Dokumen tersebut membahas upaya konsorsium pendidikan bencana untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana di sekolah-sekolah di Indonesia melalui pengembangan kebijakan dan praktik pendidikan pengurangan risiko bencana yang berkelanjutan secara formal, nonformal dan informal. Konsorsium ini berkolaborasi dengan berbagai lembaga untuk meningkatkan kapasitas sekolah dalam mengelola risiko bencana.
2. 2006
Jejaring dari beberapa anggota-lembaga yang
mempunyai tujuan bersama mengembangkan
kebijakan yang memungkinkan praktek
pendidikan PRB secara berkelanjutan dan
terlembagakan (terinstitusionalisasi)
Badan-badan PBB, Pemerintah, Masyarakat Palang
Merah, dan LSM yang melaksanakan kegiatan
dalam Penyelenggaraan PB & Pengurangan Resiko
Bencana
Platform untuk pendidikan dan kampanye
pengurangan risiko bencana
3. Visi:
Menurunnya tingkat risiko bencana di Indonesia melalui peningkatan kapasitas
masyarakat dan pemangku kepentingan dalam mengelola risiko bencana
Misi:
Mendukung pengembangan kebijakan dan praktik pendidikan PRB di tingkat nasional
dan daerah yang berkelanjutan baik formal, non formal, maupun informal melalui
peningkatan kapasitas, koordinasi, dan sinergi antar pihak yang berkomitmen dalam
pendidikan pengurangan risiko bencana.
4. Koordinasi
• HFA Prioritas-2: Meningkatkan informasi risiko dan
peringatan dini
• HFA Prioritas-3: Menggunakan pengetahauan, inovasi, dan
pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamatan
dan ketahanan di semua tingkat
• HFA Prioritas-5: Memperkuat kesiapsiagaan terhadap
bencana demi respon yang efektif di semua tingkat
7. Tujuan Pendidikan PRB
1) Menumbuhkembangkan nilai dan sikap kemanusiaan.
2) Menumbuhkembangkan sikap dan kepedulian terhadap
risiko bencana.
3) Mengembangkan pemahaman tentang risiko bencana,
pemahaman tentang kerentanan sosial, pemahaman
tentang kerentanan fisik, serta kerentananperilaku dan
motivasi.
4) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk
pencegahan dan pengurangan risiko bencana,
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang
bertanggung jawab, dan adaptasi terhadap risiko
bencana.
5) Mengembangkan upaya untuk pengurangan risiko
bencana diatas, baik secara individu maupun kolektif.
6) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siaga
bencana.
7) Meningkatkan kemampuan tanggap darurat bencana.
8) Mengembangkan kesiapan untuk mendukung
pembangunan kembali komunitas saat bencana terjadi
dan mengurangi dampak yang disebabkan karena
terjadinya bencana.
9) Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan
perubahan besar dan mendadak.
8. Nilai-Nilai
1. Perubahan budaya. Pendidikan PRB
ditujukan untuk menghasilkan perubahan
budaya, budaya aman (safety), dan safer to
resilient.
2. Berorientasi pemberdayaan. Memampukan
komunitas sekolah untuk mengaplikasikan
PRB secara kolektif.
3. Kemandirian. Menggoptimalkan
pendayagunaan sumberdaya komunitas
sekolah sendiri dengan meminimalkan
sumberdaya yang datang dari luar.
4. Right based approach. Praktik pendidikan
PRB selalu memperhatikan hak-hak dasar
manusia.
5. Keberlanjutan. Sustainability dan
institusionalisasi (pelembagaan)
6. Menggali dan mendayagunakan kearifan
lokal. Menggali dan mendayagunakan
kearifan lokal dalam praktek Pendidikan
PRB
7. Kemitraan. Berupaya melibatkan pelbagai
komponen, sektoral, kelompok masyarakat,
lembaga pemerintah atau organisasi non-pemerintah
untuk bekerjasama dalam
mencapai tujuan bersama berdasarkan
kesepakatan, prinsip kolaborasi, dan sinergi.
9. Prinsip-Prinsip
Interdisiplin dan menyeluruh - Komunikasi antar-budaya
- Berorientasi Nilai - Berorientasi
Tindakan - Pemikiran Kritis dalam Pemecahan
Masalah - Pengembangan pemikiran kritis dan
pemecahan masalah - Multi-Metodologi - Relevan
dengan Kondisi Lokal – Partisipatif - Kehati-
Hatian – Akuntabilitas
10. ASB, IRI, Lingkar, Kerlip, WVI, German Red Cross, Kompak, SurfAid, HFI,
KOGAMI, Fanaroo - 241 Sekolah, 1 Ponpes (2011-2012)
11. Agenda Perubahan
+ 500,000 Sekolah/Madrasah Lebih Aman
“selamat” dan Siaga Bencana
11 Organisasi - 241 Sekolah, 1 Ponpes (2011-2012)
13. Tujuan SSB
• Lingkungan Belajar yang “Aman” Selamat
• Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di
Sekolah
• Pendidikan untuk pengurangan risiko bencana
14. Parameter SSB
1 Sikap dan Tindakan
2 Kebijakan sekolah
3 Perencanaan Kesiapsiagaan
4 Mobilisasi Sumberdaya
15. Sikap dan Tindakan
INDIKATOR VERIFIKASI
Pengetahuan mengenai jenis
bahaya, sumber bahaya dan besaran
bahaya yang ada di lingkungan
sekolah
• Mata pelajaran yang memuat
pengetahuan mengenai bahaya, sumber
bahaya dan besaran bahaya yang ada di
lingkungan sekolah.
• Kegiatan sekolah bagi peserta didik
untuk mengobservasi jenis bahaya,
sumber bahaya yang ada di lingkungan
sekolah.
• Kegiatan sekolah untuk mengidentifikasi
ancaman bahaya pada lokasi sekolah dan
gedung serta infrastruktur sekolah
Pengetahuan sejarah bencana yang
pernah terjadi di lingkungan sekolah
atau daerahnya
• Mata pelajaran yang memuat
pengetahuan mengenai sejarah bencana
yang pernah terjadi di lingkungan
sekolah atau daerahnya
16. Sikap dan Tindakan
INDIKATOR VERIFIKASI
Pengetahuan mengenai kerentanan
dan kapasitas yang dimiliki di sekolah
dan lingkungan sekitarnya
• Mata pelajaran yang memuat
pengetahuan mengenai kerentanan dan
kapasitas yang dimiliki di sekolah dan
lingkungan sekitarnya.
• Kegiatan sekolah bagi peserta didik
untuk mengobservasi kerentanan dan
kapasitas yang dimiliki di sekolah dan
lingkungan sekitarnya, termasuk
didalamnya lokasi, gedung serta
infrastruktur sekolah
17. Sikap dan Tindakan
INDIKATOR VERIFIKASI
Pengetahuan untuk mengidentifikasi
resiko dan upaya yang bisa dilakukan
untuk meminimalkan risiko bencana
di sekolah.
• Mata pelajaran yang memuat
pengetahuan mengenai upaya yang bisa
dilakukan untuk meminimalkan risiko
bencana di sekolah.
• Kegiatan sekolah bagi peserta didik
untuk mengindentifikasi upaya yang
bisa dilakukan untuk meminimalkan
risiko bencana di sekolah,
• Kegiatan sekolah untuk mengidentifikasi
upaya yang bisa mengurangi risko
bencana termasuk didalamnya pilihan
tindakan untuk melakukan relokasi
sekolah atau retrofit gedung dan
infrastruktur sekolah jika diperlukan
18. Sikap dan Tindakan
INDIKATOR VERIFIKASI
Keterampilan seluruh komponen
sekolah dalam menjalankan rencana
tanggap darurat
• Komponen sekolah untuk menjalankan
rencana tanggap darurat pada saat
simulasi
Adanya kegiatan simulasi/latihan
regular
• Jumlah simulasi dan pelatihan rutin dan
berkelanjutan di sekolah
Sosialisasi dan pelatihan kesiagaan
kepada warga sekolah dan pemangku
kepentingan sekolah
• Jumlah sosialisasi rutin dan
berkelanjutan di sekolah
19. Kebijakan sekolah
INDIKATOR VERIFIKASI
Adanya kebijakan, kesepakatan,
peraturan sekolah yang mendukung
upaya kesiagaan dan keamanan di
sekolah
• Jumlah kebijakan, kesepakatan, dan
peraturan sekolah yang mendukung
upaya kesiagaan di sekolah
• Sekolah mengadopsi persyaratan
konstruksi bangunan dan panduan
retrofit yang ada atau yang berlaku
Kebijakan sekolah sebagai payung
hukum pembuatan dan implementasi
Prosedur Tetap Kesiagaan Sekolah
(Prosedur Tetap/Protap kesiagaan
sekolah)
• Jumlah kebijakan sekolah yang
dibuat/dikeluarkan sekolah sebagai
payung hukum pembuatan dan
implementasi Prosedur Tetap
Kesiagaan Sekolah
• (Prosedur Tetap/Protap kesiagaan
sekolah).
Akses bagi seluruh komponen
sekolah untuk meningkatkan
kapasitas pengetahuan, pemahaman
dan keterampilan kesiagaan (materi
acuan, ikut serta dalam pelatihan,
musyawarah guru, pertemuan desa,
jambore siswa, dsb)
• Sekolah memiliki materi acuan yang
dibuat sekolah.
• Sekolah memberikan kemudahan bagi
komponen sekolah untuk mengikuti
pelatihan, musyawarah guru, jambore
siswa, dll.
20. Perencanaan dan Kesiapsiagaan
INDIKATOR VERIFIKASI
adanya dokumen penilaian resiko
bencana yang disusun bersama secara
partisipatif dengan warga sekolah dan
pemangku kepentingan sekolah
Sekolah memiliki dokumen penilaian
resiko yang dibuat secara berkala
sesuai dengan kerentanan sekolah.
Sekolah memiliki dokumen penilaian
kerentanan gedung sekolah yang
dinilai/ diperiksa secara berkala oleh
Pemerintah dan/atau PEMDA.
Catatan :
Kerentanan sekolah yang dinilai
berdasarkan aspek struktur dan
nonstruktur
Adanya rencana aksi sekolah dalam
penanggulangan bencana ( sebelum,
saat, dan setelah terjadi bencana)
Sekolah memiliki Rencana Aksi
Sekolah yang dibuat secara berkala,
direview dan diperbaharui secara
partisipatif dan diketahui oleh Dinas
Pendidikan Setempat
Adanya protokol komunikasi Sekolah memiliki protokol komunikasi
yang dibuat, direview dan
diperbaharui secara partisipatif
21. Perencanaan dan Kesiapsiagaan
INDIKATOR VERIFIKASI
Adanya Sistem Peringatan Dini:
Akses terhadap informasi bahaya,
baik dari tanda alam, informasi dari
lingkungan, dan dari pihak berwenang
(pemerintah daerah dan BMG)
Penyiapan alat dan tanda bahaya yang
disepakati dan dipahami seluruh
komponen sekolah
Mekanisme penyebarluasan informasi
peringatan bahaya di lingkungan
sekolah
Pemahaman yang baik oleh seluruh
komponen sekolah bagaimana
bereaksi terhadap informasi
peringatan bahaya
Adanya petugas yang
bertanggungjawab dan berwenang
mengoperasikan alat peringatan dini.
Pemeliharaan alat peringatan dini.
Sekolah memiliki mekanisme agar
informasi bahaya dapat terdisiminasi
kepada seluruh komponen sekolah
dengan cepat dan akurat.
Sekolah memiliki alat dan tanda
bahaya yang disepakati dan dipahami
seluruh komponen sekolah.
Sekolah memiliki mekanisme
penyebarluasan informasi peringatan
bahaya di lingkungan sekolah.
Komponen sekolah dapat memahami
dengan baik apa yang harus dilakukan
jika ada informasi peringatan bahaya.
Sekolah memiliki petugas yang
bertanggung jawab dan berwenang
mengoperasikan alat peringatan dini.
Sekolah memiliki tim yang memelihara
alat peringatan dini.
22. Perencanaan dan Kesiapsiagaan
INDIKATOR VERIFIKASI
Kesepakatan dan ketersediaan lokasi
evakuasi/shelter terdekat dengan
sekolah, disosialisasikan kepada
seluruh komponen sekolah dan orang
tua siswa, masyarakat sekitar dan
pemerintah daerah
Sekolah memiliki lokasi evakuasi/shelter
terdekat yang tersosialisasikan
serta disepakati oleh seluruh komponen
sekolah, orang tua siswa,
masyarakat sekitar dan pemerintah
daerah
Dokumen penting sekolah
digandakan dan tersimpan baik, agar
dapat tetap ada, meskipun sekolah
terkena bencana.
Sekolah memiliki tempat penyimpanan
dokumen penting sekolah (hasil
penggandaan) di tempat yang aman dari
bencana.
Catatan informasi penting yang
mudah digunakan seluruh komponen
sekolah, seperti pertolongan darurat
terdekat, puskesmas/rumah sakit
terdekat, dan aparat terkait.
Sekolah memiliki daftar catatan penting
yang mudah ditemukan/dilihat
oleh seluruh komponen sekolah dan
termutakhirkan dengan baik.
23. Perencanaan dan Kesiapsiagaan
INDIKATOR VERIFIKASI
adanya dokumen penilaian
resiko bencana yang disusun
bersama secara partisipatif
dengan warga sekolah dan
pemangku kepentingan
sekolah
Sekolah memiliki dokumen penilaian resiko yang
dibuat secara berkala sesuai dengan kerentanan
sekolah. Sekolah memiliki dokumen penilaian
kerentanan gedung sekolah yang dinilai/ diperiksa
secara berkala oleh Pemerintah dan/atau PEMDA.
Catatan :
Kerentanan sekolah yang dinilai berdasarkan
aspek struktur dan nonstruktur
Adanya rencana aksi sekolah
dalam penanggulangan
bencana ( sebelum, saat, dan
setelah terjadi bencana)
Sekolah memiliki Rencana Aksi Sekolah yang
dibuat secara berkala, direview dan diperbaharui
secara partisipatif dan diketahui oleh Dinas
Pendidikan Setempat
Adanya protokol komunikasi Sekolah memiliki protokol komunikasi yang
dibuat, direview dan diperbaharui secara
partisipatif
24. Perencanaan dan Kesiapsiagaan
INDIKATOR VERIFIKASI
Adanya Sistem Peringatan Dini:
• Akses terhadap informasi bahaya,
baik dari tanda alam, informasi dari
lingkungan, dan dari pihak berwenang
(pemerintah daerah dan BMG)
• Penyiapan alat dan tanda bahaya yang
disepakati dan dipahami seluruh
komponen sekolah
• Mekanisme penyebarluasan informasi
peringatan bahaya di lingkungan
sekolah
• Pemahaman yang baik oleh seluruh
komponen sekolah bagaimana
bereaksi terhadap informasi
peringatan bahaya
• Adanya petugas yang
bertanggungjawab dan berwenang
mengoperasikan alat peringatan dini.
• Pemeliharaan alat peringatan dini.
Sekolah memiliki mekanisme agar
informasi bahaya dapat terdisiminasi
kepada seluruh komponen sekolah
dengan cepat dan akurat.
Sekolah memiliki alat dan tanda
bahaya yang disepakati dan dipahami
seluruh komponen sekolah.
Sekolah memiliki mekanisme
penyebarluasan informasi peringatan
bahaya di lingkungan sekolah.
Komponen sekolah dapat memahami
dengan baik apa yang harus dilakukan
jika ada informasi peringatan bahaya.
Sekolah memiliki petugas yang
bertanggung jawab dan berwenang
mengoperasikan alat peringatan dini.
Sekolah memiliki tim yang memelihara
alat peringatan dini.
25. Perencanaan dan Kesiapsiagaan
INDIKATOR VERIFIKASI
Adanya Prosedur Tetap
KesiagaanSekolah yang disepakati
dandilaksanakan oleh seluruh
komponensekolah
• Sekolah memiliki PROTAP Kesiagaan
Sekolah yang direview secara rutin
dan dimutakhirkan secara partisipatif
Adanya peta evakuasi sekolah,
dengan tanda dan rambu yang
terpasang, yang mudah dipahami
oleh seluruh komponen sekolah
• Sekolah memiliki peta evakuasi
dengan tanda dan rambu yang
terpasang yang mudah dipahami oleh
seluruh komponen sekolah dan dapat
ditemukan dengan mudah di
lingkungan sekolah
26. Perencanaan dan Kesiapsiagaan
INDIKATOR VERIFIKASI
Kesepakatan dan ketersediaan lokasi
evakuasi/shelter terdekat dengan
sekolah, disosialisasikan kepada
seluruh komponen sekolah dan orang
tua siswa, masyarakat sekitar dan
pemerintah daerah
Sekolah memiliki lokasi evakuasi/shelter
terdekat yang tersosialisasikan
serta disepakati oleh seluruh komponen
sekolah, orang tua siswa,
masyarakat sekitar dan pemerintah
daerah
Dokumen penting sekolah
digandakan dan tersimpan baik, agar
dapat tetap ada, meskipun sekolah
terkena bencana.
Sekolah memiliki tempat penyimpanan
dokumen penting sekolah (hasil
penggandaan) di tempat yang aman dari
bencana.
Catatan informasi penting yang
mudah digunakan seluruh komponen
sekolah, seperti pertolongan darurat
terdekat, puskesmas/rumah sakit
terdekat, dan aparat terkait.
Sekolah memiliki daftar catatan penting
yang mudah ditemukan/dilihat
oleh seluruh komponen sekolah dan
termutakhirkan dengan baik.
27. Mobilisasi Sumberdaya
INDIKATOR VERIFIKASI
Adanya gugus siaga bencana sekolah
termasuk perwakilan peserta didik.
Sekolah memiliki gugus siaga bencana
dengan keterwakilan peserta
didik
Adanya penyebaran informasi dari
sekolah mengenai konsep sekolah
siaga bencana kepada sekolah lain
yang terhimpun dalam gugus guru
atau forum MGMP sekolah
Jumlah topik tentang sekolah siaga
bencana yang didiskusikan dalam
pertemuan gugus guru dan forum MGMP
sekolah
Adanya perlengkapan dasar dan
suplai kebutuhan dasar pasca
bencana yang dapat segera dipenuhi,
dan diakses oleh komunitas sekolah,
seperti alat pertolongan pertama
serta evakuasi, obat-obatan, terpal,
tenda dan sumber air bersih
Sekolah memiliki perlengkapan dasar dan
suplai kebutuhan dasar pasca
bencana yang dapat diakses oleh
komunitas sekolah.
28. Mobilisasi Sumberdaya
INDIKATOR VERIFIKASI
Pemantauan dan evaluasi partisipatif
mengenai kesiagaan dan keamanan
sekolah secara rutin (menguji atau
melatih kesiagaan sekolah secara
berkala).
Sekolah memiliki mekanisme
pemantauan dan evaluasi partisipatif
mengenai kesiagaan dan keamanan
sekolah secara rutin
Adanya kerjasama dengan pihakpihak
terkait penyelenggaraan
penanggulangan bencana baik
setempat (desa/kelurahan dan
kecamatan) maupun dengan
BPBD/Lembaga pemerintah yang
bertanggung jawab terhadap
koordinasi dan penyelenggaraan
penanggulangan bencana di
Sekolah memiliki kerja sama yang baik
dengan jejaring yang diperlukan
dalam kesiagaan sekolah
30. 500
450
400
350
300
200
150
100
50
0
250
Kerusakan Infrastruktur Pendidikan 2005 - 2011
Severe
Medium
Low
31.
32.
33. KERUSAKAN FASILITAS PENDIDIKAN 2005-2011
BANJIR
17.04%
TANAH LONGSOR
0.21%
TANAH LONGSOR DAN
BANJIR
3.28%
GELOMBANG
PASANG/ABRASI
0.04%
ERUPSI GUNUNGAPI
1.44%
GEMPA BUMI
76.53%
GEMPA BUMI DAN TSUNAMI
0.06%
PUTING BELIUNG
1.41%
34. Dampak
• Kegiatan belajar mengajar menjadi terganggu
hingga terhenti karena rusaknya sekolah
• Timbul biaya untuk melakukan perbaikan dan
rekonstruksi atas sarana/prasarana pendidikan
yang rusak tersebut
• hilangnya perlengkapan sekolah anak serta
• timbul biaya untuk melakukan proses pendidikan
di tempat lain sampai bangunan sekolah selesai
diperbaiki.
35. • kegiatan belajar mengajar tidak dapat dilakukan
oleh karena siswa/guru:
• 1) ikut mengungsi bersama keluarga;
• 2) tidak aman untuk berangkat ke sekolah;
• 3) banyak siswa/guru menjadi korban;
• 4) banyak bangunan sekolah yang dimanfaatkan
sebagai lokasi pengungsian sehingga tidak dapat
dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
• lumpuhnya pemerintah lokal akibat bencana
tsunami aceh 2004, misalnya.
36. MERAPI 2010
• Pada 2 kejadian bencana di Yogyakarta, 1 minggu pertama pasca
bencana penyelenggaraan pelayanan pendidikan terhenti
• Terganggunya pelaksanaan pendidikan/kegiatan belajar-mengajar
yakni:
• 1) siswa mengikuti orangtua yang memang harus mengungsi
• 2) sekolah terpaksa diliburkan oleh pihak manajemen sekolah
• 3) bangunan sekolah yang rusak dan tidak bisa/layak dipergunakan
untuk kegiatan belajar-mengajar
• Sekolah yang tidak parah juga terhenti karena putusnya akses
jalan menuju sekolah dan lokasi sekolah yang ada dalam zona
ancaman (masih tidak boleh dimasuki pasca bencana), dengan
demikian keputusan untuk diliburkan sementara waktu harus
diambil
37. • Minimnya data tentang besarnya jumlah anak terdampak bencana,
menunjukkan masih rendahnya kesadaran terhadap perlunya data
terpilah, kemampuan koordinasi lintas sektor, dan kinerja pencatatan
untuk keperluan statistik (statistik kebencanaan, statistik perempuan
dan anak, maupun statistik pendidikan).
• Data informasi bencana Indonesia sebagaian besar berasal dari
pencatatan korban dan kerugian pasca bencana. Sementara metode
yang biasa dipilih dalam menilai kerusakan dan kerugian bencana tidak
sensitif dengan hal-hal yang non-economic seperti pembangunan dan
kesejahteraan manusia.
• ‘Pendidikan’ di dalam laporan penilaian kerusakan dan kerugian, rencana
operasional (tanggap darurat), dan perencanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi bukan merupakan sektor tersendiri; tetapi sub-sektor sosial
(biasanya bersama kesehatan, dan sosial budaya lainnya).
38. • Pemerintah daerah biasanya lambat menginstruksikan penitipan
kegiatan belajar mengajar anak-anak korban letusan Merapi di sekolah-sekolah
yang dekat dengan lokasi pengungsian.
• Pada kasus Merapi 2010 misalnya, instruksi keluar satu minggu setelah
anak-anak mengikuti orang tua mereka di lokasi pengungsian.
• Anak-anak pengungsi harus dihadapkan pada: 1) tidak adanya persiapan
mengungsi sehingga banyak sarana belajar yang tertinggal di rumah; 2)
banyak pula anak-anak pengungsi yang mengalami kesulitan untuk
beradaptasi dengan suasana di sekolah yang baru (minder belajar
bersama-sama dengan anak-anak bukan pengungsi).
• Di lokasi pengungsian memang banyak bantuan yang telah diberikan
oleh para donatur, namun sebagian besar adalah berupa bahan pangan
dan pakaian, jarang yang berupa sarana kegiatan belajar mengajar siswa.
39. BANJIR JAKARTA 2013
• Survei di 25 Sekolah di DKI Jakarta -
Berdasarkan pengalaman kejadian Banjir besar
2007 dan 2013, Sekolah “libur” 1 hari – 2
minggu
• Sekolah dipergunakan sebagai tempat evakusi
sementara, Sekolah diperbaiki, Sekolah sudah
bisa didatangi, Anak-anak siap datang ke
sekolah, Guru-guru siap datang ke sekolah
(sudah kembali dari pengungsian)
40. Reasons for Temporary Closing School After Disaster
20%
44%
24%
12%
Used as Survivor Shelter
Loss of education facilities
Teachers evacuated to safe
places
School unreachable/Road
blocked
41. 8
7
6
5
4
3
2
1
0
Days School Closed After 2013 Flood
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Number of Schools
Days
School Closed
64%
School Still
Open
32%
No Answer
4%
Schools Closed After Disaster
Dibentuk pada bulan Oktober 2006 sebagai tindak lanjut dari peringatan Hari Pengurangan Resiko Bencana (Internasional) 2006 dengan tema “Pengurangan Resiko Bencana Mulai dari Sekolah”
58 anggota (November 2010)
“Berbagai lembaga telah pula melakukan kegiatan/program untuk kesiapsiagaan pengurangan resiko bencana di tingkat sekolah. Dengan segala penghargaan terhadap apa yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga, dirasakan perlu adanya upaya yang lebih terintegrasi serta terkoordinasi agar kegiatan yang dilakukan terhindar dari tumpang tindih dan terlaksana secara berkesinambungan serta berdaya guna. Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB) terbentuk pada 2006 beranggotakan awal 22 organisasi yang mewakili instansi pemerintah, badan-badan PBB, LSM lokal/internasional dan Masyarakat Palang Merah. Saat ini, jumlah anggota telah bertambah menjadi 39 organisasi. Selanjutnya, KPB akan terus aktif membangun koordinasi termasuk berkoordinasi dengan ‘cluster’ pendidikan. Pada bulan Oktober 2006, kegiatan awal KPB ditandai lokakarya nasional bertajuk “Membangun ketahanan sekolah terhadap bencana” dan road show ke 16 sekolah dalam rangka pengenalan kesiapsiagaan bencana kepada murid-murid sekolah dasar. Berdasarkan pengalaman para anggota dan kegiatan koordinatif yang dilakukannya, KPB pun melihat adanya kebutuhan akan kerangka kerja Pengurangan Risiko Bencana Berbasiskan sekolah untuk memastikan kesinambungan pendidikan kebencanaan. “ – Dokumen Kerangka Kerja KPB 2006-2009
ASB, IRI, Lingkar, Kerlip, WVI, German Red Cross, Kompak, SurfAid, HFI, KOGAMI, Fanaroo
Jumlah total sekolah yang didampingi ada 241 terdiri dari:
TK: 1
SD: 187
SMP: 31
SMA: 21
Ponpes: 1
Dari peta ini – kita akan menuju – 33 provinsi yang melek risiko bencana melalui sekolah sekolah yang didampingi oleh anggota KPB
Bagaimana caranya?
Setelah ketemu topik afirmatifnya, maka kita mulai melakukan penemuan kekuatan, aset, praktek terbaik, dan pengalaman puncak yang terkait topik itu. Tahap menemukan apa yang sudah baik dan berjalan dengan benar pada komunitas, organisasi atau bangsa ini.
Penemuannya biasanya dilakukan dengan obrolan atau wawancara berpasangan yang dilanjutkan dengan dialog kelompok.
Diawali dari berpasangan, agar hal baik yang ditemukan sifatnya emosional danmelekat pada pengalaman personal, tidak
semata-mata bersifat rasional. --- diskusi kelompok 3 orang perkelompok. Dengan orang yg sudah kita kenal baik – paling dekat.
Untuk mengukur upaya yang dilakukan sekolah dalam membangun Sekolah Siaga Bencana (SSB), perlu ditetapkan parameter, indikator, dan verifikasinya. Parameter adalah standar minimum yang bersifat kualitatif dan menentukan tingkat minimum yang harus dicapai dalam pemberian respon pendidikan. Indikator merupakan “penanda” yang menunjukkan apakah standar telah dicapai. Indikator memberikan cara mengukur dan mengkomunikasikan dampak, atau hasil dari suatu program, sekaligus juga proses, atau metode yang digunakan. Indikator bisa bersifat kualitatif atau kuantitatif. Sedangkan verifikasi adalah bukti yang telah ditetapkan untuk menunjukkan indikator.
Setelah ketemu topik afirmatifnya, maka kita mulai melakukan penemuan kekuatan, aset, praktek terbaik, dan pengalaman puncak yang terkait topik itu. Tahap menemukan apa yang sudah baik dan berjalan dengan benar pada komunitas, organisasi atau bangsa ini.
Penemuannya biasanya dilakukan dengan obrolan atau wawancara berpasangan yang dilanjutkan dengan dialog kelompok.
Diawali dari berpasangan, agar hal baik yang ditemukan sifatnya emosional danmelekat pada pengalaman personal, tidak
semata-mata bersifat rasional. --- diskusi kelompok 3 orang perkelompok. Dengan orang yg sudah kita kenal baik – paling dekat.
Emosi positif memungkinkan kita membuka kesempatan-kesempatan baru