Buku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdf
Ibnu bajjah
1. Ibnu Bajjah dan Filsafat
Ibnu Bajjah (1095-1138) atau lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-
Shayigh at-Tujibi bin Bajjah (أبو بكر محمد بن يحيى بن )الصايغ adalah seorang astronom,
filsuf, musisi, dokter, fisikawan, psikolog, botanis, sastrawan, dan ilmuwan Muslim
Andalusia yang dikenal di Barat dengan nama Latinnya, Avempace. Ia lahir di
Zaragoza, tempat yang kini bernama Spanyol, dan meninggal di Fez pada 1138.
Pemikirannya memiliki pengaruh yang jelas pada Ibnu Rushdi dan Albertus Magnus.
Kebanyakan buku dan tulisannya tidak lengkap atau tidak sistematis dan kurang teratur
hal ini dikarenakan kematiannya yang cepat. umurnya hanya mencapai usia 42-43
tahun, padahal pada umur itulah, manusia kebanyakan menjadi produktif. Kematiannya
memang cepat, namun karyanya dan pengetahuannya tidak dapat dianggap remeh. Ia
memiliki pengetahuan yang luas pada bidang kedokteran, Matematika, dan Astronomi.
Sumbangan utamanya pada filsafat Islam ialah gagasannya pada Fenomenologi Jiwa.
bahkan selain Aviroes (Ibu Rushd) dan Albertus Magnus, ada lagi ilmuwan yang
terpengaruh oleh pemikiran Ibnu Bajjah yakni Ibnu Tufail dan Al-Bitruji hingga
Immanuel Kant.
Ibnu Bajjah dapat menyelesaikan dunia akademisinya di kota kelahirannya, Zaragoza. Ia
meneruskan studinya ke Granada, suatu tempat di Spanyol. Dan, ketika itupula ia telah
menjadi seorang sarjana bahasa dan sastra Arab serta dapat menguasai dua belas macam
ilmu pengetahuan di antaranya sastra, tata bahasa, dan filsafat kuno. Ia bahkan
disejajarkan dengan tokoh ilmuwan muslim yang disebut-sebut sebagai pangerannya
para cendekiawan yakni al-Syam al-Rais Ibnu Sina.
Selain sebagai ilmuwan jenius, Ibnu Bajjah juga memiliki kelihaian dalam berpolitik.
Selama hidupnya, ia menjabat sebagai pejabat negara, menteri negara dan kemudian
wazir. Di kota kelahirannya, ia berkarir di dunia perpolitikan hingga Abu Bakar Ibrahim
seorang Gubernur Zaragoza tertarik untuk mengangkatnya sebagai menteri negara.
Namun, ketika Spanyol jatuh ke tangan Alfonso I, Ibnu Bajjah melakukan rihlah ke
beberapa Dinasti termasuk juga ia pernah singgah di Dinasti Murabith Barbar, selama
rihlah itupula Ibnu Bajjah bekerja sebagai seorang dokter. Perjalanannya terhenti di
kota Fez, Maroko. Kota tempat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Di kota itu, Ibnu
2. Bajjah berhasil menjabat sebagai wazir selama 20 tahun. Ia diangkat oleh Abu Bakar
Yahya ibnu Yusuf ibnu Tashfin.
Karya-karya Ibnu Bajjah:
1. Beberapa risalah dalam ilmu logika yang sampai sekarang masih tersimpan di
perpustakaan Spanyol, Escurial.
2. Risalah tentang jiwa
3. Risalah al-Ittisal
4. Risalah al-Wada’
5. Beberapa risalah tentang ilmu falak dan ketabiban
6. Risalah Tadbirul Mutawahhid (manusia penyendiri)
7. Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat antara lain mengulas filsafatnya
Aristoteles, al-Farabi, dan Porphyrius.
Menurut Carra de Vaux, terdapat sekitar 24 karangan manuskrip (naskah tulisan tangan
yang menjadi kajian filologi) karya Ibnu Bajjah di perpustakaan Berlin.
Pemikiran Filsafat Ibnu Bajjah:
Ajaran-ajaran filsafat Ibnu Bajjah antara lain mengenai:
1. Materi dan bentuk (benda bergerak dan tidak bergerak)
2. Etika
3. Akal dan ilmu pengetahuan
4. Jiwa
5. Filsafat politik
6. Tasawuf
Materi dan Bentuk
Ibnu bajjah berangkat dari filsafat gerak aristoteles, namun ia tidak semata-mata
terpengaruh oleh filsafat geraknya Aristoteles tersebut. Ibnu Bajjah tetap
mengembalikan sistem filsafatnya kepada ajaran agama Islam. Hal itulah yang
mengistimewakan Ibnu Bajjah di antara filsuf yang lain. Dasar filsafat Aristoteles ialah
ilmu pengetahuan alam yang tidak mengakui adanya sesuatu di balik alam empiris ini.
3. Kendatipun penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia masih bersifat
empiris. Ibnu bajjah tampaknya berupaya mengislamkan argumen Aristoteles yang
berpegang teguh pada apa-apa yang empiris semata. Karena itu, menurutnya Allah tidak
hanya penggerak, tetapi Allah juga berperan sebagai pencipta dan pengatur alam.
Menurut Ibnu bajjah, segala yang ada (al-maujudat) yang dalam bahasa
Aristoteles disebut fisika/empiris, al-maujudat ini terbagi menjadi dua: yang bergerak
dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite
(terbatas). Gerak benda yang sifatnnya material digerakan oleh perbuatan. Namun,
perbuatan tersebut tidak semata-mata mampu bergerak sendiri. Perbuatan digerakan
oleh sesuatu yang tidak berwujud. Karena, biar bagaimanapun penggerak dalam bentuk
materi (jisim) itu bersifat terbatas (finite), jadi tidak mungkin gerak jisim digerakan atau
berasal dari dzatnya itu sendiri, dimungkinkan ada penggerak yang infinite dan
mastermind. Dalam artian, penggerak itu ialah penggerak yang tidak berwujud yang
mengatur semua gerakan yang berwujud. Dalam hal ini Ibnu Bajjah menyebutnya
sebagai ‘aql.
Kesimpulanya, gerakan alam ini –jisim yang terbatas- digerakkan oleh ‘aql (bukan
berasal dari subtansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak adalah ‘aql, ia
menggerakkan alam dan ia sendiri tidak bergerak. ‘aql inilah disebut dengan Allah
(‘aql, aqil, dan ma’qul) sebagaimana yang dikemukakan oleh al-farabi dan ibnu sina
sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa para filosof muslim pada umumnya menyebut Allah itu
adalah ‘aql. Menurut mereka Allah adalah penggerak semesta, kesemuanya bergerak
sesuai dengan tuntutan atau aturan dari-Nya. Saking rapihnya pengaturan Allah ini,
banyak manusia yang tidak menyadari bahwa terdapat dzat yang luar biasa serta tidak
kasat mata yang mengatur semuanya. Mereka sangka bahwa semesta bergerak menurut
naturenya sendiri.
Sebab Allah ialah penggerak semesta ini maka mestinya Ia memiliki daya
berpikir. Oleh karenanya, dalam mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para filosof
muslim menyebut Allah adalah zat yang mempunyai daya berpikir (‘aql), juga berpikir
(‘aqil) dan objek pemikiranya sendiri (ma’qul). Keseluruhanya adalah dzat-Nya yang
Esa.
4. Kemudian, mengenai teori materi atau dalam kata lain “bentuk”, Ibnu Bajjah
membagi bentuk kejiwaan sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk tubuh sirkular hanya memiliki hubungan sirkular dengan materi,
sehingga bentuk-bentuk itu bisa membuat kejelasan materi dan menjadi
sempurna.
2. Kejelasan materi yang bereksistensi dalam materi.
3. Bentuk-bentuk yang bereksistensi dalam jiwa (akal sehat), indera khayali,
ingatan, dan sebagainya, dan yang berada di antara bentuk-bentuk kejiwaan dan
kejelasan materi.
Ibnu Bajjah menentang pemikiran al-Ghazali mengenai filsafat. Menurut al-Ghazali,
ilham merupakan sumber ilmu pengetahuan yang paling penting dan paling dapat
dipercaya. Namun Ibnu Bajjah berpendapat dalam antitesisnya terhadap pendapatnya al-
Ghazali bahwa manusia dapat meleburkan diri dari akal setelah ia mencapai pucak
ma’rifat. Kemudian, jika al-Ghazali di sisi lain percaya bahwa akal adalah sumber ilmu
pengetahuan yang dapat dipercaya dan penting maka di sisi lain pula ia berpendapat
bahwa akal ada di posisi yang lemah dan tidak dapat dipercaya. Menurutnya, dalam
mencapai kekuatan ialah melalui tasawuf (beribadah). Tasawuf ialah cara yang benar
dalam mencapai kema’rifatan (kebenaran).
Pendapat al-Ghazali di atas sepenuhnya ditentang oleh Ibnu Bajjah dalam
karyanya, Risalah al-Wada’. Di dalam karyanya itu, ia berpendapat bahwa al-Ghazali
dalam bukunya Munqidzu min ad-Dalal telah menempuh jalan khayali yang remeh,
dengan demikian ia telah sesat dan mneyesatkan orang dengan memasuki dunia
fatamorgana serta mengira bahwa dunia tasawuf telah membuka pikiran yang
memperlihatkan kebahagiaan-kebahagiaan ketika melihat alam langit.1
Etika
Etika atau perilaku manusia menurut Ibnu Bajjah dibagi menjadi dua yaitu
perilaku hewani dan manusiawi.
1 Dr. Sudarsono S.H, hal. 77
5. Pertama, perilaku hewani ditimbulkan karena adanya motif naluri atau hal-hal lain
yang berhubungan dengannya2. Seperti misalnya naluri hewan yang secara alami akan
menghancurkan sesuatu yang mengganggunya. Manusia ketika disakiti oleh sesuatu
atau seseorang ia akan berbalik membalasnya. Begitupun naluri manusia untuk makan
dan tidur, layaknya makhluk hidup yang dinamai hewan tersebut. Naluriah hewan
mendorong manusia untuk berperilaku berdasarkan naluri itu. Karena menurut Ibnu
Bajjah, manusia memiliki naluri yang sama layaknya naluri yang dimiliki oleh hewan
pada umumnya.
Kedua, perilaku manusiawi ditimbulkan karena adanya pemikiran yang lurus dan
keamanan yang bersih dan tinggi3. Ketika manusia berperilaku demikian, maka
perbuatan yang ditimbulkannya disebut sebagai perbuatan-perbuatan manusia. Contoh
ketika manusia disakiti oleh seseorang atau sesuatu maka ia tidak serta merta akan
membalas perbuatan hewani yang ditimbulkan manusia lain tersebut, namun terlebih
dahulu ia akan berpikir panjang. Misalnya, ia akan berpikir dahulu mengenai dampak
yang ditimbulkan jika ia membalas perbuatan manusia yang sifatnya hewani itu.
Pangkal perbedaaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan
perbuatan itu sendiri melainkan motifnya.
Setiap orang yang hendak menundukan sisi hewani pada dirinya, tidak lain hanya
harus mengutamakan sisi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikian segi hewani pada
dirinya akan tunduk pada ketinggian segi kemanusiaan. Dan, seseorang akan menjadi
sempurna tanpa adanya kekurangan, sebab kekurangan itu ada karena ketundukannya
pada naluri, yang tidak lain ialah sisi hewani.
Akal dan Pengetahuan
Ibnu Bajjah berpendapat bahwa pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang
berasal dari akal. Hal ini didasari dari pemikirannya bahwa Tuhan memanifestasikan
pengetahuan dan perbuatan melalui akal manusia. Melalui akal, manusia dapat
mengetahui sesuatu yang disingkapkan oleh Tuhan kepadanya. Namun perlu diingat
2 Drs Purwanto, hal. 190
3 Ibid, hal 79
6. bahwa distribusi pengetahuan yang diberikan Tuhan akan berbeda untuk setiap manusia.
Hal ini bergantung pada tingkatan dan kedudukan akal yang dimiliki oleh setiap
manusia itu sendiri.
Pengetahuan yang paling tinggi yang diberikan Tuhan adalah pengetahuan yang
diberikan kepada akal yang telah mencapai tingkatan akal ruh, yang dalam hal ini ialah
para Nabi dan Rasul, kemudian para Wali dan Sahabat serta sebagian kecil orang yang
dikehendaki oleh Allah untuk menerimanya.
Jiwa
Menurut Ibnu Bajjah, jiwa bersifat nutritif (mengandung dzat-dzat untuk badan),
sensitif (kepekaan), dan imajinatif (rasional).
Nutritif memiliki dua tujuan yaitu pertumbuhan dan reproduksi. Sebagai manusia
yang fana, tentulah manusia membutuhkan sesuatu yang sifatnya dapat menumbuhkan,
menjaga, melestarikan, dan memberi manfaat bagi tubuhnya. Sehingga dengan ini,
manusia akan mampu mempertahankan eksistensinya sendiri. Ketika manusia dapat
memenuhi kebutuhannya untuk bertumbuh dan berkembang, maka pada saat itulah
manusia juga mampu untuk mengoptimalkan reproduksinya. Unsur reproduktif ini akan
musnah pada saat manusia telah mencapai usia lanjut.
Sensasi (sensitif) ialah persepsi psikis pada diri manusia. Sensasi ini mendahului
unsur imajinatif, atau dengan kata lain unsur imajinatif menerima suplai dari sensasi.
Sensasi ditimbulkan oleh gerak pancaindera manusia, kemudian gerak tersebut akan
menimbulkan rasa atau kesan pada diri manusia. Sedangkan unsur imajinatif yang
terhubung dengan unsur sensasi ini ialah unsur yang membuat manusia menerima
kesan-kesan dari benda-benda yang terasa (yang ditimbulkan oleh unsur sensasi) dan
menempatkan kesan-kesan itu ke dalam imajinasinya, setelah kesan-kesan itu hilang.
Unsur imajintif ini berpuncak pada unsur penalaran yang membuat orang mampu
mengungkapkan dirinya kepada orang lain serta mampu berbagi pengetahuan yang
didapat dari hasil sensasi-imajinasi tersebut kepada orang lain.
7. Filsafat Politik
Ibnu Bajjah menulis risalah kecil mengenai Pemerintahan Dewan Negara dan
Pemerintahan Negara Kota dalam Tadbir al-Mutawahid (rezim satu orang). Ibnu Bajjah
sependapat dengan al-Farabi dalam hal politiknya. Misalnya, ia sependapat dengan al-
Farabi tentang pembagian negara yang dibagi menjadi negara yang sempurna dan tidak
sempurna. Ia juga menyutujui al-Farabi yang berpendapat bahwa watak individu dari
tiap-tiap negara ialah berbeda. Sebagaian berwatak senang diperintah, dan sebagiannya
lagi berwatak ingin memerintah. Dalam persoalan konstitusi, secara tidak langsung Ibnu
Bajjah juga sependapat dengan al-Farabi yakni pendapat bahwa konstitusi haruslah
disusun oleh kepala negara. Al-Farabi sendiri menganalogikan kepala negara tersebut
dengan Rasulullah SAW.
Dalam Risalah al-Wada’, Ibnu Bajjah menuliskan bahwa negara memiliki dua fungsi
pokok:
1. Menilai perbuatan masyarakatnya agar negara dapat dengan mudah
membimbing mereka untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya.
2. Merancang cara-cara mencapai tujuan-tujuan tertentu layaknya seorang
penunggang kuda yang mahir ataupun seseorang yang menahkodai kapal.
Tasawuf
Jika sebelumnya Ibnu Bajjah banyak menentang al-Ghazali yang tidak lain ialah
seorang sufi kebesaran Islam. Namun sesunguhnya, Ibnu Bajjah tidak menolak ataupun
menetang tasawufnya itu sendiri. Bahkan menurut riwayat, Ibnu Bajjah ialah salah satu
pengagum al-Ghazali.
Ibnu Bajjah menjungjung tinggi para wali Allah dan menempatkan mereka di
bawah para Nabi. Menurutnya sebagian orang dikuasai oleh keinginan jasmaniyah
belaka, mereka berada di tingkat paling bawah, dan sebagian lagi dikuasai oleh
spiritualis. Kelompok spiritualis ialah kelompok yang langka dan termasuk ke dalam
kelompok ini ialah Uwais al-Qarni dan Ibrahim Ibnu Adham (Musthafa, Filsafat Islam,
2009: 270.)
8. Sebagaimana al-Ghazali yang hampir melepaskan diri dari Islam, Ibnu Bajjah pun
demikian. Ia hampir mengakui bahwa dirinya ialah seorang fatalis (orang yang percaya
atau menyerah begitu saja kepada nasib. Dalam Risalahnya, ia menyatakan bahwa
seandainya kita melepaskan diri dari Tuhan maka kita akan memperoleh kebahagiaan
dan kedamaian.
Penyebab Ibnu Bajjah hampir menjadi seorang fatalis ialah karena pengaruh dari
filsafat geraknya yang menyatakan bahwa Allah adalah penggerak, pencipta, dan
pengatur alam semesta. Namun kemudian ia merujuk pada pemikiran al-Ghazali yang
tertulis dalam karyanya Misykat al-Anwar yang menyatakan bahwa prinsip pertama
adalah menciptakan agen-agen dan objek-objek tindakan. Ia juga mengadopsi dari
pandangan al-Farabi dalam karyanya Ujun al-Masa’il yang menuliskan bahwa segala
sesuatu berkaitan dengan prinsip pertama yakni sebab yang pertama ialah pencipta
mereka.4
4 Musthafa,H.A, hal. 264