5, be & gg, cicilia eritawanti widjilestari, hapzi ali,marketing ethics, universitas mercu buana, 2019
1. Nama : Cicilia Eritawanti Widjilestari Jurusan Magister Manajemen
N I M : 55118110095 Fakultas Pasca Sarjana
Mata Kuliah : Business Etich and Good Governance Universitas Mercu Buana
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hapzi Ali, Ir, MM, CMA,
MPM
03 April 2019
EXECUTIVE SUMMARY
Marketing Ethics
Pemasaran produk yang dilakukan perusahaan tidak hanya memikirkan bagaimana
caranya agar produk perusahaan dapat habis terjual namun juga menciptakan,
menumbuhkan, dan menjaga pelanggan/konsumen. Oleh karena itu, dibutuhkan etika
bisnis dalam memasarkan produk untuk mencegah praktik-praktik pemasaran yang tidak
etis, yang ujungnya menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan mencelakakan
konsumen.
Etika bisnis adalah suatu pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan dan
pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal
(Muslich, 2004:9). Etika bisnis merupakan aturan tidak tertulis mengenai cara menjalankan
bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak tergantung pada kedudukan
individu atau-pun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan
standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam
kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan
hukum (Bertens, 2000).
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup
seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika
Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta
pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja,
pemegang saham, masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni
bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati
kaidahkaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
2. Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk
manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan
seharihari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.
Tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
Utilitarian Approach: setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena
itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi
manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan
dengan biaya serendah-rendahnya.
Individual Rights Approach: setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak
dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari
apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
Justice Approach: para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan
bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan
ataupun secara kelompok.
Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut
bidang tugas yang diembannya. dengan kata lain mengikat manajer, pimpinan unit kerja
dan kelembagaan perusahaan. semua anggotaorganisasi/perusahaan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi harus menjabarkandan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan
penuh tanggung jawab.dalam pandangan sempit perusahaan dianggap sudah dianggap
melaksanakanetika bisnis bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan
tanggung jawab sosialnya. dari berbagai pandangan etika bisnis, beberapa indikator yang
dapat dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang atau perusahaan telah
mengimplementasikan etika bisnis antara lain adalah :
a. Indikator Etika Bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah
melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa
merugikan masyarakat lain.
b. Indikator Etika Bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku.Berdasarkan indikator
ini seseorang pelaku bisnis dikatakan beretikadalam bisnisnya apabila masing-masing
pelaku bisnis mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
c. Indikator Etika Bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hukumseseorang atau
suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnisapabila seseorang pelaku
bisnis atau suatu perusahaan telah mematuhisegala norma hukum yang berlaku dalam
menjalankan kegiatan bisnisnya.
3. d. Indikator Etika Bisnis berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap beretika
bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepadanilai-nilai ajaran
agama yang dianutnya.
e. Indikator Etika Bisnis berdasarkan nilai budaya. setiap pelaku bisnis baik secara
individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnyadengan
mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang adadisekitar operasi suatu
perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
f. Indikator Etika Bisnis menurut masing-masing individu adalah apabilamasing-masing
pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankanintegritas pribadinya.
Aspek dan Sudut Pandang Etika Bisnis
Menurut Bertens (2000) terdapat tiga aspek dan sudut pandang pokok dari bisnis, yaitu:
a. Sudut pandang ekonomi, bisnis adalah kegiatan ekonomis, maksudnya adalah adanya
interaksi produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan produsen dalam
sebuah organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung
oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak
bersifat sepihak, tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak.
b. Sudut pandang etika, dalam bisnis berorientasi pada profit adalah sangat wajar, akan
tetapi jangan keuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain.
Maksudnya adalah, semua yang kita lakukan harus menghormati kepentingan dan hak
orang lain.
c. Sudut pandang hukum, bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan
Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum
modern. Dalam praktik hukum banyak masalah timbul dalam hubungan bisnis pada
taraf nasional maupun internasional. Seperti etika, hukum juga merupakan sudut
pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan.
Prinsip-prinsip Etika Bisnis
Etika pemasaran adalah standar etika yang berkaitan dengan pemasaran. Ketentuan
dari etika marketing Menurut Dalimunthe (2004) hal -hal yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut:
a. Pengendalian Diri Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka
masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk
apapun. b. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) Pelaku
bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam
bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
4. b. Mempertahankan Jati Diri Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk
terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah
satu usaha menciptakan etika bisnis.
c. Menciptakan Persaingan yang Sehat Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang
lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan
golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar
mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu
dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam
dunia bisnis tersebut.
d. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan” Dunia bisnis seharusnya tidak
memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan
bagaimana dengan keadaan dimasa datang.
e. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi) Jika
pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi
lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan
curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa
dan Negara.
f. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang
tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa
dipenuhi, jangan menggunakan “katabelece” dari “koneksi” serta melakukan
“kongkalikong” dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan
“kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait.
g. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha Untuk menciptakan
kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan
pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah
mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan.
h. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama Semua konsep etika bisnis
yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau
konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika
bisnis telah disepakati, sementara ada “oknum”, baik pengusaha sendiri maupun pihak
yang lain mencoba untuk melakukan “kecurangan” demi kepentingan pribadi, jelas
semua konsep etika bisnis itu akan “gugur” satu semi satu.
i. Memelihara Kesepakatan Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan
Kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu
usaha menciptakan etika bisnis.
j. Menuangkan ke dalam Hukum Positif Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan
dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan
5. dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti
“proteksi” terhadap pengusaha lemah.
Etika Pemasaran dalam konteks promosi :
a. Sebagai sarana menyampaikan informasi yang benar dan obyektif.
b. Sebagai sarana untuk membangun image positif.
c. Tidak ada unsur memanipulasi atau memberdaya konsumen.
d. Selalu berpedoman pada prinsip-prinsip kejujuran.
e. Tidak mengecewakan konsumen.
Etika bisnis memiliki prinsip-prinsip yang bertujuan memberikan acuan cara yang harus
ditempuh oleh perusahaan untuk mencapai tujuannya. Menurut Sonny Keraf (1998),
terdapat lima prinsip yang dijadikan titik tolak pedoman perilaku dalam menjalankan
praktik bisnis, yaitu (Agoes & Ardana, 2009:127-128):
a. Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi menunjukkan sikap kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.
Orang yang mandiri berarti orang yang dapat mengambil suatu keputusan dan
melaksanakan tindakan berdasarkan kemampuan sendiri sesuai dengan apa yang
diyakininya, bebas dari tekanan, hasutan, dan ketergantungan kepada pihak lain.
b. Prinsip Kejujuran
Prinsip kejujuran menanamkan sikap bahwa apa yang dipikirkan adalah apa yang
dikatakan, dan apa yang dikatakan adalah yang dikerjakan. Prinsip ini juga menyiratkan
kepatuhan dalam melaksanakan berbagai komitmen, kontrak, dan perjanjian yang telah
disepakati.
c. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menanamkan sikap untuk memperlakukan semua pihak secara adil,
yaitu suatu sikap yang tidak membeda-bedakan dari berbagai aspek baik dari aspek
ekonomi, hukum, maupun aspek lainnya.
d. Prinsip saling Menguntungkan
Prinsip saling menguntungkan menanamkan kesadaran bahwa dalam berbisnis perlu
ditanamkan prinsip win-win solution, artinya dalam setiap keputusan dan tindakan
bisnis harus diusahakan agar semua pihak merasa diuntungkan.
e. Prinsip Integritas Moral
Prinsip integritas moral adalah prinsip untuk tidak merugikan orang lain dalam segala
keputusan dan tindakan bisnis yang diambil. Prinsip ini dilandasi oleh kesadaran bahwa
setiap orang harus dihormati harkat dan martabatnya.
6. Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat
erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.
PENERAPAN MARKETING ETHICS DI INDONESIA
Segala aktivitas pemasaran dan promosi kerap terkesan bombastis dan hiperbola.
Memang tak bisa disalahkan juga karena kini persaingan kian ramai dan sengit. Tapi biar
bagaimana pun, pasar yang akan menilai mana aktivitas pemasaran yang baik dan mana
yang buruk. Konsumen masih menghargai pemasaran, promosi, dan aktivitas beriklan yang
beretika.
Promosi yang menyangkut etika pemasaran memang masih terkesan abstrak di
Indonesia. Tanpa menyinggung merek tertentu, kita kerap menemukan aktivitas promosi
atau pemasaran yang menyudutkan pihak lain, memonopoli pihak tertentu, merugikan
pihak lain, dan bahkan melanggar norma atau hukum.
Tidak mudah memang mendefinisikan praktik pemasaran yang etis atau tidak etis
(marketing ethics). Pada akhirnya, para marketer mesti bersandar pada sistem nilai
masyarakat untuk menentukan apa itu etika. Sistem nilai tersebut harus mengakui hak
konsumen terhadap keamanan, informasi yang komplit, dan value yang sesuai dengan
harga yang mereka bayarkan.
Salah satu patokan untuk melakukan pemasaran yang beretika bisa merujuk kepada
kode etik yang dibuat oleh American Marketing Association (AMA). Cuplikannya
berbunyi sebagai berikut: “Pemasar harus menegakkan dan mengedepankan integritas,
kehormatan, dan martabat profesi marketing dengan cara jujur dalam melayani konsumen,
klien, pegawai, penmasok, distributor, dan masyarakat.“
Meskipun dianggap bisa membantu dalam menyoroti masalah-masalah etika,
ternyata kode etik AMA tersebut belum cukup lengkap untuk dijadikan panduan etika
pemasaran. Soalnya, masih banyak sekali persoalan yang tidak tercakup di dalamnya.
AMA sendiri berkomitmen untuk terus mempromosikan standar tertinggi untuk
norma-norma dan nilai-nilai yang bisa menjadi rujukan bagi para anggotanya (misalnya
para praktisi, akademisi, dan pengamat). Segala aturan dan standar tersebut diharapkan bisa
mempertahankan praktik pemasaran yang beretika dalam masyarakat mana pun. Tentunya
ini harus didukung oleh semua perusahaan dan institusi yang terlibat dalam aktivitas
pemasaran.
Suatu nilai bisa diterima dengan baik jika bisa dihargai oleh pasar. Sebagai seorang
pemasar, kita harus menyadari bahwa kita tidak hanya melayani perusahaan tempat kita
bekerja saja, tapi juga melayani sekaligus bertanggungjawab terhadap masyarakat dimana
kita berada, dan bahkan masyarakat lain yang tidak secara langsung termasuk dalam
lingkup pasar kita. Dalam hal ini para pemasar dituntut untuk bisa
7. mempertanggungjawabkan segala aktivitas pemasaran, berpromosi, dan beriklan yang
dilakukan terhadap stakeholder-nya (misalnya karyawan, investor, mitra, regulator,
konsumen, serta komunitas).
Sebenarnya faktor etika yang terdapat didalam AMA itu sederhana saja. Norma-
norma etika sebagai pemasar yang dasar adalah kita sebagai marketer tidak boleh
melakukan praktik yang merugikan pihak lain. Ini berarti komitmen untuk secara konsisten
menghindari segala tindakan yang merugikan baik secara moril maupun materiil.
Selain itu para pemasar juga harus bisa menanamkan faktor kepercayaan dalam
sistem pemasaran yang dilancarkan perusahaan. Ini berarti berusaha secara jujur dan
membuat perjanjian yang seadil-adilnya dengan semua pihak, supaya bisa memberikan
kontribusi yang bebas dari faktor penipuan dalam hal desain produk, strategi pricing,
komunikasi, dan distribusi.
Perusahaan bisa mempertahankan nilai-nilai yang menjunjung tinggi etika supaya
bisa mendapatkan kepercayaan dari pihak pelanggan karena perusahaan selalu
mempertahankan integritas berpromosi dan beriklan yang baik dalam hal kejujuran,
tanggungjawab, keadilan, saling menghargai, dan bersifat transparan (tidak ada informasi
yang sifatnya merugikan pihak lain yang disembunyikan).
Dalam Hal Kejujuran
Perusahaan harus bisa berlaku jujur dalam setiap perjanjian atau transaksi yang terjadi
dengan pelanggan maupun stakeholder, dalam situasi apapun. Perusahaan menyebarkan
informasi yang apa adanya dalam mengomunikasikan produk atau jasanya. Selain itu
perusahaan juga harus menepati segala janji / promise yang sudah dilontarkan kepada pasar
dan stakeholder.
Dalam Hal Tanggungjawab
Perusahaan harus bisa menerima segala konsekwensi yang timbul akibat segala tindakan
pemasaran yang ditempuh. Dalam hal ini perusahaan harus mampu memenuhi kebutuhan
pelanggan, serta menghindari segala bentuk pemaksaan kepada pelanggan dan stakeholder.
Perusahaan harus bisa komitmen menerapkan segala aturan terutama menyangkut segmen-
segmen pasar yang tergolong rentan, seperti anak-anak, orang tua (pensiunan), kaum cacat,
dan lain-lain. Selain itu perusahaan juga harus bertanggungjawab terhadap kelestarian
lingkungan dalam lingkup pemasarannya.
Dalam Hal Keadilan
Perusahaan diharapkan bisa adil dalam memenuhi kebutuhan pelanggan sekaligus
memenuhi kualifikasi dari para pihak pemasoknya. Ini termasuk menawarkan produk
dengan cara atau metode yang jelas dalam bentuk penjualan, promosi, dan bentuk
komunikasi lain. Perusahaan harus menghindari segala macam informasi yang bersifat
8. menyesatkan dan menipu. Perusahaan harus melindungi segala data atau informasi yang
sifatnya rahasia bagi konsumen, pemasok, dan karyawan, agar tidak disalahgunakan.
Selain itu perusahaan juga harus adil dalam menetapkan harga produknya dan menghindari
segala tindakan yang bisa merusak harga atau kondisi pasar.
Dalam Hal Transparansi
Perusahaan harus mempertahankan sifat keterbukaan kepada pasar dan stakeholder
mengenai aktivitas pemasaran. Untuk ini diharapkan perusahaan bisa mempertahankan
kelancaran aliran informasi dan berkomunikasi secara teratur kepada stakeholder.
Perusahaan juga harus bisa menerima segala kritik dan saran yang dilontarkan oleh pasar,
serta melakukan perbaikan jika diperlukan. Selain itu perusahaan juga diharap bisa
menjelaskan dengan transparan segala risiko dan komponen substitusi menyangkut produk
atau jasa yang ditawarkan.
Demikian itu hanyalah sebagian dari banyak aturan nilai, dan norma yang
menyangkut etika pemasaran dari AMA. Sebenarnya cara yang paling sederhana untuk
menguji etika dari suatu strategi pemasaran adalah dengan menerapkan konsep “jika ragu,
jangan lakukan” (when it doubt, don’t). Bisa juga dengan menetapkan Golden Rule:
“Perlakukanlah konsumen seperti layaknya Anda memperlakukan diri sendiri”.
Praktik pemasaran, berpromosi, dan beriklan dengan memperhatikan etika ini bisa
membantu para pemasar agar bisa menjadi lebih bertanggungjawab secara sosial. Dengan
demikian, para marketer bisa merasa bangga dengan bidang yang mereka geluti.
Memang masih banyak pihak yang meragukan apakah perusahaan yang
mengindahkan etika dan punya tanggungjawab, bisa menjadi perusahaan yang lebih
profitable? Jawabannya tentu bisa ya, bisa juga tidak. Tapi kecenderungan saat ini
perusahaan yang peduli dengan etika lebih terhindar dari segala macam kejadian yang
merugikan perusahaan itu sendiri. Plus dengan terus meningkatnya perhatian publik
terhadap etika, bukannya tak mungkin nantinya konsumen lebih memilih perusahaan yang
punya etika ketimbang yang tidak.
Lagipula, perusahaan yang mengabaikan etika sebenarnya menanggung risiko yang
tidak kecil. Liat saja dari beberapa kasus yang terjadi belakangan ini tanpa menyebut
merek, dimana timbul suatu protes keras dari masyarakat, biaya yang harus dikeluarkan
perusahaan bisa jadi sangat besar. Kerugian dari bentuk promosi yang tidak etis, misalnya,
bukan cuma risiko untuk menarik iklan yang sudah dibuat dengan biaya tinggi itu saja.
Selain meminta maaf kepada publik, kadang perusahaan harus mengucurkan biaya ganti
rugi yang jumlahnya jutaan atau miliaran rupiah. Belum lagi kerugian berupa citra
perusahaan yang sudah tercoreng di mata masyarakat.
9. DAFTAR PUSTAKA :
1. Hapzi Ali,2018,Modul, Marketing Ethics, Universitas Mercu Buana.
2. Utami, 2017, https://www.jurnal.id/id/blog/2017/pengertian-tujuan-dan-contoh-
etika-bisnisdalam-perusahaan, (02 April 2019, Jam 16.31)
3. Muchlisin Riyadi, 2016, https://www.kajianpustaka.com/2016/10/pengertianprinsip-
dan-manfaat-etika-bisnis.html, ( 02 April 2019, Jam 16.48)
4. Enggar PErmatasari, 2015, https://id.scribd.com/document/284180514/APA-
ITU-ETIKA-BISNIS, (02 April 2019, Jam 16.52)
5. Aidah, 2014, http://www.academia.edu/10525202/etika_pemasaran, (02 April 2019,
Jam 17.30)
6. Mulyadi, 2016, https://marketing.co.id/etika-dalam-pemasaran/, (02 April 2019, Jam
17.59)