1. Inilah Proyeksi Makro Ekonomi Indonesia
2014
Memasuki pertengahan 2013, ekonomi Indonesia berada dalam ujian besar. Hal ini terlihat dari
turunnya hampir semua indikator ekonomi. Aksi The Fed yang menghentikan kebijakan
quantitave easing sebagai stimulus ekonomi Amerika Serikat dinilai banyak kalangan sebagai
penyebab utama turunnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
Bukan hanya Rupiah yang terpuruk, beberapa mata uang negara berkembang seperti India dan
Brasil pun ikut anjlok.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan
kenaikan produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II-2013 tumbuh sebesar 5,81% secara year
on year (yoy). Angka ini turun dibanding periode yang sama pada 2012 yang tumbuh sebesar
6,40%.
Selain melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang angkanya tembus Rp 11.000 per
Dolar AS, ekonomi Indonesia juga dililit defisit neraca perdagangan. Per Juli 2013, nilai ekspor
mencapai US$ 15,11 miliar dan impor sebesar US$ 17,42 miliar.
Secara komulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Juli 2013 (year to date) mencapai US$ 106,18
miliar atau menurun 6,07% dibanding periode yang sama tahun lalu. Demikian juga ekspor
nonmigas mencapai US$ 87,57 miliar atau menurun 2,66%. Sedangkan untuk impor, secara year
to date mencapai US$ 111,83 miliar atau turun 0,86% jika dibandingkan periode yang sama
2012. Impor nonmigas mencapai US$ 85,58 miliar atau turun 3,41%.
Akibat melemahnya nilai tukar Rupiah dan defisit perdagangan, inflasi pun meroket. Per Agustus
2013, laju inflasi secara yoy tercatat sebesar 8,79% dan secara ytd sebesar 7,94%. Tentu saja,
melambungnya harga barang dan jasa memberatkan sebagian besar masyarakat.
Situasi yang kurang kondusif pada perekonomian Indonesia ini diperkirakan akan berlangsung
sampai akhir tahun ini. Akibatnya, Bank Indonesia merivisi target pertumbuhan ekonomi
menjadi 5,5% sampai 5,9%. Padahal, awalnya pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi
tahun ini akan mencapai level 6,8% yang kemudian direvisi menjadi 6,3% dalam APBN-P 2013.
Ekonom mengusulkan kepada pemerintah agar segera memperbaiki defisit neraca untuk
mengantisipasi bila tapering atau pengurangan stimulus terjadi. “Kita harus menyiapkan
fundamental agar eksternal balance trade dan current account itu diperbaiki supaya tidak negatif.
Kebijakan fokus pada itu,” ujar penggamat ekonomi, Agustinus Prasetyantoko.
Prasetyantoko mengamini aturan giro wajib minimum yang diterbitkan Bank Indonesia, demi
mengerem kredit untuk impor, khususnya impor migas. “Kredit sektor menyerap impor dengan
sengaja dikecilkan untuk antisipasi sisi fundamental agar tidak menimbulkan reaksi negatif,”
ujarnya.
2. Lalu, bagaimana dengan proyeksi ekonomi tahun depan? Pemerintah pun tidak terlalu bersikap
optimis dalam menyambut tahun politik 2014 nanti.
Hal ini terlihat dari direvisinya target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2014, dari yang
semula 6,4% menjadi dikisaran 5,8% sampai 6,1%. Jika dibandingkan dengan pencapaian 2012
yang sebesar 6,23% jelas target ini lebih rendah.
Sedangkan nilai tukar Rupiah direvisi di kisaran Rp 10.000-10.500 dari sebelumnya Rp 9.750
per Dolar AS. Inflasi diasumsikan sebesar 4,5% suku bunga SPN 5,5% harga minyak US$ 106
per barel dan lifting minyak sebanyak 870 ribu barel per hari (bph).
Perubahan asumsi makro ekonomi tersebut menyusul terjadinya gejolak ekonomi saat ini. Situasi
ekonomi global diperkirakan masih menghadapi risiko pelemahan meski akan lebih baik
dibandingkan 2013.
Selain itu, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2014 berada di kisaran 6-6,4%, atau
turun dari proyeksi semula 6,4%-6,8%.
Untuk nilai tukar Rupiah, diperkirakan berada di kisaran Rp 10.000-10.300 per Dolar AS.
Sedangkan pada 2014, Rupiah diperkirakan di kisaran Rp 10.500-10.700 per Dolar AS.
Dalam situasi yang tidak menentu seperti kondisi global saat ini, bukan perkara mudah
menentukan proyeksi pertumbuhan ekonomi mana yang tepat. (EVA)