Dokumen ini membahas metodologi untuk menentukan kerapatan minimum stasiun hujan, termasuk metode Kagan, Kriging, dan Entropi. Metode Kagan menganalisis hubungan antara kerapatan jaringan dengan kesalahan interpolasi dan perataan. Metode Kriging memprediksi nilai berdasarkan jarak dan struktur variabel. Metode Entropi mengukur jumlah informasi berdasarkan peluang kejadian.
1. TUGAS I
HIDROMETEOROLOGI LANJUT
METODOLOGI UNTUK MENENTUKAN
KERAPATAN MINIMUM STASIUN HUJAN
(Studi Literatur)
OLEH:
KHAIRULLAH
G251144081
SEKOLAH PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI KLIMATOLOGI TERAPAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
2. 1. Pendahuluan
Sistem jaringan kerja alat penakar hujan harus direncanakan sesuai dengan keperluan
pemanfaatan data curah hujan yang dikumpulkan. Di wilayah yang telah berkembang
(pembangunan intensif) dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, jumlah penakar hujan
seharusnya lebih banyak. Hal ini karena tingkat perkembangan pembangunan yang berlangsung
di tempat tersebut menuntut informasi tentang curah hujan yang lebih akurat dibandingkan
dengan wilayah yang kurang atau belum berkembang dengan tingkat kepadatan penduduk yang
rendah. Sebaliknya wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang rendah tetapi memiliki
proyek pembangunan yang strategis, misalnya proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA),
maka akurasi data hujan yang diperlukan juga tinggi karena kelangsungan proyek tergantung
pada suplai air yang ada di atasnya. Jadi, perencanaan jaringan kerja alat penakar hujan akan
ditentukan oleh kondisi ekonomi dan kepadatan penduduk (Asdak, 2007).
Ketelitian pengukuran hujan dipengaruhi oleh jumlah stasiun hujan (rainfall networks)
dan pola penyebarannya. Penempatan stasiun hujan yang tepat baik lokasi, jumlah stasiun hujan,
pola penyebarannya akan dapat diperoleh data yang akurat mengenai kedalaman, penyebaran dan
intensitas hujannya.Curah hujan (frekuensi, intensitas, tipe dan jumlah) adalah variabel kunci
untuk menentukan kondisi sistem iklim. Curah hujan bervariasi menurut ruang dan waktu serta
memerlukan jaringan yang rapat untuk mengamati variabilitas dan nilai-nilai ekstrimnya (WMO
2003).
Aturan umum yang disarankan WMO, bahwa satu alat penakar hujan untuk daerah
kepulauan kecil seluas lebih kurang 25 km2
dengan pola curah hujan yang tidak teratur dianggap
cukup memadai. Sementara di daerah bergunung-gunung satu alat penakar hujan untuk wilayah
seluas 100-250 km2
. Apabila daerah kajian merupakan daerah dengan keadaan topografi relatif
datar, maka satu penakar hujan dapat mewakili daerah seluas 600-900 km2
.
Tabel 1. Kerapatan minimum yang direkomendasikan oleh WMO
No Tipe Luas daerah (km2
)
Kondisi Normal Kondisi Sulit
1 Daerah dataran tropis mediteran dan
sedang
1000 – 2500
(600 – 900)
3000 – 9000
2 Daerah pegunungan tropis mediteran
dan sedang
300 – 1000
(100 – 250)
1000 – 5000
3 Daerah kepulauan kecil bergunung
dengan curah hujan bervariasi
140 – 300
(25)
4 Daerah arid dan kutub 5000 – 20000
(1500 – 10000)
Ada berbagai metode yang digunakan untuk menentukan kerapatan minimum stasiun
hujan selain dari aturan yang ditetapkan WMO (2003). Ada beberapa metode lain yang
diperkenalkan, diantaranya metode Kriging (Suhartanto dan Limantara, 2012), metode Entropy
(Al Zahrani dan Husain, 1997; Yang dan Burn, 1992; Fajarika et. al., 2014), metode gabungan
3. Kriging dan Entropy (Chen et. al., 2008; Awadallah, 2012), serta metode Kagan (Krisnayanti,
2010).
1. Metode Kagan
Metode Kagan menggunakan prinsip statistik dengan menganalisa hubungan kerapatan
jaringan dengan error interpolasi dan error alat. Metode Kagan dapat dijadikan sebagai alat
evaluasi jaringan yang sudah ada dan kerapatan jaringan optimum serta merencanakan
pembangunan awal sebaran jaringan stasiun. Pada dasarnya cara Kagan mempergunakan
analisis statistik dan mengaitkankerapatan jaringan pengukur hujan dengan kesalahan interpolasi
dan kesalahan perataan (interpolation error and averaging error). Metode ini menggunakan
persamaan berikut (Krisnayanti, D. 2010) :
Dimana r(d) adalah koefisien korelasi dengan jarak (km), r(0) adalah koefisien korelasi
hujan antar stasiun diekstrapolasi, d adalah jarak antar stasiun (km), d(0) adalah radius korelasi
jarak antar stasiun dimana korelasi berkurang dengan faktor e, Z1 adalah kesalahan perataan (%),
Z2 adalah kesalahan interpolasi (%), sedangkan Cv adalah koefisien variasi, n adalah jumlah
stasiun hujan, l adalah jarak antar stasiun hujan (km) dan A adalah luas Wilayah Sungai (km2
).
Cara Kagan ini dapat digunakan dalam dua keadaan yaitu :
a. Untuk mengevaluasi jaringan yang telah ada, dan untuk mendapatkan kerapatan jaringan
optimum. Cara ini ditempuh dengan membandingkan kerapatan jaringan yang telah ada,
dengan kerapatan jaringan yang diperoleh dengan cara Kagan. Apabila kerapatan yang telah
ada lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan menurut patokan Kagan, maka jumlah
stasiun yang ada dapat dikurangi sehingga menurunkan biaya operasional. Atau tidak semua
stasiun hujan diperlukan dalam analisis. Stasiun-stasiun yang digunakan selanjutnya adalah
hanya stasiun-stasiun yang terdekat dengan simpul-simpul jaringan Kagan, sedangkan
stasiun yang jauh dari simpul, dapat dihilangkan atau ditutup atau tidak perlu digunakan
untuk analisis lanjutan. Sebaliknya bila kerapatan jaringan yang ada ternyata lebih rendah
dengan kerapatan jaringan sesuai dengan patokan Kagan, maka perlu ditambah stasiun-
stasiun baru di simpul jaringan Kagan.
4. b. Untuk merencanakan jaringan stasiun hujan dalam satu DAS yang belum mempunyai
stasiun hujan sama sekali. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
Menetapkan secara acak jumlah dan pola penempatan stasiun hujan awal (pilot
networks). Selanjutnya setelah berfungsi beberapa lama, misalnya 5 tahun, kemudian
dievaluasi, dengan cara-cara yang telah disebutkan terdahulu.
Menetapkan jaringan awal dengan cara Kagan, dengan meminjam karakter hujan DAS
lain terdekat sebagai acuan sementara. Selanjutnya apabila telah beroperasi beberapa
lama, misalnya lima tahun, kemudian dievaluasi lagi dengan cara Kagan.
2. Metode Kriging
Kriging adalah metode geo-statistikal untuk mengetahui nilai dan semivariogram untuk
memprediksi nilai dari wilayah lain yang tidak terukur. Metode kriging merupakan metode
penduga yang dikembangkan oleh Matheron (1965). Prinsipnya metode ini menekankan pada
interpolasi dari data yang terukur berdasarkan tiga faktor yaitu :1) jarak antara titik yang
ditemukan dengan titik yang tidak terukur; 2) jarak antara titik yang terukur; dan 3) struktur
variable yang diinginkan. Struktur variabel diketahui dari variogram data terukur yang memberi
bobot untuk masing-masing titik yang tidak terukur (Suhartono dan Limantara 2012).
Kriging memiliki kemampuan statistik untuk memperbaiki akurasi pendugaan dari plot
grid. Kriging merupakan dekomposisi dari variabel Z(x) dengan menjumlahkan :
( ) ( ) ( )………………………………(5)
dengan m(x) rataan dan e(x) adalah zero mean fungsi spesifik untuk posisi x yang diberikan.
rataan m(x) konstan dan menuju pada pola kriging. Pola kriging mengikuti pendugaan tidak bias
linier terbaik. Penduga kriging diperoleh dari persamaan Zo:
∑ ………………………….(6)
dengan Zi adalah data observasi, λi adalah bobot dari Zi , sehingga penduga tanpa bias adalah :
∑ …………………………………...(7)
Untuk menentukan kondisi optimal, λi dipilih dengan error paling minimum Zo - Zo* yaitu:
* , - ( )+……………………………(8)
Persamaan (8) dapat diselesaikan dengan metode Langrange multipliers to yield yakni :
5. Dimana γij adalah covariance dari i dan j, | | adalah jarak antara xi dan xj, 𝜇 adalah
rataan variance kriging yang menetapkan pengukuran dari error yang berhubungan dengan
penduga kriging ditentukan dengan premultiplaying persamaan (9) dengan dijumlahkan untuk
semua α.
Sesuai dengan hipotesis, kriging mengasumsikan bahwa rataan dan variogram telah
diketahuai, sehingga :
Semivariogram menunjukkan perbedaan antara Z(x) dengan Z(x+h) bertambah dengan
jarak h. Grafik (h) terhadap h menunjukkan peningkatan semivarigram terhadap h.
Smivariogram akan dibatasi pada nilai terbatas yang disebut sill. Z(x) dan Z(x+h) tidak
berkorelasi ketika h lebih besar dari jangkauan. Beberapa model seperti spherical, eksponensial,
Gaussian dan power-law model digunakan untuk menyesuaikan hubungan (h) dan h untuk
menentukan sill dan range (Chen et al, 2005).
3. Metode Entropi
Metode entropi ukuran dari konten informasinya bergantung pada tingkat pengetahuan
dan peluang. Secara matematik, peluang mencerminkan jumlah informasi. Untuk setiap
distribusi peluang diskret, entropi Shannon dinyatakan sebagai (Chen et al., 2005) :
………………………………..(15)
Dimana variabel pi adalah peluang kejadian xi . Persamaan (12) mengukur jumlah rataan
informasi. H(x)=0 ketika ada kejadian ( pi =0 atau 1). Distribusi yang seragam menunjukkan
informasi terbesar. Berdasarkan persamaan (12), entropy dari dua variabel adalah :
6. …………………………………(16)
Dengan pij sebagai peluang gabungan. Entropi gabungan dapat mengukur jumlah
informasi ketika. Join Entropy dapat mengukur kejadian gabungan yang dapat diperoleh dari
persamaan (15) dengan peluang bersyarat.
…………………………(17)
Pengurangan informasi variabel karena diketahui variabel lain diformulasikan sebagai :
…………………………….(18)
fungsi T(x,y) adalah informasi variabel x dan y.
7. DAFTAR PUSTAKA
Al-Zahrani, M and Husain, T. 1998. An algorithm for designing a precipitation network in the south-
eastern region of Saudi Arabia. Journal of Hydrology, 205, pp. 205–216. 1998.
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Awadallah, A. G. 2012. Selecting Optimum Location of Rainfall Station Using Kriging and
Entropy. Journal of civil and Environmental Enginering IJCEE-IJENS vol. 12 No. 01.
Krisnayanti, D. 2010. Evaluasi Kerapatan Jaringan Stasiun Hujan terhadap Ketelitian Perkiraan
Hujan Rancangan pada SWS Noelmina. Jurusan Teknik Sipil FST Undana.
Suhartanto, E., & Haribowo, R. 2011. Application of Kagan-Rodda Method for Rain Station
Density in Barito Basin Area of South Kalimantan, Indonesia. Journal of Applied
Technology in Environmental Sanitation, Volume 1, Number 4: 329-3.
World Meteorological Organization. 2003. World Climate Data and Monitoring Programme
Guidelines series (Paul Llanso editor). WMO/TD No. 1185.