PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
Pengertian Bahasa dan Fungsinya
1. A. Pengertian Bahasa
Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam
hidup dan kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang
memperhatikan bahasa dan menanggapinya sebagai suatu hal yang biasa, seperti
bernafas dan berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa
dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Hal ini senada dengan
apa yang diutarakan oleh Ernest Cassirer, sebagaimana yang dikutip oleh Jujun dan
Amsal Bachtiar, bahwa keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya
berfikir melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest
menyebut manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan
simbol. Secara generik istilah ini mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah homo
sapiens, sebab dalam kegiatan berfikir manusia mempergunakan simbol.
Bahasa sebagai sarana komunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada
komunikasi. Tanpa komunikasi apakah manusia dapat bersosialisasi, dan apakah
manusia layak disebut sebagai makhluk sosial? Sebagai sarana komunikasi maka segala
yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berfikir sistematis
dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai
kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berfikir sebagai
secara sistematis dan teratur.
Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berfikir
seseorang dan tiada batas dunia baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wittgenstein
yang menyatakan: “batas bahasaku adalah batas duniaku”.
Banyak ahli bahasa telah memberikan uraiannya tentang pengertian bahasa. Sudah
barang tentu setiap ahli berbeda-beda cara menyampaikannya. Bloch and Trager
mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Amsal Bachtiar, bahwa “a language is a
system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates”
(bahasa adalah suatu system simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh
suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi).
Senada dengan definisi diatas, Joseph Broam mengatakan sebagaimana yang
dikutip oleh Amsal Bachtiar, bahwa a language is a structured system of
arbitrary vocal symbols by means of which members of social group interact
2. (Bahasa adalah suatu system yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer
yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok social sebagai alat
bergaul satu sama lain).
B. Unsur Bahasa
Batasan-batasan diatas memerlukan sedikit penjelasan agar tidak terjadi salah
paham. Oleh karena itu, perlu diteliti setiap unsur yang terdapat di dalamnya:
1. Simbol-simbol
Simbol-simbol berarti things stand for other things atau sesuatu yang
menyatakan sesuatu yang lain. Hubungan antara simbol dan “sesuatu” yang
dilambangkannya itu tidak merupakan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau
sesuatu yang bersifat alamiah, seperti yang terdapat antara awan hitam dan turunnya
hujan, ataupun antara tingginya panas badan dan kemungkinannya terjadi infeksi. Jika
dikatakan bahwa bahasa adalah suatu system simbol-simbol, hal tersebut mengandung
makna bahwa ucapan si pembicara dihubungkan secara simbolis dengan objek-objek
ataupun kejadian dalam dunia praktis.
2. Simbol-simbol Vokal
Simbol-simbol yang membangun ujaran manusia yaitu bunyi-bunyi yang
urutan-urutan bunyinya dihasilkan dari kerja sama berbagai organ atau alat tubuh
dengan system pernapasan. Untuk memenuhi maksudnya, bunyi-bunyi tersebut
haruslah didengar oleh orang lain dan harus diartikulasikan sedemikian rupa untuk
memudahkan si pendengar untuk merasakannya secara jelas dan berbeda dari lainnya.
3. Simbol-simbol vokal arbitrer
Istilah arbitrer di sini bermakna “mana suka” dan tidak perlu ada hubungan
yang valid secara filosofis antara ucapan lisan dan arti yang dikandungnya. Hal ini akan
lebih jelas bagi orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa. Misalnya, untuk
mengatakan jenis binatang yang disebut Equus Caballus, orang Inggris menyebutnya
horse, orang Perancis chevel, orang Indonesia kuda, dan orang Arab hison. Semua kata
ini sama tepatnya, sama arbitrernya. Semuanya adalah konvensi social yakni sejenis
3. persetujuan yang tidak diucapkan atau kesepakatan secara diam-diam antara sesama
anggota masyarakat yang memberi setiap kata makna tertentu.
4. Suatu system yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer.
Walaupun hubungan antara bunyi dan arti ternyata bebas dari setiap suara hati
nurani, logika atau psikologi, namun kerja sama antara bunyi-bunyi itu sendiri, di
dalam bahasa tertentu, ditandai oleh sejumlah konsistensi, ketetapan intern. Misalnya
saja, setiap bahasa beroperasi dengan sejumlah bunyi dasar yang terbatas (dan ciri-ciri
fonetik lainnya seperti tekanan kata dan intonasi).
5. Yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok sosial sebagai alat bergaul
satu sama lain.
Bagian ini menyatakan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Para ahli social
menaruh perhatian pada tingkah laku manusia, sejauh tingkah laku tersebut
mempengaruhi atau dipengaruhi manusia lainnya. Mereka memandang tingkah laku
social sebagai tindakan atau aksi yang ditujukan terhadap yang lainnya. Fungsi
bahasa memang sangat penting dalam dunia manusia. Dengan bahasa para anggota
masyarakat dapat mengadakan interaksi social. Telaah pola-pola interaksi ini
merupakan bagian dari ilmu sosiologi.
C. Fungsi Bahasa
Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama, yakni, pertama, sebagai
sarana komunikasi antar manusia dan, kedua, sebagai sarana budaya yang
mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Fungsi yang
pertama dapat kita sebutkan sebagai fungsi komunikatif dan fungsi yang kedua sebagai
fungsi kohesif atau integratif. Pengembangan suatu bahasa haruslah memperhatikan
kedua fungsi ini agar terjadi keseimbangan yang saling menunjang dalam
pertumbuhannya. Seperti juga manusia yang mempergunakannya bahasa harus terus
tumbuh dan berkembang seiring dengan pergantian zaman.
Sebagai alat komunikasi pada pokoknya bahasa mencakup tiga unsur yakni,
pertama, bahasa selaku alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi
perasaan (emotif), kedua, berkonotasi sikap (afektif) dan, ketiga, berkonotasi pikiran
4. (penalaran). Atau secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi komunikasi bahasa dapat
diperinci lebih lanjut menjadi fungsi emotif, afektif, dan penalaran.
Perkembangan bahasa pada dasarnya adalah pertumbuhan ketiga fungsi
komunikatif tersebut agar mampu mencerminkan perasaan, sikap dan pikiran suatu
kelompok masyarakat yang mempergunakan bahasa tersebut. Kalau kita ambil sebagai
contoh dua unsur dari kebudayaan suatu bangsa umpamnya seni dan ilmu, maka secara
teoritis dapat dikatakan, bahwa kemajuan di bidang seni terkait dengan perkembangan
bahasa dalam fungsi emotif dan afektif, sedangkan di bidang keilmuan terkait dengan
perkembangan bahasa dalam fungsi penalaran. Tentu saja pembagian ini tidaklah
bersifat kategoris yang mutlak, melainkan lebih bersifat pengkotakan yang bersifat
gradasi yaitu seni juga dipengaruhi fungsi penalaran bahasa, dan sebaliknya, ilmu akan
menjadi steril tanpa diperkaya perkembangan fungsi emotif dan afektif dari bahasa.
Perkembangan bahasa tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sektor sektor lain
yang juga tumbuh dan berkembang. Sekiranya bahasa berkembangan terisolasikan dari
perkembangan sektor-sektor lain maka bahasan mungkin bersifat tidak berfungsi dan
bahkan kotra produktif. Sekiranya pada satu pihak terdapat upaya untuk lebih
memasyarakatkan ilmu di kalangan masyarakat luas dan kaum muda, sedangkan
kalangan ilmuwan “asyik sendiri” membentuk terminologi ilmiah yang tepat, cermat
dan eksak dilihat dari kaca mata fungsi penalaran bahasa; tanpa memperdulikan apakah
kata-kata baru mampu berkomunikasi dengan kalangan non-keilmuan maka tentu saja
hal ini menimbulkan kesenjangan dari upaya tadi. Bahasa selalu berkembang menjadi
esoterik dan asing bagi dunia di luar bidang keilmuan.
D. Kontroversi dalam pemaknaan dan penggunaan istilah dalam sektor keilmuan.
Sekiranya para pemikir di bidang pendidikan dengan sungguh sungguh ingin
menghapus batas antara PASPAL dan SOSBUD, yang merupakan tembok Berlin antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, maka kalangan ilmuwan yang mengadopsi kata
“sains” untuk padanan kata “ilmu” secara sadar atau tidak sadar malah memperlebar
jurang perbedaan ini. Di negara asalnya pun kata science mempunyai konotasi
(meskipun tidak formal) dengan natural science dan technology. Dengan demikian
maka adopsi kata sains ini meskipun mungkin memperkaya perbendaharaan Bahasa
Indonesia namun kontraproduktif terhadap upaya meningkatkan kemampuan penalaran
5. bangsa kita dengan menghilangkan batas antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Belum lagi pembentukan padanan “taat asas” untuk “konsisten” yang ditinjau dari
filsafat ilmu adalah tidak benar dan sebaiknya tidak usah dilahirkan. Para pemikir di
bidang filsafat ilmu sangat menyesalkan bahwa manusia sudah terlanjur
mempergunakan kata “hukum” (law) dalam terminologi keilmuan yang berkonotasi
moral. Pembentukan kata “taat asas” untuk padanan konsisten jatuh pada perangkap
yang sama.
E. Perbedaan antara knowledge dengan science.
Knowledge umum diartikan dengan istilah pengetahuan, sedangkan science
sering diartikan ilmu pengetahuan. Namun dalam penggunaannya mempunyai beberapa
kelemahan yakni pertama adalah knowledge merupakan terminologi generik dan
science adalah anggota (species) dari kelompok tersebut. Adalah kurang layak kalau
pengetahuan merupakan teminologi generik dan ilmu pengetahuan merupakan anggota
yang termasuk ke dalamnya. Kelemahan lain adalah kata sifat dari science yakni
scientific yang sekiranya secara konsekwen kita mempergunakan untuk ilmu adalah
pengetahuan ilmiah. Kedua terminologi ini akan menyesatkan dan kurang nyaman
untuk dipergunakan. Kelemahan ketiga adalah tidak konsekuensinya memeprgunakan
terminologi ilmu pengetahuan untuk science di mana biologi disebut ilmu hayat
sedangkan fisika adalah ilmu pengetahuan alam.
Alternatif kedua didasarkan kepada asumsi bahwa ilmu pengetahuan pada
dasarnya adalah dua kata benda yakni ilmu dan pengetahuan. Rangkaian dua kata
semacam iuni adalah lumrah dalam bahasa Indonesia seperti emas, perak atau intan
berlian Dengan demikian kita tinggal menetapkan mana yang sinonim dengan science
dan mana yang sinonim dengan knowledge. Dalam hal ini maka yang lebih tepat
kiranya adalah penggunaan kata pengetahuan untuk knowledge dan ilmu untuk science.
Dengan demikian maka social science kita terjemahkan dengan ilmu-ilmu sosial dan
natural science dengan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini termasuk humaniora
(seni, filsafat, bahasa dan sebagainya) termasuk ke dalam pengetahuan yang merupakan
terminologi generik. Kata sifat dari ilmu adalah ilmiah atau keilmuan; metode yang
dipergunakan dalam kegiatan ilmiah (keilmuan) adalah metode ilmiah. Ahli dalam
bidang keilmuan adalah ilmuan.
6. F. Adopsi bahasa yang kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Akhir-akhir ini, mungkin sebagai jalan keluar dari kebingungan semantik yang
melanda terminologi ilmu pengetahuan, diperkenalkan kata “sains” yang dalam
beberapa hal telah secara sah dipergunakan (umpamanya dalam gelar Magister Sains).
Sains ini adalah terminologi yang dipinjam dari bahasa Inggris yakni science. Saya kira
adopsi ini tidak perlu sebab pembentukan kata sifat dengan kata dasar sains ini adalah
agak janggal dalam struktur bahasa Indonesia. Scientific, sekiranya sains adalah
sinonim dengan science, adalah ke-sain-an atau saintifik(?). Scientist adalah sainswan
atau sintis(sic)!
Keberatan kedua adalah bahwa terminologi science dalam bahasa asalnya
penggunaannya sering dikaitkan dengan natural science seperti teknik, economics,
sering dikonotasikan bukan science, namun social studies, termasuk ke dalamnya
social sciences lainnya. Dengan demikian maka terminologi science sering dikaitkan
dengan teknologi. Hal ini, meskipun tidak disengaja dan mungkin tidak disadari,
menimbulkan jurang antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam. Sederhananya adalah
bahwa ilmu-ilmu kata science; atau paling tidak, preferensi utama penggunaan kata
science adalah untuk ilmu-ilmu alam.
G. Perbedaan Pengetahuan dan Pra Ilmiah.
Di dalam filsafat ilmu perlu dibedakan antara pengetahuan ilmiah dan
pengetahuan pra ilmiah. Pengetahuan ilmiah telah teruji secara lebih sitematik
sedangkan pengetahuan pra ilmiah tidak memiliki sifat kajian ilmu. Pengetahuan yang
diperoleh akan melalui tahapan pencarian kebenaran dengan cara membuktikan
kebenaran hasil-hasil pemahaman serta dugaan-dugaan matematik. Sedangkan
mengenai kebenaran hipotesa-hipotesa empirik, orang mencoba untuk mengambil
keputusan dengan jalan mengadakan observasi-observasi atau eksperimen-eksperiman
secara cermat.
Ilmu bersifat intersubyektif. Di dalam ilmu orang perlu mengetahui apa yang
dimaksudkan oleh orang lain, khususnya dalam arti orang perlu saling mengetahui apa
yang dimaksudkan oleh pernyataan-pernyataan serta pemberitahuan-pemberitahuan
yang dikemukakan oleh masing-masing pihak. Dugaan-dugaan yang dipunyai oleh A
hendaknya dapat dikaji oleh B. Dan hsil kajian tersebut, hendaknya dapat dievaluasi
7. baik oleh C maupun oleh A dan B. Syarat-syarat seperti ni menimbulkan harapan akan
adanya peristilahan yang dirumuskan sejelas mungkin, yang dapat diterima secara
umum.
Cara yang paling tepat untuk menetapkan pemakaian suatu istilah ialah dengan
menggunakan definisi eksplisit. Dalam definisi seperti ini ditetapkan suatu istilah atau
suatu gabungan istilah dipakai dalam makna tertentu. Sekaligus dalam hal ini orang
perlu membedakan dua hal.
a. Stipulatif
Definisi-definisi stipulatif secara khusus dipakai sebagai contoh bagi istilah-
istilah ilmiah yang baru diperkenalkan. Definisi ini menetapkan pemakaian suatu istilah
untuk masa depan, masing-masing mengandung usul ke arah pemakaian tersebut. Masa
depan ini dapat bersifat terbatas (sebuah ceramah, tulisan, buku), tetapi mungkin juga
terjadi bahwa defiisi tadi diambil alih oleh orang-orang lain dan secara demikian
lambat laun dapat timbul pemakaian istilah yang seragam, yang diberlakukan.
b. Deskriptif
Definisi deskriptif mengacu pada istilah-istilah yang sudah lazim dipakai.
Definisi ini bersangkutan dengan menunjukkan arti apakah yang telah dipunyai oleh
sesuatu istilah atau gabungan istilah tertentu. Kamus-kamus banyak memuat definisi-
definisi deskriptif; usaha merumuskan definisi-definisi deskriptif merupakan salah satu
kesibukan para penyelidik ilmu bahawa. Orang-orang berusaha untuk mencari serta
menemukan ukuran-ukuran yang menjadi dasar pemakaian istilah-istilah tersebut.
Perbedaan yang menonjol antara definisi stipulatif dengan definisi deskriptif
ialah, dalam hal yang ke dua dapat dipertanyakkan benar tidaknya definisi yang
bersangkutan, sedangkan dalam hal yang pertama tidak demikian. Sebuah definisi
deskriptif benar atau tidak benar, tergantung pada apakah definisi tadi mencatat secara
tepat arti yang sedang diberikan kepadanya (pemakaian kata yang sedang berlaku).
Sebaliknya, sebuah definisi stipulatif, dapat bersifat menguntungkan atau tidak
menguntungkan, bersifat melingkar atau tidak melingkar, namun tidaklah meungkin
menyifatkannya sebagai benar atau tidak benar.
8. Definisi deskriptif perlu secara tegas-tegas dibedakan dengan apa yang disebut
definisi-definisi hakiki. Di dalam definisi ini, orang mencoba untuk mencakup ciri-ciri
hakiki hal-hal tertentu. “Terlepas dari bagaimana tepatnya arti yang diberikan kepada
istilah ‘bangsa’, namun bangsa dalam arti kata yang sebenarnya ialah …..” – cara
berpikir yang demikian ini secara diam-diam menunjukkan sifat “mengarah” kepada
suatu definisi hakiki. Atau “Demokrasi telah tampil dalam pelbagai bentuk, namun
demokrasi yang sejati barulah tampil bila ….” Juga definisi-definisi semacam ini
berdalih benar, tetapi tidak ada metode-metode ilmiah yang dpat digunakan untuk
menetapkan kebenarannya. Dalam hal ini orang mendasarkan diri pada daya tahu yang
bersifat adi-indrawi yang tidak lagi diakui dalam ilmu. Jadi definisi-definisi hakiki
(atau definisi-definisi real, sebagaimana dahulu orang lebih sukan menamakannya)
tidak lagi berperanan dalam ilmu modern. Sebaliknya, dalam sejumlah filsafat, definsi-
definisi tadi masih tetap dipakai.
Definisi stipulatif dan definisi deskriptif terdiri dari (1) sebuah istilah yang
ditetapkan (ditentukan atau ditunjukkan) artinya yaitu apa yang disebut definiendum;
(2) perumusan yang diberikan, yaitu apa yang dinamakan definiens; (3) juga sejumlah
kata penghubung di antara kedua hal tadi (yang dimaksudkan dengan ….ialah …. Atau
kata-kata semacam itu). Sebuah definisi hanya akan membantu kita selanjutnya, bila
tidak terdapat kesalahpahaman mengenai arti yang dikandung oleh kata-kata yang
tercantum dalam definiens, baik karena sebelumnya sudah didefinisikan, maupun
karena tanpa didefinisikan arti yang dikandungnya memang sudah jelas.
Agar mendapatkan pemahaman yang baik mengenai pembentukan pengertian
ilmiah, kiranya perlu diingat bahwa kedua corak definisi yang pokok tersebut sama
sekali tidak selamanya terjadi dalam bentuk yang murni. Sejak semula mungkin sudah
tidak jelas, apakah maksud penyusunan definisi memberikan laporan mengenai
pemakaian kata yang sudah ada, ataukah tidak demikian halnya. Tetapi yang lebih
penting secara mendasar ialah, ada sekelompok besar serta teramat penting, hasil
penentuan pengertian yang mempersatukan unsur-unsur definisi stipulatif dengan
unsur-unsur definisi deskriptif. Inilah apa yang dinamakan eksplikasi pengertian atau
secara singkat desebut eksplikasi-eksplikasi.
9. c. Definisi Operasional
Definisi-definisi operasional pertama kalimnya mengalami perkembangan pesat
dalam ilmu-ilmu dalam yang eksak. Kebutuhan akan ukuran-ukuran yang dapat
ditangani secara intersubyektif, menyebabkan definisi-definisi ini untuk pertama
kalinya berhasil baik dalam ilmu-ilmu tersebut. Sifat apakah yang dipunyai oleh
ukuran-ukuran ini, masih dapat tergantung pada macam pengertian yang bersangkutan.
Dalam hal pengertian-pengertian klasifikasi, haruslah diperoleh jawaban yang
memberikan kepastian atas pertanyaan apakah suatu benda tertentu memenuhi atau
tidak memenuhi pengertian yang bersangkutan. Apakah benda ini terbuat dari perak?
Apakah benda ini bersifat magnetik? Sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan semacam
ini mendasari klasifikasi-klasifikasi, baik misalnya, didasarkan atas unsur yang
menyusun benda (perak, emas, tembaga, timah, besi, dsb.), maupun didasarkan atas
ciri-ciri tertentu yang dipunyai oleh benda (magnetik atau tidak magnetik, dapat larut
atau tidak dapat larut, dan sebagainya).
H. Karakteristik Bahasa Ilmiah
Untuk dpat berfikir ilmiah, seseorang selayaknya menguasai kriteria maupun
langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah. Dengan menguasai hal tersebut tujun yang
akan digapai akan terwujud. Di samping menguasai langkah-langkah tentunya kegiatan
ini dibantu oleh sarana berupa bahasa, logika matematika, dan statistika.
Berbicara masalah sarana ilmiah, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu
pertama, sarana ilmiah itu merupakan ilmu dalam pengertian bahwa ia merupakan
kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah, seperti
menggunakan pola berfikir induktif dan deduktif dlam mendapatkan pengetahuan.
Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan penelaahan
ilmiah secara baik.
Dengan demikian, jika hal tersebut dikaitkan dengan berfikir ilmiah, sarana
ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang penetahuan untuk mengembangkan materi
pengetahuan berdasarkan metode ilmiah. Sarana berfikir ini juga mempunyai metode
tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dlam mendapatkan pengetahuan. Ini
disebabkan sarana ini adalah alat bantu proses metode ilmiah dan bukan merupakan ilu
itu sendiri.
10. Bahasa sabagai alat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berfikir
ilmiah di mana bahasa merupakan alat berfikir dan alat komunikasi untuk
menyampaikan jlan pikiran tersebut pada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan
logika induktif maupun deduktif. Dengan kata lain, kegiatan berfikir ilmiah ini sangat
berkaitan erat dengan bahasa. Menggunakan bahasa yang baik dalam berfikir belum
tentu mendapatkan kesimpulan yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan
benar. Premis yang salah akan menghasilkan kesimpulan yang salah juga. Semua itu
tidak terlepas dari fungsi bahasa itu sendiri sebagai sarana berfikir. Ketika bahasa
disifatkan dengan ilmiah, fungsinya untuk komunikasi disifatkan dengan ilmiah juga,
yakni komunikasi ilmiah. Komunikasi ilmiah ini merupakan proses penyampaian
informasi berupa pengetahuan. Untuk mencapai komunikasi ilmiah, maka bahasa yang
digunakan harus terbebas dari unsur emotif.
Disamping itu bahasa ilmiah juga harus bersifat reproduktif, dengan arti jika si
pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi berupa “X” misalnya, si
pendengar juga harus menerima “X” juga. Hal ini dimaksudkan untuk tidak terjadi
kesalahan informasi, di mana suatu informasi berbeda maka proses berfikirnya juga
akan berbeda.
I. Kesimpulan
Dengan terjadinya hal-hal di atas, dewasa ini orang tidak lagi sering mempertanyakan
serta menanggapi masalah kesatuan ilmu dalam hubungannya dengan suatu bahasa
kesatuan. Namun yang masih tetap hangat dibicarakan ialah, masalah kesatuan hakiki
dalam hal tujuan serta metode. Pendirian yang menyetujui kesatuan ilmu dengan
demikian dapat dipertahankan, antara lain dengan mengacu kepada kecenderungan
umum ke arah usaha menciptakan khasanah kata-kata yang cermat, dapat diandalkan,
dan bermakna-tunggal.
11. Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Rajagrafindo, Persada, 2007
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. XIII, Jakarta:
Sinar Harapan, 1984.
Rasjidi, M, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Beerling, et al, Pengantar Filsafat Ilmu, Terjemahan Soejono Soemargono, cet. III,
Yogya: PT. Tiara Wacana, 1990