1. Mendikbud memutuskan bahwa kelulusan siswa 100% ditentukan oleh sekolah, bukan UN, mulai tahun ini. Kebijakan ini disambut baik oleh pihak yang selama ini menentang pelaksanaan UN.
2. UN sebelumnya memiliki manfaat untuk memantau mutu pendidikan antar daerah dan sekolah serta menganalisis kelemahan siswa untuk perbaikan. Namun, keputusan Mendikbud Anies tidak salah karena kelulus
1. 1
KEJUJURAN SEKOLAH
Oleh: Prof. Suyanto, Ph.D
(Guru Besar FE Universitas Negeri Yogyakarta)
Kebijakan baru telah dicanaangkan oleh Mendikbud. Mendikbud hari
Sabtu lalu, 10 Januari 2015, telah memutuskan mulai tahun ini kelulusan
siswa 100% ditentukan oleh sekolah, bukan oleh UN. (KR. 11 Januari 2015,
hal.1). Kebijakan ini sangat membahagiakan fihak-fihak yang selama ini
memang tidak sepakat diadakannya UN. Alasan mereka, satu di antara yang
lain, adalah karena sarana-prasarana seluruh sekolah di Indonesia belum
berstandar sama. Karena standar yang berbeda-beda itulah maka tidak adil
jika UN diberlakukan kepada seluruh sekolah. Disamping itu, keberatan para
penentang UN juga dialamatkan pada proses penyelenggaraannya yang
mendatangkan ketidakadilan karena kebocoran kunci jawaban dan berbagai
bentuk kecurangan. Fakta seperti itu memang tidak seluruhnya benar walau
tidak juga seluruhnya salah terutama pada kasus kebocoran kunci jawaban
dan kecurangan pelaksanaan UN. Untuk menangkis isu kebocoran soal dan
kecurangan dalam pelaksanaan UN, bahkan Menteri Nuh, telah membuat
set soal sampai 20 jenis, sesuai dengan jumlah peserta UN untuk setiap
ruangan. Response seperti itu tujuannya baik, meskipun ada yang
berpendapat bahwa response itu berlebihan, menyulitkan pencetakan soal
sehingga berakibat keterlambatan soal pada pelaksanaan UN.
Sekarang dimulai babak baru akan persoalan bagaimana pemerintah
memandang arti penting dan manfaat UN. Semangat untuk mengadakan UN
antara lain untuk menjamin bahwa sekolah telah mencapai pemenuhan
standar kompetensi lulusan bagi siswa di sekolahnya masing-masing. Tidak
itu saja. Dengan UN sebenarnya kita bisa melihat perbedaan mutu antar
daerah, antar sekolah, dan juga antar siswa dalam konteks untuk perbaikan
proses belajar-mengajar. Dari hasil UN itu juga bisa dilakukan pemetaan
kualitas sekolah untuk kepentingan pembinaan dan peningkatan mutu
pedidikan di daerah-daerah yang masih tertinggal. Dari jawaban siswa untuk
setiap mata pelajaran bisa dianalisis kelemahan siswa pada mata pelajaran
2. 2
tertentu, dan bahkan pada pokok bahasan tertentu pula dari mata pelajaran
yang bersangkutan. Dari sini telah dilakukan intervensi oleh pemerintah
pusat untuk melakukan pelatihan kepada guru mata pelajaran yang hasil UN
siswanya “jeblok” di berbagai daerah seperti di NTT, Papua, Kalimantan,
NTB. Hasil penelitian juga telah menunjukkan bahwa UN memiliki manfaat
yang cukup baik bagi penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Hasil
penelitian Mardapi (2000), menunjukkan bahwa hasil ujian nasional di
pendidikan dasar dapat dimanfaatkan untuk: memantau kualitas pendidikan
baik antar wilayah maupun antar waktu, memotivasi siswa, guru, sekolah
agar lebih berprestasi, dan umpan balik bagi pengelola pendidikan.
Ujian Nasional pada era Menteri Anies Baswedan akan memiliki fungsi
lain dibandingkan dengan UN masa lampau jaman Menteri M. Nuh.
Keputusan Anies tidak salah. Sebab dalam wacana akademik memang untuk
menyatakan seorang siswa lulus atau tidak bisa juga ditempuh melalui cara
lain selain lewat UN. Kelulusan siswa akan diserahkan sepenuhnya kepada
sekolah. Hal ini dilakukan, saya rasa, karena sesuai dengan janji Presiden
Joko Widodo ketika berkampanye untuk mendapatkan jabatan Presiden RI.
Tidak apa-apa. Sekolah tidak akan rontok kualitasnya meski tanpa UN
sepanjang tidak terjadi kejahatan akademik yang dilakukan oleh sekolah,
berupa pengatrolan nilai secara sistemik. Ketika UN sebagai salah satu unsur
penentu kelulusan siswa, dikritik para penentangnya terkait dengan
kecurangan pelaksanaan di sekolah. Ketika UN telah diputuskan Anies bukan
sebagai penentu kelulusan, lalu pertanyaan yang sama juga bisa diajukan,
bisakah sekolah objektif dan jujur dalam memberi nilai kelulusan? Hal inilah
yang harus dipikirkan oleh Mendikbud Anies Baswedan bagaimana caranya
untuk menciptakan iklim sekolah yang bisa menegakkan kejujuran dalam
peilaian. Sebab pada data UN tahun lalu ketidakjujuran sekolah juga terjadi.
Kementerian memiliki data sekolah-sekolah yang curang secara nasional.
Bahkan semangat mendongkrak nilai sekolah selalu ada pada sekolah yang
kualitasnya medioker. Data nasional menunjukkan skor rata-rata antara
ujian sekolah dan UN memiliki perbedaan sebesar tiga poin. Artinya sekolah
terindikasi untuk mentraktir dan “mentraktor” nilai ujian sekolah agar ketika
3. 3
digabung dengan hasil UN, kelulusan sekolah tetap tinggi. Inilah tantangan
bagi kebijakan baru Mendikbud Anies Baswedan.