Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. IMF mengapresiasi kebijakan ekonomi Indonesia dan memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan meningkat pada 2016.
2. BI diharapkan akan menerapkan kebijakan moneter yang lebih longgar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
3. Inflasi diperkirakan akan terkendali di bawah target 4% untuk 2016.
1. Kebijakan Ekonomi dan Moneter 2016
DANA MONETER INTERNASIONAL (IMF) mengapresiasi kebijakan
ekonomi yang ditempuh otoritas di Indonesia. Menurut IMF, prospek ekonomi
Indonesia tetap solid. Otoritas di Indonesia dinilai telah menempuh langkah-langkah
signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini untuk memperkuat kerangka kebijakan,
antara lain mencakup kebijakan moneter serta fiskal yang berhati-hati, seperti
terlihat dalam reformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada 2015, telah mampu
berkontribusi kepada stabilitas makroekonomi sekaligus mendukung pertumbuhan.
Hal tersebut juga telah membawa Indonesia melewati berbagai tantangan
sepanjang 2015. Demikian penilaian Luis E. Breuer, yang memimpin kunjungan Tim
IMF ke Jakarta dari tanggal 3 hingga 17 Desember 2015 lalu. Kunjungan Tim IMF ke
Jakarta dilakukan dalam rangka berdiskusi mengenai perkembangan ekonomi terkini
Indonesia serta prospek jangka pendek-menengah.
Diskusi dilakukan dengan perwakilan dari Pemerintah, Bank Indonesia (BI),
lembaga publik lainnya serta sektor swasta. IMF menyebutkan bahwa prospek
ekonomi Indonesia jangka menengah masih akan positif, didukung oleh agenda
kebijakan yang mendukung pertumbuhan yang melibatkan rakyat banyak (inklusif),
namun tetap menekankan stabilitas.
Kebijakan moneter yang ditempuh BI juga dianggap telah tepat dan telah
mendukung penyesuaian ekonomi terhadap tekanan eksternal. Pengambil kebijakan
juga telah memberi respons yang tepat saat terjadi gejolak di pasar keuangan,
dengan fleksibilitas nilai tukar dan imbal hasil obligasi Pemerintah, serta usaha
pendalaman pasar keuangan.
2. Di sisi fiskal, IMF memandang Pemerintah Indonesia telah menerapkan
strategi yang tepat sasaran, dengan peningkatan belanja infrastruktur dan program
sosial yang menyasar pada target yang tepat. Otoritas terkait telah berhasil
melakukan pengurangan subsidi BBM dan bantuan tunai bersyarat dan investasi
publik.
Selain itu, berbagai usaha penguatan kerangka fiskal yang tengah dilakukan,
seperti rencana penyesuaian anggaran 2016 berdasarkan penerimaan 2015, juga
mendapat apresiasi. IMF juga menyatakan bahwa kebijakan fiskal perlu disusun
dalam rencana jangka menengah, sebagai rujukan bagi program-program
Pemerintah.
Selanjutnya, indikator-indikator sektor keuangan menunjukan bahwa sektor
perbankan Indonesia masih solid. Hal ini antara lain terlihat dari tingkat permodalan
dan profitabilitas yang baik, meski tingkat Non Performing Loan (NPL) sedikit
meningkat. Beberapa langkah telah dilakukan untuk memperkuat stabilitas sistem
keuangan, antara lain melalui peningkatan teknik pengamatan (surveillance) sektor
keuangan, serta pengenalan kebijakan lindung nilai (hedging) untuk mengatur risiko
nilai tukar utang korporasi.
Dalam hal ini, pengesahan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan (JPSK) menjadi sangat penting untuk memperkuat kerangka
kelembagaan dalam mendukung stabilitas sistem keuangan.
Paket-paket kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan sejak Agustus 2015 juga
dianggap mampu memberi sinyal mengenai strategi baru untuk memperbaiki iklim
bisnis dan mengurangi biaya dalam berusaha (cost of doing business). Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan daya saing guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
3. Komitmen yang kuat juga ditunjukkan oleh seluruh lembaga/otoritas untuk
melanjutkan reformasi struktural, termasuk meninjau kembali investasi yang
dilakukan didalam dan luar negeri serta keuntungan yang diperoleh dari
perdagangan regional. Praktik ketenagakerjaan yang kini lebih fleksibel telah mampu
menciptakan lapangan kerja dan menarik investasi swasta baru.
Kebijakan cenderung akomodatif
Jika menilik dasar pertimbangan pengambilan keputusan Rapat Dewan
Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 Desember 2015 lalu yang memutuskan
untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Deposit Facility
5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%, tampaknya mulai terlihat signal arah
kebijakan BI yang lebih akomodatif di waktu-waktu mendatang.
Diyakini, cepat atau lambat, kebijakan moneter BI akan lebih longgar, karena
beberapa “persyaratan” hampir terpenuhi. Sebagai catatan, pada RDG BI terakhir di
2015 itu (17/12/2015), BI memandang ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter
semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makro ekonomi, khususnya inflasi
akhir 2015 yang akan berada di bawah 3% dan defisit transaksi berjalan (DTB) akan
berada di kisaran 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Bank sentral juga mencermati perkembangan pasarkeuangan global pasca kenaikan
suku bunga Bank Sentral AS (Fed Fund Rate/FFR) dan kondisi ekonomi domestik
dalam jangka pendek ke depan. Di sini BI harus terus memperkuat koordinasi
dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan,
dan reformasi struktural, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi dengan stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan yang tetap
terjaga.
4. Maklum, tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia selama 2015 tidak
terlepas dari dinamika perkembangan ekonomi dan keuangan global, yaitu
pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, harga komoditas yang menurun, dan
pasar keuangan yang masih bergejolak.
Pertumbuhan ekonomi dunia melambat dipengaruhi oleh pemulihan ekonomi
negara maju yang belum solid dan pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang
cenderung menurun. Ekonomi AS tumbuh moderat ditopang oleh konsumsi dan
membaiknya sektor perumahan, sementara ekspansi manufaktur dan ekspor masih
tertahan.
Pemulihan ekonomi Eropa terutama didorong oleh perbaikan permintaan
domestik, meskipun belum mampu meningkatkan inflasi yang masih rendah.
Sementara itu, perekonomian Tiongkok terus melemah sejalan dengan rebalancing
ekonominya dari investment driven menjadi consumption driven.
BI harus jeli melihat ke depan, karena di tengah prospek pemulihan ekonomi
global yang membaik, sejumlah risiko eksternal masih perlu diwaspadai, khususnya
perlambatan ekonomi Tiongkok dan kondisi pasar keuangan global pasca kenaikan
FFR secara berkelanjutan atau bertahap hingga (2017/2018) nanti.
Sejauh ini perkembangan makro ekonomi Indonesia sudah berjalan pada
jalurnya. Sejalan dengan perlambatan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi
Indonesia melambat di 2015. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 4,8%
(yoy), lebih rendah dari 5,0% (yoy) pada tahun 2014. Penurunan ini dipengaruhi
oleh ekspor yang menurun seiring lemahnya permintaan global dan penurunan
harga komoditas. Hal ini terkonfirmasi dari sisi regional yang menunjukkan
perlambatan ekonomi terutama dialami daerah yang berbasis sumber daya alam.
5. Maka, seiring dengan ekspor yang masih lemah, pertumbuhan investasi
relatif terbatas. Investasi bangunan tumbuh meningkat ditopang realisasi proyek-
proyek infrastruktur pemerintah, sementara investasi non-bangunan masih terbatas.
Namun, pertumbuhan ekonomi masih dapat ditopang oleh konsumsi yang masih
cukup kuat, baik rumah tangga maupun pemerintah.
Pada 2016 nanti, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan
meningkat pada kisaran 5,2% - 5,6%. Pertumbuhan ini didorong oleh stimulus fiskal
terutama untuk pembangunan proyek infrastruktur dan konsumsi yang diperkirakan
masih tetap kuat. Sementara itu, investasi diharapkan meningkat seiring dengan
implementasi paket kebijakan pemerintah yang mendorong investasi dan stabilitas
makro ekonomi yang semakin baik.
Ditengah dinamika ekonomi global, upaya pemerintah meningkatkan daya
beli masyarakat dan efektivitas stimulus fiskal memiliki peran penting dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi di 2016. Kinerja transaksi berjalan 2015
diperkirakan membaik dibandingkan tahun sebelumnya dan berada pada kisaran 2%
dari PDB.
Penurunan DTB terutama ditopang oleh perbaikan neraca perdagangan non-
migas dan migas akibat penurunan impor yang signifikan. Hal ini sejalan dengan
permintaan domestik yang masih lemah dan ekspor yang terkontraksi akibat harga
komoditas yang menurun serta permintaan global yang masih lemah.
Di sisi lain, kinerja transaksi modal dan finansial masih mencatat surplus di
tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global dan melambatnya
perekonomian domestik. Namun, surplus tersebut diperkirakan lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya sehingga tidak sepenuhnya dapat menutup defisit
transaksi berjalan.
6. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir November
2015 lalu tercatat sebesar 100,2 miliar dolar AS atau setara dengan 7,1 bulan impor
atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Angka tersebut
berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Sepanjang 2015 ini tekanan nilai tukar meningkat dipicu oleh ketidakpastian
kenaikan FFR dan depresiasi Yuan. Hingga November 2015, rupiah secara rata-rata
melemah 11,05% ke level Rp13.351/USD. Pelemahan ini dipengaruhi sejumlah
faktor eksternal antara lain, ketidakpastian timing dan besaran kenaikan FFR,
kekhawatiran negosiasi fiskal Yunani, serta Yuan yang terus terdepresiasi di tengah
perekonomian Tiongkok yang lemah.
Sementara itu, dari sisi domestik, tekanan terhadap rupiah terkait dengan
meningkatnya permintaan valas untuk pembayaran utang luar negeri (ULN) dan
deviden secara musiman, serta kekhawatiran terhadap melambatnya ekonomi
domestik.
Namun, pada Oktober dan November 2015 lalu pergerakan rupiah
cenderung menguat dan lebih stabil, seiring dengan sentimen positif terhadap
emerging markets (EM) akibat hasil Federal Open Market Committee (FOMC) yang
sempat dovish (melonggar) dan membaiknya optimisme terhadap prospek ekonomi
Indonesia sejalan dengan rangkaian paket kebijakan pemerintah dan paket
stabilisasi nilai tukar yang dikeluarkan oleh BI.
Untuk itu ke depannya BI harus terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai
dengan fundamentalnya, sehingga dapat mendukung stabilitas makoekonomi dan
penyesuaian ekonomi kearah yang lebih sehat dan berkesinambungan. Apalagi laku
inflasi 2015 diperkirakan cukup rendah berada di bawah 3%.
7. Inflasi yang rendah didukung oleh inflasi volatile food yang rendah,
administered prices yang mengalami deflasi, dan inflasi inti yang terkendali. Inflasi
kelompok volatile food tercatat cukup rendah, didukung oleh kecukupan pasokan
bahan pangan. Sementara administered prices diperkirakan mengalami deflasi,
seiring dengan menurunnya harga energi dunia di tengah reformasi subsidi.
Di sisi lain, inflasi inti tetap terkendali, didukung oleh ekspektasi yang terjaga,
dampak passthrough pelemahaan nilai tukar yang terbatas dan tekanan permintaan
yang relatif lemah. Hal ini tidak terlepas dari peran kebijakan BI dalam mengelola
permintaan domestik, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengarahkan ekspektasi
inflasi, serta semakin baiknya koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara BI
dan Pemerintah.
Pada November 2015, Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami
inflasi sebesar 0,21% (mtm). Inflasi ini disumbang oleh seluruh komponennya.
Dengan demikian, inflasi IHK sejak Januari sampai November 2015 tercatat sebesar
2,37% (ytd) atau mencapai 4,89% (yoy).
Ke depan, inflasi diperkirakan akan berada pada sasaran inflasi 2016, yaitu 4
± 1%. Namun, risiko inflasi perlu terus diwaspadai, terutama terkait penyesuaian
administered prices, sehingga lagi-lagi diperlukan penguatan koordinasi kebijakan BI
dan Pemerintah yang lebih solid dalam pengendalian inflasi.
Stabilitas sistem keuangan (SSK) tetap solid, ditopang oleh ketahanan
sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri
perbankan tetap kuat dengan risiko-risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup
terjaga. Per Oktober 2015 lalu, rasio kecukupan modal (CAR) masih kuat, jauh di
atas ketentuan minimum 8%, yaitu sebesar 20,8%. Sementara itu, rasio kredit
bermasalah (NPL) tetap rendah dan berada di kisaran 2,7% (gross) atau 1,4% (net).
8. Dari sisi fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 10,4%
(yoy), lebih rendah dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya,
sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi (prosiklikalitas). Sementara itu,
pertumbuhan DPK pada Oktober 2015 tercatat 9,0% (yoy).
Maka dari itu, sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dan dampak
pelonggaran kebijakan makroprudensial, serta penurunan Giro Wajib Minimum
(GWM) Primer oleh BI, pertumbuhan kredit diperkirakan akan terus meningkat
menjadi 12 - 14% pada 2016. Bahkan bias jadi melampaui perkiraan tersebut jika
pelaksanaan pembangunan proyek-proyek strategis oleh pemerintah berjalan
optimal.
Itulah sejumlah pertanda bahwa otoritas moneter ke depan cenderung makin
akomodatif dalam menelurkan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga (BI Rate)
dan jalur makroprudensialnya yang ditujukan untuk memperkuat stabilitas ekonomi
seraya mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.