1. ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL
Disusun Oleh :
Sopyan 12010110120015
Alifia Palokoto 12010110120062
Dito Surya Wijaya 12010110120130
Gilang Prasidya Jati 12010110130184
Yesica Yulian Adicondro 12010111130160
Dosen Pengampu :
Erman Denny Arfianto, S.E., M.M.
Eisha Lataruva, SE.,MM
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2012/2013
2. Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan
kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan
secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan
mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan
bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu
kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya
kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan
dilaksanakan. Etika di dalam bisnis dunia internasional sudah tentu harus disepakati
oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait
lainnya. Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya masih
membekas dalam bahasa Indonesia, karena salah satu arti “dagang” adalah “orang
dari negeri asing”. Dengan saran transportasi dan komunikasi yang kita miliki
sekarang, bisnis internasional bertambah penting lagi. Berulang kali dapat kita kita
dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi: kegiatan ekonomi
mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar”
sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar
ekonomi. Gejala globalisasi ekonomi ini berakibat positif maupun negatif.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga
aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini
diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam
bab ini kita akan membahas beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan
bisnis pada taraf internasional. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai
suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat
dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas
bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak
lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan
orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai
dan lain-lain.
3. A. Norma-norma Moral yang umum pada taraf Internasional
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan
dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Kami
berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif
saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa
norma-norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi,
pertanyaan yang tidak mudah itu harus bernuansa. Masalah teoritis yang
serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis
internaasional. Apa yang harus kita lakukan ,jika norma di Negara lain
berbeda dengan norma yang dianut sendiri? Richard De George
membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan
mengenai pertanyaan di atas sebagai berikut :
a. Menyesuaikan Diri
Untuk menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini
menggunakan peribahasa**Kalau di Roma, bertindaklah sebagaimana
dilakukan orang roma** Artinya perusahaan harus mengikuti norma dan
aturan moral yang berlaku di negara itu, yang sama dengan peribahasa
orang Indonesia **Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung**.
Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan
norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai
tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya,
norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua
tempat tidak sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa
saja di tempat lain dianggap sangat tidak sopan.
b. Regorisme Moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat
disebut “rigorisme moral”, karena mau mempertahankan kemurnian etika
yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa
perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh
dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri
dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat
4. bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin
menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme
moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita.
Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat
tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun
para penganut rigorisme moral kurang memperhatikan bahwa situasi yang
berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
c. Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita
berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-
ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di
negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma
moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada
dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu.
Kasus : Bisnis dengan Afrika Selatan yang Rasistis
Setelah kita mempelajari dua pandangan tentang peranan etika dalam
bisnis internasional ini, perlu kita simpulkan bahwa tidak satu pun di
antaranya bisa dipertahankan. Dalam pandangan “menyesuaikan diri” dapat
kita hargai perhatian untuk peranan situasi. Situasi yang berbeda-beda
memang mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan, tetapi tidak sampai
menyingkirkan sifat umum dari norma-norma moral, seperti dipikirkan
pandangan pertama ini. Pandangan kedua, rigorisme moral, terlalu ekstrem
dalam menolak pengaruh situasi, sedangkan mereka benar dengan pendapat
bahwa kita tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah, biola kita
berangkat bebisnis ke luar negeri. Norma-norma moral mempunyai sifat
universal.
Dalam etika jarang prinsip-prinsip moral bias diterapkan dengan
mutlak, karena kondisi konkret sering kali sangat kompleks. Hal ini dapat
5. diilustrasikan pada bisnis internasional dengan Afrika Selatan yang
mempunyai sistem politik didasarkan pada diskriminasi ras (Apartheid)
bahkan sistem Apartheid ini didasarkan atas Undang-undang Afrika Selatan
sejak 1948. Kebijakan Apartheid Afrika Selatan menimbulkan kesulitan
moral untuk perusahaan asing yang mengadakan bisnis di Afrika Selatan
karena mereka wajib mengikuti sistem Apartheid. Dalam mencari jalan
keluar dari dilema ini banyak perusahaan Barat memegang pada The Sullivan
Principles yang dirumuskan dan dipraktekkan oleh Leon Sullivan. Prinsip-
prinsip Sullivan :
a. Leon Sullivan sebagai General Motors tidak akan menerapkan
undang-undang Apartheid.
b. Menghapus undang-undang Apartheid.
B. Masalah“Dumping” dalam Bisnis Internasional
Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional adalah
dumping produk, karena praktek kurang etis ini secara khusus berlangsung
dalam hubungan dengan negara lain. Yang dimaksudkan dengan dumping
adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain
dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah
biaya produksi. Dapat dimengerti bahwa yang merasa keberatan terhadap
praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan para produsen dari
produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Para konsumen
justru merasa beruntung – sekurang-kurangnya dalam jangka pendek –
karena dapat membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen
menderita kerugian, karena tidak sanggup menawarkan produk dengan harga
semurah itu.
C. Aspek etis dari Korporasi Multinasional
Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah
korporasi multinasional, yang juga disebut korporasi transnasional. Yang
dimaksudkan dengannya adalah perusahaan yang mempunyai investasi
langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi, perusahaan yang mempunyai
hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai
6. status korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang memilki
pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya
perusahaan-perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian
dimiliki oleh orang setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis
yang umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN
ini untuk pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an dan mengalami
perkembangan pesat. Contoh KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson,
General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony,Unilever yang memiliki
kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan manusia.
Di bawah ini akan dibahas usulan De George tentang norma-norma
etis yang terpenting bagi KMN.
a. Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja
mengakibatkan kerugian langsung.
Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain
selalu merupakan tindakan yang tidak etis. Norma pertama ini
mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila KMN dengan tahu
dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun tidak dengan
sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia wajib
memberi ganti rugi.
b. Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak
manfaat daripada kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi.
Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat
jelek,bisnis tidak tekecuali. Norma kedua menuntut secara
menyeluruh akibat- akibat baik melebihi akibat- akibat jelek. Norma
ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi memerintahkan
sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus
melebihi yang negatif.
7. c. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi
kontribusi kepada pembangunan negara dimana dia beroperasi.
KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara
berkmbang. KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih
keahlian.
d. Koorporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua
karyawannya.
KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di
negara berkembang.
e. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma
etis, korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan
lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menantangnya.
KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi,
jika ia tidak menghormati kebudayaan setempat.KMN harus
menyesuaikan diri dengan nilai- nilai budaya stempat dan
tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
f. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”
Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak
menurut tarif yang telah ditentukan dalam suatu negara. KMN
akan mendukung dibuatnya dan dilaksanakannnya peraturan
internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh
perusahaan- perusahaan internasional.
g. Koorporsi multinasional harus bekerja sama dengan
pemerintah setempat dalam mengembangkn dan menegakkan
“backgroud institutions” yang tepat
Yang dimaksud “background institutions” adalah
lembaga- lembaga yang mengatur serta memperkuat kegiatan
ekonomi dan industri suatu negara.
8. h. Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah perusahaan harus
memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan
perusahaan tersebut.
Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral
harus dipikul oleh pemilik mayoritas saham.
i. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang
berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan
dioperasikan dengan aman.
Yang membangun pabrik- pabrik berisiko tinggi harus
juga merundingka prosedur- prosedur keamanan bagi mereka
yang menjalankan pabrik tersebut. KMN bertanggung jawab
untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta
membina secara sebaik mungkin mereka yang akan
mengoperasikan pabrik itu.
j. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara
berkembang, korporasi multinasional wajib merancang kembali
sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan
aman dalam negara yang belum berpengalaman.
Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada
keamanan. Kalau mungkin, teknologi harus dirancang sesuai
dengan kebudayaan dan kondisi stempat, sehingga terjamin
keamanan optimal.Sepuluh norma tersebut bisa bermanfaat
untuk menciptakan suatu kerangka moral bagi kegiatan-
kegiatan KMN
D. Masalah Korupsi dalam taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf
internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi
dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional.
9. Skandal Suap Leockheed
Lockheed adalah produsen pesawat terbang Amerika Serikat yang
melakukan suap ke berbagai Negara dengan tujuan agar produknya dapat di
pasarkan, lalu terbulaka kasus ini dan dimuat diberbagai media massa yang
menimbulkan reaksi cukub hebat.
Lockheed merasa keberatan dengan Undang-undang anti suap di
Amerika. Terdapat dua keberatan yang sering ditemukan yaitu :
1. Undang-undang ini mempraktekkan semacam imprealisme etis.
2. Undang-undang ini merugikan bisnis Amerika, karena
melemahkan daya saingnya.
Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika?
Ada beberapa alasan mengapa mengetahui pemakaian uang suap
bertentangn dengan etika.
1. Bahwa praktek suap itu melanggar etika pasar. Denagan adanya
praktek suap,daya – daya pasar dilumpuhkan dan para pesaing
yang sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan.
2. Bahwa orang yang tidak berhak, mendapat imbalan juga.
3. Banyak kasus lain di mana uang suap diberikan dalam keadaan
kelangkaan. Pembagian barang langka dengan menempuh
praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh
orang yng tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang
berhak tidak kebagian.
4. Bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan
tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang
suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa
membukukkan uang suap itu seperti mestinya.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini
menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama
tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis
10. dalam bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa
masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
CONTOH KASUS ETIKA BISNIS INTERNASIONAL INDOMIE DI
TAIWAN
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan
tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam
mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk
melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi.
Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti
mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan
besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika
berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan
yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada
di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah
dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan
karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia
dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah
methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat
tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada
Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua
jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket
terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan
segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang
BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya
kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di
Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan
meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak
negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang
terkandung di dalam produk Indomie.
11. A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua
zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat
produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya
dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik
sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM
Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia
dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie
mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie
instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam
batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi
yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per
kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan
berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat
berisiko terkena penyakit kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia yang
merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah
mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan
kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota
Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk
dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda
maka timbulah kasus Indomie ini.