Makalah ini membahas tentang penerapan kode etik pada profesi guru. Kode etik guru bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan meminimalisir pelanggaran etika. Draf kode etik guru perlu disempurnakan agar lebih jelas mengatur hubungan antara guru dan pemangku kepentingan lain seperti murid dan orang tua. Upaya lain untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi dan peningk
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
KodeEtikGuru
1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mendiknas Bambang Sudibyo adalah pencanangan “Guru Sebagai Profesi”.
Sebagai suatu profesi, guru memerlukan kode etik. Draf kode etik guru tersebut
selain diambil dari kode etik yang sudah dimiliki PGRI dan memperoleh masukan
dari para profesor doktor bidang pendidikan, juga dengan membandingkan kode
etik yang dimiliki oleh profesi lain. Artinya, secara prosedural penyusunan draf
kode etik guru itu sudah sesuai mekanisme kerja yang benar. Meskipun demikian,
tidak berarti bahwa draf itu dapat dikatakan final dan layak untuk disahkan
menjadi kode etik guru
Namun, hingga saat ini tampaknya penyusunan draft tersebut belum kelar juga.
Padahal pengesahannya sangat ditunggu banyak pihak, khususnya masyarakat
pengguna jasa layanan pendidikan dan, tentunya, para guru itu sendiri. Bagi
masyarakat, dengan adanya kode etik guru, mereka akan memperoleh pelayanan
pendidikan yang lebih professional dari para guru. Karena, dalam kode etik
tersebut akan diatur persyaratan keahlian minimal yang harus dimiliki profesi
tersebut. Selain itu, kode etik merupakan janji dari sebuah profesi untuk
memberi pelayanan yang optimal kepada masyarakat Dengan demikian mereka
tidak perlu merasa khawatir lagi putra-putri mereka dididik guru-guru yang tidak
layak dan asal-asalan.
Selain itu, masyarakat tidak perlu merasa khawatir lagi menjadi bola permainan
beberapa guru seperti sering terjadi selama ini. Meski pemerintah sudah
mengeluarkan larangan bagi guru-guru untuk berjualan buku kepada murid-
muridnya, namun dengan berbagai dalih dan cara, mereka tetap saja memaksa
murid-murid membeli buku yang mereka tunjuk, yang merupakan hasil
kerjasamanya dengan penerbit tertentu. Murid tidak diberi kesempatan untuk
menggunakan buku lain, sehingga seolah ilmu dari buku tersebut saja yang paling
bermutu. Dan untuk mempertahankan pangsa pasarnya pada tahun berikutnya,
maka buku-buku tersebut sudah tidak bisa dipakai oleh kelas berikutnya.
Model ‘pemerasan lainnya’ guru membuka les privat bagi murid-muridnya, meski
hal ini juga sudah ada larangannya. Namun, karena para orang tua takut kalau
terjadi apa-apa pada anaknya jika tidak mengikuti les tersebut, maka dengan
2. terpaksa mengikutkan anaknya les tersebut
B. Tujuan
Pembuatan Makalah ini bertujuan :
• Dapat mengetahui Penerapan Kode Etik pada Profesi Guru
• Mengetahui bagaimana profesionalisme seorang guru mentaati kode etik guru
C. Rumusan Masalah
• Apa arti kode etik guru yang sebenarnya
• Bagai mana menerapkan kode etik guru
D. Batasan masalah
Pembahasan makalah ini hanya terbatas pada Penerapan Kode Etik pada Profesi
Guru
3. BAB II
ANALISIS Penerapan Kode Etik pada Profesi Guru
A. Pengertian Profesi
Profesi berasal dari bahasa latin "Proffesio" yang mempunyai dua pengertian
yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih
luas menjadi: kegiatan "apa saja" dan "siapa saja" untuk memperoleh nafkah yang
dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi
berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus
dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Menurut Dedi Supriadi 1999 profesi guru adalah orang suatu pelayanan atau
jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan.
Abin syamsudin 2000. Mengatakan profesi guru yaitu kemampuan yang tidak
dimiliki rang pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan
tingkat tinggi
Galbreath, J. 1999 profesi guru adalah orang yang Bekerja atas panggilan hati
nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya
didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa
senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdakan anak didik.
B. Profesional
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya.
Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar
pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki
keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan
mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap
masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2)
penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu
pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka.
Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta
riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat
4. Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi
guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan
antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu
pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena
pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma
baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu;
(1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang
kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan
teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat
aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan
ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru
yang profesional.
C. Kode Etik Guru
Pengaturan mengenai hubungan guru- peserta didik (murid) dalam kode etik guru
adalah hal yang seharusnya dominan dan utama, karena sebenarnya kode etik itu
dibuat untuk memperjelas relasi guru-murid, sehingga tidak sampai terjadi
pelanggaran etika profesi guru. Tetapi bila kita mencermati bunyi Pasal 8 draf
kode etik di atas, terasa belum jelas aturan mengenai relasi guru dengan murid.
Ketidakjelasan juga dalam pengaturan hubungan antara guru dan orangtua/wali
murid (Pasal 9), masyarakat (Pasal 10), sekolah dan rekan sejawat (Pasal 11),
profesi (Pasal 12), organisasi profesi (Pasal 13), dan pemerintah (Pasal 14).
Ketidakjelasan relasi guru dengan murid dan stakeholder lain itu akan
menyulitkan pelaksanaan UU Guru. Sebab, beberapa pasal RUU Guru, termasuk
dasar pemberian sanksi administratif, mengacu kode etik guru
Bila rumusan kode etiknya tidak begitu jelas, bagaimana Dewan Kehormatan Guru
(Pasal 30–32 RUU Guru) dapat bekerja dengan baik, padahal salah satu tugas
Dewan Kehormatan Guru memberi saran dan pertimbangan dalam rangka
pelaksanaan tugas profesional dan Kode Etik Guru Indonesia.
Berbeda misalnya kode etik yang menyangkut hubungan guru dengan murid itu
berbunyi:
a) Guru tidak boleh memberi les privat kepada muridnya;
b) Guru tidak boleh menjual buku pelajaran atau benda-benda lain kepada murid;
c) Guru tidak boleh berpacaran dengan murid;
d) Guru tidak boleh merokok di depan kelas/murid;
e) Guru tidak boleh melakukan intimidasi, teror, dan tindak kekerasan kepada
5. murid,
f) Guru tidak boleh melakukan penistaan terhadap murid;
g) Guru tidak boleh ber-HP ria di dalam kelas, dan sebagainya
Yang menjadi masalah bagi kalangan pendidikan bukanlah belum adanya kode etik
guru, melainkan sudah sejauh mana guru-guru di negeri ini mempelajari,
memahami, dan mengaplikasikan kode etik guru tersebut, baik dalam mendidik
anak bangsa ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, guru betul-betul
menjadi suri teladan bagi seluruh komponen bangsa di mana pun berada.
Kaitannya dengan sertifikasi guru, saya secara pribadi sangat setuju dengan
pendapat Profesor Dr. H. Achmad Sanusi, M.P.A. Idelanya, tim asesor datang
langsung menguji dan meneliti kemampuan guru dalam mengajar di depan kelas
dan yang telah lulus sertifikasi pun ikut sertifikasi ulang secara berkala dan
berkesinambungan, misalnya lima tahun sekali. Namun menurut informasi dari
dinas terkait, yang menjadi kendala adalah banyaknya guru yang akan
disertifikasi belum sebanding dengan banyaknya tim asesor yang ada hingga saat
ini.
Sebagai solusi menanggulangi masalah ini, terpaksa dengan penilaian portofolio
seperti yang sekarang dilaksanakan. Saya mengetahui informasi tersebut, sebab
kebetulan saya sudah dinyatakan lulus sertifikasi periode 2006. Kalau ada yang
meragukan hasil dari penilaian portofolio, sebaiknya kita semua harus
memberikan masukan, saran, dan solusi yang dianggap paling baik, efektif,
efisien, dan accountable bukan hanya mengkritisi, tanpa memberikan solusi.
Sebagai seorang guru yang bertugas di daerah perdesaan, ujian sertifikasi itu
hendaknya dilaksanakan sebelum seseorang diangkat menjadi guru. Hal ini bisa
diterapkan mulai pengangkatan guru yang akan datang. Dengan kata lain, ujian
penerimaan CPNS khusus guru bahkan kalau bisa, diberlakukan sejak ujian
penerimaan calon mahasiswa baru fakultas pendidikan di semua perguruan tinggi
negeri maupun swasta di seluruh Indonesia, materinya mengambil dari standar
minimal kelayakan calon guru Indonesia/SMKCGI. Yang kisi-kisinya atau kalau
mungkin soal-soalnya juga ditentukan oleh Badan Nasional Standar Pendidikan
(BNSP) dan bisa dikembangkan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
(LPMP). Atau mengacu kepada standar kompetensi dan kualifikasi berdasar pada
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab VI Standar
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan.
Dengan membaca PP No. 19 Tahun 2005 akan jelas bahwa untuk menjadi seorang
6. tenaga pendidik yang profesional tidaklah mudah, mereka harus benar-benar
teruji dan memenuhi persyaratan. Setelah diberlakukannya uji sertifikasi yang
diikuti dengan mendapatkan tunjangan profesi bagi guru, diharapkan ada
peningkatan kesejahteraan yang diikuti dengan peningkatan kinerja
Berikut adalah isi kode etik guru
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia
seutuhnya berjiwa Pancasila
2. Guru memiliki dan melaksanakan kewjujuran professional
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan
melakukan bimbingan dan pembinaan
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya
proses belajar mengajar
5. guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat
sekitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap
pendidikan
6. guru secara pribadi dan secara bersama-sama mengembangkan dan
meningkatkan mutu da martabat profesinya
7. guru memelihara hubungan profesi semangat kekeluargaan dan
kesetiakawanana nasional
8. guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi
PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian
9. guru melaksanaakn segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
7. BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dengan adanya kode etik guru, maka akan ada majelis kehormatan yang akan
mengawal pelaksanaan kode etik tersebut. Jika ada guru yang melanggar kode
etiknya, maka dewan kehormatan ini yang akan memberi sangsi kepada guru yang
melanggar.
Dari pihak guru sendiri, pengakuan bahwa pekerjaan guru merupakan sebuah
profesi akan memiliki beberapa arti. Pertama, dengan diakui sebagai sebuah
profesi tentu akan meningkatkan salary mereka, sehingga mereka tidak perlu
mencari obyekan lain untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan
demikian mereka lebih memiliki waktu dan biaya untuk pengembangan
keahliannya. Kedua, pengakuan tadi juga akan meningkatkan prestise pekerjaan
guru.
B. Saran
Yang perlu diatur dalam kode etik guru adalah apa yang boleh dan tidak boleh
atau pantas dan tidak pantas dilakukan seorang guru. Indikator "boleh-tidak
boleh dan pantas-tidak pantas" suatu tindakan harus jelas agar memberi arah
jelas untuk bertindak atau menilai apakah seorang guru melanggar kode etik atau
tidak. Bila indikator "boleh-tidak boleh atau pantas-tidak pantas" itu tidak jelas,
baik bagi guru maupun orang lain, sulit untuk menilai apakah guru itu melanggar
kode etik atau tidak.
8. DAFTAR PUSTAKA
Supriadi, D. 1998. Manajemen dan Kepemimpinan. Jakarta: Depdikbud.
Surya, H.M. 1998. Organisasi & Profesi. No. 7/1998. Hlm. 15-17.
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.