1. Artikel membahas tentang beban siswa Indonesia yang terlalu banyak mata pelajaran sehingga kurang waktu untuk ekstrakurikuler dan hobi.
2. Kabupaten Purwakarta sudah menerapkan sekolah lima hari sejak 2008 untuk memberi waktu siswa bersama keluarga, dan mengurangi beban akademik dengan cara memadatkan mata pelajaran.
3. Bupati Purwakarta ingin mengurangi jumlah mata pelajaran dan le
1. http://www.kompasiana.com/hitgirl/mata-pelajaran-di-indonesia-terlalu-
padat_54f5fdfca3331184108b46db
Mata Pelajaran di Indonesia Terlalu Padat
Alika Istiani
21 Agustus 2014 09:16:01 Diperbarui: 18 Juni 2015 02:59:34
Sekolah memang dibutuhkan untuk setiap anak didik bangsa yang lahir di dunia ini. Dengan sekolah kita
mendapatkan berbagai macam ilmu yang tentunya ilmu itu pasti bisa disalurkan untuk negeri ini. Tapi
apa yang dihadapi oleh anak bangsa? Menerima banyak sekali tanggungan mata pelajaran sehingga
sebagian dari mereka tidak punya kesempatan untuk menuangkan otak kanan mereka diluar mata
pelajaran. Ekskul memang dibutuhkan untuk perkembangan mental anak, tetapi apa daya jika anak-anak
banyak yang tidak masuk pada waktu ekskul karena alasan mengerjakan tugas-tugas pelajaran mereka.
Sehingga jika diperhatikan mereka banyak sekali yang tidak puas untuk pergi ke sekolah karena dipikiran
mereka sudah terbebani dengan pelajaran yang terlalu banyak dan lama. Ditambah tugas-tugas yang
tidak kunjung henti-hentinya mendatangi mereka. Nilai mata pelajaran siswa-siswi Indonesia
memanglah bagus, tetapi mereka tidak mempunyai suatu pengetahuan yang fokus untuk mendalami
mata pelajaran tersebut. Di Indonesia ini dominan dengan anak-anak harus mengejar nilai,
mendapatkan nilai yang bagus tanpa mementingkan hal yang lain. Padahal kebutuhan akan komunikasi
(pintar berbicara) dengan lingkungan disekitarnya itu juga penting untuk pergaulan dan pertumbuhan
kembang anak. Pelajaran yang banyak, nilai yang bagus mungkin akan membuat anak itu pintar tetapi
jika si anak tidak mempunyai rasa percaya diri untuk berbicara terhadap depan orang itu akan percuma.
Karena banyak contoh anak yang pintar dalam mengerjakan matematika 100, fisika 100, kimia 100 tapi
tidak pandai untuk berbicara. Pendidikan di Indonesia tidak memahami beban yang dipikul sang siswa,
keberhasilan seseorang hanya dilihat secara stuktural sedangkan kebebasan diabaikan. Kebanyakan soal
institusi yang dinilai oleh dinas dan menteri kalau nilai-nilai bagus semua berarti sekolah itu bagus, tanpa
melihat turun langsung ke lapangan apa yang terjadi. Semestinya siswa-siswi itu dibiarkan memilih mata
pelajaran yang mereka sukai dan dari situ kita dapat mengembangkan pikiran mereka tentang pelajaran
yang mereka pilih. Jadi mereka mempunyai kesempatan untuk berinovasi dan berkreatifitas. Seperti
halnya sama dengan sekolah SMA di Changkat Changi Secondary School Singapore, mereka menerapkan
cara belajar seperti itu. Dan itu berhasil dilaksanakan di Singapore. Negara lain saja bisa, kitapun harus
2. bisa. Kita mesti saling begotong royong untuk memajukan pendidikan di negara ini dengan penuh niat
dan tekat. Harapan untuk pendidikan negara ini semakin memperdulikan siswa-siswi yang sangat
terbebani dengan mata pelajaran yang sangat banyak, tidak ada lagi kesengsaraan antara murid dan
guru. Agar dapat menerbitkan orang-orang yang hebat agar mampu membawa nama Indonesia ke
negara-negara asing. Jangan putus asa ketika anda gagal, ketika gagal bukan berarti kalah artinya harus
terus mencoba, tetapi jika menyerah berarti kalian telah mengagalkan diri kalian sendiri. Mengingat
pentingnya sebuah ilmu sebagai harta yang akan mengikuti pemiliknya kemanapun, masalah pendidikan
adalah masalah utama bagi bangsa dan pemerintah harus menemukan solusi terbaik untuk anak bangsa.
Saya ingin pendidikan di Indonesia berjalan dengan baik, efektif dan produktif tanpa membebani siswa
dari segi jam belajar yang digunakan, penerapannya dan proses olah pikirnya. Karena sesungguhnya
ilmu yang abadi adalah ilmu yang dipelajari melalui ketulusan hati untuk belajar dan kejernihan pikiran
untuk berpikir hebat.
http://www.beritasatu.com/pendidikan/384734-purwakarta-sudah-terapkan-sekolah-5-hari-sejak-
2008.html
Purwakarta Sudah Terapkan Sekolah 5 Hari Sejak
2008
Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mewacanakan menjadikan hari Sabtu
dan Minggu sebagai hari libur sekolah. Wacana ini ternyata telah lama diterapkan di Kabupaten Purwakarta.
Kebijakan sekolah lima hari ini mulai diterapkan sejak Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi mulai menjabat pada 2008
lalu. Dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (10/9), Bupati yang akrab disapa Kang Dedi ini mengatakan,
dengan libur sekolah Sabtu dan Minggu, para pelajar memiliki waktu yang cukup untuk bercengkerama bersama
keluarga.
"Kami sejak 2008 sudah melakukan itu (sekolah lima hari). Sehingga pendidikan informal dalam hal ini didapat oleh
pelajar melalui transformasi nilai yang dilakukan oleh para orangtua mereka di rumah," katanya.
Tak hanya sekolah lima hari, Dedi mengatakan, pihaknya juga memadatkan mata pelajaran sekolah. Dengan
demikian, waktu kegiatan belajar mengajar dapat berkurang. Untuk para pelajar di pedesaan, waktu kegiatan belajar
mengajar sejak pukul 06.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB, sementara sekolah di perkotaan hingga pukul 12.00 WIB.
"Jadi waktu bersama keluarga menjadi lebih banyak," katanya.
3. Sebenarnya, Dedi mengungkapkan, kegiatan belajar mengajar di Purwakarta tetap tujuh hari dalam seminggu.
Hanya saja, pada Sabtu dan Minggu giliran orangtua yang memberikan pendidikan dan mengawal perkembangan
anak-anak mereka.
"Kami memiliki program Tujuh Hari Pendidikan Istimewa yang merupakan implementasi pendidikan berkarakter di
Purwakarta," tuturnya.
Selain itu, Dedi yang sehari-hari mengenakan pakaian dan iket khas Sunda ini mengatakan, pihaknya telah
menerbitkan Surat Edaran yang melarang guru memberikan pekerjaan rumah dari pelajaran normatif dan bersifat
pembebanan akademik. Menurutnya, pekerjaan rumah diganti dalam bentuk kerja kreatif produktif yang merangsang
potensi minat dan kreatifitas para pelajar.
"Selama ini terlalu memikirkan akademis, tapi sisi kreatifitas dan produktifitasnya tidak ada. Pelajaran akademis
seharusnya diselesaikan di sekolah, jangan dibawa ke rumah. Kasihan anak-anak bisa depresi," katanya.
Lebih jauh, Dedi mengatakan, pihaknya sedang menggagas untuk mengurangi mata pelajaran. Dikatakan, mata
pelajaran yang banyak tidak efektif untuk perkembangan kecerdasan generasi muda. Menurutnya, sisi aplikatif dari
nilai-nilai akademik jauh lebih penting daripada sekedar mempelajari sisi teoritiknya.
"Kalau Bapak Mendikbud mengizinkan, kami di Purwakarta akan mengurangi jumlah mata pelajaran. Ini sudah terlalu
banyak dan tidak efektif untuk perkembangan generasi kita ke depan. Misalnya untuk tingkatan Sekolah Dasar cukup
diajarkan ‘Calistung’ (Baca, Tulis, Hitung) saja. Lain-lainnya bisa langsung diajak praktik, jadi disampaikan tidak
dalam bentuk teorinya”," katanya.
Dicontohkan, Pendidikan Kewarganegaraan dan agama tidak lagi disampaikan secara teoritis di ruang kelas. Kedua
pelajaran itu, seharusnya dapat diajarkan langsung kepada anak didik dengan tidak membuang sampah
sembarangan, tidak melakukan vandalisme dan diajak untuk membangun kebiasaan-kebiasaan positif lain yang
mencerminkan karakter manusia Indonesia.
"Salat juga diajarkan sambil praktik, mengaji juga begitu. Ujiannya kan bisa menyesuaikan. Nanti bisa sejalan antara
Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Keduanya dimunculkan dalam keseharian, bukan hanya
salah satu," jelasnya.
Fana Suparman/FMB
Suara Pembaruan