Dokumen ini membahas tentang silsilah dan sejarah beberapa tokoh ulama di Jawa Timur seperti Kiai Judel, Ki Ageng Manthoyib, Kiai Nurejo, dan Kiai Haji Muhammad Idris. Termasuk juga pengaruh Perang Jawa di beberapa kabupaten seperti Ponorogo, Pacitan, Madiun, dan Magetan.
1. SEJARAH LOKAL DAN TRADISI LISAN
Tentang
BABAD
TEMPUREJO
Tempuran Paron Ngawi Jawa Timur
Miftaqurrohman
Nailiya Sa’idah
2. Sejarah Lokal dan Tradisi Lisan
tentang
BABAD TEMPUREJO
Tempuran Paron Ngawi Jawa Timur
Miftaqurrohman
Nailiya Sa’idah
3. xix
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ~ i
Daftar Isi ~ xix
Bagian ke-1 : KADIPATEN GADINGREJO: MERUNUT
KEMBALI SEBUAH KENANGAN
SEJARAH ~ 1
A. Sejarah Kabupaten Gadingrejo (1604-1611 M) ~ 1
B. Kisah Rondo Darang dan Kyai Dugel Kesambi ~ 4
C. Tempat-Tempat Bersejarah Di Wilayah Gadingrejo
~ 6
1. Sri Gading: Nyai Sri Gading dan Mbah Abdullah
~ 6
2. Kanjengan: Kanjeng Gading ~ 8
3. Bedali: Nama Petilasan Ki Ageng Kutu ~ 10
4. Judel: Menyingkap Kisah Hidup Kiai Judel ~ 12
5. Krapyak: Menyingkap Sosok Kiai Krapyak ~ 15
D. Penyimpulan Penulis ~ 17
E. Citra Desa Campursari dalam Sebuah Lagu ~ 24
Bagian ke-2 : KIAI JUDEL (MUHAMMAD ABDUL
JAWAHIR) ~ 25
A. Asal-Usul Kiai Judel ~ 25
B. Hijrah Ke Bedali-Tamansari (Tahun 1790 M.) ~ 28
4. xx
C. Hijrah ke Purwosari-Gelang Lor (Tahun 1836 M.)
~ 36
D. Kehidupan Kiai Judel ~ 40
E. Mengenal Jambu Klampok ~ 42
F. Thoriqoh Akmaliyah ~ 43
Bagian ke-3 : KELUARGA KI AGENG MANTHOYIB
(IMAM THOYIB) ~ 47
A. Asal-Usul Ki Ageng Manthoyib ~ 47
B. Mbah Muhyi Membabad Bakalan ~ 51
C. Mbah Nurejo Kakak Peripean Mbah Muhyi ~ 55
D. Perkampungan Wetan Kali Bengawan ~ 57
Bagian ke-4 : PENGARUH PERANG JAWA DI
MATARAMAN ~ 61
A. Periodisasi Perang Jawa ~ 61
1. Perang Jawa I (1741-1743) ~ 61
2. Perang Jawa II (Agustus-September 1811) ~ 63
3. Perang Jawa III (1825-1830) ~ 65
B. Perjanjian Gianti (1755 M.) ~ 66
C. Pengaruh Suasana Perang Jawa (1825-1830 M.)
Di Mataraman ~ 67
D. Ponorogo: Ki Batoro Katong Hingga
Babad Sumoroto ~ 70
E. Pacitan: Wengker Kidul hingga Pasca
Palihan Nagari ~ 81
F. Madiun: Sejarah Pergolakan dan Tanah Sima ~ 86
G. Magetan: Masa Babad Hingga Pasca
Perang Jawa ~ 94
5. xxi
Bagian ke-5 : MENELUSURI AKAR SEJARAH
“NGAWI RAMAH” ~ 98
A. Ngawi dalam Kenangan Masa Silam ~ 98
B. Perjanjian Sepreh (1830) ~ 105
C. Daftar Nama-nama Bupati Ngawi ~ 108
D. Ngawi dalam Rengkuhan Para Pejuang
dan Ulama’-Santri ~ 109
1. Raden Patih Pringgokusumo ~ 109
2. K.R.T.A. Arya Kertonegoro ~ 111
3. Kiai Haji Muhammad Nur Salim ~ 115
4. Kiai Haji Siroj (Ngale) ~ 117
Bagian ke-6 : BABAD TEMPUREJO: MENGUNGKAP
SOSOK KIAI NUREJO ~ 122
A. Asal-Usul Nama Desa ~ 122
B. Asal Usul Kiai Nurejo ~ 126
C. Lingkungan Kali Tempuk (Tempuran) ~ 131
D. Gambaran Daerah Kulon Kali Tempuran ~ 134
E. Perkiraan Tahun Babad ~ 137
F. Membabad Tempurejo ~ 141
1. Laku Tirakat ~ 141
2. Mencari Alas Malang ~ 143
3. Wit Waung ~ 146
4. Di antara Wit Serut dan Wit Ploso ~ 148
5. Nundhung Lelembut ~ 152
6. Mbah Sarijan: Paman dan Mitra Mbah Nurejo
ingkang kajibah numbali ~ 155
7. Sesumbare Wong Etan Kali ~ 159
8. Mbah Nurejo: Menjadi Kamisepuh
Tiga Dusun ~ 160
9. Iman Asmo (Ki Somo) bin Nurejo: Lurah tanpa
SK ~ 164
6. xxii
10. Sebuah Permainan ~ 169
11. Pusaka Mbah Nurejo ~ 172
12. Tidak Bisa ditembus Suara Gong ~ 174
13. Sifat-sifat Kiai Nurejo ~ 176
14. Sosok Mbah Abdul Rohman Cepiring ~ 178
15. Versi Lain dalam Babad Tempurejo ~ 181
16. Ingkang Kawestanan Mbabad ~ 185
Bagian ke-7 : KIAI HAJI MUHAMMAD IDRIS: KAJI
SEPUH TEMPUREJO ~ 188
A. Asal-Usul K.H. Muhammad Idris ~ 188
B. Silsilah K.H. Muhammad Idris Dan Nyai Siti
Hasanah ~ 194
C. Putra-Putri K.H. Muhammad Idris ~ 195
D. Pribadi K.H. Muhammad Idris ~ 196
E. Perjuangan Naik Haji: Memberi Teladan Putra-
Putranya ~ 198
F. Visi-Misi K.H. Muhammad Idris ~ 204
G. Wakaf Mbah Idris: Warisan Yang Harus Dikelola
dengan Manajemen Pengembangan ~ 205
H. Nama “Fie Sabilil Muttaqien” (FSM) ~ 204
I. Riwayat Singkat Berdirinya Madrasah ~ 212
J. Haul K.H. Muhammad Idris ~ 218
Bagian ke-8 : MENELUSURI SILSILAH LELUHUR
~ 221
A. Silsilah Kiai Muhammad Abdul Jawahir (Mbah
Judel) ~ 221
B. Silsilah Ki Ageng Manthoyib (Imam Thoyib)
~ 222
C. Silsilah Kiai Nurejo ~ 222
7. xxiii
D. Silsilah Kiai Imam Muhyi (Mbah Muhyi) ~ 223
E. Silsilah Kiai Haji Muhammad Idris (Mbah Idris)
~ 223
F. Silsilah Kiai Abdul Rohman Cepiring Ponorogo
~ 223
G. Silsilah Kiai Nur Salim Benteng Pendem Ngawi
~ 223
H. Silsilah K.H. Muhammad Siroj Ngale ~ 223
Bagian ke-9 : MEMAKNAI SEJARAH LAKU
PARA LELUHUR ~ 226
A. Faham Sejarah Menjadi Syarat Sebuah Kejayaan
~ 226
B. Bagaimanapun, Para Pendahulu Tetap Lebih
Utama ~ 230
C. Sirna Ilang Kertaning Bumi: Sebuah Refleksi
Sejarah. ~ 237
D. Syi'iran Nashihat Lil Maghfurlah Kiai Haji Raden
(K.H.R.) Asnawi Kudus ~ 242
E. Syi’ir Pujian “Sangkan Paraning Dumadi” Karya
K.H. Ali Ma’shum Krapyak-Yogyakarta ~ 252
F. Wasito Sang Wisnu Murti ~ 255
Bagian ke-10 : PENUTUP ~ 257
A. Kesimpulan ~ 257
B. Saran ~ 259
C. Rekomendasi ~ 260
Daftar Pustaka ~ 264
Riwayat Penulis ~ 275
8. 25
BAGIAN KE-2
KIAI JUDEL
(MUHAMMAD ABDUL JAWAHIR)
A. Asal-Usul Kiai Judel
Nama asli Kiai Judel (pengucapan Jawa: Judel)
atau yang akrab disebut Mbah Judel adalah Kiai
Muhammad Abdul Jawahir. Beliau lahir diperkirakan
tahun 1750 an.1
Tentang asal-usulnya terdapat beberapa
versi, di antaranya yaitu:
Mbah Judel adalah seorang prajurit (sumber lain
mengatakan senopati) perang Pangeran Diponegoro dari
tanah Bagelen Yogyakarta. Karena kalah perang akhirnya
1Asumsi tentang tahun kelahirannya ini didasarkan pada sinkronisasi catatan
silsilah yang ditulis oleh Bapak Syahid bin Juremi dengan Bapak Sutedjo bin
Hardjodinomo dan Bapak Sugeng bin Yanudi Melikan. Catatan pertama berupa
tulisan tangan yang mencoba memadukan nasab Mbah Judel ke atas dari jalur
para Nabi dan jalur para Dewa dan Raja-raja Jawa. Sedangkan catatan kedua
berupa buku silsilah dengan menjadikan Mbah Judel sebagai pusat dengan
jalur-jalur keturunannya ke bawah. Buku ini berjudul Silsilah Keluarga Judelan
Ponorogo (Kiai Muhammad Abdul Jawahir), dipublikasikan di Melikan dengan
tanggal cetak 28 Jun 2009.
9. 26
melarikan diri ke daerah Bedali Tamansari Ponorogo,
kemudian pindah lagi dan menetap di Judelan Purwosari
Ponorogo. Pada saat melarikan diri beliau nawur kawulo
atau berbaur dengan masyarakat kecil menjadi rakyat
jelata, untuk menghilangkan jejak dari musuh-musuh
Pangeran Diponegoro. Menurut sumber lain, beliau adalah
seorang begawan (pujangga) kraton yang menjadi tempat
bertanya dan meminta pertimbangan tentang kebijakan-
kebijakan yang penting.
Versi lain mengatakan bahwa Beliau putra adipati
Muntilan-Magelang-Jawa Tengah.2
Beliau disuruh mondok
oleh orang tuanya. Di Pondok beliau mengaji berbagai
macam ilmu agama hingga mentok ilmu Tasawwuf.
Setelah selesai, beliau pulang ke Kadipaten. Menyaksikan
kehidupan Kadipaten yang tidak cocok dengan
keilmuannya, beliau berkata kepada Ayahnya: “Kulo pun
boten remen dados bangsawan romo.” Akhirnya yang
disuruh menjadi adipati adalah adiknya.3
Mbah judel
kemudian berniat mengembara mengamalkan ilmunya.
Pertama menuju daerah Bedali Campursari Sambit,
kemudian pindah untuk kedua kalinya ke Judelan
Purwosari Gelang Lor Sukorejo Ponorogo hingga akhir
hayatnya.
2Tentang putra Adipati Munthilan yang keberapa belum ada sumber yang jelas,
sehingga diperlukan penelusuran sejarah lebih lanjut.
3Sebagian kalangan menilai bahwa apa yang dilakukan Adipati Munthilan
tersebut merupakan salah langkah, karena dengan memondokkan putra
mahkotanya (Mbah Judel) menyebabkan dia tidak bernafsu lagi menjadi
penerus tahta ayahnya. Konon, pondok yang dimaksud adalah Pesantren
Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo. Jika benar demikian, maka beliau berguru
kepada Kiai Ageng Muhammad Besari, tokoh yang membabad desa Tegalsari
dan pendiri Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari. Oleh karenanya, setelah
selesai mondok kemudian pulang ke Munthilan dan tidak mau lagi tinggal di
sana, beliau kemudian pergi hijrah ke Ponorogo, tepatnya di Dusun Bedali,
sebelah timurnya Tegalsari.
10. 27
Berdasarkan catatan yang ada, Mbah Judel
memiliki tiga istri. Istri pertama (garwo sepuh) bernama
Nyai Sedrok, putri Kiai Amatsari dari Kebanaran
Ponorogo. Istri kedua (garwo pamadyo) belum diketahui
namanya, dari desa Ngimbang Pacitan dan masih
keturunan Ki Ageng Posong (R. Jaka Puring Mas/Ki
Ampok Boyo). Sedangkan istri ketiga adalah Eyang Njero
dari Danyang Sukosari Ponorogo. Sebagian sumber
mengatakan bahwa istri ketiga ini adalah seorang putri dari
Kiai Imam Puro Danyang.
Mbah Judel dengan Nyai Sedrok mempunyai tiga
anak, yaitu Nyai Supiyah, Kiai Muhammad Sarijan, dan
Nyai Khodijah. Nyai Supiyah dinikahkan dengan Kiai
Imam Thoyib (Ki Ageng Manthoyib) yang membabad
Desa (sekarang Dusun) Jogoragan Ngunut IV Ponorogo.
Kiai Muhammad Sarijan berpindah tempat dan membabad
Desa (sekarang Dusun) Melikan Tempuran Paron Ngawi.
Sedangkan Nyai Khodijah dinikahkan dengan Kiai
Awulawi yang membabad Desa (sekarang Dusun) Slote
Sukorejo Ponorogo.
Mbah Judel dengan garwo pamadyo dari desa
Ngimbang Pacitan mempuNyai enam anak, yaitu Nyai
Muhammad Iskak (istri dari Mbah Muhammad Iskak),
Nyai Kamjari (istri dari Mbah Kamjari),4
Nyai Juwari (istri
dari Mbah Juwari), Kiai Imam Raji (Eyang Rajah),5
Nyai
Estri (istri dari Kiai Kasan Tolabi, kemudian Kiai Josari),
dan Kiai Imam Juwair.
Mbah Judel dengan garwo terakhir mempuNyai
satu anak, yaitu Kiai Joyorejo yang menempati rumah
prabon ayahnya, Mbah Judel.
4Nyai Kamjari ini di usia sepuhnya memiliki kekuatan supra natural seperti
wali.
5Beliau dijuluki Eyang Rajah karena ahli dalam bidang rajah.
12. 47
BAGIAN KE-3
KELUARGA KI AGENG MANTHOYIB
(IMAM THOYIB)
A. Asal-Usul Ki Ageng Manthoyib
Ki Ageng Manthoyib atau lebih akrab disebut
Mbah Manthoyib (Imam Thoyib) adalah Prajurit Pangeran
Diponegoro dari Mataram. Beliau mulai bergabung pada
tahun 1827 M. di Mataram. Beliau adalah putra Ki Nur
Jaiman Karanglo Kota Gedhe Mataram (Yogyakarta), dan
Ki Nur Jaiman adalah putra dari Ki Ageng Pitono
Kembang Lampir.
Ki Ageng Pitono memiliki empat putra, yaitu Ki
Nur Jaiman, Ki Nur Hamdan, Ki Nur Shidiq, dan Ki Nur
Saed. Karena mereka termasuk pendukung dan pengikut
Pangeran Diponegoro, mereka melarikan diri. Ki
Nurjaiman dan Ki Nur Hamdan masih tetap di Mataram-
Yogyakarta, Ki Nur Shidiq ke kaki Gunung Lawu –ada
yang mengatakan di daerah Kendal-Ngawi-, dan Ki Nur
Saed ke Ponorogo lalu ke Melikan-Ngawi.
13. 48
Ki Nur Saed menikah dengan kakak kandung
perempuan (Mbak Yu) Mbah Judel, dan memiliki 8 anak.
Setelah istrinya meninggal, kemudian menikah lagi dan
memiliki 9 putra. Untuk keturunan dari istri kedua ini
banyak tersebar di daerah Ngawi, khususnya Nongkorejo
dan sekitarnya. Ki Nur Saed tergolong istimewa karena
memiliki umur hingga 175 tahun. Ketika meninggal, beliau
dimakamkan di Makam Islam Tempurejo sebelah timur
pesarean Mbah Muhammad Sarijan. Orang-orang yang
masih keturunan Nur Saed ini memiliki ciri khusus yaitu
memiliki garis-garis lurus (garit) pada kuku ibu jarinya.1
Melihat silsilah di atas, maka Mbah Nur Saed
adalah paman Mbah Manthoyib. Ikatan kekeluargaan
mereka dengan Mbah Njudhel semakin kuat ketika Mbah
Nur Saed menikah dengan Mbak Yu Mbah Njudhel dan
Mbah Manthoyib menikah dengan Mbah Supiyah, putri
pertama Mbah Njudhel. Sehingga antara Mbah Manthoyib
dan Mbah Nur Saed ada hubungan keponakan-paman dan
keponakan ipar-pak puh ipar (peripean).
Menurut sebagian sumber, Mbah Manthoyib
berpangkat Penatus yang membawahi seratus pasukan.
Pada awal mulanya wilayah tugas beliau di daerah
Mataram, kemudian berpindah ke wilayah ke
mancanegara wetan atau brang wetan tepatnya di Pacitan.
Ketika masih di Mataram, terjadi serangan oleh
pihak Belanda dan mengakibatkan beberapa rumah
penduduk dibakar. Di antara yang dibakar adalah rumah
Mbah Muhyi (Kiai Imam Muhyi), ketika itu beliau masih
1Tampaknya, feomena ini menjadi ciri khas bagi orang-orang tertentu yang
masih memiliki garus keturunan orang-orang besar, seorang bangsawan
maupun agamawan besar. Penulis menemukan dan membuktikan sendiri
terhadap orang-orang yang masih keturunan Syaikh Ahmad Mutamakkin
Kajen-Pati, Kiai Nur Shodiq adik Ki Ageng Muhammad Besari, dan Kiai Nur Saed
di atas.
14. 49
kecil. Sedangkan Ayah Mbah Muhyi yang bernama Singo
Dijoyo sedang bertugas di luar. Singo Dijoyo masuk dalam
divisi logistik yang bertugas khusus mencari bahan
makanan untuk persediaan para prajurit selama
peperangan. Beliau dan kelompoknya terkadang
membongkar lumbung para penduduk dan menghadang
rombongan perjalanan musuh untuk dirampas berasnya.
Beliau inilah yang dijuluki Mbah Dholog atau Mbah
Dhelog yang ditakuti oleh penduduk sekaligus oleh pihak
Belanda. Bagi mereka, Mbah Dhelog Singo Dijoyo adalah
seorang kampak (kecu, perampok).2
Sedangkan Ibunya
tidak terselamatkan, ikut terbakar dengan rumahnya
setelah terbunuh. Melihat kejadian ini, Mbah Muhyi
akhirnya diambil Mbah Manthoyib dan dijadikan anak
asuhnya. Ketika besar, Mbah Muhyi ikut berperang
menjadi prajurit di bawah komando ayah angkatnya, dan
kelak sekaligus dijadikan menantunya.
Ketika Mbah Manthoyib berpindah ke Pacitan,
beliau bertugas mengamankan daerah brang wetan sebelah
selatan. Karena jumlah pasukan dan fasilitas perang tidak
sebanding dengan Belanda, akhirnya pasukannya dapat
dikalahkan. Pacitan merupakan wilayah pertama yang
mengalami kolonialisme di Karesidenan Madiun.3
Setelah titik-titik pertahanan di wilayah brang
wetan sedikit demi sedikit jatuh ke tangan Belanda,
2Konon, Mbah Dholog Singo Dijoyo sangat ditakuti baik masyarakat maupun
Belanda. Beliau sering mangkal di pasar Kerbau. Ketika orang pasar tau beliau
datang dan mengambil posisi untuk mencegat, maka merekapun buyar. Di saat
beliau sedang gencar-gencarnya melakukan tugasnya, perkampungan tempat
tinggalnya didatangi pasukan belanda dan dibakar. Mungkin karena pihak
belanda jengkel dengan ketidakstabilan keamanan yang ditimbulkan oleh
Beliau.
3Ong Hok Ham, Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priyayi dan Petani di
Karesidenan Madiun Abad XIX, terj. Oni Suryaman, cet. I (Jakarta: KPG, 2018),
74.
15. 50
akhirnya Pangeran Diponegoro menyetujui undangan
Letnan Jenderal Gubernur Hindia-Belanda Hendrik
Merkus de Kock dan berkenan menghadirinya untuk
berunding. Maka sehari sesudah lebaran (28 Maret 1830)
Pangeran Diponegoro beserta pengikut-pengikutnya
memasuki kota Magelang untuk mengadakan kunjungan
kehormatan dan persahabatan dengan Jenderal de Kock.
Beliau diterima Jenderal de Kock dengan kehormatan di
ruang kerjanya. Ketika Jenderal de Kock menanyakan
syarat apa yang diinginkan, Pangeran Diponegoro
menghendaki negara merdeka dan menjadi pimpinan
mengatur agama Islam di Pulau Jawa. Jenderal de Kock
menolaknya, dan melarang Pangeran Diponegoro
meninggalkan ruangan. Pangeran Diponegoro ditangkap
Belanda yang ternyata telah menyiapkan penyergapan
secara rapi. Dengan demikian, Belanda menjalankan
pengkhianatan yang kesekian kalinya. Selanjutnya dengan
pengawalan ketat, Pangeran Diponegoro dibawa ke
Batavia, lalu dibuang ke Menado, kemudian dipindahkan
ke Benteng Rotterdam di Makassar sampai wafatnya (8
Januari 1855). Jenazahnya dimakamkan di kampung
Melayu Makassar.
Ketika peperangan sudah terhenti karena Pangeran
diponegoro tertangkap, Mbah Manthoyib dan pasukannya
mendapatkan kiriman sangu berupa uang sebanyak rong
tombong (dua keranjang yang biasa dibuat tempat pasir di
atas punggung kuda). Berdasarkan keputusan bersama,
akhirnya uang tersebut di bagi-bagikan kepada seluruh
pasukan, karena sudah tidak ada perang lagi. Anggota
pasukannya kemudian di pisah-pisah memencar untuk
membabad daerah yang kosong, di antaranya Gorang-
Gareng dan Kleleng (Jogorogo). Di Kleleng ini dahulunya
terdapat ….
17. 122
BAGIAN KE-6
BABAD TEMPUREJO:
MENGUNGKAP SOSOK
KIAI NUREJO
A. Perkiraan Tahun Babad
Dari data yang ada, penulis mencoba menyusun
tahun dan peristiwa dalam tabel berikut. Beberapa angka
tahun penulis temukan sesuai catatan dalam dokumen,
sedangkan angka-angka yang lain penulis urutkan
berdasarkan asumsi diakronis logis yang masih bersifat
hipotesis.
TAHUN PERISTIWA Ket.
1750 Mbah Judel Lahir Dokumen
11
November
1785
Pangeran Diponegoro Lahir Dokumen
1790 Mbah Judel Hijrah I ke Bedali Dokumen
1825 Perang Jawa (Perang Diponegoro) Dokumen
18. 123
dimulai
1827
Mbah Manthoyib bergabung dengan
Laskar Diponegoro
Dokumen
28 Maret
1830
Perang Jawa (Perang Diponegoro)
terhenti, Diponegoro tertangkap.
Dokumen
1830
Mbah Manthoyib ngecer-ngecer
pasukan dari pacitan menuju kulon lor
sampai Bakalan
Hipotesa
1830
Mbah Muhyi babad Bakalan atas saran
Mbah Manthoyib
Hipotesa
1830
Mbah Manthoyib menuju Ponorogo
bertemu dengan Mbah Judel di Bedali
Hipotesa
1831
Mbah Manthoyib Menikah dengan
Nyai Supiyah
Hipotesa
1835
Mbah Manthoyib bersembunyi dan
babad desa Jogoragan (diperkirakan
sudah memiliki dua putra, Nyai Saliyah
dan Sajinten yang lahir di Bedali).
Hipotesa
1836 Mbah Judel Hijrah II ke Purwosari Dokumen
1838
Perkiraan lahir Nyai Sajinah binti
Manthoyib
Hipotesa
1840
Perkiraan lahir Nyai Kadinah binti
Manthoyib
Hipotesa
8 Januari
1855
Pangeran Diponegoro Wafat Dokumen
1855 Perkiraan umur Nyai Sujinah 17 tahun, Hipotesa
1855
Perkiraan Mbah Nurejo babad
Tempurejo
Hipotesa
1857 Perkiraan umur Nyai Sujinah 20 tahun Hipotesa
1860
Perkiraan umur Nyai Kadinah 20 tahun
Menikah dengan Mbah Muhyi
Hipotesa
1860
Mbah Sarem dan Mbah Zainuddin
datang ke Tempurejo.
Hipotesa
1860
Mbah Haji Muhammad Idris
Tempurejo lahir (dihitung tahun wafat
dikurangi jumlah usia)
Wawancara
1864
Mbah Muhammad Sarijan Babad
Melikan
Dokumen
1865 Kabupaten Ngawi berpisah dengan Dokumen
19. 124
kabupaten Magetan. Bupati I adalah
Raden Tumenggung Brotodiningrat
keturunan Tegalsari Ponorogo
1867
Dibuat Rel kereta Api melintasi
Melikan-Tempurejo
Dokumen
6
Nopember
1886
Mbah Muhammad Sarijan Wafat
Dokumen/
Prasasti
1885
Perkiraan Mbah Haji Muhammad Idris
datang ke Tempurejo (diasumsikan
menikah umur 25 tahun)
Hipotesa
Dari tabel di atas, diperkirakan bahwa babad
Tempurejo sekitar tahun 1855 an hingga 1858 an
(pertengahan abad ke-18). Hal tersebut didasarkan pada
asumsi kelahiran Nyai Sajinah pada tahun 1837, di mana
ayahnya -Mbah Manthoyib- sudah tiga tahun tinggal di
Jogoragan, dan kakeknya –Mbah Judel- sudah dua tahun
tinggal di Purwosari hijrah dari Bedali (1836). Jika
diasumsikan Nyai Sajinah menikah dengan Mbah Nurejo
pada usia 17 tahun, maka babad Tempurejo sekitar tahun
1855. Jika beliau menikah pada usia 20 tahun, maka
babadnya diperkirakan tahun 1858. “Rumus” yang
dipergunakan penulis adalah, pertama: Babad Tempurejo
lebih dahulu dari babad Melikan. Melikan di babad pada
tahun 1864 di mana Tempurejo sudah menjadi pemukiman
yang kecil dengan rumah-rumah yang masih dapat
dihitung. Diperkirakan untuk menjadi pemukiman ini
diperlukan waktu sekitar 5-15 tahun, atau bahkan lebih.
Kedua, Mbah Nurejo pergi menuju ke Alas Malang (nama
Tempurejo sebelum dibabad) pada malam hari sehabis
acara pernikahnnya selesai. Dengan kata lain beliau
memulai perjalanan babad di tahun pernikahannya. Ketiga,
Nyai Sajiinah dilahirkan setelah keluarga besar Mbah
Judel menemukan tempat Hijrah yang dirasa nyaman
untuk kelangsungan keturunannya. Keempat, pada masa
20. 125
dahulu, standar umum umur perempuan biasa menikah
adalah 17-20 tahun.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba
mengambil angka tahun di mana Tempurejo mulai
dibabad. Secara hipotesa, Tempurejo dibabad pada tahun
1855 pasca meninggalnya pangeran Diponegoro dan pasca
Mbah Nurejo menikah.1
Tanggal 8 Januari 1855 merupakan hari yang
sangat memukul hati para pengikut dan laskar Diponegoro
sekaligus hari berkabung tanah jawa, karena Pimpinan
tertinggi perjuangan yaitu Pangeran Diponegoro
menghembuskan nafas terakhir di Benteng Rotterdam
Makassar, tepat pukul 06.30 setelah matahari terbit pada
hari senin di usia 70 tahun.2
Secara psikologis, banyak
laskar beliau yang tersebar di mana-mana merasa
kehilangan komando, pengayom dan induk semang,
sehingga nasib perjuangan ke depannya tidak jelas. Dalam
suasana yang demikian, banyak laskar pajuang maupun
simpatisannya yang berhijrah, mencari tempat tinggal
baru, ataupun membabad alas untuk memulai hidup baru
dengan tetap menjaga semangat perjuangan dan
mewariskan amanat perjuangan kepada anak-cucunya.
Bagi yang memiliki basik keilmuan agama yang mumpuni
biasanya mendirikan Masjid ataupun Pesantren. Mengingat
bahwa Pangeran Diponegoro di samping seorang
1Versi lain mengatakan bahwa Tempurejo dibabad jauh sebelum itu. Hal ini
didasarkan pada pendapat bahwa Tempurejo dibabat sebelum Melikan.
Tempurejo sudah berupa pemukiman kecil kemudian Melikan baru dibabad
pada tahun 1864. Jika dalam membentuk sebuah pemukiman dibutuhkan
waktu kurang lebih 25 tahunan, maka Tempurejo dibabad kuranglebih pada
tahun 1839.
2Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di
Jawa, 1785-1855, cet. III, vol. II (Jakarta: KPG-KITLV, 2016), 894.
21. 126
Bangsawan keraton dan pejuang, juga seorang agamawan
yang ahli fikih dan ahli tasawwuf.
Tidak terkecuali Mbah Nurejo, hijrah beliau
mencari tanah babadan juga terpengaruh oleh suasana
demikian. Di samping ada sebab khusus yang membuat
beliau semakin mantap untuk melakukan babad, yaitu
petunjuk lewat mimpi yang mengarahkannya untuk
mencari wit waung antara pohon serut dan ploso di Alas
Malang.
B. Membabad Tempurejo
1. Laku Tirakat
Ketika masih di Ponorogo, Mbah Nurejo
menyambung hidup dengan bekerja. Karena daerah
Purwosari adalah daerah pertanian, maka beliau
bekerja di sawah dan tegalan. Selama bekerja pada
majikannya, beliau mendapatkan jatah taMbahan
berupa bahan makanan mentah hasil sawah dan tegal
seperti ketela, jagung, padi, dan buah-buahan lainnya.
Tidak langsung beliau masak akan tetapi disimpan
dengan cara melemparkannya di atas langit-langit
rumahnya (jawa: njajis), karena beliau berpuasa. Hal
ini dilakukannya hampir tiap hari.
Suatu hari Mbah Sarijan melihat perbuatan
keponakannya tadi, beliau penasaran kemudian melihat
isi njajis, ternyata di situ terdapat timbunan berbagai
macam bahan makanan mentah. Akhirnya beliau
berkata: “Ooo.. tibake awakmu ngunu iku to?” Mbah
Sarijan baru tahu kalau keponakannya sedang laku
tirakat puasa. Beliau juga jarang tidur malam (betah
22. 127
melek). Dari hasil tirakatnya ini, Mbah Nurejo
mendapatkan petunjuk semacam wangsit/ilham dalam
mimpi untuk babad di tempat yang baru.
Satu sumber menceritakan bahwa suatu malam,
dalam mimpi beliau ditemui orang yang tinggi besar
memakai jubah serba hijau.3
Sosok itu menawari
beliau untuk babad:
“Awakmu seneng babad alas dhewe opo piye?”
“Ayo tak duduhke yen seneng babad.”
“Iki lo alase.. babaden”
“Awakmu mengko manggono nggon serut iki
karo ploso iki..”
Esoknya, Mbah Nurejo menceritakan mimpi –yang
sangat jelas- yang baru dialaminya kepada mertuanya,
Mbah Manthoyib. Kemudian beliau meminta izin
untuk membuktikan petunjuk dalam mimpinya, dan
segera mencari tempat yang dimaksud.
To be continue……
3Dalam tradisi metafisik Islam atau dunia tasawwuf, sosok yang sering
menggunakan atribut hijau adalah Nabi Khidlir a.s. Nama lengkap beliau adalah
Khidlir Balya ibn Malkan. Beliau termasuk tiga Nabi yang masih hidup hingga
sekarang selain Nabi Idris a.s. dan Nabi Ilyas a.s. Konon Nabi Khidlir adalah
seorang Panglima perang pasukan Raja Zulkarnain (dhul Qornain atau yang
terkenal dengan Alexander the Great) yang diberi karomah umur panjang dan
hidup hingga hari kiamat karena berhasil menemukan air kehidupan (ma’ul
hayah) dan meminum sekaligus mandi di dalamnya. Beliau diberi keistimewaan
oleh Allah dapat menembus dimensi ruang dan waktu, sehingga dapat berubah
wujud menyerupai siapa saja yang dikehendakinya, dan dapat menemui siapa
saja yang dikehendakinya, di manapaun dan kapanpun. Baik untuk
memberikan petunjuk ataupun peringatan. Biografi lengkap dan kisah
perjalanan hidup beliau dapat dibaca dalam kitab ‘Ina>yat al-Muftaqir fi>ma>
Yata‘allaq bi Sayyidina> al-Khadlir karya Syeikh Mahfuz} al-Tarmasi>.
23. 188
BAGIAN KE-7
KIAI HAJI MUHAMMAD IDRIS:
KAJI SEPUH TEMPUREJO
A. Asal-Usul K.H. Muhammad Idris
Mbah Kiai Haji Muhammad Idris atau yang lebih
akrab disebut Mbah Idris dilahirkan di dusun Kidal desa
Kauman Kecamatan Karangrejo Magetan. Beliau lahir
pada hari Ahad Paing sekitar tahun 1860 M. Hal ini
didasarkan pada pernyataan bahwa umur beliau mencapai
97 tahun, dan beliau wafat pada tahun 1957.
Beliau adalah putra Kiai Haji Kasan Iman (Mbah
Saniman) dengan istri keduanya. K.H. Kasan Iman berasal
dari Barat Magetan, sedangkan ayahnya berasal dari
Pacitan. Beliau diambil menantu oleh Kiai Haji Sholeh,
seorang tokoh pembabad agama di Satriyan Tepas Geneng
Ngawi. Cerita tentang sampainya beliau ke Satriyan adalah
suatu ketika beliau mendirikan gubuk untuk tempat
tinggalnya. Di saat beliau memikul empyak tiba-tiba ada
angin besar membawa beliau hingga di perlintasan rel
kereta api (pelangkahan sepur) daerah Bayem. Kemudian
24. 189
beliau meneruskan perjalanan ke arah barat hingga sampai
di Satriyan.
K.H. Kasan Iman kemudian menikah dengan putri
Mbah Haji Sholeh yang bernama Nyai Hajah Siti Aminah
yang kemudian melahirkan putra pertamanya yang
bernama Isman (tinggal di Ngale). Karena adanya
ketidakcocokan dengan mertuanya, akhirnya Mbah
Saniman bercerai. Setelah bercerai, Mbah Saniman
kembali ke tempat asalnya Barat dan menikah lagi dengan
perempuan setempat. Dari hasil pernikahan keduanya ini,
lahirlah Aripin (nama kecil Mbah Idris). Beliau lahir di
lingkungan di mana terkenal dengan home industri
pembuat gong, yaitu Kidal. Dahulu Kidal masuk dalam
wilayah Kecamatan Barat, dan termasuk daerah abangan.
Tidak lama kemudian, ibu Mbah Idris meninggal dunia.
Terdorong ingin berjuang agama dan memperbaiki
hubungannya dengan mertuanya dulu, akhirnya Mbah
Saniman kembali ke satriyan dengan membawa Aripin dan
merujuk mantan istri pertamanya, Nyai Siti Aminah.
Dimungkinkan juga beliau terdorong rasa welas terhadap
Mbah Aminah dan ingin membahagiakannya lagi setelah
berpisah.
Dari hasil pernikahannya dengan Mbah Aminah
yang kedua, Beliau memiliki enam putra, yaitu Mbah Haji
Kasan Diharjo, Haji Abdul Lathif,1
Haji Syarqawi, Haji
Tayib, Hajah Nyai Mat Kaeran, dan Haji Siraj. Semua
putra-putri beliau diajak berangkat haji bersama-sama satu
rombongan.
To be continue….
1H. Abdul Lathif bin H. Kasan Iman menikah dengan Nyai Marjunah, adik
kandung K.H. Suyuthi bin H. Manshur Ngale. K.H. Suyuthi Ngale adalah mertua
H. Nawawi bin H. Muhammad Idris Tempurejo.
25. BERI NILAI BUKU INI
INGIN TAHU KISAH-KISAH SELANJUTNYA?
HUBUNGI SEGERA
0812 1700 6883
UNTUK MENDAPATKAN BUKUNYA
Cetakan pertama,
Limited Edition lhoo…
26. Buku ini adalah yang pertama mengulas tentang kesejarahan
Tempurejo Tempuran Paron Ngawi –yang selama ini beredar hanya di
kalangan tertentu- dalam bentuk Babad. Walaupun babad identik dengan
karya fiksi karena mengandung riwayat mitos, tetapi buku ini lebih merupakan
sebuah penelitian sejarah karena ditulis dengan perspektif sejarah lokal (local
history) dan tradisi lisan (oral history) yang mana mensyaratkan suatu
metodologi dan terpenuhinya unsur-unsur tertentu. Beberapa mitos di
dalamnya tiada lain di samping sebagai pembelajaran atas penyikapan
terhadap kearifan lokal, juga untuk menstimulasi kreatifitas intelektual-moral
dalam mencari atau bahkan menemukan suatu fakta sejarah baru.
Pelibatan sejarah lokus-lokus lain dalam babad Tempurejo adalah
suatu keniscayaan, karena tidak ada sejarah terjadi di ruang hampa. Oleh
karenanya, ia menjadi hak milik umat manusia dan tentunya bebas diakses
siapa saja dengan berbagai kepentingannya.
Dengan hadirnya buku ini diharapkan informasi kesejarahan
Tempurejo dapat diakses oleh siapapun terutamanya generasi muda agar
tidak mudah mengalami krisis identitas dan “kepaten obor”. Minimal, dapat
sebagai sarana refleksi serta menambah wawasan keragaman sejarah budaya
di Nusantara.