Musni Umar: Tugas Pemimpin dan Pentingnya Membangun Masyarakat Madani
Musni Umar: Empat Penyebab Pejabat Tinggi Negara Sekelas Akil Mochtar Menerima Suap
1.
2. Empat Penyebab Pejabat Tinggi
Negara Korupsi
Oleh Musni Umar, Ph.D
Dalam wawancara di JAK TV secara live (4/10/2013) bertajuk “Menelusuri
Penyebab Korupsi Pejabat Tinggi Negara sekelas Akil Mochtar, Ketua MK
yang diduga menerima suap dalam sengketa Pemilukada K ab. Gunung Mas,
Provinsi Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten,
Sosiolog Musni Umar mengemukakan bahwa setidaknya terdapat 4 (empat)
penyebab pejabat tinggi negara melakukan korupsi dengan menerima suap.
Pertama, aspek sosiologis
Kedua, aspek budaya
Ketiga, aspek sistem
Keempat, aspek manusia.
Dari aspek sosiologis, masyarakat dan keluarga turut memberi andil
merajalelanya korupsi di Indonesia. Ini terjadi karena masyarakat sangat
mengagumi orang kaya. Tidak peduli menjadi kaya dari hasil korupsi.
3. Masyarakat telah membudayakan penghormatan
yang amat tinggi kepada orang kaya, sehingga
pejabat tinggi negara, berusaha memanfaatkan
kedudukannya untuk mengumpulkan harta, supaya
tetap dihormati pada saat menjabat dan setelah
pensiun. Selain itu, dalam keluarga besar (extended
family) seorang anggota keluarga yang menduduki
posisi penting dalam negara, secara langsung
ataupun tidak langsung dituntut untuk membagi
kesenangan, kebahagian dan kesempatan kepada
seluruh anggota keluarga besar.
Dalam setiap acara, keluarga yang sukses dituntut
untuk membiayai hajatan yang dilakukan. Kalau
tidak, maka akan diasingkan, tidak diakui,
dicemooh, dianggap pelit dan lain sebagainya.
4. Dari aspek budaya, disertasi klasik Heather
Sutherland (1979) yang berjudul The Making of A
Bureaucratic Elite, di mana Sutherland
menggambarkan betapa sistem upeti yang telah
berlangsung selama berabad-abad itu tetap
menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan
penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah
harus bekerja dengan sistem administrasi modern.
Pola patron-client di mana upeti merupakan alat
tukar kekuasaan dianggap sebagai standar yang
wajar diantara para birokrat modern atau pamong-
praja di Indonesia.
5. Pada mulanya, rakyat sebagai “kawula” dalam rangka
mewujudkan pengabdian dan kesetiaan kepada raja
selaku “gusti”, memberi upeti kepada sang raja.
Kemudian dalam perkembangannya kerajaan yang
ditaklukkan memberi upeti kepada raja yang
menaklukkan sebagai bukti kesetiaan.
Di masa penjajahan, kebiasaan memberi upeti
dilestarikan, sampai Indonesia merdeka 1945 hingga
kini kebiasaan itu terus lestari dan bahkan menjadi
budaya.
Budaya memberi upeti itu, kemudian dikategorikan
sebagai suap yang tidak boleh dilakukan. Namun,
karena sudah membudaya, maka pemberian upeti
kepada pemegang kekuasaan seperti yang diduga
dilakukan Akil Mochtar, Ketua MK terus berlangsung
dan sulit dihapus.
6. Dari aspek sistem, seperti politik. Ekonomi, sosial, hukum dan
sebagainya, justeru semakin mendorong dan mempersubur
budaya korupsi, karena untuk meraih jabatan publik seperti
menjadi anggota parlemen (DPR, DPD, DPRD Provinsi,
Kabupaten, Kota dan jabatan publik lainnya seperti Presiden
dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota) memerlukan
dana (uang) yang sangat besar.
Para pemain politik melalui broker politik dan ekonomi,
mencari peluang dengan bekerja sama para pemegang
kekuasaan. Dalam posisi ini, Akil Mochtar, Ketua MK, mantan
Anggota DPR RI dipandang bisa diajak bekerja sama. Yang
memiliki kedekatan kepentingan ialah teman-teman dari
partai politik yang membesarkan Akil Mochtar. Disitulah
Chairun Nisa, anggota Komisi II DPR RI dari partai Golkar
memainkan peran, yang kemudian tertangkap tangan oleh
KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) 2 Oktober 2013.
7. Terjadinya kerjasama antara Chairun Nisa dengan Akil
Mochtar diduga bermotif politik dan ekonomi.
Pertama, motif politik, diduga menjelang pemilu 2014,
Chairun Nisa dan kawan-kawannya memerlukan dana
yang besar untuk memenangkan pertarungan dalam
pemilu parlemen.
Kedua, Akil Mochtar selaku kader partai, diduga ingin
berkontribusi untuk membantu teman-temannya, dan
tidak tertutup kemungkinan membantu partainya.
Kontribusi dana diperlukan untuk memenangkan
pertarungan politik 2014.
Ketiga, ingin investasi politik agar tetap mendapat
dukungan politik dari partainya.
Keempat, motif ekonomi yaitu serakah (tamak),
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, agar tetap
survive dalam kekuasaannya dan bahkan dapat meraih
kekuasaan yang lebih tinggi.
8. Terakhir, dari aspek manusia, korupsi disebabkan lemah
iman, tamak (serakah) yang disebut sebagai corruption
by greed (korupsi karena serakah), dan corruption by
political interest (korupsi karena kepentingan politik.
Dalam kasus Akil Mochtar, Ketua MK yang tertangkap
tangan dalam OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK
diduga keras motifnya adalah karena tamak dan ada
kepentingan politik untuk investasi politik di masa
depan.
Semoga tulisan singkat ini yang merupakan rekaman
ulang dari dialog di JAK TV (4/10/2013) yang sudah
disempurnakan, bisa memberi pencerahan, penyadaran
dan pencerdasan bagi bangsa Indonesia dalam
memberantas korupsi dan tetap bersemangat
membangun masyarakat, bangsa dan negara Indonesia
yang maju, sejahtera, adil dan makmur. Jkt, 5/10/2013