Dokumen tersebut membahas tentang frambusia, penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum pertenue. Dokumen ini menjelaskan tentang gejala klinis, epidemiologi, diagnosis, dan pengobatan frambusia."
3. Pendahuluan
Frambusia = Frambesia tropika
penyakit infeksi kronis residif non-venereal yang
disebabkan oleh Treponema palidum pertenue,
dapat melibatkan kulit, tulang, sendi.
Laki-laki lebih banyak dari perempuan karena lebih
aktif lebih banyak trauma
Tidak diturunkan secara kongenital
Tidak menembus plasenta
Tidak menembus sistem saraf pusat
Dapat melibatkan sistem kardiovaskular EHDP
Masih
diperdebatka
n
4. Frambusia
• daerah tropis & lembab ≥27oC (80oF),
dengan curah hujan tinggi
• terutama anak-anak (< 15 tahun), puncak
6-10 tahun
• laki > perempuan
• sosial ekonomi rendah, higiene buruk,
fasilitas sanitasi kurang, padat penduduk
Epidemiologi
• tidak ada kekebalan tubuh yang menetap
• Host response imunitas humoral dan
selular
Kekebalan
• tidak fatal
• cacat penampilan dan fisik,
gangguan sosialisasi, diskriminasi
Prognosis
EHDP
5. Penularan
• Manusia, anak merupakan reservoir
Sumber
penularan
• Kontak langsung kulit-kulit melalui cairan
eksudat
• Bakteri tidak dapat menembus kulit utuh,
tetapi masuk melalui luka lecet, goresan, atau
luka infeksi kulit lain.
• kontak melalui lalat, alat rumah tangga,
keluarga
• ASI dari Ibu ke anak
Cara
penularan:
• 9-90 hari
• rata-rata 3 minggu
Inkubasi
EHDP
6. Faktor Risiko Penularan
• Bergantian memakai pakaian yang sama dengan kasus
• Jarang berganti pakaian
• Kebersihan perorangan dan lingkungan yang buruk
• Tinggal di daerah yang kumuh
• Adanya penyakit kulit lain seperti kudis (scabies),
pioderma
• Luka yang berulang-ulang selama kegiatan diluar rumah
8. Perjalanan penyakit
Lesi primer
• Sangat menular
Lesi sekunder
Menular
Lesi tersier
Tidak menular
Periode laten I
10-16 minggu (2-5 thn)
Periode laten II
5-10 thn
EHDP
>6 bulan
3-6 bulan
9. Papul frambusia: penonjolan padat
dengan permukaan bersisik halus
Tidak nyeri, bisa gatal
Predileksi tungkai bawah (legs & ankle),
wajah, leher, tangan, daerah terbuka.
Kadang ditemukan di lipat ketiak, leher,
lipat paha, lipat anal.
Gejala konstitusi jarang, KGB regional
dapat membesar, atralgia
Papul berkembang menjadi large yellow
nodule disebut sbg papiloma
Lesi primer bervariasi (sangat bergantung
variasi iklim)
Lesi makula pada musim kemarau
Lesi florid pada musim hujan
Lesi primer: mother Yaws, buba
madre
EHDP
10. Lesi Primer: krustopapiloma
Papul dengan permukaan berjonjot, sering tertutup cairan
eksudat yang mengering menjadi krusta kekuningan
Papilomata: kumpulan papiloma
Permukaan dapat kering / basah tergantung kelembaban
sekitar
EHDP
12. Lesi Primer: makuloskuamosa
Makula hipopigmentasi, sirkular, multipel, dengan deskuamasi
ringan, di bagian tepi terdapat hipo atau hiperpigmentasi.
EHDP
13. Lesi primer: ulseropapiloma
• Beberapa papul bersatu
menjadi plak, dapat
menjadi ulkus disebut
sebagai chancre of yaws,
frambesioma. Kadang
ada lesi satelit berupa
papul-papul kecil
• Basah bergetah,
mengandung banyak
kuman
• Dasar ulkus: raspberry
like (frambesial),
tertutup krusta
kekuningan EHDP
14. Figure 1. Early, diffuse cutaneous macular and
ulcerative lesions extending into the anal cleft. Photo
credit: CDC/Dr. Peter Perine
Figure 4. Early squamous macule. Photo credit:
CDC/Dr. Peter Perine
15. Figure 6. Non-infectious lesion on the elbow. Photo credit: CDC/Dr. Peter Perine Figure 9. Confluent papillomata with ulcerations on the shin. These lesions were
present for several years and are consistent with mixed early and late lesions. Photo
credit: CDC/Dr. Peter Perine
16. Lesi primer: penyembuhan
• Tanpa terapi, lesi dapat
sembuh spontan,
masuk ke dalam fase
laten I setelah 3-6
bulan
• Gejala sisa berupa
sikatriks atrofi
(cigarette paper)
dengan hipopigmentasi
sentral atau dengan
tepi yang gelap
• 9-15% kasus menetap
EHDP
17. Lesi sekunder
Timbul setelah periode
laten selama 10-16
minggu, bisa sampai 2-
5 tahun
Sering disertai gejala
konstitusi: malaise,
demam, anoreksia
Limfadenopati
generalisata, sering
artralgia
Sembuh dengan / tanpa
meninggalkan jaringan
parut
Dapat berjalan simultan
dengan lesi primer EHDP
Hasil dari penyebaran hematogen
dan limfogen terutama ke kulit dan
tulang
18. Lesi sekunder: daughter yaws,
piamomas
• Lesi kulit diseminata
• Papul tidak gatal, kemerahan, verukosa atau
vegetasi
• Terjadi erosi dan basah, tertutup eksudat fibrin
yang sangat infeksius, mengering membentuk
krusta EHDP
19. Lesi sekunder
• Ulkus multiple eksudatif, berbau
anyir, dan penuh dengan lalat
• Tidak nyeri
• Tepi meninggi
• Bentuk bulat
24. Lesi sekunder (mengenai
tulang)
Gambaran lain:
• Osteoperiostitis falangs proksimal (ghoul hand) atau di tulang
panjang (nyeri dan penebalan tulang panjang)
• 75% kasus anak mengalami nyeri sendi
EHDP
25. Lesi tersier
Bila tidak diterapi, timbul lesi tersier setelah periode laten
kedua (5-10 thn)
Lokasi tersering: ketiak, anus, dan sekitar mulut
Bila tidak diterapi 10% kasus mengalami:
Gumma framboesiodes: nodul gumma kutan dan subkutan
Gangosa, pintoid diskromia, goundou, keratoderma
Nodul juxta-articular
Dapat mengenai tulang, mata, saraf, kardiovaskular
Tidak menular
Sembuh dengan deformitas dan kontraktur
EHDP
26. Lesi tersier
nodul juxta-articular
doc:Subdit Kusta & Framb.
Gangosa: lesi
destruktif osteitis
pada hidung,
sentral wajah, bisa
sampai perforasi
tulang hidung,
palatum , dan
nasofaring
Gondou: pembengkakan dan nyeri area
hidung dan paranasal
EHDP
28. Diagnosis Klinis
Kasus Suspek
Anak umur < 15 tahun
Gejala klinis selama > 2 minggu:
Makula, Papul atau Papilloma
Ulkus frambusia yang khas: tepi meninggi dan
indurasi, tertutup krusta dan tidak sakit
Hiperkeratosis di telapak tangan dan kaki
Perubahan pada tulang dan sendi
Ciri dan lokasi lesi terjadi pada tungkai, kaki, bisa di
lengan dan muka
EHDP
Di era modern, manifestasi klinis Yaws kurang basah karena penggunaan
penisilin
29. Diagnosis Klinis
Kasus probable
Kasus suspek yang memiliki kontak erat >20 jam per
minggu dengan kasus frambusia
waktu kontak antara 9-90 hari sebelum munculnya lesi
frambusia
Perlu dilakukan pengujian serologi (RDT) utk konfirmasi
diagnosis (terutama di daerah non endemis).
Kasus konfirmasi
Kasus suspek/probable dengan RDT positif (+)
Pemeriksaan dilanjutkan dengan RPR/VDRL
EHDP
30. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Mikroskop Lapangan Gelap
2. PCR (pemeriksaan molecular)
3. Pemeriksaan Serologis
A. Treponemal test (positif pada semua stadium), di antaranya :
TPHA (Treponema palidum haemagglutination test) tetap positif setelah terapi
RDT (Rapid Diagnosis Test)
B. Non treponemal test (Reaginic antibody test), di antaranya :
VDRL (Venereal disease research laboratory
RPR (Rapid Plasma Reagin) umumnya lebih tinggi pada lesi primer
dibandingkan sekunder
Pemeriksaan serologi yg ada tidak dapat membedakan dg infeksi
treponema lain.
Dapat negative pada stadium awal sekali atau stadium lanjut
EHDP
31. Algoritma Diagnosis
Pemeriksaan RDT dg
sensitivitas 85-98% dan
spesifisitas 93-98%.
Tidak dapat
membedakan antara
infeksi aktif dan yg sudah
mendapat pengobatan.
Apabila didapat RDT (+),
diuji kembali dg RPR utk
mengetahui apakah
penyakit masih aktif
EHDP
Bukan
frambusia
42. Azitromisin
1). Dosis
30 mg/kgBB yang diberikan 1x. Dosis maksimal 2 gram
2). Bentuk sediaan
Sirup kering, Tablet dan Kaplet berwarna putih berbentuk oval.
3). Cara Minum Obat
Berikan pada saat perut kosong 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah
makan. Setelah minum obat tunggu 30 menit untuk melihat efek samping.
(Dipantau kembali setelah 2 minggu untuk melihat efek samping jangka
panjang)
4). Kontraindikasi
Riwayat alergi dengan azitromisin sebelumnya, ibu hamil, gangguan hati, dan
jaundice (kuning) karena gangguan aliran empedu.
43. Terapi – Pilihan Utama
UMUR NAMA OBAT DOSIS
CARA
PEMBERIA
N
LAMA
PEMBERIAN
2-5 tahun
Azitromisin tablet
500 mg (1 tablet)
1x/hari
PO Dosis tunggal
6-9 tahun
1.000 mg (2 tablet)
1x/hari
10-15 tahun
1.500 mg (3 tablet)
1x/hari
16-69 tahun
2.000 mg (4 tablet)
1x/hari
‚*Kasus < 2 tahun dan > 69 tahun, wanita hamil, warga sakit berat,
atau alergi obat azitromisin, pengobatannya konsultasikan ke dokter
EHDP
44. Efek Samping Obat
4).Toksisitas dan efek samping
diare, mual, muntah, sakit perut, dan reaksi kulit berat.
Efek samping yang jarang terjadi termasuk sakit kepala,
ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dan gangguan pada
indra penciuman dan pengecap.
Bila ada bradikardi relatif diberikan sulfas atropine dengan
catatan denyut nadi sebelum pemberian harus dihitung
dengan cermat.
Tidak ada efek samping yang menyebabkan
fatal/meninggal yang terdokumentasikan.
45. Efek Samping dan
Penanganan
Pengobatan KIPO adalah dengan memberikan obat sesuai
keluhan (simptomatis)
Jika ringan rujuk ke petugas kesehatan/yankes terdekat, jika
tidak bisa menangani, rujuk ke dokter atau RS terdekat
No Gejala Penanggulangan Rujukan
1 Diare Pemberian oralit Petugas
Puskesmas,
dokter
2 Mual, muntah, Pemberian obat anti
mual (B6)
Petugas
Puskesmas,
dokter
3 Kram perut Anti spasmodik Petugas
Puskesmas,
46. Keamanan Obat Frambusia
Keluhan yang terjadi setelah minum obat sering dianggap
disebabkan oleh obat yang baru saja diberikan diperlukan
review ahli untuk menentukan apakah kejadian ini merupakan:
efek simpang obat atau
kejadian bersamaan (bukan efek simpang obat, tetapi terjadi
setelah minum obat frambusia).
Kejadian Ikutan POPM Frambusia dapat terjadi sejak diberikan
obat hingga 2 minggu.
47. Sebelum diobati Setelah 15 hari diobati
Kasus di Jayapura, 9 October 2008
Setelah terapi: Kuman hilang dari lesi 8-10 jam.
Lesi kulit mulai menyembuh dalam 2-4 minggu.
Nyeri sendi mulai membaik dalam 48 jam.
49. Daftar Pustaka
1. Hill K, Kodijat R, Sardadi M. Atlas of Framboesia. Geneva, Switzerland: World Health Org. 1951.h.7-17.
2. Yaws: recognition Booklet for Communities. Departement of Control of Neglected Disease WHO.
Geneva: 2012.
3. Mitja O, Asiedu K, Mabey D. Yaws. The Lancet. 2013; 381: 763-73.
4. Giacani L, Lukehart SA. The Endemic Treponematoses. Clin. Microbiology Reviews 2014; 27(1):89-115
5. Kazadi WM, Asiedu K, Agana N, Mitja O. Epidemiology of Yaws: an Update. Clin. Epid 2014,6:119-28.
6. Marks, M. Advances in the Treatment of Yaws. Tropical Medicine and Infectious Diseas. 2018; 3(3): 92.
doi:10.3390/tropicalmed3030092
7. Hernandez DAA, Rivera AS. Yaws essentials: What health professionals should know about yaws.
Heighpubs Otolaryngol and Rhinol. 2017; 1: 037-040.
DOI: 10.29328/journal.hor.1001007
8. Marks, M., Lebari, D., Solomon, A. W.,&Higgins, S. P. Yaws. International Journal of STD&AIDS.
2014;26(10): 696–703. doi:10.1177/0956462414549036
9. Santos MA, Faldetta KF, Zaenglein AL. Yaws: Rebound of a forgotten disease. Glob Dermatol. 2015; 2:
DOI: 10.15761/GOD.1000140
EHDP