Puasa ramadhan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan meneladani sifat-Nya seperti kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dengan menahan diri dari makan, minum, dan nafsu, serta menahan diri dari perbuatan-perbuatan buruk, seseorang dapat menjadi lebih bertakwa. Puasa juga bertujuan untuk membersihkan hati dan menenun "pakaian takwa" yang akan dikenakan pada hari raya idul
1. MAKNA DAN TUJUAN BERPUASA
Bagi kaum muslimin, ramadhan adalah bulan yang penuh barakah. Selain diwajibkan
berpuasa di dalamnya, mereka menjadikan bulan tersebut sebagai moment penting untuk
meningkatkan kualitas ubudiyah. Banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menerangkan
keutaman beramal pada bulan tersebut. Akan tetapi, bagi kita belumlah cukup melakukan banyak
amalan, padahal belum mengetahui makna dan hakekatnya. Sehingga dalam konteks puasa
ramadhan ini, kita tidak mendapatkan apa-apa melainkan lapar dan minum saja.
Makna Puasa
Berpuasa, secara bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah Shiyam dan Shaum. Yang
pertama, kutiba ‘alaikum as-Shiyam (Al-Baqarah: 183). Kedua, innii nadzartu lirrahmaani
shaumaa (Maryam: 26). Baik shiyam maupun shaum berasal dari satu kata yang artinya menahan
diri.
Ketika Maryam (Ibu Nabi Isa as.) melahirkan, orang-orang menuduhnya yang bukan-bukan.
Lalu Maryam pun mengatakan:
“Inni nadzartu lirrahmani shaumaa, falan ukallima al-yauma insiyya.” (Aku bernadzar puasa
(menahan diri), maka aku menahan diri tidak akan berbicara kepada seorang manusia pun.
Tidak mudah seseorang menahan diri untuk membela dirinya ketika dituduh macam-macam.
Inilah puasa yang dimaksudkan oleh Alquran, yaitu dengan kata “shaum”. Yang diwajibkan kepada
kita bukanlah “shaum”, melainkan “shiyam”. “Shiyam” adalah menahan diri untuk tidak makan,
tidak minum dan tidak berhubungan suami istri, dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.
Jadi, “shaum” adalah menahan diri, sedangkan “shiyam” adalah menahan diri untuk tidak
makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri, dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya
matahari.
Persamaan “shaum” dan “shiyam”, bahwa kedua-duanya adalah menahan diri. Orang yang
tidak menahan dirinya dalam hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama, maka dinamakan bahwa
orang tersebut tidak “shaum” dan tidak melakukan “shiyam”.
Allah swt. memerintahkan kita berpuasa agar menjadi orang yang bertakwa. Akan tetapi
untuk sampai kesana ada jalan yang harus ditempuh. Dan berpuasa berarti kita ibarat orang yang
menanam, dimana jika sungguh-sungguh dalam memelihara tanaman tersebut dan kita pupuk, suatu
saat kita akan mendapatkan hasilnya. Itulah buah takwa.
2. Takwa lebih pada tataran empiris dari sekedar teoritis. Karena itu segala perbuatan manusia
yang kecil maupun besar, yang memiliki nilai kebajikan berarti dapat dikatergorikan sebagai sebuah
ketakwaan. Kita tahu, Ilmu itu takwa, sabar itu takwa. Ada yang mengatakan, bahwa puasa yang
kita lakukan adalah untuk menenun pakaian takwa. Lebaran nanti, barulah pakaian takwa tersebut
kita kenakan. “Wa libasut taqwa dzalika khair”.
Jika Alquran mengatakan, bahwa ”diwajibkan kepada kamu berpuasa supaya kamu
bertakwa,” maksudnya adalah supaya terhimpun dalam dirimu segala macam kebajikan. Jadi
jelaslah, bahwa puasa bukanlah cuma menahan diri (sabar) untuk tidak makan dan tidak minum.
Ada hadits Rasulullah saw. yang cukup terkenal, bahwa Allah swt. berfirman: “Ash-shaumu li
wa ana ajzi bihi.” (Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan memberi ganjaran-Nya.
Jadi untuk ibadah puasa, malaikat hanya mencatat, tanpa melakukan kalkulasi berapa ganjaran
yang didapatkan. Bandingkan dengan membaca Alquran, pahala kita akan dihitung huruf per huruf,
kalau kita shalat sendirian pahalanya satu dan kalau berjama’ah jadi duapuluh tujuh. Artinya
pahalanya itu dapat dikalkulasikan.
Jika dilihat motifnya, ada orang yang berpuasa cuma menahan diri dari makan, minum, dan
berhubungan suami istri. Ada juga yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, hubungan
suami istri, dan menahan diri untuk tidak memaki orang lain. Ada juga yang berpuasa tidak makan,
minum, hubungan suami istri, tidak memaki orang lain, dan dia belajar membersihkan hatinya, serta
tidak dengki.
Jadi, yang tahu isi hati seseorang itu hanyalah Allah. Para ulama memahami sabda Rasulullah
yang merupakan firman Allah ini dengan mengatakan: “Karena puasa itu adalah rahasia antara yang
berpuasa dengan Allah, maka itu sebabnya Allah berfirman: “Puasa itu untuk-Ku dan aku sendiri
yang akan membalasanya.”
Pendapat yang lebih baik mengatakan, bahwa “untuk Allah” maksudnya adalah untuk
meneladani Allah. Orang yang berpuasa itu, dengan puasanya, dia meneladani Allah sesuai dengan
kemampuannya sebagai makhluk. Contohnya, kita tiap hari butuh makan dan minum, sementara
Allah tidak butuh makan dan minum, tapi memberi makan dan minum kepada hambanya. Dengan
berpuasa kita meneladani Allah dengan tidak makan dan minum lalu memberi makan orang yang
tidak mampu. Hal itu diperintahkan dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Berarti hal itu
masih sangat wajar. Dan itulah yang dimaksud dengan meneladani Allah dengan kemampuannya
sebagai makhluk.
Selanjutnya, sesuai dengan kemampuan kita sebagai makhluk, kita disuruh meneladani sifat-
sifat Allah. Seperti “Quddus” artinya suci. Suci adalah gabungan dari tiga hal: benar, baik, dan
3. indah. Kalau cuma benar, tapi tidak baik, maka itu bukanlah suci. Misalkan, jika ada satu orang
melakukan kesalahan, maka orang tersebut perlu dibenarkan. Jika orang tersebut kita tegur di depan
umum, apa yang kita lakukan itu benar, tetapi tidak baik. Jika kita tegur dia sendirian (tidak di
depan orang banyak), tetapi cara kita menegurnya tidak indah, karena dengan cara memaki-maki
dan kasar, itu berarti baik tapi tidak benar. Allah itu “Quddus”, suci, semua yang datang dari-Nya
itu benar, baik, dan indah. Yang mencari kebenaran itu menghasilkan ilmu. Yang mencari kebaikan
itu menghasilkan akhlak. Yang mencari keindahan itu menghasilkan seni. Karena itulah, bagi orang
yang berpuasa jika meneladani al-Quddus, maka bisa menjadi ilmuwan, budiman, dan seniman.
Masih banyak lagi sifat-sifat Allah yang dapat kita teladani dan kita pelajari esensinya. Jika
bulan ini kita gunakan dengan maksimal untuk itu, niscaya kita akan sampai kepada derajat
ketakwaan sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an. Wallahua’lam.
Oleh : Agus Yasin
IG/Twitter : @elyasien621