2. Dasar Hukum
Permenkes No.76 Tahun 2016
Pasal 1
Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG)
dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
merupakan acuan bagi fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan, dan pihak lain yang terkait mengenai
metode pembayaran INA-CBG dalam penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan.
3. DEFINISI
• Case - Mix
Suatu sistem pengklasifikasian penyakit yang
mengkombinasikan antara sekelompok penyakit dengan
karakteristik klinik serupa dengan biaya perawatan selama
dirawat disuatu rumah sakit
• Cara pembayaran oleh penyandang dana
- besar biaya tidak berdasar jenis dan jumlah layanan
yang diberikan untuk setiap pasien
- tapi berdasarkan kesepakatan harga menurut
kelompok diagnosis penyakit (CBG’s) dimana pasien
tersebut termasuk
4. Sejarah singkat INA-CBG
Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun
2006 dengan nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group).
Implementasi pembayaran dengan INA-DRG dimulai pada 1
September 2008 di 15 rumah sakit milik Kementerian Kesehatan RI,
dan pada 1 Januari 2009 diperluas untuk seluruh rumah sakit yang
bekerja sama menjadi penyedia pelayanan kesehatan dalam program
Jamkesmas. Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan
nomenklatur dari INA-DRG (Indonesia Diagnosis Related Group)
menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group) seiring dengan
perubahan grouper dari 3M Grouper ke UNU (United Nation
University) Grouper. Kemudian, dengan implementasi Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai 1 Januari 2014, sistem INA-
CBG kembali digunakan sebagai metode pembayaran pelayanan baik
rawat jalan maupun rawat inap kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjut (FKRTL).
6. Tujuan
Tujuan dari Sistem pembiayaan prospektif adalah :
1. mengendalikan biaya kesehatan
2. mendorong pelayanan kesehatan tetap bermutu
sesuai standar
3. membatasi pelayanan kesehatan yang tidak
diperlukan
4. mempermudah administrasi klaim
5. mendorong provider untuk melakukan kendali
biaya (cost containment)
7. Principle Diagnosis
International Classification of Disease (ICD)
Medical (ICD X)
Principle Diagnosis,
Specific Conditions,
Symptoms, Other
Surgical (ICD IX CM)
Type of Surgery
Major, Minor,
Other unrelated Dx
Others
CASE - MIX
Complication, Co-morbidities
or age split
Diagnosis Related Groups (DRG)
Major Diagnostic Category ( 23 groups )
severitas
14. EPISODE PERAWATAN
RAWAT INAP RAWAT JALAN
Episode adalah jangka waktu perawatan pasien mulai dari
pasien masuk sampai pasien keluar rumah sakit, termasuk
konsultasi dan pemeriksaan dokter, pemeriksaan
penunjang maupun pemeriksaan lainnya.
15. 1) Episode rawat jalan
Satu episode rawat jalan adalah satu rangkaian pertemuan konsultasi
antara pasien dan dokter serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi
medis dan obat yang diberikan pada hari pelayanan yang sama.
Apabila pemeriksaaan penunjang tidak dapat dilakukan pada hari
yang sama maka tidak dihitung sebagai episode baru.
Pasien yang membawa hasil pada hari pelayanan yang berbeda yang
dilanjutkan dengan konsultasi dan pemeriksaan penunjang lain sesuai
indikasi medis, dianggap sebagai episode baru.
1) Episode rawat jalan
Satu episode rawat jalan adalah satu rangkaian pertemuan konsultasi
antara pasien dan dokter serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi
medis dan obat yang diberikan pada hari pelayanan yang sama.
Apabila pemeriksaaan penunjang tidak dapat dilakukan pada hari
yang sama maka tidak dihitung sebagai episode baru.
Pasien yang membawa hasil pada hari pelayanan yang berbeda yang
dilanjutkan dengan konsultasi dan pemeriksaan penunjang lain sesuai
indikasi medis, dianggap sebagai episode baru.
EpisodeEpisode
20. d. Pasien yang datang ke rumah
sakit mendapatkan pelayanan rawat
jalan pada satu atau lebih klinik
spesialis pada hari yang sama,
terdiri dari satu atau lebih diagnosis,
dimana diagnosis berhubungan atau
tidak berhubungan, dihitung sebagai
satu episode
21. Ketentuan
tambahan
terkait
episode
rawat inap
a. Perlayanan rawat inap menjadi kelanjutan dari proses
perawatan di rawat jalan atau gawat darurat, maka pelayanan
tersebur sudah termasuk satu episode rawat inap
b. Pelayanan IGD lebih dari 6 jam, telah mendapatkan
pelayanan rawat inap dan secara administrasi telah menjadi
pasien rawat inap termasuk episode rawat inap
c. Dalam hal pasien telah mendapatkan pelayanan
rawat inap yang lama perawatan kurang dari 6 jam
dan pasien meninggal termasuk episode rawat inap
2. Episode Rawat Inap
22. f) Pasien datang kembali ke rumah sakit dalam
keadaan darurat pada hari pelayanan yang
sama, maka keadaan darurat tersebut
dianggap sebagai episode baru walaupun
dengan diagnosis yang sama.
23. Pasien
rawat yang
batal
operasi
a. Pasien batal operasi atas alasan medis dan harus dilakukan
rawat inap atas kondisi tersebut maka ditagihkan sebagai
rawat inap dengan diagnosa yang menyebab bata operasi
b. Pasien batal operasi atas alasan medis namun dapat
dilakukan terapi rawat jalan atau pulang dapat diklaimkan
sebagai rawat dengan menggunakan kode Z53,-
c. Pasien batal operasi atas alasan kurangnya
persiapan operasi oleh FKRTL maka tidak dapat
ditagihkan
2. Ketentuan batal operasi
26. •DOKTER
menegakkan dan menuliskan diagnosis primer dan diagnosis sekunder apabila ada
sesuai dengan ICD 10 serta menulis seluruh prosedur/tindakan yang telah
dilaksanakan dan membuat resume medis pasien secara lengkap dan jelas selama
pasien dirawat di rumah sakit.
•KODER
melakukan kodifikasi dari diagnosis dan prosedur/tindakan yang diisi
oleh dokter yang merawat pasien sesuai dengan ICD 10 untuk diagnosa
dan ICD 9 CM untuk prosedur/tindakan
27. ANALISIS DOKUMEN
REKAM MEDIS
Tujuan : agar kode terpilih dapat merepresentasikan dengan
tepat isi dokumen rekam medis episode ybs
Bagian RM yang dianalisis :
• Resume (Anamnesis, Pem. Fisik,Diagnosis, Terapi, Follow-up)
• Pemeriksaan Penunjang (Patologi Klinik, Patologi Anatomi,
Radiologi, dll)
• Laporan lain (Operasi, Fisioterapi, dll)
29. Standar Coding WHO
Entry data atau import
data dari data warehouse
Kode Diagnosis Utama
sesuai resume dengan
memenuhi aturan coding,
kemudian kode diagnosis
sekunder
Kode Prosedur Utama yang
berhubungan dengan
Diagnosis Utama dilanjutkan
dengan mengkode prosedur-
prosedur lainnya.
Jika diagnosis utama atau
diagnosis sekunder adalah
cedera/injury harus diikuti dengan
penyebab luar (external cause)
yang relevan dengan
diagnosisnya.
Jika diagnosis utama atau diagnosis
sekunder adalah
Neoplasma harus diikuti dengan
kode Morfology untuk
menggambarkan histology dan
behavior (sifat, prilaku) nya
Review hasil
pengkodean dan
Grouping INA CBG
Konfirmasi Identifikasi
pasien untuk
memastikan data
demografi, ID Pasien,
episode perawatan
sesuai dengan rekam
medis yang akan dikode
Prosedur Utama secara
khusus berhubungan dengan
Diagnosis Utama. Pada
episode ini proses editing
coding harus meggunakan
peraturan utk coding CBG. Ini
termasuk jenis kelamin dan
usia.
Pilihan proses coding
1.Review seluruh record,
membuat daftar kode, lalu
masuk ke software koding
2. Mengkode semua
diagnosis selanjutnya
Mengkode semua Prosedur
secara berurutan
3. Mengkode baik diagnosis
maupun prosedur saat
membaca rekam medis.
4.Proses editing harus
mencerminkan aturan
untuk pengkodean diagnosis
utama dan prosedur utama
PDX & Additional DxPatient demographics PPx & other Px Injury & external cause Morphology & Histology Check & group
Aturan WHO untuk menentukan
kode morfologi dan kode histologi
diterapkan dalam proses ini.
Neoplasma dapat benign (jinak)
atau malignant (ganas)
Kode External Cause ada 3
komponen:
1. Bagaimana terjadinya –
How
2. Dimana kejadiannya -
Place
3. Apa yang dilakukan oleh
pasien - Activity
Pada proses ini “summary editor”
digunakan untuk memeriksa
aturan coding dan kesiapan
untuk grouping. Setelah
grouping, dihasilkan pengesahan
summary yang berisi semua data
casemix yang relevan untuk
pencetakan dan penyimpanan
ICD10 ICD9CM V01-Y98 M8000/0-M9989/1
31. Koding dalam INA–CBG menggunakan ICD-10 revisi
Tahun 2010 untuk mengkode diagnosis utama dan
diagnosis sekunder serta menggunakan ICD-9- CM
revisi Tahun 2010 untuk mengkode
tindakan/prosedur. Sumber data untuk mengkode
INA-CBG berasal dari resume medis yaitu data
diagnosis dan tindakan/prosedur, apabila diperlukan
dapat dilihat dalam berkas rekam medis. Ketepatan
koding diagnosis dan tindakan/prosedur sangat
berpengaruh terhadap hasil grouper dalam aplikasi
INA-CBG.
32. Aturan koding dalam ICD 10 :
a.Jika dalam ICD 10 terdapat catatan
“Use additional code, if desired, to
identify specified condition” maka
kode tersebut dapat digunakan
sesuai dengan kondisi pasien.
33.
34. b. Pengkodean sistem dagger (†) dan asterisk (*) Jika
diagnosis utama yang ditegakkan dokter dalam ICD 10
menggunakan kode dagger dan asterisk maka yang dikode
sebagai diagnosis utama adalah kode dagger, sedangkan
kode asterisk sebagai diagnosis sekunder.
Namun jika diagnosis sekunder yang ditegakkan dokter
dalam ICD 10 menggunakan kode dagger dan asterisk, maka
kode tersebut menjadi diagnosis sekunder. Tanda dagger (†)
dan asterisk (*) tidak diinput di dalam aplikasi INA-CBG.
35. • Contoh :
Diagnosis Utama : Pneumonia measles Diagnosis
Sekunder : -
Dikode measles complicated by pneumonia (B05.2†) sebagai
diagnosis utama dan pneumonia in viral disease classified
elsewhere (J17.1*) sebagai diagnosis sekunder.
• Contoh :
Diagnosis Utama : DM Type II
Diagnosis Sekunder : Arthitis pada penyakit Lyme
Dikode DM Type II (E11.9) sebagai diagnosis utama,
Lyme disease (A69.2†) sebagai diagnosis sekunder dan arthitis in
Lyme disease (M01.2*) sebagai diagnosis sekunder
36. Contoh :
Diagnosis Utama : Anemia
Diagnosis Sekunder : Ca Mammae
Dikode Ca Mammae (C50.9†) sebagai diagnosis utama dan
anemia (D63.0*) sebagai diagnosis sekunder.
Contoh :
Diagnosis Utama : Anemia
Diagnosis Sekunder : Kronik Renal Failure
Dikode Kronik Renal Failure (N18.9†) sebagai diagnosis utama,
anemia (D63.8*) sebagai diagnosis sekunder.
37. c. Pengkodean dugaan kondisi, gejala, penemuan
abnormal, dan situasi tanpa penyakit Jika pasien
dalam episode rawat, koder harus hati-hati dalam
mengklasifikasikan Diagnosis Utama pada Bab XVIII
(Kode R) dan XXI (Kode Z). Jika diagnosis yang lebih
spesifik belum ditegakkan sampai akhir episode
perawatan atau tidak ada penyakit atau cedera pada
saat dirawat yang bisa dikode, maka kode dari Bab
XVIII dan XXI dapat digunakan sebagai kode
diagnosis utama (lihat juga Rules MB3 dan MB5).
38. • Contoh :
Diagnosis Utama : Dugaan neoplasma ganas serviks – setelah
dilakukan pemeriksaan lanjutan didapatkan hasil bukan
neoplasma ganas serviks
Diagnosis Sekunder : -
Dikode observasi dugaan neoplasma ganas (Z03.1) sebagai
diagnosis utama.
Contoh :
Diagnosis Utama : Infark miokardium -
ternyata bukan
Diagnosis Sekunder : -
Dikode observasi dugaan infark miokardium (Z03.4) sebagai
diagnosis utama.
39. d. Pengkodean kondisi multiple Jika kondisi
multiple dicatat di dalam kategori berjudul
“Multiple ...”, dan tidak satu pun kondisi yang
menonjol, kode untuk kategori “Multiple ...”,
harus dipakai sebagai kode diagnosis utama,
dan setiap kondisi lain menjadi kode diagnosis
sekunder. Pengkodean seperti ini digunakan
terutama pada kondisi yang berhubungan
dengan penyakit HIV, cedera dan sekuele.
40. •Contoh :
Diagnosis Utama : HIV disease resulting in
multiple infections
Diagnosis Sekunder : HIV disease resulting in
candidiasis HIV disease resulting in
other viral infections
Dikode HIV disease resulting in multiple infections
(B20.7) sebagai diagnosis utama, HIV disease
resulting in candidiasis (B20.4) dan HIV disease
resulting in other viral infections (B20.3) sebagai
diagnosis sekunder.
41. •Contoh :
Diagnosis Utama : Multiple fraktur of femur
Diagnosis Sekunder : Frakture of shaft of
femur Frakture of lower of end of femur
Dikode multiple fraktur of femur (S72.7) sebagai
diagnosis utama, fraktur of shaft of femur (S72.3)
dan Frakture of lower of end of femur (S72.4)
sebagai diagnosis sekunder.
42. e. Pengkodean kategori kombinasi ICD menyediakan kategori tertentu
dimana dua diagnosis yang berhubungan diwakili oleh satu kode.
Contoh :
Diagnosis Utama : Gagal ginjal
Diagnosis Sekunder : Penyakit ginjal hipertensi
Dikode Penyakit ginjal hipertensi dengan gagal ginjal (I12.0)
Contoh :
Diagnosis Utama : Glaukoma karena peradangan
mata
Diagnosis Sekunder : –
Dikode Glaukoma akibat peradangan mata (H40.4) sebagai diagnosis
utama.
43. Tindakan Ventilator
96.70 Continuous invasive
mechanical ventilation of
unspecified duration
Invasive mechanical
ventilation NOS
96.71 Continuous invasive
mechanical ventilation for
less than 96 consecutive hours
96.72 Continuous invasive
mechanical ventilation for 96
consecutive hours or more
Kode juga terkait
penyisipan tabung
endotrakea (96,04)
trakeostomi (31.1-31.29)
44. Durasi Ventilator
96.70 Continuous invasive
mechanical ventilation of
unspecified duration
Invasive mechanical
ventilation NOS
96.71 Continuous invasive
mechanical ventilation for
less than 96 consecutive hours
96.72 Continuous invasive
mechanical ventilation for 96
consecutive hours or more
Untuk menghitung jumlah
jam (durasi) ventilasi
mekanis kontinyu saat
dirawat di rumah sakit,
mulailah penghitungan
sejak dimulainya intubasi
(endotrakeal). Durasi
diakhiri dengan ekstubasi
(endotrakeal).
45. Tindakan Ventilator
96.70 Continuous invasive
mechanical ventilation of
unspecified duration
Invasive mechanical
ventilation NOS
96.71 Continuous invasive
mechanical ventilation for
less than 96 consecutive hours
96.72 Continuous invasive
mechanical ventilation for 96
consecutive hours or more
Jika pasien diintubasi
sebelum masuk, mulailah
menghitung durasi sejak
saat masuk. Jika pasien
dipindahkan (habis) saat
diintubasi, durasi akan
berakhir pada saat transfer
(discharge).
46. Penrhitungan Jam Ventilator
96.70 Continuous invasive
mechanical ventilation of
unspecified duration
Invasive mechanical
ventilation NOS
96.71 Continuous invasive
mechanical ventilation for
less than 96 consecutive hours
96.72 Continuous invasive
mechanical ventilation for 96
consecutive hours or more
Perhitungan jumlah jam
ventilasi mekanis
kontinyu saat dirawat di
rumah sakit, mulai
menghitung durasi saat
ventilasi mekanis
dimulai. Durasi berakhir
saat ventilator mekanis
dimatikan (setelah
periode penyapihan).
47. Penrhitungan Jam Ventilator
96.70 Continuous invasive
mechanical ventilation of
unspecified duration
Invasive mechanical
ventilation NOS
96.71 Continuous invasive
mechanical ventilation for
less than 96 consecutive hours
96.72 Continuous invasive
mechanical ventilation for 96
consecutive hours or more
96.7 Ventilasi mekanis invasif lainnya
Meliputi: BiPAP yang dikirim melalui
tabung endotrakeal atau trakeostomi
(antarmuka invasif)
CPAP dikirim melalui tabung endotrakeal
atau trakeostomi (antarmuka invasif)
Bantuan pernafasan endotrakeal
Ventilasi tekanan positif invasif [IPPV]
Ventilasi mekanik melalui antarmuka
invasif
Itu dengan trakeostomi
Penyapihan pasien tabung intolated
(tabung endotrakeal)
48. Penrhitungan Jam Ventilator
96.70 Continuous invasive
mechanical ventilation of
unspecified duration
Invasive mechanical
ventilation NOS
96.71 Continuous invasive
mechanical ventilation for
less than 96 consecutive hours
96.72 Continuous invasive
mechanical ventilation for 96
consecutive hours or more
96.7 Ventilasi mekanis invasif lainnya
Tidak termasuk: tekanan udara positif
tingkat dua non-invasif [BiPAP] (93.90)
ventilasi tekanan negatif kontinu [CNP]
(paru-paru besi) (cuirass) (93.99)
tekanan udara positif kontinu yang tidak
invasif [CPAP] (93.90)
tekanan pernafasan positif intermiten
[IPPB] (93.91)
tekanan positif non-invasif (NIPPV) (93,90)
- dengan masker wajah (93.90-93.99)
- dengan kanula hidung (93,90-93,99)
- dengan kateter hidung (93.90-93.99)
49. Catatan tindakan Lysis
Jika metode
pembebasannya dengan
metode :
Tumpul, digital, manual,
mechanical, tidak dengan
instrumen tidak dikoding
54. C. Aturan Koding Lainnya yang Berlaku Untuk INA-CBG
1. Dalam hal bayi lahir dengan tindakan persalinan
menggunakan kode P03.0 – P03.6 maka dapat
diklaimkan terpisah dari klaim ibunya.
2. Kontrol Ulang Dalam hal pasien yang datang untuk
kontrol ulang di rawat jalan dengan diagnosis yang
sama pada kunjungan sebelumnya, ditetapkan sebagai
diagnosis utama menggunakan kode “Z” dan diagnosis
sekunder dikode sesuai penyakitnya.
55. 3. Terapi Berulang Dalam hal pasien yang datang untuk
mendapatkan terapi berulang di rawat jalan seperti rehabilitasi
medik, rehabilitasi psikososial, hemodialisa, kemoterapi dan
radioterapi ditetapkan sebagai diagnosis utama menggunakan
kode “Z” dan diagnosis sekunder dikode sesuai penyakitnya.
Contoh : Pasien datang ke RS untuk dilakukan kemoterapi karena
Ca. Mammae.
Diagnosis Utama : Kemoterapi Diagnosis Sekunder : Ca. Mammae
Dikode kemoterapi (Z51.1) sebagai diagnosis utama dan Ca.
Mammae (C50.9) sebagai diagnosis sekunder.
56. 4. Pengkodean untuk persalinan :
a. Bila terdapat penyulit atau komplikasi maka
penyulit atau komplikasi menjadi diagnosis
utama
b. Metode persalinan (O80.0-O84.9) sebagai
diagnosis sekunder
c. Outcome persalinan (Z37.0 – Z37.9) sebagai
diagnosis sekunder
57. 5. Pengkodean Neoplasma :
f. Pasien yang dirawat untuk mengatasi
anemia yang terkait dengan neoplasma dan
perawatan hanya untuk anemia, maka yang
menjadi diagnosis utama adalah neoplasma
sedangkan anemia pada neoplasma (D63.0)
menjadi diagnosis sekunder.
58. 6. Penggunaan kode Z29.0 Isolasi
digunakan untuk kasus orang yang
datang ke rumah sakit untuk
melindungi dirinya dari lingkungannya
atau untuk isolasi individual setelah
melakukan kontak dengan penyakit
menular.
59. 7. Pasien yang telah melahirkan di FKTP,
namun dirujuk oleh dokter untuk
melakukan tubektomi interval di FKRTL
maka dikode Sterilization (Z30.2) sebagai
diagnosis utama.
60. 8. Pengkodean Thalasemia :
a.Pasien Thalasemia Mayor adalah pasien yang
mempunyai diagnosis utama maupun sekunder
mempunyai kode ICD-10 yaitu D56.1
b.Jika pasien Thalasemia Mayor pada saat kontrol
ulang diberikan obat kelasi besi (Deferipone,
Deferoksamin, dan Deferasirox) maka diinputkan
sebagai rawat jalan dengan menggunakan kode
D56.1 sebagai diagnosis utama
61. 9. Pemasangan infus pump hanya
menggunakan kode 99.18
10.Educational therapy menggunakan kode
94.42
62. Aturan Koding lainnya INACBGTindakan infus dengan alat infus pump
menggunakan kode 99.18
63. Tindakan insertion of totally implantable
infusion pump (alat ditanam dalam
tubuh) menggunakan kode 86.06
Aturan Koding lainnya INACBG
68. Proses Kelengkapan Rekam Medis
Diruangan
Rawat Inap
Pengecekan
kelengkapan rekam
medis
Audit
Koding
Klaim
Tidak di audit :
1. LOS < 3 hari
2. Bayi lahir sehat
Koder
1. Tim Audit
2. Tim Rekam
Medis
Tim Klaim
Bagian
Rekam Medis
69. Proses Klaim Pasien JKN
Resume Medis yang telah
Dilengkapi oleh dokter
Koding
Proses grouping
INA-CBG
BPJS
Pembayaran
Klaim BPJS
Input data :
1. Identitas
pasien
2. Pelayananan
- Dx utama
- Dx sekunder
- prosedur
Tidak lengkap 10 hari setelah pasien pulang
1. Discharge centre
- Data lengkap
2. Medical Record
- Data lengkap
Proses verifikasi
73. Tetapkan Topik Koding
Pada kasus :
1. Hypertensi dengan penyakit jantung koroner
2. Hypertensi dengan serebrovaskuler
3. Bronchitis
4. BBLR (Berat badan lahir)
75. Kriteria koding pada kasus hypertensi dgn PJK
• Penyakit jantung iskemia (I20-I25)
Catatan: Untuk morbiditas, durasi yang dipakai pada
katergori I21-I25 adalah interval antara onset episode iskemia
dan admisi pengobatan. Untuk mortalitas, durasi adalah interval
antara onset dan kematian.
Termasuk: kalau disebutkan hipertensi (I10-I15)
Gunakan kode tambahan, kalau perlu, untuk identifikasi adanya
hipertensi
76. Hypertensi dgn Serebrovaskuler
Penyakit-penyakit serebrovaskuler (I60-I69)
Termasuk: dengan disebutkan hipertensi (konditsi pada I10 dan I15.-)
Gunakan kode tambahan, kalau perlu, untuk identifikasi adanya hipertensi
Kecuali: dementia vaskuler (F01.-)
serangan iskemia otak sementara dan sindroma yang terkait (G45.-)
perdarahan intrakranium akibat trauma (S06.-)
77. Kasus Bronkitis
J40 Bronkitis, tidak dijelaskan akut atau kronik
Catatan: Bronkitis yang tidak dijelaskan akut atau kronik pada
usia <15 tahun dianggap sebagai akut sehingga diklasifikasikan
pada J20.
Bronkitis: NOS, kataralis, dengan trakeitis NOS
Trakeobronkitis NOS
Kecuali: Bronkitis: allergi NOS (J45.0). asmatika NOS (J45.9).
kimiawi (akut) (J68.0)
78. Kasus BBLR
P07. Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan singkat dan berat lahir rendah, n.e.c.
Note: Kalau berat lahir dan usia kehamilan keduanya ada, prioritas harus pada
berat lahir.
Termasuk: kondisi berikut, tanpa spesifikasi lebih lanjut, sebagai penyebab
kematian, kesakitan, atau asuhan tambahan pada neonatus.
Kecuali: berat lahir rendah akibat pertumbuhan lambat janin dan malnutrisi
janin(P05.-)
P07.0 Berat lahir sangat rendah
Berat lahir 999 gram atau kurang
P07.1 Berat lahir rendah lainnya
Berat lahir antara 1000-2499 g.
P07.2 Immaturitas ekstrim
Kehamilan kurang dari 28 minggu lengkap (<196 hari lengkap)
P07.3 Neonatus preterm lainnya
Kehamilan 28 sampai <37 minggu lengkap (196 sampai <259 hari lengkap).
Prematuritas NOS
88. Tentukan Temuan
Kriteria kasus jumlah Kriteria koding Sesuai Tidak Sesuai keterangan
Hyper + PJK 1 Jika hiper dgn PJK
maka hiper jadi dx
sekunder
- 1
Hyper + Serebro 20 Jika hip dgn Ser
ebro maka hiper
jadi dx sekunder
- 20
Bronkitis 15 Jika > 15thn J40 <
15 thn J20
10 5
BBLR + Prematur 7 Jika BBLR +
Prematur
keduanya ada
maka BBLR jadi
utama
3 4
90. Rekomendasi Revisi Pengajuan klaim
• Berdasarkan temuan verifikasi koding
- Hiper dgn PJK ditemukan kode tidak sesuai sehingga aturan koding
direkomendasikan kode I10 dan I25.1 direvifisi menjadi I25.1 dan
I10 sesuai dgn aturan ICD 10 yang berlaku
- Hiper dgn serebro ditemukan tidak sesuai sehingga
direkomendasikan untuk revisi I10 dan I60-I64 direvisi menjadi I60-
I64 dan I10 sesuai dengan aturan ICD 10 yang berlaku
- Kode J40 dngan usia < 15 direvisi menjadi J20 sesuai dengan ICD 10
yang berlaku
- Kode P07.3 dan P07.1 direvisi menjadi P07.1 dan P07.3 sesuai
dengan ICD 10 yang berlaku