SlideShare a Scribd company logo
1 of 84
Metodologi Penelitian

Tafsir Hadis
Bahan ajar berbasis
multimedia
Disusun oleh
Mohammad Anwar Syarifuddin
METODOLOGI PENELITIAN TAFSIR HADIS

?APA ITU METODOLOGI PENELITIAN TAFSIR HADIS

RUANG LINGKUP BIDANG KAJIAN TAFSIR HADIS

RAGAM PENDEKATAN INTERDISIPLINER
DALAM PENELITIAN TAFSIR HADIS

MEMBUAT PROPOSAL PENELITIAN

MELAKUKAN PRAKTEK PENELITIAN MINI
1
Pengertian Metodologi Penelitian
Tafsir Hadis
Pertemuan Pertama

Pengertian Metodologi Penelitian Tafsir Hadis
Standar Kompetensi
 Mahasiswa diharapkan
dapat memahami
konsep-konsep yang
terkait dengan istilah
metodologi penelitian
tafsir hadis

Kompetensi Dasar








Menjelaskan pengertian
Metodologi penelitian
Menerangkan perbedaan
antara pengertian
metodologi dan metode
penelitian
Menjelaskan makna
istilah tafsir
Menjelaskan arti istilah
hadis
Pengertian
Metodologi
Penelitian Tafsir
Hadis

Pengertian
Metodologi
Penelitian

Makna istilah
Tafsir

Arti istilah
hadis
Metodologi
Penelitian

adalah

Logika umum dan perspektif
teoretis bagi sebuah penelitian

Berbeda
dengan

Metode = teknik

• Survey
• Wawancara
• dan lain-lain
Makna Istilah
”“tafsir hadis
Tafsir:








Tafsir dipahami sebagai upaya interpretasi secara umum, tidak
melulu tentang al-Qur’an, tetapi lebih merupakan padanan kata “ syarh”
dalam bahasa Arab, yang berarti penjelasan.
Secara generik tafsir adalah istilah yang diberikan kepada karya yang
menyajikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dari teks bahasa Arabnya.
Secara lebih spesifik, tafsir sebagai produk penafsiran dibedakan dengan
metode tafsir yang cenderung menunjuk aspek teknik dan metodologis
dengan apa sebuah tafsir dihasilkan. Tafsir sebagai produk penafsiran
seringkali juga dibedakan dengan teks al-Qur’an yang ditafsirkan.
Alasannya, ulumul Qur’an atau ilmu-ilmu yang dilahirkan dari upaya
pengkajian terhadap al-Qur’an bukan hanya mengenai tafsir semata.
Oleh karena itu, dalam cakupan makna istilah tafsir terdapat beberapa
obyek kajian spesifik:



Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’an
Tafsir dan metode penafsiran
Al-Qur’an

Secara sederhana al-Qur’an didefinisikan sebagai “Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya merupakan
ibadah”.

Definisi yang lebih lengkap al-Qur’an adalah “Kalam yang memiliki mukjizat,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di dalam lembaranlembaran mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan yang membacanya
merupakan ibadah.
Ulum al-Qur’an

Ilmu yang membahas tentang tatacara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an,
makna dan hukum-hukumnya baik yang berdiri sendiri (ifrad) maupun yang
terbentuk dalam sebuah struktur kalimat (tarkibiyyah), juga makna-makna
yang ditunjukkan oleh sebab bentukan sintaksis tadi serta segala
kelengkapan yang terkait dengan itu.” (Suyuti, Itqân, ii, 174)
Hadis:
 Hadis adalah tradisi yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW, bisa berupa:







Ungkapan
Perbuatan
Ikrar
sifat

Konsekuensinya, hadis dibedakan dengan al-Qur’an
atas beberapa pertimbangan:




Bentuk redaksional,
Kuantitas jalur periwayatan,
Efek legal formal
Tafsir Hadis, bukan Qur’an Hadis




Jika Qur’an juxtaposed hadis, istilah “tafsir hadis” sama tidak
dikhotomis.
Makna-makna yang dilekatkan dengan istilah tafsir dan hadis
memiliki titik kesepadanan pada dua hal:






perkembangan penulisan kitab hadis masa awal Islam, ketika tafsir
dimasukkan sebagai salah satu bagian kitab hadis dalam Sahih
Bukhari, misalnya, dan
hadis dalam fungsinya sebagai penjelasan atas al-Qur’an seperti
diungkapkan dengan istilah “tafsir bil ma’tsur”. Objek kajian dan analisis
yang dominan dalam metode tafsir ini terkait erat dengan hadis dan
perangkat keilmuannya.

Oleh karena itu, tidak tepat bila ada sementara pandangan yang
menempatkan posisi tafsir berada secara berlawanan dengan
hadis, karena

tafsir bil ma’tsur = hadis
Makna istilah “tafsir hadis” memunculkan pola-pola hubungan yang mendasari ruang
:lingkup kajian yang dimilikinya

Hadis

Tafsir
al-Qur’an
Melalui
hadis

Tafsir
al-Qur’an

Tafsir
bil ma’tsur

Tafsir
al-Qur’an
bil Qur’an

penafsiran
secara
umum

Tafsir
Birra’yi

Bidang
Kajian
non-TH

Syarah
hadis

tafsir

Al-Qur’an

Ulumul
Qur’an
Kesimpulan

TAFSIR HADIS
 Komponen ilmu keislaman yang sangat penting
karena terkait dengan sumber-sumber pokok
ajaran Islam: al-Qur’an dan hadis
 “Tafsir Hadis” adalah sebutan untuk program
studi yang memusatkan aktivitas pengkajian
terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah yang menjadi
sumber utama ajaran Islam dan digolongkan
sebagai kajian pokok (usûl) dalam pemikiran
keislaman.
 Untuk alasan itulah program studi Tafsir Hadis
berada di bawah naungan fakultas Ushuluddin.
2
Ruang Lingkup Bidang
Kajian Tafsir Hadis
Pertemuan Ke-2, 3, dan 4

Ruang Lingkup Bidang Kajian Tafsir Hadis
Standar Kompetensi
 Mahasiswa mengetahui ruang
lingkup bidang kajian tafsir
hadis

Kompetensi Dasar








Mahasiswa dapat membagi bidang kajian
Tafsir ke dalam kelompok-kelompok kajian
yang ada dalam lingkup bidang kajian tafsir
hadis beserta paradigma keilmuan yang
berlaku di masing-masing kelompok kajian
tersebut.
Mahasiswa dapat menjelaskan batas-batas
cakupan keilmuan kelompok-kelompok
kajian al-Qur’an dan ulum al-Qur’an, tafsir
dan ilmu tafsir, hadis dan ilmu hadis.
Mahasiswa dapat menunjukkan hubungan
antara berbagai kelompok kajian dan
kekhususan paradigma yang berlaku di
dalamnya dengan kemungkinan melakukan
upaya pengkajian bidang ilmu tafsir hadis
melalui melalui kerangka konseptual yang
berasal dari paradigam keilmuan di luar
ruang lingkupnya, baik melalui pendekatan
multi-disipliner ataupun interdisipliner.
Mahasiswa dapat menunjukkan referensi
dan karya-karya yang relevan untuk
masing-masing kelompok kajian Tafsir
Hadis baik yang dihasilkan oleh sarjana
Muslim maupun sarjana non-Muslim dari
kalangan orientalis Barat.
Ruang lingkup kajian dan alternatif pendekatan
Kelompok kajian
Al-Qur’an dan
Ulumul Qur’an

multi-disipliner

Kelompok kajian
Tafsir dan ilmu tafsir

Kelompok kajian
Hadis dan ilmu hadis

interdisipliner
Bidang ilmu
Non-Tafsir Hadis
Kelompok bidang-bidang penelitian
dalam kajian tafsir hadis








Kelompok kajian al-Qur’an dan ‘ulum alQur’an,
Kelompok kajian tafsir al-Qur’an dan
metode penafsiran,
Kelompok kajian Hadis dan ulum alhadis,
Kelompok kajian interdisipliner.
a
Kelompok Kajian al-Qur’an
dan Ulum al-Qur’an.
Pemahaman Konseptual
Al-Qur’an

Secara sederhana al-Qur’an
didefinisikan sebagai “Kalamullah
yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang
membacanya merupakan ibadah”.

Definisi yang lebih lengkap alQur’an adalah “Kalam yang
memiliki mukjizat, diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW,
tertulis di dalam lembaranlembaran mushaf, diriwayatkan
secara mutawatir, dan yang
membacanya merupakan ibadah.

Ulum al-Qur’an

Ilmu yang membahas tentang
tatacara melafalkan ayat-ayat alQur’an, makna dan hukumhukumnya baik yang berdiri
sendiri (ifrad) maupun yang
terbentuk dalam sebuah struktur
kalimat (tarkibiyyah), juga maknamakna yang ditunjukkan oleh
sebab bentukan sintaksis tadi
serta segala kelengkapan yang
terkait dengan itu.” (Suyuti, Itqân,
ii, 174)
Klasifikasi ‘ulûm al-Qur’ân menurut Jalal al-Din al-Suyuti
((sumber al-Itqân fi‘ ulum al-Qur’an





















1Ma’rifat al-Makkî wa al-Madanî
2Ma’rifat al-Hadari wa al-Safarî
3Ma’rifat al-Nahâri wa al-Layâlî
4Ma’rifat al-Saifi wa al-Shita’î
5Ma’rifat al-Firashi wa al-Nawmi
6Ma’rifat al-Ardi wa al-Sama’i
7Ma’rifat Awwalu ma nuzil
8Ma’rifat Akhiru ma nuzil
9Asbab al-nuzul
10Ma nuzila ala lisan ba’d al-sahaba
11Ma takarrara nuzuluhi
12Ma ta’akhkhara hukmuhu ‘an nuzulihi wa
ma ta’akhkhara nuzuluhu an hukmihi
13Ma nuzila mufarraqan wa ma nuzila
jama’a
14Ma nuzila mushi’an wa ma nuzila
mufradan
15Ma anzala minhu alâ ba’d al-anbiya’ wa
ma lam yanzal ala ahad qabl alnabi16Kayfiyatu inzâlihi
17Ma’rifat asma’ihi wa asma’i suwarihi
18Jam‘ihi wa tartibihi
19Adadi suwarihi wa ayatihi wa hurufihi
20Fi ma’rifat huffazhihi wa ruwatihi






















21Ma’rifat al-‘ali wa al-nazil min asanidihi
22Mutawatir
23Mashhur
24Ahad
25Shadz
26Mawdu’
27Mudraj
28Ma’rifat al-waqf wa al-ibtida
29Fi bayan mauwsul lafzhan wa mawsul
ma’nan
30Fi al-imalah wa al-fath wa mâ baynahuma
31Fi ala-idgham, Izhhar, Ikhfa’, wa Iqlab
32Fi al-madd wa al-qasr
33Fi takhfif al-hamzi
34Kayfiyati tahammulihi
35Fi adabi tilawatihi wa talahu
36Ma’rifat gharibihi
37Fi ma waqa’a fihi bi ghayri lughat al-hijaz
38Fima waqa’a fihi bighayri lughat al-‘Arab
39Ma’rifat al-wujuh wa al-nazhair
40Ma’rifat adawat allati yahtaju ilayhi almufassir
lanjutan






















41Ma’rifat I’râbihi
42Fi qawa’id muhimma yahtaju mufassir ila ma’rifatiha
43Fi al-muhkam wa al-mutashabih
44Fi muqaddamihu wa mu’akhkharihu
45Fi ‘amihi wa khasihi
46Fi mujmalihi
47Fi nasikhihi wa mansukhih
48Mushkilihi wa mawhim al-ikhtilaf wa al- tanaqud
49Mutlaqihi wa muqayyadihi
50Fi mantuqihi wa mafhumihi
51Fi jami’i mukhatabatihi
52Fi haqiqatihi wa majazihi
53Fi tashbihihi wa isti’aratihi
54Fi kinayatihi wa ta’ridihi
55Fi al-hasri wa al-ikhtisas
56Fi al-ijaz wa al-itnab
57Fi al-khabar wa al-insha’
58Fi bada’i‘ al-Qur’an
59Fi fawâsil al-Ay
60Fi fawatih al-suwar






















61Fi khawatim al-suwar
62Fi munasabat al-ay wa al-suwar
63Fi al-ayat al-mushtabihat
64Fi I’jaz al-Qur’an
65Fi al-‘ulum al-mustanbata min al-Qur’an
66Fi amthalihi
67Fi aqsamihi
68Fi jadalihi
69Fi al-sama’ wa al-kuna wa al-alqab
70Fi mubhamatihi
71Fi asma’i man nasala fihim al-Qur’an
72Fi fadail al-Qur’an
73Fi fadl al-Qur’an wa fâdilihi
74Fi mufradat al-Qur’an
75Fi khawas al-Qur’an
76Fi marsum al-khatt
77Fi ma’rifat tafsirihi wa ta’wilihi
78Fi ma’rifat syurut al-mufassir wa adabihi
79Fi ghara’ib al-tafsir
80Fi tabaqat al-mufassirin
Bagan Pengelompokan Kajian Ulum al-Qur’an menurut Bulqini
1

Makki

25

Gharib

2

Madani

26

Mu’arrab

3

Safari

27

Majaz

4

Hadari

28

5

Laili

29

Mutaradif

6

Nahari

30

Isti’ara

31

Tashbih

32

Al-Am al-Baqi ala umumihi

33

Al-‘am al-makhsus

34

Al-‘am alladhi urida bihi al-khusus

35

Ma khassa fihi al-kitab al-sunna

36

Ma khassat fihi al-sunna al-kitaba

37

Mujmal

7

Nuzul

Saifi

8

Shita’i

9

Firashi

10

Asbab al-nuzul

11

Awwal ma nuzil

12

Akhir ma nuzil

13

Mutawatir

14

38

Alfazh

Ahkam

Mushtarak

Mubayyin

Ahad

39

Shadh

40

Mafhum

Qiraat nabi

41

Mutlaq

17

Ruwat

42

Muqayyad

18

Huffadh

43

Nasikh

19

Waqf

44

Mansukh

20

Ibtida’

45

Naw’ min al-nasikh wa al-mansukh

21

Imala

46

Fasl

47

Wasl

15
16

22

Sanad

Ada’

Mad

23

Takhfif al-hamza

24

Idgham

48
49

Ma’an muta’allaq bi
alfazh

Muawwal

Ijaz
Itnab

50

Qasr

51

Al-asma’ al-kuna
Karya-karya sarjana muslim yang memuat kajian al-Qur’an
sepanjang sejarah perkembangan keilmuan ini















Muhammad b. ‘Alî al-Adfawî (w. 388) al-Istighnâ’ fî ulum al-ulQur’an;
Ibn al-jawzi (w. 597) Funûn al-Afnân fi ‘ajâ’ib ulum al-Qur’ân;
Badr al-Din Zarkâsyî (w. 794) al-Burhan fi Ulûm al-Qur’an;
Jalal al-Din al-Bulqini (w. 824) mawaqi’ al-‘ulum min mawâqi’ alnuzul;
Jalal al-Din al-Suyûtî (w. 911) al-Itqân fî ‘ulûm al-Qur’ân;
Syaikh Tâhir al-Jazâ’irî al-Tibyân fî ‘ ulûm al-Qur’ân;
Syaikh Muhammad ‘Alî Salama Manhaj al-Furqân fî ‘ulûm al-Qur’ân;
‘Abd al-Azîm al-Zarqânî Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’an;
Ahmad Ahmad Ali Madzkara fi ulum al-Qur’an;
Subhi Salih, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an;
Manna’ Khalil Qattan, Mabahits fi ulum al-Qur’an,
Mafhum al-Nass dirasah fi Ulum al-Quran.
Hasbi as-Siddiqi, Pengantar ilmu Tafsir,
Dan lain-lain.
Karya-karya sarjana peneliti Barat (oreintalis) mengenai
studi al-Qur’an








W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the
Qur’an halaman 179-181.
Approaches to the History of the Interpretation of
the Qur’an hasil editan Andrew Rippin, Oxford:
Clarendon Press;
With Reference for the Word, Medieval
Scriptural Exegesis in Judaism, Christianity and
Islam oleh Jane Dammen Mc Auliffe (ed.), dkk.
Oxford: Oxford University Press, 2003;
Dan masih banyak lagi tentunya
b
Kelompok Kajian Tafsir dan
Metode Penafsiran
Pengelompokan Karya-karya Tafsir
berdasarkan Metode Penafsirannya
METODE TAFSIR

(METODE TAHLILI (TERPERINCI

(METODE IJMALI (GLOBAL

(METODE MUQARAN (PERBANDINGAN

(METODE MAUDU’I (TEMATIK
Tafsir Ijmali




Metode Tafsir Ijmali dimaksudkan sebagai metode
tafsir di mana mufassirnya menerangkan makna ayat
yang ditafsirkannya secara ringkas dan global saja,
biasanya dengan menyebut penjelasan tentang i’rab
atau padanan kata (muradif) dari kata-kata dalam ayat
al-Qur’an.
Contoh karya yang menerapkan metode penafsiran
semacam ini adalah Tafsir Jalalayn karya Jalaluddin alMahalli dan Jamaluddin al-Suyuti; dan Tafsir al-Qur’an
al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi.
Tafsir Muqaran




Tafsir Muqaran dimaksudkan sebagai sebuah metode
penafsiran di mana mufassirnya melakukan penafsiran
terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan mengetengahkan
pandangan sejumlah mufassir lain. Dalam hal ini, seorang
penyusun tafsir muqarin akan mengetengahkan sejumlah
ayat-ayat al-Qur’an, kemudian ia menampilkan pandangan
ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu. Analisis utama yang
digunakan adalah analisis perbandingan di mana satu
pendapat akan ditimbang dengan pendapat yang lain. Begitu
seterusnya dalam setiap tema maupun ayat yang
disodorkannya.
Adakalanya, metode tafsir ini juga dimaksudkan sebagai
bentuk penafsiran al-Qur’an dalam arti yang lebih luas, yaitu
penafsiran yang membandingkan antara nass al-Qur’an yang
satu dengan ayat yang terdapat dalam bahagian lain alQur’an menyangkut sebuah pokok persoalan, atau bisa juga
perbandingan antara teks al-Qur’an dengan teks hadis yang
makna lahiriahnya menampilkan sebuah kontradiksi.
Tafsir Maudu’i





Metode Tafsir Mawdu’i adalah metode penafsiran
yang menampilkan pembahasan dengan mengumpulkan
ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesatuan tema
kemudian diurutkan berdasarkan periode turunnya, latar
belakang konteks sosio-historis yang menyebabkan
turunnya ayat-ayat itu, serta penjelasannya, keterkaitan
satu dengan yang lain, dan begitu juga tentang istinbat
hukum yang bisa diambil, dan elemen-elemen
penjelasan yang lain.
Kajian teoretis dan contoh praktis metode penafsiran
tematik ini dapat dilihat dalam Abd al-Hayy Farmawi, alBidayah fi Tafsir al-Mawdu’i, dirasah manhajiyya
mawdû‘iyya.
Tafsir Tahlili


Metode tafsir Tahlili didefinisikan sebagai penjelasan
atas ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segenap
aspek yang terkait dengannya, seperti:










dengan memberikan penjelasan terhadap al-Quran menurut tata
urutannya, seperti yang termaktub di dalam mushhaf, seayat
demi seayat, dan surat demi surat secara berurutan, dengan
mengetengahkan makna kalimat-kalimatnya satu persatu,
atau juga dengan mengungkapkan maksud ayat secara
keseluruhan, dan apa yang bisa diungkapkan melalui susunan
kalimatnya,
menguraikan kaitan ayat yang ditafsirkan dengan ayat-ayat dan
surat sebelum dan sesudahnya,
menjelaskan inti yang menjadi pengikat di antara maksudmaksudnya, mencoba menghubungkan dengan tujuan yang
dimaksudkan, juga argumentasi yang mendukungnya,
Menjelaskan asbab nuzul, serta penjelasan yang telah
dinukilkan oleh Rasulullah, para sahabat, juga tabiin,
Serta penjelasan tentang masalah kebahasaan yang berkaitan
dengan teksnya.
Corak Penafsiran yang menggunakan
metode tahlili

Tafsir bil
Ma’tsur

Tafsir
Adabi
Ijtima’i

bir Tafsir
Ra’yi
Metode
Tahlili

ilmi Tafsir

Tafsir
falsafi

Tafsir Sufi

Tafsir Fiqhi
Tafsir bil Ma’tsur




Tafsir bil ma’tsur pada dasarnya menampilkan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
diambil dari sumber-sumber tradisional Islam yang secara hierarkhis diurutkan mulai dari al-Qur’an,
hadis Nabi SAW, atsar sahabat, dan qawl tabiin.
Prosedur yang ditempuh mufassir:






menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an utamanya didasarkan kepada penjelasan yang diberikan oleh bahagian lain
al-Qur’an sendiri.
Bila tidak didapati penjelasan di bagian lain al-Qur’an, maka penjelasan diambilkan dari hadis-hadis yang
dinukilkan dari Rasulullah SAW
Bila hadis tidak didapati, maka yang menjadi sandaran adalah penjelasan yang dinukilkan dari para sahabat
yang dengan ijtihadnya mereka mengungkapkan penjelasan atas ayat-ayat al-Quran.
Jika tidak didapati atsar sahabat, maka penafsiran diambilkan melalui penjelasan kaum Tabiin mengenai ayatayat al-Quran yang merefleksikan ijtihad yang mereka lakukan.
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam memberikan tafsir bi al-ma’tsūr
ini:






Contoh Tafsir bil ma’tsur dengan rangkaian sanad yang lengkap adalah karya Ibnu Jarir at-Tabarī
(w. 310 H), Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an. Di dalam kitab ini Tabari menyebutkan:








Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana sahabat meriwayatkannya dari
Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan
yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap selanjutnya.
Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini
seperti juga ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah.

pendapat,
arahan,
timbangan terhadap validitas riwayat antara satu dengan yang lain,
penjelasan tentang i’rab jika dibutuhkan,
istinbat hukum yang dimungkinkan untuk diambil dari ayat-ayat Quran tersebut.

Dalam perkembangan sesudahnya, para ulama menyusun kitab tafsir bil ma’tsur tanpa
menyertakan isnadnya, dan kebanyakan menyertakan pendapat di dalam kitab tafsir mereka tanpa
memilah mana yang sahih dan mana yang tidak, oleh sebab dimungkinkannya pula menyertakan
pandangan yang mawdū‘ dan dibuat-buat. Diantara kitab-kitab tafsir bil ma’tsuur sesudah Tabari
adalah




Ma‘ālim al-Tanzīl karya al-Baghāwī (w. 512 H);
Tafsir al-Quran al-‘Azîm karya Ibn Katsir (w. 774 H),
Al-Durr al-Mantsūr fī tafsīr al-Ma’tsūr karya al-Suyūtī (w. 911 H)
Tafsir bil Ra’yi








Tafsir bi al-Ra’yi adalah sebutan untuk tafsir al-Quran yang menjelaskan ayat-ayat alQur’an dengan menggunakan ijtihad. Prasayarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir
dalam penafsiran ini adalah pengetahuan yang baik tentang kalimat bahasa Arab dan
aspek-aspeknya. Selain itu, ada juga yang mensyaratkan bahwa seorang mufassir juga
harus memiliki pengetahuan tentang syair-syair jahiliah, serta mengetahui asbab al-nuzul,
memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal nasikh mansukh ayat al-Quran, dan ilmu
lainnya.
Latar belakang munculnya corak penafsiran ini adalah ketika ilmu-ilmu keislaman
berkembang dengan aneka ragam corak yang bermunculan, pada saat yang sama para
ulama mengalami puncak kejayaan dengan beragam karya yang memuat ilmu-ilmu
keislaman. Hal tersebut berkembang pesat lantaran sarjana muslim giat dalam menelaah
kitab suci al-Qur’an, sehingga ketika tafsir sudah mulai berkembang banyak dan ilmu-ilmu
keislaman juga sudah muncul dengan aneka ragam disiplin, maka setiap mufassir
berusaha mengembangkan corak penafsiran yang berbeda dengan corak penafsiran yang
dibuat oleh mufassir lainnya.
Kecenderungan untuk membuat tafsir yang berbeda dengan tafsir yang dibuat oleh ulama
lain, misalnya menjadi alasan mengapa Zamakhsyari menyusun kitab tafsirnya al-Kasysyaf
sebagai tafsir yang mencirikan analisis atas ketinggian balaghah al-Qur’an. Begitu juga
ketika seorang alim disamping terkenal dalam ilmu tafsir, ia juga seorang faqih, atau ahli
bahasa, atau bahkan seorang failasuf dan ahli ilmu astronomi serta teologi. Maka
muncullah pandangan-pandangan ijtihadi yang menjadi ciri khas corak keilmuan yang
dikuasai dalam tafsir yang disusunnya. Sehingga, jika sebuah ayat al-Quran memiliki kaitan
dengan ilmu yang dimilikinya, maka keluarlah pengetahuannya tentang masalah tersebut.
Diantara karya-karya tafsir bi al-ra’yi yang menonjolkan pandangan ijtihadi para
mufassirnya berdasarkan kepasitas ilmiah yang mereka kuasai adalah:






Mafātih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Rāzī (w.606 H);
Anwār al-Tanzīl wa asrār al-ta’wīl karya al-Baghāwī (w.691 H);
Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H);
Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H);
Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).
Tafsir Sufi


Corak penafsiran ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial
mengandung 4 tingkatan makna:













zhahir,
batin,
hadd, dan
matla’.

Di samping itu, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali
merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara
substansial. Jika para rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah ilahiyah kepada
ummat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna
menyebarkan risalah akhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu pada keluhuran budi pekerti.
Klaim Sufi sebagai pengemban risala akhlaqiyya memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para
sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan
ma’rifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn ‘Arabi
dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang disebutnya sebagai
nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian umum yang dapat diusahakan). Berbeda
dengan predikat para rasul dan nabi yang menerima nubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika
mereka dipilih oleh Allah sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan
setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti.
Walhasil, dalam penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an
melalui jalan i’tibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada
menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal
dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya seperti dipahami
oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat yang
tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan sufi.
Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi:





Tafsir al-Qur’ān al-Azim, karya Sahl al-Tustarī (w.283 H);
Haqā’iq al-Tafsīr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H);
Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi,
Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī (w.606).
Tafsir Fiqhi








Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsūr, corak tafsir fiqhī juga muncul pada saat yang
bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini
terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat
sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan
dengan aspek hukum. Di sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur’an bisa muncul
dengan cara melakukan penafsiran terhadapnya. Pada awal Islam, ketika menemukan sebuah
masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat adalah mengembalikan
permasalahannya kepada Nabi SAW. Dengan begitu, Nabi SAW kemudian memberikan
jawaban. Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi al-ma’tsūr,
yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam dapat pula disebut dengan tafsir fiqhī.
Oleh karena itu, boleh dikatakan pula bahwa tafsir fiqhi muncul dan berkembang bersamaan
dengan berkembangnya ijtihad, yang hasilnya tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan
dari generasi ke generasi secara tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan
aliran-aliran hukum Islam menurut madzhab tertentu.
Pada masa pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin
mengantarkan pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada.
Maka masing-masing Imam madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini
berdasarkan sandaran al-Qur’ān dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan
itu, para imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di
dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang
didasarkan pada dalil-dalil dan argumentasi.
Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhi adalah karya-karya
yang menampilkan pandangan fiqih yang cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqhi
sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para pendiri madzhab.
Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis dengan membandingkan
perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī:




Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H);
Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H);
Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).
Tafsir Falsafi





Latar belakang yang menyebabkan munculnya corak penafsiran falsafi terhadap alQur’an adalah karena berkembangnya gerakan penerjemahan yang dilakukan pada
masa Abbasiyah. Gerakan ini telah membuka khazanah berbagai ilmu pengetahuan,
termasuk pemikiran filsafat Yunani.
Ada dua reaksi atas perkembangan semacam ini:


Pertama, sebagian kelompok menolak filsafat karena bertentangan dengan agama.
Kelompok ini mengerahkan seluruh hidupnya untuk menolak dan menjauhkan orang dari
filsafat. Di antara para tokohnnya yang terkenal adalah









Imam Ghazali, dan
Fakhr al-Din al-Rāzī
Keduanya memaparkan dalam tafsirnya teori-teori filsafat yang jelas-jelas berada dalam pandangan
yang bertentangan dengan agama, dan dengan al-Quran secara khusus. Maka mereka menolak sesuai
dengan kadar yang bisa mencukupkan argumentasi dan mengkritik metodenya.

Kedua, kelompok yang sangat mengagumi filsafat dan menerima teori-teroi yang sebenarnya
bertentangan dengan nass syariat yang dipercaya bersifat pasti. Kelompok ini mengupayakan
adanya keserasian antara falsafah dengan agama, dan menghilangkan pertentangan di
antara keduanya. Akan tetapi, kelompok ini tidak sampai pada tahap penyesuaian yang
benar-benar sempurna, sebagaimana terlihat dalam penjelasan mereka terhadap ayat-ayat
al-Quran yang berupa penjelasan yang disokong oleh teori-teori filsafat yang tidak mungkin
dimiliki oleh nash al-Quran dalam kondisi apapun.

Kitab tafsir yang tergolong ke dalam corak penafsiran falsafi yang mewakili kelompok
yang menolak filsafat adalah Mafātih al-Ghayb karya Fakhr al-Razī (w. 606 H),
sedangkan dari kelompok kedua tidak ada karya yang bisa dikelompokkan ke dlaam
karya tafsir selain dari penafsiran terhadap penggalan-penggalan ayat al-Qur’an dalam
kitab filsafat.
Tafsir Ilmi






Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada
dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada
kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran
mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak
kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami
terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi
kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan, “bagi kaum yang berfikir.”
Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam
akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran
khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap
tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah yang berkenaan dengan itu. Walhasil,
ketika sebagian ulama menangkap hakikat bahwa al-Qur’an mendorong manusia
untuk berpikir dan menguasai ilmu pengetahuan, mereka menyusun tafsir ayat-ayat
kauniyah, menurut kaidah bahasa dan kelazimannya, menurut ukuran yang mereka
bisa terangkan sebagai bagian ilmu yang bersumber dari agama mereka berdasarkan
kesimpulan analisis yang mereka dapatkan dari kenyataan pula.
Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah




Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan
Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari.
Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan
Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya
yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan tetapi bila tafsir dipahami sebagai genre untuk
karya yang menampilkan penafsiran al-Qur’an berdasarkan tata urutan ayatnya sesuai
dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong kepada metode tafsir tahlili, maka ketiga
karya yang disebut terakhir tidak bisa di masukkan ke dalamnya.
Tafsir Adabi Ijtima’i


Tafsir Adabi Ijtima’i yaitu corak penafsiran yang
menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang
terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an
(balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas
dasar dalam prosedur penafsirannya mufassir
menerangkan:






makna-makna ayat-ayat al-Qur’an,
menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan
sistem-sistem sosial,
Semua dilakukan sehingga ia dapat memberikan jalan keluar
bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan
ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang
diberikan oleh al-Qur’an.

Karya-karya tafsir yang dapat dimasukkan dalam
kategori ini:




Tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Rida (w. 1935),
Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi (w. 1945), dan
Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut.
c
Kelompok Kajian Hadis dan
Ilmu Hadis
Pengertian dan Ruang Lingkup




Kajian Hadis dimaksudkan sebagai kajian
yang menjadikan hadis Nabi SAW sebagai
objek kajiannya.
Dalam hal ini, ada 2 elemen utama yang
terkait dengan hadis:




pertama, matan atau substansi pernyataan
dalam sebuah hadis; dan
kedua, sanad atau daftar para perawi yang
berperan dalam mentransmisikan hadis itu
sampai kepada perawi terakhir yang
menuliskannya di dalam sebuah kitab hadis.
Klasifikasi Bidang Kajian dalam Ilmu Hadis
Ilmu rijal al-hadits guna mengetahui ihwal perawi di kalangan
sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin
Ilmu tawarikh al-ruwât , yaitu ilmu yang menjelaskan biografi para
perawi hadis: kapan dan di mana dilahirkan, dari siapa ia menerima
hadis, siapa yang mengambil hadis darinya, dan di mana ia wafat.
Contoh karya bidang ini:










al-Tarikh al-Kabîr karya al-Bukhârî (w. 252 H);
Tarikh Nisabûr al-Hakim al-Naisabûrî;
Tarikh Baghdâd karya al-Khatîb al-Baghdâdî;
Tahdzib al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl karya Abû al-Hajjâj Yusuf al-Mizzî ( w.
742 H);
tahdzib al-tahdzîb karya Ibn Hajar al-Asqallânî (w. 852 H)

Ilmu Tabaqât membahas kelompok orang-orang (jama’ah) yang
memiliki kesamaan masa hidup. Contoh kitab








Tabaqât al-Kubrâ karya al-Wâqidî (w. 230 H);
Tabaqât al-Ruwât karya Khalifa b Khayyâth al-Syaibanî (w. 240 H);
Tabaqât al-Tâbi’în karya Muslim (w. 261 H),
Tabaqât al-Muhadditsîn wa al-Ruwât karya Ahmad b Abd Allah b Ahmad
al-Isfahânî (w. 430 H);
Tabaqât al-Huffâzh karya al-Dzahabî (w. 748); dan tabaqât al-hiffâdz
karya al-Suyutî (w. 911 H).
Ilmu mu’talif dan mukhtalif , yaitu ilmu yang membahas
kesamaan bentuk tulisan dari nama asli, nama samaran, atau
nama keturunan para perawi, tetapi bunyi bacaannya berlainan.
Bila sama bunyi lafadznya disebut mu’talif, bila tidak disebut
mukhtalif. Ada pula istilah yang dikenal dengan muttafiq dan
muftariq yang membahas kesamaan bentuk tulisan dan ucapan,
tetapi orangnya berlainan. Contoh karya di bidang-bidang ini:







al-Mu’talif wa al-mukhtalif fî asmâ’i naqlat al-hadits dan Musytabih alnisba karya Abd al-Ghanî b Sa’d al-Azdî (w. 409 H);
al-Musytabih fî asmâ’ al-Rijâl karya Dzahabî (w. 748); dan
Tabsîr al-muntabih bi tahrîr al-musytabih karya Ibn Hajar al-Asqallânî
(w. 852 H).

Ilmu jarh wa ta’dîl membahas ihwal perawi dari segi diterima
ataupun ditolak periwayatannya. Kitab-kitab yang termasuk
bidang ilmu ini:










Ma’rifat al-Rijal karya Ibn Ma’in;
al-Du’afâ karya al-Bukhârî (w. 252 H);
al-Thiqât karya Ibn Hibbân (w. 304 H);
Al-Jarh wa al-Ta’dîl karya Ibn Abî Hâtim al-Râzî (w. 326);
Mîzân al-I’tidâl (3 vol) karya Al-Dzahabî (w. 748);
Lisân al-Mîzân (6 vol) karya Ibn Hajar al-Asqallânî (w. 852 H).
Ilmu gharîb al-hadits membahas lafazh-lafazh dalam matan
hadis yang sulit difahami karena jarang dipergunakan. Karyakarya bidang ini:







Gharib al-Hadits oleh Abu Ubayd Qâsim b Salâm (w. 224 H);
al-Fâ’iq fî Gharib al-hadits karya Zamakhsyarî (w. 538 H);
al-Nihâya fî Ghârib al-Hadîts wa al-Athâr oleh Ibn al-Atsîr al-Jazarî
(w. 606 H).

Ilmu asbâb wurûd al-hadits menerangkan sebab lahirnya
sebuah hadits. Contoh karya bidang ini:




Al-Bayân wa Ta’rîf fî Asbâb wurûd al-Hadits al-Syarîf karya Ibn
Hamzah al-Husainî (w. 1120 H).

Ilmu tawârikh al-mutûn membahas kapan dan di mana
sebuah hadits diucapkan oleh Nabi SAW. Perintis ilmu ini Abû
Hafs Amr b Salar al-Bulqînî dengan kitab Mahâsin al-Istilâh.
Ilmu nâsikh wa al-mansûkh membahas hadits-hadits yang
berlawanan maknanya dan tidak mungkin mengkompromikannya
lagi, sehingga perlu ditentukan mana yang nâsikh dan mana yang
mansûkh. Karya bidang ini









Nasikh al-Hadits wa mansûkhuh karya Abu Bakr Ahmad b
Muhammad al-Atsram (w. 261 H); juga
Nasikh al-Hadits wa mansûkhuh karya Abu Hafs b Ahmad alBaghdâdî, populer dengan sebutan Ibn Syâhîn (w. 385 H);
al-i’tibâr fî al-Nâsikh wa al-mansûkh min al-atsar karya Abu Bakr
Muhammad b Musa al-Hâzimî (w. 585)


Ilmu mukhtalif al-hadits membahas hadits-hadits yang pada
lahirnya saling berawanan, yaitu dengan menghilangkan
pertentangan itu, ataupun dengan mengkompromikannya. Contoh
karya:







Mukhtalif al-Hadits karya al-Syâfi’î;
Ta’wîl Mukhtalif al-Hadits karya Abd Allâh b Muslim b Qutaiba alDaynûrî (w. 276 H);
Musykil al-Atsâr karya Ahmad b Muhammad al-Tahanâwî (321 H);
Musykil al-hadits wa bayânuh karya Ibn Furak al-Isfahanî (w. 406).

Ilmu ‘ilal al-hadits membahas sebab tersamar yang membuat
kecacatan sebuah hadits, seperti menyambungkan sanad yang
munqati’, memarfu’kan berita yang mauquf, menyisipkan satu hadits
dengan yang lain, atau memutarbaikkan matan dengan sanad, dan
sebaliknya. Contoh karya:







al-Tarikh wa al-ilal karya yahya b Ma’in (w. 233);
Ilal al-hadits karya Ahmad b Hanbal (w. 241);
al-musnad al-mu’allal karya Ya’qub b Syaibah al-Sudusy al-Basrî (w.
279);
al-Ilal karya Isâ al-Tirmidhî (w. 279);
Ilal al-Hadits karya Ibn Abî Hâtim al-Râzî (w. 327); dan
al-Ilal al-wârida fî al-ahâdits al-nabawiyya karya Ali b Umar al-Dâruqitnî
(w. 375).
Catatan tentang Kemungkinan Penelitian
Bidang Kajian Tafsir Hadis secara Multi-Disipliner








Dari ketiga kelompok kajian pokok dalam bidang ilmu Tafsir Hadis,
selain mengandalkan pemakaian paradigma keilmuan masingmasing secara mandiri, juag dimungkinkan untuk mengadakan
penelitian ketiga bidang tersebut sekaligus melalui penelitian multidisipliner.
Contohnya, jika seseorang melakukan penelitian terhadap karya
tafsir bil ma’tsur, misalnya, maka ia selain diharuskan menguasai
bidang kajian metode tafsir, maka ia juag diharapkan memiliki
keahlian yang memadai di bidang hadis dan ilmu hadis sebagai
bidang ilmu sekunder karena tolok ukur validitas corak penafsiran
ini menggunakan parameter kajian hadis dan ilmu hadis.
Begitu juga jika seseorang hendak melakukan penelitian tentang
karya-karya tafsir bil ra’yi, maka bidang-bidang keahlian sekunder
dalam ilmu-ilmu keislaman yang secara khusus menandai jenis
corak tafsir yang diteliti: tasawuf, fiqih, filsafat Islam, sastra, atau
tafsir ilmiah secara umum perlu dikuasai secara mumpuni guna
dapat menghasilkan analisis yang optimal.
Jika kemudian bidang ilmu sekunder yang harus dikuasai itu berada
di luar bidang kajian keislaman, maka yang terjadi adalah penelitian
yang bersifat inter-disipliner.
3
Ragam Pendekatan
Interdisipliner
Pertemuan Ke-5, 6, 7, dan 8
Standar Kompetensi
 Mahasiswa memahami urgensi
penelitian melalui pendekatan
interdisipliner mengingat
keterkaitan antara bidang
kajian ilmu hadis dengan
bidang-bidang kajian serta
pisau bedah analisis yang
berasal dari luaur bidang ilmu
Tafsir Hadis secara mandiri
dalam iklim pengkajian Islam
di era modern dewasa ini.

Kompetesi Dasar
 Mahasiswa mampu
menguaraikan ragam
pendekatan yang ada dalam
penelitian bidang kajian Tafsir
hadis melalui skema penelitian
interdisipliner, baik itu
menyangkut kajian naskah
secara filologis, amauun kajian
kritik yang bersifat tekstual dan
kontekstual, juga pendekatan
interdisipliner menggunakan
analisis filsafat hermeneutika
dan kajian gender.
Disiplin keilmuan
non-Tafsir Hadis

Filologi

Kritik Naskah

,Ilmu Bahasa, sastra

Ilmu-ilmu sosial

Ragam Pendekatan
Interdisipliner dalam
Penelitian Tafsir
Hadis

Kritik Kontekstual
filsafat

Hermeneutika
Disiplin ilmu baru

Kesetaraan
Gender

Dan lain-lain
PENDEKATAN FILOLOG IS

FILOLOGI KOMPARATIF
REKONSTRUKSI TEKS
(HIG HER CRITICISM )
KAJIAN NASKAH DAN KRITIK SASTRA

(KRITIK NASKAH ( LOWER CRITICISM

ECLECTICISM

STEMMATIK

COPY TEXT EDITING

KRITIK BENTUK

KRITIK REDAKSI
Pendekatan Filologis







Dalam kajian linguistik, filologi sering dirujuk sebagai
ilmu untuk memahami teks dan bahasa kuno.
Atas dasar anggapan lingusitik itulah dalam tradisi
akademik istilah filologi dijelaskan sebagai kajian
terhadap sebuah bahasa tertentu bersamaan dengan
aspek kesusasteraan dan konteks historis, serta aspek
kulturalnya.
Arti penting kajian ini adalah guna dapat memahami
sebuah karya sastra dan teks-teks lain yang memiliki
signifikansi secara kultural.
Dalam hal ini dapat pula dijelaskan di sini bahwa lingkup
kajian filologis meliputi:






kajian tentang tata bahasa,
gaya bahasa,
sejarah bahasa,
penafsiran tentang pengarang,
tradisi kritikal yang dikaitkan dengan bahasa yang disampaikan.


Penerapan pendekatan filologis dalam penelitian Tafsir Hadis dapat
dilakukan dalam beberapa cabang ilmu ini:


Filologi Komparatif (Comparative Philology), dalam filologi klasik,
misalnya dapat diterapkan dalam studi tentang al-Qur’an atau hadis
dalam membantu menemukan pengaruh bahasa-bahasa asing nonArab apa saja yang dikandung oleh al-Qur’an dan teks-teka hadis yang
pada gilirannya penemuan ini dapat memberi ruang bagi analisis
tentang ketinggian I’jâz al-Qur’ân, maupun kemungkinan kaitan antara
sajian teks al-Qur’an atau hadis dengan sumber-sumber pra-Islam.
Contoh kajian ini dapat dilihat dalam dua artikel al-Suyuti di dalam alItqân:





Pertama kajian tentang kata-kata asing al-Qur’an yang berasal dari dialek
non-Quraisy
Kedua tentang kata-kata di dalam al-Qur’an yang bukan berasal dari dialek
Hijaz dan bahkan bahasa asing non-Arab yang diarabkan (mu‘arrab)

Rekonstruksi teks (text reconstruction), dalam filologi modern, atau
disebut pula dengan istilah higher criticism menekankan upaya
rekonstruksi sebuah naskah asli hasil karya pengarang lama
berdasarkan varian salinan manuskripnya. Ini bisa dilakukan terhadap
naskah karya tafsir dan hadis. Unsur-unsur utama yang dicari dalam
kritisisme teks ini mencakup:




status kepengarangan (authorship),
penanggalan, dan
keaslian naskah.


Literatur yang bersifat manual metodologis yang berfungsi
memandu secara teknis pola-pola yang harus dilakukan dalam
penelitian yang memakai pendekatan filologis dalam lingkup kajian
terhadap literatur yang lebih menekankan aspek keindonesiaan
dapat dilihat pada karya Stuart Robson Principles of Indonesian
Philology yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Prinsip-prinsip Filologi Indonesia terbitan Universitas
Leiden tahun 1994. Karya ini merupakan buku panduan yang cukup
penting mengingat masih banyak literatur bidang tafsir dan literaturliteratur tentang kajian Islam pada umumnya yang ditulis oleh ulama
Indonesia yang hingga kini masih tertulis dalam bentuk salinan
manuskrip dan belum memiliki edisi cetak yang bisa dibaca secara
luas.
Kritik Naskah
Kritik Naskah

Berbeda dengan Text Reconstruction yang disebut sebagai higher criticism, kritik naskah disebut
sebagai lower criticism yang upayanya tidak dimaksudkan untuk menentukan ihwal
kepengarangan, penanggalan, ataupun tempat disusunnya sebuah teks, akan tetapi hanya
mengidentifikasi kesalahan dan membuangnya .

Secara teoretis kerangka kerja dari pendekatan ini tidak jauh berbeda dengan pendekatan
disiplin induknya yaitu filologi. Jika melihat beberapa dokumen yang berbeda, atau sebut saja
“bukti-bukti” dari sebuah teks, maka tidak selalu akan tampak jelas mana yang naskah yang asli
dan mana naskah salinan yang mengandung kesalahan. Tugas seorang pelaku kritik teks
adalah:








menyortir naskah-naskah tersebut,
untuk kemudian membentuk sebuah edisi yang paling mewakili naskah aslinya dengan menjelaskan semua
bukti-bukti yang ada.
Dalam melakukan pekerjaan ini, seorang pelaku kritik teks dituntut untuk mempertimbangkan baik aspekaspek eksternal (usia manuskrip, keaslian, dan hubungan antara butki yang satu dengan yang lain)
maupun aspek internal (apa yang sepertinya telah dilakukan oleh pengarang, penyalin ataupun
pencetaknya).
Hasil akhirnya, didapatkan sebuah naskah edisi yang kuat yang memiliki kemiripan sedekat mungkin
dengan naskah aslinya.

Salah satu alasan yang menganggap pentingnya dilakukan sebuah kritik naskah, ataupun kajian
filologis secara umum sebagaimana dijelaskan pada uraian sebelumnya, adalah karena sebelum
mesin cetak ditemukan karya-karya literatur umumnya disalin dengan tangan. Setiap kali sebuah
manuskrip disalin kesalahan mungkin saja dilakukan oleh juru tulisnya. Kesalahan yang sama
juga bisa saja terjadi pada naskah cetakan akibat kecerobohan seorang compositor atau pihak
percetakan.

Ada tiga pilihan langkah peneltiian dalam pendekatan kritik naskah:

Eclecticism adalah praktek dalam menguji sejumlah besar bukti-bukti dan menyeleksi varianvarian yang dipandang terbaik. Dalam pendekatan eklektik murni, tidak ada satu bukti naskah
pun yang lebih disukai secara teoretis, sehingga semua teks diperlakukan secara sama.
Sebaliknya, seorang pelaku kritik akan membentuk opini tentang bukti-bukti secara individual,
dengan cara bergantung kepada ciri-ciri internal dan eksternalnya.

selanjutnya




Stemmatik adalah pendekatan akurat terhadap tekt kritik yang dikembangkan oleh Karl
Lachman (1793-1851). Nama pendekatan ini diambil dari kata stemma yang berarti pohon
keluarga yang menunjukkan hubungan-hubungan antara bukti-bukti naskah yang ada. Prinsip
kerja yang dimiliki oleh pendekatan ini adalah banyaknya kesalahan mengimplikasikan keaslian
semuanya. Oleh karena itu,








Lanjutan

Prosedur utama dalam peneltian ini adalah menentukan stemma disebut dengan resensi , yaitu jika dua
buah manuskrip memiliki kesalahan secara rata-rata, maka dapat dikatakan bahwa keduanya dihasilkan
dari sebuah sumber intermediate yang umum, disebut dengan istilah hyparchetype. Hubungan di antara
intermediate-intermediate yang hilang ditentukan melalui proses serupa, yaitu dengan menempatkan
manuskrip-manuskrip yang ada dalam sebuah pohon keluarga yang disebut dengan stemma codicum,
dengan merujuk kepada sebuah archetype tunggal.
Setelah menentukan stemma, maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan seleksi , di mana teks
yang dijadikan sebagai archetype ditentukan melalui pengujian terhadap varian-varian yang ada dari
beberapa hyparchetype atau intermediate yang terdekat dengan archetype dengan menyeleksi salah satu
yang terbaik. Jika sebuah bacaan lebih sering muncul dibandingkan dengan bacaan lain dalam tingkatan
yang sama, maka pembacaan yang dominan kemudian dipilih. Jika ada dua bacaan yang saling
berkompetisi secara sama-sama seringnya, maka editor memutuskan archetype melalui pertimbangannya
sendiri, bacaan mana yang ia anggap paling mendekati kebenaran.
Setelah melakukan pilihan, naskah bisa jadi masih memiliki kesalahan-kesalaha, ketika dalam beberapa
kalompok kalimat tidak ditemukan sumber yang menyajikan bacaan yang benar. Untuk itu dilakukan
langkah selanjutnya, yaitu tahap pengujian untuk menemukan korupsi. Ketika editor mengatakan bahwa
naskah telah terkorupsi, maka kemudian hal itu dikoreksi dengan cara emendasi atau dengan
menghilangkan bagian yang salah tersebut. Proses emendasi yang tidak didukung oleh sumber-sumber
yang dikenal terkadang disebut dengan istilah emendasi konjektural.

Copy-text editing adalah upaya kritik teks yang dilakukan terhadap sebuah naskah dasar
(base text) dari sebuah manuskrip yang dianggap terpercaya ( reliable). Naskah dasar ini sering
dipilih dari manuskrip yang tertua. Akan tetapi dalam tahap-tahap awal pencetakan, proses
penyalinan naskah ini menggunakan manuskrip yang ada di tangan ketika itu. Dengan metode
copy text, seseorang melakukan pengujian terhadap naskah dasar dan membuat beberapa
koreksi (dengan cara emendation) pada tempat-tempat di mana naskah dasar tadi nampak
menunjukkan kesalahan menurut pandangannya. Ini dilakukan dengan cara mencari tempattempat di naskah dasar yang tidak bisa dipahami, atau dengan melihat naskah pada manuskrip
yang lain untuk mencapai sebuah bacaan yang kuat. z
Panduan Metodologis dalam pendekatan Kritik Naskah:

Pieter von Reenen dan Margot van Mulken, eds. (1996). Studies in
Stemmatology. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company; dan
Philip Gaskell (1978), From Writer to Reader: Studies in Editorial Method.
Oxford: Oxford University Press.

Atau artikel-artikel menjadi bagian dari sebuah buku kompilasi yang lebih
besar, maupun artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah.











Bowers, Fredson (1964). "
Some Principles for Scholarly Editions of Nineteenth-Century American Authors".
Studies in Bibliography 17 : 223–228;
Bowers, Fredson (1972). "Multiple Authority: New Problems and Concepts of
Copy-Text". Library, Fifth Series XXVII (2): 81–115;
Davis, Tom (1977). "The CEAA and Modern Textual Editing". Library, Fifth Series
XXXII (32): 61–74;
Greg, W. W. (1950). "The Rationale of Copy-Text". Studies in Bibliography 3 : 19–
36;
Love, Harold (1993). “section III”, Scribal Publication in Seventeenth-Century
England. Oxford: Clarendon Press;
Shillingsburg, Peter (1989). "
An Inquiry into the Social Status of Texts and Modes of Textual Criticism ".
Studies in Bibliography 42 : 55–78;
Tanselle, G. Thomas (1972). "Some Principles for Editorial Apparatus". Studies
in Bibliography 25 : 41–88;
Zeller, Hans (1975). "A New Approach to the Critical Constitution of Literary
Texts". Studies in Bibliography 28 : 231–264.
(Kritik Sastra (1
Kritik bentuk

Kritik Bentuk (form criticism) merupakan sebuah metode kritik yang diterapkan terhadap
kajian biblikal. Metode ini diadopsi sebagai instrumen untuk menganalisis gambaran tipikal
teks, terutama bentuk dan struktur konvensionalnya agar bisa dikaitkan dengan konteks
sosiologisnya.

Alasan yang mendasari pentingnya pendekatan ini adalah karena teks-teks biblikal berasal
dari tradisi oral, yang mana proses penyusunannya telah menghasilkan munculnya
beberapa buah lapisan (layers), yang masing-masing lapisan tersebut memiliki arti khusus.
Elemen yang paling utama dari lapisan-lapisan ini adalah bahan-bahan historis asli, yaitu
ungkapan atau peristiwa yang tidak disangsikan lagi terjadi melalui beberapa cara dan
disaksikan. Dalam penuturan tentang peristiwa dan kejadian tersebut, serta penuturan
ulang yang dilakukan dari waktu ke waktu, beberapa penjelasan yang bersifat rincian atau
detail kejadian terkadang ditambahkan ke dalam teks. Tambahan-tambahan penjelasan
yang nampaknya tidak bisa dielakkan tersebut merefleksikan tujuan dari para penyusun; di
mana material yang asli digunakan untuk menguatkan sebuah pesan khusus. Tentunya,
setiap penuturan ulang bisa saja membawa proses gradual di mana sesuatu yang baru
ditambahkan yang bisa jadi menambah besar atau mengubah bentuk teks, jika beberapa
makna tambahan tadi kemudian dilekatkan dengan teks. Pada akhirnya, tradisi semacam
itu kemudian terkumpul menjadi penjelasan yang tertulis. Akan tetapi, pengarangnya tetap
saja memiliki agenda tersendiri, ketika penyusunan materi-materi tradisional tadi akan
senantiasa dihantarkan menjadi sebuah narasi yang dipandang perlu untuk diberikan
penekanan terhadap aspek-aspek khusus dalam pandangan teologis tertentu.

Sebagaimana dikembangkan oleh Rudolf Bultmann[1] dan sarjana lainnya, kritik bentuk
bisa dilihat sebagai upaya dekonstruksi sastra dalam menemukan kembali intisari dari
makna aslinya. Proses ini dijelaskan sebagai proses demitologisasi, meskipun istilah ini
harus digunakan secara hati-hati. Mitos dalam ungkapan ini tidak dimaksudkan sebagai
istilah yang menunjuk kepada makna “tidak benar”, tetapi merupakan signifikansi dari
sebuah peristiwa dalam agenda penyusunnya.
Lanjutan


Langkah-langkah yang dilakukan dalam Kritisisme bentuk:




dimulai dengan mengidentifikasi genre sebuah teks atau bentuk konvensional
sastra, seperti tamsil, proverb, epistle, puisi percintaan, dan bentuk-bentuk
lainnya.
Kemudian diteruskan dengan mencari konteks sosiologis dari masing-masing
genre tersebut, atau katakanlah “situasi hidup”.










Contohnya, setting sosiologis dari sebuah diktum hukum adalah pengadilan,
sementara setting sosiologis dari sebuah lagu pujian atau hymne adalah konteks
peribadatan atau pemujaan itu sendiri,
sedangkan proverb bisa jadi seperti nasehat seorang Bapak kepada anaknya.

Setelah selesai mengidentifikasi dan menganalisis genre sebuah teks, kritisisme
bentuk selanjutnya mengajukan sebuah pertanyaan, bagaimana bisa genre yang
lebih kecil ini memberi kontribusi bagi tujuan teks secara keseluruhan.

Dalam perkembangannya, kritisisme bentuk pada awalnya dikembangkan
untuk penelitian terhadap kajian-kajian Perjanjian Lama oleh Hermann
Gunkel.
Pada masa belakangan kemudian diaplikasikan untuk penelitian terhadap
Injil diantaranya oleh Karl Ludwig Schmidt, Martin Dibelius, dan Rudolf
Bultmann.

Aplikasinya dalam kajian hadis...




Penerapan pendekatan kritik bentuk dalam kajian Islam dapat dilakukan terhadap
teks yang substansi pernyataan pengarangnya telah tercampur bersama tafsir yang
ditambahkan oleh murid-murid dan pengikutnya atau penutur riwayatnya pada masa
belakangan. Ini penting seperti dalam kajian hadis guna menganalisis hadis-hadis
yang memiliki kelemahan mendasar dalam matan yang dimuatnya, di mana
substansi pernyataan orisinal Nabi SAW sangat diragukan otentisitasnya. Fenomena
keberadaan hadis semacam ini umumnya ditemukan dalam kitab-kitab yang berisi
nasehat targhib wa tarhib, di mana hadis-hadis yang lemah biasa dipakai sebagai
argumen atau dalil amaliah-amaliah utama (fadâ’il al-a‘mâl). Arti penting pendekatan
kritik bentuk dalam analisis hadis-hadis semacam itu adalah untuk memberi batasbatas yang jelas tentang mana substansi pernyataan yang berasal dari Nabi SAW,
dan mana yang merupakan mitos dan merupakan lapisan tambahan yang dilakukan
oleh pengikutnya pada masa belakangan, atau bahkan palsu semata dan sama
sekali tidak berasal dari Nabi SAW.
Fokus perhatian yang diusung oleh pendekatan ini menitikberatkan penelitian
substansi pernyataan atau matan. Dalam hal ini, pendekatan ini bisa digabungkan
dengan analisis kritik matan. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis
Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hal. 121-158. Bila kaidah-kaidah pendekatan
kritik hadis dalam kajian ilmu hadis selama ini cenderung hanya mendasarkan diri
pada analisis sanad, atau persesuaiannya dengan argumentasi yang tertuang dalam
hadis lain yang disepakati kesahihannya, bahkan bisa juga melalui pertimbangan
rasional dan pendekatan konpromis (jam’) terhadap makna-makna yang ditunjukkan
oleh sebuah matan hadis, maka analisis ini mungkin bisa diperkaya melalui penelitian
kritis terhadap bentuk-bentuk ungkapan yang menjadi kategori dasarnya dalam
pendekatan kritik bentuk.
Kesimpulan...
Kesimpulan


Secara sederhana, pendekatan kritik bentuk berupaya untuk
mengeliminir setiap elemen tambahan yang menjadi bentuk-bentuk
mitos dari sebuah teks. Dengan menganalisis dan mengidentifikasi
bentuk dasar atau genre sebuah teks, proses demitologisasi yang
umumnya menjadi tujuan dari gerakan purifikasi ajaran agama,
diharapkan akan dicapai dengan mengetahui bagian-bagian mana
yang merupakan bahan-bahan historis yang asli dari sebuah teks,
dan bagian mana yang hanya merupakan lapisan tambahan yang
dilekatkan ke dalam teks oleh para perawinya. Intinya, bila hadis
yang menjadi dasar argumentasi bagi amalan yang bersumber dari
Rasul SAW merupakan sunnah, maka penelitian melalui
pendekatan kritik bentuk diharapkan dapat memberi kontribusi
tambahan dalam memperkaya analisis kritis matan dalam kajian
kritik hadis.
(Kritik Sastra (2
Kritik Redaksi

Kritik Redaksi merupakan salah satu metode penelitian kritik terhadap Bibel,
terutama Injil dan kitab-kitab lain yang isinya saling tumpang tindih. Kritik redaksi
merupakan sebuah disiplin sejarah yang bertujuan untuk menemukan maksud
yang dikehendaki oleh pengarang atau editor terakhir sebuah buku. Tidak
seperti kritik bentuk yang menjadi disiplin asalnya, disiplin cabang ini tidak
melihat ragam bentuk narasi untuk menemukan bentuk aslinya, tetapi dengan
memusatkan pada bagaimana pengarang atau editornya membentuk dan
membuat material dalam sumber-sumbernya untuk mengekpresikan tujuan
susastra bagi karyanya, yaitu untuk alasan apa ia menulis karyanya tersebut.
Kritik redaksi juga melihat pengarang atau editor bukan sekali-kali sebagai
kolektor yang melakukan tindakan “cut and paste” sebuah cerita, tetapi sebagai
seorang teolog yang berupaya untuk mempertemukan agenda teologisnya
dengan cara membentuk sumber yang ia gunakan.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam pendekatan kritik redaksi
dalam upaya mendeteksi aktivitas pengeditan:





1. Pengulangan motif-motif dan tema-tema umum.
2. Perbandingan di antara dua buah pernyataan. Di sini, kritik redaksi menguji apakah
pernyataan yang terakhir menambahkan, menghilangkan, atau menjaga beberapa
bagian dari pernyataan terdahulu mengenai peristiwa yang sama?
3. Kata-kata yang digunakan dan gaya seorang penulis. Apakah teks mencerminkan
kata-kata yang sering digunakan oleh seorang editor, atau adakah kata-kata yang
jarang digunakan atau juga upaya untuk menghindari penggunaan sebuah kata,
misalnya. Jika pemilihan kata-kata mencerminkan bahasa seorang editor, maka hal
itu menunjuk ke arah pengerjaan ulang editorial sebuah teks, sementara jika hal itu
mencerminkan bahasa yang tidak digunakan atau dihindari untuk digunakan, maka
hal ini kemudian mengarah pada bagian dari sumber yang terdahulu.








Relevansi aplikasi dalam kajian keislaman secara umum dapat diterapkan dalam
kajian kritik terhadap redaksi matan hadis. Penerapan metode kritik redaksi
sebenarnya sudah dilakukan oleh para ulama terdahulu, khususnya dalam kajian
hadis untuk menilai redaksi matan hadis apakah memiliki kecacatan (‘illat) berupa
tambahan penjelasan (idrâj) yang diberikan oleh perawinya. Kritik redaksi juga
dilakukan untuk menentukan bahwa sebuah riwayat dianggap sebagai riwayat yang
janggal (syâdz) dan berbeda dengan riwayat lain yang kebanyakan (disebut riwayat
mahfuz). Kritik redaksi dalam kajian hadis adalah langkah utama untuk mendeteksi
apakah sebuah hadis memiliki kualifikasi yang dianggap menjatuhkan sehingga
dikelompokkan sebagai bagian dari hadis yang lemah dan tidak dapat diterima (da’if),
seperti hadis maqlûb, hadis mudtarib, hadis muharraf, hadis musahhaf, hadis
mubham, hadis majhûl, dan lain sebagainya.
Keunggulan ilmu hadis pada umumnya adalah menyangkut tingkat ketelitian yang
sangat tinggi terhadap isnâd, di mana kualifikasi para perawi akan sangat
menentukan diterima atau tidaknya sebuah tradisi kenabian. Bahkan nilai sebuah
matan juga ditimbang dari kesahihan isnâd yang membawanya.
Penerapan pendekatan kritik redaksi yang dipinjam dari studi biblikal diharapkan
dapat meningkatkan aspek metodologis terhadap penelitian terhadap redaksi matan
hadis, sehingga diketahui mana substansi yang benar-benar berasal dari tradisi
kenabian, dan mana elemen tambahan yang hanya merupakan penjelasan, atau
pesan khusus yang dibuat oleh para perawinya.
Penerapan metode kritik redaksi terhadap matan hadis ini penting mengingat
kemunculan hadis palsu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor non-religius seperti
faksi politik yang tidak jarang menampakkan biasnya dalam bingkai agama yang
sengaja dilakukan oleh para perawi hadis di kalangan para pengikut generasi awal
yang dihormati.
Pendekatan Kontekstual
Makna Konteks

Makna konteks dalam ilmu bahasa mengandung 2 macam arti:









(1) sekeliling teks atau percakapan tentang sebuah kata, kalimat, peralihan atau turn (disebut pula
co-text), dan
(2) dimensi situasi komunikatif yang relevan guna memproduksi atau menyempurnakan sebuah
diskursus.

Dari dua macam arti yang secara leksikal bisa diturunkan dari kata “konteks” tadi beberapa
arti khusus yang menandai definisi istilah ini secara terminologis dapat dijelaskan
berdasarkan spesifikasi bidang ilmu yang memakainya. Makna konteks dalam ilmu
komunikasi, linguistik, dan discourse analysis; misalnya, didefinisikan sebagai cara-cara
para partisipan menentukan dimensi relevan situasi yang komunikatif dari sebuah teks,
percakapan, atau pesan, seperti setting (waktu, tempat); aktivitas yang berlangsung
(misalnya, makan malam keluarga, perkuliahan, debat parlemen, dll); atau fungsi partisipan
dan peranannya (misalnya pembicara, teman, wartawan, dll); serta tujuan, rencana/niat,
dan pengetahuan partisipan.
Pendekatan kontekstual mengindikasikan terjalinnya hubungan harmoni antara ayat-ayat
kitab suci atau potongan bagian teks yang tengah dikaji dalam mengikuti aturan “teks
dalam konteks”, yaitu apa yang harus diikuti oleh makna skriptural yang menjelaskan
hubungan yang erat dengan ayat ketika berusaha untuk menentukan makna kitab suci.
Konteks kitab suci juga semestinya mengikuti maksud dan tujuan sebagaimana dipahami
oleh penulis asli terhadap sebuah pandangan dalam menyampaikan kebenaran skriptural
kepada pendengarnya.
Penerapan pendekatan kontekstual dalam bidang kajian Tafsir Hadis menempati posisi
cukup krusial ketika proses pewahyuan al-Qur’an pada sebagian kasus berhubungan
dengan situasi sosio-historis dalam bentuk asbab nuzul yang menjelaskan fenomena hidup
(the living phenomenon) dari sebuah diskursus dalam proses pewahyuan al-Qur’an.








Konteks juga penting dalam penelitian hadis, di mana ungkapan, atau perbuatan
yang dilakukan oleh Nabi SAW lahir dari kejadian yang melatarbelakanginya. Untuk
itu, pendekatan kontekstual baik dalam bentuk ulasan tentang setting historis,
sosiologis, maupun budaya yang mendasari sebuah tradisi kenabian ataupun diktum
agama pada masa pembentukannya di masa-masa sesudahnya menjadi sesuatu
yang penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan makna dan pemahaman
yang bisa diambil darii hadis-hadis di luar susunan redaksionalnya.
Dalam penelitian tentang diktum maupun doktrin agama, penyertaan konteks
memiliki peranan penting dalam membentuk karekter dari diktum maupun doktrin
tersebut. Lokasi turunnya wahyu, seperti yang membedakan antara kelompok ayatayat makkiyah yang turun di Mekkah dan kelompok ayat-ayat madaniah yang turun di
Madinah sesudah hijrah, turut membentuk karakter redaksional maupun isi
kandungan pesan yang disampaikan yang menandai ciri-ciri umum redaksi masingmasing periodisasi pewahyuan al-Qur’an tersebut.
Pertimbangan konteks, atau lebih tepatnya kronologi historis juga berpengaruh
terhadap penetapan dan pembatalan hukum dalam kasus nasikh mansukh. Konteks
kronologis menjadi kajian yang harus dicermati, sehingga pembacaan terhadap alQur’an dengan menyertakan konteks turunnya ayat tersebut dapat dijadikan patokan
mana ayat yang turun lebih dulu ---yang hukumnya dibatalkan, dan mana yang turun
belakangan dan menggantikan hukum yang pertama.
Walhasil, apapun pisau bedah yang digunakan dalam meneliti fenomena keagamaan
melalui pendekatan kontekstual, pendekatan akademis ini bermuara pada semakin
banyaknya titik-titik persinggungan antara agama dan kenyataan dalam kehidupan
manusia kontemporer yang membutuhkan metodologi pemecahan masalah yang
tidak saja harus tetap berlandaskan pada semangat universalitas al-Qur’an, di mana
al-Qur’an adalah pesan Tuhan yang diperuntukkan bagi seluruh manusia, tetapi juga
untuk bisa tetap menjaga agar tujuan yang diinginkan dari pesan Tuhan tersebut bisa
dijelaskan dalam penelitian ilmiah kontemporer
Pendekatan Filsafat Hermeneutika
Kaitan Hermeneutika dengan ilmu tafsir
 Secara etimologis, istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti menafsirkan atau bentuk nomina
hermeneia yang berarti penafsiran. Dengan menelusuri asal
katanya, hermeneutika mengarah pada arti “membuat menjadi
mengerti”, khususnya ketika proses ini mengikutsertakan bahasa, di
mana bahasa merupakan satu-satunya medium dalam proses
memahami.
 Proses ini dikaitkan dengan peran Hermes dalam mitologi Yunani
yang bertugas sebagai pembawa pesan, sekaligus penafsir bagi
pesan-pesan para dewa. Ini sejalan dengan makna kata kerja
hermeneuein yang meliputi 3 aktivitas:






(1) mengekpresikan secara lantang dengan kata-kata, atau sebut saja
“mengatakan”,
(2) menerangkan, seperti dalam menerangkan situasi, dan
(3) menerjemahkan, seperti dalam menerjemahkan pesan ke dalam
bahasa asing. Ketiga aktivitas tersebut tercakup dalam makna kata
“menafsirkan”.

Oleh karena itu, sudah semestinya bila hermeneutika memiliki
kaitan yang erat dengan upaya penafsiran.
6 makna hermeneutika
 Hermeneutika sebagai teori penafsiran biblikal,
 Metodologi filologi secara umum,
 Ilmu tentang semua pemahaman lingusitik,
 Landasan metodologis bagi
Geisteswissenschaften,
 Fenomenologi eksistensi dan pemahaman
eksistensial,
 Sistem penafsiran, baik yang bersifat rekolektif
maupun ikonoklastik, yang dipakai manusia
dalam memahami makna dibalik mitos dan
simbol-simbol.
1
Hermeneutika sebagai penafsiran biblikal

Pengertian ini merupakan pemahaman yang tertua dan mungkin masih dikenal
secara luas. Dalam masa yang paling awal, makna ini dipakai oleh J.C. Dannhauer
(dengan karyanya yang terbit 1654 hermenutica sacra sive methodus exponendarum
sacrarum litterarum) untuk membedakan penafsiran (exegesis) dengan aturan,
metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutics).

Dua hal yang patut dicatat dalam mencermati perkembangan hermeneutika yang
diartikan sebagai teori penafsiran biblikal:




pertama, karakter hermeneutika sebagaimana diindikasikan dalam contoh-contoh teori
penafsiran kitab suci; yang dalam hal ini dapat disebutkan bahwa hermeneutika menyajikan
“sistem” interpretasi yang dengan itu suatu ayat dalam kitab suci dapat ditafsirkan. Melalui
sistem tersebut, seorang mufassir dapat menemukan makna yang tersembunyi dari sebuah
teks. Hal tersebut didasari pada pertimbangan, bukan saja lantaran sebuah teks tidak bisa
ditafsirkan dengan sendirinya, tetapi setelah masa pencerahan teks-teks kitab suci
merupakan wahana yang memiliki banyak kebenaran moral, yang akan bisa ditemukan di
dalamnya jika prinsip-prinsip penafsiran dibentuk untuk menemukannya.
Kedua, dengan memahami hermeneutika sebagai teori penafsiran biblikal, maka akan
didapatkan kejelasan tentang ruang lingkup hermeneutika, yang tidak saja mencakup teoriteori eksplisit tentang aturan-aturan dalam menafsirkan, tetapi juga teori-teori yang
didapatkan secara tidak langsung dalam praktek penafsiran yang dilakukan. Jika Gerhard
Ebeling, misalnya mengkaji “Hermeneutika Martin Luther”, maka ia tidak saja memusatkan
kajiannya pada pernyataan-pernyataan Luther tentang teori penafsiran biblikal, tetapi juga
terhadap praktek penafsiran yang dilakukannya seperti yang didapatkan dengan
menganalisis khutbah-khutbah yang diberikan dan tulisan-tulisannya yang lain. Dari sini,
lingkup kajian hermeneutika menjadi lebih luas ---sebagai sebuah sistem penafsiran baik
yang eksplisit maupun implisit--- yang tidak saja diterapkan bagi teks kitab suci, tetapi juga
terhadap literatur di luar kategori kitab suci itu sendiri.
2,3,4
Hermeneutika sebagai metode filologi secara umum

Konsekuensi dari perluasan ruang lingkup Hermeneutika yang meliputi teks-teks non-biblikal,
maka dimulailah kecenderungan untuk memperlakukan kitab suci sama dengan perlakuan
terhadap buku-buku sekuler lainnya. Dalam sebuah panduan hermeneutika yang ditulis
1761, Ernesti menyatakan bahwa makna verbal kitab suci harus ditetapkan secara sama
seperti yang dilakukan terhadap buku-buku lain.[1] Hal senada diungkap oleh Spinoza ,
bahwa norma penafsiran biblikal hanya bisa menjadi penerang untuk akal yang sama.[2]
Dengan mencermati perkembangan semacam ini metode penafsiran biblikal menjadi sama
saja dengan filologi klasik yang menjadi dasar teori penafsiran sekuler, sebuah bangunan
yang menjadi landasan bagi definisi modern kedua bagi hermeneutika sebagai metode
filologi.
Hermeneutika sebagai Ilmu pemahaman linguistik

Hermeneutika dianggap sebagai “seni” atau “ilmu” memahami, sebagaimana dilontarkan
oleh F. Schleiermacher . Di sini, hermeneutika mengimplikasikan sebuah kritik radikal
terhadap landasan utama filologi, yang mengharuskan hermeneutika untuk bergerak
mencapai batas luar konsepsinya sebagai sekumpulan aturan-aturan, dan untuk
membuatnya koheren secara sistematis, yaitu sebuah bidang ilmu yang menjelaskan kondisi
bagi pemahaman dalam segala dialog. Hasilnya, bukan lagi sekedar hermeneutika filologis,
tetapi hermeneutika yang bersifat umum yang prinsip-prinsipnya dapat menjadi pondasi bagi
penafsiran segala macam teks.
Hermeneutika sebagai landasan metodologis bagi Geisteswissenschaften

Wilhelm Dilthey, seorang penulis biografi F. Schleiermacher, kemudian, mengkonsepsi
hermeneutika menjadi disiplin induk yang menjadi pondasi bukan saja bagi penafsiran teks
yang melandasi definisi ketiga, tetapi menjadi definisi baru yang meliputi segala disiplin yang
memusatkan perhatian pada pemahaman seseorang terhadap seni, prilaku, dan tulisantulisan yang disebut dengan istilah geisteswissenschaften.
[1] F.W. Farrar, History of Interpretation, hal. 402 dalam Palmer, Hermeneutics, 38.

[2] Palmer, 38.
5
Hermeneutika sebagai Fenomenologi dan Pemahaman Eksistensial

Defini ke-5 merubah pandangan hermeneutika ke dalam kajian fenomenologis
terhadap keberadaan manusia sehari-hari di dunia. Tokohnya adalah Martin
Heidegger . Dalam pandangannya, hermeneutika bukan lagi ilmu ataupun aturanaturan tentang interpretasi teks, bukan pula merujuk kepada metodologi
geisteswissenschaften, tetapi hermeneutika merujuk kepada penjelasan
fenomenologis tentang eksistensi manusia itu sendiri. Dalam analisis Heidegger,
“pemahaman” dan “interpretasi” merupakan bentuk dasar keberadaan manusia.
Dengan karyanya Being and Time, Heidegger menandai perubahan dalam
perkembangan hermeneutika, yang di satu sisi terkait dengan dimensi ontologis
pemahaman, dan pada saat yang sama hermeneutika diidentifikasikan dengan
konsepsinya tentang fenomenologi secara khusus.

Selanjutnya, Hans Georg Gadamer mengembangkan implikasi dari sumbangan
pemikiran Heidegger menjadi sebuah karya sistematik tentang “hermeneutika
filosofis”.[1] Karyanya yang lain, Truth and Methode, merupakan upaya untuk
menghubungkan hermeneutika kepada aspek-aspek estetika dan filosofis sejarah
pemahaman. Dalam hal ini, hermeneutika dibawa selangkah lebih jauh tetapi masih
dalam fase “linguistik” dengan pernyataan Gadamer bahwa keberadaan yang bisa
dipahami adalah bahasa, sehingga hermeneutka adalah sebuah pertemuan dengan
yang ada melalui bahasa.
[1] Lihat H.G. Gadamer, Philosophical Hermenutics. (terj. David E. Linge). Berkeley: University of California Press, 1977.
6
Hermeneutika sebagai sistem penafsiran ,




Tokoh yang pertama mengadopsi konsep ini adalah Paul Ricoeur . Dalam bukunya
de l’interpretation (1965), ia mengatakan, “kami mengartikan hermeneutika teori
tentang aturan yang mengatur sebuah penafsiran, atau dapat dikatakan, interpretatsi
teks khusus atau kelompok tanda yang bisa dianggap sebagai teks.”[1]
Pada tahap ini, hermeneutika menjadi proses penggalian makna yang dari sesuatu
yang isi dan makna yang manifest menuju makna yang tersembunyi atau laten. Objek
penafsirannya sendiri yang berupa teks, dalam bentuk yang sangat luas bisa terdiri
dari lambang-lambang dalam mimpi, atau bahkan mimpi dan kejadian dalam mitos dan
simbol-simbol masyarakat atau karya sastra. Dalam hal ini, Ricoeur membedakan
antara:





simbol-simbol yang jelas merujuk kepada satu makna ( univocal) dan
simbol-simbol yang samar-samar dan mengandung beragam makna ( equivocal).

Yang terakhir inilah yang menjadi fokus perhatian hermeneutika. Menurutnya,
hermeneutika berkaitan dengan teks-teks simbolik yang memiliki makna ganda. Makna
ganda ini bisa jadi menyusun sebuah kesatuan semantik yang ---seperti dalam mitosmitos--- memiliki makna zahir yang jelas dan pada saat yang sama juga sebuah
signifikansi yang mendalam. Hermeneutika, menurut Ricouer, adalah sistem yang
memunculkan signifikansi batin dari dalam substansinya yang tampak.



[1] P. Ricoeur, de l’interpretation: essai sur freud. Paris: editions du Seuil, 1965, h. 18, dalam Palmer,
Hermeneutics, h. 43.,
6


Definisi hermeneutika semacan ini membawa Ricoeur membedakan dua sindrom
hermeneutika yang sangat berbeda dalam era modern:








pertama, berkenaan dengan simbol dalam sebuah upaya untuk menemukan makna yang
tersembunyi di dalamnya, sebagaimana diwakili oleh upaya “demitologisasi” Rudolf Bultmann;
dan
kedua upaya untuk membongkar simbol yang menjadi representasi realitas yang salah,
seperti ditampilkan oleh Marx, Nietzsche, dan Freud yang membongkar kedok-kedok dan
ilusi-ilusi melalui gerakan rasionalisasi yang tiada henti dalam upaya “demistifikasi”. Ketiga
tokoh yang terakhir ini menafsirkan kenyataan lahiriah sebagai sebuah kesalahan dan
mengajukan sistem pemikiran yang menghancurkan kenyataan tersebut. Ketiganya secara
aktif berdiri berseberangan dengan agama, sementara cara berfikir yang benar bagi ketiganya
adalah dengan mengajukan “rasa curiga” ( suspicion) dan keragu-raguan.

Atas dasar dua pendekatan yang berbeda dalam penafsiran simbol dewasa ini,
menurut Ricoeur, tidak akan pernah ada aturan-aturan prinsipal (canons) yang bersifat
universal untuk menafsirkan, akan tetapi hanya berupa teori-teori yang terpisah dan
saling berlawanan tentang aturan-aturan (rules) penafsiran. Pengikut aliran
demythologizer (atau “demitologisasi”) memperlakukan simbol atau teks sebagai
jendela menuju realitas sakral, sementara kaum demystifier memperlakukan simbol
yang sama (sebut saja teks kitab suci) sebagai sebuah kenyataan salah yang harus
dihancurkan.
Pendekatan Ricoeur dalam mengkaji Freud merupakan sebuah upaya brilian dalam
type penafsiran yang pertama berupaya menemukan dan menafsirkan kembali
signifikansi Freud dengan cara baru pada momen kesejarahan masa kini. Ricoeur
berusaha untuk menerobos rasionalitas keragu-raguan dan kepercayaan terhadap
interpretasi rekolektif dalam sebuah filsafat reflektif yang tidak kembali ke dalam
abstraksi atau menjadi lebih buruk dengan pengajuan keragu-raguan secara
sederhana. Sebuah filsafat yang menangani tantangan hermeneutika dalam mitos dan
simbol, serta secara reflektif mentemakan realitas di belakang bahasa, simbol, dan
mitos-mitos tadi.
Beberapa prinsip dalam pendekatan hermeneutika

Prinsip dalam kajian yang memakai pendekatan hermeneutika, seperti apa yang
dirujuknya dari Heidegger tentang perlunya upaya untuk mendekati teks secara lebih
mendalam untuk menemukan apa yang tidak, bahkan mungkin yang tidak mampu,
dikatakan oleh teks.[1] Menurutnya, menafsirkan sebuah karya adalah untuk
melangkah ke dalam cakrawala pertanyaan ke arah mana teks bergerak. Akan tetapi,
hal ini juga berarti bahwa sang penafsir bergerak ke dalam sebuah horozon di mana
jawaban yang lain juga dimungkinkan. Dalam hal jawaban jawaban yang lain inilah
---dalam konteks temporal sebuah karya dan juga dalam era kekinian--- bahwa
seseorang mesti memahami apa yang dikatakan oleh teks. Dengan kata lain, apa
yang dikatakan dapat dipahami hanya melalui apa yang tidak dikatakan.

Prinsip lainnya dalam pendekatan hermeneutika adalah signifikansi penerapan
terhadap masa sekarang. Dalam hal hermeneutika yuridis maupun teologis, misalnya
diharuskan untuk melihat pemahaman tidak sesederhana upaya mengaitkan kajian
klasik untuk memasuki dunia lain yang diinginkannya, tetapi sebagai sebuah upaya
untuk menjembatani jarak yang ada antara teks dengan situasi saat ini. Interpretasi
bukan melulu menjelaskan apa makna teks dalam dunianya sendiri, tetapi apa
maknanya untuk kita. Sebuah teks ditafsirkan bukan atas dasar kesesuaiannya,
tetapi karena substansi teks adalah sesuatu yang dimiliki bersama. Landasan
kesamaan milik ini tidak selalu bersifat personal, tetapi bahasa. Seseorang berada di
dalam dan diliputi bahasa; bahkan ketika seseorang harus menjembatani
kesenjangan dalam dua bahasa yang berbeda, ia masih saja menafsirkan dalam
dunia bahasa di mana wujud (being) menjadi pengganti di dalam bahasa.[2]
[1] Palmer, Hermeneutics, hal. 234-235.

[2] Ibid., hal. 235-6.
Perspektif Kesetaraan Gender







Masuknya perspektif kesetaraan gender dalam kajian Islam adalah bagian dari upaya
pembaharuan pemikiran Islam .
Latar belakang yang mendasari kemunculan gerakan kesetaraan gender ini dalam
sisi pembaharuan pemikiran Islam adalah sebuah upaya untuk mengembangkan apa
yang disebut oleh orang barat sebagai “teologi feminis ” dalam konteks Islam yang
memiliki tujuan untuk membebaskan kaum perempuan dan kaum muslimin pada
umumnya dari struktur-struktur dan perundang-undangan yang tidak adil dan tidak
memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup antara laki-laki dan perempuan
Faktor utama yang menjadi alasan perlunya pendekatan kesetaraan gender adalah
karena masih ada ketidaksesuaian yang mencolok antara cita-cita Islam dan
praktek umatnya sejauh menyangkut perempuan.
Dalam hal ini, beberapa kesalahan mendasar ditemukan dalam pandangan normatif
Islam yang berakar pada penafsiran terhadap al-Qur’an dan doktrin tradisional (hadis)
sebagai sumber utama ajaran Islam, seperti kesetaraan kedudukan semua manusia
baik laki-laki maupun perempuan di hadapan Allah dipertentangkan dengan
beberapa bias penafsiran:





yang menganggap kelebihan status laki-laki sebagai qawwamun (yang umunya
diterjemahkan sebagai “penguasa” atau “pengatur”) perempuan (QS.4:34),
laki-laki memperoleh bagian waris dua kali lebh besar dibandingkan dengan bagian kaum
perempuan (4:11),
kesaksian laki-laki yang sama dengan kesaksian dua orang perempuan (QS 2:282),
maupun argumen-argumen yang berakar dari hadis ketidaksempurnaan perempuan dalam
salat, atau menyangkut kecerdasan akalnya sebagai konsekuensi dari kesaksiannya yang
dihitung hanya setengah dar kesaksian laki-laki. ( Rifat Hassan, hal.43).


Pengaruh terhadap kehadiran penafsiran yang dianggap bias gender, dan bercorak
misoginis, sehingga menempatkan status laki-laki dalam derajat yang lebih superior
dibandingkan dengan perempuan juga dijumpai dalam tradisi agama-agama lain,
seperti tradisi Yahudi dan Kristen. Akar pandangan yang bias gender didapati dalam
3 asumsi teologis:












(1) Ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, dan bukan perempuan karena perempuan
diyakini diciptakan dari tulang rusuk Adam. Konsekuensinya, secara intologis kedudukan
perempuan bersifat derivatif dan sekunder;
(2) Perempuan, dalam hal ini Hawa, menjadi penyebab kejatuhan manusia dari surga.
Konsekuensinya, semua anak perempuan Hawa dipandang dengan rasa benci, curiga, dan
jijik;
(3) Perempuan tidak saja diciptakan dari laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki.
Konsekuensinya, keberadaan perempuan hanya bersifat instrumental dan tidak memiliki
makna yang mendasar.

Ketiga asumsi teologis yang memandang rendah kaum perempuan ini, sedikit banyak
masih tergambar dalam pandangan masyarakat Arab yang melatarbelakangi setting
historis dan sosiologis turunnya al-Qur’an.
Meskipun begitu, Islam telah berupaya untuk sedikit demi sedikit mengangkat derajat
kaum perempuan dari pandangan sosial dan teologis yang timang dan telah ada
sebelumnya. Akan tetapi, struktur sosial yang patriarkhis dan dominasi peran lakilaki dalam kultur peradaban dan perkembangan pemikiran Islam masa klasik dan
periode salanjutnya menjadikan cara berfikir yang bias gender masih saja
berlangsung, atau setidaknya terekam dalam praktek-praktek penafsiran al-Qur’an,
yang umumnya juga dilakukan oleh ulama lak-laki.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila dalam banyak kasus, penafsiran yang
tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender ini masih terus berlangsung sampai
pada saat tafsir-tafsir tersebut digagas pada periode perkembangan pemikiran Islam
abad pertengahan sampai abad awal abad ke-20.
kesimpulan



Istilah feminisme Islam sendiri baru digagas sekitar tahun 1990-an, sebagai
sebuah gerakan dalam mengimbangi perkembangan gerakan Islamism.
Akar gerakan kesetaraan gender sendiri sudah ada sejak seabad yang lalu,
sebagaimana diadvokasi oleh beberapa tokoh seperti:








Qasim Amin dari Mesir,
Mumtaz Ali dari India.
Leila Ahmad, professor kajian wanita asal Mesir;
Fatima Mernissi, seorang penulis asal Maroko;
Amina Wadud, dan tokoh-tokoh lainnya.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa perspektif kesetaraan gender dalam
penelitian kajian al-Qur’an maupun hadis ditujukan:





untuk menganilisis ulang teks-teks yang beredaksi misoginis,
dalam sebuah upaya kontekstualisasi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang tidak
saja mempertimbangkan konteks sosio-historis dalam memahaminya,
tetapi juga dengan menarik signifikansinya bagi konteks sosiologis yang terjadi
pada masa kini,
sehingga tetap didapatkan makna pesan-pesan al-Qur’an yang teguh berpegang
pada dimensi keadilan dan kesetaraan derajat antara sesama manusia.
Pertemuan ke-9 dan 10
Menyusun Disain Penelitian
Standar Kompetensi
 Mahasiswa mengetahui caracara menyusun sebuah disain
penelitian yang akan
digunakan dalam sebuah
aktivitas penelitian secara
praktis

Kompetensi Dasar
 Mahasiswa dapat
merumuskan tema penelitian
yang akan dilakukan.
 Mahasiswa dapat
merumuskan langkah-langkah
yang akan dicapai dalam
sebuah penelitian.
 Mahasiswa mampu membuat
sebuah disain perencanaan
bagi penelitian yang akan
dilakukan dalam praktikum.
Menyusun
Disain Penelitian
Merumuskan
Permasalahan
Mengidentifikasi
Masalah

Membatasi Masalah

-Merumuskan Perta
nyaan Penelitian

Menimbang Signifikansi
Feasibilitas Penelitian&
Menguraikan
Metodologi Penelitian
Merumuskan Pendekatan yang
Dipakai dalam Penelitian

Merumuskan Teknik
Pengumpulan dan Pengolahan Data
Merumuskan
Tujuan Penelitian
Menjelaskan
Struktur Pembahasan
Membuat
Jadwal Penelitian
Menyusun Daftar Pustaka
Sementara

Mnjelaskan Pengertian dan
Kajian Teoretis
Menyusun Disain Penelitian
Merumuskan Masalah Penelitian
 Menemukan permasalahan menjadi inti sebuah
penelitian karena tanpa permasalahan maka tidak akan
ada aktivitas penelitian.
 Untuk bisa menemukan tema penelitian, maka
penguasaan ruang lingkup kajian dan pemilihan konsern
utama kajian menjadi penting.
 Setelah menemukan sebuah persoalan, maka langkah
selanjutnya adalah mengindentifikasi permasalahan itu
ke dalam berbagai kemungkinan pertanyaan seputar
masalah tersebut,
 Lalu jika masih terlalu luas, maka harus dibatasi
sesempit mungkin.
 Barulah setelah itu kita bisa merumuskan persoalan
tersebut ke dalam sebuah pertanyaan penelitian.
 Dari pertanyaan penelitian inilah sebuah penelitian
dimulai.
Menimbang Signifikansi dan Mengukur Feasibilitas









Sebuah penelitian dikatakan signifikan jika aktivitas penelitian yang dilakukan
merupakan kerja ilmiah yang penting, sehingga dapat memberikan kontribusi
bagi perkembangan kajian akademik di bidangnya.
Signifikansi penelitian juga bisa dinilai dari sejauh mana penelitian yang akan
dilakukan memberikan faedah/manfaat bagi dilakukannya penelitian pada saat
itu.
Oleh karena itu, hal pertama yang dilakukan oleh seorang peneliti adalah
menguraikan alasan-alasan tentang arti penting permasalahan bagi peneltiian
yang ingin dilakukan. Biasanya ini diletakkan dalam bagian latar belakang
permasalahan, ketika pada akhir bagian ini ia menuangkan judul atau tema
penelitiannya, baru kemudian beralih mendefinisikan permasalahan tadi ke
dalam identifikasi, pembatasan dan perumusan pertanyaannya.
Sementara itu, faedah praktis dari sebuah penelitian biasanya diuraikan dalam
sub-bab tersendiri tentang tujuan dan kegunaan penelitian.
Hal lain yang penting pada tahap ini, terkait dengan tujuan dan manfaat
penelitian adalah mengukur feasibilitas sebuah penelitian, yaitu apakah
penelitian ini bisa dilakukan dalam jangka waktu yang disediakan, terutama
disesuaikan dengan tujuannya. Penelitian sebuah disertasi mungkin memakan
waktu cukup panjang, tetapi penelitian untuk sebuah tugas mata kuliah tertentu
bisa jadi hanya diberikan waktu pelaksanaan yang sangat singkat. Di sinilah
pertimbangan mengenai signifikansi dan feasibilitas menjadi sangat penting.
Merumuskan Metodologi











Metodologi adalah kerangka kerja teoretis yang akan dipakai dalam
menjawab pertanyaan penelitian, disamping juga memuat langkahlangkah praktis mengenai teknik pengumpulan dan pengolahan data.
Dalam merumuskan metodologi, seorang peneliti dituntut untuk
merumuskan jenis peneitian yang ingin dilakukan: apakah penelitian
kepustakaan, atau lapangan; bila berkenaan dengan hal yang kedua,
maka timbul pertanyaan tambahan apakah bersifat kualitatif atau
kuantitatif.
Selanjutnya, menentukan metode dan pendekatan yang dipakai dalam
meneliti permasalahan.
Di sini, metode bersifat teknis: dengan cara apa data akan dikumpulkan,
dan dengan pendekatan apa data itu kemudian diolah untuk
mendapatkan hasil penelitian.
Aspek metodologis lain yang cukup penting adalah merumuskan definisi
tentang istilah dan konsep-konsep penting yang dipakai dalam
penelitian.
Metodologi juga merumuskan style penulisan yang akan digunakan
dalam pembahasan.


Elemen-elemen penting lain dalam penyusunan
disain penelitian:


Membuat Daftar Pustaka Sementara








Menuliskan buku dan sumber-sumber literatur apa saja yang
kiranya bisa dipakai dalam melakukan penelitian.

Membuat Jadwal Pelaksaan Penelitian,
Merumuskan tujuan penelitian,
Mencantumkan kajian pustaka, atau penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya terhadap persoalan
tersebut,
Dan membuat outline pembahasan.
Evaluasi-evaluasi
Ujian Tengah Semester (UTS)



Memilih Tema Penelitian
Membuat Disain Penelitian








Disain penelitian terdiri dari maksimal 3 halaman,
Berisi judul/tema penelitian,
Latarbelakang persoalan yang menjadikan penelitian
tersebut penting dilakukan,
Pertanyaan penelitian/rumusan permasalahan,
Metodologi penelitian,
Daftar pustaka sementara. Untuk daftar pustaka sementara
yang lebih banyak diizinkan untuk melebihi ketentuan 3
halaman maksimal.
UAS ...
Ujian Akhir Semester (UAS)





Melakukan sebuah penelitian mini,
Dan Menuliskannya sebagai sebuah laporan hasil
penelitian.
Bentuk evaluasi akhir ini dilaksanakan dalam jangka
waktu total 7 minggu terhitung mulai hari pertama
dilaksanakannya penelitian sampai hari terakhir
penyerahan laporan hasil penelitian yang
berbarengan dengan jadwal UAS resmi yang
ditetapkan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pertemuan Ke-11, 12, 13, 14

Melakukan Penelitian Mini dan Menulis
Laporan Hasil Penelitian






Penelitian didasarkan pada disain penelitian yang sudah diserahkan sebelumnya
sebagai tugas UTS,
Pelaksanaan penelitian disediakan waktu selama 4 minggu + 3 minggu penulisan
laporan hasil penelitiannya.
Dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut, mahasiswa diharapkan sudah mampu
mengumpulkan data dan mengolahnya menjadi sebuah laporan hasil penelitian
dengan format ketikan (bukan tulis tangan) setebal 3000 kata atau setara dengan 15
halaman kwarto spasi ganda (jika ditulis menggunakan mesin ketik manual).
Laporan hasil penelitian ini akan diserahkan pada saat ujian semester yang biasanya
ditentukan selambat-lambatnya 3 minggu setelah pertemuan kuliah terakhir
(pertemuan keempatbelas), dengan salah satu dari dua cara dibawah ini:


Bagi yang ingin menyerahkan dalam bentuk softcopy, maka bisa mengirimkannya dalam
bentuk attachment file doc/rtf, bukan docx melalui email:

ma_syarifuddin@yahoo.com




Bagi yang menginginkan penyerahan dalam bentuk print out atau hardcopy, bisa
menyerahkannya kepada dosen langsung atau melalui loker no. 17 dan 47 di ruang dosen
FU lt. 2

Keterlambatan penyerahan laporan ini berakibat pada keterlambatan keluarnya nilai
matakuliah ini bagi mahasiswa yang bersangkutan. Sehingga diharapkan bagi semua
pihak untuk berusaha menyerahkannya tepat waktu.
Hanya hasil penelitian original
yang akan membekas sebagai
cahaya pengetahuan
seberapapun kecilnya

More Related Content

What's hot

Makalah sukmber pokok penafsiran al qur'an
Makalah sukmber pokok penafsiran al qur'anMakalah sukmber pokok penafsiran al qur'an
Makalah sukmber pokok penafsiran al qur'anRobet Saputra
 
Studi hadis (revisi)
Studi hadis (revisi)Studi hadis (revisi)
Studi hadis (revisi)ridhanur2
 
Hbqe2203 tugasan alqiraat jinang hussin id 650605125530001
Hbqe2203 tugasan alqiraat jinang hussin id 650605125530001Hbqe2203 tugasan alqiraat jinang hussin id 650605125530001
Hbqe2203 tugasan alqiraat jinang hussin id 650605125530001Norafsah Awang Kati
 
CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADIR, PRESENASI PROPOSAL TESIS PPs UIN ...
CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADIR, PRESENASI PROPOSAL TESIS PPs UIN ...CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADIR, PRESENASI PROPOSAL TESIS PPs UIN ...
CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADIR, PRESENASI PROPOSAL TESIS PPs UIN ...Hasaniahmadsaid
 
KB 2 Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur'an
KB 2 Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur'anKB 2 Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur'an
KB 2 Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur'anIstna Zakia Iriana
 
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasaniahmadsaid
 
Tafsir Tematik Surah Dalam Penulisan Kisah-kisah al-Quran : Kisah Nabi Ibrahim
Tafsir Tematik Surah Dalam Penulisan Kisah-kisah al-Quran : Kisah Nabi IbrahimTafsir Tematik Surah Dalam Penulisan Kisah-kisah al-Quran : Kisah Nabi Ibrahim
Tafsir Tematik Surah Dalam Penulisan Kisah-kisah al-Quran : Kisah Nabi IbrahimParadigma Ibrah Sdn. Bhd.
 
KB 1 Tafsir, Takwil, Terjemah, Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
KB 1 Tafsir, Takwil, Terjemah, Ayat-Ayat Muhkamat Dan MutasyabihatKB 1 Tafsir, Takwil, Terjemah, Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
KB 1 Tafsir, Takwil, Terjemah, Ayat-Ayat Muhkamat Dan MutasyabihatIstna Zakia Iriana
 
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YITAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YIMuhammad Rizaki
 
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnyaMakalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnyaRobet Saputra
 
Ilmu takhrij hadits 2
Ilmu takhrij hadits 2Ilmu takhrij hadits 2
Ilmu takhrij hadits 2Hanif Fauzi
 

What's hot (20)

Makalah sukmber pokok penafsiran al qur'an
Makalah sukmber pokok penafsiran al qur'anMakalah sukmber pokok penafsiran al qur'an
Makalah sukmber pokok penafsiran al qur'an
 
Studi hadis (revisi)
Studi hadis (revisi)Studi hadis (revisi)
Studi hadis (revisi)
 
TUGAS-2 TAFSIR TEMATIK OLEH Didi Supriyadi. SM IV MD-B FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-2 TAFSIR TEMATIK OLEH Didi Supriyadi. SM IV MD-B FDK UINSU 2019/2020TUGAS-2 TAFSIR TEMATIK OLEH Didi Supriyadi. SM IV MD-B FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-2 TAFSIR TEMATIK OLEH Didi Supriyadi. SM IV MD-B FDK UINSU 2019/2020
 
Hbqe2203 tugasan alqiraat jinang hussin id 650605125530001
Hbqe2203 tugasan alqiraat jinang hussin id 650605125530001Hbqe2203 tugasan alqiraat jinang hussin id 650605125530001
Hbqe2203 tugasan alqiraat jinang hussin id 650605125530001
 
CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADIR, PRESENASI PROPOSAL TESIS PPs UIN ...
CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADIR, PRESENASI PROPOSAL TESIS PPs UIN ...CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADIR, PRESENASI PROPOSAL TESIS PPs UIN ...
CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADIR, PRESENASI PROPOSAL TESIS PPs UIN ...
 
KB 2 Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur'an
KB 2 Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur'anKB 2 Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur'an
KB 2 Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur'an
 
Takhrij hadis
Takhrij hadisTakhrij hadis
Takhrij hadis
 
Metodologi tafsir
Metodologi tafsirMetodologi tafsir
Metodologi tafsir
 
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
 
Kritik hadits (2)
Kritik hadits (2)Kritik hadits (2)
Kritik hadits (2)
 
Alquran sumber utama
Alquran sumber utamaAlquran sumber utama
Alquran sumber utama
 
Tafsir Tematik Surah Dalam Penulisan Kisah-kisah al-Quran : Kisah Nabi Ibrahim
Tafsir Tematik Surah Dalam Penulisan Kisah-kisah al-Quran : Kisah Nabi IbrahimTafsir Tematik Surah Dalam Penulisan Kisah-kisah al-Quran : Kisah Nabi Ibrahim
Tafsir Tematik Surah Dalam Penulisan Kisah-kisah al-Quran : Kisah Nabi Ibrahim
 
تخريج الحديث
تخريج الحديثتخريج الحديث
تخريج الحديث
 
KB 1 Tafsir, Takwil, Terjemah, Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
KB 1 Tafsir, Takwil, Terjemah, Ayat-Ayat Muhkamat Dan MutasyabihatKB 1 Tafsir, Takwil, Terjemah, Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
KB 1 Tafsir, Takwil, Terjemah, Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
 
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YITAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
 
Luqman - Al-musytarak Al-lafdzi Mendekonstruksi Argumen Tafsir Tekstual
Luqman - Al-musytarak Al-lafdzi Mendekonstruksi Argumen Tafsir TekstualLuqman - Al-musytarak Al-lafdzi Mendekonstruksi Argumen Tafsir Tekstual
Luqman - Al-musytarak Al-lafdzi Mendekonstruksi Argumen Tafsir Tekstual
 
Al qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsirAl qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsir
 
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnyaMakalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
 
Ilmu takhrij hadits 2
Ilmu takhrij hadits 2Ilmu takhrij hadits 2
Ilmu takhrij hadits 2
 
Tafsir maudhui pengantar
Tafsir maudhui pengantarTafsir maudhui pengantar
Tafsir maudhui pengantar
 

Similar to Mpth

Metodologi penafsiran al qur'an
Metodologi penafsiran al qur'anMetodologi penafsiran al qur'an
Metodologi penafsiran al qur'anMela Padliyah
 
Hitam Krem Modern Memphis Tugas Kelompok Presentasi .pdf
Hitam Krem Modern Memphis  Tugas Kelompok Presentasi .pdfHitam Krem Modern Memphis  Tugas Kelompok Presentasi .pdf
Hitam Krem Modern Memphis Tugas Kelompok Presentasi .pdfSukmaYunita2
 
Hitam Krem Modern Memphis Tugas Kelompok Presentasi .pptx
Hitam Krem Modern Memphis  Tugas Kelompok Presentasi .pptxHitam Krem Modern Memphis  Tugas Kelompok Presentasi .pptx
Hitam Krem Modern Memphis Tugas Kelompok Presentasi .pptxSukmaYunita2
 
20140306100342 modul unit 1 5 (1)
20140306100342 modul unit 1 5 (1)20140306100342 modul unit 1 5 (1)
20140306100342 modul unit 1 5 (1)Sukor Bakar
 
Sejarah dan pengantar ilmu hadits(karya prof. dr. t.m. hasbi ash shiddieqy)
Sejarah dan pengantar ilmu hadits(karya prof. dr. t.m. hasbi ash shiddieqy)Sejarah dan pengantar ilmu hadits(karya prof. dr. t.m. hasbi ash shiddieqy)
Sejarah dan pengantar ilmu hadits(karya prof. dr. t.m. hasbi ash shiddieqy)Riezal Bintan
 
Kajian Seputar Istilah Hadis dan yang Berkaitan dengannya
Kajian Seputar Istilah Hadis dan yang Berkaitan dengannyaKajian Seputar Istilah Hadis dan yang Berkaitan dengannya
Kajian Seputar Istilah Hadis dan yang Berkaitan dengannyaMaghfur Amien
 
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptxmetode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptxAbdulKhalidWahab
 
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptxmetode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptxAlMawardi5
 
13. MEMAHAMI METODE MEMPELAJARI SUMBER AJARAN ISLAM.pptx
13. MEMAHAMI METODE MEMPELAJARI SUMBER AJARAN ISLAM.pptx13. MEMAHAMI METODE MEMPELAJARI SUMBER AJARAN ISLAM.pptx
13. MEMAHAMI METODE MEMPELAJARI SUMBER AJARAN ISLAM.pptxmiduwidang
 
Makalah Sanad, Matan dan Rawi Hadist.docx
Makalah Sanad, Matan dan Rawi Hadist.docxMakalah Sanad, Matan dan Rawi Hadist.docx
Makalah Sanad, Matan dan Rawi Hadist.docxZuketCreationOfficia
 
PPT Corak Tafsir Periode Pertengahan (1).pptx
PPT Corak Tafsir Periode Pertengahan (1).pptxPPT Corak Tafsir Periode Pertengahan (1).pptx
PPT Corak Tafsir Periode Pertengahan (1).pptxFadliRahman21
 
Pendekatan Pemahaman Hadis.pdf
Pendekatan Pemahaman Hadis.pdfPendekatan Pemahaman Hadis.pdf
Pendekatan Pemahaman Hadis.pdfKhaliqi2
 

Similar to Mpth (20)

Metodologi penafsiran al qur'an
Metodologi penafsiran al qur'anMetodologi penafsiran al qur'an
Metodologi penafsiran al qur'an
 
MAKALAH TAFSIR TAHLI
MAKALAH TAFSIR TAHLIMAKALAH TAFSIR TAHLI
MAKALAH TAFSIR TAHLI
 
TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Aninda Nasution. SM IV KPI-C FDK UINSU 2019...
TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Aninda Nasution. SM IV KPI-C FDK UINSU 2019...TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Aninda Nasution. SM IV KPI-C FDK UINSU 2019...
TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Aninda Nasution. SM IV KPI-C FDK UINSU 2019...
 
Hitam Krem Modern Memphis Tugas Kelompok Presentasi .pdf
Hitam Krem Modern Memphis  Tugas Kelompok Presentasi .pdfHitam Krem Modern Memphis  Tugas Kelompok Presentasi .pdf
Hitam Krem Modern Memphis Tugas Kelompok Presentasi .pdf
 
Hitam Krem Modern Memphis Tugas Kelompok Presentasi .pptx
Hitam Krem Modern Memphis  Tugas Kelompok Presentasi .pptxHitam Krem Modern Memphis  Tugas Kelompok Presentasi .pptx
Hitam Krem Modern Memphis Tugas Kelompok Presentasi .pptx
 
makalah-Ta'wil dan nasakh
makalah-Ta'wil dan nasakhmakalah-Ta'wil dan nasakh
makalah-Ta'wil dan nasakh
 
kelompok 6.pptx
kelompok 6.pptxkelompok 6.pptx
kelompok 6.pptx
 
20140306100342 modul unit 1 5 (1)
20140306100342 modul unit 1 5 (1)20140306100342 modul unit 1 5 (1)
20140306100342 modul unit 1 5 (1)
 
Sejarah dan pengantar ilmu hadits(karya prof. dr. t.m. hasbi ash shiddieqy)
Sejarah dan pengantar ilmu hadits(karya prof. dr. t.m. hasbi ash shiddieqy)Sejarah dan pengantar ilmu hadits(karya prof. dr. t.m. hasbi ash shiddieqy)
Sejarah dan pengantar ilmu hadits(karya prof. dr. t.m. hasbi ash shiddieqy)
 
TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Luthfi Rohamu Kurnia. SM IV KPI-C FDK UINSU...
TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Luthfi Rohamu Kurnia. SM IV KPI-C FDK UINSU...TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Luthfi Rohamu Kurnia. SM IV KPI-C FDK UINSU...
TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Luthfi Rohamu Kurnia. SM IV KPI-C FDK UINSU...
 
Kajian Seputar Istilah Hadis dan yang Berkaitan dengannya
Kajian Seputar Istilah Hadis dan yang Berkaitan dengannyaKajian Seputar Istilah Hadis dan yang Berkaitan dengannya
Kajian Seputar Istilah Hadis dan yang Berkaitan dengannya
 
TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Efrilia Dewi. SM IV KPI-C FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH  OLEH Efrilia Dewi. SM IV KPI-C FDK UINSU 2019/2020TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH  OLEH Efrilia Dewi. SM IV KPI-C FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Efrilia Dewi. SM IV KPI-C FDK UINSU 2019/2020
 
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptxmetode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
 
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptxmetode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
metode_penafsiran_AL_QURAN.pptx
 
13. MEMAHAMI METODE MEMPELAJARI SUMBER AJARAN ISLAM.pptx
13. MEMAHAMI METODE MEMPELAJARI SUMBER AJARAN ISLAM.pptx13. MEMAHAMI METODE MEMPELAJARI SUMBER AJARAN ISLAM.pptx
13. MEMAHAMI METODE MEMPELAJARI SUMBER AJARAN ISLAM.pptx
 
Menterjemah Hadith
Menterjemah HadithMenterjemah Hadith
Menterjemah Hadith
 
Tugas-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Dahliana Manurung. SM IV KPI-C FDK UINSU 20...
Tugas-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Dahliana Manurung. SM IV KPI-C FDK UINSU 20...Tugas-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Dahliana Manurung. SM IV KPI-C FDK UINSU 20...
Tugas-2 HADIS TEMATIK DAKWAH OLEH Dahliana Manurung. SM IV KPI-C FDK UINSU 20...
 
Makalah Sanad, Matan dan Rawi Hadist.docx
Makalah Sanad, Matan dan Rawi Hadist.docxMakalah Sanad, Matan dan Rawi Hadist.docx
Makalah Sanad, Matan dan Rawi Hadist.docx
 
PPT Corak Tafsir Periode Pertengahan (1).pptx
PPT Corak Tafsir Periode Pertengahan (1).pptxPPT Corak Tafsir Periode Pertengahan (1).pptx
PPT Corak Tafsir Periode Pertengahan (1).pptx
 
Pendekatan Pemahaman Hadis.pdf
Pendekatan Pemahaman Hadis.pdfPendekatan Pemahaman Hadis.pdf
Pendekatan Pemahaman Hadis.pdf
 

Mpth

  • 2. Bahan ajar berbasis multimedia Disusun oleh Mohammad Anwar Syarifuddin
  • 3. METODOLOGI PENELITIAN TAFSIR HADIS ?APA ITU METODOLOGI PENELITIAN TAFSIR HADIS RUANG LINGKUP BIDANG KAJIAN TAFSIR HADIS RAGAM PENDEKATAN INTERDISIPLINER DALAM PENELITIAN TAFSIR HADIS MEMBUAT PROPOSAL PENELITIAN MELAKUKAN PRAKTEK PENELITIAN MINI
  • 5. Pertemuan Pertama Pengertian Metodologi Penelitian Tafsir Hadis Standar Kompetensi  Mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep-konsep yang terkait dengan istilah metodologi penelitian tafsir hadis Kompetensi Dasar     Menjelaskan pengertian Metodologi penelitian Menerangkan perbedaan antara pengertian metodologi dan metode penelitian Menjelaskan makna istilah tafsir Menjelaskan arti istilah hadis
  • 7. Metodologi Penelitian adalah Logika umum dan perspektif teoretis bagi sebuah penelitian Berbeda dengan Metode = teknik • Survey • Wawancara • dan lain-lain
  • 8. Makna Istilah ”“tafsir hadis Tafsir:     Tafsir dipahami sebagai upaya interpretasi secara umum, tidak melulu tentang al-Qur’an, tetapi lebih merupakan padanan kata “ syarh” dalam bahasa Arab, yang berarti penjelasan. Secara generik tafsir adalah istilah yang diberikan kepada karya yang menyajikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dari teks bahasa Arabnya. Secara lebih spesifik, tafsir sebagai produk penafsiran dibedakan dengan metode tafsir yang cenderung menunjuk aspek teknik dan metodologis dengan apa sebuah tafsir dihasilkan. Tafsir sebagai produk penafsiran seringkali juga dibedakan dengan teks al-Qur’an yang ditafsirkan. Alasannya, ulumul Qur’an atau ilmu-ilmu yang dilahirkan dari upaya pengkajian terhadap al-Qur’an bukan hanya mengenai tafsir semata. Oleh karena itu, dalam cakupan makna istilah tafsir terdapat beberapa obyek kajian spesifik:   Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’an Tafsir dan metode penafsiran
  • 9. Al-Qur’an  Secara sederhana al-Qur’an didefinisikan sebagai “Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya merupakan ibadah”.  Definisi yang lebih lengkap al-Qur’an adalah “Kalam yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di dalam lembaranlembaran mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan yang membacanya merupakan ibadah. Ulum al-Qur’an  Ilmu yang membahas tentang tatacara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, makna dan hukum-hukumnya baik yang berdiri sendiri (ifrad) maupun yang terbentuk dalam sebuah struktur kalimat (tarkibiyyah), juga makna-makna yang ditunjukkan oleh sebab bentukan sintaksis tadi serta segala kelengkapan yang terkait dengan itu.” (Suyuti, Itqân, ii, 174)
  • 10. Hadis:  Hadis adalah tradisi yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, bisa berupa:      Ungkapan Perbuatan Ikrar sifat Konsekuensinya, hadis dibedakan dengan al-Qur’an atas beberapa pertimbangan:    Bentuk redaksional, Kuantitas jalur periwayatan, Efek legal formal
  • 11. Tafsir Hadis, bukan Qur’an Hadis   Jika Qur’an juxtaposed hadis, istilah “tafsir hadis” sama tidak dikhotomis. Makna-makna yang dilekatkan dengan istilah tafsir dan hadis memiliki titik kesepadanan pada dua hal:    perkembangan penulisan kitab hadis masa awal Islam, ketika tafsir dimasukkan sebagai salah satu bagian kitab hadis dalam Sahih Bukhari, misalnya, dan hadis dalam fungsinya sebagai penjelasan atas al-Qur’an seperti diungkapkan dengan istilah “tafsir bil ma’tsur”. Objek kajian dan analisis yang dominan dalam metode tafsir ini terkait erat dengan hadis dan perangkat keilmuannya. Oleh karena itu, tidak tepat bila ada sementara pandangan yang menempatkan posisi tafsir berada secara berlawanan dengan hadis, karena tafsir bil ma’tsur = hadis
  • 12. Makna istilah “tafsir hadis” memunculkan pola-pola hubungan yang mendasari ruang :lingkup kajian yang dimilikinya Hadis Tafsir al-Qur’an Melalui hadis Tafsir al-Qur’an Tafsir bil ma’tsur Tafsir al-Qur’an bil Qur’an penafsiran secara umum Tafsir Birra’yi Bidang Kajian non-TH Syarah hadis tafsir Al-Qur’an Ulumul Qur’an
  • 13. Kesimpulan TAFSIR HADIS  Komponen ilmu keislaman yang sangat penting karena terkait dengan sumber-sumber pokok ajaran Islam: al-Qur’an dan hadis  “Tafsir Hadis” adalah sebutan untuk program studi yang memusatkan aktivitas pengkajian terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah yang menjadi sumber utama ajaran Islam dan digolongkan sebagai kajian pokok (usûl) dalam pemikiran keislaman.  Untuk alasan itulah program studi Tafsir Hadis berada di bawah naungan fakultas Ushuluddin.
  • 15. Pertemuan Ke-2, 3, dan 4 Ruang Lingkup Bidang Kajian Tafsir Hadis Standar Kompetensi  Mahasiswa mengetahui ruang lingkup bidang kajian tafsir hadis Kompetensi Dasar     Mahasiswa dapat membagi bidang kajian Tafsir ke dalam kelompok-kelompok kajian yang ada dalam lingkup bidang kajian tafsir hadis beserta paradigma keilmuan yang berlaku di masing-masing kelompok kajian tersebut. Mahasiswa dapat menjelaskan batas-batas cakupan keilmuan kelompok-kelompok kajian al-Qur’an dan ulum al-Qur’an, tafsir dan ilmu tafsir, hadis dan ilmu hadis. Mahasiswa dapat menunjukkan hubungan antara berbagai kelompok kajian dan kekhususan paradigma yang berlaku di dalamnya dengan kemungkinan melakukan upaya pengkajian bidang ilmu tafsir hadis melalui melalui kerangka konseptual yang berasal dari paradigam keilmuan di luar ruang lingkupnya, baik melalui pendekatan multi-disipliner ataupun interdisipliner. Mahasiswa dapat menunjukkan referensi dan karya-karya yang relevan untuk masing-masing kelompok kajian Tafsir Hadis baik yang dihasilkan oleh sarjana Muslim maupun sarjana non-Muslim dari kalangan orientalis Barat.
  • 16. Ruang lingkup kajian dan alternatif pendekatan Kelompok kajian Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an multi-disipliner Kelompok kajian Tafsir dan ilmu tafsir Kelompok kajian Hadis dan ilmu hadis interdisipliner Bidang ilmu Non-Tafsir Hadis
  • 17. Kelompok bidang-bidang penelitian dalam kajian tafsir hadis     Kelompok kajian al-Qur’an dan ‘ulum alQur’an, Kelompok kajian tafsir al-Qur’an dan metode penafsiran, Kelompok kajian Hadis dan ulum alhadis, Kelompok kajian interdisipliner.
  • 19. Pemahaman Konseptual Al-Qur’an  Secara sederhana al-Qur’an didefinisikan sebagai “Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya merupakan ibadah”.  Definisi yang lebih lengkap alQur’an adalah “Kalam yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di dalam lembaranlembaran mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan yang membacanya merupakan ibadah. Ulum al-Qur’an  Ilmu yang membahas tentang tatacara melafalkan ayat-ayat alQur’an, makna dan hukumhukumnya baik yang berdiri sendiri (ifrad) maupun yang terbentuk dalam sebuah struktur kalimat (tarkibiyyah), juga maknamakna yang ditunjukkan oleh sebab bentukan sintaksis tadi serta segala kelengkapan yang terkait dengan itu.” (Suyuti, Itqân, ii, 174)
  • 20. Klasifikasi ‘ulûm al-Qur’ân menurut Jalal al-Din al-Suyuti ((sumber al-Itqân fi‘ ulum al-Qur’an                    1Ma’rifat al-Makkî wa al-Madanî 2Ma’rifat al-Hadari wa al-Safarî 3Ma’rifat al-Nahâri wa al-Layâlî 4Ma’rifat al-Saifi wa al-Shita’î 5Ma’rifat al-Firashi wa al-Nawmi 6Ma’rifat al-Ardi wa al-Sama’i 7Ma’rifat Awwalu ma nuzil 8Ma’rifat Akhiru ma nuzil 9Asbab al-nuzul 10Ma nuzila ala lisan ba’d al-sahaba 11Ma takarrara nuzuluhi 12Ma ta’akhkhara hukmuhu ‘an nuzulihi wa ma ta’akhkhara nuzuluhu an hukmihi 13Ma nuzila mufarraqan wa ma nuzila jama’a 14Ma nuzila mushi’an wa ma nuzila mufradan 15Ma anzala minhu alâ ba’d al-anbiya’ wa ma lam yanzal ala ahad qabl alnabi16Kayfiyatu inzâlihi 17Ma’rifat asma’ihi wa asma’i suwarihi 18Jam‘ihi wa tartibihi 19Adadi suwarihi wa ayatihi wa hurufihi 20Fi ma’rifat huffazhihi wa ruwatihi                     21Ma’rifat al-‘ali wa al-nazil min asanidihi 22Mutawatir 23Mashhur 24Ahad 25Shadz 26Mawdu’ 27Mudraj 28Ma’rifat al-waqf wa al-ibtida 29Fi bayan mauwsul lafzhan wa mawsul ma’nan 30Fi al-imalah wa al-fath wa mâ baynahuma 31Fi ala-idgham, Izhhar, Ikhfa’, wa Iqlab 32Fi al-madd wa al-qasr 33Fi takhfif al-hamzi 34Kayfiyati tahammulihi 35Fi adabi tilawatihi wa talahu 36Ma’rifat gharibihi 37Fi ma waqa’a fihi bi ghayri lughat al-hijaz 38Fima waqa’a fihi bighayri lughat al-‘Arab 39Ma’rifat al-wujuh wa al-nazhair 40Ma’rifat adawat allati yahtaju ilayhi almufassir
  • 21. lanjutan                     41Ma’rifat I’râbihi 42Fi qawa’id muhimma yahtaju mufassir ila ma’rifatiha 43Fi al-muhkam wa al-mutashabih 44Fi muqaddamihu wa mu’akhkharihu 45Fi ‘amihi wa khasihi 46Fi mujmalihi 47Fi nasikhihi wa mansukhih 48Mushkilihi wa mawhim al-ikhtilaf wa al- tanaqud 49Mutlaqihi wa muqayyadihi 50Fi mantuqihi wa mafhumihi 51Fi jami’i mukhatabatihi 52Fi haqiqatihi wa majazihi 53Fi tashbihihi wa isti’aratihi 54Fi kinayatihi wa ta’ridihi 55Fi al-hasri wa al-ikhtisas 56Fi al-ijaz wa al-itnab 57Fi al-khabar wa al-insha’ 58Fi bada’i‘ al-Qur’an 59Fi fawâsil al-Ay 60Fi fawatih al-suwar                     61Fi khawatim al-suwar 62Fi munasabat al-ay wa al-suwar 63Fi al-ayat al-mushtabihat 64Fi I’jaz al-Qur’an 65Fi al-‘ulum al-mustanbata min al-Qur’an 66Fi amthalihi 67Fi aqsamihi 68Fi jadalihi 69Fi al-sama’ wa al-kuna wa al-alqab 70Fi mubhamatihi 71Fi asma’i man nasala fihim al-Qur’an 72Fi fadail al-Qur’an 73Fi fadl al-Qur’an wa fâdilihi 74Fi mufradat al-Qur’an 75Fi khawas al-Qur’an 76Fi marsum al-khatt 77Fi ma’rifat tafsirihi wa ta’wilihi 78Fi ma’rifat syurut al-mufassir wa adabihi 79Fi ghara’ib al-tafsir 80Fi tabaqat al-mufassirin
  • 22. Bagan Pengelompokan Kajian Ulum al-Qur’an menurut Bulqini 1 Makki 25 Gharib 2 Madani 26 Mu’arrab 3 Safari 27 Majaz 4 Hadari 28 5 Laili 29 Mutaradif 6 Nahari 30 Isti’ara 31 Tashbih 32 Al-Am al-Baqi ala umumihi 33 Al-‘am al-makhsus 34 Al-‘am alladhi urida bihi al-khusus 35 Ma khassa fihi al-kitab al-sunna 36 Ma khassat fihi al-sunna al-kitaba 37 Mujmal 7 Nuzul Saifi 8 Shita’i 9 Firashi 10 Asbab al-nuzul 11 Awwal ma nuzil 12 Akhir ma nuzil 13 Mutawatir 14 38 Alfazh Ahkam Mushtarak Mubayyin Ahad 39 Shadh 40 Mafhum Qiraat nabi 41 Mutlaq 17 Ruwat 42 Muqayyad 18 Huffadh 43 Nasikh 19 Waqf 44 Mansukh 20 Ibtida’ 45 Naw’ min al-nasikh wa al-mansukh 21 Imala 46 Fasl 47 Wasl 15 16 22 Sanad Ada’ Mad 23 Takhfif al-hamza 24 Idgham 48 49 Ma’an muta’allaq bi alfazh Muawwal Ijaz Itnab 50 Qasr 51 Al-asma’ al-kuna
  • 23. Karya-karya sarjana muslim yang memuat kajian al-Qur’an sepanjang sejarah perkembangan keilmuan ini               Muhammad b. ‘Alî al-Adfawî (w. 388) al-Istighnâ’ fî ulum al-ulQur’an; Ibn al-jawzi (w. 597) Funûn al-Afnân fi ‘ajâ’ib ulum al-Qur’ân; Badr al-Din Zarkâsyî (w. 794) al-Burhan fi Ulûm al-Qur’an; Jalal al-Din al-Bulqini (w. 824) mawaqi’ al-‘ulum min mawâqi’ alnuzul; Jalal al-Din al-Suyûtî (w. 911) al-Itqân fî ‘ulûm al-Qur’ân; Syaikh Tâhir al-Jazâ’irî al-Tibyân fî ‘ ulûm al-Qur’ân; Syaikh Muhammad ‘Alî Salama Manhaj al-Furqân fî ‘ulûm al-Qur’ân; ‘Abd al-Azîm al-Zarqânî Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’an; Ahmad Ahmad Ali Madzkara fi ulum al-Qur’an; Subhi Salih, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an; Manna’ Khalil Qattan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, Mafhum al-Nass dirasah fi Ulum al-Quran. Hasbi as-Siddiqi, Pengantar ilmu Tafsir, Dan lain-lain.
  • 24. Karya-karya sarjana peneliti Barat (oreintalis) mengenai studi al-Qur’an     W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an halaman 179-181. Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an hasil editan Andrew Rippin, Oxford: Clarendon Press; With Reference for the Word, Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Christianity and Islam oleh Jane Dammen Mc Auliffe (ed.), dkk. Oxford: Oxford University Press, 2003; Dan masih banyak lagi tentunya
  • 25. b Kelompok Kajian Tafsir dan Metode Penafsiran
  • 26. Pengelompokan Karya-karya Tafsir berdasarkan Metode Penafsirannya METODE TAFSIR (METODE TAHLILI (TERPERINCI (METODE IJMALI (GLOBAL (METODE MUQARAN (PERBANDINGAN (METODE MAUDU’I (TEMATIK
  • 27. Tafsir Ijmali   Metode Tafsir Ijmali dimaksudkan sebagai metode tafsir di mana mufassirnya menerangkan makna ayat yang ditafsirkannya secara ringkas dan global saja, biasanya dengan menyebut penjelasan tentang i’rab atau padanan kata (muradif) dari kata-kata dalam ayat al-Qur’an. Contoh karya yang menerapkan metode penafsiran semacam ini adalah Tafsir Jalalayn karya Jalaluddin alMahalli dan Jamaluddin al-Suyuti; dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi.
  • 28. Tafsir Muqaran   Tafsir Muqaran dimaksudkan sebagai sebuah metode penafsiran di mana mufassirnya melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan mengetengahkan pandangan sejumlah mufassir lain. Dalam hal ini, seorang penyusun tafsir muqarin akan mengetengahkan sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian ia menampilkan pandangan ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu. Analisis utama yang digunakan adalah analisis perbandingan di mana satu pendapat akan ditimbang dengan pendapat yang lain. Begitu seterusnya dalam setiap tema maupun ayat yang disodorkannya. Adakalanya, metode tafsir ini juga dimaksudkan sebagai bentuk penafsiran al-Qur’an dalam arti yang lebih luas, yaitu penafsiran yang membandingkan antara nass al-Qur’an yang satu dengan ayat yang terdapat dalam bahagian lain alQur’an menyangkut sebuah pokok persoalan, atau bisa juga perbandingan antara teks al-Qur’an dengan teks hadis yang makna lahiriahnya menampilkan sebuah kontradiksi.
  • 29. Tafsir Maudu’i   Metode Tafsir Mawdu’i adalah metode penafsiran yang menampilkan pembahasan dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesatuan tema kemudian diurutkan berdasarkan periode turunnya, latar belakang konteks sosio-historis yang menyebabkan turunnya ayat-ayat itu, serta penjelasannya, keterkaitan satu dengan yang lain, dan begitu juga tentang istinbat hukum yang bisa diambil, dan elemen-elemen penjelasan yang lain. Kajian teoretis dan contoh praktis metode penafsiran tematik ini dapat dilihat dalam Abd al-Hayy Farmawi, alBidayah fi Tafsir al-Mawdu’i, dirasah manhajiyya mawdû‘iyya.
  • 30. Tafsir Tahlili  Metode tafsir Tahlili didefinisikan sebagai penjelasan atas ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segenap aspek yang terkait dengannya, seperti:       dengan memberikan penjelasan terhadap al-Quran menurut tata urutannya, seperti yang termaktub di dalam mushhaf, seayat demi seayat, dan surat demi surat secara berurutan, dengan mengetengahkan makna kalimat-kalimatnya satu persatu, atau juga dengan mengungkapkan maksud ayat secara keseluruhan, dan apa yang bisa diungkapkan melalui susunan kalimatnya, menguraikan kaitan ayat yang ditafsirkan dengan ayat-ayat dan surat sebelum dan sesudahnya, menjelaskan inti yang menjadi pengikat di antara maksudmaksudnya, mencoba menghubungkan dengan tujuan yang dimaksudkan, juga argumentasi yang mendukungnya, Menjelaskan asbab nuzul, serta penjelasan yang telah dinukilkan oleh Rasulullah, para sahabat, juga tabiin, Serta penjelasan tentang masalah kebahasaan yang berkaitan dengan teksnya.
  • 31. Corak Penafsiran yang menggunakan metode tahlili Tafsir bil Ma’tsur Tafsir Adabi Ijtima’i bir Tafsir Ra’yi Metode Tahlili ilmi Tafsir Tafsir falsafi Tafsir Sufi Tafsir Fiqhi
  • 32. Tafsir bil Ma’tsur   Tafsir bil ma’tsur pada dasarnya menampilkan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang diambil dari sumber-sumber tradisional Islam yang secara hierarkhis diurutkan mulai dari al-Qur’an, hadis Nabi SAW, atsar sahabat, dan qawl tabiin. Prosedur yang ditempuh mufassir:      menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an utamanya didasarkan kepada penjelasan yang diberikan oleh bahagian lain al-Qur’an sendiri. Bila tidak didapati penjelasan di bagian lain al-Qur’an, maka penjelasan diambilkan dari hadis-hadis yang dinukilkan dari Rasulullah SAW Bila hadis tidak didapati, maka yang menjadi sandaran adalah penjelasan yang dinukilkan dari para sahabat yang dengan ijtihadnya mereka mengungkapkan penjelasan atas ayat-ayat al-Quran. Jika tidak didapati atsar sahabat, maka penafsiran diambilkan melalui penjelasan kaum Tabiin mengenai ayatayat al-Quran yang merefleksikan ijtihad yang mereka lakukan. Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini:    Contoh Tafsir bil ma’tsur dengan rangkaian sanad yang lengkap adalah karya Ibnu Jarir at-Tabarī (w. 310 H), Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an. Di dalam kitab ini Tabari menyebutkan:       Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah. pendapat, arahan, timbangan terhadap validitas riwayat antara satu dengan yang lain, penjelasan tentang i’rab jika dibutuhkan, istinbat hukum yang dimungkinkan untuk diambil dari ayat-ayat Quran tersebut. Dalam perkembangan sesudahnya, para ulama menyusun kitab tafsir bil ma’tsur tanpa menyertakan isnadnya, dan kebanyakan menyertakan pendapat di dalam kitab tafsir mereka tanpa memilah mana yang sahih dan mana yang tidak, oleh sebab dimungkinkannya pula menyertakan pandangan yang mawdū‘ dan dibuat-buat. Diantara kitab-kitab tafsir bil ma’tsuur sesudah Tabari adalah    Ma‘ālim al-Tanzīl karya al-Baghāwī (w. 512 H); Tafsir al-Quran al-‘Azîm karya Ibn Katsir (w. 774 H), Al-Durr al-Mantsūr fī tafsīr al-Ma’tsūr karya al-Suyūtī (w. 911 H)
  • 33. Tafsir bil Ra’yi     Tafsir bi al-Ra’yi adalah sebutan untuk tafsir al-Quran yang menjelaskan ayat-ayat alQur’an dengan menggunakan ijtihad. Prasayarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir dalam penafsiran ini adalah pengetahuan yang baik tentang kalimat bahasa Arab dan aspek-aspeknya. Selain itu, ada juga yang mensyaratkan bahwa seorang mufassir juga harus memiliki pengetahuan tentang syair-syair jahiliah, serta mengetahui asbab al-nuzul, memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal nasikh mansukh ayat al-Quran, dan ilmu lainnya. Latar belakang munculnya corak penafsiran ini adalah ketika ilmu-ilmu keislaman berkembang dengan aneka ragam corak yang bermunculan, pada saat yang sama para ulama mengalami puncak kejayaan dengan beragam karya yang memuat ilmu-ilmu keislaman. Hal tersebut berkembang pesat lantaran sarjana muslim giat dalam menelaah kitab suci al-Qur’an, sehingga ketika tafsir sudah mulai berkembang banyak dan ilmu-ilmu keislaman juga sudah muncul dengan aneka ragam disiplin, maka setiap mufassir berusaha mengembangkan corak penafsiran yang berbeda dengan corak penafsiran yang dibuat oleh mufassir lainnya. Kecenderungan untuk membuat tafsir yang berbeda dengan tafsir yang dibuat oleh ulama lain, misalnya menjadi alasan mengapa Zamakhsyari menyusun kitab tafsirnya al-Kasysyaf sebagai tafsir yang mencirikan analisis atas ketinggian balaghah al-Qur’an. Begitu juga ketika seorang alim disamping terkenal dalam ilmu tafsir, ia juga seorang faqih, atau ahli bahasa, atau bahkan seorang failasuf dan ahli ilmu astronomi serta teologi. Maka muncullah pandangan-pandangan ijtihadi yang menjadi ciri khas corak keilmuan yang dikuasai dalam tafsir yang disusunnya. Sehingga, jika sebuah ayat al-Quran memiliki kaitan dengan ilmu yang dimilikinya, maka keluarlah pengetahuannya tentang masalah tersebut. Diantara karya-karya tafsir bi al-ra’yi yang menonjolkan pandangan ijtihadi para mufassirnya berdasarkan kepasitas ilmiah yang mereka kuasai adalah:      Mafātih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Rāzī (w.606 H); Anwār al-Tanzīl wa asrār al-ta’wīl karya al-Baghāwī (w.691 H); Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H); Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H); Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).
  • 34. Tafsir Sufi  Corak penafsiran ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung 4 tingkatan makna:         zhahir, batin, hadd, dan matla’. Di samping itu, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara substansial. Jika para rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah ilahiyah kepada ummat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna menyebarkan risalah akhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu pada keluhuran budi pekerti. Klaim Sufi sebagai pengemban risala akhlaqiyya memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan ma’rifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn ‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang disebutnya sebagai nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para rasul dan nabi yang menerima nubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti. Walhasil, dalam penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan i’tibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan sufi. Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi:     Tafsir al-Qur’ān al-Azim, karya Sahl al-Tustarī (w.283 H); Haqā’iq al-Tafsīr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H); Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī (w.606).
  • 35. Tafsir Fiqhi     Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsūr, corak tafsir fiqhī juga muncul pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur’an bisa muncul dengan cara melakukan penafsiran terhadapnya. Pada awal Islam, ketika menemukan sebuah masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat adalah mengembalikan permasalahannya kepada Nabi SAW. Dengan begitu, Nabi SAW kemudian memberikan jawaban. Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi al-ma’tsūr, yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam dapat pula disebut dengan tafsir fiqhī. Oleh karena itu, boleh dikatakan pula bahwa tafsir fiqhi muncul dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya ijtihad, yang hasilnya tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum Islam menurut madzhab tertentu. Pada masa pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran al-Qur’ān dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan argumentasi. Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhi adalah karya-karya yang menampilkan pandangan fiqih yang cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqhi sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut. Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī:    Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).
  • 36. Tafsir Falsafi   Latar belakang yang menyebabkan munculnya corak penafsiran falsafi terhadap alQur’an adalah karena berkembangnya gerakan penerjemahan yang dilakukan pada masa Abbasiyah. Gerakan ini telah membuka khazanah berbagai ilmu pengetahuan, termasuk pemikiran filsafat Yunani. Ada dua reaksi atas perkembangan semacam ini:  Pertama, sebagian kelompok menolak filsafat karena bertentangan dengan agama. Kelompok ini mengerahkan seluruh hidupnya untuk menolak dan menjauhkan orang dari filsafat. Di antara para tokohnnya yang terkenal adalah       Imam Ghazali, dan Fakhr al-Din al-Rāzī Keduanya memaparkan dalam tafsirnya teori-teori filsafat yang jelas-jelas berada dalam pandangan yang bertentangan dengan agama, dan dengan al-Quran secara khusus. Maka mereka menolak sesuai dengan kadar yang bisa mencukupkan argumentasi dan mengkritik metodenya. Kedua, kelompok yang sangat mengagumi filsafat dan menerima teori-teroi yang sebenarnya bertentangan dengan nass syariat yang dipercaya bersifat pasti. Kelompok ini mengupayakan adanya keserasian antara falsafah dengan agama, dan menghilangkan pertentangan di antara keduanya. Akan tetapi, kelompok ini tidak sampai pada tahap penyesuaian yang benar-benar sempurna, sebagaimana terlihat dalam penjelasan mereka terhadap ayat-ayat al-Quran yang berupa penjelasan yang disokong oleh teori-teori filsafat yang tidak mungkin dimiliki oleh nash al-Quran dalam kondisi apapun. Kitab tafsir yang tergolong ke dalam corak penafsiran falsafi yang mewakili kelompok yang menolak filsafat adalah Mafātih al-Ghayb karya Fakhr al-Razī (w. 606 H), sedangkan dari kelompok kedua tidak ada karya yang bisa dikelompokkan ke dlaam karya tafsir selain dari penafsiran terhadap penggalan-penggalan ayat al-Qur’an dalam kitab filsafat.
  • 37. Tafsir Ilmi    Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan, “bagi kaum yang berfikir.” Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah yang berkenaan dengan itu. Walhasil, ketika sebagian ulama menangkap hakikat bahwa al-Qur’an mendorong manusia untuk berpikir dan menguasai ilmu pengetahuan, mereka menyusun tafsir ayat-ayat kauniyah, menurut kaidah bahasa dan kelazimannya, menurut ukuran yang mereka bisa terangkan sebagai bagian ilmu yang bersumber dari agama mereka berdasarkan kesimpulan analisis yang mereka dapatkan dari kenyataan pula. Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah    Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan tetapi bila tafsir dipahami sebagai genre untuk karya yang menampilkan penafsiran al-Qur’an berdasarkan tata urutan ayatnya sesuai dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong kepada metode tafsir tahlili, maka ketiga karya yang disebut terakhir tidak bisa di masukkan ke dalamnya.
  • 38. Tafsir Adabi Ijtima’i  Tafsir Adabi Ijtima’i yaitu corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar dalam prosedur penafsirannya mufassir menerangkan:     makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, Semua dilakukan sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an. Karya-karya tafsir yang dapat dimasukkan dalam kategori ini:    Tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Rida (w. 1935), Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi (w. 1945), dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut.
  • 39. c Kelompok Kajian Hadis dan Ilmu Hadis
  • 40. Pengertian dan Ruang Lingkup   Kajian Hadis dimaksudkan sebagai kajian yang menjadikan hadis Nabi SAW sebagai objek kajiannya. Dalam hal ini, ada 2 elemen utama yang terkait dengan hadis:   pertama, matan atau substansi pernyataan dalam sebuah hadis; dan kedua, sanad atau daftar para perawi yang berperan dalam mentransmisikan hadis itu sampai kepada perawi terakhir yang menuliskannya di dalam sebuah kitab hadis.
  • 41. Klasifikasi Bidang Kajian dalam Ilmu Hadis Ilmu rijal al-hadits guna mengetahui ihwal perawi di kalangan sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin Ilmu tawarikh al-ruwât , yaitu ilmu yang menjelaskan biografi para perawi hadis: kapan dan di mana dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang mengambil hadis darinya, dan di mana ia wafat. Contoh karya bidang ini:        al-Tarikh al-Kabîr karya al-Bukhârî (w. 252 H); Tarikh Nisabûr al-Hakim al-Naisabûrî; Tarikh Baghdâd karya al-Khatîb al-Baghdâdî; Tahdzib al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl karya Abû al-Hajjâj Yusuf al-Mizzî ( w. 742 H); tahdzib al-tahdzîb karya Ibn Hajar al-Asqallânî (w. 852 H) Ilmu Tabaqât membahas kelompok orang-orang (jama’ah) yang memiliki kesamaan masa hidup. Contoh kitab       Tabaqât al-Kubrâ karya al-Wâqidî (w. 230 H); Tabaqât al-Ruwât karya Khalifa b Khayyâth al-Syaibanî (w. 240 H); Tabaqât al-Tâbi’în karya Muslim (w. 261 H), Tabaqât al-Muhadditsîn wa al-Ruwât karya Ahmad b Abd Allah b Ahmad al-Isfahânî (w. 430 H); Tabaqât al-Huffâzh karya al-Dzahabî (w. 748); dan tabaqât al-hiffâdz karya al-Suyutî (w. 911 H).
  • 42. Ilmu mu’talif dan mukhtalif , yaitu ilmu yang membahas kesamaan bentuk tulisan dari nama asli, nama samaran, atau nama keturunan para perawi, tetapi bunyi bacaannya berlainan. Bila sama bunyi lafadznya disebut mu’talif, bila tidak disebut mukhtalif. Ada pula istilah yang dikenal dengan muttafiq dan muftariq yang membahas kesamaan bentuk tulisan dan ucapan, tetapi orangnya berlainan. Contoh karya di bidang-bidang ini:     al-Mu’talif wa al-mukhtalif fî asmâ’i naqlat al-hadits dan Musytabih alnisba karya Abd al-Ghanî b Sa’d al-Azdî (w. 409 H); al-Musytabih fî asmâ’ al-Rijâl karya Dzahabî (w. 748); dan Tabsîr al-muntabih bi tahrîr al-musytabih karya Ibn Hajar al-Asqallânî (w. 852 H). Ilmu jarh wa ta’dîl membahas ihwal perawi dari segi diterima ataupun ditolak periwayatannya. Kitab-kitab yang termasuk bidang ilmu ini:        Ma’rifat al-Rijal karya Ibn Ma’in; al-Du’afâ karya al-Bukhârî (w. 252 H); al-Thiqât karya Ibn Hibbân (w. 304 H); Al-Jarh wa al-Ta’dîl karya Ibn Abî Hâtim al-Râzî (w. 326); Mîzân al-I’tidâl (3 vol) karya Al-Dzahabî (w. 748); Lisân al-Mîzân (6 vol) karya Ibn Hajar al-Asqallânî (w. 852 H).
  • 43. Ilmu gharîb al-hadits membahas lafazh-lafazh dalam matan hadis yang sulit difahami karena jarang dipergunakan. Karyakarya bidang ini:     Gharib al-Hadits oleh Abu Ubayd Qâsim b Salâm (w. 224 H); al-Fâ’iq fî Gharib al-hadits karya Zamakhsyarî (w. 538 H); al-Nihâya fî Ghârib al-Hadîts wa al-Athâr oleh Ibn al-Atsîr al-Jazarî (w. 606 H). Ilmu asbâb wurûd al-hadits menerangkan sebab lahirnya sebuah hadits. Contoh karya bidang ini:   Al-Bayân wa Ta’rîf fî Asbâb wurûd al-Hadits al-Syarîf karya Ibn Hamzah al-Husainî (w. 1120 H). Ilmu tawârikh al-mutûn membahas kapan dan di mana sebuah hadits diucapkan oleh Nabi SAW. Perintis ilmu ini Abû Hafs Amr b Salar al-Bulqînî dengan kitab Mahâsin al-Istilâh. Ilmu nâsikh wa al-mansûkh membahas hadits-hadits yang berlawanan maknanya dan tidak mungkin mengkompromikannya lagi, sehingga perlu ditentukan mana yang nâsikh dan mana yang mansûkh. Karya bidang ini      Nasikh al-Hadits wa mansûkhuh karya Abu Bakr Ahmad b Muhammad al-Atsram (w. 261 H); juga Nasikh al-Hadits wa mansûkhuh karya Abu Hafs b Ahmad alBaghdâdî, populer dengan sebutan Ibn Syâhîn (w. 385 H); al-i’tibâr fî al-Nâsikh wa al-mansûkh min al-atsar karya Abu Bakr Muhammad b Musa al-Hâzimî (w. 585)
  • 44.  Ilmu mukhtalif al-hadits membahas hadits-hadits yang pada lahirnya saling berawanan, yaitu dengan menghilangkan pertentangan itu, ataupun dengan mengkompromikannya. Contoh karya:      Mukhtalif al-Hadits karya al-Syâfi’î; Ta’wîl Mukhtalif al-Hadits karya Abd Allâh b Muslim b Qutaiba alDaynûrî (w. 276 H); Musykil al-Atsâr karya Ahmad b Muhammad al-Tahanâwî (321 H); Musykil al-hadits wa bayânuh karya Ibn Furak al-Isfahanî (w. 406). Ilmu ‘ilal al-hadits membahas sebab tersamar yang membuat kecacatan sebuah hadits, seperti menyambungkan sanad yang munqati’, memarfu’kan berita yang mauquf, menyisipkan satu hadits dengan yang lain, atau memutarbaikkan matan dengan sanad, dan sebaliknya. Contoh karya:       al-Tarikh wa al-ilal karya yahya b Ma’in (w. 233); Ilal al-hadits karya Ahmad b Hanbal (w. 241); al-musnad al-mu’allal karya Ya’qub b Syaibah al-Sudusy al-Basrî (w. 279); al-Ilal karya Isâ al-Tirmidhî (w. 279); Ilal al-Hadits karya Ibn Abî Hâtim al-Râzî (w. 327); dan al-Ilal al-wârida fî al-ahâdits al-nabawiyya karya Ali b Umar al-Dâruqitnî (w. 375).
  • 45. Catatan tentang Kemungkinan Penelitian Bidang Kajian Tafsir Hadis secara Multi-Disipliner     Dari ketiga kelompok kajian pokok dalam bidang ilmu Tafsir Hadis, selain mengandalkan pemakaian paradigma keilmuan masingmasing secara mandiri, juag dimungkinkan untuk mengadakan penelitian ketiga bidang tersebut sekaligus melalui penelitian multidisipliner. Contohnya, jika seseorang melakukan penelitian terhadap karya tafsir bil ma’tsur, misalnya, maka ia selain diharuskan menguasai bidang kajian metode tafsir, maka ia juag diharapkan memiliki keahlian yang memadai di bidang hadis dan ilmu hadis sebagai bidang ilmu sekunder karena tolok ukur validitas corak penafsiran ini menggunakan parameter kajian hadis dan ilmu hadis. Begitu juga jika seseorang hendak melakukan penelitian tentang karya-karya tafsir bil ra’yi, maka bidang-bidang keahlian sekunder dalam ilmu-ilmu keislaman yang secara khusus menandai jenis corak tafsir yang diteliti: tasawuf, fiqih, filsafat Islam, sastra, atau tafsir ilmiah secara umum perlu dikuasai secara mumpuni guna dapat menghasilkan analisis yang optimal. Jika kemudian bidang ilmu sekunder yang harus dikuasai itu berada di luar bidang kajian keislaman, maka yang terjadi adalah penelitian yang bersifat inter-disipliner.
  • 47. Pertemuan Ke-5, 6, 7, dan 8 Standar Kompetensi  Mahasiswa memahami urgensi penelitian melalui pendekatan interdisipliner mengingat keterkaitan antara bidang kajian ilmu hadis dengan bidang-bidang kajian serta pisau bedah analisis yang berasal dari luaur bidang ilmu Tafsir Hadis secara mandiri dalam iklim pengkajian Islam di era modern dewasa ini. Kompetesi Dasar  Mahasiswa mampu menguaraikan ragam pendekatan yang ada dalam penelitian bidang kajian Tafsir hadis melalui skema penelitian interdisipliner, baik itu menyangkut kajian naskah secara filologis, amauun kajian kritik yang bersifat tekstual dan kontekstual, juga pendekatan interdisipliner menggunakan analisis filsafat hermeneutika dan kajian gender.
  • 48. Disiplin keilmuan non-Tafsir Hadis Filologi Kritik Naskah ,Ilmu Bahasa, sastra Ilmu-ilmu sosial Ragam Pendekatan Interdisipliner dalam Penelitian Tafsir Hadis Kritik Kontekstual filsafat Hermeneutika Disiplin ilmu baru Kesetaraan Gender Dan lain-lain
  • 49. PENDEKATAN FILOLOG IS FILOLOGI KOMPARATIF REKONSTRUKSI TEKS (HIG HER CRITICISM ) KAJIAN NASKAH DAN KRITIK SASTRA (KRITIK NASKAH ( LOWER CRITICISM ECLECTICISM STEMMATIK COPY TEXT EDITING KRITIK BENTUK KRITIK REDAKSI
  • 50. Pendekatan Filologis     Dalam kajian linguistik, filologi sering dirujuk sebagai ilmu untuk memahami teks dan bahasa kuno. Atas dasar anggapan lingusitik itulah dalam tradisi akademik istilah filologi dijelaskan sebagai kajian terhadap sebuah bahasa tertentu bersamaan dengan aspek kesusasteraan dan konteks historis, serta aspek kulturalnya. Arti penting kajian ini adalah guna dapat memahami sebuah karya sastra dan teks-teks lain yang memiliki signifikansi secara kultural. Dalam hal ini dapat pula dijelaskan di sini bahwa lingkup kajian filologis meliputi:      kajian tentang tata bahasa, gaya bahasa, sejarah bahasa, penafsiran tentang pengarang, tradisi kritikal yang dikaitkan dengan bahasa yang disampaikan.
  • 51.  Penerapan pendekatan filologis dalam penelitian Tafsir Hadis dapat dilakukan dalam beberapa cabang ilmu ini:  Filologi Komparatif (Comparative Philology), dalam filologi klasik, misalnya dapat diterapkan dalam studi tentang al-Qur’an atau hadis dalam membantu menemukan pengaruh bahasa-bahasa asing nonArab apa saja yang dikandung oleh al-Qur’an dan teks-teka hadis yang pada gilirannya penemuan ini dapat memberi ruang bagi analisis tentang ketinggian I’jâz al-Qur’ân, maupun kemungkinan kaitan antara sajian teks al-Qur’an atau hadis dengan sumber-sumber pra-Islam. Contoh kajian ini dapat dilihat dalam dua artikel al-Suyuti di dalam alItqân:    Pertama kajian tentang kata-kata asing al-Qur’an yang berasal dari dialek non-Quraisy Kedua tentang kata-kata di dalam al-Qur’an yang bukan berasal dari dialek Hijaz dan bahkan bahasa asing non-Arab yang diarabkan (mu‘arrab) Rekonstruksi teks (text reconstruction), dalam filologi modern, atau disebut pula dengan istilah higher criticism menekankan upaya rekonstruksi sebuah naskah asli hasil karya pengarang lama berdasarkan varian salinan manuskripnya. Ini bisa dilakukan terhadap naskah karya tafsir dan hadis. Unsur-unsur utama yang dicari dalam kritisisme teks ini mencakup:    status kepengarangan (authorship), penanggalan, dan keaslian naskah.
  • 52.  Literatur yang bersifat manual metodologis yang berfungsi memandu secara teknis pola-pola yang harus dilakukan dalam penelitian yang memakai pendekatan filologis dalam lingkup kajian terhadap literatur yang lebih menekankan aspek keindonesiaan dapat dilihat pada karya Stuart Robson Principles of Indonesian Philology yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip-prinsip Filologi Indonesia terbitan Universitas Leiden tahun 1994. Karya ini merupakan buku panduan yang cukup penting mengingat masih banyak literatur bidang tafsir dan literaturliteratur tentang kajian Islam pada umumnya yang ditulis oleh ulama Indonesia yang hingga kini masih tertulis dalam bentuk salinan manuskrip dan belum memiliki edisi cetak yang bisa dibaca secara luas.
  • 53. Kritik Naskah Kritik Naskah  Berbeda dengan Text Reconstruction yang disebut sebagai higher criticism, kritik naskah disebut sebagai lower criticism yang upayanya tidak dimaksudkan untuk menentukan ihwal kepengarangan, penanggalan, ataupun tempat disusunnya sebuah teks, akan tetapi hanya mengidentifikasi kesalahan dan membuangnya .  Secara teoretis kerangka kerja dari pendekatan ini tidak jauh berbeda dengan pendekatan disiplin induknya yaitu filologi. Jika melihat beberapa dokumen yang berbeda, atau sebut saja “bukti-bukti” dari sebuah teks, maka tidak selalu akan tampak jelas mana yang naskah yang asli dan mana naskah salinan yang mengandung kesalahan. Tugas seorang pelaku kritik teks adalah:      menyortir naskah-naskah tersebut, untuk kemudian membentuk sebuah edisi yang paling mewakili naskah aslinya dengan menjelaskan semua bukti-bukti yang ada. Dalam melakukan pekerjaan ini, seorang pelaku kritik teks dituntut untuk mempertimbangkan baik aspekaspek eksternal (usia manuskrip, keaslian, dan hubungan antara butki yang satu dengan yang lain) maupun aspek internal (apa yang sepertinya telah dilakukan oleh pengarang, penyalin ataupun pencetaknya). Hasil akhirnya, didapatkan sebuah naskah edisi yang kuat yang memiliki kemiripan sedekat mungkin dengan naskah aslinya. Salah satu alasan yang menganggap pentingnya dilakukan sebuah kritik naskah, ataupun kajian filologis secara umum sebagaimana dijelaskan pada uraian sebelumnya, adalah karena sebelum mesin cetak ditemukan karya-karya literatur umumnya disalin dengan tangan. Setiap kali sebuah manuskrip disalin kesalahan mungkin saja dilakukan oleh juru tulisnya. Kesalahan yang sama juga bisa saja terjadi pada naskah cetakan akibat kecerobohan seorang compositor atau pihak percetakan. Ada tiga pilihan langkah peneltiian dalam pendekatan kritik naskah:  Eclecticism adalah praktek dalam menguji sejumlah besar bukti-bukti dan menyeleksi varianvarian yang dipandang terbaik. Dalam pendekatan eklektik murni, tidak ada satu bukti naskah pun yang lebih disukai secara teoretis, sehingga semua teks diperlakukan secara sama. Sebaliknya, seorang pelaku kritik akan membentuk opini tentang bukti-bukti secara individual, dengan cara bergantung kepada ciri-ciri internal dan eksternalnya.  selanjutnya
  • 54.   Stemmatik adalah pendekatan akurat terhadap tekt kritik yang dikembangkan oleh Karl Lachman (1793-1851). Nama pendekatan ini diambil dari kata stemma yang berarti pohon keluarga yang menunjukkan hubungan-hubungan antara bukti-bukti naskah yang ada. Prinsip kerja yang dimiliki oleh pendekatan ini adalah banyaknya kesalahan mengimplikasikan keaslian semuanya. Oleh karena itu,     Lanjutan Prosedur utama dalam peneltian ini adalah menentukan stemma disebut dengan resensi , yaitu jika dua buah manuskrip memiliki kesalahan secara rata-rata, maka dapat dikatakan bahwa keduanya dihasilkan dari sebuah sumber intermediate yang umum, disebut dengan istilah hyparchetype. Hubungan di antara intermediate-intermediate yang hilang ditentukan melalui proses serupa, yaitu dengan menempatkan manuskrip-manuskrip yang ada dalam sebuah pohon keluarga yang disebut dengan stemma codicum, dengan merujuk kepada sebuah archetype tunggal. Setelah menentukan stemma, maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan seleksi , di mana teks yang dijadikan sebagai archetype ditentukan melalui pengujian terhadap varian-varian yang ada dari beberapa hyparchetype atau intermediate yang terdekat dengan archetype dengan menyeleksi salah satu yang terbaik. Jika sebuah bacaan lebih sering muncul dibandingkan dengan bacaan lain dalam tingkatan yang sama, maka pembacaan yang dominan kemudian dipilih. Jika ada dua bacaan yang saling berkompetisi secara sama-sama seringnya, maka editor memutuskan archetype melalui pertimbangannya sendiri, bacaan mana yang ia anggap paling mendekati kebenaran. Setelah melakukan pilihan, naskah bisa jadi masih memiliki kesalahan-kesalaha, ketika dalam beberapa kalompok kalimat tidak ditemukan sumber yang menyajikan bacaan yang benar. Untuk itu dilakukan langkah selanjutnya, yaitu tahap pengujian untuk menemukan korupsi. Ketika editor mengatakan bahwa naskah telah terkorupsi, maka kemudian hal itu dikoreksi dengan cara emendasi atau dengan menghilangkan bagian yang salah tersebut. Proses emendasi yang tidak didukung oleh sumber-sumber yang dikenal terkadang disebut dengan istilah emendasi konjektural. Copy-text editing adalah upaya kritik teks yang dilakukan terhadap sebuah naskah dasar (base text) dari sebuah manuskrip yang dianggap terpercaya ( reliable). Naskah dasar ini sering dipilih dari manuskrip yang tertua. Akan tetapi dalam tahap-tahap awal pencetakan, proses penyalinan naskah ini menggunakan manuskrip yang ada di tangan ketika itu. Dengan metode copy text, seseorang melakukan pengujian terhadap naskah dasar dan membuat beberapa koreksi (dengan cara emendation) pada tempat-tempat di mana naskah dasar tadi nampak menunjukkan kesalahan menurut pandangannya. Ini dilakukan dengan cara mencari tempattempat di naskah dasar yang tidak bisa dipahami, atau dengan melihat naskah pada manuskrip yang lain untuk mencapai sebuah bacaan yang kuat. z
  • 55. Panduan Metodologis dalam pendekatan Kritik Naskah:  Pieter von Reenen dan Margot van Mulken, eds. (1996). Studies in Stemmatology. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company; dan Philip Gaskell (1978), From Writer to Reader: Studies in Editorial Method. Oxford: Oxford University Press.  Atau artikel-artikel menjadi bagian dari sebuah buku kompilasi yang lebih besar, maupun artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah.         Bowers, Fredson (1964). " Some Principles for Scholarly Editions of Nineteenth-Century American Authors". Studies in Bibliography 17 : 223–228; Bowers, Fredson (1972). "Multiple Authority: New Problems and Concepts of Copy-Text". Library, Fifth Series XXVII (2): 81–115; Davis, Tom (1977). "The CEAA and Modern Textual Editing". Library, Fifth Series XXXII (32): 61–74; Greg, W. W. (1950). "The Rationale of Copy-Text". Studies in Bibliography 3 : 19– 36; Love, Harold (1993). “section III”, Scribal Publication in Seventeenth-Century England. Oxford: Clarendon Press; Shillingsburg, Peter (1989). " An Inquiry into the Social Status of Texts and Modes of Textual Criticism ". Studies in Bibliography 42 : 55–78; Tanselle, G. Thomas (1972). "Some Principles for Editorial Apparatus". Studies in Bibliography 25 : 41–88; Zeller, Hans (1975). "A New Approach to the Critical Constitution of Literary Texts". Studies in Bibliography 28 : 231–264.
  • 56. (Kritik Sastra (1 Kritik bentuk  Kritik Bentuk (form criticism) merupakan sebuah metode kritik yang diterapkan terhadap kajian biblikal. Metode ini diadopsi sebagai instrumen untuk menganalisis gambaran tipikal teks, terutama bentuk dan struktur konvensionalnya agar bisa dikaitkan dengan konteks sosiologisnya.  Alasan yang mendasari pentingnya pendekatan ini adalah karena teks-teks biblikal berasal dari tradisi oral, yang mana proses penyusunannya telah menghasilkan munculnya beberapa buah lapisan (layers), yang masing-masing lapisan tersebut memiliki arti khusus. Elemen yang paling utama dari lapisan-lapisan ini adalah bahan-bahan historis asli, yaitu ungkapan atau peristiwa yang tidak disangsikan lagi terjadi melalui beberapa cara dan disaksikan. Dalam penuturan tentang peristiwa dan kejadian tersebut, serta penuturan ulang yang dilakukan dari waktu ke waktu, beberapa penjelasan yang bersifat rincian atau detail kejadian terkadang ditambahkan ke dalam teks. Tambahan-tambahan penjelasan yang nampaknya tidak bisa dielakkan tersebut merefleksikan tujuan dari para penyusun; di mana material yang asli digunakan untuk menguatkan sebuah pesan khusus. Tentunya, setiap penuturan ulang bisa saja membawa proses gradual di mana sesuatu yang baru ditambahkan yang bisa jadi menambah besar atau mengubah bentuk teks, jika beberapa makna tambahan tadi kemudian dilekatkan dengan teks. Pada akhirnya, tradisi semacam itu kemudian terkumpul menjadi penjelasan yang tertulis. Akan tetapi, pengarangnya tetap saja memiliki agenda tersendiri, ketika penyusunan materi-materi tradisional tadi akan senantiasa dihantarkan menjadi sebuah narasi yang dipandang perlu untuk diberikan penekanan terhadap aspek-aspek khusus dalam pandangan teologis tertentu.  Sebagaimana dikembangkan oleh Rudolf Bultmann[1] dan sarjana lainnya, kritik bentuk bisa dilihat sebagai upaya dekonstruksi sastra dalam menemukan kembali intisari dari makna aslinya. Proses ini dijelaskan sebagai proses demitologisasi, meskipun istilah ini harus digunakan secara hati-hati. Mitos dalam ungkapan ini tidak dimaksudkan sebagai istilah yang menunjuk kepada makna “tidak benar”, tetapi merupakan signifikansi dari sebuah peristiwa dalam agenda penyusunnya.
  • 57. Lanjutan  Langkah-langkah yang dilakukan dalam Kritisisme bentuk:   dimulai dengan mengidentifikasi genre sebuah teks atau bentuk konvensional sastra, seperti tamsil, proverb, epistle, puisi percintaan, dan bentuk-bentuk lainnya. Kemudian diteruskan dengan mencari konteks sosiologis dari masing-masing genre tersebut, atau katakanlah “situasi hidup”.       Contohnya, setting sosiologis dari sebuah diktum hukum adalah pengadilan, sementara setting sosiologis dari sebuah lagu pujian atau hymne adalah konteks peribadatan atau pemujaan itu sendiri, sedangkan proverb bisa jadi seperti nasehat seorang Bapak kepada anaknya. Setelah selesai mengidentifikasi dan menganalisis genre sebuah teks, kritisisme bentuk selanjutnya mengajukan sebuah pertanyaan, bagaimana bisa genre yang lebih kecil ini memberi kontribusi bagi tujuan teks secara keseluruhan. Dalam perkembangannya, kritisisme bentuk pada awalnya dikembangkan untuk penelitian terhadap kajian-kajian Perjanjian Lama oleh Hermann Gunkel. Pada masa belakangan kemudian diaplikasikan untuk penelitian terhadap Injil diantaranya oleh Karl Ludwig Schmidt, Martin Dibelius, dan Rudolf Bultmann.  Aplikasinya dalam kajian hadis...
  • 58.   Penerapan pendekatan kritik bentuk dalam kajian Islam dapat dilakukan terhadap teks yang substansi pernyataan pengarangnya telah tercampur bersama tafsir yang ditambahkan oleh murid-murid dan pengikutnya atau penutur riwayatnya pada masa belakangan. Ini penting seperti dalam kajian hadis guna menganalisis hadis-hadis yang memiliki kelemahan mendasar dalam matan yang dimuatnya, di mana substansi pernyataan orisinal Nabi SAW sangat diragukan otentisitasnya. Fenomena keberadaan hadis semacam ini umumnya ditemukan dalam kitab-kitab yang berisi nasehat targhib wa tarhib, di mana hadis-hadis yang lemah biasa dipakai sebagai argumen atau dalil amaliah-amaliah utama (fadâ’il al-a‘mâl). Arti penting pendekatan kritik bentuk dalam analisis hadis-hadis semacam itu adalah untuk memberi batasbatas yang jelas tentang mana substansi pernyataan yang berasal dari Nabi SAW, dan mana yang merupakan mitos dan merupakan lapisan tambahan yang dilakukan oleh pengikutnya pada masa belakangan, atau bahkan palsu semata dan sama sekali tidak berasal dari Nabi SAW. Fokus perhatian yang diusung oleh pendekatan ini menitikberatkan penelitian substansi pernyataan atau matan. Dalam hal ini, pendekatan ini bisa digabungkan dengan analisis kritik matan. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hal. 121-158. Bila kaidah-kaidah pendekatan kritik hadis dalam kajian ilmu hadis selama ini cenderung hanya mendasarkan diri pada analisis sanad, atau persesuaiannya dengan argumentasi yang tertuang dalam hadis lain yang disepakati kesahihannya, bahkan bisa juga melalui pertimbangan rasional dan pendekatan konpromis (jam’) terhadap makna-makna yang ditunjukkan oleh sebuah matan hadis, maka analisis ini mungkin bisa diperkaya melalui penelitian kritis terhadap bentuk-bentuk ungkapan yang menjadi kategori dasarnya dalam pendekatan kritik bentuk. Kesimpulan...
  • 59. Kesimpulan  Secara sederhana, pendekatan kritik bentuk berupaya untuk mengeliminir setiap elemen tambahan yang menjadi bentuk-bentuk mitos dari sebuah teks. Dengan menganalisis dan mengidentifikasi bentuk dasar atau genre sebuah teks, proses demitologisasi yang umumnya menjadi tujuan dari gerakan purifikasi ajaran agama, diharapkan akan dicapai dengan mengetahui bagian-bagian mana yang merupakan bahan-bahan historis yang asli dari sebuah teks, dan bagian mana yang hanya merupakan lapisan tambahan yang dilekatkan ke dalam teks oleh para perawinya. Intinya, bila hadis yang menjadi dasar argumentasi bagi amalan yang bersumber dari Rasul SAW merupakan sunnah, maka penelitian melalui pendekatan kritik bentuk diharapkan dapat memberi kontribusi tambahan dalam memperkaya analisis kritis matan dalam kajian kritik hadis.
  • 60. (Kritik Sastra (2 Kritik Redaksi  Kritik Redaksi merupakan salah satu metode penelitian kritik terhadap Bibel, terutama Injil dan kitab-kitab lain yang isinya saling tumpang tindih. Kritik redaksi merupakan sebuah disiplin sejarah yang bertujuan untuk menemukan maksud yang dikehendaki oleh pengarang atau editor terakhir sebuah buku. Tidak seperti kritik bentuk yang menjadi disiplin asalnya, disiplin cabang ini tidak melihat ragam bentuk narasi untuk menemukan bentuk aslinya, tetapi dengan memusatkan pada bagaimana pengarang atau editornya membentuk dan membuat material dalam sumber-sumbernya untuk mengekpresikan tujuan susastra bagi karyanya, yaitu untuk alasan apa ia menulis karyanya tersebut. Kritik redaksi juga melihat pengarang atau editor bukan sekali-kali sebagai kolektor yang melakukan tindakan “cut and paste” sebuah cerita, tetapi sebagai seorang teolog yang berupaya untuk mempertemukan agenda teologisnya dengan cara membentuk sumber yang ia gunakan.  Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam pendekatan kritik redaksi dalam upaya mendeteksi aktivitas pengeditan:    1. Pengulangan motif-motif dan tema-tema umum. 2. Perbandingan di antara dua buah pernyataan. Di sini, kritik redaksi menguji apakah pernyataan yang terakhir menambahkan, menghilangkan, atau menjaga beberapa bagian dari pernyataan terdahulu mengenai peristiwa yang sama? 3. Kata-kata yang digunakan dan gaya seorang penulis. Apakah teks mencerminkan kata-kata yang sering digunakan oleh seorang editor, atau adakah kata-kata yang jarang digunakan atau juga upaya untuk menghindari penggunaan sebuah kata, misalnya. Jika pemilihan kata-kata mencerminkan bahasa seorang editor, maka hal itu menunjuk ke arah pengerjaan ulang editorial sebuah teks, sementara jika hal itu mencerminkan bahasa yang tidak digunakan atau dihindari untuk digunakan, maka hal ini kemudian mengarah pada bagian dari sumber yang terdahulu.
  • 61.     Relevansi aplikasi dalam kajian keislaman secara umum dapat diterapkan dalam kajian kritik terhadap redaksi matan hadis. Penerapan metode kritik redaksi sebenarnya sudah dilakukan oleh para ulama terdahulu, khususnya dalam kajian hadis untuk menilai redaksi matan hadis apakah memiliki kecacatan (‘illat) berupa tambahan penjelasan (idrâj) yang diberikan oleh perawinya. Kritik redaksi juga dilakukan untuk menentukan bahwa sebuah riwayat dianggap sebagai riwayat yang janggal (syâdz) dan berbeda dengan riwayat lain yang kebanyakan (disebut riwayat mahfuz). Kritik redaksi dalam kajian hadis adalah langkah utama untuk mendeteksi apakah sebuah hadis memiliki kualifikasi yang dianggap menjatuhkan sehingga dikelompokkan sebagai bagian dari hadis yang lemah dan tidak dapat diterima (da’if), seperti hadis maqlûb, hadis mudtarib, hadis muharraf, hadis musahhaf, hadis mubham, hadis majhûl, dan lain sebagainya. Keunggulan ilmu hadis pada umumnya adalah menyangkut tingkat ketelitian yang sangat tinggi terhadap isnâd, di mana kualifikasi para perawi akan sangat menentukan diterima atau tidaknya sebuah tradisi kenabian. Bahkan nilai sebuah matan juga ditimbang dari kesahihan isnâd yang membawanya. Penerapan pendekatan kritik redaksi yang dipinjam dari studi biblikal diharapkan dapat meningkatkan aspek metodologis terhadap penelitian terhadap redaksi matan hadis, sehingga diketahui mana substansi yang benar-benar berasal dari tradisi kenabian, dan mana elemen tambahan yang hanya merupakan penjelasan, atau pesan khusus yang dibuat oleh para perawinya. Penerapan metode kritik redaksi terhadap matan hadis ini penting mengingat kemunculan hadis palsu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor non-religius seperti faksi politik yang tidak jarang menampakkan biasnya dalam bingkai agama yang sengaja dilakukan oleh para perawi hadis di kalangan para pengikut generasi awal yang dihormati.
  • 62. Pendekatan Kontekstual Makna Konteks  Makna konteks dalam ilmu bahasa mengandung 2 macam arti:      (1) sekeliling teks atau percakapan tentang sebuah kata, kalimat, peralihan atau turn (disebut pula co-text), dan (2) dimensi situasi komunikatif yang relevan guna memproduksi atau menyempurnakan sebuah diskursus. Dari dua macam arti yang secara leksikal bisa diturunkan dari kata “konteks” tadi beberapa arti khusus yang menandai definisi istilah ini secara terminologis dapat dijelaskan berdasarkan spesifikasi bidang ilmu yang memakainya. Makna konteks dalam ilmu komunikasi, linguistik, dan discourse analysis; misalnya, didefinisikan sebagai cara-cara para partisipan menentukan dimensi relevan situasi yang komunikatif dari sebuah teks, percakapan, atau pesan, seperti setting (waktu, tempat); aktivitas yang berlangsung (misalnya, makan malam keluarga, perkuliahan, debat parlemen, dll); atau fungsi partisipan dan peranannya (misalnya pembicara, teman, wartawan, dll); serta tujuan, rencana/niat, dan pengetahuan partisipan. Pendekatan kontekstual mengindikasikan terjalinnya hubungan harmoni antara ayat-ayat kitab suci atau potongan bagian teks yang tengah dikaji dalam mengikuti aturan “teks dalam konteks”, yaitu apa yang harus diikuti oleh makna skriptural yang menjelaskan hubungan yang erat dengan ayat ketika berusaha untuk menentukan makna kitab suci. Konteks kitab suci juga semestinya mengikuti maksud dan tujuan sebagaimana dipahami oleh penulis asli terhadap sebuah pandangan dalam menyampaikan kebenaran skriptural kepada pendengarnya. Penerapan pendekatan kontekstual dalam bidang kajian Tafsir Hadis menempati posisi cukup krusial ketika proses pewahyuan al-Qur’an pada sebagian kasus berhubungan dengan situasi sosio-historis dalam bentuk asbab nuzul yang menjelaskan fenomena hidup (the living phenomenon) dari sebuah diskursus dalam proses pewahyuan al-Qur’an.
  • 63.     Konteks juga penting dalam penelitian hadis, di mana ungkapan, atau perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW lahir dari kejadian yang melatarbelakanginya. Untuk itu, pendekatan kontekstual baik dalam bentuk ulasan tentang setting historis, sosiologis, maupun budaya yang mendasari sebuah tradisi kenabian ataupun diktum agama pada masa pembentukannya di masa-masa sesudahnya menjadi sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan makna dan pemahaman yang bisa diambil darii hadis-hadis di luar susunan redaksionalnya. Dalam penelitian tentang diktum maupun doktrin agama, penyertaan konteks memiliki peranan penting dalam membentuk karekter dari diktum maupun doktrin tersebut. Lokasi turunnya wahyu, seperti yang membedakan antara kelompok ayatayat makkiyah yang turun di Mekkah dan kelompok ayat-ayat madaniah yang turun di Madinah sesudah hijrah, turut membentuk karakter redaksional maupun isi kandungan pesan yang disampaikan yang menandai ciri-ciri umum redaksi masingmasing periodisasi pewahyuan al-Qur’an tersebut. Pertimbangan konteks, atau lebih tepatnya kronologi historis juga berpengaruh terhadap penetapan dan pembatalan hukum dalam kasus nasikh mansukh. Konteks kronologis menjadi kajian yang harus dicermati, sehingga pembacaan terhadap alQur’an dengan menyertakan konteks turunnya ayat tersebut dapat dijadikan patokan mana ayat yang turun lebih dulu ---yang hukumnya dibatalkan, dan mana yang turun belakangan dan menggantikan hukum yang pertama. Walhasil, apapun pisau bedah yang digunakan dalam meneliti fenomena keagamaan melalui pendekatan kontekstual, pendekatan akademis ini bermuara pada semakin banyaknya titik-titik persinggungan antara agama dan kenyataan dalam kehidupan manusia kontemporer yang membutuhkan metodologi pemecahan masalah yang tidak saja harus tetap berlandaskan pada semangat universalitas al-Qur’an, di mana al-Qur’an adalah pesan Tuhan yang diperuntukkan bagi seluruh manusia, tetapi juga untuk bisa tetap menjaga agar tujuan yang diinginkan dari pesan Tuhan tersebut bisa dijelaskan dalam penelitian ilmiah kontemporer
  • 64. Pendekatan Filsafat Hermeneutika Kaitan Hermeneutika dengan ilmu tafsir  Secara etimologis, istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan atau bentuk nomina hermeneia yang berarti penafsiran. Dengan menelusuri asal katanya, hermeneutika mengarah pada arti “membuat menjadi mengerti”, khususnya ketika proses ini mengikutsertakan bahasa, di mana bahasa merupakan satu-satunya medium dalam proses memahami.  Proses ini dikaitkan dengan peran Hermes dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pembawa pesan, sekaligus penafsir bagi pesan-pesan para dewa. Ini sejalan dengan makna kata kerja hermeneuein yang meliputi 3 aktivitas:     (1) mengekpresikan secara lantang dengan kata-kata, atau sebut saja “mengatakan”, (2) menerangkan, seperti dalam menerangkan situasi, dan (3) menerjemahkan, seperti dalam menerjemahkan pesan ke dalam bahasa asing. Ketiga aktivitas tersebut tercakup dalam makna kata “menafsirkan”. Oleh karena itu, sudah semestinya bila hermeneutika memiliki kaitan yang erat dengan upaya penafsiran.
  • 65. 6 makna hermeneutika  Hermeneutika sebagai teori penafsiran biblikal,  Metodologi filologi secara umum,  Ilmu tentang semua pemahaman lingusitik,  Landasan metodologis bagi Geisteswissenschaften,  Fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial,  Sistem penafsiran, baik yang bersifat rekolektif maupun ikonoklastik, yang dipakai manusia dalam memahami makna dibalik mitos dan simbol-simbol.
  • 66. 1 Hermeneutika sebagai penafsiran biblikal  Pengertian ini merupakan pemahaman yang tertua dan mungkin masih dikenal secara luas. Dalam masa yang paling awal, makna ini dipakai oleh J.C. Dannhauer (dengan karyanya yang terbit 1654 hermenutica sacra sive methodus exponendarum sacrarum litterarum) untuk membedakan penafsiran (exegesis) dengan aturan, metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutics).  Dua hal yang patut dicatat dalam mencermati perkembangan hermeneutika yang diartikan sebagai teori penafsiran biblikal:   pertama, karakter hermeneutika sebagaimana diindikasikan dalam contoh-contoh teori penafsiran kitab suci; yang dalam hal ini dapat disebutkan bahwa hermeneutika menyajikan “sistem” interpretasi yang dengan itu suatu ayat dalam kitab suci dapat ditafsirkan. Melalui sistem tersebut, seorang mufassir dapat menemukan makna yang tersembunyi dari sebuah teks. Hal tersebut didasari pada pertimbangan, bukan saja lantaran sebuah teks tidak bisa ditafsirkan dengan sendirinya, tetapi setelah masa pencerahan teks-teks kitab suci merupakan wahana yang memiliki banyak kebenaran moral, yang akan bisa ditemukan di dalamnya jika prinsip-prinsip penafsiran dibentuk untuk menemukannya. Kedua, dengan memahami hermeneutika sebagai teori penafsiran biblikal, maka akan didapatkan kejelasan tentang ruang lingkup hermeneutika, yang tidak saja mencakup teoriteori eksplisit tentang aturan-aturan dalam menafsirkan, tetapi juga teori-teori yang didapatkan secara tidak langsung dalam praktek penafsiran yang dilakukan. Jika Gerhard Ebeling, misalnya mengkaji “Hermeneutika Martin Luther”, maka ia tidak saja memusatkan kajiannya pada pernyataan-pernyataan Luther tentang teori penafsiran biblikal, tetapi juga terhadap praktek penafsiran yang dilakukannya seperti yang didapatkan dengan menganalisis khutbah-khutbah yang diberikan dan tulisan-tulisannya yang lain. Dari sini, lingkup kajian hermeneutika menjadi lebih luas ---sebagai sebuah sistem penafsiran baik yang eksplisit maupun implisit--- yang tidak saja diterapkan bagi teks kitab suci, tetapi juga terhadap literatur di luar kategori kitab suci itu sendiri.
  • 67. 2,3,4 Hermeneutika sebagai metode filologi secara umum  Konsekuensi dari perluasan ruang lingkup Hermeneutika yang meliputi teks-teks non-biblikal, maka dimulailah kecenderungan untuk memperlakukan kitab suci sama dengan perlakuan terhadap buku-buku sekuler lainnya. Dalam sebuah panduan hermeneutika yang ditulis 1761, Ernesti menyatakan bahwa makna verbal kitab suci harus ditetapkan secara sama seperti yang dilakukan terhadap buku-buku lain.[1] Hal senada diungkap oleh Spinoza , bahwa norma penafsiran biblikal hanya bisa menjadi penerang untuk akal yang sama.[2] Dengan mencermati perkembangan semacam ini metode penafsiran biblikal menjadi sama saja dengan filologi klasik yang menjadi dasar teori penafsiran sekuler, sebuah bangunan yang menjadi landasan bagi definisi modern kedua bagi hermeneutika sebagai metode filologi. Hermeneutika sebagai Ilmu pemahaman linguistik  Hermeneutika dianggap sebagai “seni” atau “ilmu” memahami, sebagaimana dilontarkan oleh F. Schleiermacher . Di sini, hermeneutika mengimplikasikan sebuah kritik radikal terhadap landasan utama filologi, yang mengharuskan hermeneutika untuk bergerak mencapai batas luar konsepsinya sebagai sekumpulan aturan-aturan, dan untuk membuatnya koheren secara sistematis, yaitu sebuah bidang ilmu yang menjelaskan kondisi bagi pemahaman dalam segala dialog. Hasilnya, bukan lagi sekedar hermeneutika filologis, tetapi hermeneutika yang bersifat umum yang prinsip-prinsipnya dapat menjadi pondasi bagi penafsiran segala macam teks. Hermeneutika sebagai landasan metodologis bagi Geisteswissenschaften  Wilhelm Dilthey, seorang penulis biografi F. Schleiermacher, kemudian, mengkonsepsi hermeneutika menjadi disiplin induk yang menjadi pondasi bukan saja bagi penafsiran teks yang melandasi definisi ketiga, tetapi menjadi definisi baru yang meliputi segala disiplin yang memusatkan perhatian pada pemahaman seseorang terhadap seni, prilaku, dan tulisantulisan yang disebut dengan istilah geisteswissenschaften. [1] F.W. Farrar, History of Interpretation, hal. 402 dalam Palmer, Hermeneutics, 38. [2] Palmer, 38.
  • 68. 5 Hermeneutika sebagai Fenomenologi dan Pemahaman Eksistensial  Defini ke-5 merubah pandangan hermeneutika ke dalam kajian fenomenologis terhadap keberadaan manusia sehari-hari di dunia. Tokohnya adalah Martin Heidegger . Dalam pandangannya, hermeneutika bukan lagi ilmu ataupun aturanaturan tentang interpretasi teks, bukan pula merujuk kepada metodologi geisteswissenschaften, tetapi hermeneutika merujuk kepada penjelasan fenomenologis tentang eksistensi manusia itu sendiri. Dalam analisis Heidegger, “pemahaman” dan “interpretasi” merupakan bentuk dasar keberadaan manusia. Dengan karyanya Being and Time, Heidegger menandai perubahan dalam perkembangan hermeneutika, yang di satu sisi terkait dengan dimensi ontologis pemahaman, dan pada saat yang sama hermeneutika diidentifikasikan dengan konsepsinya tentang fenomenologi secara khusus.  Selanjutnya, Hans Georg Gadamer mengembangkan implikasi dari sumbangan pemikiran Heidegger menjadi sebuah karya sistematik tentang “hermeneutika filosofis”.[1] Karyanya yang lain, Truth and Methode, merupakan upaya untuk menghubungkan hermeneutika kepada aspek-aspek estetika dan filosofis sejarah pemahaman. Dalam hal ini, hermeneutika dibawa selangkah lebih jauh tetapi masih dalam fase “linguistik” dengan pernyataan Gadamer bahwa keberadaan yang bisa dipahami adalah bahasa, sehingga hermeneutka adalah sebuah pertemuan dengan yang ada melalui bahasa. [1] Lihat H.G. Gadamer, Philosophical Hermenutics. (terj. David E. Linge). Berkeley: University of California Press, 1977.
  • 69. 6 Hermeneutika sebagai sistem penafsiran ,   Tokoh yang pertama mengadopsi konsep ini adalah Paul Ricoeur . Dalam bukunya de l’interpretation (1965), ia mengatakan, “kami mengartikan hermeneutika teori tentang aturan yang mengatur sebuah penafsiran, atau dapat dikatakan, interpretatsi teks khusus atau kelompok tanda yang bisa dianggap sebagai teks.”[1] Pada tahap ini, hermeneutika menjadi proses penggalian makna yang dari sesuatu yang isi dan makna yang manifest menuju makna yang tersembunyi atau laten. Objek penafsirannya sendiri yang berupa teks, dalam bentuk yang sangat luas bisa terdiri dari lambang-lambang dalam mimpi, atau bahkan mimpi dan kejadian dalam mitos dan simbol-simbol masyarakat atau karya sastra. Dalam hal ini, Ricoeur membedakan antara:    simbol-simbol yang jelas merujuk kepada satu makna ( univocal) dan simbol-simbol yang samar-samar dan mengandung beragam makna ( equivocal). Yang terakhir inilah yang menjadi fokus perhatian hermeneutika. Menurutnya, hermeneutika berkaitan dengan teks-teks simbolik yang memiliki makna ganda. Makna ganda ini bisa jadi menyusun sebuah kesatuan semantik yang ---seperti dalam mitosmitos--- memiliki makna zahir yang jelas dan pada saat yang sama juga sebuah signifikansi yang mendalam. Hermeneutika, menurut Ricouer, adalah sistem yang memunculkan signifikansi batin dari dalam substansinya yang tampak.  [1] P. Ricoeur, de l’interpretation: essai sur freud. Paris: editions du Seuil, 1965, h. 18, dalam Palmer, Hermeneutics, h. 43.,
  • 70. 6  Definisi hermeneutika semacan ini membawa Ricoeur membedakan dua sindrom hermeneutika yang sangat berbeda dalam era modern:     pertama, berkenaan dengan simbol dalam sebuah upaya untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya, sebagaimana diwakili oleh upaya “demitologisasi” Rudolf Bultmann; dan kedua upaya untuk membongkar simbol yang menjadi representasi realitas yang salah, seperti ditampilkan oleh Marx, Nietzsche, dan Freud yang membongkar kedok-kedok dan ilusi-ilusi melalui gerakan rasionalisasi yang tiada henti dalam upaya “demistifikasi”. Ketiga tokoh yang terakhir ini menafsirkan kenyataan lahiriah sebagai sebuah kesalahan dan mengajukan sistem pemikiran yang menghancurkan kenyataan tersebut. Ketiganya secara aktif berdiri berseberangan dengan agama, sementara cara berfikir yang benar bagi ketiganya adalah dengan mengajukan “rasa curiga” ( suspicion) dan keragu-raguan. Atas dasar dua pendekatan yang berbeda dalam penafsiran simbol dewasa ini, menurut Ricoeur, tidak akan pernah ada aturan-aturan prinsipal (canons) yang bersifat universal untuk menafsirkan, akan tetapi hanya berupa teori-teori yang terpisah dan saling berlawanan tentang aturan-aturan (rules) penafsiran. Pengikut aliran demythologizer (atau “demitologisasi”) memperlakukan simbol atau teks sebagai jendela menuju realitas sakral, sementara kaum demystifier memperlakukan simbol yang sama (sebut saja teks kitab suci) sebagai sebuah kenyataan salah yang harus dihancurkan. Pendekatan Ricoeur dalam mengkaji Freud merupakan sebuah upaya brilian dalam type penafsiran yang pertama berupaya menemukan dan menafsirkan kembali signifikansi Freud dengan cara baru pada momen kesejarahan masa kini. Ricoeur berusaha untuk menerobos rasionalitas keragu-raguan dan kepercayaan terhadap interpretasi rekolektif dalam sebuah filsafat reflektif yang tidak kembali ke dalam abstraksi atau menjadi lebih buruk dengan pengajuan keragu-raguan secara sederhana. Sebuah filsafat yang menangani tantangan hermeneutika dalam mitos dan simbol, serta secara reflektif mentemakan realitas di belakang bahasa, simbol, dan mitos-mitos tadi.
  • 71. Beberapa prinsip dalam pendekatan hermeneutika  Prinsip dalam kajian yang memakai pendekatan hermeneutika, seperti apa yang dirujuknya dari Heidegger tentang perlunya upaya untuk mendekati teks secara lebih mendalam untuk menemukan apa yang tidak, bahkan mungkin yang tidak mampu, dikatakan oleh teks.[1] Menurutnya, menafsirkan sebuah karya adalah untuk melangkah ke dalam cakrawala pertanyaan ke arah mana teks bergerak. Akan tetapi, hal ini juga berarti bahwa sang penafsir bergerak ke dalam sebuah horozon di mana jawaban yang lain juga dimungkinkan. Dalam hal jawaban jawaban yang lain inilah ---dalam konteks temporal sebuah karya dan juga dalam era kekinian--- bahwa seseorang mesti memahami apa yang dikatakan oleh teks. Dengan kata lain, apa yang dikatakan dapat dipahami hanya melalui apa yang tidak dikatakan.  Prinsip lainnya dalam pendekatan hermeneutika adalah signifikansi penerapan terhadap masa sekarang. Dalam hal hermeneutika yuridis maupun teologis, misalnya diharuskan untuk melihat pemahaman tidak sesederhana upaya mengaitkan kajian klasik untuk memasuki dunia lain yang diinginkannya, tetapi sebagai sebuah upaya untuk menjembatani jarak yang ada antara teks dengan situasi saat ini. Interpretasi bukan melulu menjelaskan apa makna teks dalam dunianya sendiri, tetapi apa maknanya untuk kita. Sebuah teks ditafsirkan bukan atas dasar kesesuaiannya, tetapi karena substansi teks adalah sesuatu yang dimiliki bersama. Landasan kesamaan milik ini tidak selalu bersifat personal, tetapi bahasa. Seseorang berada di dalam dan diliputi bahasa; bahkan ketika seseorang harus menjembatani kesenjangan dalam dua bahasa yang berbeda, ia masih saja menafsirkan dalam dunia bahasa di mana wujud (being) menjadi pengganti di dalam bahasa.[2] [1] Palmer, Hermeneutics, hal. 234-235. [2] Ibid., hal. 235-6.
  • 72. Perspektif Kesetaraan Gender     Masuknya perspektif kesetaraan gender dalam kajian Islam adalah bagian dari upaya pembaharuan pemikiran Islam . Latar belakang yang mendasari kemunculan gerakan kesetaraan gender ini dalam sisi pembaharuan pemikiran Islam adalah sebuah upaya untuk mengembangkan apa yang disebut oleh orang barat sebagai “teologi feminis ” dalam konteks Islam yang memiliki tujuan untuk membebaskan kaum perempuan dan kaum muslimin pada umumnya dari struktur-struktur dan perundang-undangan yang tidak adil dan tidak memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup antara laki-laki dan perempuan Faktor utama yang menjadi alasan perlunya pendekatan kesetaraan gender adalah karena masih ada ketidaksesuaian yang mencolok antara cita-cita Islam dan praktek umatnya sejauh menyangkut perempuan. Dalam hal ini, beberapa kesalahan mendasar ditemukan dalam pandangan normatif Islam yang berakar pada penafsiran terhadap al-Qur’an dan doktrin tradisional (hadis) sebagai sumber utama ajaran Islam, seperti kesetaraan kedudukan semua manusia baik laki-laki maupun perempuan di hadapan Allah dipertentangkan dengan beberapa bias penafsiran:     yang menganggap kelebihan status laki-laki sebagai qawwamun (yang umunya diterjemahkan sebagai “penguasa” atau “pengatur”) perempuan (QS.4:34), laki-laki memperoleh bagian waris dua kali lebh besar dibandingkan dengan bagian kaum perempuan (4:11), kesaksian laki-laki yang sama dengan kesaksian dua orang perempuan (QS 2:282), maupun argumen-argumen yang berakar dari hadis ketidaksempurnaan perempuan dalam salat, atau menyangkut kecerdasan akalnya sebagai konsekuensi dari kesaksiannya yang dihitung hanya setengah dar kesaksian laki-laki. ( Rifat Hassan, hal.43).
  • 73.  Pengaruh terhadap kehadiran penafsiran yang dianggap bias gender, dan bercorak misoginis, sehingga menempatkan status laki-laki dalam derajat yang lebih superior dibandingkan dengan perempuan juga dijumpai dalam tradisi agama-agama lain, seperti tradisi Yahudi dan Kristen. Akar pandangan yang bias gender didapati dalam 3 asumsi teologis:       (1) Ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, dan bukan perempuan karena perempuan diyakini diciptakan dari tulang rusuk Adam. Konsekuensinya, secara intologis kedudukan perempuan bersifat derivatif dan sekunder; (2) Perempuan, dalam hal ini Hawa, menjadi penyebab kejatuhan manusia dari surga. Konsekuensinya, semua anak perempuan Hawa dipandang dengan rasa benci, curiga, dan jijik; (3) Perempuan tidak saja diciptakan dari laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki. Konsekuensinya, keberadaan perempuan hanya bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar. Ketiga asumsi teologis yang memandang rendah kaum perempuan ini, sedikit banyak masih tergambar dalam pandangan masyarakat Arab yang melatarbelakangi setting historis dan sosiologis turunnya al-Qur’an. Meskipun begitu, Islam telah berupaya untuk sedikit demi sedikit mengangkat derajat kaum perempuan dari pandangan sosial dan teologis yang timang dan telah ada sebelumnya. Akan tetapi, struktur sosial yang patriarkhis dan dominasi peran lakilaki dalam kultur peradaban dan perkembangan pemikiran Islam masa klasik dan periode salanjutnya menjadikan cara berfikir yang bias gender masih saja berlangsung, atau setidaknya terekam dalam praktek-praktek penafsiran al-Qur’an, yang umumnya juga dilakukan oleh ulama lak-laki. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila dalam banyak kasus, penafsiran yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender ini masih terus berlangsung sampai pada saat tafsir-tafsir tersebut digagas pada periode perkembangan pemikiran Islam abad pertengahan sampai abad awal abad ke-20.
  • 74. kesimpulan  Istilah feminisme Islam sendiri baru digagas sekitar tahun 1990-an, sebagai sebuah gerakan dalam mengimbangi perkembangan gerakan Islamism. Akar gerakan kesetaraan gender sendiri sudah ada sejak seabad yang lalu, sebagaimana diadvokasi oleh beberapa tokoh seperti:       Qasim Amin dari Mesir, Mumtaz Ali dari India. Leila Ahmad, professor kajian wanita asal Mesir; Fatima Mernissi, seorang penulis asal Maroko; Amina Wadud, dan tokoh-tokoh lainnya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa perspektif kesetaraan gender dalam penelitian kajian al-Qur’an maupun hadis ditujukan:     untuk menganilisis ulang teks-teks yang beredaksi misoginis, dalam sebuah upaya kontekstualisasi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang tidak saja mempertimbangkan konteks sosio-historis dalam memahaminya, tetapi juga dengan menarik signifikansinya bagi konteks sosiologis yang terjadi pada masa kini, sehingga tetap didapatkan makna pesan-pesan al-Qur’an yang teguh berpegang pada dimensi keadilan dan kesetaraan derajat antara sesama manusia.
  • 75. Pertemuan ke-9 dan 10 Menyusun Disain Penelitian Standar Kompetensi  Mahasiswa mengetahui caracara menyusun sebuah disain penelitian yang akan digunakan dalam sebuah aktivitas penelitian secara praktis Kompetensi Dasar  Mahasiswa dapat merumuskan tema penelitian yang akan dilakukan.  Mahasiswa dapat merumuskan langkah-langkah yang akan dicapai dalam sebuah penelitian.  Mahasiswa mampu membuat sebuah disain perencanaan bagi penelitian yang akan dilakukan dalam praktikum.
  • 76. Menyusun Disain Penelitian Merumuskan Permasalahan Mengidentifikasi Masalah Membatasi Masalah -Merumuskan Perta nyaan Penelitian Menimbang Signifikansi Feasibilitas Penelitian& Menguraikan Metodologi Penelitian Merumuskan Pendekatan yang Dipakai dalam Penelitian Merumuskan Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Merumuskan Tujuan Penelitian Menjelaskan Struktur Pembahasan Membuat Jadwal Penelitian Menyusun Daftar Pustaka Sementara Mnjelaskan Pengertian dan Kajian Teoretis
  • 77. Menyusun Disain Penelitian Merumuskan Masalah Penelitian  Menemukan permasalahan menjadi inti sebuah penelitian karena tanpa permasalahan maka tidak akan ada aktivitas penelitian.  Untuk bisa menemukan tema penelitian, maka penguasaan ruang lingkup kajian dan pemilihan konsern utama kajian menjadi penting.  Setelah menemukan sebuah persoalan, maka langkah selanjutnya adalah mengindentifikasi permasalahan itu ke dalam berbagai kemungkinan pertanyaan seputar masalah tersebut,  Lalu jika masih terlalu luas, maka harus dibatasi sesempit mungkin.  Barulah setelah itu kita bisa merumuskan persoalan tersebut ke dalam sebuah pertanyaan penelitian.  Dari pertanyaan penelitian inilah sebuah penelitian dimulai.
  • 78. Menimbang Signifikansi dan Mengukur Feasibilitas      Sebuah penelitian dikatakan signifikan jika aktivitas penelitian yang dilakukan merupakan kerja ilmiah yang penting, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian akademik di bidangnya. Signifikansi penelitian juga bisa dinilai dari sejauh mana penelitian yang akan dilakukan memberikan faedah/manfaat bagi dilakukannya penelitian pada saat itu. Oleh karena itu, hal pertama yang dilakukan oleh seorang peneliti adalah menguraikan alasan-alasan tentang arti penting permasalahan bagi peneltiian yang ingin dilakukan. Biasanya ini diletakkan dalam bagian latar belakang permasalahan, ketika pada akhir bagian ini ia menuangkan judul atau tema penelitiannya, baru kemudian beralih mendefinisikan permasalahan tadi ke dalam identifikasi, pembatasan dan perumusan pertanyaannya. Sementara itu, faedah praktis dari sebuah penelitian biasanya diuraikan dalam sub-bab tersendiri tentang tujuan dan kegunaan penelitian. Hal lain yang penting pada tahap ini, terkait dengan tujuan dan manfaat penelitian adalah mengukur feasibilitas sebuah penelitian, yaitu apakah penelitian ini bisa dilakukan dalam jangka waktu yang disediakan, terutama disesuaikan dengan tujuannya. Penelitian sebuah disertasi mungkin memakan waktu cukup panjang, tetapi penelitian untuk sebuah tugas mata kuliah tertentu bisa jadi hanya diberikan waktu pelaksanaan yang sangat singkat. Di sinilah pertimbangan mengenai signifikansi dan feasibilitas menjadi sangat penting.
  • 79. Merumuskan Metodologi       Metodologi adalah kerangka kerja teoretis yang akan dipakai dalam menjawab pertanyaan penelitian, disamping juga memuat langkahlangkah praktis mengenai teknik pengumpulan dan pengolahan data. Dalam merumuskan metodologi, seorang peneliti dituntut untuk merumuskan jenis peneitian yang ingin dilakukan: apakah penelitian kepustakaan, atau lapangan; bila berkenaan dengan hal yang kedua, maka timbul pertanyaan tambahan apakah bersifat kualitatif atau kuantitatif. Selanjutnya, menentukan metode dan pendekatan yang dipakai dalam meneliti permasalahan. Di sini, metode bersifat teknis: dengan cara apa data akan dikumpulkan, dan dengan pendekatan apa data itu kemudian diolah untuk mendapatkan hasil penelitian. Aspek metodologis lain yang cukup penting adalah merumuskan definisi tentang istilah dan konsep-konsep penting yang dipakai dalam penelitian. Metodologi juga merumuskan style penulisan yang akan digunakan dalam pembahasan.
  • 80.  Elemen-elemen penting lain dalam penyusunan disain penelitian:  Membuat Daftar Pustaka Sementara      Menuliskan buku dan sumber-sumber literatur apa saja yang kiranya bisa dipakai dalam melakukan penelitian. Membuat Jadwal Pelaksaan Penelitian, Merumuskan tujuan penelitian, Mencantumkan kajian pustaka, atau penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap persoalan tersebut, Dan membuat outline pembahasan.
  • 81. Evaluasi-evaluasi Ujian Tengah Semester (UTS)   Memilih Tema Penelitian Membuat Disain Penelitian       Disain penelitian terdiri dari maksimal 3 halaman, Berisi judul/tema penelitian, Latarbelakang persoalan yang menjadikan penelitian tersebut penting dilakukan, Pertanyaan penelitian/rumusan permasalahan, Metodologi penelitian, Daftar pustaka sementara. Untuk daftar pustaka sementara yang lebih banyak diizinkan untuk melebihi ketentuan 3 halaman maksimal. UAS ...
  • 82. Ujian Akhir Semester (UAS)    Melakukan sebuah penelitian mini, Dan Menuliskannya sebagai sebuah laporan hasil penelitian. Bentuk evaluasi akhir ini dilaksanakan dalam jangka waktu total 7 minggu terhitung mulai hari pertama dilaksanakannya penelitian sampai hari terakhir penyerahan laporan hasil penelitian yang berbarengan dengan jadwal UAS resmi yang ditetapkan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
  • 83. Pertemuan Ke-11, 12, 13, 14 Melakukan Penelitian Mini dan Menulis Laporan Hasil Penelitian     Penelitian didasarkan pada disain penelitian yang sudah diserahkan sebelumnya sebagai tugas UTS, Pelaksanaan penelitian disediakan waktu selama 4 minggu + 3 minggu penulisan laporan hasil penelitiannya. Dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut, mahasiswa diharapkan sudah mampu mengumpulkan data dan mengolahnya menjadi sebuah laporan hasil penelitian dengan format ketikan (bukan tulis tangan) setebal 3000 kata atau setara dengan 15 halaman kwarto spasi ganda (jika ditulis menggunakan mesin ketik manual). Laporan hasil penelitian ini akan diserahkan pada saat ujian semester yang biasanya ditentukan selambat-lambatnya 3 minggu setelah pertemuan kuliah terakhir (pertemuan keempatbelas), dengan salah satu dari dua cara dibawah ini:  Bagi yang ingin menyerahkan dalam bentuk softcopy, maka bisa mengirimkannya dalam bentuk attachment file doc/rtf, bukan docx melalui email: ma_syarifuddin@yahoo.com   Bagi yang menginginkan penyerahan dalam bentuk print out atau hardcopy, bisa menyerahkannya kepada dosen langsung atau melalui loker no. 17 dan 47 di ruang dosen FU lt. 2 Keterlambatan penyerahan laporan ini berakibat pada keterlambatan keluarnya nilai matakuliah ini bagi mahasiswa yang bersangkutan. Sehingga diharapkan bagi semua pihak untuk berusaha menyerahkannya tepat waktu.
  • 84. Hanya hasil penelitian original yang akan membekas sebagai cahaya pengetahuan seberapapun kecilnya

Editor's Notes

  1. Ragam klasifikasi uum a Ragam klasifikasi ulum al-Qur’an menurut Jamaluddin al-Bulqini (sumber al-Qur’an)
  2. [1] Rudolf Bultmann (w. 1976) adalah seorang teolog Lutheran berkebangsaan Jerman. Selama 3 dekade ia menjadi pengajar kitab Injil di Universitas Marburg. Karyanya yang berjudul History of the Sinoptic Tradition (1921) masih sangat dihargai sebagai alat utama dalam meneliti Injil. Metode kritisisme bentuk atau form crticism diterapkannya dalam meneliti Injil Yohannes pada tahun 1941, ketika ia menemukan keberadaan Signs Gospel yang hilang di mana Yohannes menjadi satu-satunya penyusun Injil yang bergantung pada sumber itu.