SlideShare a Scribd company logo
1 of 4
Sinar Harapan
Sabtu, 25 Agustus 2007
Di Kampung, Tak Ada Kunang-kunang
Cerpen: Indrian Koto
Pernahkah engkau mendengar riwayat seekor kunang-kunang? Betul, kawan. Dia tercipta
dari kuku orang mati. Kematian yang tak wajar, memang. Menurut cerita nenek, orang-
orang tersebut mati dalam ketakutan dan kecemasan. Kuku-kukunya dicabut selagi
orangnya masih hidup. Sejak itu kunang-kunang selalu muncul malam-malam untuk
mencari kukunya yang pernah hilang.
Ujung-ujungnya nenek akan melarangku untuk menangkap kunang-kunang. Hanya
membawa sial dan petaka belaka, katanya. Menangkap kunang-kunang, berarti menganggu
kepulangan kuku si mati. Bisa saja, tambahnya, anak-anak yang menangkapnya akan
diganggu dalam mimpi. Dan memang, beberapa kali aku pernah tak bisa tidur dengan
nyenyak dibuatnya.
Seperti kawan-kawan seusia lainnya, aku begitu menyukai kunang-kunang. Kerlipnya,
seperti mata yang kadang berbinar, sesekali berubah sendu. Kerlip di tubuhnya seperti ingin
bercerita banyak padaku. Entah apa. Di lain waktu ia seperti menatapku dengan perasaan
hampa. Adakah ia bertanya jalan pulang?
Seperti halnya nenek, Buya Suar – guru mengaji kami – juga melarang menangkap kunang-
kunang. Buya melarang kami, hanya karena rasa kasihan belaka. Kunang-kunang jauh lebih
indah kalau dia dibiarkan terbang, maka biarkan ia berpijar sampai pagi, tambahnya. Tak
perlu menangkapnya, karena –tambah Buya – kunang-kunang adalah petunjuk arah untuk
makhluk-makhluk malam lainnya. Seperti mercusuar di lautan, layaknya. Ah, masih saja
dia ingat akan pelayarannya yang sesekali pernah diceritakan pada kami – yang laki-laki –
saat menginap di surau malam-malam.
* * *
Entah kenapa aku begitu senang menangkap kunang-kunang. Saat pulang mengaji,
misalnya, ketika melewati jalan setapak di pinggir kali, atau ketika melewati hamparan
parak pisang yang luas di ujung desa – surau kami memang terletak jauh di ujung desa,
sedikit agak di pinggir sawah – ratusan kunang-kunang akan selalu menggoda kami
sepanjang perjalanan pulang.
Saat melewati hamparan parak pisang itulah, akan mengalir banyak cerita yang tentu saja
akan membuat teman perempuan memekik ketakutan. Tak jarang sesekali waktu – saat
purnama bersinar terang – suluah dan colok ikut dipadamkan. Saat seperti itu kami – yang
laki-laki – mencuri-curi kesempatan dan belajar menjadi dewasa. Aku dengan segera
memeluk Yuni, gadis manis yang jadi rebutan kawan-kawan. (Ah, mengapa jua
menceritakan sesuatu yang telah patah).
* * *
Adakah kau sungguh-sungguh percaya kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang
mati?
Aku tetap menyukai kunang-kunang, diam-diam. Menangkapnya dan memasukkan ke
dalam sarung, pakaian juga plastik yang telah disediakan. Aku dan kawan-kawan akan
berlomba untuk mendapatkan yang paling banyak. Dan lihatlah kerlipnya di tubuh kami,
aduh, tidakkah seperti mercu yang sering diceritakan Buya?
Di rumah, aku menyimpannya ke dalam botol atau toples, tak jarang aku menaruhnya di
kantong plastik. Sisi-sisinya kulubangi agar ia bisa bernapas. Kemudian kusembunyikan di
kolong dipan. Saat mau tidur kutaruh di lemari kayu dan sebagian lagi akan aku gantung di
dinding. Sampai aku terlelap. Selalu kubayangkan, kerlipnya adalah mercu di lautan. Atau
terlihat seperti kerlip lampu bagan penangkap ikan. Sesekali kubayangkan sebuah tempat
yang penuh lampu-lampu di tempat yang jauh.
Tak jarang aku ketahuan nenek, dan akan membuat beliau marah. Nenek menghardikku
dengan keras.
“Tak jua berhenti juga kau, Buyung? Tidak terdengar di telingamu apa yang telah aku
ceritakan? Dengarlah, kerjamu ini sungguh keterlaluan.”
Ingin rasanya aku mengatakan pada nenek apa yang pernah Buya bilang. Tapi kata-kata itu
hilang begitu saja. Aku tak berani membantahnya. Mata itu, lihatlah, berkilau diterpa
cahaya kunang yang tersisa satu dua.
“Baiklah, akan aku ceritakan padamu kisah yang sesungguhnya.” Suaranya mendesis di
telingaku. “Dengarlah, Buyung. Dulu sekali, banyak orang yang mati dengan tidak wajar
sehingga kukunya menjelma kunang-kunang. ” Nenek diam sejenak. Matanya kian berkilau
memandangku. Ah… Aku melihat mercu di matanya.
“Kenapa kunang-kunang?” tanyanya. Aku diam saja. “Untuk mencari jalan pulang,
Buyung. Mereka ingin kembali ke rumah masing-masing. Berharap pintu-pintu tak pernah
dikunci.”
Dia terdiam lagi. Terdengar batuk-batuk kecil dari mulutnya. “Mati yang tidak wajar, kau
tahu? Waktu itu ibumu masih kecil sekali. Orang-orang bersenjata itu datang dari kota
menyerbu perkampungan. Mereka menembaki satu-satu orang-orang kampung. Mereka
tidak hanya dibunuh, tapi juga dicincang. Kampung ini sebentar saja hangus dilalap api..”
Kembali nenek terbatuk sebelum melanjutkan, “Mereka selalu menanyakan di mana
markas para tentara revolusioner yang mereka bilang kaum pemberontak. Kami tak
mengerti revolusioner seperti yang mereka bilang. Tapi tentara-tentara terlatih itu tak mau
tahu. Tidak seorang pun yang berani melawan jika tidak mau dicap pembangkang. Mereka
terus membakar perkampungan dan lumbung-lumbung. Mereka bilang untuk mematahkan
perlawanan para pemberontak yang katanya bersembunyi di hutan-hutan sekitar
perkampungan.” Nenek terbatuk lagi, memuntahkan air sirih yang berwarna merah darah.
“Mereka menembak kakakku yang sedang bekerja di tengah sawah.…” Sampai di sana
nenek terdiam. Ada getar dari suara yang coba ditekannya. Mata tuanya berkaca-kaca. Aku
ikut terhanyut oleh irama yang dilantunkannya.
“Ya, Buyung. Kemalangan timpa bertimpa. Ketika nenek masih kecil kampung dijahati
oleh Ulando kemudian Heiho. Mereka sama-sama kejam dan jahat, menyiksa dan
membunuh. Banyak orang yang diangkut dari kampung untuk disuruh menggali lubang.
Mereka tidak dikasih makan, banyak yang mati kelaparan. Masih untung bisa pulang
dengan tulang dada bertonjolan. Lebih banyak yang mati dan terlebih dahulu mereka
disiksa. Kuku-kukunya dicabuti. Dan mereka menjelma kunang-kunang.”
Kembali dia terdiam. Barangkali tengah mengumpulkan serpihan kenangan dan mengatur
jalannya napas. Aku diam memeluk guling. Sementara nenek kian bergetar.
“Terlebih lagi waktu pembantaian orang-orang komunis itu. Dalam semalam ratusan orang
hilang. Begitu banyak yang tak pulang. Tiap pagi selalu ada mayat yang sulit dikenali lagi.
Dan kau tahu apa pengganti hati yang luka? Kunang-kunang cucuku. Begitulah, setiap ada
yang hilang tiap itulah kunang-kunang datang. ”
“Tapi menurut Buya…” selaku pelan.
“Alaah...! Apa yang ditahu si Suar itu. Dia orang yang cerdik dan licik, memilih berlayar
agar selamat dari kematian. Saat itu benar-benar kacau. Orang-orang saling berbunuh. Saat
itu siapa musuh siapa. Pilihan hanya membunuh dan dibunuh. Kau tahu, Buya Suarmu tak
lebih manusia penakut. Dia pura-pura gila untuk bisa menyelamatkan diri dari
kematiannya. Saat itu siapa bunuh siapa. Membunuh dan dibunuh. Dalam suasana kacau itu
Buyamu terhindar dari maut karena dia pura-pura gila. Tapi keluarganya habis dibantai,
sebelum akhirnya ia memutuskan pergi berlayar. Bertahun-tahun yang panjang...”
Aku tak lagi mendengar kelanjutan cerita nenek. Kepalaku tak cukup kuat menampung
kebingungan-kebingungan yang tak mampu kupertanyakan.
Kubayangkan orang-orang yang tewas dalam kelaparan dengan tulang dada yang menonjol.
Kusaksikan perkampungan yang terbakar, kakek yang meninggal, juga Buya yang pura-
pura gila. Lalu kusaksikan laut dan segala yang hijau. Pulau-pulau dan mercusuar, Buya
yang berdiri di surau tua dengan mata yang menerawang. Mengingat pelayaran.
* * *
Tiba-tiba aku merindukan kunang-kunang. Setelah belasan tahun kutinggalkan kampung.
Saat kembali yang ingin kusaksikan adalah ribuan kunang-kunang di pinggir sawah. Ah,
jalan lengang yang gelap di pinggir kampung tentu akan berkilau oleh cahaya.
Lama tak kembali juga tanpa kabar membuatku sedikit bingung riwayat kampung. Jalan-
jalan telah diaspal, tiang-tiang listrik berdiri kokoh. Surau kami pun telah menjelma masjid
besar. Ah, tentulah ini hasil jerih payah mereka di negeri seberang. Tentu seluruh masa lalu
ikut hanyut jauh ke muara sejak surau digantikan. Betapa banyak kenangan; Buya,
pematang sawah, cerita nenek, kunang-kunang dan Yuni, perempuan yang mengantarku
jauh ke tanah rantau. Ah, kisah pahit yang entah harus aku kutuk atau disyukuri.
Kampung benar-benar telah banyak berubah. Jalan-jalan yang telah diaspal, motor dengan
berbagai merek bersileweran, rumah-rumah besar di sepanjang jalan, juga suara iklan dan
sinetron. Bukan perubahan ini benar yang kuherankan, bukan. Bukan suara tape recorder
yang berdentum atau gesekan keping VCD, juga riuh sinetron di televisi. Sekali lagi bukan.
Juga masjid besar yang lengang dan kian kosong – sempat kulihat pintunya selalu
digembok.
Aku tak menemukan seekor kunang-kunang pun!
Tidakkah ini mengherankan? Ke mana kunang-kunang itu mengungsi? Adakah karena
sinarnya tak lagi dihargai? Ataukah dia sedih saat anak-anak melupakan sinarnya yang
telah diganti lampu-lampu? Atau adakah dia temukan jasad yang dicari.
Tanpa sadar aku melangkah ke ujung desa tempat di mana makam-makam warga sekitar.
Aku terus saja melangkah. Ke mana perginya kunang-kunang? Sungguh, aku kembali
hanya untuk melihat kerlip itu lagi, setelah kota mengungsikan bermiliar kunang-kunang.
Dentingan gelas dan hempasan batu domino terdengar sayup, bercampur dengan hentakan
lagu rock yang diputar keras-keras entah dari arah mana.
Aku sampai di kubur nenek. Sepi! Tak seekor kunang-kunang pun yang kutemukan.
Tiba-tiba aku teringat Buya. Barangkali di kuburnya tersisa seekor kunang-kunang.
Bukankah konon kematiannya sesuatu yang tak wajar? Sebagian kukunya, menurut cerita
yang kudengar, tidak lagi lengkap saat mayatnya diantar pulang. Buya meninggal setelah
dijemput orang tak dikenal. Lalu diantar pulang dengan tubuh tak bernyawa.
Aku melangkah cepat. Jika di kubur nenek tak ada kunang-kunang, aku berharap di kubur
Buya ada sisanya.***
Rumahlebah, November 2004-Mei 2006
Arti kata Minang:
Buya=guru mengaji, parak=kebun, suluah=daun kelapa kering, colok=obor, dama=lampu
minyak, bagan=kapal penangkap ikan, Ulando=panggilan untuk tentara Belanda,
Heiho=tentara Jepang.

More Related Content

What's hot

Teks cerita bm sang kacil dan tali pinggang sakti
Teks cerita bm sang kacil dan tali pinggang saktiTeks cerita bm sang kacil dan tali pinggang sakti
Teks cerita bm sang kacil dan tali pinggang saktiAlex Dudley
 
Rusa yang bongkak
Rusa yang bongkakRusa yang bongkak
Rusa yang bongkakWong Lee
 
Cerita kanak-kanak
Cerita kanak-kanakCerita kanak-kanak
Cerita kanak-kanakSabrina Eyna
 
Cerita murid tahun 2 2014
Cerita murid tahun 2 2014Cerita murid tahun 2 2014
Cerita murid tahun 2 2014Nor Zura
 
Dongeng sikancil kena batunya
Dongeng sikancil kena batunyaDongeng sikancil kena batunya
Dongeng sikancil kena batunyaHerawati93
 
Program nilam (sinopsis)
Program nilam (sinopsis)Program nilam (sinopsis)
Program nilam (sinopsis)Zalina Razali
 
Anak gajah terjatuh ke dalam lubang
Anak gajah terjatuh ke dalam lubangAnak gajah terjatuh ke dalam lubang
Anak gajah terjatuh ke dalam lubangNor Zura
 
Game is-over
Game is-overGame is-over
Game is-overonessfee
 
Bigau (damhuri muhammad)
Bigau (damhuri muhammad)Bigau (damhuri muhammad)
Bigau (damhuri muhammad)arvin2014
 
Natasya ungu violet
Natasya ungu violetNatasya ungu violet
Natasya ungu violetmrfuji
 
Skrip cerita tahap 11
Skrip cerita tahap 11Skrip cerita tahap 11
Skrip cerita tahap 11zahorien
 

What's hot (19)

Rico de coro
Rico de coroRico de coro
Rico de coro
 
Cerita pendek kanak
Cerita pendek kanakCerita pendek kanak
Cerita pendek kanak
 
Teks cerita bm sang kacil dan tali pinggang sakti
Teks cerita bm sang kacil dan tali pinggang saktiTeks cerita bm sang kacil dan tali pinggang sakti
Teks cerita bm sang kacil dan tali pinggang sakti
 
Rusa yang bongkak
Rusa yang bongkakRusa yang bongkak
Rusa yang bongkak
 
Cerita kanak-kanak
Cerita kanak-kanakCerita kanak-kanak
Cerita kanak-kanak
 
Teks bercerita bm
Teks bercerita bmTeks bercerita bm
Teks bercerita bm
 
Cerita murid tahun 2 2014
Cerita murid tahun 2 2014Cerita murid tahun 2 2014
Cerita murid tahun 2 2014
 
Bukit merah
Bukit merahBukit merah
Bukit merah
 
Dongeng sikancil kena batunya
Dongeng sikancil kena batunyaDongeng sikancil kena batunya
Dongeng sikancil kena batunya
 
Program nilam (sinopsis)
Program nilam (sinopsis)Program nilam (sinopsis)
Program nilam (sinopsis)
 
Anak gajah terjatuh ke dalam lubang
Anak gajah terjatuh ke dalam lubangAnak gajah terjatuh ke dalam lubang
Anak gajah terjatuh ke dalam lubang
 
Game is-over
Game is-overGame is-over
Game is-over
 
Bigau (damhuri muhammad)
Bigau (damhuri muhammad)Bigau (damhuri muhammad)
Bigau (damhuri muhammad)
 
Cerkak
CerkakCerkak
Cerkak
 
Natasya ungu violet
Natasya ungu violetNatasya ungu violet
Natasya ungu violet
 
Skrip cerita tahap 11
Skrip cerita tahap 11Skrip cerita tahap 11
Skrip cerita tahap 11
 
Skrip cerita
Skrip ceritaSkrip cerita
Skrip cerita
 
Serigala dan monyet
Serigala dan monyetSerigala dan monyet
Serigala dan monyet
 
Fabel 1
Fabel 1Fabel 1
Fabel 1
 

Viewers also liked

he Future of Continuous Integration in GNOME
he Future of Continuous Integration in GNOME he Future of Continuous Integration in GNOME
he Future of Continuous Integration in GNOME dmgerman
 
Towards a Census of Free and Open Source Licenses
Towards a Census of Free and Open Source LicensesTowards a Census of Free and Open Source Licenses
Towards a Census of Free and Open Source Licensesdmgerman
 
Bangku beton (sunlie thomas alexander)
Bangku beton (sunlie thomas alexander)Bangku beton (sunlie thomas alexander)
Bangku beton (sunlie thomas alexander)Andri Goodwood
 
Anak semata wayang (whani darmawan)
Anak semata wayang (whani darmawan)Anak semata wayang (whani darmawan)
Anak semata wayang (whani darmawan)Andri Goodwood
 
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)Andri Goodwood
 
Downloadbrandequity doc of Arvinoor Siregar SH MH
Downloadbrandequity doc of Arvinoor Siregar SH MHDownloadbrandequity doc of Arvinoor Siregar SH MH
Downloadbrandequity doc of Arvinoor Siregar SH MHAndri Goodwood
 
Cregit Recovering token level authorship from Git
Cregit Recovering token level authorship from GitCregit Recovering token level authorship from Git
Cregit Recovering token level authorship from Gitdmgerman
 
Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)
Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)
Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)Andri Goodwood
 
On editing text and Emacs: 9 habits of highly effective text editing
On editing text and Emacs: 9 habits of highly effective text editingOn editing text and Emacs: 9 habits of highly effective text editing
On editing text and Emacs: 9 habits of highly effective text editingdmgerman
 
The adoption of FOSS workfows in commercial software development: the case of...
The adoption of FOSS workfows in commercial software development: the case of...The adoption of FOSS workfows in commercial software development: the case of...
The adoption of FOSS workfows in commercial software development: the case of...dmgerman
 
Components license
Components licenseComponents license
Components licensedmgerman
 
The Promises and Perils of Mining Github: MSR'2014
The Promises and Perils of Mining Github: MSR'2014The Promises and Perils of Mining Github: MSR'2014
The Promises and Perils of Mining Github: MSR'2014dmgerman
 

Viewers also liked (15)

Project
ProjectProject
Project
 
he Future of Continuous Integration in GNOME
he Future of Continuous Integration in GNOME he Future of Continuous Integration in GNOME
he Future of Continuous Integration in GNOME
 
Towards a Census of Free and Open Source Licenses
Towards a Census of Free and Open Source LicensesTowards a Census of Free and Open Source Licenses
Towards a Census of Free and Open Source Licenses
 
Bangku beton (sunlie thomas alexander)
Bangku beton (sunlie thomas alexander)Bangku beton (sunlie thomas alexander)
Bangku beton (sunlie thomas alexander)
 
Anak semata wayang (whani darmawan)
Anak semata wayang (whani darmawan)Anak semata wayang (whani darmawan)
Anak semata wayang (whani darmawan)
 
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
 
Downloadbrandequity doc of Arvinoor Siregar SH MH
Downloadbrandequity doc of Arvinoor Siregar SH MHDownloadbrandequity doc of Arvinoor Siregar SH MH
Downloadbrandequity doc of Arvinoor Siregar SH MH
 
Bullying
BullyingBullying
Bullying
 
Cregit Recovering token level authorship from Git
Cregit Recovering token level authorship from GitCregit Recovering token level authorship from Git
Cregit Recovering token level authorship from Git
 
Diapositivas metodos de estudios
Diapositivas metodos de estudiosDiapositivas metodos de estudios
Diapositivas metodos de estudios
 
Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)
Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)
Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)
 
On editing text and Emacs: 9 habits of highly effective text editing
On editing text and Emacs: 9 habits of highly effective text editingOn editing text and Emacs: 9 habits of highly effective text editing
On editing text and Emacs: 9 habits of highly effective text editing
 
The adoption of FOSS workfows in commercial software development: the case of...
The adoption of FOSS workfows in commercial software development: the case of...The adoption of FOSS workfows in commercial software development: the case of...
The adoption of FOSS workfows in commercial software development: the case of...
 
Components license
Components licenseComponents license
Components license
 
The Promises and Perils of Mining Github: MSR'2014
The Promises and Perils of Mining Github: MSR'2014The Promises and Perils of Mining Github: MSR'2014
The Promises and Perils of Mining Github: MSR'2014
 

Similar to Kunang-Kunang Hilang

Similar to Kunang-Kunang Hilang (20)

Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
 
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
 
Doa emak untuk asa
Doa emak untuk asaDoa emak untuk asa
Doa emak untuk asa
 
crita kanak-kanak
crita kanak-kanakcrita kanak-kanak
crita kanak-kanak
 
ORANG ASING -- ALBERT CAMUS
ORANG ASING -- ALBERT CAMUSORANG ASING -- ALBERT CAMUS
ORANG ASING -- ALBERT CAMUS
 
Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)
Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)
Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)
 
Cerpen capa rengat
Cerpen capa rengatCerpen capa rengat
Cerpen capa rengat
 
Teror via email part 4
Teror via email part 4Teror via email part 4
Teror via email part 4
 
Part 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlaluPart 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlalu
 
Eppak (mahwi air tawar)
Eppak (mahwi air tawar)Eppak (mahwi air tawar)
Eppak (mahwi air tawar)
 
Bangau menenun songket
Bangau menenun songketBangau menenun songket
Bangau menenun songket
 
Teror via email part 1
Teror via email part 1Teror via email part 1
Teror via email part 1
 
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
 
Aa navis-robohnya surau kami
Aa navis-robohnya surau kamiAa navis-robohnya surau kami
Aa navis-robohnya surau kami
 
Banyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangiBanyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangi
 
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
 
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
 
Bahasa Indonesia - Cerpen
Bahasa Indonesia - CerpenBahasa Indonesia - Cerpen
Bahasa Indonesia - Cerpen
 
Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docx
 
Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docx
 

More from Andri Goodwood

More from Andri Goodwood (20)

Paging systems-24
Paging systems-24Paging systems-24
Paging systems-24
 
Outdoor clothing-04
Outdoor clothing-04Outdoor clothing-04
Outdoor clothing-04
 
Oprah winfrey-23
Oprah winfrey-23Oprah winfrey-23
Oprah winfrey-23
 
Kittens for-sale-19
Kittens for-sale-19Kittens for-sale-19
Kittens for-sale-19
 
Jackson ms-23
Jackson ms-23Jackson ms-23
Jackson ms-23
 
Guitar music-23
Guitar music-23Guitar music-23
Guitar music-23
 
Glendale ca-23
Glendale ca-23Glendale ca-23
Glendale ca-23
 
Funny doormats-23
Funny doormats-23Funny doormats-23
Funny doormats-23
 
French food-33
French food-33French food-33
French food-33
 
Franchise opportunities-11
Franchise opportunities-11Franchise opportunities-11
Franchise opportunities-11
 
Fragrance for-men-24
Fragrance for-men-24Fragrance for-men-24
Fragrance for-men-24
 
Forum snowboards-23
Forum snowboards-23Forum snowboards-23
Forum snowboards-23
 
Format for-minutes-of-meeting-04
Format for-minutes-of-meeting-04Format for-minutes-of-meeting-04
Format for-minutes-of-meeting-04
 
Food storage-24
Food storage-24Food storage-24
Food storage-24
 
Flight information-03
Flight information-03Flight information-03
Flight information-03
 
Fire extinguisher-inspections-19
Fire extinguisher-inspections-19Fire extinguisher-inspections-19
Fire extinguisher-inspections-19
 
Film studies-03
Film studies-03Film studies-03
Film studies-03
 
Federal student-loans-19
Federal student-loans-19Federal student-loans-19
Federal student-loans-19
 
Fayetteville north-carolina-23
Fayetteville north-carolina-23Fayetteville north-carolina-23
Fayetteville north-carolina-23
 
European vacation-packages-10
European vacation-packages-10European vacation-packages-10
European vacation-packages-10
 

Kunang-Kunang Hilang

  • 1. Sinar Harapan Sabtu, 25 Agustus 2007 Di Kampung, Tak Ada Kunang-kunang Cerpen: Indrian Koto Pernahkah engkau mendengar riwayat seekor kunang-kunang? Betul, kawan. Dia tercipta dari kuku orang mati. Kematian yang tak wajar, memang. Menurut cerita nenek, orang- orang tersebut mati dalam ketakutan dan kecemasan. Kuku-kukunya dicabut selagi orangnya masih hidup. Sejak itu kunang-kunang selalu muncul malam-malam untuk mencari kukunya yang pernah hilang. Ujung-ujungnya nenek akan melarangku untuk menangkap kunang-kunang. Hanya membawa sial dan petaka belaka, katanya. Menangkap kunang-kunang, berarti menganggu kepulangan kuku si mati. Bisa saja, tambahnya, anak-anak yang menangkapnya akan diganggu dalam mimpi. Dan memang, beberapa kali aku pernah tak bisa tidur dengan nyenyak dibuatnya. Seperti kawan-kawan seusia lainnya, aku begitu menyukai kunang-kunang. Kerlipnya, seperti mata yang kadang berbinar, sesekali berubah sendu. Kerlip di tubuhnya seperti ingin bercerita banyak padaku. Entah apa. Di lain waktu ia seperti menatapku dengan perasaan hampa. Adakah ia bertanya jalan pulang? Seperti halnya nenek, Buya Suar – guru mengaji kami – juga melarang menangkap kunang- kunang. Buya melarang kami, hanya karena rasa kasihan belaka. Kunang-kunang jauh lebih indah kalau dia dibiarkan terbang, maka biarkan ia berpijar sampai pagi, tambahnya. Tak perlu menangkapnya, karena –tambah Buya – kunang-kunang adalah petunjuk arah untuk makhluk-makhluk malam lainnya. Seperti mercusuar di lautan, layaknya. Ah, masih saja dia ingat akan pelayarannya yang sesekali pernah diceritakan pada kami – yang laki-laki – saat menginap di surau malam-malam. * * * Entah kenapa aku begitu senang menangkap kunang-kunang. Saat pulang mengaji, misalnya, ketika melewati jalan setapak di pinggir kali, atau ketika melewati hamparan parak pisang yang luas di ujung desa – surau kami memang terletak jauh di ujung desa, sedikit agak di pinggir sawah – ratusan kunang-kunang akan selalu menggoda kami sepanjang perjalanan pulang. Saat melewati hamparan parak pisang itulah, akan mengalir banyak cerita yang tentu saja akan membuat teman perempuan memekik ketakutan. Tak jarang sesekali waktu – saat purnama bersinar terang – suluah dan colok ikut dipadamkan. Saat seperti itu kami – yang laki-laki – mencuri-curi kesempatan dan belajar menjadi dewasa. Aku dengan segera memeluk Yuni, gadis manis yang jadi rebutan kawan-kawan. (Ah, mengapa jua menceritakan sesuatu yang telah patah). * * * Adakah kau sungguh-sungguh percaya kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati? Aku tetap menyukai kunang-kunang, diam-diam. Menangkapnya dan memasukkan ke dalam sarung, pakaian juga plastik yang telah disediakan. Aku dan kawan-kawan akan berlomba untuk mendapatkan yang paling banyak. Dan lihatlah kerlipnya di tubuh kami,
  • 2. aduh, tidakkah seperti mercu yang sering diceritakan Buya? Di rumah, aku menyimpannya ke dalam botol atau toples, tak jarang aku menaruhnya di kantong plastik. Sisi-sisinya kulubangi agar ia bisa bernapas. Kemudian kusembunyikan di kolong dipan. Saat mau tidur kutaruh di lemari kayu dan sebagian lagi akan aku gantung di dinding. Sampai aku terlelap. Selalu kubayangkan, kerlipnya adalah mercu di lautan. Atau terlihat seperti kerlip lampu bagan penangkap ikan. Sesekali kubayangkan sebuah tempat yang penuh lampu-lampu di tempat yang jauh. Tak jarang aku ketahuan nenek, dan akan membuat beliau marah. Nenek menghardikku dengan keras. “Tak jua berhenti juga kau, Buyung? Tidak terdengar di telingamu apa yang telah aku ceritakan? Dengarlah, kerjamu ini sungguh keterlaluan.” Ingin rasanya aku mengatakan pada nenek apa yang pernah Buya bilang. Tapi kata-kata itu hilang begitu saja. Aku tak berani membantahnya. Mata itu, lihatlah, berkilau diterpa cahaya kunang yang tersisa satu dua. “Baiklah, akan aku ceritakan padamu kisah yang sesungguhnya.” Suaranya mendesis di telingaku. “Dengarlah, Buyung. Dulu sekali, banyak orang yang mati dengan tidak wajar sehingga kukunya menjelma kunang-kunang. ” Nenek diam sejenak. Matanya kian berkilau memandangku. Ah… Aku melihat mercu di matanya. “Kenapa kunang-kunang?” tanyanya. Aku diam saja. “Untuk mencari jalan pulang, Buyung. Mereka ingin kembali ke rumah masing-masing. Berharap pintu-pintu tak pernah dikunci.” Dia terdiam lagi. Terdengar batuk-batuk kecil dari mulutnya. “Mati yang tidak wajar, kau tahu? Waktu itu ibumu masih kecil sekali. Orang-orang bersenjata itu datang dari kota menyerbu perkampungan. Mereka menembaki satu-satu orang-orang kampung. Mereka tidak hanya dibunuh, tapi juga dicincang. Kampung ini sebentar saja hangus dilalap api..” Kembali nenek terbatuk sebelum melanjutkan, “Mereka selalu menanyakan di mana markas para tentara revolusioner yang mereka bilang kaum pemberontak. Kami tak mengerti revolusioner seperti yang mereka bilang. Tapi tentara-tentara terlatih itu tak mau tahu. Tidak seorang pun yang berani melawan jika tidak mau dicap pembangkang. Mereka terus membakar perkampungan dan lumbung-lumbung. Mereka bilang untuk mematahkan perlawanan para pemberontak yang katanya bersembunyi di hutan-hutan sekitar perkampungan.” Nenek terbatuk lagi, memuntahkan air sirih yang berwarna merah darah. “Mereka menembak kakakku yang sedang bekerja di tengah sawah.…” Sampai di sana nenek terdiam. Ada getar dari suara yang coba ditekannya. Mata tuanya berkaca-kaca. Aku ikut terhanyut oleh irama yang dilantunkannya. “Ya, Buyung. Kemalangan timpa bertimpa. Ketika nenek masih kecil kampung dijahati oleh Ulando kemudian Heiho. Mereka sama-sama kejam dan jahat, menyiksa dan membunuh. Banyak orang yang diangkut dari kampung untuk disuruh menggali lubang. Mereka tidak dikasih makan, banyak yang mati kelaparan. Masih untung bisa pulang dengan tulang dada bertonjolan. Lebih banyak yang mati dan terlebih dahulu mereka disiksa. Kuku-kukunya dicabuti. Dan mereka menjelma kunang-kunang.” Kembali dia terdiam. Barangkali tengah mengumpulkan serpihan kenangan dan mengatur jalannya napas. Aku diam memeluk guling. Sementara nenek kian bergetar.
  • 3. “Terlebih lagi waktu pembantaian orang-orang komunis itu. Dalam semalam ratusan orang hilang. Begitu banyak yang tak pulang. Tiap pagi selalu ada mayat yang sulit dikenali lagi. Dan kau tahu apa pengganti hati yang luka? Kunang-kunang cucuku. Begitulah, setiap ada yang hilang tiap itulah kunang-kunang datang. ” “Tapi menurut Buya…” selaku pelan. “Alaah...! Apa yang ditahu si Suar itu. Dia orang yang cerdik dan licik, memilih berlayar agar selamat dari kematian. Saat itu benar-benar kacau. Orang-orang saling berbunuh. Saat itu siapa musuh siapa. Pilihan hanya membunuh dan dibunuh. Kau tahu, Buya Suarmu tak lebih manusia penakut. Dia pura-pura gila untuk bisa menyelamatkan diri dari kematiannya. Saat itu siapa bunuh siapa. Membunuh dan dibunuh. Dalam suasana kacau itu Buyamu terhindar dari maut karena dia pura-pura gila. Tapi keluarganya habis dibantai, sebelum akhirnya ia memutuskan pergi berlayar. Bertahun-tahun yang panjang...” Aku tak lagi mendengar kelanjutan cerita nenek. Kepalaku tak cukup kuat menampung kebingungan-kebingungan yang tak mampu kupertanyakan. Kubayangkan orang-orang yang tewas dalam kelaparan dengan tulang dada yang menonjol. Kusaksikan perkampungan yang terbakar, kakek yang meninggal, juga Buya yang pura- pura gila. Lalu kusaksikan laut dan segala yang hijau. Pulau-pulau dan mercusuar, Buya yang berdiri di surau tua dengan mata yang menerawang. Mengingat pelayaran. * * * Tiba-tiba aku merindukan kunang-kunang. Setelah belasan tahun kutinggalkan kampung. Saat kembali yang ingin kusaksikan adalah ribuan kunang-kunang di pinggir sawah. Ah, jalan lengang yang gelap di pinggir kampung tentu akan berkilau oleh cahaya. Lama tak kembali juga tanpa kabar membuatku sedikit bingung riwayat kampung. Jalan- jalan telah diaspal, tiang-tiang listrik berdiri kokoh. Surau kami pun telah menjelma masjid besar. Ah, tentulah ini hasil jerih payah mereka di negeri seberang. Tentu seluruh masa lalu ikut hanyut jauh ke muara sejak surau digantikan. Betapa banyak kenangan; Buya, pematang sawah, cerita nenek, kunang-kunang dan Yuni, perempuan yang mengantarku jauh ke tanah rantau. Ah, kisah pahit yang entah harus aku kutuk atau disyukuri. Kampung benar-benar telah banyak berubah. Jalan-jalan yang telah diaspal, motor dengan berbagai merek bersileweran, rumah-rumah besar di sepanjang jalan, juga suara iklan dan sinetron. Bukan perubahan ini benar yang kuherankan, bukan. Bukan suara tape recorder yang berdentum atau gesekan keping VCD, juga riuh sinetron di televisi. Sekali lagi bukan. Juga masjid besar yang lengang dan kian kosong – sempat kulihat pintunya selalu digembok. Aku tak menemukan seekor kunang-kunang pun! Tidakkah ini mengherankan? Ke mana kunang-kunang itu mengungsi? Adakah karena sinarnya tak lagi dihargai? Ataukah dia sedih saat anak-anak melupakan sinarnya yang telah diganti lampu-lampu? Atau adakah dia temukan jasad yang dicari. Tanpa sadar aku melangkah ke ujung desa tempat di mana makam-makam warga sekitar. Aku terus saja melangkah. Ke mana perginya kunang-kunang? Sungguh, aku kembali hanya untuk melihat kerlip itu lagi, setelah kota mengungsikan bermiliar kunang-kunang. Dentingan gelas dan hempasan batu domino terdengar sayup, bercampur dengan hentakan lagu rock yang diputar keras-keras entah dari arah mana.
  • 4. Aku sampai di kubur nenek. Sepi! Tak seekor kunang-kunang pun yang kutemukan. Tiba-tiba aku teringat Buya. Barangkali di kuburnya tersisa seekor kunang-kunang. Bukankah konon kematiannya sesuatu yang tak wajar? Sebagian kukunya, menurut cerita yang kudengar, tidak lagi lengkap saat mayatnya diantar pulang. Buya meninggal setelah dijemput orang tak dikenal. Lalu diantar pulang dengan tubuh tak bernyawa. Aku melangkah cepat. Jika di kubur nenek tak ada kunang-kunang, aku berharap di kubur Buya ada sisanya.*** Rumahlebah, November 2004-Mei 2006 Arti kata Minang: Buya=guru mengaji, parak=kebun, suluah=daun kelapa kering, colok=obor, dama=lampu minyak, bagan=kapal penangkap ikan, Ulando=panggilan untuk tentara Belanda, Heiho=tentara Jepang.