Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum Islam, di mana korupsi dapat disamakan dengan konsep-konsep seperti ghulul, syariqah, khianat, dan risywah dalam hukum Islam. Empat upaya yang harus segera dilakukan untuk memberantas korupsi menurut dokumen tersebut adalah maksimalkan hukuman, penegakan supremasi
1. KORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
ABSTRAK
Bangsa Indonesia di mata dunia dianggap sebagai bangsa terkorup di
Asia. Image negartif ini dilekatkan setelah anggaran dana yang seharusnya
dinikmati rakyat dalam bentuk pemberdayaan sumber daya manusia maupun
pembangunan fisik dikorupsi oleh para pejabatnya, sehingga tidak heran kalau
para pejabat Indonesia kaya-kaya dari hasil korupsi yang dilakukan, sementara
rakyatnya dalam kemiskinan. Akibat merajalelanya korupsi ini jurang
kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin terpaut jauh.
Ironisnya wabah korupsi tidak lagi dilakukan secara individu dengan
malu-malu dan sembunyi-sembunyi. Sekarang trend terbaru korupsi dilakukan
secara berjama’ah, tanpa tedeng aling-aling. Korupsi telah mengakar kuat dalam
budaya bangsa yang katanya religius ini, sehingga level korupsi di Indonesia
sudah termasuk korupsi sistemik.
Kalau sudah demikian halnya, maka seharusnya setiap elemen warga
bangsa menyatakan perang terhadap tindak korupsi ini demi menyelamatkan nama
baik bangsa yang susah payah dirintis oleh para founding fathers bangsa ini dan
juga untuk menyelamatkan masa depan generasi yang akan datang. Perang
terhadap korupsi bisa dilakukan dengan segala upaya mulai dari reformasi
birokrasi, penegakan supremasi hukum dan juga memaksimalkan peranan agama.
Upaya terakhir (maksimalisasi peranan agama) menurut penulis bisa dilakukan
dengan mencoba merombak doktrin-doktrin agama yang bisa dijadikan ‘senjata’
untuk ikut memberantas korupsi.
Penelitian ini merupakan usaha konkrit dalam rangka merealisasikan
usaha tersebut. Oleh karena itu, yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimana konsep-konsep hukum Islam tentang korupsi dan bagaimana
pula kontribusinya terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut akan digunakan teori
hukum pidana Islam yaitu mengenai pembagian dan operasionalisasi jinayah atau
jarimah serta penerapan sanksi-sanksinya..
Dengan menggunakan teori tersebut, penulis akhirnya berkesimpulan
bahwa korupsi dalam hukum Islam bisa disamakan dengan ghulul, syariqah,
khianat dan risywah. Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela di
Indonesia paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu:
pertama, Memaksimalkan hukuman. Hukuman-hukuman dalam bentuk fisik perlu
diwacanakan dan kalau bisa diterapkan bahkan kalau perlu sampai hukuman mati.
Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Hukum harus tegak dan diberlakukan adil
tanpa pandang bulu termasuk kalaupun korupsi dilakukan oleh para pejabat tinggi
yang memiliki power dan pengaruh yang kuat. Ketiga, Perubahan dan perbaikan
sistem. Perubahan dalam sistem birokrasi pemerintahan dan sistem hukum di
Indonesia harus segera dilakukan mengingat sistem yang ada sudah bobrok.
Keempat, Revolusi Kebudayaan (mental).
1
2. PENDAHULUAN
Indonesia menurut lembaga survey internasional Political and Economic
Risk Consultancy yang bermarkas di Hongkong merupakan negeri terkorup di
Asia. Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam.
Thailand, Malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang
menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang,
Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Pencitraan Indonesia sebagai negara paling
korup berada pada nilai 9,25 derajat, sementara India 8,9; Vietman 8,67;
Singapura 0,5 dan Jepang 3,5 derajat dengan dimulai dari 0 derajat sampai 10.1
Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan
bahwa tingkat korupsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam
ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Straits
Times, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country.
Mantan ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp.300 triliun dana
dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya
alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang
biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh
pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN,
lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga RUU SDA, impor
gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang
sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi.2
1 Kompas, 4 Maret 2004
2 http: / b.domaindlx.com / samil / 2004 / read news. tajuk.
2
3. Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia, pejabat dan birokrat
di negara ini dicap sebagai tukang rampok, pemalak, pemeras, benalu, self
seeking, dan rent seeker, khususnya di hadapan pengusaha baik kecil maupun
besar, baik asing maupun pribumi. Ini berbeda dengan, konon, birokrat Jepang
dan Korea Selatan yang membantu dan mendorong para pengusaha untuk
melebarkan sayapnya, demi penciptaan lapangan kerja alias pemakmuran warga
negara.3
Korupsi semakin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi
kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah sedemikian
menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang
terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain tidak mengikuti kaedah-
kaedah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makin kaya, yang miskin
semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolah mudah diperoleh, sikap
konsumtif menjadi semakin merangsang, tidak ada dorongan kepada pola
produktif, akhirnya timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi
yang telah tersedia.4
Korupsi memang sudah mengakar kuat dan masuk ke setiap lini kehidupan
bangsa Indonesia, oleh karenanya segala daya dan kekuatan bangsa ini harus
dicurahkan untuk memberantas penyakit kronis ini. Salah satu kekuatan yang
masih tersisa menurut penulis adalah kekuatan agama, apalagi bangsa ini adalah
bangsa yang religius. Mayoritas penduduknya beragama Islam yang salah satu
3 Swiba@gmx.de
4 http: / b.domaindlx.com / samil / 2004 / read news. tajuk.
3
4. doktrin agama tersebut adalah menentang segala bentuk pengambilan atau
penguasaan hak dengan cara yang bathil.
Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim maka penting dan
logis kiranya untuk meneliti postulat hukum Islam kaitannya dengan korupsi dan
bagaimana perspektif dan kontribusinya terutama terhadap kasus korupsi yang ada
di Indonesia.
Sejauh pengetahuan penulis, kata korupsi secara literer memang tidak
ditemukan dalam khasanah hukum Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa
dicari dan ditelusuri dalam hukum Islam. Analogi tindakan korupsi bisa ke arah
Ghulul, sariqoh, pengkhianatan dan lain-lain, tetapi terma-terma tersebut masih
perlu dikaji lebih lanjut. Terlebih lagi kalau menelusuri konsep hukum Islam
untuk ikut memberantas tindakan korupsi.
Demi kepentingan penelitian ini, penulis telah melakukan survey of prior
literatures yang berkaitan dengan tema penelitian ini misalnya buku berjudul
Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya karya Andi Hamzah5
. Buku ini
membahas tentang korupsi yang terjadi di Indonesia mulai dari sejarahnya, sebab-
sebab, akibat sampai peraturan dan institusi pemberantasannya. Kemudian karya
S.H. Alatas yang berjudul Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan dengan Data
Kontemporer6
. Buku ini merupakan buku saku mengenai korupsi, dibahas di
dalamnya tentang definisi korupsi, fungsi, sebab-sebab, dan cara pencegahannya.
Buku lainnya adalah Controlling Corruption buah karya Robert Klitgaard yang
5 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1984)
6 S. H. Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer,
(Jakarta: LP3ES, 1986)
4
5. dialihbahasakan oleh Hermoyo dengan judul Membasmi Korupsi7
. Buku ini secara
komprehensif menjelaskan tentang korupsi mulai dari sasaran, pengertian,
penyebab sampai pada upaya-upaya atau kebijakan pemberantasannya. Hanya saja
buku ini tidak secara khusus membahas korupsi di Indonesia, meski demikian
buku ini tetap penting untuk dibaca. Kemudian buku karangan Lilik Mulyadi, SH.
Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya menjelaskan tindak pidana korupsi sebagai
salah satu bagian dari hukum pidana khusus, maka tindak pidana korupsi
mempunyai kekhususan tertentu, ditinjau dari aspek hukum acara dan hukum
materialnya8
.
Kemudian literatur keislaman yang berkaitan dengan masalah korupsi
adalah buku yang berjudul Al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam tulisan Dr.
Muhammad Yusuf al-Qardawi. Dalam sub bab hubungan masyarakat, pada bagian
hurmah al-amwal (melindungi harta benda) menekankan bahwa Islam
membenarkan hak milik pribadi, maka Islam akan melindungi hak milik tersebut
dengan undang-undang9
.
Adapun yang berbicara tentang suap dijelaskan di dalam buku at-Ta’zir fi
Asy-Syari’ah Al-Islamiyah karya Abd Al-Azis Amir. Suap dikategorikan sebagai
salah satu bentuk jarimah ta’zir. Dalam buku tersebut hanya mencontohkan kasus
penyuapan terhadap hakim yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana supaya
hukumannya diringankan. Selanjutnya al-Mawardi dalam al-Ahkam as-
Sultaniyah10
menyebutkan bahwa perbuatan tindak pidana yang menurut
7 Robert Klitgaard, Controlling Corruption, diterjemahkan oleh Hermoyo dengan
Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998)
8 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000)
9 Muhammad Yusuf al-Qardawi, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut: Al Maktab
al-Islami, 1994), hlm. 298.
10 al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultaniyah, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1973) hlm. 219.
5
6. ketentuan-ketentuan syara’ adanya larangan yang diancam dengan hukuman had
dan ta’zir, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai tindak pidana
apabila diancamkan hukuman terhadapnya.
Sebuah skripsi yang ditulis Nurul Khoiriyah Darmawati11
, berjudul
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyimpulkan bahwa korupsi
digolongkan ke dalam jarimah ta’zir yang macam dan batasan hukumnya
diserahkan kepada penguasa selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syari’ah serta dapat mewujudkan al maslahah al ‘ammah. Di samping itu, UU
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Kemudian ada buku yang ‘sepertinya’ berasal dari kumpulan ceramah
berjudul Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama diterbitkan oleh LP3 UMY12
.
Buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut menjelaskan tentang korupsi
dari sudut pandang agama-agama, tetapi lebih menekankan kepada aspek
moralnya saja. Dengan kata lain, pemberdayaan agama untuk menjalankan
fungsinya sebagai moral force dalam rangka pemberantasan korupsi.
11 Nurul Khoiriyah Darmawati, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta, skripsi Fak.
Syari’ah, 2004) tidak diterbitkan.
12 Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M. Ag. Dkk, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama,
(Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat
Beragama untuk Antikorupsi, 2004)
6
7. METODOLOGI
Dalam membedah korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam
perspektif hukum Islam penulis menggunakan kerangka teori pembagian jinayah
atau jarimah dalam hukum pidana Islam. Jinayah dalam hukum Islam merupakan
tindakan yang dilarang oleh syara’ karena bisa menimbulkan bahaya bagi jiwa,
harta, keturunan, dan akal. Sementara pengertian jarimah, menurut al-Mawardi:
“Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau
ta’zir”13
.
Jinayah atau jarimah dalam ketentuan hukum Islam memiliki sanksi yang
berupa had dan ta’zir. Perbedaannya had ketentuan sanksinya sudah dipastikan
oleh nash sementara ta’zir pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya
kepada penguasa.
Menurut Makhrus Munajat,14
apa yang menyebabkan suatu perbuatan
dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu
sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan
atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang
kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara dan dihormati serta
dilindungi. Suatu sanksi diterapkan kepada pelanggar syara’ dengan tujuan agar
seseorang tidak mudah berbuat jarimah. Korupsi adalah perbuatan yang sangat
merugikan baik kepada individu, masyarakat, dan negara. Bahkan dampak yang
ditimbulkan dari perilaku korupsi begitu luas terhadap moral masyarakat (al
13 al Mawardi, Al-Ahkam…, hlm. 219.
14 Drs. Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2004), hlm. 5.
7
8. akhlak al karimah), kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pantas
kalau korupsi dalam hukum positif dimasukkan sebagai ‘extraordinary crime’,
kejahatan luar biasa.
Setelah menyebutkan pembagian jinayah dan jarimah dalam hukum Islam
penulis kemudian menelusuri tujuan-tujuan pemidanaan dalam Islam yaitu untuk
menjaga hak-hak asasi manusia yang lima; jiwa, agama, akal, harta dan keturunan.
Untuk mendukung teori ini penulis menggunakan pendekatan normatif dengan
cara mencari norma-norma dalam hukum Islam baik berupa teks al-Qur’an
maupun hadis Nabi yang berkaitan dengan korupsi dan pemberantasannya.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah melakukan
konstruksi pemikiran dengan berpijak pada konsep umum tentang korupsi dan
pemberantasannya lalu memformulasikannya dalam bentuk kesimpulan-
kesimpulan yang bersifat khusus, parsial dan kasuistik yakni kasus korupsi dan
pemberantasannya di Indonesia. Langkah selanjutnya adalah menganalisis data-
data yang terkumpul, yaitu pertama, menganalisis data-data mengenai korupsi dan
pemberantasannya di Indonesia yang terkumpul sebagai dasar dalam penarikan
kesimpulan. Kedua, menganalisis seperangkat postulat hukum Islam yang bisa
dinisbatkan dengan korupsi untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan kasus
korupsi di Indonesia.
8
9. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perspektif Hukum Islam Mengenai Korupsi dan
Pemberantasannya di Indonesia
Islam datang untuk membebaskan dan memerangi sistem ketidakadilan
bukan malah untuk melegalkan praktik-praktik yang melahirkan eksploitasi
dan ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus diperangi
Islam karena dapat menimbulkan masalah besar.
Tindak korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan.
Oleh karena itu, tindakan korupsi adalah perbuatan salah. Dalam hukum Islam,
perbuatan dosa atau perbuatan salah disebut jinayah15
atau jarimah16
. Abd al-
Qodir Awdah mendefinisikan Jinayah: “Perbuatan yang dilarang oleh syara’
baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya”17
. Jadi jinayah
merupakan tindakan yang dilarang oleh syara’ karena bisa menimbulkan
bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sementara mengenai pengertian
jarimah, al-Mawardi mendefinisikannya: “Larangan-larangan syara’ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”18
.
Jinayah atau jarimah dalam ketentuan hukum Islam memiliki sanksi
yang berupa had dan ta’zir. Perbedaannya had ketentuan sanksinya sudah
dipastikan oleh nash sementara ta’zir pelaksanaan hukumannya diserahkan
sepenuhnya kepada penguasa.
15 Luwis Ma’luf, al-Munjid, (Bairut: Dar al-Fikr, 1954) ham. 88
16 Ahmad Hanafi, Asas-asa Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 2
17 Abd al-Qodir Awdah, at-Tasyri’al-Jinai al-Islami, (Bairut: Dar al-Kutub, 1963), I: 67
18 al Mawardi, Al-Ahkam…, hlm. 219
9
10. Menurut Makhrus Munajat,19
apa yang menyebabkan suatu perbuatan
dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu
sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-
kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain
sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara dan
dihormati serta dilindungi. Suatu sanksi diterapkan kepada pelanggar syara’
dengan tujuan agar seseorang tidak mudah berbuat jarimah. Korupsi adalah
perbuatan yang sangat merugikan baik kepada individu, masyarakat, dan
negara. Bahkan dampak yang ditimbulkan dari perilaku korupsi begitu luas
terhadap moral masyarakat (al akhlak al karimah), kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh sebab itu, pantas kalau korupsi dalam hukum positif
dimasukkan sebagai ‘extraordinary crime’, kejahatan luar biasa.
Meskipun tindak korupsi secara jelas merupakan perbuatan salah dan
termasuk kategori jinayah atau jarimah namun secara jelas syara’ tidak
menyebutkan kata ‘korupsi’ dalam nash-nash baik al-Qur’an maupun hadis.
Oleh karena itu, maka dibutuhkan ‘ijtihad’ misalnya dengan menggunakan
metode qiyas (analogi) untuk menemukan persamaan korupsi dalam literatur
19 Drs. Makhrus Munajat, Dekonstruksi…, hlm. 5
10
11. hukum Islam, melihat unsur-unsur umum-khusus jarimahnya20
, dan
menentukan sanksinya.
Sejauh penelitian penulis, kata korupsi secara literer memang tidak
ditemukan dalam khasanah Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa
dicari dan ditelusuri dalam Islam. Tindakan korupsi bisa dianalogikan dengan
Ghulul, sariqoh, pengkhianatan dan risywah, untuk lebih jelsnya akan kami
uraikan satu demi satu berikut ini:
Pertama Ghulul. Ghulul adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan
adalah amanah, oleh sebab itu, penyalahgunaan terhadap amanah hukumnya
haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan ghulul misalnya menerima
hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya
dia terima. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan
sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil
lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi”. (H. R. Abu
Daud).21
Jadi semua komisi atau hadiah yang diterima seorang petugas atau
pejabat dalam rangka menjalankan tugasnya bukanlah menjadi haknya.
Misalnya seorang staf sebuah kantor pemerintahan dalam pembelian inventaris
20 Unsur-unsur umum jarimah meliputi 1) unsur formil, yaitu setiap perbuatan tidak
dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nash atau undang-
undang yang mengaturnya. Dalam hukum positif biasanya disebut asas legalitas. 2) unsur materiil,
yaitu adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun
sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana Islam disebut ar-rukn al-madi. Dan 3) unsur
moril, yaitu pelaku jarimah adalah orang yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap
jarimah yang dilakukannya. Dalam hukum pidanan Islam unsur ini disebut ar-ruknu al-adabi.
Sementara unsur khusus adalah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah) tertentu
dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu dengan jenis jarimah yang lainnya.
Baca Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’…, I: 121, Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli
Sunnah Wa al Jama’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968) hlm. 48, dan Ahmad Hanafi, Asas-asas…
hlm. 36.
21 Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nailu al-Authar, Juz VIII., (Kairo”
Dar al-Hadits, t.t.), hlm. 278.
11
12. kantornya dia mendapat discount dari si penjual, maka discount tersebut
bukanlah menjadi miliknya, tetapi menjadi milik kantor. Contoh lainnya yang
sering terjadi adalah seorang pejabat menerima hadiah dari calon tender
supaya calon tender yang memberi hadiah tersebut yang mendapat tender
tersebut. Hal inilah yang terjadi pada anggota KPU.
Ghulul juga adalah pencurian dana (harta kekayaan) sebelum
dibagikan, termasuk di dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial22
.
Contohnya adalah kasus pencurian Farid Faqih cs. (terlepas benar tidaknya)
terhadap barang-barang bantuan yang seharusnya diserahkan kepada korban
bencana alam berupa gempa dan tsunami di Aceh.
Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan
kolutif misalnya mengangkat orang-orang dari keluarga, teman atau sanak
kerabatnya yang tidak memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan
tertentu, padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki
jabatan tersebut.
Kedua sariqah (pencurian). Menurut Syarbini al-Khatib yang disebut
pencurian adalah mengambil barang secara sembunyi-sembunyi di tempat
penyimpanan dengan maksud untuk memiliki yang dilakukan dengan sadar
atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-syarat tertentu.23
Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu,
Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang.24
Orang
22 Syekh Muhammad al-Hamid, Rudud ‘ala Abathil, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
1997), hlm. 126.
23 Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Mesir: dar al-Bab al-halabi wa Awladuhu,
1958), hlm. 158.
24 Muhammad Yusuf al-Qardawi, Al-Halal…, hlm. 298.
12
13. yang melakukan pencurian berarti ia tidak sempurna imannya karena seorang
yang beriman tidak mungkin akan melakukan pencurian sebagaimana sabda
Rasulullah SAW.: “Pencuri tidak akan mencuri ketika dia dalam keadaan
beriman”25
Pencurian uang negara juga tidak boleh karena uang tersebut adalah
untuk kesejahteraan umum di mana umat Islam bisa mengambil manfaat
darinya. Dalam konteks Indonesia, umat Islam-lah yang paling banyak akan
memanfaatkan uang tersebut karena mereka adalah mayoritas. Namun
demikian umat non-Muslim juga berhak memanfaatkan uang negara tersebut
karena Islam menyuruh supaya memenuhi hak-hak mereka secara sempurna
dan tidak dikurangi dan supaya hidup damai berdampingan dengan mereka
dan saling menjaga jiwa dan harta mereka.26
Yang paling ironis apabila pencurian yang dilakukan oleh petugas atau
pejabat yang berwenang untuk mengurus uang atau kekayaan negara. Oleh
karena itu, menurut hukum Islam petugas atau pejabat yang bertugas
mengurus uang tersebut apabila melakukan pencurian dia berdosa dan
kesalahannya jauh lebih besar dan lebih banyak dan ia termasuk golongan
orang yang berkhianat, karena menjaga amanat termasuk kewajiban Islam dan
khianat dilarang secara mutlak.
Ketiga Khianat. Khianat adalah tidak menepati amanah, ia merupakan
sifat tercela. Sifat khianat adalah salah satu sifat orang munafiq sebagaimana
sabda Rasulullah SAW. bahwa tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu
25 Ibn Hajar al-Asqolani, Fathu al-Bari, Juz 12, (ttp., al-Maktabah al-Salafi, tth.) hlm.
81.
26 Syekh Muhammad al-Hamid, Rudud ‘ala Abathil…, hlm. 126.
13
14. apabila berkata berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila diberi amanah
berkhianat.
Oleh karena itu, Allah SWT. sangat membenci dan melarang khianat.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.27
Menurut ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, khianat
adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan
kepadanya. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar
atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak
perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu’amalah.28
Jarimah
khianat terhadap amanah adalah berlaku untuk setiap harta bergerak baik jenis
dan harganya sedikit maupun banyak.29
Orang-orang yang beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan
seandainya mereka dikhianati, Rasulullah melarang untuk membalasnya
dengan pengkhianatan pula. Sabda beliau:
“Sampaikan amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangan
berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu” (H. R. Ahmad dan Abu
Daud)30
27 Al-Anfal 8: 27.
28 Abd. Azis Dahlan (et all.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, Cet. 1, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 913.
29 Ahmad Abu al-Rus, Jara’im al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khianat al-Amanah wa al-
Syaik Bi Duuni Rasiid, (Iskandariyah, al-Maktabah al-Jami’i al-Hadits, 1997), hlm. 580.
30 CD-ROM Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif, Edisi 1,2, Syarikah Shakhr Libarmij al-
Hasib, 1991.
14
15. Ketiga risywah. Secara harfiyah, suap (risywah) berarti “batu bulat
yang jika dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara
apapun”.31
Jadi suap bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut
Ibrahim an-Nakha’i suap adalah “Suatu yang diberikan kepada seseorang
untuk menghidupkan kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran”.
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mendefinisikan suap dengan
“Memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan
maslahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa
menunggu imbalan atau uag tip”.32
Sedangkan menurut terminologi fiqh, suap adalah “segala sesuatu
yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim
agar ia memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan) nya atau agar ia
mengikuti kemauannya”.33
Dasar hukum pelanggaran suap adalah firman Allah SWT.:
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong,
banyak memakan yang haram”.34
Baik yang menyuap maupun yang disuap dua-duanya dilaknat oleh
Rasulullah SAW. sebagai bentuk ketidaksukaan beliau terhadap perbuatan
keduanya. Rasulullah SAW. bersabda:
“Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap”.35
31 Muhammad Al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz II, (Kairo: Dar al-Qawmiyyah, 1964),
hlm. 1.
32 Abu Abdul Halim Ahmad. S., Suap Dampak Dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet 1,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), hlm. 20-21.
33 Muhammad Amin Ibn Abidin, Rad al Mikhtar Ala al Dar al Mukhtar Hashiyat Ibn
Abidin, juz VII, (Beirut: Dar al Ihya’, 1987), hlm. 5.
34 Al-Maidah: 5: 42.
15
16. Riwayat yang lain, at-Tabrani dalam Al-Kabir-nya dari Tsaubah r.a.
berkata:36
“Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap dan si perantara.
Artinya orang yang menjadi perantara suap bagi keduanya”.
Suap dengan segala bentuknya haram hukumnya. Di antara bentuk
suap adalah hadiah. Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah.
Bahkan termasuk hadiah yang diharamkan bagi seorang pejabat yang meski
tidak sedang terkait perkara atau urusan, telah membiasakan saling memberi
hadiah jauh sebelum menjadi pejabat, namun setelah menduduki jabatan
terjadi peningkatan volume hadiah dari kebiasaan sebelumnya.37
Seorang
pejabat juga haram menerima hadiah dari seseorang yang jika bukan karena
jabatannya, niscaya orang tersebut tidak akan memberikannya.38
Umar bin Abdul Aziz suatu ketika diberi hadiah oleh seseorang tapi
ditolaknya karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Orang yang
memberi hadiah kemudian berkata: “Rasulullah pernah menerima hadiah”.
Lalu Umar menjawab: hal itu bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi bagi kita
itu adalah risywah (suap)”.39
Pokoknya setiap hadiah yang diberikan kepada
pejabat karena posisinya sebagai seorang pejabat tidak boleh diterima dan
haram hukumnya karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang menjabat dan
hanya tinggal di rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang memberinya
hadiah. Seorang pejabat diperbolehkan menerima hadiah dengan catatan si
35 CD-ROM Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif, Edisi 1,2, Syarikah Shakhr Libarmij al-
Hasib, 1991. lihat juga di kitab Shohih Ibn Hibban hlm. 457.
36 Abu al-Qasim Sulayman ibn Ahmad at-Tabrani, al-Mu’jam al-Kabir, editor: Hamdi
‘Abd al-Majid al-Salafi, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1985)
37 Muhammad Amin Ibn Abidin, Rad al Mikhtar, juz IV, hlm. 34.
38 Ibid., Juz V, hlm. 373.
39 Muhammad Yusuf al-Qardawi, Al-Halal, hlm. 230.
16
17. pemberi hadiah bukan orang yang sedang terkait perkara dan urusan
dengannya.
Jika seseorang kehilangan haknya dan dia hanya bisa mendapatkan hak
tersebut dengan cara menyogok atau seseorang tertindas, ia tidak mampu
menolaknya kecuali dengan menyogok, maka lebih baik ia bersabar sampai
Allah memudahkan baginya kepada jalan terbaik untuk menghilangkan
ketertindasan tersebut dan bisa memperoleh haknya. Tetapi apabila tetap
menggunakan sogok dalam kondisi seperti itu, maka dosanya ditanggung
orang yang menerima sogok sedangkan orang yang menyogok tidak berdosa.
Para ulama’ sebagian besar mendasarkan pendapat tersebut kepada hadits
orang-orang yang menjilat yang meminta zakat kepada Nabi kemudian Nabi
memberi kepada mereka padahal mereka tidak berhak. Diriwayatkan dari
Umar, Nabi bersabda:
“Apabila salah satu di antara kamu mengeluarkan zakat dari sisiku
dengan cara mengempitnya―membawa zakat tersebut di bawah
ketiaknya―sesungguhnya zakat itu baginya adalah api! Wahai
Rasulullah bagaimana anda memberikan kepadanya padahal anda
tahu bahwa zakat itu baginya adalah api? Rasulullah mejawab: apa
yang harus aku lakukan? Mereka menolak kecuali masalahku dan Allah
menolak kekikiran untukku”.40
Dengan demikian, kalau konsep-konsep tersebut di atas
dikontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia maka bisa diklasifikasikan
menjadi empat macam. Pertama, apabila korupsi uang negara dilakukan oleh
pejabat yang diberi amanat mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan
ghulul. Contohnya bisa kita lihat dalam kasus korupsi dana haji, BLBI, kasus-
40 CD-ROM Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif, Edisi 1,2, Syarikah Shakhr Libarmij al-
Hasib, 1991.
17
18. kasus korupsi anggota DPR/DPRD, kemudian yang masih hangat (ketika
penelitian ini dilakukan) penyalahgunaan wewenang anggota KPU dalam
masalah tender proyek PEMILU 2004 yang lalu dan kasus-kasus lainnya.
Kedua, apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang tidak diberi
amanat mengelola dengan cara mengambil dari tempat simpanan, maka
dikategorikan pencurian dan ghulul. Bentuk seperti ini bisa kita lihat misalnya
pada kasus illegal logging yang telah merugikan uang negara trilliunan rupiah,
kasus pencurian Farid Faqih cs. terhadap barang-barang bantuan kemanusiaan
untuk korban gempa dan tsunami di Aceh dan lain sebagainya. Ketiga, apabila
korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang diserahi uang atau barang dan
dia tidak mengakui menerima uang atau barang tersebut, maka dikategorikan
ghulul dan pengkhianatan. Bentuk korupsi seperti ini biasanya sangat mungkin
terjadi pada dana-dana bantuan kemanusiaan yang seharusnya disalurkan
kepada korban bencana. Masih segar dalam ingatan kita kasus Akbar Tanjung
yang telah menyelewengkan uang negara sebesar 40 miliar yang seyogyanya
dana tersebut untuk bantuan terhadap rakyat yang sedang tertimpa krisis
moneter. Dana tersebut malah diselewengkan untuk membiayai partainya pada
Pemilu 1999 yang lalu. Keempat, apabila warga biasa memiliki prakarsa untuk
mengeluarkan dana, hadiah, jasa atau barang lainnya sebagai suap (bribery)
kepada pejabat untuk memperlancar atau untuk memenuhi
tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa datangnya dari pejabat atau
aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka kedua hal
tersebut termasuk kategori risywah. Hal yang semacam ini yang menimpa
18
19. anggota KPU, Mulyana W Kusumah dan juga pengacara Gubernur Nangroe
Aceh Darussalam, Abdullah Puteh dalam kasus mark up pembelian helikopter
untuk operasional PEMDA Nangroe Aceh Darussalam.
Dengan mengetahui kategorisasi dan persamaan korupsi dalam terma
Islam atau hukum Islam kita bisa menentukan sanksi-sanksinya. Semisal kalau
korupsi kita kategorikan pencurian, al-Qur’an secara jelas telah menjelaskan
sanksinya yaitu potong tangan meskipun menurut Syahrur teks tersebut
mengandung pengertian hukuman dalam batas maksimal41
. Tapi bukankah
tindakan korupsi juga mengandung unsur pemberatan dengan melihat dampak
yang ditimbulkannya. Dalam KUHP Indonesia disebutkan bahwa
penyalahgunaan jabatan dan penggunaan atribut kebangsaan ketika melakukan
tindak pidana sanksinya bisa ditambah sepertiga.42
Menurut penulis, untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia dari
sudut pandang hukum Islam paling tidak ada empat usaha yang harus segera
dilakukan. Empat usaha tersebut adalah: pertama, memaksimalkan hukuman.
Pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena termasuk
jarimah ta’zir maka hakim yang menentukan. Hakim bisa berijtihad dengan
tetap mengacu kepada tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman,
kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta
41 Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus: al-
Ahali li at-Taba’ah wa an-Nashr wa at-tawzi’, 1990, hlm. 455
42 KUHP pasal 52 menyatakan: Bilamana seorang pejabat, karena melakukan perbuatan
pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan
pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya,
pidananya dapat ditambah sepertiga. Kemudian pasal 52a menyatakan: Bilamana pada waktu
melakukan kejahatan, digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan
tersebut dapat ditambah sepertiga.
19
20. kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi
dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.43
Hakim juga bisa merujuk atau menjadikan bahan pertimbangan
bentuk-bentuk sanksi mengenai korupsi yang ada dalam hukum Islam.
Misalnya kalau penyalahgunaan wewenang atau jabatan (ghulul) sanksinya
adalah membakar hartanya, memukul dan atau mengarak keliling pelakunya
bahkan bisa sampai hukuman mati.
Kedua, Penegakan Supremasi hukum. Untuk memberantas korupsi di
Indonesia hukum harus tegak, lembaga peradilan harus amanah dan bebas dari
segala intervensi siapapun, sebagai benteng terakhir para pencari keadilan,
lembaga peradilan harus memberikan jaminan rasa adil bagi setiap warga
tanpa pandang bulu.
Ketiga, Perubahan dan Perbaikan Sistem. Pemberantasan korupsi
sangat erat kaitannya dengan sistem birokrasi yang jelimet di Indonesia dan
sistem hukum, oleh karena itu keduanya harus segera dibenahi.
Keempat, Revolusi kebudayaan (mental). Untuk memberantas tindakan
korupsi tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan revolusi kebudayaan,
yakni dengan mengubah secara fundamental tata pikir, tata kesadaran dan tata
perilaku sebagai akar budaya politiknya.
43 Abd. Azis Dahlan (et all.), Ensiklopedi, hlm. 976.
20
21. KESIMPULAN
Sebagai hasil dari penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Konsepsi hukum Islam tentang korupsi khususnya di Indonesia paling tidak
ada empat, yaitu ghulul (penyalahgunaan wewenang), sariqah (pencurian atau
penggelapan), khianat, dan risywah (suap atau sogok).
2. Apabila korupsi uang negara dilakukan oleh pejabat yang diberi amanat
mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan ghulul. Apabila korupsi uang
negara dilakukan oleh orang yang tidak diberi amanat mengelola dengan cara
mengambil dari tempat simpanan, maka dikategorikan pencurian dan ghulul.
Kemudian apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang diserahi
uang atau barang dan dia tidak mengakui menerima uang atau barang tersebut,
maka dikategorikan ghulul dan pengkhianatan. Terakhir apabila warga biasa
memiliki prakarsa untuk mengeluarkan dana, hadiah, jasa atau barang lainnya
sebagai suap (bribery) kepada pejabat untuk memperlancar atau untuk
memenuhi tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa datangnya dari
pejabat atau aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka
kedua hal tersebut termasuk kategori risywah.
3. Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela di Indonesia paling tidak
ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu: pertama,
Memaksimalkan hukuman. Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Ketiga,
Perubahan dan Perbaikan Sistem. Keempat, Revolusi Kebudayaan (mental).
21
22. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. S., Abu Abdul Halim, Suap Dampak Dan Bahyanya Bagi Masyarakat,
Cet 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996.
al Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1973
al-Asqolani, Ibn Hajar, Fathu al-Bari, Juz 12, ttp., al-Maktabah al-Salafi, tth.
Alatas, Syed Hussein, Corruption and Destiny of Asia, Simon and Schuster,
Malaysia, 1999.
al-Azhari, Muhammad, Tahdzib al-Lughah, juz II, Kairo: Dar al-Qawmiyyah,
1964.
al-Hamid, Syekh Muhammad, Rudud ‘ala Abathil, Beirut: al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, 1997.
al-Khatib, Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Mesir: dar al-Bab al-halabi wa Awladuhu,
1958.
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, Mesir: Dar al-Bab al-halabi, 1973.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf, Al-Halal wa al-Haram,ttp: Dar Ihya’ al Kitab
al-‘Arabiyah, tt.
al-Rus, Ahmad Abu, Jara’im al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khianat al-Amanah wa
al-Syaik Bi Duuni Rasiid, Iskandariyah, al-Maktabah al-Jami’i al-
Hadits, 1997.
al-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Nailu al-Authar, Juz VIII.,
Kairo” Dar al-Hadits, t.t.
at-Tabrani, Abu al-Qasim Sulayman ibn Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir, editor:
Hamdi ‘Abd al-Majid al-Salafi, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi,
1985
Awdah, Abd al-Qodir, at-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, juz I, Bairut: Dar al-Kutub,
1963
CD-ROM Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif, Edisi 1,2, Syarikah Shakhr Libarmij al-
Hasib, 1991.
Dahlan, Abd. Azis (et all.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, Cet. 1, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Darmawati, Nurul Khoiriyah, Tinjauan Hukum Islam terhadap Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Yogyakarta, skripsi Fak. Syari’ah, 2004. Skripsi tidak diterbitkan.
Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1984
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
http: / b.domaindlx.com / samil / 2004 / read news. tajuk.
http: //www.hizbut.tahrir.or.id/modules.php.
Ibn Abidin, Muhammad Amin, Rad al Mikhtar Ala al Dar al Mukhtar Hashiyat
Ibn Abidin, juz VII, Beirut: Dar al Ihya’, 1987.
22
23. Ilyas, H. Yunahar, Dkk, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama, Yogyakarta:
LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi
Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, 2004
Klitgaard, Robert, Controlling Corruption, diterjemahkan oleh Hermoyo dengan
Membasmi Korupsi, Cet. 2, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Kompas, 4 Maret 2004
Ma’luf, Luwis, al-Munjid, Bairut: Dar al-Fikr, 1954
Moeljatno, Prof., SH., KUHP, cet. ke-20, Jakarta: Bumi Aksara, 1999
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2004
Swiba@gmx.de
Syahrur, Muhammad, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus:
al-Ahali li at-Taba’ah wa an-Nashr wa at-tawzi’, 1990
23