1. BAB III
Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
3.1. Pembangkitan Redaman Hujan dengan Model AR
3.1.1. Asumsi Dalam Pemodelan Hujan
Diasumsikan redaman hujan dalam dB yang dialami oleh
lintasan radio berdistribusi lognormal di mana lintasan atau beberapa
lintasan (untuk kasus multi-link) berada dalam satu daerah yang
mengalami kejadian hujan yang sama. Pada sistem LMDS, jarak yang
dimungkinkan tidak terlalu jauh yaitu ≤ 4km untuk mendapatkan
kondisi LOS. Hal ini tentu saja bergantung pada tipe daerah yang
diamati, apakah urban atau suburban.
Selain itu, kejadian hujan dianggap stasioner terhadap waktu dan
jarak sehingga karakteristik statistik dari hujan tersebut berlaku secara
homogen terhadap ruang dan waktu. Syarat yang terakhir adalah adanya
data mengenai curah hujan serta redaman spesifik di daerah yang akan
dimodelkan baik dari hasil pengumpulan data maupun dari metode
prediksi.
3.1.2. Simulasi Kanal Hujan 1 Lintasan
Mula-mula dibangkitkan curah hujan untuk satu link berdasarkan
literatur [1] dan [4].
28
2. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
• Dari pengukuran laju hujan (R) di Surabaya [11] diperoleh redaman
exceedance (AR) yang didapatkan dengan prosedur ITU-R 530 [1] yang
dirangkum pada persamaan 2.1 s/d 2.5.
• Nilai mean μlnA dan standar deviasi σlnA dari ln redaman hujan (normal)
diturunkan selanjutnya dengan metode regresi linier.
)(ln
ALn 1
ln
lnR
PQAR
A
A −
=+=
−
βα
σ
µ (3.1)
dengan:
• Q-1
(P) adalah fungsi Q invers dari prosentase exceedance (P)
• Ln AR adalah logaritma natural dari redaman exceedance
Diperoleh nilai α dan β yang selanjutnya dapat dihitung μlnA dan σlnA:
α
β
µ
−
=Aln dan
α
σ
1
ln =A
(3.2)
• Langkah-langkah untuk mensimulasikan curah hujan (mm/hr) telah
dibahas pada sub-bahasan 2.1.3 dengan persamaan 2.6 - 2.14.
Hubungan antara curah hujan dan redaman spesifik [1,2,7,8,10]
dinyatakan dengan:
γR = k.(R)α
(db/km)
(3.3)
yaitu hubungannnya secara linier dipengaruhi oleh polarisasi dan
frekuensi. Sehingga metode yang sama juga bisa diterapkan untuk
mensimulasikan redaman hujan (dB). Untuk itu didefinisikan distribusi
normal dari redaman hujan κ = ln A.
29
3. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
• Dapat dituliskan suatu deret hujan berdistribusi normal dengan mean nol
dan κo(k) = κ o (kτ) di mana k adalah integer dan τ adalah waktu sampling
yang dapat dibangkitkan secara recursive dengan:
∑
=
+−−=
M
n
oo c gnkκa(n)kκ
1
(k))()(
(3.4)
di mana:
• a(n) adalah koefisien AR, n = 1 ,..., M
• M adalah jumlah orde dari proses yang tergantung dari tunda
maksimum yang diperoleh.
• g(k) merupakan bilangan deret acak Gaussian mean 0 dan varian 1
yang dibangkitkan dengan komputer.
• c adalah standar deviasi dari deret noise g(k)
• Dengan didapatkannya deret κo(k) maka deret redaman hujan lognormal
α(k) diperoleh dengan:
( )κµκα += )(exp)( kk o
(3.5)
• Untuk mendapatkan nilai dari parameter-parameter persamaan 3.4-3.5,
maka dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Penurunan koefisien AR diperoleh dari persamaan Yule-Walker:
a = -Φ-1
φ
(3.6)
di mana a = [a1, a2, ... , aM]T
, φ=[ )(),...,1(),1( Mκκκ φφφ ]T
30
4. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
−−
−
−
=Φ
)0()2()1(
)2()0()1(
)1()1()0(
κκκ
κκκ
κκκ
φφφ
φφφ
φφφ
MM
M
M
(3.7)
faktor c didapatkan dengan:
∑=
=
M
n
n nac
1
)(ηφ , dan a0 = 1 (3.8)
dapat diturunkan nilai μA dan σA
2
:
σA
2
= exp(2μκ + σκ
2
)[exp(σκ
2
)-1]
(3.9)
μA = exp(μκ + σκ
2
/2)
(3.10
)
Otokorelasi temporal ternormalisasi dari redaman hujan dapat diperoleh
dari model Maseng-Bakken [15].
)exp()( nnu βρ −=
(3.11
)
[ ]
1)exp(
1)(exp
)( 2
2
'
−
−
=
κ
κ
σ
ρσ
ρ
n
n u
A
(3.12
)
di mana: - 2
κσ adalah varians dari ln redaman hujan yang diperoleh dari
regresi linier pada persamaan 3.1.
- β = 6.07 x 10-2
menit -1
- τ adalah time lags yang diamati (menit)
jika fungsi otokorelasi temporal ρA’(n) redaman hujan diketahui maka
otokovarian temporal ternormalisasinya adalah:
2
2'22
' )()(
)(
A
AAAA
A
n
n
σ
µρµσ
φ
−+
= (3.13)
dan fungsi otokovarian temporal )(nκφ adalah:
31
5. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
( )[ ]1)exp()(1ln)( 2'
−+= κκ σφφ nn A
(3.14
)
Setelah didapatkan model redaman hujan 1 link, selanjutnya akan dicari
model redaman hujan 2 link dengan memperhitungkan korelasi spatial.
3.1.3. Simulasi kanal hujan 2 lintasan
• Pada sub-bahasan 2.1.4 telah diuraikan metode untuk mendapatkan
koefisien korelasi redaman lintasan ρA1A2 pada dua lintasan identik
menggunakan metode KK, yang dapat diperoleh dengan persamaan 2.21-
2.26.
• Hendrantoro [16] menunjukkan dengan cara yang sama otokovarian
spasial normal dari redaman ρlnA1A2 dapat diperoleh mengikuti proses yang
sama pada perhitungan otokovarian temporal redaman.
• Dari perhitungan pada persamaan 3.8 dan 3.9 telah diperoleh μA dan σA
2
dari redaman hujan, sehingga dapat dicari fungsi otokovarian spasial
ternormalisasi.
• Melalui persamaan 2.21-2.26 diperoleh fungsi otokorelasi spasial
redaman hujan )('
dASρ dan selanjutnya dapat dihitung otokovarian
spasial ternormalisasi:
2
2'22
' )()(
)(
A
AASAA
AS
n
d
σ
µρµσ
φ
−+
= (3.15)
dan fungsi otokovarian spasial )(dκφ adalah:
( )[ ]1)exp()(1ln)( 2'
−+= κκ σφφ dd AS
(3.16)
• Otokovarian spasial-temporal merupakan produk dari fungsi spasial dan
temporal:
32
6. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
)()().( '
ndnd κκκ φφφ =
(3.17
)
dengan )('
dκφ adalah otokovarian spasial redaman hujan ternormalisasi.
• Selanjutnya deret hujan pada dua lintasan dapat dibangkitkan sama halnya
dengan proses pada satu lintasan.
)()()()( T
1
0 knknk
M
n
gCΚAΚ0 +−−= ∑
=
(3.18
)
di mana:
• A(n) adalah koefisien AR, n = 1 ,..., M
• M adalah jumlah orde dari proses yang tergantung dari tunda
maksimum yang diperoleh.
• g(k) merupakan bilangan deret acak Gaussian mean 0 dan
varian 1 yang dibangkitkan dengan komputer.
• Matrik CT
adalah standar deviasi dari deret noise g(k) pada
dua lintasan
Tetapi sebelumnya dicari koefisien AR dan matrik CT
sebagai parameter
pembangkit kedua kanal yang akan disimulasi.
Mula-mula didefinisikan matrik koefisien korelasi spasial-temporal dua
kanal dari otokovarian ternormalisasi dari persamaan 3.16:
=
)0()1(
)1()0(
).(
κκ
κκ
φφ
φφ
ϕ ndκ
(3.19
)
Dengan : d = 1,2
Matrik ini digunakan selanjutnya sebagai pembentuk matrik V:
33
7. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
−−
−
−
=
)0()2()1(
)2()0()1(
)1()1()0(
κκκ
κκκ
κκκ
V
ϕϕϕ
ϕϕϕ
ϕϕϕ
MM
M
M
(3.20)
sehingga koefisien AR dari A dapat dihitung:
ΦVA 1−
−=
(3.21)
di mana: [ ]T
κκ (M),(1),Φ ϕϕ =
(3.22)
Dengan ini dapat juga diperoleh matrik CT
dari dekomposisi Cholesky:
0
T
0
T
ΦACC =
(3.23)
dengan :
]A,[IA T
2
T
0
~
= , ]Φ(0),[Φ T
kϕ=
]A(M),...,[A(1)A TTT
=
~
dan ])(,...,)([Φ TTT
Mϕϕ1=
3.2. Modulasi Adaptif
Langkah selanjutnya adalah penerapan dari modulasi adaptif untuk
kanal rain fading yang telah dihasilkan sebelumnya. Mula-mula diamati
penggunaanya untuk 1 lintasan. Model sistem transmisinya dapat dilihat pada
gambar 3.1.
Pada tiap waktu sampling (i), nilai dari y[i] diumpankan ke kanal
estimator untuk menentukan level modulasi untuk sampling berikutnya.
Untuk itu perlu diasumsikan hal berikut, yaitu delay itot = ie + if = 0 dan error
dari estimasi ε = ][ˆ ig /g[i]=1.
34
Modulasi
Adaptif
Estimasi Kanal
Delay :ie
Error : ε
Demodulasi
Delay
if
r[i] x[i]
[i]
[i]
[i]rˆ
y[i]
Pemancar
Penerima
Kanal (Rain Fading)
n[i])(ig
8. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
Gambar 3.1 Model MA Untuk 1 lintasan
Jika nilai SNR atau y[i] yang diterima melebihi threshold yang
ditetapkan untuk untuk suatu level modulasi M, maka informasi ini diumpan-
balikkan ke penerima untuk menaikkan level modulasinya pada level M.
Gambar 3.2. Skenario Level Modulasi Adaptif pada Target BER 10-6
35
Transmisi data dihentikan Digunakan 4QAM Digunakan 16QAM Digunakan 64QAM
9. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
Begitu pula sebaliknya, pada suatu kondisi kanal yang lebih buruk
sehingga y[i] kurang dari threshold sebelumnya, maka level modulasi
diturunkan pada level M yang bersesuaian. Skenarionya dapat terlihat pada
gambar 3.2.
Jika pada waktu ke-i SNR lebih kecil dari 13.6 dB (batas bawah
modulasi 4QAM untuk target BER 10-6
) maka transmisi dihentikan hingga pada
suatu saat SNR bernilai minimal sebesar batas bawah dari 4QAM yang disebutkan di
atas.
Dengan adanya batasan akan kemampuan komputasi, maka pada
penelitian ini akan digunakan pendekatan quasi-analytic dalam
perhitungannya untuk evaluasi unjuk kerja dari sistim. Cara perhitungannya
dapat terlihat pada gambar 3.3 berikut ini:
Gambar 3.3. Pendekatan Quasy-Analytic Perhitungan BER
36
P(32.5<SNR ≤33)
P(32<SNR ≤32.5)
……………………..….…..
P(26<SNR ≤26.5)
Pe(32.75)
Pe(32.25)
10. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
SNR yang terukur pada gambar 3.3 merupakan SNR CK (kondisi
tanpa hujan) yang diperoleh dari perhitungan link budget dikurangi dengan
redaman hujan yang diperoleh dari simulasi. Sehingga perhitungan BER atau
eP dapat diformulasikan sebagai berikut:
∑= )/()./( NSPNSPP ee
(3.24)
di mana:
- )/( NSPe adalah probabilitas bit mengalami kesalahan yang
dihitung secara teoritis untuk modulasi MQAM.
- )/( NSP adalah peluang suatu nilai SNR berada pada suatu nilai
interval tertentu (resolusi 0.5 dB) .
Perhitungan )/( NSPe atau BERMQAM karena dalam penelitian ini
menggunakan modulasi MQAM, dilakukan pendekatan yang telah
diformulasikan oleh Goldsmith dan Chung [21] untuk MQAM persegi dan
Gray mapping sebagai fungsi SNR yang diterima :
−
≈
12
1,6-
exp2.0)(BER )k(
S
)S(
MQAM γ
γ
γ
γ
(3.25)
di mana:
• S
)S(γ
γ adalah SNR yang diterima
• k = log2 (M)
Parameter-parameter serta cara perhitungan link budget pada kondisi
tanpa hujan diperoleh dari [17,18]. Chu dalam penelitiannya menggunakan
37
11. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
parameter sistim LMDS yang diproduksi oleh New Bridge Corporation
Kanada. Cara serta paramter perhitungannya dirangkum pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Parameter sistim LMDS jarak 2km (k=1,38*10-23
dan To=298 K)
Parameter Units Formula Value
Transmit Power into Antenna dBW Ptx: transmit power per carrier 0
Transmit antenna gain dBi Gt:Gant 15
Frequency GHz f: Transmit frequency 30
Path Length Km d: Hub to Subscriber Station Range 2
Field Margin dB Lfm : Antenna Mis-Alignment -1
Free-Space Loss dB FSL = -92.45-20*log(f)-20*log(d) -128,013
Total Path Loss dB Ltot = FSL + LFM -129,013
Receiver Antenna Gain dBi Gr = Gant 30
Effective Bandwidth MHz BRF : Receiver Noise Bandwidth 40
Receiver Noise Figure dB NF : Effective Noise Figure 5
Thermal Noise dBW/MHz 10*log(k*To) -143,85
System Loss dB Lsys=Gt+Ltot+Gr -84,013
Received Signal Level dBw RSL=Ptx+Lsys -84,013
Thermal Noise Power Spectral
density
dBW/MHz N0=10*log(k*To)+NF -138,859
Carrier to Noise ratio dB C/N = RSL-No-10*log(BRF) 38,825
Diperoleh SNR link budget untuk jarak 1-4 km secara berurutan
adalah 44.8 dB, 38.8 dB, 35.3 dB, dan 32.8 dB.
3.3. Diversitas Makro
Pada tahap ini dipertimbangkan penerapan diversitas dengan dual link
identik. Pengaruh dari pemisahan sudut konvergen (θ) dari BS terhadap
terminal pelanggan (45 derajat dan 135 derajat) diobservasi pada penelitian
ini.
Selain itu juga diteliti perbedaan unjuk kerja yang didapatkan dengan
metode combiner yang berbeda dalam hal ini selection combining (SC) dan
maximal ratio combining (MRC). Skenarionya dapat dilihat pada gambar 3.4.
38
θ BS 2BS 1
ST
d1
d2
d1
=d2
12. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
Gambar 3.4. Teknik diversitas makro dual link
Hal yang perlu dipertimbangkan sebelumnya adalah koefisien korelasi
redaman hujan dari dua lintasan yang akan diamati. Pada sub bahasan 2.1.4.
telah dipaparkan metode Kanellopoulos dan Koukolas untuk menghitung
koefisien korelasi redaman hujan. Nilainya telah dihitung pada penelitian
[20], dan dituliskan pada tabel 3.2.
Tabel 3.2. Koefisien korelasi lintasan identik konvergen1
1
Mauludiyanto A.., Gamantyo H.., Kusumasari D.., ”Studi Penggunaan Teknik Diversity Untuk Mengatasi Fading
Akibat Redaman Hujan Pada Sistem Komunikasi Radio di Atas 10 GHz”, SITIA, 18 mei 2004, pp. 343-349.
L (Km) θ (derajat) 21AAρ
1 45
135
0,9563
0,9020
2 45
135
0,9384
0,8643
3 45
135
0,9246
0,8363
4 45
135
0,9131
0,8135
39
13. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
Pada tiap lintasan dihitung total SNR yang diterima yaitu (S/N)clear sky
dikurangi dengan redaman yang disebabkan hujan. Masing-masing lintasan
akan dipengaruhi curah hujan yang berbeda bergantung pada faktor koefisien
korelasi yang dirangkum pada tabel 3.2.
Combiner dari diversitas akan aktif jika SNR pada lintasan pertama
melebihi suatu ambang batas (threshold). Nilai threshold merupakan
indikator bahwa lintasan tersebut sedang mengalami hujan atau tidak. Untuk
penerapan hal tersebut di atas, pada penerima terdapat dua antena yang setiap
saat dalam keadaan on untuk mengecek SNR diterima dari masing-masing
BS.
Gambar 3.5. Perhitungan di combiner
Seperti terlihat pada gambar 3.5, jika SNR yang diterima pada
lintasan pertama lebih besar atau sama dengan dari threshold T, maka SNR
diversitas adalah nilai SNR pada lintasan pertama. Pada saat SNR yang
diterima kurang dari nilai threshold, maka combiner akan aktif dan SNR
diversitas adalah penggabungan dari sinyal lintasan pertama dan kedua
tergantung dari metode penggabungan yang digunakan.
40
combiner
Dari BS1Dari BS2
RX
Cek SNR
> atau <
T?
SNR ≥ T
SNR <T
14. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
Untuk metode selection combining (SC), terminal tiap saat akan
memilih lintasan (BS) yang memiliki SNR terbesar yang tentu saja untuk
kasus penelitian ini dipengaruhi oleh curah hujan yang terjadi pada masing-
masing lintasan.
( ) ( )( )21
,max
N
S
N
S
N
S
div
=
(3.26)
Berbeda dengan metode SC, SNR diversitas pada maximal ratio
combining (MRC) diperoleh dengan menjumlahkan total SNR pada saat level
SNR lintasan satu melebihi ambang threshold.
21
+
=
N
S
N
S
N
S
div
(3.27)
3.4. Modulasi Adaptif dan Diversitas
Fase terakhir dari penelitian ini adalah mengkombinasikan kedua
teknik sebelumnya, yaitu modulasi adaptif dan diversitas. Pada tinjauan satu
kanal/lintasan, nilai SNR yang diterima menentukan level modulasi yang
digunakan untuk sampling berikutnya. Untuk kondisi dua lintasan, nilai SNR
diversitas sebagai variabel penentu dari level modulasi pada waktu sampling
selanjutnya.
Penetapan SNR diversitas sebagai penentu perubahan level modulasi
dapat didefinisikan bergantung pada metode combining yang digunakan. Pada
metode SC, mula-mula penerima akan memilih setiap saat lintasan dengan
fading terkecil (tentunya dengan memperhitungkan skenario pada gambar
3.5) dan selanjutnya menentukan level modulasi yang bersesuaian untuk
kanal tersebut.
41
15. Bab III Pemodelan Redaman Hujan dan Sistem Transmisi
Pada metode MRC, SNR dari kedua kanal tetap diperhitungkan. Jika
pada suatu saat SNR diversitas nilainya berada pada level modulasi 64-QAM,
maka pada BS1 dan BS2 diberi feedback untuk mengunakan level modulasi
64-QAM, begitu pula jika SNR diversitas nilainya berada pada level
modulasi lainnya.
Gambar 3.6. Sistem Modulasi Adaptif dan Diversitas
42
Modulator Adaptif M-QAM Modulator Adaptif M-QAM
Lintasan Hujan 1 Lintasan Hujan 2
Demodulator Demodulator
Data Stream
Combiner
Decision Device
Data Stream Estimate