Cerita Pengorbanan Jason dalam Mencari Peserta Hilang
1. Pengorbanan yang Hakiki
Jason Matthew Cundrawijaya / X MIPA 5 /22
Jam tanganku masih menunjukkan angka 06.30.
Matahari masih bersembunyi di antara awan-awan. Kaos
merah bertuliskan “Panitia” telah melekat di badanku.
Sambil membawa tas ransel, aku berjalan dengan penuh
semangat menuju Ruang Seksi 1. Tak lupa kupakaikan
keplekku. “Jason, Divisi Games.” Begitulah tulisannya.
Hari itu memang telah teragendakan sebagai hari
yang sangat sibuk bagiku. Ya, aku harus meng-handle
sebuah pos permainan atau game outdoor. Jujur saja, aku
sejak awal ingin menjadi anggota Divisi Pendamping.
Namun, keinginan itu gagal terwujud karena kuota yang
tersedia telah habis. Akibatnya, aku harus rela 'dibuang'
ke Divisi Games. Ya sudahlah, anggaplah ini sudah
menjadi kehendak Tuhan.
Kumulai hari itu dengan misa pembukaan
bersama di gereja, mengikuti sesi penyambutan peserta,
flashmob panitia, perkenalan divisi, dan perkenalan
theme song. Semua berjalan dengan lancar. Peserta
2. gembira, panitia pun gembira. Rasa kebahagiaan dan
kebersamaan sangatlah terasa.
Setelah semua kegiatan itu selesai, mulailah
saatnya aku mempersiapkan game outdoor. Aku
mendapat tugas menjaga pos 2, berlokasi di parkiran
mobil. Pos tersebut bagaikan padang gurun yang begitu
luar biasa panasnya. Satu-satunya tempat untuk berteduh
hanyalah kanopi pelindung generator.
Sesampainya aku di TKP, permainanku tak bisa
dipersiapkan. Ada sepuluh mobil yang menghalangi
lokasi. Lalu, aku meminta bantuan kepada seorang dari
temanku yang berada di pos terdekat. Marcell namanya.
Berkat dia, sembilan mobil berhasil dipindahkan. Namun,
masih ada satu mobil yang belum dipindahkan oleh
pemiliknya. Mobil tersebut juga dalam kondisi di-
handrem.
“Bagaimana kalau aku cek di sekretariat?
Mungkin pemiliknya sedang ada keperluan dengan
romo,” ujar Marcell
“Ide bagus. Laksanakan!” sahutku dengan
3. lantang.
Kutuggu dia memanggil pemiliknya sambil
mempersiapkan game semampuku. 10 menit … 20 menit
… 30 menit … . Ia tak kunjung datang. “Sepertinya dia
gagal menemukan pemiliknya,” pikirku dalam hati. Aku
pun berusaha mencari ciri-ciri lain yang mencolok di
mobil itu. Hasilnya nihil. Tiba-tiba, terlintas secara tidak
sengaja sebuah ide. Melihat isi dalam mobil.
Kelihatannya itu dosa, tetapi mau bagaimana lagi?
Kucobalah ideku. Baru juga melihat dari kaca depan, aku
menemukan sebuah kertas bukti pembayaran di jok
mobil. Lebih beruntung lagi karena tertera nama
pembayar di kertas. Abi, begitu tulisannya. Langsung
kupanggil teman-teman lain. Semua berpikir, siapa
gerangan?
“Oh, itu pembawa acara kita,” jawab Kak
Melinda, ketua panitia, memecah kesunyian. Refleks,
semua menghela napas dan berkata “Ya Tuhan.” Kak
Melinda dengan setengah berlari menuju balai untuk
memanggil pembawa acara tersebut. Ketika tiba di
tempat parkir, ia hanya bisa tersenyum malu. Maklum, ia
4. sebelumnya telah menyampaikan pengumuman tentang
mobil itu yang tanpa disadari adalah mobilnya sendiri.
Kemudian, semua kembali ke pos masing-masing
***
Peserta rekoleksi telah memasuki Ruang
Pertemuan untuk makan siang. Aku telah selesai makan
setengah jam sebelumnya. Topi, bolpoin, botol minum,
clipboard berisi instruksi dan daftar nilai telah siap
bagaikan senjata. Tiba-tiba, “cetung...,” HPku
mengeluarkan bunyi. “Oh, ada pesan masuk,” ujarku
dalam hati.
“Guys, Marcell di mana ya? Kok tidak kelihatan?”
ujar Kak Regina, ketua divisiku.
Kucoba mengingat lagi. Aduh, aku lupa. Dia kan
masih mencari pemilik mobil tadi.
“Masih mencari pemilik mobil tadi, Kak Regina.
Kok belum kembali ya?” balasku.
“Ayo, kita cari bersama. Masih ada waktu 30
menit lagi sebelum game dimulai,” jawab Kak Regina.
“Siap 86,” balasku dengan singkat.
5. Aku pun langsung mencari. Sekretariat, pastoran,
sakristi, pos satpam, toilet, parkiran, semua telah
kujelajahi. Hasilnya tidak ada. “Duh, kemana sih anak
ini?” pikirku dalam hati. Sedetik kemudian, masuklah
pesan baru.
“Aku sudah di ruang seksi 1, lagi makan,” tulis
Marcell.
Spontan, aku menuju ruang seksi 1. Benar, ia
sedang makan ditemani alunan lagu yang sedang populer
waktu itu.
“Marcell, kemana saja kau?” tanyaku.
“Kan tadi aku mencari pemilik mobil tadi. Nah,
aku sudah cek di sekretariat, tidak ada tamu. Aku cari di
pastoran, romo-romo lagi ada urusan di keuskupan. Aku
juga tanya ke satpam, jawabnya tidak tau. Akhirnya, aku
pergi ke gedung sebelah, siapa tau pemiliknya ada di
sebelah.”
“Hmmmmmm … begitu.”
“Akhirnya, mobil itu milik siapa?”
6. “Pembawa acara kita.”
“Oh begitu.”
“Eh, posmu sudah siap?”
“Puji Tuhan sudah siap.”
“Ya sudah. Kalau begitu, cepatlah makan.
Sebentar lagi sudah mulai gamenya.”
“Siap komandan!”
Aku pun lalu keluar dan kembali ke posku. “By
the way, aku kan bukan komandan. Kak Regina yang jadi
komandan,” pikirku sambil tersenyum.
***
Matahari sudah berada tepat di atas kepala.
Peserta telah selesai makan siang. Saatnya aku beraksi di
posku.
Tak lama kemudian, kelompok pertama datang.
Dari cara berjalannya saja sudah terlihat begitu semangat.
Yel-yelnya begitu mantap. “Wah, pasti bisa dapat banyak
poin nih,” pikirku.
7. Game pun dimulai. Mereka memulai game begitu
baik. Lima menit pertama tidak ada masalah. Di tengah
keseruan permainan, tiba-tiba ada yang berteriak, ”Hei, di
mana temanku?” Sontak, aku pun kaget. Pendampingnya
pun kaget hingga botol minumnya tumpah.
“Siapa namanya?” tanyaku.
“Angel,” jawab anak itu.
“Kau tadi terakhir melihat dia kapan?”
“Pas masih di balai.”
Kuarahkan pandanganku ke kakak pendamping.
“Apakah kamu tau ciri-cirinya?” tanyaku kepada
kakak pendamping.
“Ya. Tingginya sekitar 150 cm , kelas 5 SD,
rambut sedikit keriting dan pendek, badannya agak
gemuk, sepatanya kalau tidak salah berwarna putih. Oh,
ia masih memakai keplek.”
“Oke,” jawabku singkat.
Lalu, kuraih handy talky ku yang dibagi sebelum
game dimulai.
8. “Perhatian kepada selurh panitia. Mohon
bantuannya untuk mencari seorang anak bernama Angel
dari kelompok 1. Terakhir terlihat di sekitar balai.
Barangsiapa melihat, segera lapor kepada saya.”
“Siap,” balas seorang panitia yang suaranya tidak
begitu jelas.
Bersama kakak pendamping tersebut, aku mencari
anak tersebut. Parkiran, toilet, balai, menara lonceng, dan
sekitarnya telah kujelajahi. Sudah 15 menit tetapi masih
belum ketemu.
“Apakah sudah ketemu?'' tanyaku lewat handy
talky.
“ Belum, “ jawab seorang panitia.
“Kalau begitu, lanjutkan. Kalau sudah … “
Belum sempat menyelesaikan perkataanku.
Terdengar sebuah suara. Posisiku di gudang gereja.
Tempat itu sangat gelap karena tertutup oleh pohon
beringin raksasa. Selain itu, lampunya mati karena rusak
dan belum sempat diganti. “Suara apaan tuh?” tanyaku
9. dalam hati. Kuraih HP ku dan kunyalakan senter. Entah
mengapa bulu kudukku mulai berdiri tegak.
Setelah berputar 90o
, di pojok ruangan ada
sesosok orang berbaju putih dengan rambut keriting
berdiri membelakangiku. Spontan, aku berlari keluar
karena ketakutan. Untung di dekat situ ada Kak Regina.
Ia berupaya untuk menenangkanku.
“Ada apa ini, kamu kok sampai ngos-ngosan
begini?”
“Itu kak, ada hantu di situ.”
“Masa sih? Ini kan jam 3 siang. Hantu dari Hong
Kong?”
Deg … Kupikir sejenak. “Benar juga ya, siang-
siang begini kok ada hantu?”
“Ayo, kita ke sana,”jawab Kak Regina.
Lalu, aku dan Kak Regina menuju ruangan itu.
Kak Regina menyalakan senter yang ia bawa. Orang itu
masih ada. Di dekatnya, ada handy talky dan sebuah HP
dengan senter masih menyala. Ya, itu milikku semua.
10. Kejatuhkan ketika kuberlari keluar. Untunglah handy
talkyku masih berfungsi. Tetapi, HP ku mengalami lecet
karena terseret di lantai. Kak Regina masih berjalan
menuju orang itu.
“Hey, ini kan Angel. Bagaimana sih kau?” sahut
Kak Regina. Aku baru menyadari orang itu adalah Angel.
Aku pun juga baru ingat kalau peserta semuanya
memakai kaus putih.
“Dik, mengapa kamu disini?” tanya Kak Regina.
“Aku tadi mau ke toilet, tapi tersesat. Tiba-tiba
sampai di sini. Uh … serem kak, aku takut.”
“Tidak apa-apa, ada kakak disini. Kenapa tadi
tidak izin dulu sama kakak panitia? Liat tuh kakak
panitianya sampai kecapekan begitu. Ya sudah, kakak
antarin kamu ke toilet ya,”
Lalu Kak Regina menatapku.
“Kamu boleh kembali ke posmu. Aku aja yang
urus ini.”
“Siap kak. Terima kasih.”
11. Aku pun kembali ke posku. Karena capek dan
kepanasan, aku menumpahkan air minumku ke atas
kepalaku. Segar rasanya seiring air mulai membasahi
bajuku.
Kembali ke anak itu. Usut punya usut, anak
tersebut baru menjadi anggota gereja sebulan yang lalu.
Sebelumnya, ia berada di suatu kota di pulau sebelah. Ya
sudahlah, yang penting ia baik-baik saja dan aku juga.
***
Tak terasa acara di hari itu telah selesai. Ingin
rasanya flashback ke pagi itu lagi merasakan keseruan
yang terjadi. Tetapi apa adanya, waktu tidak bisa diputar
kembali.
Masih ada 1 sesi lagi sebelum pulang. Ya,
evaluasi panitia. Semua panitia dari berbagai divisi
berkumpul di balai. Lebih spesial lagi karena disediakan
konsumsi berupa pizza. Wah, kenikmatan yang sungguh
hakiki.
Sesi pun dimulai. Kak Melinda memimpin sesi
ini. Setiap divisi menyampaikan pandangan mereka
12. terhadap divisi lain atau divisinya sendiri. Hampir semua
memuji kinerja setiap divisi. Ada pula yang mengkritisi
divisi lain, namun dapat diterima dengan baik.
Tiba giliran seseorang. Aku lupa dia berasal dari
divisi apa. Begitu meraih mic, ia langsung marah-marah
terhadap Divisi Games. Semuanya kaget. Divisi Games
memiliki kinerja yang bagus, tetapi mengapa dimarahi?
“Apa-apaan itu Divisi Games? Kerjanya cuman
tidur-tiduran mulu. Itu niat kerja atau tidak?”
“Sebentar-sebentar, tenang dulu,” kata Kak
Melinda berusaha mencairkan suasana.
“Saya tidak mau tau. Itu Divisi Games mending
tahun depan ditiadakan saja!”
Tanpa komando, aku memanggil mic terdekat
“ Mohon maaf, mungkin terjadi salah paham.
Kami telah bekerja dari pagi hingga siang tanpa istirahat.
Lihat, kulit saya sampai gosong begini. Yang mau saya
tanyakan adalah siapa gerangan?”
“Pokoknya Divisi Games! Saya lihat dia memakai
13. baju merah seperti yang kalian pakai. Sama persis! Saya
punya fotonya. Nih, lihat!”
Semua panitia melihat secara saksama. Setelah
foto tersebut muncul, aku pun hanya bisa menggaruk-
garukkan kepala.
'Mohon maaf, ini terjadi miskomunikasi. Orang
yang ada di foto bukan kami, melainkan koster gereja
yang semalam suntuk memperbaiki salib altar yang
hampir jatuh. Baju yang dipakai memang sama. Kami
memberikan satu baju kepada beliau karena kelebihan
stok.”
Setelah kuberkata demikian, ia hanya bisa
tersenyum malu hingga wajahnya memerah sembari
meminta maaf.
“Makanya, kalau mau 'menyalahkan' orang harus
cek dulu kebenarannya, jangan menyebarkan hoax,”kata
Kak Melinda. Akhirnya, sesi bisa dilanjutkan hingga
selesai
***
14. Langit sudah menghitam. Bulan sabit bersinat
terang. Rasanya badan ini sungguh remuk. Perasaanku
mulai tidak fit karena masuk angin. Tetapi, aku tetap
merasa bahagia. Kulihat kalender di meja belajarku.
“Yah, minggu depan sudah sekolah. Cepat sekali sih
liburanya,” kataku dalam hati. Ya sudahlah, yang penting
aku sudah mendapatkan pengalaman berharga. Karena
mata tinggal 1watt lagi dan gaya gravitasi kasur sudah
mencapai puncaknya, terlelaplah aku dengan segudang
memori indah dan bersiap menyambut hari baru dari
Tuhan.
***