara apapun, lebih pilu dari kesedihan apapun. Kau menyesal belakangan, dan merasa sangat bersalah ketika Salminah sejak itu kehilangan akal sehatnya. Bagai dikejar-kejar bayangan dan rasa bersalah yang hebat, kau berniat mengakui segalanya dan meminta maaf kepada Salminah. Tapi kabar burung tentang nasib Salminah yang mirip nasib Marbintang, membuatmu punya cukup alasan untuk merahasiakan semuanya.
  • 63. 63 Marbintang adalah dara rupawan yang kecantikannya tersohor kemana-mana. Orang akan dengan mudah mengetahui bila Marbintang melintas di sekitarnya, karena dari tubuh gadis itu selalu tercium aroma harum yang mengingatkan orang pada aroma dari paduan bermacam-macam bunga yang kembang. Kecantikan dan aroma tubuh Marbintang telah membuat seorang pangeran dari Kerajaan Bunian yang bertahta di puncak Tor (Gunung) Nangge berhasrat luar biasa untuk menikahi gadis itu. Suatu hari si Pangeran menculik Marbintang, bermaksud membawanya ke puncak Tor Nangge, bukit tertinggi dari tujuh bukit yang mengelilingi Huta Parausorat. Tapi, di tengah perjalanan, Marbintang menolak dengan halus karena dia telah jatuh cinta dan berkasih-kasihan sejak lama dengan seorang pemuda yang tinggal di Huta Baringin. Kecewa lantaran keinginannya tak terpenuhi, si Pangeran mengutuk Marbintang tidak akan pernah bisa pulang ke rumahnya agar tidak pernah bisa menikah dengan siapa pun. Sejak peristiwa itu, Marbintang dinyatakan hilang meskipun dia tidak pernah jauh dari Huta Parauorat. Marbintang tak pernah bisa pulang ke rumahnya, dan dia hanya berkeliling-keliling di sebuah bukit sebelum Tor Nangge. Siapa pun yang datang ke bukit itu, pasti akan mencium aroma harum seperti aroma yang menguap dari pori-pori Marbintang. Karena aroma harum itu tak mau hilang dari bukti tersebut, orang-orang memberi nama bukit itu sebagai Tor Simuap Bujing (Gunung Beraroma Gadis). Semua warga Desa Parausorat tahu kisah Marbintang yang malang. Tidak seorang pun akan melupakan nasib buruk gadis yang luar biasa itu meskipun telah berlalu sekian lama dan kisah itu sendiri telah menjadi semacam dongeng yang diceritakan kepada anak-anak sebelum tidur. Kau pun sering menceritakan dongeng
  • 64. 64 Marbintang kepada Salminah pada masa kecilnya, dan Salminah selalu bertanya apakah dirinya akan secantik Marbintang. “Kau jauh lebih cantik, sayang,” katamu. Kau pandang lagi wajah Salminah, kau pastikan gadis itu sudah lelap. Kau angsur langkah ke kamar sambil merekatkan kain sarung ke seluruh tubuhmu. Suara jangkrik di luar berjalin orchestra simphoni dengan repertoar sebuah lagu paling sunyi. Sebelum masuk ke kamar, kau toleh ke dinding dimana potret hitam putih alamarhum suamimu dipajang. Ketampanannya memang tak berbanding, tetapi paru-parunya sangat payah. Sesuatu yang sangat ganas menggendon di paru-parunya, menggerogoti paru-paru itu hingga penuh lobang yang berdarah dan terdesak keluar setiap kali alamarhum batuk- batuk. Ada rasa rindu yang mengelus hatimu, membawa ingatanmu pada kalimat-kalimat mesra yang acap dibisikkan almarhum ke telingamu. Laki-laki yang romantic itu tidak tergantikan oleh siapa pun. Itu sebabnya, sejak kematiannya, tidak pernah terlintas di pikiranmu untuk berbagi ranjang dengan laki-laki lain. Cintamu pada lamarhum begitu memberkas. Tak terasa, sebutir air mata bergulir di pipimu, meninggalkan asin garam ketika sampai di bibirmu. Buru-buru kau uap mata dengan punggung tangan, ceepat-cepat masuk ke kamar. Tapi, sebelum merebahkan tubuh yang letih seharian bekerja dan menjaga Salminah di ranjang tua, sebuah hentakan seperti suara pintu dibuka paksa dan dibantingkan, membuatmu terlonjak dan menghambur keluar kamar. “Salminah!” Seperti kau duga, Salminah tak ada lagi di tempat tidurnya. Kau tahu tak perlu panik. Salminah tidak akan kemana-mana, pasti kembali ke tempat itu, ke bawah pohon bacang itu. Ia tidak pernah
  • 65. 65 jauh dari sana. Tak pernah jauh dari tempat dimana Salminah selalu berjanji bertemu dengan Torang. Kau melongokkan kepala dari pintu, menjenguk Salminah di bawah pohon bacang. Angin malam yang dingin bagai berputar-putar di bawah rimbun dedaun pohon bacang, menyambut tubuh tuamu yang tertutup rapat dengan kain sarung. Suara angin ketika mengalir di udara, meninggalkan desing yang mempertajam sunyi suasana. “Ayo masuk, sayang!” Kau coba membujuk Salminah, yang duduk memunggungimu. “Di luar sangat dingin. Nanti kau sakit.” Salminah bergeming. Tetap memunggungimu. Kau lihat Salminah menatap lurus ke depan seperti mendongak ke langit. Kau mengikuti arah pandangannya. Jauh di sana, di dalam kegelapan malam yang semakin larut, hanya ada lima bukit yang mengelilingi Desa Parausorat. Tapi dari cara Salminah mendongak, kau paham matanya tertuju pada Tor Nangge, puncak tertinggi dari lima bukit itu. “Ayo, sayang. Kita ke dalam saja.” Kau menyentuh pundak Salminah. Gadis itu terlonjak, langsung menolak. “Tidak. Aku berjanji menunggu Bang Torang di sini.” “Tidak, saying. Torang sudah meninggal.” “Tidak. Ibu berbohong. Baru saja Bang Torang dari sini. Ia memintaku menunggu sebentar, karena ada yang mau diambilnya di rumahnya.” “Rumahnya?!” “Sekarang Bang Torang tinggal di sana!” Salminah menunjuk ke atas, dan arah telunjuk itu tertuju ke puncak Tor Nangge. Tiba-tiba Salminah bangkit, bersorak riang, lalu berlari menghambur ke dalam kegelapan sambil berteriak: “Bang Toraaaaaang!”. *** Catatan:
  • 66. 66 Marbintang adalah nama seorang gadis cantik yang hilang di Bukit Simuap Bujing, hingga kini diyakini masih hidup. Penduduk di Desa Parausorat, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, mengenang Marbintang sebagai dongeng yang diwariskan secara turun- temurun hingga hari ini.
  • 67. 67 Porkas ORANG BAIK ITU, yang tubuhnya ditutup kain putih dan baru saja dua perawat berpakaian putih mendorongnya ke ruang mayat, jadi mayat tanpa identitas lantaran satu dan lain hal yang akan aku jelaskan nanti. Bukan cuma tak ada yang menangis saat maut menemuinya, tapi juga tak ada seorang kerabat pun yang menemani detik-detik terakhir itu. Dokter Yulius, dokter muda yang bertugas sebagai dokter jaga pada malam itu adalah dokter yang memastikan bahwa orang baik itu sudah meninggal beberapa saat sebelum tiba di rumah sakit. “Siapa yang mengantarkan orang ini?” Ia bertanya kepada dua perawat jaga. Kedua perawat itu saling pandang, serentak mereka menyebut nama Firkah. Tapi Firkah, satpam yang bertugas malam itu, tak punya penjelasan apapun. Ia hanya bicara tentang seorang laki-laki berseragam safari warna hitam-hitam, masih sangat muda, dan potongan rambutnya cepak. “Ia datang mengantar orang itu, lalu izin mau memberi kabar kepada keluarganya,” katanya. DOKTER YULIUS masih sangat muda, sekitar 30 tahunan. Tak terlalu tampan, tapi ketidaktampanannya segera akan diabaikan orang jika tahu bahwa ia seorang dokter. Ia membuka praktik di rumahnya di kawasan Teladan, di pinggir Jalan Sisingamangaraja yang ramai dan riuh. Pasiennya selalu bertambah setiap hari, meskipun ia lebih mengharapkan agar semua manusia sehat walafiat. Itu sebabnya, rezeki yang melimpah itu tak membuatnya menjadi angkuh, tetap saja rendah hati dan orang tak akan pernah menduga kalau ia seorang yang sukses dalam menjalani profesinya.
  • 68. 68 Pagi hari, Dokter Yulius mengumpulkan perawat yang mendapat giliran jaga pada jam ketika orang baik itu diantar ke rumah sakit. Dua satpam yang mendapat tugas pada jam itu juga dipanggil. Ada enam orang, empat perawat —tiga perempuan dan satu laki-laki—dan dua satpam: Firkah dan Sultoni. Keenam orang itu dikumpulkan di ruang pertemuan. Satu per satu ditanyainya bagaimana bisa seorang pasien ditinggalkan di rumah sakit sedangkan mereka tidak berusaha untuk mengetahui identitasnya. Marlina, seorang perawat senior, mengatakan dia dan rekan-rekannya tak sempat berpikir soal identitas itu karena pikiran mereka lebih fokus untuk memberikan pertolongan pertama. “Kami baru menyadari keteledoran kami setelah pasien tak tertolong,” kata Marlina sambil menatap Dokter Yulius. “Kami minta maaf.” Dokter Yulius diam, menarik nafas dalam-dalam, lalu menghamburkannya. “Ya, sudah. Kalian sudah berbuat yang seharusnya dilakukan perawat. Sayang, orang itu tak tertolong.” Dokter Yulius mengalihkan pandangan ke Firkah dan Sultoni, lalu katanya: “Kalian berdua kan tak terlibat soal pertolongan pertama.” Firkah mengangguk. Ia mengakui keteledorannya, tapi ia membela diri karena mengira perawat jaga sudah mencatat data-data pasien. “Seharusnya saya mendampingi, dan saya memang melakukannya, tapi saya tak pernah bertanya tentang data-data pribadi.” Firkah menatap Sultoni. “Kami mengajak ngobrol orang yang mengantar pasien itu, tapi kami tak pernah bertanya siapa dirinya.” “Betul, Pak,” timpal Sultoni. “Kami tak memikirkan sampai ke arah itu.” “Kalau dari penampilannya, orang itu jelas mengantar seseorang yang penting. Ia mengenakan safari,
  • 69. 69 seperti pakaian yang biasa dikenakan para pengawal pejabat,” kata Firkah. “Apa mungkin pasien itu seorang pejabat?” Dokter Yulius bertanya. “kalau benar, pasti akan ada yang mencarinya.” Tapi, dua hari kemudian, tak ada seorang pun yang datang menanyakan mayat itu. Dokter Yulius tak mau pusing dan memanggil wartawan untuk memberitakan soal mayat itu. Ia menceritakan semuanya, lalu meminta wartawan menulis tentang ciri-ciri khusus pada mayat itu. MUHAMMAD PORKAS, itulah nama orang baik yang malang itu. Ia seorang pejabat. Pada malam sebelum mendapat serangan jantung, ia bertelepon dengan Junainah. Aku duduk di sampingnya, mengendalikan setir mobil, berupaya membuat perjalanan kami senyaman mungkin. Junainah, perempuan itu, pembantu di rumahnya, seorang gadis yang dibawanya dari sebuah desa di Kisaran. Ia sengaja memilih Junainah dari sekian banyak gadis yang ada di desa itu. Tak terlalu cantik, tapi tubuhnya terlihat sehat dan segar. Itulah syarat yang dibuatnya bagi perempuan yang ingin bekerja menjadi pembantu di rumahnya. Untuk itu, ia bersedia memberi gaji besar. Malam itu, kami hendak ke Kisaran, ke desa Junainah, untuk menemui orang tua gadis itu. Rencananya, Muhammad Porkas akan meminta izin untuk menikahi Junainah, langsung kepada ayahnya. Ia ceritakan kalau keinginan itu murni dari lubuk hatinya yang paling dalam. Tulus untuk menjadikan Junainah sebagai istrinya yang sah. Sudah pernah keinginan itu disampikan langsung kepada Junainah. Cuma, ia tak yakin Junainah mau. Gadis