1. Ilmu Budaya Dasar (IBD) sebagai mata kuliah dasar umum (MKDU), diberikan kepada
mahasiswa di seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta, bertujuan untuk mengembangkan daya
tangkap, persepsi, penalaran, dan apresiasi mahasiswa terhadap lingkungan budaya. Ada dua hal
yang menyebabkan pentingnya pembahasan materi itu, yaitu.
Pertama, tema-tema IBD merupakan tema-tema inti permasalahan dasar manusia yang
dialami dan dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, seperti tema-tema yang telah disusun oleh
Konsorsium Antar Bidang yang meliputi cinta kasih, keindahan, penderitaan, keadilan,
pandangan hidup, tanggung jawab, kegelisahan, dan harapan.
Kedua, pada saat ini, terdapat kecenderungan bahwa ilmu atau ilmuwan sering mengabaikan
sikap dan perilaku moral. Banyak di antara ilmuwan yang menganggap bahwa aspek moral itu tidak
penting. Menurutnya, aspek yang lebih penting daripada moral dalam suatu ilmu adalah ontologis dan
epistemologis. Apabila hal itu yang terjadi, maka ia akan mengabaikan unsur manusiawinya, kurang
berbudaya, dan tidak peka terhadap permasalahan moral. Untuk mengantisipasi hal itu, setiap
sarjana dirasa perlu memahami aspek budaya.
Penyusunan buku ini disiapkan dalam beberapa aspek pokok.Mengingat tema IBD sangat
luas, maka pembahasannya dilakukan dengan pendekatan multidisiplin ilmu pengetahuan, seperti
budaya, filsafat, etika, dan agama. Mengingat begitu luasnya wawasan tema IBD. Dalam buku ini
juga dilampirkan tulisan-tulisan ilmuwan yang berkiprah dalam masalah humaniora. Tulisan-tulisan itu
bertujuan untuk pendalaman materi pokok IBD melalui pengembangan daya imajinasi dan apresiasi
mahasiswa.
B. Ilmu Budaya Dasar
Ilmu Budaya Dasar (IBD) adalah salah satu komponen dari sejumlah matakuliah Dasar
Umum (MKDU), sebagai matakuliah wajib yang menjadi kesatuan dengan matakuliah lain di
Perguruan Tinggi.
Secara khusus MKDU bertujaun untuk menghasilkan warga negera sarjana yang berkualifikasi
sebagai berikut:
a. Berjiwa Pancasila sehingga segala keputusan serta tindakannya mencerminkan pengamalan
nilai-nilai Pancasila dan memiliki intergritas kepribadian yang tinggi, yang mendahulukan
kepentingan nasional dan kemanusiaan scbagai sarjana Indonesia.
b. Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya,
dan memiliki tenggang rasa terhadap pemeluk agama lain.
c. Memiliki wawasan komprehensif dan pendekatan integral di dalam menyikapi permasalah
kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, maupun pertahanan keamanan.
d. Memiliki wawasan budaya yang luas tentang kehidupan bcrmasyarakat dan secara bcrsama-sama
mampu berperan serta meningkatkan kualitas-nya, maupun lingkungan alamiah dan secara
bersama-sama berperan serta di dalam pelestariannya.
C. Pengertian Ilmu Budaya Dasar
2. Secara sederhana IBD adalah pengetahuan yang diharapkan dapat membcrikan
pengetahuan dasar dan pengcrtian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk
mengkaji masalah-masalah dan kebudayaan.
Istilah IBD dikembangkan di Indonesia sebagai pengganti istilah Basic Humanities yang
berasal dari istilah bahasa Inggris “The Humanities’. Adapun istilah Humanities itu sendiri berasal dari
bahasa Latin Humanus yang bisa diartikan manusiawi, berbudaya dan halus (fefined). Dengan
mempelajari The Humanities diandaikan seseorang ‘akan bisa mcnjadi lebih manusiawi, lebih
berbudaya dan lebih halus. Secara demikian bisa dikatakan bahwa The Humanities berkaitan dengan
masalah nilai-nilai, yaitu nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia berbudaya. Agar.
manusia bisa menjadi humanus, mereka harus mempelajari ilmu yaitu The Humanities di samping
tidak mehinggalkan tanggung jawabnya yang lain sebagai manusia itu sendiri. Kendatipun demikian,
Ilmu Budaya Dasar (atau Basic Humanities) sebagai satu matakuliah tidaklah identik dengan The
Humanities (yang disalin ke dalam bahasa Indonesia menjadi: Pengetahuan Budaya).
Pengetahuan Budaya (The Humanities) dibatasi sebagai pengetahuan yang mencakup
keahlian cabang ilmu (disiplin) seni dan filsafat. Keahlian ini pun dapat dibagi-bagi lagi ke dalam
berbagai bidang kahlian lain, seperti seni sastra, seni tari, seni musik, seni rupa dan lain-lain. Sedang
Ilmu Budaya Dasar (Basic Humanities) sebagaimana dikemukakan di atas, adalah usaha yang
diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep
yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Masalah-masalah
ini dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya (The Humanities), baik secara
gabungan berbagai disiplin dalam pengetahuan budaya ataupun dengan menggunakan masing-
masing keahlian di dalam pengetahuan budaya (The Humanities). Dengan poerkataan lain, Ilmu
Budaya Dasar menggunakan pengertian-pengertian yang berasa! dari berbagai bidang pengetahuan
budaya untuk mengembangkan wawasan pemikiran dan kepekaan dalam mengkaji masalah-masalah
manusia dan kebudayaan.
Dengan perkataan lain dapatlah dikatakan bahwa setelah mendapat matakuliah IBD ini,
mahasiswa diharapkan memperlihatkan:
a. Minat dan kebiasaan menyelidiki apa-apa yang terjadi di sekitarnya dan diluar lingkungannya,
menelaah apa yang dikcrjakan sendiri dan mengapa.
b. Kesadaran akan pola-pola nilai yang dianutnya serta bagaimana hubungan nilai-nilai ini dengan
cara hidupnya sehari-hari.
c. Keberanian moral untuk mempertahankan nilai-nilai yang dirasakannya sudah dapat diterimanya
dengan penuh tanggung jawab dan scbaliknya mcnolak nilai-nilai yang tidak dapat dibenarkan.
D. Tujuan Ilmu Budaya Dasar (IBD).
Sebagaimana dikemukakan di atas, penyajian Ilmu Budaya Dasar (IBD) tidak lain merupakan
usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang
konsep-konsep yang dikem-bftngkan untuk mengkaji msalah-masalah manusia dan kebudayaan,
Dengan demikian jelas bahwa matakuliah ini tidak dimaksudkan untuk mendidik seorang pakar dalam
salah satu bidang keahlian (disiplin) yang termasuk. dalam pengetahuan budaya, akan tetapi Ilmu
3. Budaya Dasar semata-mata sebagai salah satu usaha mengembangkan kepribadian mahasiswa
dengan cara memperluas wawasan pemikiran serta kemampuan kritikalnya terhadap nilai-nilai
budaya, baik yang menyangkut orang lain dan alam sekitarnya, maupun yang menyangkut dirinya
sendiri.
Dan bahwa dalam masyarakat yang berkabung semakin Cepat dan rumit ini, mahasiswa
harus mcngalami pergeseran nilai-nilai yang , mungkin sekali dapat membuatnya masa bodoh atau
putus asa, suatu sikap yang tidak selayaknya dimiliki oleh seorang terpelajar. Bagaimanapun juga,
mahasiswa adalah orang-orang muda yang sedang mempelajari cara memberikan tanggapan dan
penilaian terhadap apa saja yang terjadi atas dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Sudah
barang tentu ia perlu dibimbing untuk menemukan cara terbaik yang sesuai dengan dirinya sendiri
tanpa harus mengorbankan masyarakat dan alam sekitarnya. Secara tidak langsung Budaya Dasar
akan membantu mereka untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berpijak dari hal di atas, tujuan matakuliah Ilmu Budaya Dasar adalah untuk
mengembangkan kepribadian dan wawasan pemikiran, khususnya berkenaan dengan kebudayaan,
agar daya tangkap, persepsi dan penalaran mengenai lingkungan budaya mahasiswa dapat menjadi
lebih halus. Untuk bidag menjangkau tujuan tersebut di atas, diharapkan Ilmu Budaya Dasar dapat:
a.Mengusahakan penajaman kepekaan mahasiswa terhadap lingkungan budaya, sehingga mereka
akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, terutama untuk kepentingan
profesi mereka.
b.Memberi kesempatan pada mahasiswa untuk dapat memperluas pandangan mereka tcntang
masalah kemanusiaan dan budaya, serta mengembangkan daya kritis mercka tcrhadap
persoalan-persoalan yang mcnyangkut kedua hal tcrscbut.
c.Mcngusahakan agar mahasiswa sebagai caion pcmimpin bangsa dan ncgara, serta ahli dalatn
bidang disiplin masing-masing, tidak jatuh ke dalam sifat-sifat kedaerahan dan pengkotaan
disiplin yang ketat. Usaha ini tcrjadi karcna ruang lingkup pendidikan kita amat dan condong
mem-buat manusia spcsialis yang berpandangan kurang luas. Matakuliah ini berusaha
menambah kcmampuan mahasiswa untuk menanggapi nilai-nilai dan masalah dalam masyarakat
lingkungan mereka khususnya dan masalah seria nilai-nilai umumnya tanpa terlalu terikat oleh
disiplin mereka.
d.Mcngusahakan wahana komunikasi para akademisi, agar mercka lebih mampu bcrdialog satu sama
lain. Dengan mcmiliki satu bekal yang sama, para akademisi diharapkan dapat lebih lancar
berkomunikasi. Kalau cara berkomunikasi ini selanjutnya akan lebih memperlancar pclaksanaan
pembangunan dalam bcrbagai bidang keahlian. Mcskipun spcsialisasi sangat penting,
spcsialisasi yang terlalu sempit akan membuat dunia scorang mahasiswa/sarjana menjadi tcrlalu
sempit. Masyarakat yang pcrcaya pada pentingnya modcrnisasi tidak akan dapat memanfaat-kan
sccara penuh sarjana-sarjana demikian, scbab proses modcrnisasi mcmerlukan orang yang
bcrpandangan luas.
Secara umum tujuan IBD adalah Pembentukan dan pengembangan keperibadian serta
perluasan wawasan perhatian, pengetahuan dan pemikiran mengenai berbagai gejala yang ada dan
4. timbul dalam lingkungan, khususnya gejala-gejala berkenaan dengan kebudayaan dan kemanusiaan,
agar daya tanggap, persepsi dan penalaran berkenaan dengan lingkungan budaya dapat diperluas.
Jika diperinci, maka tujuan pengajaran llmu Budaya Dasar itu adalah:
1.Lebih peka dan terbuka terhadap masalah kemanusiaan dan budaya, scrta lebih bertanggung
jawab terhadap masalah-masalah tersebut.
2.Mengusahakan kepekaan terhadap nilai-nilai lain untuk lebih mudah menyesuaikan diri.
3.Menyadarkan mahasiswa terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, hormat menghormati
serta simpati pada nilai-nilai yang hidup pada masyarakat.
4.Mengembangkan daya kritis tcrhadap pcrsoalan kemanusiaan dan kebudayaan.
5.Memiliki latarbelakang pengetahuan yang cukup luas tentang kebudayaan Indonesia.
6.Menimbulkan minat untuk mendalaminya.
7.Mcndukung dan mcngcmbangkan kebudayaan sendiri dengan kreatif.
8.Tidak terjerumus kepada sifat kedaarahan dan pengkotakan disiplin ilmu.
9.Menambahkan kemampuan mahasiswa untuk mcnanggapi masalah nilai-nilai budaya dalam
masyarakat Indonesia dan dunia tanpa terpikat oleh disiplin mereka.
10.Mempunyai kesamaan bahan pembicaraan, tempat berpijak mengenai masalah kemanusiaan dan
kebudayaan.
11.Terjalin interaksi antara cendekiawan yang berbeda keahlian agar lebih positif dan komunikatif.
12.Menjembatani para sarjana yang berbeda keahliannya dalam bertugas menghadapi masalah
kemanusiaan dan budaya.
13.Memperlancar pelaksanaan pembangunan dalam berbagai bidang yang ditangani oleh berbagai
cendekiawan.
14.Agar mampu memenuhi tuntutan masyarakat yang sedang membangun.
15.Agar mampu memenuhi tuntutan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dharma
pendidikan.
Dari kerangka tujuan yang telah dikemukakan tersebut diatas, dua masalah pokok biasa
dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan ruang lingkup kajian matakuliah Ilmu Budaya
Dasar (IBD). Kedua masalah pokok tersebut ialah :
5. a.Berbagai aspek kehidupan yang seluruhnya mcrupakan ungkapan masalah kemanusiaan dan
budaya yang dapal didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya (The Humanities), baik
dari segi masing-masing keahlian (disiplin) di dalam pengetahuan budaya, maupun sccara
gabungan (anlar bidang) bcrbagai disiplin dalam pengetahuan budaya.
b.Hakekat manusia yang satu atau universal, akan tetapi yang beraneka ragam perwujudannya
dalam kebudayaan masing-masing zaman.
Proses budaya sebagai kemapanan Emosional
Dari Basic Cultural , akan dapat diketahui kemapanan emosi dan sosialnya. Dan ini akan
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung dengan adat kebiasaan hidupnya sehari-hari
dalam interaksinya (pergaulan) dengan manusia lain, pengaruh lain yang ditimbulkan secara individu
adalah ketrampilan yang diperoleh dari interaksi yang terjadi terus-menerus tersebut, sehingga bisa
melekat pada diri individu itu selama-lamanya. Seperti bunyi pepatah “ Lain lading lain belalang-lain
lubuk lain pula Ikannya “ artinya disuatu tempat akan beda cara dan kebiasaanya sehari-hari dengan
tempat lain.
Bidang ilmu yang dibawanya kelak juga akan dipengaruhi oleh budaya dan adapt istiadat yang sudah
melekat dalam dirinya.
Maka seringkali kita saksikan, sebuah perilaku sosial yang menyimpang dari adat kebiasaan yang
lazim, Dan itu terjadi 1 orang dari 10 orang yang lain yang memiliki sikap yang berbeda. Namun kita
tidak bisa menjustifikasi atau menghakimi tindakan dia salah, karena fenomena yang terjadi pada diri
seseorang berasal dari kejadian yang ditimbulkan sebelumnya.Sikap-sikap tersebut adalah :
1.Angkuh
2.Sombong
3.Mau menang Sendiri
4.Egois
5.Sektarian
6.Acuh tak acuh
Sikap-sikap tersebut akan terbawa pada saat mereka memiliki kepandaian atau pengetahuan,
sehingga akan menjadi lain manakala ilmu tersebut digunakan pada hal-hal yang buruk.
Ada sementara orang yang mengatakan bahwa sikap yang berbeda akan membawa dampak
kemajuan dalam hidupnya, tetapi dilain pihak ada yang mengatakan sebaliknya, yaitu membawa
kehancuran dalam dirinya. Yang terbaik adalah keselarasan yaitu membentuk sikap yang selaras dan
sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Dari perpaduan orang yang memiliki pribadi
yang baik dan ilmu yang dimiliki, akan berguna bagi umat manusia.
6. Berkesenian dapat membentuk sikap dan pribadi yang baik, hal ini dapat dilakukan apabila
seseorang memahami proses sebuah penciptaan karya seni, dimana dari awalnya ada proses : “
CIPTA – RASA – KARSA “
1.CIPTA : Adalah sebuah proses perenungan yang dilakukan dengan kontemplasi, yang dalam hal ini
didasarkan dari kedalaman ilmu seseorang dari olah batin, pengetahuan, wawasan serta
ketajaman intuisi seseorang hingga tercipta sebuah karya seni.
2.RASA : Setelah proses pertama selesai, maka selanjutnya dari hasil penciptaan hingga
menghasilkan karya seni tersebut sebelum di edarkan atau diinformasikan pada orang lain,
dirasakan terlebih dahulu oleh sang pembuatnya. Dari proses ini terjadi perpaduan antara pikiran
dan perasaan sehingga terjadi dialog yang kemudian bisa memutuskan layak dan tidaknya karya
ini ditampilkan.
3.KARSA : setelah selesai dalam proses pengkombinasian tersebut, maka kemudian dilakukan
proses tahapan terakhir yaitu mengkarsakan atau memvisualisasikan dalam bentuk gerakan,
lukisan, tulisan atau bentuk lain yang diinginkan.
Proses – proses tahapan tersebut terjadi begitu cepat, tergantung dari kemampuan seseorang
dalam memadukan segala potensi yang dimilikinya.
Kebudayaan
A. Pendahuluan
Diakui secara umum bahwa kebudayaan merupakan unsur penting dalam proses
pembangunan atau keberlanjutan suatu bangsa. Lebih-lebih jika bangsa itu sedang membentuk
watak dan kepribadiannya yang lebih serasi dengan tantangan zamannya. Dilihat dari segi
kebudayaan, pembangunan tidak lain adalah usaha sadar untuk menciptakan kondisi hidup manusia
yang lebih baik. Menciptakan lingkungan hidup yang lebih serasi. Menciptakan kemudahan atau
fasilitas agar kehidupan itu lebih nikmat. Pembangunan adalah suatu intervensi manusia terhadap
alam lingkungannya, baik lingkungan alam fisik, maupun lingkungan sosial budaya.
Pembangunan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan
hidupnya. Serentak dengan laju perkembangan dunia, terjadi pula dinamika masyarakat. Terjadi
perubahan sikap terhadap nilai-nilai budaya yang sudah ada. Terjadilah pergeseran sistem nilai
budaya yang membawa perubahan pula dalam hubungan interaksi manusia di dalam masyarakatnya.
Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur
yang merata, materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Bahwa hakekat pembangunan Nasional
adalah pembangunam manusia Indonesia seutuhnya dan pcmbangunan seluruh masyarakat
Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah tentu pendekatan dan strategi pembangunan
hendaknya menempatkan manusia scbagai pusat intcraksi kcgiatan pcmbangunan spiritual maupun
material. Pembangunan yang melihat manusia sebagai makhluk budaya, dan sebagai sumber daya
dalam pembangunan. Hal itu berarti bahwa pembangunan seharusnya mampu meningkatkan harkat
dan martabat manusia. Menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa. Menumbuhkan sikap hidup
yang seimbang dan berkepribadian utuh. Memiliki moralitas serta integritas sosial yang tinggi.
Manusia yang taqwa kepada Tuhan Yang Mahasa Esa.
7. Dewasa ini kita dihadapkan paling tidak kepada tiga masalah yang saling berkaitan, yaitu
1). Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa, dengan latar belakang
sosio budaya yang beraneka ragam. Kemajemukan tersebut tercermin dalam berbagai aspek
kehidupan. Oleh karena itu diperlukan sikap yang mampu mengatasi ikata-ikatan primordial, yaitu
kesukuan dan kedaerahan.
2). Pembangunan telah membawa perubahan dalam masyarakat. Perubahan itu nampak terjadinya
pergeseran sistem nilai budaya, penyikapan yang berubah pada anggota masyarakat tcrhadap
nilai-nilai budaya. Pembangunan telah menimbulkan mobilitas sosial, yang diikuti oleh hubungan
antar aksi yang bergeser dalam kelompok-kclompok masyarakat. Sementara itu terjadi pula
penyesuaian dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dapat dipahami apabila pergeseran
nilai-nilai itu membawa akibat jauh dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
3). Kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi massa dan transportasi, yang membawa pengaruh
terhadap intensitas kontak budaya antar suku maupun dengan kebudayaan dari luar. Khusus
dengan terjadinya kontak budaya dengan kebudayaan asing itu bukan hanya itensitasnya
menjadi lebih besar, tetapi juga penyebarannya bcrlangsung dengan cepat dan luas
jangkauannya. Terjadilah perubahan orientasi budaya yang kadang-kadang menimbulkan
dampak terhadap tata nilai masyarakat, yang sedang menumbuhkan identitasnya sendiri sebagai
bangsa.
Untuk itulah, kepada lulusan Perguruan Tinggi perlu di bekali pengetahuan yang dapat
mengembangkan kepribadiannya dan agar memiliki sikap hidup yang halus dan terbuka.
B. Pengertian Kebudayaan
Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah”, yaitu bentuk
jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan ahli antropologi yang memberikan definisi
tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah E.B. Tylor dalam buku yang berjudul
“Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung
ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Pada
sisi yang agak berbeda,
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan
dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam
kehidupanan masyarakat.
Secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:
1.Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia, yang meliputi:
b.kebudayaan materiil (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia,
misalnya kendaraan, alat rumah tangga, dan lain-lain.
8. c.Kebudayaan non-materiil (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan
diraba, misalnya agama, bahasa, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
2.Kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh
dengan cara belajar.
3.Kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat kemungkinannya
sangat kecil untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya, tanpa kebudayaan tidak mungkin
manusia (secara individual maupun kelompok) dapat mempertahankan kehidupannya. Jadi,
kebudayaan adalah hampir semua tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
C. Unsur-Unsur Kebudayaan
Unsur-unsur kebudayaan meliputi semua kebudayaan yang ada dunia, baik yang kecil, sedang,
besar, maupun yang kompleks. Menurut konsepnya Malinowski, kebudayaan di dunia ini mempunyai
tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial,
sistem pengetahuan, religi, dan kesenian .Seluruh unsur itu saling terkait antara yang satu dengan
yang lain dan tidak bisa dipisahkan.
D. Sistem Budaya dan Sistem Sosial
Sistem sosial dan sistem budaya merupakan bagian dari kerangka budaya. Ketiga sistem
tersebut secara analisis dapat dibedakan. Sistem sosial lebih banyak dibahas oleh ilmu sosiologi,
sementara itu sistem budaya banyak dikaji dalam ilmu budaya.Sistem diartikan sebagai kumpulan
bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Sistem mempunyai
sepuluh ciri, yaitu:
1.fungsi,
2.satuan,
3.batasan,
4.bentuk,
5.lingkungan,
6.hubungan,
7.proses,
8. masukan,
9.keluaran, dan
10.pertukaran.
9. Sistem budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya a tau
kultural sistem merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu
masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dan menjadi
suatu sistem. Dengan demikian, sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula
adat-istiadat. Adat-istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut
pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku
manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui proses pembudayaan atau
institutionalization (pelembagaan). Dalam proses ini, individu mempelajari dan menyesuaikan alam
pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, mula-
mula meniru berbagai macam ilmu n. Setelah itu menjadi pola yang mantap, dan mengatur apa yang
dimilikinya.
Sedangkan, sistem sosial pertama kali diperkenalkan oleh Talcott Parsons. Konsep struktur
sosial digunakan untuk menganalisis aktivitas sosial sehingga sistem sosial menjadi model analisis
terhadap organisasi sosial.
Konsep sistem sosial adalah alat bantu untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok
manusia. Model ini bertitik tolak dari pandangan bahwa kelompok manusia merupakan suatu sistem.
Parsons menyusun strategi untuk menganalisis fungsional yang meliputi semua sistem sosial,
termasuk hubungan berdua, kelompok kecil, keluarga, organisasi sosial, termasuk masyarakat secara
keseluruhan. terdapat empat unsur dalam sistem sosial, yaitu:
1. dua orang atau lebih,
2. terjadi interaksi di antara mereka,
3. interaksi yang dilakukan selalu bertujuan, dan
4. memiliki struktur, simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya.
Lebih lanjut, suatu sistem sosial akan dapat berfungsi apabila empat persyaratan di bawah ini
terpenuhi. Keempat persyaratan itu meliputi:
1.Adaptasi, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya.
2.Mencapai tujuan, merupakan persyaratan fungsional bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-
tujuannya.
3.Integrasi, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam
sistem sosial.
4.Pemeliharaan pola-pola tersembunyi, merupakan konsep latent (tersembunyi) pada titik berhentinya
suatu interaksi akibat kejenuhan sehingga tunduk pada sistem sosial lainnya yang mungkin
terlibat.
Lebih lanjut, Parson menjelaskan bahwa dalam suatu sistem sosial terdapat 10 unsur yang
membentuk kesempurnaan suatu” sistem. Kesepuluh unsur itu, yaitu:
10. (1) keyakinan,
(2) perasaan,
(3) tujuan sasaran cita-cita,
(4) norma,
(5) kedudukan peranan,
(6) tingkatan,
(7) kekuasaan atau pengaruh,
(8) sanksi,
(9) sarana atau fasilitas, dan
(10) tekanan ketegangan.
E.Makna Sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, dan orang lain
menafsirkan makna-makna obyek-obyek di alam kesadarannya dan memutuskannya bagaimana ia
bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu. Bahkan seseorang melakukan sesuatu karena
peran sosialnya atau karena kelas sosialnya atau karena sejarah hidupnya. Tingkah laku manusia
memiliki aspek-aspek pokok penting sebagai berikut :
(1)Manusia selalu bertindak sesuai dengan makna barang-barang (semua yang ditemui dan
dialami, semua unsur kehidupan di dunia ini);
(2)Makna dari suatu barang itu selalu timbul dari hasil interaksi di antara orang seorang;
(3)Manusia selalu menafsirkan makna barang-barang tersebut sebelum dia bisa bertindak sesuai
dengan makna barang-barang tersebut. Atas dasar aspek-aspek pokok tersebut di atas,
interaksi manusia bukan hasil sebab-sebab dari luar. Hubungan interaksi manusia
memberikan bentuk pada tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul saling
mempengaruhi. Mempertimbangkan tindakan orang lain perlu sekali, bila mau membentuk
tindakan sendiri.
Menurut Blumer dalam premisnya menyebutkan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna-makna yang berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain dan
disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung.
Makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang atau aktor bertindak terhadap sesuatu
dengan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan situasi di mana dia
ditempatkan dan arah tindakannya.
F. Perubahan Sosial
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan dimensi ruang
dan waktu. Perubahan itu bisa dalam arti sempit , luas, cepat atau lambat. Perubahan dalam
masyarakat pada prinsipnya merupakan proses terus-menerus untuk menuju masyarakat maju atau
berkembang, pada perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan.
Menurut Moore dalam karya Lauer, perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan
penting dalam struktur sosial . Yang dimaksud struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi
sosial. Perubahan sosial mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, karena seluruh aspek kehidupan
sosial itu terus menerus berubah, hanya tingkat perubahannya yang berbeda.
Himes dan More mengemukakan tiga dimensi perubahan sosial :
(1)Dimensi structural dari perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk struktur
masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktur kelas
sosial dan perubahan dalam lembaga sosial;
11. (2)Perubahan sosial dalam dimensi cultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam masyarakat
seperti adanya penemuan dalam berpikir (ilmu pengetahuan), pembaharuan hasil teknologi, kontak
dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan peminjaman kebudayaan;
(3)Perubahan sosial dalam dimensi interaksional mengacu kepada perubahan hubungan sosial dalam
masyarakat yang berkenaan dengan perubahan dalam frekuensi, jarak sosial, saluran, aturan-aturan
atau pola-pola dan bentuk hubungan.
G. Konsep Nilai
Batasan nilai bisa mengacu pada berbagai hal seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas,
kewajiban agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan perasaan dari orientasi seleksinya (Pepper, dalam Sulaeman, 1998). Rumusan
di atas apabila diperluas meliputi seluruh perkem-bangan dan kemungkinan unsur-unsur nilai,
perilaku yang sempit diperoleh dari bidang keahlian tertentu, seperti dari satu disiplin kajian ilmu. Di
bagian lain, Pepper mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang
buruk. Sementara itu, Perry (dalam Sulaeman, 1998) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu
yang menarik bagi manusia sebagai subjek.
Ketiga rumusan nilai di atas, dapat diringkas menjadi segala sesuatu yang dipentingkan
manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi,
pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.
Seseorang dalam melakukan sesuatu terlebih dahulu mempertimbangkan nilai. Dengan kata
lain, mempertimbangkan untuk melakukan pilihan tentang nilai baik dan buruk adalah suatu
keabsahan. Jika seseorang tidak melakukan pilihannya tentang nilai, maka orang lain atau kekuatan
luar akan menetapkan pilihan nilai nnluk dirinya.
Seseorang dalam melakukan pertimbangan nilai bisa bersifat subyektif dan bisa juga bersifat
objektif. Pertimbangan nilai subjektif tcnlapat dalam alam pikiran manusia dan bergantung pada orang
yang memberi pertimbangan itu. Sedangkan pertimbangan objektif beranggapan bahwa nilai-nilai itu
terdapat tingkatan-tingkatan sampai pada tingkat tertinggi, yaitu pada nilai fundamental yang
mencerminkan universalitas kondisi fisik, psikologi sosial, menyangkut keperluan setiap manusia di
mana saja.
Dalam kajian filsafat, terdapat prinsip-prinsip untuk pemilihan nilai, yaitu sebagai berikut.
1.nilai instrinsik harus mendapat prioritas pertama daripada nilai ekstrinsik. Sesuatu yang berharga
instrinsik, yaitu yang baik dari dalam dirinya sendiri dan bukan karena menghasilkan sesuatu
yang lain. Sesuatu yang berharga secara ekstrinsik, yaitu sesuatu yang bernilai baik karena
sesuatu hal dari luar. Jika sesuatu itu merupakan sarana untuk mendapat sesuatu yang lain.
Semua benda yang bisa digunakan untuk aktivitas mem-punyai nilai ekstrinsik.
2.nilai ini tidak harus terpisah. Suatu benda dapat bernilai instrinsik dan ekstrinsik. Contoh
pengetahuan, mempunyai nilai instrinsik baik dari dirinya sendiri dan mempunyai nilai ekstrinsik
apabila digunakan untuk kepentingan pembangunan baik di bidang ekonomi, politik, hukum,
maupun bidang-bidang yang lainnya.
3.nilai yang produktif secara permanen didahulukan daripada nilai yang produktif kurang permanen.
Beberapa nilai, seperti nilai ekonomi akan habis dalam aktivitas kehidupan. Sedangkan nilai
12. persahabatan akan bertambah jika dipergunakan untuk membagi nilai akal dan jiwa bersama
orang lain. Oleh karena itu, nilai persahabatan harus didahulukan daripada nilai ekonomi.
H. Sistem Nilai
Sistem nilai adalah nilai inti (core value) dari masyarakat. Nilai inti ini diakui dan dijunjung
tinggi oleh setiap manusia di dunia untuk berperilaku. Sistem nilai ini menunjukkan tata-tertib
hubungan timbal balik yang ada di dalam masyarakat. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1981). Sistem nilai budaya ini telah
melekat dengan kuatnya dalam jiwa setiap anggota masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah
dalam waktu yang singkat. Sistem budaya ini menyangkut masalah-masalah pokok bagi kehidupan
manusia.
Sistem nilai budaya ini berupa abstraksi yang tidak mungkin sama persis untuk setiap kelompok
masyarakat. Mungkin saja nilai-nilai itu dapat berbeda atau bahkan bertentangan, hanya saja orien-
tasi nilai budayanya akan bersifat universal, sebagaimana Kluckhohn (1950) sebutkan.
Menurut Kluckhohn, sistem nilai budaya dalam masyarakat di mana pun di dunia ini, secara universal
menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu:
4.Hakikat hidup manusia. Hakikat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstrim. Ada yang
berusaha untuk memadamkam hidup (nirvana = meniup habis). Ada pula yang dengan pola-pola
kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai sesuatu hal yang baik (mengisi hidup).
5.Hakikat karya manusia. Setiap manusia pada hakikatnya berbeda-beda, di antaranya ada yang
beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau
kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
6.Hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda. Ada yang berpandangan mementingkan orientasi
masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini atau yang akan datang.
7.Hakikat alam manusia. Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam
atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang beranggapan bahwa
manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.
8.Hakikat hubungan manusia. Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia dengan
manusia, baik secara horisontal maupun secara vertikal kepada tokoh-tokoh. Ada pula yang
berpandangan individualist’s (menilai tinggi kekuatan sendiri).
Berdasarkan hasil suatu penelitian, ada tiga pandangan dasar tentang makna hidup, yaitu:
(1) hidup untuk bekerja,
(2) hidup untuk beramal, berbakti, dan
(3) hidup untuk bersenang-senang.
13. Sedangkan makna kerja, yaitu:
(1) untuk mencari nafkah,
(2) untuk memper-tahankan hidup,
(3) untuk kehormatan,
(4) untuk kepuasan dan kesenangan, dan
(5) untuk amal ibadah.
I. Perubahan Kebudayaan
Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, ada dua sebab
perubahan
1.Sebab yang berasal dari masyarakat dan lingkungannya sendiri,misalnya perubahan jumlah dan
komposisi
2.sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya
terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain,
cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
3.adanya difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi.
Dalam masyarakat maju, perubahan kebudayaan biasanya terjadi melalui penemuan (discovery)
dalam bentuk ciptaan baru (inovatiori) dan melalui proses difusi. Discovery merupakan jenis
penemuan baru yang mengubah persepsi mengenai hakikat suatu gejala mengenai hubungan dua
gejala atau lebih. Invention adalah suatu penciptaan bentuk baru yang berupa benda (pengetahuan)
yang dilakukan melalui penciptaan dan didasarkan atas pengkom-binasian pengetahuan-
pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala yang dimaksud.
Ada empat bentuk peristiwa perubahan kebudayaan. Pertama, cultural lag, yaitu perbedaan
antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Dengan kata lain,
cultural lag dapat diartikan sebagai bentuk ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat
benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat
menyesuaikan diri terhadap benda tersebut.
Kedua, cultural survival, yaitu suatu konsep untuk meng-gambarkan suatu praktik yang telah
kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup, dan berlaku semata-mata hanya di
atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, cultural survival adalah pengertian adanya suatu cara
tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu hingga sekarang.
Ketiga, pertentangan kebudayaan (cultural conflict), yaitu proses pertentangan antara budaya
yang satu dengan budaya yang lain.
14. Konflik budaya terjadi akibat terjadinya perbedaan kepercayaan atau keyakinan antara anggota
kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.
Keempat, guncangan kebudayaan (cultural shock), yaitu proses guncangan kebudayaan sebagai
akibat terjadinya perpindahan secara tiba-tiba dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Ada
empat tahap yang membentuk siklus cultural shock, yaitu: (1) tahap inkubasi, yaitu tahap pengenalan
terhadap budaya baru, (2) tahap kritis, ditandai dengan suatu perasaan dendam; pada saat ini terjadi
korban cultural shock, (3) tahap kesembuhan, yaitu proses melampaui tahap kedua, hidup dengan
damai, dan (4) tahap penyesuaian diri; pada saat ini orang sudah membanggakan sesuatu yang
dilihat dan dirasakan dalam kondisi yang baru itu; sementara itu rasa cemas dalam dirinya sudah
berlalu.
Konsepsi Budaya Dasar Dalam Berbagai Bidang Kesusasteraan
1. Hakekat Puisi
Dipandang dari segi bangunan bentuknya pada umumnya puisi dianggap sebagai pemakaian
atau penggunaan bahasa yang intensif; oleh karena itu minimnya jumlah kosa kata yang digunakan
dan padatnya struktur yang dimanipulasikan,namun justru karena itu berpengaruh kita dalam
menggerakkan emosi pembaca karena gaya penuturan dan daya lukisnya. Bahasa puisi dikatakan
lebih padat lebih indah, lebih cemerlang dan hidup (compressed, picturesque, vivid) daripada bahasa
prosa atau percakapan sehari-hari.
Bahasa puisi mengandung penggunaan lambang-lambang metaforis dan bentuk-bentuk
intutive yang lain untuk mengekspresikan gagasan, perasaaan dan emosi oleh karena puisi
senantiasa menggapai secara eksklusif ke arah imajinasi dan ranah (domain) bentuk-bentuk emotif
dan artistiknya sendiri.
Kepadatan bahasa puisi itu sebenarnya sangat berkaitan. Secara sinkron dan integratif
dengan upaya sang penyair dalam memadatkan sejumlah pikiran, pcrasaan dan emosi serta pe-
ngalaman hidup yang diungkapannya. Hal yang membedakan seorang penyair dari pengarang prosa
adalah karena kemampuannya dalam mengekspresikan hal-hal yang sangat besar dan luas dalam
bentuk yang ringkas dan padat.
Dipandang dari segi isinya puisi yang bagus merupakan ekspresi yang paling benar (genuine
expression) atas kcseluruhan kepri-badian manusia dan kerena itu ia dapat menyampaikan secara
luar biasa keinsyafan pikiran dan hari manusia tehadap pcngalaman dan peristiwa kehidupan.
Dengan demikian fenomen- budaya puisi itu tcrcipta dalam proses yang kira-kira bisa dibagankan
sebagai bcrikut:
2. Penyajian Puisi dalam Pendidikan dan pengajaran di semua tingkatan
Berdasarkan sejumlah pandangan yang terpilih dari para ahli dan kritikus sastra dapatlah
dikatakan bahwa puisi bersifat koekstensif dengan “hidup” (W.J.G. race, 1965:5) yang berarti bcrdiri
berdampingan dalam kedudukan yang sama dengan “hidup” sebagai pencerminan dan krilik atau
interpretasi terhadap “hidup”.
Dalam pemikiran aslinya Dr. Smuel Johnson menyebutkan “general nature” sebagai obyek
“percerminan”. Dalam hal ini puisi itu sendiri bukanlah sebuah cermin, dalam pengertian ia tidak
15. semata-mata mereproduksi suatu bayangan alam (dan kehidupan), tetapi ia membuat alam itu
direfleksikan di dalam bentuknya yang banyak berisi arti (Northrop Frye, 1957: 84).
Secara aktual apa yang dinyatakan oleh penyair dalam puisinya dapat merupakan analogi,
koresponden atau mirip dengan alam lahir (external nature). Di sini “cermin” tidak semata-mata
mereflcksikan alam lahir itu, oleh karena “alam” di sini juga mencakup inleligensi manusia,
perasaanya dan cara atau aktivitas manusia itu melihat dirinya sendiri. Tendensi pandangan dalam
kritik modern mengenai dalil “pencerminan” tersebut menganggap bahwa puisi sebagai suatu jenis
karya scni merupakan “heterokosmos” yakni sebagai “alam kedua”. Dalam memandang sastra pada
umumnya dan puisi pada khususnya sebagai pencerminan pengalaman, kita tidak akan berpikir
bahwa sastra (puisi) sebagai penyajian norma-norma secara statistik.
Sebegitu jauh sastra/puisi di zaman angkatan Pujangga Baru (tahun 30-an) boleh disebut
hanya mengenal atau cenderung kepada minoritas orang-orang berpendidikan menengah dan feodal
sebagaimana sastra Eropa Barat di abad pertengahan yang hanya menyuarakan gerak hidupnya
kaum bangsawan yang mencari kekuatannya pada tema-tema tertentu saja, misalnya cinta istana.
Namun sastra/puisi Indonesia di kurun 1942 – 1945 mengumandangkan tuntutan masyarakat
akan kemerdekaan dan di tahun 1960-an meneriakkan pemberontakan kepada kaum “tirani” dan
“despot”. Sedangkan puisi-puisi Gunawan Muhammad atau Sapardi Joko Damono lebih banyak ber-
sifat renungan pada pencarian nilai-nilai.
2.1. Hubungun puisi dengan pengalaman hidup manusia
Perekaman dan penyampaian pengalaman dalam sastra/puisi disebut “pengalaman
perwakilan’ (vicarious experience, (1) D.L. Burton, 1964: 4, (2) M.E. Fowler, 1965: 219, (3) W.J.
Grace, 1965: (4). lni berarti bahwa manusia senantiasa ingin mcmiliki salah satu kebutuhan dasarnya
untuk lebih menghidupkan pengalaman hidupnya dari sekedar kumpulan pengalaman langsung yang
terbalas. Dengan ‘pengalaman perwakilan” itu sastra/puisi dapat memberikan kepada mahasiswa
memiliki kesadaran (insight – wawasan) yang penting untuk dapat melihat dan mengerti banyak
tentang dirinya sendiri dan tentang masyarakat.
Dengan keseringan membaca dan mendiskusikan hasil karya sastra/puisi dengan bimbingan
dosen yang bijaksana dan matang mcreka dapat berkembang untuk mengerti tidak saja terhadap diri
mereka masing-masing dan hubungannya dengan masyarakat di mana mereka hidup, tetapi juga
terhadap kcahlian dan kearifan senimannya (the craft of the artist).
Pendekatan terhadap ‘pengalaman perwakilan’ ilu dapat dilakukan dengan suatu kemampuan
yang disebut ‘imaginative entry’ (D.L. Burton, 1965: 1544), yaitu kemampuan menghubungkan
pengalaman hidup sendiri dengan pengalaman yang diluangkan penyair dalam puisinya. Sebagai
pemuda tentulah mahasiswa itu pcrnah jatuh cinta, kebencian yang mendendam, keberanian
memprotes, sakit hati dan penderitaan olch kesedihan, keterharuan dan kebanggaan olch dalang-nya
suatu harapan yang membahagiakan. Dengan mengidentifikasi pengalaman-pengalaman itu mereka
dapat memasuki pcngalaman dalam puisi dengan membaca dan mendiskusikannya, sehingga
mcreka dapat mempcrluas ketahuannya terhadap dirinya dan terhadap orang lain.
16. Puisi mempunyai kekuatannya sendiri dalam memperluas pengalaman hidup aktual dengan
jalan mengalur dan mensintesekannya. Pengalaman yang melayani kebutuhan universal manusia
untuk memperoleh pelarian dan obat penawar dari beban kesibukan hidup yang rutin.
2.2 Puisi dan keinsyafan/kesadaran individual.
Dengan membaca puisi kita dapat diajak untuk dapat menjenguk hati dan pikiran/kesadaran
manusia, baik orang lain maupun diri sendiri. Hal ini sangat dimungkinkan oleh puisi itu sendiri,
karena melalui puisinya sang penyair menunjukkan kepada pembaca bagian dalam hati manusia, ia
menjelaskan pengalaman sctiap orang, yang bisa mengenai;
–topang yang dipakai orang dalam kehidupan yang nyata
–bcrbagai pcranan yang diperankan orang dalam mcnampilkan diri di dunia atau lingkungan
masyarakatnya.
Adalah hak dan misi seorang penyair lewat puisinya untuk membuka tabir yang mcnutupi hati
manusia dan membawa kita untuk melihat sedekat- dekatnya rahasia pikiran, perasaan dan impian
manusia. Pada akhirnya puisi mempcrluas dacrah pcrscpsi kita memperlcbar dan memperdalam
serta menyempurnakan sensibilitas emosional kita, kemampuan kita untuk merasakan, sehingga kila
dibuatnya menjadi lebih sensitif, lebih responsif dan mejadi manusia yang lebih simpatik.
2.3. Puisi dan keinsyafan sosial.
Puisi juga membcrikan kepada manusia tentang pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial, yang tcrlibat dalam issue dan problema sosial. Sccara imajinatif puisi dapat menafsirkan
sittuasi dasar manusia sosial, yang bisa bcrupa:
– penderitaan atas ketidak adilan
– perjuangan untuk kekuasaan.
– konfliknya dengan secsamanya
– pemberontakannya lerhadap hukum Tuhan atau hukum manusia sendiri.
2.4. Puisi dan nilai-niiai.
Dengan membcrikan pengarahan dna bimbingan yang tepat dalam proses membaca dan
mendiskusikan puisi, mahasiswa akan men-jumpai nilai-nilai (value) yang bermanfaat bagi lingkungan
hidupnnya. Ia akan membaca tentang manusia laki-laki atau perempuan yang mungkin telah
mengambil sikap tertentu tentang moral dan etika yang menjadi pilihannya.
Kata drama berasal dari kata Greek draien yang berarti to do, to act. Sementara itu kata
teater berasal dari kata Greek the-atron yang berarti to see, to view. Perbedaan antara kedua istilah
itu dapat dilihat pada pasangan ciri-ciri sebagai berikut ;Drama teater
play : performance
17. script : production
text : staging
author : actor
creation : interpretation
theory : practice
Dari perbandingan di atas kiranya nampak bahwa drama lebih me-rupakan lakon yang belum
dipentaskan; atau skrip yang belum diproduksikan; atau teks yang belum dipanggungkan; atau hasil
kreasi pengarang yang dalam batas-batas tertentu masih bersifat teoritis. Sementara itu teater lebih
merupakan performansi dari lakon; atau produksi dari skrip; atau pemanggungan dari teks; atau hasil
interpretasi aktor dari kreasi pengarang yang dalam batas-batas tertentu bersifat mempraktekkan.
Mengapresiasi drama sebagai sastra (terutama jika menggunakan pendekatan obyektif) tidak
dapat dilepaskan dari memahami elemen-elemen atau unsur-unsur drama yakni : alur (plot) bahasa
lakon (terutama dialog), dan tokoh (character). Namun hendaklah diingat bahwa ketiganya (plot,
dialog dan character) bukanlah monopoli drama, oleh karena prosa fiksi pun memiliki elemen-elemen
tadi.
Dari sini jelas bahwa perbedaan antara novelis dengan penulis lakon dalam menyajikan
tokoh, terletak pada alat yang digunakan. Penulis lakon menggunakan alat dialog dan aksi.
Sementara itu novelis akan menggunakan alat dialog dan wacana narator (narrator’s discourse).Dari
apa yang telah disajikan di atas semakin jelaslah bahwa elemen-elemen drama dalam batas-batas
tertentu terdapat juga di dalam prosa fiksi.
4. PROSA FIKSI
Istilah prosa fiksi banyak padanannya. Kadang-kadang di sebut : narrative fiction, fictional
narrative, prose fiction atau hanya fiction saja. Kata Latin fictionem dari kata fingere artinya
menggambarkan atau menunjukkan. Dalam bahasa Indonesia istilah tadi sering diterjemahkan
menjadi cerita rekaan dan didefinisikan sebagai “Bentuk cerita atau prosa kisahan yang mempunyai
peme-ran, lakuan, peristiwa, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi” (Saad &
Moeliono). Istilah cerita rekaan umumnya dipakai untuk roman, atau novel, atau cerita pendek.
4.1 Nilai-nilai di dalam prosa fiksi
Yang dimaksud dengan nilai di sini adalah persepsi dan pengertian yang diperoleh pembaca
lewat sastra (prosa fiksi). Hendaknya disadari bahwa tidak semua pembaca dapat mem-peroleh
persepsi dan pengertian tersebut. Ini hanya dapat diperoleh pembaca, apabila sastra menyentuh
diririya. Nilai tersebut tidak akan diperoleh secara otomatis dari membaca. Dan hanya pembaca yang
berhasil mendapat pengalaman sastra saja yang dapat merebut nilai-nilai dalam sastra.
(a). Prosa fiksi memberikan kesenangan
18. Keistimewaan kesenangan yang diperoleh dari membaca fiksi adalah pembaca
mendapatkan pengalaman sebagaimana jika mengalaminya sendiri peristiwa atau keja-dian yang
dikisahkan. Pembaca dapat mengembangkan imaginasinya untuk mengenal daerah atau tempat
yang asing, yang belum dikunjunginya, atau yang tak mungkin dikunjungi selama hidupnya.
Pembaca juga dapat mengenal tokoh-tokoh yang aneh atau asing tingkah lakunya atau mungkin
rumit perjalanan hidupnya untuk mencapai suatu sukses. Namun demikian tidak menutup
kemungkinan bahwa tempat atau tokoh dalam fiksi itu mirip dengan manusia manusia atau
tempat-tempat dalam kehidupan sehari-hari.
Kecuali kenikmatan literer, fiksi juga memberikan kesenangan yang berupa stimulasi
intelektual. Ini datang dari adanya ide-ide, wawasan-wawasan, atau pemikiran-pemikitan yang
baru, yang aneh, yang luar biasa, bahkan juga yang mungkin sangat membahayakan jika
diungkap-kan bukan lewat sastra.
(b). Prosa fiksi memberikan informasi.
Fiksi memberikan sejenis informasi yang tidak terdapat di dalam ensiklopedi. Jika kita
memerlukan suatu fakta, maka kita dapat membuka buku. Tetapi jika kita menginginkan wawasan
yang berbeda dari apa yang ada di dalam fakta, maka kita harus memilih sastra. Dari sastra
mungkin kita akan mendapatkan nilai-nilai dari sesuatu yang mungkin di luar perhatian kita. Dari
novel sering kita dapat belajar sesuatu yang lebih daripada sejarah atau laporan jurnalistik
tentang kehidupan masa kini, kehidup-an masa lalu, bahkan juga kehidupan yang akan datang,
atau kehidupan yang sama sekali asing. (Kita ingat misalnya Robinson Crusoe (Defoe) atau
Perjalanan ke Akhirat (Djamil Suherman).
Fiksi juga memberikan ide atau wawasan yang lebih dalam daripada sekedar fakta yang
hanya bersifat meng-gambarkan. Dari fiksi dapat dipahami tentang kelemahan, ketakutan,
keterasingan, atau hakekat manusia lebih daripada apa yang disajikan oleh buku-buku psikologi,
sosiologi, atau anthropologi.
Fiksi bersifat mendramatisasikan, bukan hanya sekedar menerangkan seperti misalnya
buku teks psikologi. Mendramatisasikan, berarti mengubah prinsip-prinsip abstrak menjadi suatu
kehidupan atau lakuan/tindakan (action). Kita jadi ingat misalnya pada Ziarah (Iwan Simatupang)
yang merupakan dramatisasi atau fisikalisasi dari ide keterasingan kehidupan manusia,
sebagaimana diperankan oleh profesor filsafat itu.
(c). Prosa fiksi memberikan warisan kultural.
Pelajaran sejarah dapat memberikan sebagian warisan kultural kepada mahasiswa;
demikian pula dengan pelajaran matematika, seni, dan musik. Para mahasiswa yang mempelajari
bahasa dan sastra akan memperoleh kontak dengan : impian-impian, harapan-harapan, dan
aspirasi-aspirasi, sebagai akar-akar dari kebudayaan. Prosa fiksi dapat menstimulai imaginasi,
dan merupakan sarana bagi pemindahan yang tak henti-hentinya dari warisan budaya bangsa.
Novel-novel yang terkenal seperti : Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang
mengungkapkan impi-an-impian, harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dari generasi yang terdahulu
19. yang seharusnya dihayati oleh generasi kini. Bagi bangsa Indonesia novel-novel yang berlatar
belakang perjuangan revolusi seperti Jalan Tak Ada Ujung, Perburuhan, jelas merupakan buku
novel yang berarti, sementara kita menyadari bahwa revolusi itu sendiri adalah suatu tindakan
heroisme yang mengagumkan dan memberikan kebanggaan.
(d). Prosa fiksi memberikan keseimbangan wawasan.
Lewat prosa fiksi seseorang dapat menilai kehidupan berdasarkan pengalaman-
pengalamannya dengan banyak individu. Fiksi juga memungkinkan lebih banyak kesem-patan
untuk memilih respon-respon emosional atau rang-kaian aksi (action) yang mungkin sangat
berbeda daripa-da apa yang disajikan oleh kehidupan sendiri. Rangkaian aksi itu sendiri mungkin
tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi di dalam kehidupan faktual.
Adanya semacam kaidah kemungkinan yang tidak mungkin dalam fiksi inilah yang
memungkinkan pembaca untuk dapat memperluas dan memperdalam persepsi dan wawasannya
tentang tokoh, hidup, dan kehidupan manusia. Dari banyak memperoleh pengalaman sastra,
pembaca akan terbentuk keseimbangan wawasannya, terutama dalam menghadapi kenyataan-
kenyataan di luar dirinya yang mungkin sangat berlainan dari pribadinya. Seorang dokter yang
dianggap memiliki status sosial tinggi, tetapi ternyata mendatangi perempuan simpanannya
walaupun dengan alasan-alasan psikologis, seperti dikisahkan novel Belenggu, adalah contoh
dari “the probable impossibility.” Tetapi justru dari sinilah pembaca memperluas per-spektifnya
tentang kehidupan manusia.
Kesanggupan sastra (fiksi) untuk menembus pikiran dan emosi seperti itu dapat
memberikan impaknya yang luar biasa. Beberapa novel kadang-kadang menyajikan suatu
wawasan atau pemikiran yang subtil, bahkan sampai kepada yang “gila” (Ingat beberapa novelet
Putu Wijaya).
4.2 Aspek ekstrinsik prosa fiksi.
Faktor sejarah dan lingkungan seringkali dapat dibuktikan ada kaitannya dengan sebuah
cipta sastra (fiksi). Dengan kata lain kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat atau lingkungan itulah
justru memiliki pengaruh yang kuat pada diciptakanya sebuah karya prosa fiksi. Sehingga kejadian-
kejadian yang bersamaan dalam proses pembuatan sebuah karya prosa fiksi seringkali menjadi ide
dan inspirasi dari pengarangnya.
Konsepsi Budaya Dasar Dalam Seni Rupa
1. HAKEKAT SENI RUPA.
Keutuhan manusia sebagai pribadi dapat dimungkinkan melalui pemahaman, penghayatan
dan meresapkan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya seni rupa sebagai salah satu bagian
dari kebudayaan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi pikiran, perasaan dan
kemauan secara naluriah memerlukan pranata budaya untuk menyatakan rasa seninya, baik secara
aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif dalam kegiatan apresiatif.
Dalam kegiatan apresiatif, yaitu mengadakan pendekatan terhadap seni rupa seolah-olah kita
memasuki suatu alam rasa yang kasat mata. Seni rupa sebagai karya seni yang nampak rupa
seolah-olah hanya dapat dihayati dengan indra mata. Maka itu kadang-kadang seni rupa itu
20. disamakan dengan seni visual, yakni seni yang aktifitasnya erat sangkut pautnya dengan visi indrawi
(mata) Tetapi sebenarnya seni rupa itu lebih dari yang hanya bersifat lahiriah semata, yakni lebih
dalam lagi dan meliputi pula visi bathiniah.
Seni rupa sebagai karya yang kasat mata, perwujudannya itu adalah merupakan wadah
pembabaran idea yang bersifat bathiniah Dalam mengadakan pendekatan terhadap seni rupa seluruh
pancaindra kita, khususnya penglihatan, perabaan dan perimbangan kita terlibat dengan asyiknya
terhadap bentuk seni rupa itu yang terdiri dari aneka warna, garis, bidang, tekstur dan sebagainya
yang bersifat lahiriah itu untuk seterusnya menguak alam kesadaran jiwa kita untuk lebih jauh
menghayati isi yang terbabar dalam karya seni rupa itu serta idea yang melatar belakangi
kehadirannya.
Maka itu dalam mengadakan pendekatan terhadap karya seni rupa kita tidak cukup hanya
bersimpati terhadap karya seni rupa itu, tetapi lebih dari itu yaitu secara empati (empathy). Empati
berasal dari kata Yunani yang berarti Terasa di dalam, sedangkan simpati yang juga berasal dari kata
Yunani berarti merasa dengan. Jadi dalam menghayati suatu karya seni secara empati berarti kita
menempatkan diri kita ke dalam karya seni itu.
“Seorang pribadi yang berempati orang ini mencoba melihat dunia dari makhluk manusia lain,
melalui mata dari orang lain. Empati memerlukan keterlibatan, imajinasi, pengertian, identifikasi dan
interaksi. Dengan faktor-faktor tersebut maka kualitas empati lebih meningkat”
Dengan kesediaan kita mempelajari suatu karya seni secara empati, yaitu mencoba
memahami apa yang sebenarnya terbabar dalam karya seni itu, baik terhadap karya seni yang
berasal dari jaman lampau maupun dari masa kini dari daerah yang sama atau berjauhan,berarti kita
telah terbuka untuk memahaminya.
Memang, pada dasarnya manusia bersifat sukar memahami manusia lainnya, termasuk
bersifat sukar menerima karya seni bentuk-bentuk asing. Pemahaman terhadap karya seni bentuk-
bentuk asing seperti karya seni rupa prmitif atau karya seni rupa kuno, bahkan juga terhadap karya
seni rupa modern tidaklah mudah, Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan
merupakan ciri khasnya, ialah kreativitas. Dari sebuah perkataan ini tercantumlah beberapa sifat yang
merupakan gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan istilah modern yang bermuka
banyak itu tadi, ada yang menamai seni modern itu dengan “seni kreatif”. Contoh, karya-karya seni
rupa modern adalah karya-karya seniman :
a.Paul Cezane,
b.Paul Gauguin,
c.Vincent van Gogh,
d.Pablo Picasso,
e.Naum Gabo,