Makalah ini membahas penanganan perdarahan subaraknoid. Perdarahan subaraknoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma yang terletak di pembuluh darah otak. Tatalaksana perdarahan subaraknoid meliputi pemberian obat analgetik, anti fibrinolitik, dan operasi untuk menangani aneurisma jika diperlukan. Komplikasi yang dapat timbul antara lain vasospasme dan peningkatan tekanan intrakranial.
1. Paper Neurologi
PENANGANAN PERDARAHAN
SUBARACHNOID
Oleh:
Pahala Febrianto Rumahorbo
170100170
Pembimbing
dr. Muhammad Yusuf, M.Ked(Neu), Sp.S(K)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
DEPARTEMEN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
2. i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Penanganan Perdarahan Subarachnoid”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada dr. Muhammad Yusuf, M.Ked(Neu), Sp.S(K) selaku pembimbing
yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi yang baik dalam
sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Medan, 4 April 2021
Penulis
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL........................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Tujuan penelitian................................................................................................2
1.3 Manfaat Penelitian...............................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................3
2.1 Anatomi ..................................................................................................................3
2.2 Definisi....................................................................................................................5
2.3 Etiologi....................................................................................................................5
2.4 Epidemiologi ..........................................................................................................6
2.5 Patofisiologi............................................................................................................7
2.6 Manifestasi Klinis ..................................................................................................9
2.7 Diagnosis ..............................................................................................................10
2.8 Diagnosis Banding...............................................................................................12
2.9 Penatalaksanaan ...................................................................................................13
2.10 Komplikasi .........................................................................................................17
2.11 Prognosis ............................................................................................................17
BAB III KESIMPULAN ..........................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................20
4. iii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Anatomi Meningen 3
2.2 Tipe Aneurisma 7
2.3 Lokasi Aneurisma di Arteri Intrakranial 8
2.4 Algoritma Penegakan Diagnosis Untuk Suspek
Perdarahan Subarachnoid Oleh Karena Aneurisma 11
5. iv
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Grading WFNS Untuk PSA Berdasarkan GCS 12
2.2 Skala Fisher Untuk PSA Berdasarkan CT Scan 12
2.3 Sistem Ogilvy dan Carter 18
6. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perdarahan Subarakhnoid atau PSA merupakan suatu keadaan dimana terdapat
darah pada rongga subarachnoid yang disebabkan oleh proses patologis, baik oleh
karena trauma maupun non trauma. PSA ditandai oleh ekstravasasi darah ke rongga
subarachnoid, yaitu rongga yang terdapat di antara piamater dan arachnoid mater
yang merupakan bagian dari selaput yang membungkus otak (meningen). PSA
umumnya disebabkan oleh karena non trauma, seperti rupturnya pembuluh darah
intrakranial[1][2].
Kejadian PSA menyumbang hingga 15% dari seluruh kasus gangguan
peredaran darah di otak. Puncak insidensi PSA umunya terjadi pada kisaran usia 55
tahun (laki-laki) dan 60 tahun (perempuan). Ada beberapa faktor yang
meningkatkan terjadinya PSA antara lain, aneurisma, malformasi arteri vena
(MAV), dan juga genetik. Adapun faktor lain yang tidak secara langsung
menyebabkan PSA, antara lain merokok, alkohol, aterosklerosis, dan
penyalahgunaan obat terlarang, seperti kokain. Risiko terjadinya PSA akan
meningkat dua kali jika tekanan darah sistolnya lebih dari 130 mmHg, dan tiga kali
lipat jika melebihi 170 mmHg[2][3]
. Adapun keluhan yang umum dirasakan oleh
mereka yang mengalami PSA, antara lain nyeri kepala mendadak, muntah, kaku
bagian leher, fotofobia, defisit neurologis, dan penurunan kesadaran. Keadaan PSA
dapat diidentifikasi melalui CT Scan ataupun MRI[4]
.
Pada kasus yang di diagnosis dengan PSA ataupun yang dicurigai, harus segera
mendapatkan tatalaksana guna mencegah terjadinya perburukan ataupun
komplikasi. Pasien yang dengan PSA dianjurkan untuk dirawat dan tidak
diperkenankan untuk melakukan aktivitas berat agar tidak memperburuk perdarahan
yang sudah ada. Adapun tatalaksana yang diberikan beragam, seperti pemberian
analgetik untuk meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien, anti fibrinolitik untuk
mencegah perdarahan berulang, dan jika diperlukan dapat dilakukan tindakan
operasi pada pasien yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami perdarahan
berulang. Para ahli menyarankan agar tindakan operasi yang diperlukan sebaiknya
dilaksanakan 3 hari setelah timbul gejala, jika tindakan operasi ditunda untuk
7. 2
mengurangi risiko dari pembedahan dikhawatirkan dapat meningkatkan probabilitas
terjadinya perdarahan berulang yang lebih fatal[5].
Selain menimbulkan perdarahan di rongga otak, PSA juga dapat menyebabkan
gangguan lainnya, seperti iskemia pada daerah di dekat rupturnya pembuluh darah.
Iskemia dapat menyebabkan kerusakan jaringan sementara karena terhambatnya
aliran darah yang membawa oksigen dan zat-zat yang dibutuhkan oleh sel untuk
berfungsi dengan baik. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus, maka akan
menyebabkan kerusakan permanen di area otak atau bahkan kematian. Adapun
komplikasi yang umujm terjadi pada kasus PSA adalah vasospasme, hidrosefalus,
dan penigkatan tekanan intrakranial[2].
1.2 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk memberikan penjelasan
mengenai Penanganan Perdarahan Subarachnoid dan sekaligus untuk memenuhi
persyaratan pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.3 MANFAAT
Penulisan paper ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis serta
pembaca khususnya peserta P3D, agar lebih memahami mengenai Penanganan
Perdarahan Subarachnoid.
8. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Otak dibungkus oleh selaput tipis yang disebut meningen. Lapisan luarnya
adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi
menjadi arachnoidea dan piamater[6]
.
Gambar 2.1 Anatomi Meningen[6]
1. Duramater
Duramater adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu lapisan
dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dura yang
melapisi otak ini umumnya bersatu, kecuali di tempat dimana keduanya
berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus
venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana
lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak. Duramater
lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk
periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam
tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Di antara
9. 4
kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Bagian
ini melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang
sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu
dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi
pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing
hemispherium aman pada ruangnya sendiri[4][6]
.
2. Arachnoidea
Lapisan arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural.
Lapisan ini dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang
membentuk suatu anyaman padat yang menjadi sistem rongga yang saling
berhubungan. Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan
piamater yang secara relatif sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer
cerebrum, namun rongga tersebut menjadi lebih lebar di daerah-daerah pada
dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali
diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan.
Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan
dengan rongga subarachnoid umum. Cisterna magna diakibatkan oleh
pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid di antara medulla
oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung dengan
rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek
ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah
cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis.
Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum,
cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis
di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan
temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii)[4][6]
.
3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fisura, dan
sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke
dalam fisura transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini piamater
10. 5
membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung
dengan ependim dan pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus
choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Piamater dan ependim berjalan di
atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat
itu[4][6].
2.2 DEFINISI
Pendarahan subarachnoid (PSA) merupakan suatu keadaan dimana
berkumpulnya darah pada rongga subarachnoid, keadaan tersebut muncul karena
adanya ekstravasasi darah dari pembuluh darah ke rongga subarachnoid yang
terletak diantara lapisan tengah (arachnoid mater) dan lapisan dalam (pia mater)
yang merupakan bagian dari selaput pembungkus otak[7]
.
2.3 ETIOLOGI
Pada kasus PSA yang disebabkan oleh non trauma, hampir 80% diakibatkan
oleh rupturnya berry atau saccular aneurisma, rupturnya malformasi arteri-vena
(10%), adapun sisanya disebabkan oleh karena rupturnya pembuluh darah pada
kondisi dibawah ini :
Aneurisma mikotik
Angioma
Neoplasma
Kortikal thrombosis
Ada beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma, antara lain :
Aterosklerosis
Hipertensi
Penuaan
11. 6
Merokok
Gangguan hemodinamik
Meskipun telah dilakukan evaluasi yang menyeluruh mengenai hubungan faktor
risiko dengan kejadian PSA, namun hanya sedikit yang memberikan hasil yang
konklusif. Sejauh ini, merokok dan konsumsi alkohol yang berlebihan dipercaya
sebagai faktor risiko yang paling meningkatkan kemungkinan terjadinya PSA, dan
rupturnya MAV meningkat selama kehamilan. Dari data yang ada, hipertensi akut
yang parah dengan tekanan diastolik diatas 110 mmHg sering dihubungkan dengan
kejadian PSA.
2.4 EPIDEMIOLOGI
Perdarahan subarachnoid merupakan salah satu penyakit neurologi yang paling
ditakutkan dikarenakan tingkat mortalitasnya yang tinggi serta cenderung
menyebabkan ketergantungan pada mereka yang terkena, dimana kejadian PSA dapat
memberikan dampak ekonomi dua kali lebih berat dibandingkan mereka yang
terkena stroke iskemik[8]
. Di Eropa, berdasarkan European Registers of Stroke Study
(EROS) ada sekitar 9 kasus/100.000 penduduk, dimana angka tersebut cenderung
stabil dari tahun ke tahun[9]. Di Indonesia, ada sekitar 200.000 kasus baru setiap
tahunnya yang mana dapat berlanjut menjadi stroke hemoragik.
Risiko terjadinya PSA lebih tinggi pada populasi kulit hitam dibandingkan kulit
putih, namun semua orang dari berbagai etnis dapat mengalami aneurisma.
Perbedaan dari frekuensi terjadinya ruptur ini dikaitkan dengan variasi dari populasi
penelitian sehubungan dengan faktor risiko dan distribusi usia. Berdasarkan jenis
kelamin, insiden terjadinya PSA pada wanita lebih tinggi dibanding pada pria dengan
rasio 3:2. Dimana hal tersebut semakin meningkat pada wanita yang sedang hamil,
terkhusus pada trimester ketiga kehamilan.
Insiden terjadinya PSA juga meningkat seiring bertambahnya usia, dan
puncaknya berada pada usia 50 tahun. Sekitar 80% dari total kasus PSA yang ada
berasal dari usia 40-65 tahun, 15% terjadi pada mereka yang berusia 20-40 tahun,
dan sekitar 5% terjadi pada mereka yang berusia dibawah 20 tahun. PSA sangat
jarang terjadi pada anak-anak yang berusia dibawah 10 tahun.
12. 7
2.5 PATOFISIOLOGI
Perdarahan Subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah intrakranial pecah,
sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid
umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari
arteriovenous malformation (AVM). PSA dapat disertai oleh gangguan
serebrovaskular karena adanya aliran yang terganggu. Defisit neurologis dapat timbul
jika PSA tidak segera di tatalaksana karena akan terjadi perusakan jaringan otak oleh
penumpukan darah di ruang subarachnoid atau karena kurangnya aliran darah dari
pembuluh darah yang pecah. Penumpukan darah yang terjadi, khususnya di sisterna
basalis, dapat menginduksi terjadinya vasospasme. Dimana vasospasme yang
berlanjut dan meluas dapat menyebabkan terjadinya infark serebri sekunder yang
berdampak semakin luasnya lesi yang timbul di otak[10].
Gambar 2.2 Tipe Aneurisma[11]
13. 8
Gambar 2.3 Lokasi Aneurisma di Arteri Intrakranial[12]
PSA umumnya disebabkan karena rupturnya aneurisma pembuluh darah
intrakranial. Dimana aneurisma merupakan kondisi dimana pembuluh darah
mengalami penggembungan yang umumnya disebabkan oleh tekanan hemodinamik
pada dinding arteri ataupun perlekukannya. Saccular atau berry aneurism merupakan
bentuk yang umum terjadi, dimana bentuknya menyerupai biji atau buah beri dan
bentuk ini spesifik terjadi pada percabangan/bifurcation arteri intrakranial. Arteri
intrakranial tidak memiliki selaput tipis pada bagian luarnya, dimana selaput ini
mengandung faktor adventitia yang membantu mempertahankan kekuatan dinding
pembuluh darah. Aneurisma yang terbentuk dapat menekan struktur yang ada di
dekatnya sehingga dapat mengganggu fungsi dari struktur yang tertekan olehnya.
Rupturnya aneurisma sakular ini biasanya terjadi di fundus arteri yang berdinding
tipis, penumpukan darah yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan pada parenkim
otak. Infark parenkim juga dapat terjadi sebagai akibat vasospasme arteri intracranial
yang terjadi[13][14].
Terbentuknya aneurisma sakular sering dikaitkan dengan situasi berikut, seperti
peningkatan tekanan darah, peningkatan aliran darah, kelainan pembuluh darah,
kelainan genetik, metastasis tumor ke arteri serebral, dan juga infeksi. Selain
aneurisma, MAV merupakan salah satu kelainan pembuluh darah congenital yang
tersering di otak dan berkaitan dengan terjadinya PSA. Secara makroskopis
malformasi arteriovena tampak sebagai kumpulan pembuluh darah yang berkelok-
kelok sedangkan secara mikroskopis berupa pembuluh dengan diameter yang
beragam, tersusun secara acak yang mencakup arteri, vena, serta bentuk transisinya,
14. 9
dimana pembuluh darah ini dipisahkan oleh parenkim otak[11][13].
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang timbul pada PSA beragam, mulai dari yang umum
sampai yang klasik. Adapun tanda dan gejala yang umum terjadi sekitar 10-20 hari
sebelum rupturnya aneurisma, seperti nyeri kepala, pusing, nyeri daerah mata,
penglihatan ganda, sampai gangguan penglihatan. Namun gejala tersebut sering
dihiraukan dan salah didiagnosis. Tanda dan gejala yang klasik dari PSA adalah
sebagai berikut[11][13]
:
Nyeri kepala hebat (thunderclap headache) dengan sensasi seperti
meledak, berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit
Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang,
gelisah dan kejang
Penurunan kesadaran, mulai dari delirium sampai koma
Dijumpai gejala atau tanda rangsang meningeal seperti kaku kuduk (+),
tanda kernig (+)
Defisit neurologik fokal bergantung pada lokasi lesi
Selain tanda dan gejala diatas, untuk menegakkan diagnosa PSA, ada 7
karakteristik pasien yang sering dikaitkan dengan PSA:
Berusia 40 tahun atau lebih
Kehilangan kesadaran
Mengeluhkan nyeri atau kaku di leher
Manifestasi timbul saat beraktivitas
Diantar dengan bantuan ambulance
Muntah
Diastolik >= 100mmHg atau Sistolik >=160mmHg
Jika pasien memiliki satu atau lebih karakteristik diatas dengan nyeri kepala
akut (non trauma) dengan intensitas yang sangat berat dalam 1 jam, kemungkinan
terjadinya PSA pada pasien tersebut harus dipastikan[15]
.
15. 10
2.7 DIAGNOSIS
Melalui anamnesa, maka akan didapat bahwa pasien dengan PSA umumnya
memiliki tanda-tanda klasik seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terkhusus
nyeri kepala hebat yang tiba-tiba (thunderclap headache)[11]
. Pada pemeriksaaan
klinis, dapat dinilai gangguan fungsi saraf kranialis, tingkat kesadaran, gangguan
motorik maupun sensorik, ada atau tidak rangsangan meningeal ataupun refleks yang
meningkat. Pada pasien PSA, biasanya akan dijumpai kaku kuduk (+) dan kernig
sign (+). Dan pada PSA, dapat juga dijumpai perdarahan retina di bagian
subhyaloid[16]
.
Selain anamnesa dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang juga
diperlukan untuk memastikan diagnosis dari PSA. Umumnya pemeriksaan penunjang
yang dilakukan adalah CT Scan tanpa kontras dan CT Angiography yang dapat
mendeteksi PSA dengan sesnsitivitas lebih dari 99% [17]. Selain kedua modalitas
tersebut, ada pemeriksaan penunjang lainnya yang bisa dilakukan seperti lumbal
pungsi, magnetic resonance imaging (MRI), digital subtraction angiografi (DSA),
trans cranial doppler (TCD). Adapun pemeriksaan lainnya, seperti darah lengkap,
kadar ureum, elektrolit, glukosa darah, foto toraks, dan EKG dapat dilakukan jika
ada indikasi atau untuk melihat ada tidaknya faktor risiko yang dapat memicu
terjadinya PSA. Pemeriksaan faal ginjal juga dapat dilakukan untuk melihat apakah
terdapat gangguan yang dapat menyebabkan hipertensi[4][14]
.
16. 11
Gambar 2.4 Algoritma Penegakan Diagnosis Untuk Suspek Perdarahan
Subarachnoid Oleh Karena Aneurisma[18]
Pemeriksaan klinis yang dilakukan untuk menilai tingkat keparahan dari
perdarahan subarachnoid umumnya menggunakan skala penilaian, antara lain :
A. Skala Hunt & Hess[11]
Grade I : Asimtomatik atau sakit kepala ringan
Grade Ia : Defisit neurologis tanpa tanda meningeal
Grade II : Kelumpuhan saraf kranial, nyeri kepala sedang sampai
berat
Grade III : Defisit fokal ringan, letargi, kebingungan
Grade IV : Stupor, hemiparesis sedang sampai berat
Grade V : Koma, kekakuan deserebrasi, gambaran moribund
17. 12
Pada skala ini, grade I-III memiliki prognosis yang lebih baik dan
merupakan kandidat yang baik untuk menjalani tindakan operasi, sedangkan
pasien dengan grade IV-V membutuhkan penanganan yang lebih intensif
hingga tercapai grade III agar dapat dilakukan tindakan operasi.
B. World Federation of Neurosurgeon Scale (WFNS)[18]
Grades Glasgow Scale Gambaran Defisit Motorik
I 15 points Tidak ada
II 13-14 points Tidak ada
III 13-14 points Ada
IV 7-12 points Mungkin ada atau mungkin tidak
V 3-7 points Mungkin ada atau mungkin tidak
Tabel 2.1 Grading WFNS Untuk PSA Berdasarkan GCS
C. Skala Fisher (gambaran CT Scan)[19]
Grade Gambaran CT Scan
I Tidak ada darah yang terdeteksi
II Deposit darah difus atau lapisan vertikal darah dengan
ketebalan < 1mm, tidak ada cloting
III Didapatkan cloting yang terlokalisir dengan ketebalan > 1mm
IV Intraserebral dan intraventrikular cloting dengan PSA difus atau
tidak
Tabel 2.2 Skala Fisher Untuk PSA Berdasarkan CT Scan
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Terdapat beberapa penyakit yang dapat menjadi diagnosis banding dari
perdarahan subaracnoid, yaitu[4]
:
1. Meningitis aseptik
2. Nyeri kepala tipe cluster (emergensi)
3. Ensefalitis
4. Perdarahan intrakranial
5. Nyeri kepala tipe migraine
18. 13
6. Transient ischemic attack
7. Stroke akibat perdarahan intrakranial
8. Stroke akibat malformasi arteriovena
9. Meningitis meningokokus
10. Trombosis arteri basilaris
11. Perdarahan serebelar
12. Aneurisma serebral
13. Thrombosis vena serebral
14. Hematoma epidural
15. Hidrosefalus
16. Temporal arteritis
2.9 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari penatalaksanaan medis pada perdarahan subarachnoid adalah
untuk menempatkan pasien dalam kondisi klinis terbaik sembari menyingkirkan atau
mengeluarkan aneurisma yang pecah dari system peredaran darah seaman mungkin.
Oleh karena itu, pada kasus perdarahan subarachnoid yang tidak melibatkan
aneurisma, penatalaksanaan ditujukan untuk mencegah timbulnya dua komplikasi
neurologis yang umum, yakni perdarahan berulang dan vasospasme. Vasospasme
yang timbul harus segera ditangani sedini mungkin. Selain itu, masalah lain yang
timbul berhubungan dengan komplikasi ini akan ditatalaksana, seperti nyeri kepala,
edema serebral, kemungkinan timbulnya kejang, dan manifestasi klinis lainnya.
Keluhan tambahan dapat berupa ketidakseimbangan ion (hiponatremia oleh karena
ekskresi hormone ADH yang inadekuat dan hipernatremia oleh karena diabetes
insifidus); gangguan jantung (aritmia, infeksi miokardium akut, atau kardiomiopati
takotsubo); gangguan gastrointestinal (perdarahan saluran cerna), dan gangguan
pernapasan (edema pulmo neurogenik atau tromboemboli paru)[18]
.
Ada beberapa tatalaksana yang dilakukan pada kasus perdarahan subarachnoid,
antara lain:
1. Pedoman Tatalaksana Berdasarkan Skala Hunt & Hess[4][11][13]
a. Pasien dengan grade I & II Hunt & Hess
Identifikasi tanda yang khas seperti thunderclap headache sedini
19. 14
mungkin untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas
pasien
Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30˚ dalam ruangan
yang tenang dan nyaman, bila perlu berikan oksigen 2-3 L/menit
Perhatikan penggunaan obat sedative
Berikan infus i.v, serta monitor ketat kelainan neurologis yang
mungkin timbul
b. Pasien dengan grade III, IV, dan V Hunt & Hess
Berikan penatalaksanaan ABC pada pasien sesuai dengan protokol di
ruang gawat darurat
Lakukan intubasi endotrakeal untuk mencegah terjadinya aspirasi dan
menjamin jalan napas yang adekuat
Jika ada tanda-tanda herniasi maka lakukan intubasi
Hindari penggunaan sedative yang berlebihan karena akan menyulitkan
penilaian status neurologis pasien
2. Pencegahan Perdarahan Berulang
Tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya perdarahan berulang
pada kasus perdarahan subarachnoid dapat dilakukan dengan pemberian anti
fibrinolitik. Namun pemberian ini hanya di rekomendasikan pada kondisi klinis
tertentu saja, seperti pada pasien dengan risiko rendah untuk terjadinya
vasospasme atau untuk memberikan efek yang bermanfaat pada tindakan operasi
yang ditunda.
3. Penanganan Aneurisma
Operasi Clipping
Merupakan tindakan operasi baku emas pada aneurisma. Prosedur
ini dilakuakn dengan penempatan klip melintasi leher aneurisma untuk
mengeluarkan aneurisma dari sirkulasi tanpa menyumbat vena normal.
Tindakan ini sangat di rekomendasikan untuk mengurangi perdarahan
berulang setelah rupturnya aneurisma pada kasus perdarahan
subarachnoid. Clipping efektif mencegah terjadinya perdarahan ulang,
karena sangat jarang terjadi slip pada klip. Apabila ada bagian leher
20. 15
diluar klip, biasanya akan terjadi rekurensi pertumbuhan.
Operasi Wrapping atau Coating
Pada tindakan ini, aneurisma dibungkus atau ditutup menggunakan
media tertentu, seperti jaringan otot, katun, plastik resin atau polimer
lain, teflon ataupun lem fibrin.
Teknik Endovaskular
Pada teknik ini dilakukan penyumbatan atau mengisi ruangan pada
aneurisma dengan cara memasukkan gulungan dari bahan khusus. Ada
dua cara, yakni coiling dan trapping. Umumnya teknik ini dilakukan
pada aneurisma dengan diameter yang cukup besar (>25 mm).
4. Pencegahan Vasospasme
Pemberian nimodipin, dimulai dengan dosis 1-2 mg per jam i.v pada hari
ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemberian
nimodipin terbukti dapat memperbaiki defisit neurologis yang ditimbulkan
oleh vasospasme.
Pengobatan dengan metode hyperdinamic therapy yang dikenal dengan
istilah triple H, yaitu Hypervolemic-Hypertensive-Hemodilution, dengan
tujan mempertahankan tekanan perfusi ke otak, sehingga dapat mengurangi
terjadinya iskemik serebral akibat vasospasme. Perlu diwaspadai
kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan
embolisasi atau clipping.
Angioplasti transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada
pasien yang gagal dengan terapi konvensional
5. Anti Fibrinolitik
Penggunaan obat golongan ini dapat mencegah terjadinya perdarahan ulang.
Obat yang sering dipakai adalah epsilon amino-caproid acid dengan dosis 36
gram/ hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 gram/hari.
6. Anti Hipertensi
Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan
darah sistolik tidak lebih dari 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90
21. 16
mmHg.
Obat anti hipertensi diberikan bila tekanan darah sistolik dan tekanan
darah diastolik melebihi batasannya dan MAP di atas 130 mmHg.
Obat anti hipertensi yang dapat dipakai adalah Labetolol (i.v) 0,5-
2mg/menit sampai mencapai maksimum 20 mg/jam atau Esmolol infus
dosisnya 50-200 mcg/kg/menit.
7. Penanganan Kejang
Tindakan ini hanya dipertimbangkan pada pasien yang mungkin timbul
kejang, seperti pada kasus hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media,
dan kesadaran yang tidak baik. Oleh karena itu, untuk menghindari risiko
terjadinya perdarahan ulang yang disebabkan oleh kejang, dapat diberikan
fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari secara oral atau intravena. Dosis
awal 100 mg oral atau i.v 3x/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/hari secara
oral dan terbagi menjadi beberapa dosis pemberian. Benzodiazepin dapat
digunakan untuk menghentikan kejang.
8. Penanganan Hidrosefalus
Timbulnya hidrosefalus merupakan salah satu tanda terjadinya komplikasi
pada kasus perdarahan subarachnoid, hal tersebut muncul karena darah yang
keluar memenuhi rongga otak sehingga meningkatkan tekanan pada otak. Ada 2
tipe, yakni:
Akut
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering pada 7 hari
pertama. Dianjurkan untuk ventrikulostomi (drainase eksternal
ventricular), walaupun risikonya dapat terjadi perdarahan berulang dan
infeksi.
Kronik
Sering terjadi setelah perdarahan subarachnoid. Dilakukan pengaliran
cairan serebrospinal secara temporer atau permanen seperti ventrikulo
peritoneal shunt.
22. 17
2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi dari perdarahan subarachnoid dapat terjadi intrakranial maupun
ekstrakranial, antara lain:
1. Intrakranial
Perdarahan berulang
Hidrosefalus
Epilepsi atau kejang
Iskemia serebral
Hematom yang meluas
2. Ekstrakranial
Infark miokardium
Aritmia
Hiponatremia
Edema paru akut dan hipoksemia
Stress ulser
2.11 PROGNOSIS
Keadaan neurologis pasien sewaktu dibawa ke rumah sakit merupakan indicator
yang penting untuk menilai prognosis perdarahan subarachnoid pada pasien tersebut.
Umumnya pasien dengan perdarahan subarachnoid mengalami gangguan kesadaran
mulai dari delirium sampai koma. Berdasarkan skala Hunt & Hess, kita dapat
mengklasifikasikan prognosis pasien berdasarkan grading tersebut. Pasien yang
berada pada grade I & II memiliki prognosis yang relative baik, grade III memiliki
prognosis sedang, sedangkan grade IV & V memiliki prognosis yang jelek.
Selain cara diatas, prognosis pasien juga dapat dinilai berdasarkan system
scoring yang dikembangkan oleh Ogilvy dan Carter.
23. 18
Skor Keterangan
1 Nilai Hunt dan Hess > III
1 Skor skala Fisher > 2
1 Ukurn aneurisma > 10 mm
1 Usia pasien > 50 tahun
1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran besar (≥ 25mm)
Tabel 2.3 Sistem Ogilvy dan Carter[19]
Pada sistem ini, prognosis pasien ditentukan oleh total skor yang diperolehnya,
yaitu total skor 5 memiliki prognosis yang paling buruk, sedangkan skor 0 memiliki
prognosis yang paling baik.
Prognosis yang baik dapat dicapai jika pasien perdarahan subarachnoid
ditangani secepat mungkin secara intensif seperti resusitasi preoperative yang
adekuat, tindakan bedah sedini mungkin, penatalaksanaan tekanan intracranial,
mencegah terjadinya vasospasme, serta monitoring yang ketat sesudah dilakukannya
tatalaksana terhadap pasien dengan melibatkan fasilitas dan tenaga medis yang
mumpuni[20].
24. 19
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan subarachnoid (PSA) merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan
adanya darah pada rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis.
Perdarahan subarachnoid muncul karena adanya ekstravasasi darah ke rongga
subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam selaput pembungkus otak (pia mater)
dan lapisan tengah (arakhnoid mater). Perdarahan subarachnoid yang disebabkan
oleh faktor non trauma, umumnya terjadi karena rupturnya aneurisma pembuluh
darah di otak. Untuk menegakkan diagnosanya dibutuhkan bantuan neuroimaging,
seperti CT Scan kepala, dan Angiografi. Penatalaksanaan pada kasus perdarahan
subarachnoid dapat berupa medikamentosa ataupun tindakan operasi yang sesuai
dengan indikasi pasien. Prognosis pada kasus ini beragam, tergantung dari luasnya
perdarahan, komplikasi yang terjadi, serta faktor penyulit lainnya selama perawatan.
25. 20
DAFTAR PUSTAKA
[1] Connolly ES, Rabinstein AA, Carhuapoma JR, et al. Guidelines for the
Management of Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage: A Guideline for
Healthcare Profesionals From The American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke. 2012;43:1711-1737
[2] Caplan LR. Subarachnoid Hemorrhage, Aneurysm, and Vascular Malformations.
In: Stroke A Clinical Approach. 4th ed. Philadelphia,PA:Saunders Elsevier;
2009:446-486 2.
[3] Sandvei MS, Romundstad PR, Müller TB, Vatten L, Vik A. Risk factors for
aneurysmal subarachnoid hemorrhage in a prospective population study: the
HUNT study in Norway. Stroke. 2009;40:1958—62.
[4] Greenberg MS. SAH and Aneurysm. In: Handbook of Neurosurgery. 10th ed.
Lakeland, Fla: Greenburg Graphics,Inc; 2012:1034-1054.
[5] Hamby WB. Spontaneus Subarachnoid Haemmorhage of Aneurysmal Origin
Factor Influencing Prognosis. JAMA. 2014;138(8):482-512.
[6] Anonym. Sub Arachnoid Hemorrhage.
www.neurosurgery.mgh.harvard.edu/Neurovascular. Accessed 23 Februari 2018
[7] Student Med. Stroke.2011.
[8] Taylor TN, Davis PH, Torner JC, Holmes J, Meyer JW, Jacobson MF. Lifetime
cost of stroke in the United States. Stroke. 1996;9:1459—66.
[9] Heuschmann PU, Di Carlo A, Bejot Y, Rastenyte D, Ryglewicz D, Sarti C, et
al., European Registers of Stroke (EROS) Investigators. Incidence of stroke in
Europe at the beginning of the 21st century. Stroke. 2009;40:1557—63.
[10] Siasios J, Kapsalaki E, Fountas K. Surgical Management in Subarachnoid
Hemmoraghe. International Journal of Pediatrics 2012;1-10
[11] Lindsay KW. Sub Arachnoid Haemmorhage. In: Neurology and Neurosurgery
Illustrated, 4th ed. Churchill Livingstone,Elsevier;2004: 273-298
[12] Anonym. Perdarahan Sub-Arakhnoid. https://dokumen.tips/documents/4-
perdarahan-sub-arakhnoid.html. Accessed 31 March 2021
[13] Kelly MP, Guillaume TJ, Lenke LG. Subarachnoid Hemmoraghe and Its
Complication. Neurosurg Clin N Am 2015; 29:296-321.
26. 21
[14] Fernandez AA, Guerrero AI, Martinez MI, et al. Malformations of
Subarachnoid Hemmoraghe. BMC Musculoskeletal Disorders 2013;10-45.
[15] Perry JJ, Stiell IG, Sivilotti ML, Bullard MJ, Lee JS, Eisenhauer M. High risk
clinical characteristics for subarachnoid haemorrhage in patients with acute
headache: prospective cohort study. BMJ. 2010. 341:c5204.
[16] Urbizu A, Toma C, Poca M, et al. Subarachnoid Hemmoraghe and Theraphy.
Plus One 2014;8(2):e57241
[17] McCormack RF, Hutson A. Can computed tomography angiography of the
brain replace lumbar puncture in the evaluation of acute-onset headache after a
negative noncontrast cranial computed tomography scan?. Acad Emerg Med.
2010 Apr. 17(4):444-51.
[18] Vivancos J, Gilo F, Frutos R, Maestre J, García-Pastor A, Quintana F, et al.
Guía de actuación clínica en la hemorragia subaracnoidea. Sistemática
diagnóstica y tratamiento. Neurología. 2014;29:353—370.
[19] Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing
Medical Education. 2012;39.
[20] Zuccarello M, McMahon N. Arteriovenous Malformation (AVM). Mayfield
Clinic. 2013