Makalah ini membahas tentang persaingan usaha di Indonesia, mencakup kondisi struktur persaingan usaha, kebijakan pemerintah tentang persaingan dan investasi, persaingan usaha di era otonomi daerah, serta hukum persaingan usaha dalam sistem hukum nasional."
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
PERSAINGAN USAHA
1. PERSAINGAN USAHA
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Perekonomian di Indonesia”
Dosen Pengampu : Bakhrul huda, M.E.I
Disusun Oleh:
Putri Rahma Aulia (G94219178)
Yulia Dwi Rahmawati (G94219197)
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
karunia dan rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah mata kuliah perekonomian di
Indonesia mengenai “Persaingan Usaha” dengan baik dan dapat selesai seperti waktu yang
telah kami rencanakan, walaupun masih banyak kekurangan di dalamnya. Tak lupa pula kita
kirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah memperjuangkan
agama islam yang mulia ini beserta keluarga dan para sahabatnya. Serta kami juga berterima
kasih kepada bapak Bakhrul Huda,M.E.I selaku dosen mata kuliah Perekonomian di
Indonesia yang sudah memberikan kepercayaan menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini akan bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan kita mengenai perekonomian di Indonesia khususnya dalam
persaingan usaha. Kami pun menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan makalah yang sudah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini bisa dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang sudah disusun ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri maupun orang
lain yang membacanya. Kami mohon maaf jika terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi perbaikan
makalah yang lain di saat yang akan datang.
Surabaya, 10 Februari 2020
Penulis,
3. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii
BAB I................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan................................................................................................. 2
PEMBAHASAN.................................................................................................................. 3
A. Pasar dan Kondisi Struktur Persaingan Usaha ...................................................... 3
B. Kebijakan Pemerintah Tentang Persaingan dan Investasi..................................... 4
1. Kebijakan Pemerintah Tentang Persaingan.............................................................. 4
2. Kebijakan Pemerintah Tentang Investasi................................................................. 5
C. Persaingan Usaha di Era Otonomi .......................................................................... 9
D. Hukum Persaingan Usaha dalam Sistem Hukum Nasional dan Titik Lemah UU
No 5 Tahun 1999............................................................................................................ 12
BAB III .............................................................................................................................. 17
PENUTUP ......................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan............................................................................................................. 17
B. Saran....................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 18
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ruang lingkup usaha sangat berhubungan erat dengan persaingan, persaingan usaha
mewujudkan efisiensi yang tinggi, dimana efisiensi berkaitan dengan kombinasi paling
efektif dari faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, modal dasar dan modal nyata pada
saat-saat tertentu. 1
Persaingan merupakan hal yang dinamis dalam perkembangan dunia
usaha, karena para pelaku usaha berlomba-lomba menghasilkan produk yang lebih baik dari
pesaing-pesaing yang lain.
Dampak positif juga muncul dari persaingan itu sendiri, sebab persaingan ini
mendorong para pelaku usaha untuk melakukan inovasi terhadap Produk barang dan jasa
yang akan dihasilkan, dan bagi masyarakat atau konsumen dari persaingan antar pelaku
usaha akan mendapatkan keuntungan antara lain berupa mendapatkan lebih banyak pilihan
barang dengan kualitas serta mutu yang tejamin dan harga barang yang wajar.
Selain dampak positif, persaingan juga dapat menimbulkan dampak negatif, seperti
diperlukannya biaya-biaya yang lebih dan kesulitan-kesulitan tertentu yang tidak ada dalam
sistem monopoli, persaingan menimbulkan lebih banyak pengorbanan dengan keuntungan
yang lebih rendah dibanding dengan monopoli, maka dari itu banyak pelaku usaha yang ingin
meniadakan adanya persaingan karena dengan menghilangkan persaingan memungkinkan
pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar. Dar dampak negative
tersebuat muncul suatu pemikiran dimana para pengusaha menginginkan adanya persaingan
usaha yang bersifat anti persaingan.
Sehingga pada tahun 1999 Indonesia mengeluarkan Undang-Undang no 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 2
Namun masih
terdapat pula hambatan dan kritikan baik dari kalangan akademisi, praktisi maupun
komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha sendiri akan adanya kelemahan-kelemahan
UU No. 5 Tahun 1999 atau Hukum Persaingan Usaha dan peraturan pelaksanaannya tersebut.
1
Knud Hansen, et al, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
(Jakarta: Katalis, 2002), hal 7
2
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002)
Hal. 4.
5. 2
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi struktur persaingan usaha?
2. Apa kebijakan pemerintah tentang persaingan dan investasi?
3. Bagaimana persaingan usaha di era otonomi daerah?
4. Bagaimana hukum persaingan usaha dalam sistem hukum nasional?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui kondisi struktur persaingan usaha.
2. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah tentang persaingan dan investasi.
3. Untuk memahami persaingan usaha di era otonomi daerah.
4. Untuk mengetahui hukum persaingan usaha dalam sistem hukum nasional.
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pasar dan Kondisi Struktur Persaingan Usaha
Pasar adalah tempat pertemuan individu yang meminta faktor maupun barang dan jasa
serta individu yang menawarkan faktor maupun barang dan jasa.3
Pasar sebagai tempat
terjadinya suatu interaksi antar dua maupun lebih individu yang mempunyai kepentingan
berbeda pasti memiliki peranan masing-masing. Pihak yang menawarkan barang atau
jasa berperan dalam usaha memenuhi keinginan dari pihak yang meminta barang dan
jasa. Karena banyaknya permintaan, maka para individu yang menawarkan barang atau
jasa pun beragam. Disamping dari beragamnya barang yang ditawarkan, para individu
yang meminta barang juga mempunyai ketentuan tersendiri agar mendapatkan rasa
kepuasan dan manfaatnya. Tidak jarang para individu meminta sebuah barang yang
memiliki harga terjangkau, berkualitas baik, dapat digunakan dalam jangka panjang, bisa
dilihat dari segi estetika, dan masih banyak lagi. Faktor-faktor tersebutlah yang membuat
para individu penawar barang atau jasa bersikeras untuk dapat menarik pelanggan dan
terciptalah persaingan antara individu penawar yang satu dengan yang lainnya atau
persaingan dalam usaha.
Kondisi persaingan usaha juga berkaitan erat dengan kebebasan manusia untuk
mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha. Dalam kondisi persaingan, pada
dasarnya setiap orang akan punya kesempatan yang sama untuk berusaha dan dengan
demikian hak setiap manusia untuk mengembangkan diri (the right to self-development)
menjadi terjamin. Dengan adanya kebebasan manusia untuk mendapat kesempatan yang
sama dalam berusaha juga dapat lebih meningkatkat etos kerja dalam mencapai target
yang sudah disusun sebelumnya.
3
Sukanto Reksohadiprodjo, Ekonomika Publik. (Yogyakarta: 2001). Hlm. 27.
7. 4
B. Kebijakan Pemerintah Tentang Persaingan dan Investasi
Persaingan usaha dan investasi di berbagai penelitian menunjukkan korelasi yang
cukup positif. Persaingan usaha yang meliputi dua aspek, yakni kebijakan dan hukum
persaingan, akan mengurangi hambatan keluar dan masuk bagi perusahaan baru dan
mencegah praktek anti persaingan, sehingga berakibat pada peningkatan tingkat
persaingan bisnis di pasar dan mengarah kepada meningkatnya jumlah investasi.
1. Kebijakan Pemerintah Tentang Persaingan
Kebijakan Persaingan bertujuan untuk meminimumkan inefesiensi perekonomian
yang diciptakan oleh tingkah laku perusahaan-perusahaan yang bersifat anti-
persaingan. Kebijakan persaingan tidak hanya terdiri dari undang-undang larangan
praktek monopoli tetapi juga termasuk deregulasi dan liberalisasi ekonomi. Undang-
undang larangan praktek monopoli bertujuan untuk mengatur perilaku-perilaku
perusahaan yang besifat antipersaingan. Di sinilah pada dasarnya ruang lingkup
peran KPPU, mengawasi pelaksanaan Undang-Undang tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kebijakan persaingan terdiri dari Undang-Undang Antimonopoli dan persaingan
sehat, deregulasi dan liberalisasi ekonomi. Deregulasi dan liberalisasi menciptakan
agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan intervensi pemerintah yang minimal.
Liberalisasi atau deregulasi perdagangan dan investasi menjadi sangat penting dalam
upaya menciptakan agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik. Liberalisasi
perdagangan memungkinkan agar pasar output suatu industri terbuka dan kompetisi
memungkinkan harga mencapai tingkat yang efisien serta alokasi sumber daya
menjadi maksimal.
Kebijakan Pemerintah dibuat untuk mempermudah proses perdagangan barang
maupun jasa dalam era MEA, namun kebijakan ini juga dapat mengurangi hambatan -
hambatan yang menjadi kendala bagi pemerintah dan pelaku usaha Indonesia maupun
pelaku usaha asing dalam liberalisasi perdagangan yang berlangsung saat ini.4
4
Farida Nur Hidayah and Kholis Roisah, ‘Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap
Persaingan Perdagangan Jasa Di Bidang Konstruksi Dalam Rangka Masyarakat Ekonomi Asean’, Law Reform,
13.1 (2017), 45 <https://doi.org/10.14710/lr.v13i1.15950>.
8. 5
2. Kebijakan Pemerintah Tentang Investasi
Indonesia merupakan negara yang dapat menarik para investor karena memiliki 5
aspek utama yang menguntungkan bagi investor, yaitu: (1) letak geografis Indonesia
yang strategis; (2) sumber daya alam yang melimpah; (3) sumber daya manusia yang
besar; (4) potensi pasar domestik yang besar; (5) stabilitas politik dan keamanan; dan
(6) stabilitas makro yang berkesinambungan.
a. Kebijakan investasi atau biasa disebut dengan penanaman modal terdapat dalam
UU No 25 Tahun 2007.
Dalam pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa Penanaman modal adalah segala
bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri
maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia.
Penanaman modal dalam negeri adalah penanaman modal yang ditujukan
untuk melakukan usaha yang berada di dalam negeri dan dilakukan oleh
penanam atau investor lokal. Sedangkan penanaman modal luar negeri
maksudnya adalah penanaman modal yang ditujukan untuk melakukan
usaha yang berada di dalam negeri dan dilakukan oleh penanam atau
investor asing baik penanaman modal ini dilakukan sepenuhnya oleh orang
asing atau secara patungan.
Undang-undang ini mengatur secara komprehensif berbagai hal mengenai
kegiatan penanaman modal langsung di Indonesia untuk menetapkan iklim
investasi yang kondusif tetapi tetap mengedepankan kepentingan nasional.
Dasar pemikiran UU PM ini adalah bahwa investasi merupakan instrumen
penting pembangunan nasional dan diharapkan dapat menciptakan
kepastian berusaha bagi penanam modal dalam dan luar negeri untuk
meningkatkan komitmennya berinvestasi di Indonesia.
Beberapa pasal yang ada dalam UU Penanaman Modal, terdapat beberapa
hal yang tidak konsisten, dimana terjadi pertentangan substansi bahkan
maksud dan tujuan dari nilai filosofis Undang-undang tersebut. Di dalam
UU Penanaman Modal ini juga banyak memuat bidang yang sebenarnya
telah memiliki aturan perundangan sendiri, seperti misalnya UUPA, UU
Pasar Modal, UU PT, dan lain sebagainya.
9. 6
b. Kebijakan Ekonomi I- IV
• Paket Kebijakan Jilid I Memiliki tiga fokus, pertama mendorong daya saing
industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan
kepastian usaha. Kedua, mempercepat proyek strategis nasional dengan
menghilangkan berbagai hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan
penyelesaian proyek strategis nasional, dan yang ketiga meningkatkan investasi di
sektor properti.
• Paket Kebijakan Jilid II Berupa deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk
mempermudah investasi, baik PMDN maupun PMA. Seperti kemudahan lahayan
investasi 3 jam, tax allowance dan tax holiday lebih cepat, pembebasan PPN untuk
alat transportasi, insentif fasilitas di kawasan pusat logistik berikat, insentif
pengurangan pajak bunga deposito, perampingan izin sektor kehutanan.
• Paket Kebijakan Jilid III Isinya melengkapi paket kebijakan I dan II. Namun
paket ini mencakup penurunan tarif listrik dan harga BBM serta gas. Kedua,
perluasan penerima KUR. Ketiga, penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan
penanaman modal.
• Paket Kebijakan Jilid IV Mengatur mengenai penetapan formulasi penetapan
UMP yang bertujuan untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan
meningkatkan kesejahteraan pekerja.
c. Kebijakan Ekonomi V- VIII
• Paket Kebijakan Jilid V Berisi mengenai revaluasi aset untuk perusahaan BUMN
serta individu. Selain itu juga menghilangkan pajak berganda untuk REIT. • Paket
Kebijakan Jilid VI Memuat soal insentif untuk kawasan ekonomi khusus (KEK),
pengelolaan sumber daya air dan penyederhanaan izin impor bahan baku obat dan
makanan oleh BPOM.
• Paket Kebijakan Jilid VII Mengatur soal kemudahan mendapatkan izin investasi,
keringanan pajak untuk pegawai industri padat karya, dan kemudahan
mendapatkan sertifikat tanah.
• Paket Kebijakan Jilid VIII Mencakup 3 paket, yang pertama one map policy,
kedua mempercepat pembangunan kilang minyak untuk meningkatkan produksi
kilang nasional, yang ketiga adalah pemberian insentif bagi jasa pemeliharaan
pesawat.
10. 7
d. Kebijakan Ekonomi IX- XII
• Paket Kebijakan Jilid IX Mengatur soal percepatan pembangunan infrastruktur
tenaga listrik, stabilisasi harga daging, dan peningkatan sektor logistik desa-kota.
• Paket Kebijakan Jilid X Terdapat 10 poin penting yang diharapkan mampu
memperbaiki peringkat kemudahan berbisnis Indonesia (EODB). Pertama
kemudahan dalam memulai usaha, kemudahan pendirian bangunan, ketiga
pendaftaran properti, keempat pembayaran pajak, kelima akses perkreditan,
keenam penegakan kontrak dengan mengatur penyelesaian gugatan sederhana,
ketujuh penyambungan listrik, kedelapan perdagangan lintas negara, kesembilan
penyelesaian permasalahan kepailitan, dan 10 perlindungan terhadap investor
minoritas.
• Paket Kebijakan Jilid XI Mengatur soal KUR yang diorientasikan ekspor dan
dana investasi real estate, prosedur waktu sandar dan inap barang di pelabuhan
(dwelling time) dan pengembangan industri farmasi serta alat kesehatan.
• Paket Kebijakan Jilid XII Mengatur soal mendorong pertumbuhan UKM dengan
memberikan kemudahan memulai usaha.
e. Kebijakan Ekonomi XIII – XVI
• Paket Kebijakan Jilid XIII Menitik beratkan pada mempercepat penyediaan
rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan harga yang terjangkau.
Caranya dengan menyederhanakan sekaligus mengurangi regulasi dan biaya
pengembangan untuk membangun rumah.
• Paket Kebijakan XIV Mengenai peta jalan (roadmap) mengenai perdagangan
berbasis elektronik (e-commerce). Roadmap ini diterbitkan guna mencapai tujuan
sebagai negara digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara di 2020. Ada delapan
aspek pengaturan mengenai roadmap e-commerce meliputi pendanaan,
perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan SDM, logistik, infrastruktur
komunikasi, kemanan siber dan pembentukan manajemen pelaksana.
• Paket Kebijakan XV Pemberian Kesempatan Meningkatkan Peran dan Skala
Usaha, dengan kebijakan yang memberikan peluang bisnis untuk angkutan dan
asuransi nasional dalam mengangkut barang ekspor impor, serta meningkatkan
usaha galangan kapal/pemeliharaan kapal di dalam negeri. Kemudahan Berusaha
dan Pengurangan Beban Biaya bagi Usaha Penyedia Jasa Logistik Nasional,
dengan kebijakan antara lain mengurangi biaya operasional jasa transportasi,
11. 8
menghilangkan persyaratan perizinan angkutan barang, meringankan biaya
investasi usaha kepelabuhanan, standarisasi dokumen arus barang dalam negeri,
mengembangkan pusat distribusi regional, kemudahan pengadaan kapal tertentu
dan mekanisme pengembalian biaya jaminan peti kemas.
• Paket Kebijakan Ekonomi XVI Ada tiga poin dalam paket terbaru ini, yakni
memperluas Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (tax holiday),
relaksasi daftar negatif investasi, dan memperkuat pengendalian devisa dengan
pemberian insentif perpajakan.
f. Daftar Negatif Investasi
Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan salah satu alat kebijakan
pemerintah yang berfungsi untuk mengatur investasi di Indonesia. Pada intinya,
DNI memuat bidang usaha (sektor bisnis) mana saja yang tertutup sepenuhnya
bagi investasi atau terbuka sebagian, yakni berinvestasi dengan persyaratan
tertentu. Bidang usaha (sektor bisnis) dan persyaratan dimaksud tercantum dalam
Peraturan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi yang direvisi secara berkala
sesuai kebutuhan dan kepentingan pembangunan nasional. Pendekatan yang
digunakan oleh pemerintah dalam menyusun DNI adalah negative approach,
dimana bidang usaha (sektor bisnis) yang dikecualikan dari daftar ini berarti
terbuka sepenuhnya bagi asing untuk berinvestasi. Pengaturan seperti ini lazim
dipergunakan oleh pemerintah di berbagai negara untuk mengatur investasinya.
Beberapa negara yang memiliki pengaturan serupa diantaranya: Executive
Order 184 on 10th
Foreign Investment Negative List (Philippina), List of
Businesses Prohibited for Foreign Investment (Saudi Arabian General Investment
Authority – SAGIA), Special Administrative Measures (Negative List) on Foreign
Investment Access in Shanghai Pilot Free Trade Zone (Shanghai Municipal
Government).
Pengalaman best practice dari beberapa negara menunjukan bahwa semakin
maju tingkat pembangunan ekonomi suatu negara maka semakin terbuka terhadap
investasi asing. Dengan demikian, daftar bidang usaha yang masuk dalam negative
list bagi investasi asing otomatis juga akan semakin pendek, atau semakin mudah
persyaratannya. Pengaturan terhadap investasi asing di negara-negara seperti ini
relatif hampir sama dengan pengaturan terhadap investasi domestiknya. Beberapa
12. 9
negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang bahkan tidak lagi
menerapkan aturan seperti DNI.
Pemerintah akan berupaya maksimal untuk membuka peluang investasi
seluas- luasnya, terutama bagi investasi asing khususnya di bidang-bidang usaha
penting namun belum mampu dikuasai oleh bangsa Indonesia, sehingga akan
memberikan kontribusi berupa perbaikan level kemampuan teknologi (technology
upgrading) melalui transfer teknologi (spillover), perbaikan keahliandan
pengetahuan (improved skill and knowledge) tenaga kerja maupun memperluas
jaringan usaha (business network expansion), menciptakan lapangan pekerjaan
baru, berpotensi menambah pendapatan negara. Pada prakteknya manfaat tsb
belum terjadi secara optimal di lapangan. Oleh karena itu, aturan dan regulasi
pendukung yang berkaitandengan hal-hal tersebut perlu dibuat dan dilaksanakan
secara tegas dan konsisten.
Proses penyusunan DNI harus sejalan dan konsisten dengan tujuan
pembangunan ekonomi nasional dan kepentingan publik antara lain:
pengembangan UMKM dan Koperasi, pemerataan pembangunan, perlindungan
sosial dan kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, bidang usaha
strategis bagi NKRI dlsb.
Dalam rangka mengakomodasi tujuan dan kepentingan dimaksud, daftar bidang
usaha dalam DNI diatur melalui dua cara, yaitu:
(a) bidang usaha yang tertutup penuh untuk investasi (baik domestik maupun
asing), dan
(b) bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.
Adapun persyaratannya mencakup: dicadangkan untuk UMKM dan Koperasi,
besaran kepemilikan modal asing, melalui kemitraan, memerlukan izin khusus,
harus berdiri dilokasi tertentu.
C. Persaingan Usaha di Era Otonomi
Daya saing Negara merupakan cerminan dari daya saing di tingkat daerah. Suatu
daerah akan memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menyikapi dampak dari
fenomena globalisasi. Hal tersebut akan mempengaruhi posisi tawar masing-masing
daerah dalam kompetisi yang semakin ketat. Ini menunjukkan betapa pentingnya
kemampuan daerah dalam meningkatkan daya saingnya sebagai penentu keberhasilan
13. 10
pembangunan di daerah tersebut. 5
Pelaksanaan otonomi daerah yang sudah mulai
berjalan pada tahun 2000, terdapat kekhawatiran ketika terbitnya berbagai peraturan
daerah baru yang bersifat antipersaing. 6
Dalam kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang
No.22/1998 yang sudah mulai diberlakukan secara efektif sejak 1 Januari 2001,
muncul kekhawatiran membanjirnya berbagai peraturan daerah baru yang bersifat
antipersaingan. Bahkan pada masa Orde Baru jauh sebelum pelaksanaan otonomi
daerah, telah ada berbagai kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang bersifat
antipersaingan. Kebijakan tersebut dapat berupa tariff barriers seperti pungutan pajak
ataupun retribusi; dan non-tariff barriers dalam bentuk tata niaga perdagangan.
Misalnya: pemberian hak monopoli atau monopsoni, penetapan harga dasar atau
maksimal, kuota ekspor barang dari suatu daerah, regional allocation
market (rayonisasi), atau monopoli oleh BUMN/D.7
Sumber-sumber perilaku antipersaingan di daerah dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu karena sebab-sebab alamiah dan karena sebab-sebab yang diciptakan
(government intervention). Sebab alamiah ialah munculnya monopolist spatial karena
telah melauli persaingan, sehingga muncul produsen dominan atau karena secara
alamiah pasar hanya memerlukan satu produsen untuk memasok secara efisien.
Namun hipotesis pada monopolist spatial ini belum dapat dibuktikan akan terjadinya
perilaku antipersaingan, karena belum adanya penelitian yang mendalami tentang ini.
Sementara sebab-sebab yang diciptakan akibat government intervention
merupakan sebab-sebab yang penting dan telah muncul ke permukaan. Banyak
peraturan- peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah yang bersifat
distortif. Namun demikian, government intervention tersebut harus dibedakan apakah
menciptakan iklim mekanisme pasar yang tidak berjalan atau menciptakan perilaku
antipersaingan. Jika government intervention menciptakan iklim mekanisme pasar
tidak berjalan, maka perlu dilakukan deregukasi atau liberalisasi perdagangan
sehingga mekanisme pasar dapat berjalan. Misalnya: pengenaan pajak atau retribusi,
kuota perdagangn atau peraturan pola tanam. Jika suatu kebijakan menciptakan
5
Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Indonesia,2009, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN), Hal 402
6
Faisal Basri, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga. Hal 337
7
Gary Goodpaster dan David Ray, “Trade and Citizenship Barries and Decentralization”, Indonesian Quarterly
2000. No.3 (dikutip dalam buku Perekonomia Indonesia, Faisal Basri)
14. 11
perilaku antipersaing, maka ini adalah tugas KPPU untuk menyelesaikannya.
Contohnya seperti pemberian hak monopoli atau monoposoni pada suatu perusahaan.
Dua tindakan yang bisa dilakukan KPPU adalah membatalkan peraturan tersebut
karena bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999 dan menghukum perusahaan yang
melakukan tindakan antipersaingan seperti yang tercantum dalam undang-undang. 8
8
Faisal Basri, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga. Hal 339
15. 12
D. Hukum Persaingan Usaha dalam Sistem Hukum Nasional dan Titik Lemah UU
No 5 Tahun 1999
Dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia, hukum persaingan usaha
(competitiion law) merupakan pengembangan dari hukum ekonomi (economic law)
yang memiliki karakteristik tersendiri. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu
karakteristik dari hukum ekonomi bersifat fungsional dengan meniadakan pembedaan
antara hukum publik dan hukum privat yang selama ini dikenal.9
Sri Redjeki Hartono,
seorang Guru Besar di FH Universitas Diponegoro, juga mengemukakan bahwa
hukum ekonomi memiliki dua aspek, yaitu aspek hukum publik dan aspek hukum
perdata. Sebelumnya C.F.G. mengutip dari pendapat Sunaryati Hartono, dalam buku
Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, juga mengemukakan bahwa hukum
ekonomi itu juga bersifat interdisipliner dan transnasional. Pendapat lainnya dari
Agus Brotosusilo, beliau menyatakan bahwa pembidangan hukum dalam bidang
publik dan perdata seperti sekarang tidak dapat dipertahankan lagi, karena
dalamkenyataannya kini hampir tidak ada bidang kehidupan yang terlepas dari
campur tangan negara. 10
Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, maka hukum persaingan usaha
sebagai bagian dari hukum ekonomi yang di dalamnya memuat aspek hukum privat
dan hukum publik, sehingga eksistensi hukum persaingan usaha besifat fungsional
yang tidak hanya beraspek perdata/privat saja, namun sekaligus beraspek publik juga.
Dewasa ini pengaturan hukum persaingan usaha dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, yang disahkan pada tanggal 5 Maret 1999 oleh Presiden B.J.
Habibie diawal reformasi. Pengesahannya tidak terlepas dari pelaksanaan amanat
pada Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 dan Ketetapan MPR Nomor
XVI/MPR/1998. Ketetapan-ketetapan MPR tersebut mengamanatkan perlunya
mewujudkan perekonomian yang lebih efisien dan kompetitif dengan cara
menghilangkan berbagai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
dapat menghambat kegiatan usaha pelaku usaha pesaing dalam pasar yang
bersangkutan.11
9
Rahmaadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 1.
10
Ibid, hlm. 4.
11
Ibid, hlm. 7
16. 13
Secara umum, materi hukum persaingan usaha yang besumber dari Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat mengandung 6 bagian pengaturan yang terdiri dari:
1. perjanjian yang dilarang;
2. kegiatan yang dilarang;
3. posisi dominan;
4. komisi pengawas persaingan usaha;
5. penegakan hukum;
6. ketentuan lain lain.
Di dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah terlepas dari suatu masalah yang juga
merupakan masalah bagi negara itu sendiri. Seperti Indonesia yang masih banyak memiliki
masalah di masyarakatnya maupun pemerintah. Sebagai contoh masalah persaingan usaha di
Indonesia. Masih saja ada pihak-pihak tertentu yang melakukan monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat. Mengutip dari Zainal Asikin dalam buku Hukum Acara Persaingan Usaha
di Indonesia, beberapa fakta yang menunjukkan pemerintah dominan menciptakan monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu sebagai berikut.
1. Penunjukkan usaha swasta sebagai produsen dan importer tunggal tepung terigu
(Bogasari ditunjuk oleh Bulog).
2. Izin dan dorongan berkembangnya asosiasi produsen yang berfungsi sebagai
kartel/mengatur harga (sebagai contoh: Organda, Apkindo, Asosiasi Produsen Semen,
dan sebagainya).
3. Sengaja membiarkan satu perusahaan menguasai pangsa pasar mie instan 50% lebih
(Indofood).
4. Entry Barier bagi pengusaha atau pemain baru pada industri tertentu (kebijakan Mobil
Nasional).
5. Proteksi pada industri hulu produksi barang tertentu dengan menaikkan bea masuk
terhadap barang yang sama yang diimpor dari luar negeri (PT Candra Asri: Bahan
Kimia).12
Dengan adanya dan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas ekonomi nasional. Kemudian, untuk melindungi para pelaku
12
Ibid, hlm. 9.
17. 14
usaha di Indonesia. Tidak hanya itu, peraturan ini juga untuk melindungi para konsumen
(protect consumen), melindungi para pelaku usaha dari penguasa usaha atau monopoli usaha
yang dapat melakukan usaha dengan sewenang-wenang sesuka hati, untuk mengutamakan
kompetisi dalam usaha dengan baik tanpa adanya praktek kegiatan ekonomi yang tidak sehat,
meningkatkan keefektivan dan efisiensi dalam kegiatan usaha di masyarakat dan yang paling
penting adalah semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Namun dengan demikian, terdapat pula hambatan dan kritikan baik dari kalangan
akademisi, praktisi maupun komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha sendiri akan
adanya kelemahan-kelemahan UU No. 5 Tahun 1999 atau Hukum Persaingan Usaha dan
peraturan pelaksananya tersebut.
Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya mengenai subjek Hukum Persaingan
Usaha Indonesia yang hanya berlaku untuk para pelaku usaha di dalam negeri dan tidak
berlaku untuk pelaku usaha luar negeri yang kemungkinan besar dapat berpengaruh bagi
pelaku usaha dalam negeri dan juga perekonomian dalam negeri yaitu Indonesia.
Permasalahan kedua adalah ketentuan mengenai pemberitahuan merger belum sesuai
dengan prinsip-prinsip Hukum Persaingan Usaha yang baik. Merger ialah istilah peleburan,
penggabungan, dan pengambilalihan dalam Hukum Persaingan Usaha.
Terdapat 3 macam merger, diantaranya sebagai berikut.
1. Merger horizontal yaitu merger antara dua perusahaan bergerak dalam bidang yang
sama atau merger antara perusahaan-perusahaan yang bersaing.
2. Merger vertikal yaitu merger antara perusahaan yang terlibat dalam tahapan
operasional produksi yang berbeda yang saling terkait satu sama lainnya, mulai dari
hulu hingga ke hilir. Merger vertikal ini kemudian dapat terjadi dalam 2 (dua) jenis
yaitu secara upstream dan downstream.
3. Konglomerat Merger yaitu merger antara perusahaan yang tidak memiliki lini usaha
yang sama atau merger perusahaan-perusahaan yang tidak bersaing dan tidak
memiliki hubungan penjual-pembeli.13
. Merger juga dilakukan untuk mencapai tujuan ekonomis perusahaan yang bersangkutan
(profit maximization). Namun Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 tahun 1999 menyatakan bahwa:
Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana
13
Kurnia Toha, Urgensi Amandemen Uu Tentang Persaingan Usaha Di Indonesia: Problem Dan Tantangan,
Jurnal Hukum & Pembangunan 49, No. 1, 2019.
18. 15
dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi
jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut. Dari
ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 dapat kita ketahui bahwa hukum
persaingan usaha Indonesia menganut post merger notification atau pemberitahuan adanya
merger setelah merger dilakukan. 14
Di negara maju seperti Amerika, Kanada, Jepang, dan
Korea Selatan menganut pra merger notification, pelaku usaha wajib melakukan notifikasi
merger kepada komisi mereka sebelum melakukan merger. Hal ini dinilai lebih efektif
dibandingkan post merger notification yang dianut oleh Indonesia.
Ketiga adalah mengenai hukum acara dalam perkara persaingan usaha. Hukum acara
yang berlaku dalam perkara persaingan usaha UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur hukum
acara. Namun, sayangnya hukum acara yang terdapat di dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak
jelas dan tidak lengkap. Dari pengalaman selama 16 tahun penegakan hukum persaingan
usaha di Indonesia, dirasakan terdapat hal yang tidak tepat mengenai hukum acara yang
berlaku sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1999, diantaranya:
a. KPPU sangat sulit untuk mendapatkan bukti sebagaimana diamanatkan dalam
pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 karena tidak adanya kewenangan KPPU untuk
melakukan pemeriksaan terhadap tempat terkait dan menyimpan dokumen terkait
dengan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999;
b. Tidak dikenalnya bukti tidak langsung dalam hukum acara di Indonesia;
c. Pembayaran denda didasarkan pada kesukarelaan pelaku usaha dan tidak adanya
kewenangan untuk menyita harta pelaku usaha sebagai ganti dari denda; dan
d. Tidak jelasnya penerapan prinsip the rule of reason dalam putusan perkara
persaingan usaha. 15
Mengingat tidak terdapat kejelasan mengenai kapan akan
diterapkan pendekatan rule of reason atau per se illegal karena tidak semua
perilaku yang bersilat membatasi (restrictive conduct) secara inheren bersifat anti
persaingan, maka guna mengatasi hal ini, pengadilan memiliki kewenangan untuk
menggunakan pendekatan yang satu daripada yang lain berdasarkan pertimbangan
kasus demi kasus.16
14
Ibid, hlm.78.
15
Ibid, hlm. 84.
16
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: Dalam Teori dan Praktik serta Penerapan
Hukumnya, (Jakarta :PrenadaMedia, 2014), hlm. 722.
19. 16
Keempat, adalah mengenai kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam sistem
hukum Indonesia.Sebagai sebuah lembaga 'pengawas undang-undang' maka KPPU memiliki
keterbatasan mulai dari pembuktian, pemanggilan pada pihak, eksekusi putusan, penjatuhan
sanksi, dan lain-lain. KPPU tidaklah memiliki daya paksa sebagaimana lembaga peradilan,
polisi, dan jaksa, namun UU No. 5 Tahun 1999 telah memberikan kewenangan yang begitu
banyak pada lembaga ini.17
Pada saat ini keberadaan KPPU masih terdapat beberapa permasalahan, yakni
ketidakjelasannya status pegawai KPPU, tiada jenjang karir yang pasti bagi para pegawai
KPPU, dan beban kerja yang semakin tinggi. Permasalahan-permasalahan tersebut kemudian
membawa beberapa implikasi yang sudah dan mungkin akan muncul, diantaranya:
ketidakjelasan status dan level Sekretariat KPPU sangat mempengaruhi status pegawai KPPU
yang melaksanakan upaya penegakan hukum. Sampai saat ini status pegawai Sekretariat
bukan PNS. Kondisi ini sangat tidak tepat mengingat pegawai ini yang melakukan
penyelidikan dan memeriksa suatu laporan terhadap pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999. Di
KPPU hampir seluruh pegawai yang menjabat struktural adalah pegawai yang berstatus
honorer di APBN. Status pegawai honorer ini tentu saja dapat menimbulkan keresahan dan
sangat berpengaruh terhadap kinerja.
17
Rai Mantili, dkk., Problrmatika Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Rangka Menciptakan
Kepastian Hukum, PJIH Volume 3 Nomor 1 Tahun 2016, hlm. 119.
20. 17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kondisi persaingan usaha berkaitan erat dengan kebebasan manusia untuk
mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha. Dalam kondisi persaingan, pada
dasarnya setiap orang akan punya kesempatan yang sama untuk berusaha dan dengan
demikian hak setiap manusia untuk mengembangkan diri (the right to self-development)
menjadi terjamin. Pemerintah membuat kebijakan persaingan yang terdiri dari UU
Antimonopoli dan Persaingan Sehat, deregulasi dan liberasi ekonomi. Persaingan usaha
yang terjadi di era otonomi daerah bersifat anti persaingan .
Selain itu, terdapat Pengaturan hukum persaingan usaha yang dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang disahkan pada tanggal 5 Maret 1999 oleh Presiden
B.J. Habibie diawal reformasi. Pengesahannya tidak terlepas dari pelaksanaan amanat
pada Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 dan Ketetapan MPR Nomor
XVI/MPR/1998. Namun dari pengalaman selama 16 tahun penegakan hukum persaingan
usaha di Indonesia, dirasakan terdapat hal yang tidak tepat mengenai hukum acara yang
berlaku dalam UU No. 5 Tahun 1999.
B. Saran
Pada saat pembuatan makalah, penulis menyadari bahwa banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Dengan sebuah pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan dari
banyaknya sumber, penulis akan memperbaiki makalah tersebut. Oleh sebab itu penulis
harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
21. 18
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal. 2018. Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga.
Gary Goodpaster dan David Ray, “Trade and Citizenship Barries and Decentralization”,
Indonesian Quarterly 2000. No.3 (dikutip dalam buku Perekonomia Indonesia, Faisal
Basri)
Hansen, Knud et al,. 2002. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Katalis
Kuncoro , Mudrajad. 2009. Ekonomika Indonesia . Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Nugroho, Susanti Adi. 2014. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: Dalam Teori dan
Praktik serta Penerapan Hukumnya. Jakarta :PrenadaMedia
Reksohadiprodjo, Sukanto .2001. Ekonomika Publik. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Siswanto , Arie. 2002. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
Usman, Rahmaadi. 2013. Hukum Acara Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika
JURNAL
Hidayah, Farida Nur, and Kholis Roisah, „Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Indonesia
Terhadap Persaingan Perdagangan Jasa Di Bidang Konstruksi Dalam Rangka
Masyarakat Ekonomi Asean‟, Law Reform, 13.1 (2017), 45
<https://doi.org/10.14710/lr.v13i1.15950>
Mantili, Rai dkk. Problrmatika Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam
Rangka Menciptakan Kepastian Hukum. PJIH Volume 3 Nomor 1 Tahun 2016
Toha, Kurnia. Urgensi Amandemen Uu Tentang Persaingan Usaha Di Indonesia: Problem
Dan Tantangan. Jurnal Hukum & Pembangunan 49. No. 1, 2019.