Buku ini membahas metode penelitian hadis, tujuan, dan manfaat penelitian hadis serta metode kritik sanad dan matan. Penelitian hadis bertujuan untuk mengetahui kebenaran hadis secara sistematis dengan menganalisis sanad dan isi hadis. Kritik sanad meliputi kredibilitas perawi sedangkan kritik matan meliputi keabsahan isi hadis.
1. BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar belakang
Buku yang berjudul Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, diterbitkan
oleh PT Mizan Publika Jakarta. bulan Juni 2009 , dengan tebal 513 halaman adalah buku
yang ditulis oleh Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A. doctor dengan
predikat Summa Cumlaude dalam bidang studi Islam di Rheinischen Friedrich Wilhelms
Universitaet Bonn, Jerman. Buku ini muncul karena ada kecenderungan yang kontras
antara kesarjanaan hadis Barat dan Muslim. Sementara Barat mengkaji hadis karena
dorongan kepentingan sejarah (historical interest), para sarjana muslim mengkajinya
sebagai sumber pokok ajaran Islam yang kedua. Akibatnya, sebagaian sarjana Barat
bersikeras mengajukan skeptisisme terhadap autentisitas hadis sepenuhnya, sedangkan
sebagian sarjana muslim menerima hadis tanpa sikap kritis yang memadai.
Kecenderungan semacam itu tampak pada sikap kedua kubu terhadap autentisitas
periwayatan hadis. Menurut Kamaruddin Amin, penulisbukuini, terminologi-terminologi
tersebut tidak berlaku sebagai keteria-riteria kesahihan hadis bagi para ulama abad
pertama hijriah. Artinya, para perawi di abad tersebut tidak secara sengaja dan sadar
menggunakan beragam terminologi tersebut sebagai cara menentukan tingkat kesahihan
dan tidaknya sebuah hadis.
Adapun hadis atau yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran islam
yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi SAW yang beredar
pada masa nabi Muhammad SAW hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran
islam setelah Alquran dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagamaan. Oleh
karena itu, umat islam pada masa Nabi Muhammad SAW dan pengikut jejaknya,
menggunakan hadis sebagai hujah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya.
Namun, keadaan hadis Nabi Muhammad SAW dalam kesepakatan tersebut,
tidaklah demikian keadaannya pasca masa Nabi Muhammad SAW. hadis pasca masa
Nabi Muhammad SAW telah berada dalam suatu kondisi yang mulai tidak seimbang
dengan posisi Alquran , karena ia telah berada di tengah-tengah banyak faktor misalnya
dalam periwayatan selain berlangsung secara lafal juga berlangsung secara makna,
1
2. banyak pemalsuan hadis dan hadis merupakan sumber ajaran islam di samping Alquran
yang dibukukan dengan memakan waktu jauh lebih lama dari pembukuan Alquran. Dari
banyak faktor diatas, maka kondisi hadis pasca masa Nabi Muhammad SAW sudah tidak
seperti pada masa Nabi SAW, dan memiliki banyak peluang untuk diadakan penelitian
dan pengkajian dalam banyak persoalan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan metode penelitian hadis?
2. Apa tujuan dan manfaat dari penelitian hadis?
3. Bagaimana metode kritik sanad dan matan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui metode penelitian hadis.
2. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat dari penelitian hadis.
3. Untuk mengetahui metode kritik sanad dan matan
2
3. BAB II
PEMBAHASAN
A . Metode Penelitian Hadis.
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau
jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab
menerjemahkannya dengn tariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar
tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Sedangkan
metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos
artinya ilmu. Kata metodologi dalam Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai
ilmu tentang metode uraian tentang metode.1
Metode berarti cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan
agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, atau cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Kata penelitian yang berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama, hati-
hati, memiliki arti kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang
dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji
suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum. Sedangkan Moh. Nazir
mengungkapkan bahwa penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris research.
Penelitian merupakan suatu metode untuk menemukan kebenaran, sehingga penelitian
juga merupakan metode berpikir kritis. Sehingga metode penelitian hadis dapat diartikan
sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis
dan objektif terhadap hadis sebagai sumber hukum islam untuk membuktikan
keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadis dengan mudah serta dapat menilai
kualitas hadis tersebut.
Dalam penelitian hadis, terdapat dua objek penelitian, yaitu penelitian sanad dan
penelitian matan. Konstruksi hadist secara sederhana tersusun atas pengantar pemberitaan
1
.Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., hlm. 740.
3
4. (sanad) dan inti berita (matan). Sanad berfungsi membuktikan proses kesejarahan
terjadinya hadist, Sedang matan mempresentasikan konsep ajaran yang terbalut dalam
bahasa ungkapan hadist yang diasosiakan kepada sumbernya. Konsekuensi hadist yang
demikian menuntut kesadaran bahwa penelitian matan hadist tidak hanya berada dalam
wilayah keilmuan semata, melainkan langsung berhubungan dengan ajaran dan
keyakinan agama islam. Derajat kebenaran agama islam bertaraf adi kodrati (absolut)
karena terjamin oleh otoritas sumbernya, maka kedudukan hadist sebagai wahana untuk
memperoleh informasi keislaman perlu diimbangi dengan membatasi ruang gerak
penelitian matan agar tidak menjangkau uji kebenaran materi pemberitaan hadist nabawi
yang lebih menuntut sikap kedudukan hamba (ta’abudi). Dengan demikian, aplikasi
metodologis penelitian matan bersandar pada kriteria maqbul (diterima) atau mardud
(ditolak) untuk kepentingan melandasi pemikiran keagamaan, bukan bersandar pada
kriteria benar atau salah menurut penilaian keilmuan rasional atau empiris.2
Dalam studi hadis persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur penting yang
menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis sebagai sumber otoritas ajaran nabi
Muhammad SAW. kedua unsur tersebut begitu penting artinya, dan antara yang satu
dengan yang lain saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan
berpengaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Karenanya seperti
disebutkan, suatu berita yang tidak memiliki sanad tidak dapat disebut hadis, demikian
sebaliknya matan, yang sangat memerlukan keberadaan sanad.3
Penulis Mesir Ahmad Amin (w.1373-1954) mengatakan bahwa penelitian yang
dilakukan para ahli hadis lebih menfokuskan pada sanad dibanding matan. Abu Rayyah
lebih jauh mengatakan bahwa ahli hadis hanya memperhatikan aspek kesinambungan
jalur periwayatan dan karakter para perawi, dan sepenuhnya mengabaikan esensi
kandungan hadis, dan bahkan mereka gagal menangkap bukti-bukti sejarah. Pendapat Ibn
Khaldun, Ahmad Amin dan Abu Rayyaah ini dibantah oleh Musthafa as Siba’i,
Muhammad Abu syuhba dan Nur ad Din’ltr. Mereka berpendapat bahwa ulama hadis
sama sekali tidak mengabaikan matan, hal ini dapat dilihat dari kriteria-kriteria hadis
shahih yang mereka buat. Salah satu kriterianya mengatakan bahwa sebuah hadis jika
2
. ibid
3
. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah(Jakarta: Prenada Media, 2003)
hlm.174.
4
5. dianggap shahih apabila sanad dan matannya tidak syaddz dan bebas dari cacat atau ‘illat
(hal-hal yang dapat merusak keshahihan hadis).4
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Hadis
Said agil Husein al-Munawwar, ulama Indonesia yang alumnus "Ummul Quro"
Mekkah melihat tujuan penelitian hadits dari berbagai segi:
1. Untuk mengetahui aspek-aspek sanad atau perawi hadits, antara lain; tsiqoh atau
tidak, dan adil atau tidak, dengan begitu akan diketahui mana hadits yang maqbul
atau ditolak.
2. Untuk mengetahui aspek kualitas matan hadits, diantaranya apakah shahih atau
dla'if, atau juga apakah suatu hadits itu benar-benar bersumber dari Nabi SAW
atau bukan.
3. Pentingnya penelitian itu, karena telah tersebarnya hadits di pelosok dunia.
Sedangkan manfaat dari penelitian hadis ini antara lain sebagai berikut :
1. Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dari suatu hadits beserta
ulama yang meriwayatkannya.
2. Menambah pembendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang
ditunjukkannya.
3. Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahhui apakah munqathi’ atau
lainnya.
4. Memperjelas perawi hadits yang samar karena dengan adanya penelitian, dapat
diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
5. Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafadz dan
yang dilakukan dengan makna saja.
6. Dan lain-lain.5
C. Kritik Sanad dan Matan Hadis
1. Kritik Sanad Hadis
4
. Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis(Jakarta: Mizan Publika, 2009) 6.
5
. Ohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) Cet I, hlm . 27.
5
6. Kritik sanad hadis adalah upaya untuk meneliti kredibilitas seluruh jajaran perawi
hadis dalam suatu jalur sanad, yang meliputi aspek kebersambungan (muttashil), kualitas
pribadi dan kapasitas intelektual perawi, serta aspek syâdz dan`illat-nya.6
1. Kaedah keshahihan sanad hadis sebagai standar kritik sanad hadis
Mengacu pada tulisan Syuhudi Ismail, kaedah keshahihan sanad hadis adalah
segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas
shahih.7
Paling tidak ada lima unsur yang dapat dijadikan standar untuk dapat menilai
keshahihan sebuah hadis. Kelima unsur tersebut meliputi:
a. ketersambungan sanad (ittishâl al-sanad)
b. keadilan perawi (`adâlah al-râwî)
c. ke-dhâbith-an perawi (dlabth al-râwî)
d. terhindar dari syâdz dan
e. terhindar dari ‘illat.8
2. Langkah-langkah dalam kritik sanad hadis
Ada beberapa langkah yang biasanya dilakukan dalam rangka meneliti kualitas
sanad dari hadis, di antaranya:
a. Membuat al-I’tibâr
Menurut istilah hadis, al-i`tibâr berarti menyertakan sanad yang lain untuk suatu hadis
tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat
saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui
apakah ada periwayat lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad yang
dimaksud.9
b. Meneliti pribadi periwayat hadis
6
. Ibid., hlm. 31.
7
.M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis( Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 123.
8
.Hasan Muhammad, Maqbûlî al-Ahdal, Mushthalah al-Hadîts wa Rijâluh (Shana’a:
Maktabah al-Jayyid al-Jadîd, 1993), hlm. 103.
9
.M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya(Jakarta:
Gema Insani Press, Mei 1995), hlm. 76.
6
7. Ulama hadis sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti para pribadi periwayat
hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima
sebagai hujjah atau alasan ataukah ditolak. Kedua hal tersebut terkait dengan keadilan
dan ke-dlâbith-an periwayat.
1. Keadilan periwayat
Kata adil berasal dari bahasa Arab yaitu `adl. `Adl secara bahasa berarti pertengahan,
lurus atau condong kepada kebenaran.10
. Adapun Syuhudi Ismail mengungkapkan empat
kriteria adil yang merupakan hasil dari penghimpunan pendapat berbagai macam ulama.
Keempat kriteria untuk sifat adil tersebut antara lain:
1. Beragama Islam.
2. Mukallaf yakni baligh dan berakal sehat.
3. Melaksanakan ketentuan agama Islam atau teguh dalam beragama Islam.
4. Memelihara muru`ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri
manusia kepada tegaknya kebijakan moral dan kebiasaan-kebiasaan).11
Di samping kriteria yang harus dimiliki para periwayat adil tersebut, menurut Syuhudi
Ismail, mengutip pendapat Ibn Hajar al-`Asqalânî, mengatakan bahwa perilaku atau
keadaan yang merusak sifat adil para periwayat hadis yang termasuk berat yaitu:
1) Suka berdusta.
2) Tertuduh telah berdusta.
3) Berbuat atau berkata fasik tetapi belum menjadikannya kafir.
4) Tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan diri orang itu sebagai periwayat hadis.
5) Berbuat bid`ah yang mengarah kepada fasik, tetapi belum menjadikannya kafir.12
Dlâbith secara bahasa ada beberapa macam makna yakni: yang kokoh, yang kuat,
yang tepat, dan yang halal dengan sempurna.13
Menurut Syuhudi Ismail, dia mengungkap makna dlâbith dengan mempertemukan
berbagai pendapat para ulama, dan dia juga memberikan rumusan mengenai maksud
dari dlâbith secara istilah sebagai berikut:
10
. Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhûr, Lisân al-`Arab, jilid 13 (Mesir: al-Dâr al-
Mishriyyah, t.th.), hlm. 456-463.
11
. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 67.
12
. Ibid., hlm. 69.
13
. Ibid., hlm. 70.
7
8. a. Periwayat yang dlâbith adalah periwayat yang mempunyai ciri-ciri yaitu: hafal
dengan sempurna hadis yang diterimanya, dan mampu menyampaikan dengan
baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
Periwayat yang bersifat dhâbith adalah periwayat yang memiliki ciri seperti yang
tertera di atas, dan mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya.14
Sebagaimana sifat adil yang mempunyai kriteria yang dapat merusak sifat
adil bagi para periwayat hadis, dlâbith juga mempunyai beberapa hal yang dapat merusak
ke-dlâbith-an para periwayat hadis seperti yang diungkapkan Syuhudi Ismail mengutip
pendapat Ibn Hajar al-`Asqalânî dan `Alî al-Qâri, yaitu:
a) Dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya dari pada benarnya.
b) Lebih menonjolkan sifat lupanya dari pada hafalnya.
c) Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (al-
wahm).
d) Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-
orang yang tsiqah.
e) Jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar.15
Dalam melakukan penilaian tentang kriteria adil dan dlâbith tersebut diperlukan
kitab-kitab yang berkenaan dengan biografi periwayat yaitu kitab al-Istî`âb fî Ma`rifat al-
Ashhâb, kitab Dzikr Asmâ’ al-Tâbi`în wa Man Ba`dahu, kitab Tahdzîb al-Tahdzîb, dan
kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, dan lain-lain. Kitab-kitab biografi periwayat
tersebut merupakan kitab yang banyak menerangkan tentang biografi periwayat terutama
dari segi al-Jarh wa al-Ta`dîl.
c. Al-Jarh wa al-Ta`dîl sebagai pendekatan kritik sanad hadis
Dalam terminologi limu hadis, sebagaimana diungkapkan oleh al-Khatîb, al-
Jarh berarti menunjukkan sifat-sifat yang dapat merusak atau mencacatkan keadilan dan
ke-dlâbith-an seorang periwayat hadis. Implikasinya adalah dapat melemahkan atau
menggugurkan riwayat dari seorang perawi. Adapun al-Tajrîh adalah upaya untuk
mensifati perawi dengan sifat yang dapat menyebabkan riwayatnya menjadi lemah atau
14
. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 70.
15
. Ibid., hlm. 71.
8
9. bahkan tidak diterima sama sekali.16
Sedangkan `Adl adalah seorang perawi yang dalam
dirinya tidak tampak sifat-sifat yang dapat merusak agama dan muru’ah (moralitas),
sehingga dengan sifat-sifatnya itu menyebabkan riwayatnya diterima, jika perawi tersebut
memenuhi syarat-syarat kecakapan meriwayatkan hadis (ahliyat al-adâ’)17
. Adapun al-
Ta`dîl merupakan upaya untuk menilai bersih seorang perawi sehingga dengan penilaian
tersebut tampak keadilan dan riwayatnya diterima.18
Berdasarkan batasan kedua definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
ilmu al-Jarh wa al-Ta`dîl adalah ilmu yang membicarakan masalah keadaan perawi baik
dengan mengungkapkan sifat-sifat yang menunjukkan keadilannya maupun sifat-sifat
kecacatannya yang bermuara pada penerimaan atau penolakan terhadap riwayat yang
disampaikan.
Adapun keadilan seseorang berdasarkan pernyataan mu`addil, para ulama hadis
sepakat bahwa pernyataan seorang mu`addil mengenai keadilan seeorang cukup untuk
bisa diterima. Alasannya, karena untuk menerima berita (periwayatan seseorang) tidaklah
diharuskan dari dua orang atau lebih dan cukup dari seseorang saja. Dengan analogi
seperti itu, maka dalam memberikan ta`dîl seseorang juga tidak disyaratkan harus lebih
dari seorang.19
Ulama telah mengemukakan syarat-syarat bagi seseorang yang dapat
dinyatakan sebagai al-Jârih wa al-Mu`addil. Menurut Syuhudi Ismail, penjelasan para
ulama dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Syarat-syarat yang berhubungan dengan sikap pribadi, yakni: (a) bersifat adil; (b)
tidak bersikap fanatik terhaddap aliran atau madzhab yang dianutnya; (c) tidak bersikap
bermusuhan dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap periwayat yang
berbeda aliran dengannya.
2. Syarat-syarat yang berkenaan dengan penguasaan ilmu pengetahuan, dalam hal ini
harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan:
(a) ajaran Islam; (b) bahasa Arab; (c) hadis dan ilmu hadis; (d) pribadi periwayat yang
16
. Muhammad `Ajjâl al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh, hlm. 260.
17
. Syarat kecakapan yang dimaksud (ahliyat al-adâ’) adalah Islam, baligh, berakal, dan
memiliki intelektualitas yang tinggi (dlâbith).
18
. Ibid., hlm. 260-261.
19
. Ibid.
9
10. dikritiknya; (e) adat istiadat (al-`urf) yang berlaku; (f) sebab-sebab yang melatar
belakangi sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.20
Di kalangan ulama hadis tidak ada kesepakatan tentang jumlah tingkatan al-
Jarh dan al-Ta`dîl tehadap para periwayat hadis. Ibn al-Râzî, Ibnu al-Shalah, dan al-
Nawâwî membagi menjadi empat peringkat untuk penilaian al-Jarh dan al-Ta`dîl.
Sedangkan al-Dzahabî, al-`Irâqî, dan Abû Faidl al-Harawî membagi membagi menjadi
lima tingkatan. Adapun Ibn Hajar al-`Asqalânî, dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî membagi
menjadi enam tingkatan.21
a. Teori-teori al-Jarh wa al-Ta`dîl
Ada beberapa kaedah yang dikemukakan oleh para ulama ahli al-Jarh wa Ta`dîl,
di antaranya:
1. التعديلمقدمعلىالجرح
“al-Ta`dîl didahulukan atas al-Jarh”
Maksudnya seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh
kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan pujian. Alasannya, karena sifat
dasar periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang
kemudian. Oleh karena itu, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang
kemudian, maka yang harus dimenangkan adalah sifat dasarnya.
2. الجرحمقدمعلىالتعديل
“al-Jarh didahulukan atas al-Ta`dîl”
Maksudnya bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji
oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.
Alasannya karena kritikus yang menyatakan celaan lebih faham terhadap pribadi
periwayat yang dicelanya. Selain itu, yang menjadi dasar untuk memuji seseorang
20
. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 74.
21
. Ibid.
10
11. periwayat adalah persangkaan baik kritikus hadis dan persangkaan baik itu harus
dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang
bersangkutan.
3. إذاتعارضالجارحوالمعدلفالحكمللمعدلإلإذاثبتالجرحالمفسر
“apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang mencela dan kritikan yang memuji,
maka yang dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang
mencelanya disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya”
Maksudnya apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela
oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang
memuji, kecuali bila kritikan yang mencelanya disertai penjelasan tentang bukti-bukti
ketercelaan periwayat yang bersangkutan. Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan
sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi
periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap
periwayat yang sama. Kaedah ini didukung oleh jumhur ulama ahli kritik hadis.
4. إذاكانالجارحضعيفافليقبلجرحهللثقة
“apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolongdla’îf,
maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak diterima”.
Maksudnya apabila yang mengeritik adalah orang yang tidak tsiqah, sedangkan
yang dikritik adalah orang yang tsiqah, maka kritikan orang yang tidak tsiqah tersebut
harus ditolak. Alasannya, orang yang bersifat tsiqah lebih dikenal berhati-hati dan lebih
cermat daripada orang yang tidak tsiqah.
5. لبقبلالجرحإلبعدالتثبتخشيةالشباهفىالمجروحين
“al-Jarh tidak diterima, kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara seksama), karena adanya
kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya”.
Maksudnya apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan
dengan nama periwayat lain, kemudian salah seorang dari periwayat tersebut dikritik
dengan celaan, maka kritikan tersebut tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan
bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan
nama tersebut. Alasannya, suatu kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengeritik
pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-
raguan atau kekacauan.
11
12. 6. الجرحالناشئعنعداوةدنيويةليعتدبه
“al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah
keduniawiaan tidak perlu diperhatikan”
Maksudnya apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan
yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik
dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak. Alasannya, pertentangan pribadi
dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus
yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan
dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing tersebut, maka
yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang obyektif
terhadap para periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya.22
d. Meneliti ketersambungan sanad
Suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:
1. Seluruh periwayat dalam sanad tersebut benar-benar tsiqah (adil dan dlâbith);
2. Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam
sanad tersebut benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah
menurut ketentuan tahammul wa adâ’ al-hadîts.23
Selain itu untuk mengetahui ketersambungan sanad dapat dilakukan pengeceken
tahun kelahiran dan tahun wafat antara periwayat satu dengan periwayat terdekat serta
pengecekan terhadap adanya hubungan guru dan murid. Hal ini dapat ditempuh dengan
melihat biografi para perawi melalui kitab-kitabRijâl al-Hadîs.
2. Kritik Matan (Naqd al-Matn) Hadis
a. Pengertian Kritik Matan (Naqd al-Matn) Hadis
Istilah kritik matan hadis dapat dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan
matan hadis, yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadis yang shahih
dengan yang tidak shahih. Dengan demikian, kritik matan bukan dimaksudkan untuk
22
. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 81.
23
. Ibid., hlm. 133. Ibid., hlm. 133.
12
13. mengoreksi atau menggoyahkan dasar ajaran Islam dengan mencarai kelemahan sabda
Rasulullah, akan tetapi diarahkan kepada telaah redaksi dan makna guna menetapkan
keabsahan suatu hadis.24
b. Langkah-langkah dalam kritik matan hadis
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
Dalam kegiatan penelitian hadis, ulama hadis mendahulukan penelitian sanad atas
penelitian matan. Langkah penelitian yang dilakukan oleh ulama hadis tersebut tidaklah
berarti bahwa sanad lebih penting dari pada matan. Bagi ulama hadis, sanad dan matan
merupakan bagian yang penting dalam penelitian hadis, hanya saja penelitian matan akan
mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan telah jelas-jelas
memenuhi syarat sebagai sanad yang shahih. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan
hadis tidak dapat dinyatakan sebagai hadis yang berasal dari Nabi.25
Bagi sanad yang
statusnya dla`îf berat, maka matan yang shahih tidak akan dapat menjadikan hadis
tersebut berkualitas shahih. Tegasnya matan yang sanadnya sangat dla`îf tidak perlu
diteliti sebab hasilnya tidak akan memberi manfaat bagi ke-hujjah-an hadis tersebut.26
2. Kaedah keshahihan matan sebagai acuan
Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih ada
dua macam, yaitu terhindar dari syudzûdz dan terhindar dari `illat. Hal ini berarti untuk
meneliti matan, kedua unsur ini harus menjadi acuan utama. Meskipun demikian ulama
tidak menekankan bahwa langkah pertama meneliti haruslah menelitisyudzûdz dan
langkah berikutnya adalah `illat atau sebaliknya.
Menurut Shalâh al-Dîn al-Adlâbî, paling tidak ada empat macam tolok ukur untuk
penelitian matan, yaitu:
1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an.
2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
3) Tidak bertentangan dengan akal, indera, dan sejarah.
4) Susunan periwayatannya menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi.27
24
. Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 94.
25
. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 122.
26
. Ibid., hlm 123.
27
. Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Adlâbî, Manhaj Naqd al-Matn (Beirut: Dâr al-Afâq al-
Jadîdah, 1983), hlm. 238.
13
14. 3. Meneliti susunan matan
a. Ziyâdah, Idrâj dan lain-lain
Dalam penelitian matan hadis, ziyâdah, idrâj dan lain-lain sangat penting.
Secara bahasa, ziyâdah adalah tambahan. Menurut ilmu hadis, ziyâdah pada matan ialah
tambahan lafadz atau kalimat (pernyataan) yang terdapat pada matan, tambahan tersebut
dikemukakan oleh periwayat tertentu sedangkan periwayat tertentu lainnya tidak
mengemukakannya.28
Menurut Ibn Shalâh yang dikutip oleh Syuhudi Ismail, bahwa ziyâdah itu ada tiga
macam yaitu:
1. Ziyâdah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya bertentangan dengan
yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga. Ziyâdahseperti ini
ditolak.
2. Ziyâdah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya tidak bertentangan
dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat
yang tsiqahjuga. Ziyâdah seperti ini diterima.
3. Ziyâdah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang
mengandung arti tertentu, sedang para periwayat lainnya yang bersifattsiqah juga
tidak mengemukakannya.29
Adapun idrâj, secara bahasa merupakan isim mashdar dari kata adrajayang artinya:
memasukkan atau menghimpunkan. Menurut pengertian secara istilah ilmu
hadis, idrâj berarti memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu
matan hadis yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan
tersebut berasal dari Nabi karena tidak ada penjelasan dalam matan hadis
tersebut.30
Perbedaan antara ziyâdah danidrâj yaitu idrâj berasal dari diri periwayat,
sedangkan ziyâdah (yang sesuai syarat) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
matan hadis.
b. Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan
28
. Ibid, hlm. 135.
29
. Ibid., hlm. 137.
30
. Ibid., hlm. 138.
14
15. Sesungguhnya tidak mungkin hadis Nabi bertentangan dengan hadis Nabi yang lain
ataupun dengan dalil-dalil dari al-Qur'an. Sebab apa yang dikemukakan Nabi, baik
berupa hadis maupun ayat al-Qur'an sama-sama dari Allah. Namun pada kenyataannya,
ada sejumlah hadis Nabi yang tampak tidak sejalan dengan atau tampak bertentangan
dengan hadis yang lain ataupun dengan ayat al-Qur'an.
Dalam menyelesaikan matan hadis tentang hadis-hadis yang tampak bertentangan,
ulama berbeda pandangan:
a. Ibn Hazm mengatakan bahwa matan-matan hadis harus diamalkan, karena dia
menekankan perlunya penggunaan metode istisnâ’ (pengecualian) dalam penyelesaian
itu.
b. Menurut al-Syâfi`î, kemungkinan hadis-hadis yang tampak bertentangan itu
mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global (mujmal) sedang yang
satunya lagi bersifat rinci (mufassar), mungkin yang satu bersifat umum (`amm) sedang
yang satunya lagi bersifat khusus (khâs), mungkin yang satu bersifat penghapus (nâsikh)
sedang yang satunya lagi yang dihapus (mansûkh).
c. Shihâb al-Dîn menempuh dengan cara tarjîh (mencari argumen yang lebih kuat).
d. Al-Thahâwanî menempuh cara al-nâsikh dan al-mansûkh.
e. Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Adlâbî menempuh cara al-jam`u, kemudianal-tarjîh.
f. Ibn Hajar al-`Asqalânî menempuh empat tahap yakni al-jam`u, al-nâsikhdan al-
mansûkh, al-tarjîh, al-tauqîf (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil yang dapat
menyelesaikan atau menjernihkannya).31
Dalam menyelesaikan masalah hadis yang
tampak bertentangan, pendapat dari Ibn Hajar al-`Asqalânî lebih akomodatif. Hal ini
karena dalam praktek penelitian matan, keempat tahap atau cara itu memang dapat
memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan dalam menyelesaikan hadis yang
tampak bertentangan.
D . ANALISIS
Dalam buku ini, penulisnya menunjukkan sikap kritisnya terhadap metode-metode
kritik hadis baik dalam kesarjanaan Barat maupun Islam. Kritiknya tidak hanya pada
31
. Ibid. hlm. 138
15
16. lingkup teoretis tetapi juga pada lingkup praktis dalam penggunaan metode-metode kritik
hadis.
Adapun Hadis Nabi adalah merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Selain itu,
hadis Nabi sebagai riwayat yang memiliki beberapa latar belakang, khususnya latar
belakang sejarah, perlu dilakukan penelitian dalam upaya untuk mengetahui kualitasnya
dilihat dari dapat atau tidak dapatnya dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal
dari Nabi. Berdasarkan kepada latar belakang itulah, maka suatu riwayat barulah diduga
sebagai hadis Nabi bila riwayat tersebut mengandung sanad dan matan yang memberi
indikasi kuat sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi. Untuk itulah penelitian atau kritik
hadis (sanad maupun matan) sangat urgen kedudukannya mengingat dari sinilah kualitas
hadis dapat diketahui sehingga hadis tersebut benar-benar dapat digunakan
sebagai hujjah.
Dan menyimpulkan sanad merupakan kegiatan akhir dari penelitian sanad hadis.
Hasil penelitian berupa natîjah (konklusi). Dalam mengemukakan natîjah harus disertai
argumen-argumen yang jelas. Isinatîjah untuk hadis yang dilihat dari segi jumlah
periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan
berstatus mutawâtir, dan bila tidak demikian maka hadis tersebut berstatus ahad. Untuk
hasil penelitian hadis ahad, maka natîjah-nya mungkin berisi pernyataan bahwa hadis
yang bersangkutan berkualitas shahîh atau hasan ataudla`îf sesuai dengan apa yang telah
diteliti.
Setelah langkah-langkah di atas selesai dilakukan, maka yang terakhir dilakukan
adalah menyimpulkan hasil dari penelitian matan. Sebagaimana halnya penelitian sanad,
maka dalam menyimpulkan penelitian matan juga harus didasarkan pada argument-
argumen yang jelas. Argumen-argumen ini dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah
dibuat kesimpulan.
Apabila matan yang diteliti ternyata shahih dan sanadnya juga shahih, maka dalam
kesimpulan disebutkan bahwa hadis yang diteliti juga berkualitas shahih. Apabila matan
dan sanad sama-sama berkualitas dla`îf, maka dalam kesimpulan disebutkan bahwa hadis
16
17. yang diteliti berkualitas dla`îf. Sedangkan apabila terjadi perbedaan kualitas antara sanad
dan matan, maka perbedaan tersebut harus dijelaskan.32
الخلصة
1.الدافعالذييجعلعلماءالغربيدرسونالحديثالنبويهو
لمعرفة،التاريخفبينماالدافعالذييجعلعلماءالسلم
يدرسونالحديثهولنهالمصدرثانيّ المنمصادر،تشريعّ ال
فلهذاظهرنقدالحديثعندالغرباكبرمنعلماء.السلم
2.تدخلتالياديفيالحاديثيةّ النبوبعدوفاةنبيّ اللىّ ص
اعليهوآلهلمّ وسسندا،ومتناولكناخرّ سالجهابذةمن
علماءالحديثالذينوضعواالقواعدوالضوابطلقبول
الحديثسندا.ومتنا
3.تحقيقالحاديثالنبويةليسبالمرالسهلاو،الهيناذيحتاج
الىمعرفةاسماءواحوالرواةّ الفردا،فرداوالذوقيّ النبو
اومايعرفبالملكة.فاذا يةّ الحديثكانالشخصماّ ملبذلك
فلهانيقدحفيسندحديثينّ معاذارأىنّ افيسنده
انقطاعااورجالغيرعدولاوضعفاءاوغيرذلكمناسباب
32
. Ibid., hlm. 146.
17
19. أوكانمتعارضاللعقلأوالفطرة،السليمةأوكانمبطل
للواقعالتاريخيأوكانركيك.البنية
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode penelitian hadis terdapat pada posisi urgen dan mempunyai tujuan yang
sangat besar terhadap perkembangan sumber islam kedua tersebut. metode penelitian
hadis dapat diartikan sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang
dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap hadis sebagai sumber hukum islam
untuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadis dengan
mudah serta dapat menilai kualitas hadis tersebut.
Objek penelitian hadis ada dua yaitu sanad dan matan. Sanad berfungsi
membuktikan proses kesejarahan terjadinya hadist, Sedang matan mempresentasikan
konsep ajaran yang terbalut dalam bahasa ungkapan hadist yang diasosiakan kepada
sumbernya. Kegunaan dan tujuan dari keilmuwan ini sangatlah banyak, sehingga setiap
ulama berpendapat berbeda dengan porsi masing-masing yang mereka punya. Yang jelas,
pada dasarnya penelitian hadis berfungsi untuk menjaga keontetikan hadis dan kemurnian
kandungannya. Karena betapapun hadis menjadi sandaran perjalanan hidup manusia dan
sumber hukum islam yang qath’i.
B. Saran
1. Sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
pembuatan makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik akan selalu penulis terima guna
penyempurnaan yang lebih baik.
2. Penelitian seperti ini sangatlah bermanfaat dan membawa guna bagi kehidupan manusia
karena menyangkut sumber hukum yaitu Hadis Nabi Muhammad SAW. Sehingga
penulis mengharapkan, agar penelitian seperti ini bisa dilanjutkan.
19
20. DAFTAR PUSTAKA
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah(Jakarta: Prenada Media, 2003)
hlm.174.
Hasan Muhammad, Maqbûlî al-Ahdal, Mushthalah al-Hadîts wa Rijâluh (Shana’a:
Maktabah al-Jayyid al-Jadîd, 1993), hlm. 103.
Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis(Jakarta: Mizan Publika, 2009)
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis( Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 123.
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya(Jakarta:
Gema Insani Press, Mei 1995), hlm. 76.
Muhammad `Ajjâl al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh, hlm. 260.
Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhûr, Lisân al-`Arab, jilid 13 (Mesir: al-Dâr al-
Mishriyyah, t.th.), hlm. 456-463.
Ohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) Cet I, hlm . 27.
Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Adlâbî, Manhaj Naqd al-Matn (Beirut: Dâr al-Afâq al-
Jadîdah, 1983), hlm. 238.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., hlm. 740.
Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 94.
20