SlideShare a Scribd company logo
1 of 132
Download to read offline
Hermawan Wicaksono
#1
www.waktuitu.com
Buku Pertama dari Trilogi Waktu Itu
www.waktuitu.com
Penulis - Ilustrator - Desain Grafis
Hermawan Wicaksono
1
Waktu Itu #1 oleh Hermawan Wicaksono
Cetakan 1, Februari 2016
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari www.waktuitu.com.
Wicaksono, Hermawan, Waktu Itu, Jilid 1
Cetakan 1, Bandung, 2016 vi-130 hlm, ukuran 14 x 21 cm
ISBN 978-602-087243-8
2
#1
BANTUAN TUNTAS 4
SATU TIM 8
KITA ADALAH BINTANG 12
DOA BUKAN MANTRA 16
BANYAKIN INFO, BARU MILIH 19
FIKSI INI MEMBUNUHKU 22
YANG PENTING GW PUAS 28
BARU NYADAR 32
ADAPTASIKAN SERANGAN 35
AKSI REAKSI HUKUM EMAS 38
SEMUANYA BERESIKO 42
TERPROVOKASI 46
MAKSIMALKAN YANG ADA 51
JANGAN BIARKAN MEREKA PERGI 55
MASIH JUARA 1=MASIH BELUM... 60
SEDIH 1 X BAHAGIA SELANJUTNYA 63
JADI, BEGINI CARANYA 66
SIKLKUS: LATIHAN, UJIAN, NAIK LEVEL 71
MEMBOHONGI DIRI SENDIRI 74
INVENTARIS SUMBER DAYA & MULAI BEKERJA 79
SATU TITIK KE TIITK LAIN 83
HAK & KEWAJIBAN 87
MENERIMA DENGAN RELA 92
SEBANDING DENGAN PENGORBANAN 96
MEMBUATNYA BERHASIL 100
HADIR UNTUKKU 104
SIKLUS TOLONG MENOLONG 109
NURUT KARENA TAKUT 114
TRACE BACK 120
KITA SEMUA JUARA 1 126
Nama gw Icak
Gw anak dari seorang ibu
dan seorang bapak
Gw adik dari seorang kakak,
dan kakak dari seorang adik
Gw ponakan dari seorang tante
3
BANTUAN
TUNTAS
4
Waktu itu,…Gw kenalan dengan temen TK. Anaknya
tinggi besar, putih, anak orang kaya. Dia tinggal satu blok
dari rumah gw. Karena rumah kita deketan, kita sering
pulang bareng.
Temen gw ini kalo ke sekolah dianter jemput sama
pembantunya, dan si pembantu sering crita kalo rahasia
anak majikannya tumbuh gede dan putih adalah karena
sering makan buah.
'Icak nanti mampir dulu ya ke rumah' Kata pembantunya.
'Iya aku mampir' Jawab gw.
Akhirnya kami tiba di rumahnya. Masuk dan gw langsung
duduk. Temen gw mulai ambil mainan. Kita main.
Si pembantu buka kulkas, ngambil buah.
'Ini buahnya' Sambil sodorin apel merah ke temen gw.
Dia makan apel itu, gw gak dikasih. Ada rasa kepengen
tapi gimana ya, gw gak punya keberanian untuk minta.
Jadi gw sok asik aja main.
'Ya ampun, Icak belum dikasih buah ya?' Tanya si
pembantu.
'Iya aku belum' Jawab gw.
Si pembantu kembali buka kulkas dan ambil buah. Seneng
banget gw liat peristiwa ini, akhirnya mimpi gw jadi
kenyataan, gw bisa makan apel merah. Sedap.
'Icak ini ya buahnya' Kata si pembantu.
5
Gw ambil buah itu, belum dikupas, tapi gw berusaha
ngupas dengan tangan. Susah ngupasnya tapi kembali lagi
gw sok asik aja, kayak gak kesulitan apa-apa.
'Gimana bisa bukanya?' Tanya si pembantu lagi.
'Susah' Jawab gw.
'Itukan ada yg udah kelupas, ditarik aja kulitnya'.
Gw ikutin petunjuk si pembantu, kulit buah terkupas dikit-
dikit dan gw coba makan buah yang dia kasih. Gw bisa
gigit dikit, rasanya gak kayak apel meskipun besarnya
sebesar apel. Warnanya juga gak kayak apel karena ini
memang bukan apel tapi bengkoang!
Gw memang bukan anak majikannya, tapi ini pembantu
kok tega banget sih? Ok lah gw bisa maklumi perbedaan
gw dengan temen gw. Wajar anak majikan makan apel, dan gw
yang hanya temen anak majikan makan bengkoang, tapi
tolong dong kupasin. Apa gw harus makan bengkong
dengan kulitnya? Atau kasih gw pisau biar bisa gw kupas
ini bengkoang. Memang gw bisa kupas dengan tarik-tarik kulit
bengkoangnya, tapi sampe kapan beresnya? Sebenernya
niat gak sih?
Ini dia intinya, 'niat gak sih?'. Pernah gak sih kita kasih
pertolongan tapi gak tuntas? Baik sih niatnya nolong, tapi
gak tuntas. Kalo gitu, jangan-jangan kita tipe orang yang
kalo kasih pertolongan bilang,...
'Sukur-sukur gw tolong'
'Segitu aja ya, sisanya kerjain sendiri'
6
'Kalo gw tolong terus, mana bakal bisa nanti'
Gw anak TK yang pegang pisau aja gak pernah, dikasih
bengkoang yang belum dikupas, dengan tujuan si pemberi,
gw bisa makan bengkoang itu supaya gw diperlakukan
'sederajat' dengan anak majikannya yang makan apel. Mana
bisa? Tujuan si pemberi gagal total. Gw hanya bisa rasain
dikit. Satu gigitan kecil bengkoang mana ada kerasa
nikmatnya.
Mampu kan kasih pertolongan full tuntas dari hulu ke
hilir?
Mampu.
Mau kan?
Belum tentu.
Ada kemampuan, tapi kemauannya belum tentu ada.
Kenapa? Banyak faktor yang kesemua faktor itu bisa
hilang kalau kita ingat niat kita apa?
Hanya satu niatnya,
kasih pertolongan dan
pertolongan itu
tuntas.
7
8
Waktu itu,…Om baru nikah. Waktu lajang dia tinggal
bareng keluarga gw. Abis nikah dia pindah, tapi rasa
kangen mau ketemu om selalu dateng.
'Kecil banget jalannya' Kata gw sambil masuk ke komplek
rumah om.
'Iya, bentar lagi nyampe' Jawab bapak.
Setelah masuk gang sana sini, akhirnya kita sampe.
'Icak jadi nginep ya?' Tanya om.
'Iya jadi om' Jawab gw.
Gw mulai scanning. Keliling komplek. Hasilnya, om gw
adalah orang terkaya di komplek ini, kenapa? Karena dia
punya TV berwarna.
Satu hari tinggal di komplek gw mulai akrab dengan anak-
anak komplek. Udah main bareng. Sampe suatu sore.
'Kartunnya udah mau mulai' Salah satu anak komplek
kasih pengumuman.
'Iya, pulang dulu nonton' Yang lain nyautin.
Anak-anak yang tadinya kumpul kembali ke rumah
masing-masing buat nonton kartun, termasuk gw.
Gw setel TV berwarna punya om. Nonton kartun.
Tiga puluh menit berlalu, anak-anak keluar lagi dari
rumahnya. Mereka mulai cerita film kartun yang baru
mereka tonton. Gw gak mau kalah. Gw anak baru di
9
komplek ini, dan harus bisa menang. Gw keluar dengan
ide yang sangat brilian.
'Bagus ya filmya' Satu anak mulai memancing percakapan.
'Iya-iya bagus banget' yang lain nyautin.
'Jagoannya jago banget ya'
'Penjahatnya licik'
Tibalah giliran gw.
'Hebat ya jagoannya bisa keluarin sinar merah, bajunya
juga bagus biru kehijauan'
Mereka diem aja, gak tau warna baju atau sinar si jagoan.
TV mereka hitam putih. Gw menang. Serangan gw
lanjutkan.
'Kalo tadi musuhnya yang pake baju kuning nyerang pake
sinar merah juga, pasti jagoannya kalah'.
Anak komplek diem lagi. Dan gak lama kita bubar.
Gw menang, kalian kalah. Gw nonton TV bewarna, kalian
hitam putih.
Coba kita ulang kalimat ini 'gw menang, kalian kalah'.
Coba mundur lagi ke awal cerita, sambil kita analisa.
Ada sekumpulan anak yang main. Riang gembira, lari
sana sini, sampai tibalah mereka harus pulang ke rumah
buat nonton kartun. Satu orang anak nonton kartun di TV
10
bewarna, anak-anak yang lain di TV hitam putih. Selesai
nonton mereka kumpul lagi membahas film yang mereka
tonton. Lagi asik ngebahas jalan cerita, tiba-tiba si anak
yang nonton TV bewarna malah ngebahas warna di film
kartun, dengan tujuan 'gak mau kalah'.
Satu ngebahas jalan crita, satu ngebahas warna. Ya gak
nyambung.
Satu tim harus satu tujuan. Gak boleh tujuan bersama
berubah jadi tujuan pribadi. Tapi ambisi untuk 'gak mau
kalah' bisa merubah segalanya yang berujung pada
kehancuran tim. Satu orang ketawa, seneng kalo dia
menang, yang lain nangis. Tanpa disadari kemenangan
satu orang tadi terjadi di atas tangis banyak orang. Rasa
senang atas kemenangannya (satu orang tadi) menutupi
jeritan tangis teman-temannya.
Sampai berapa lama sih senangnya? Ya gak lama. Soalnya
abis dia senang, teman-temannya ninggalin dia, dan dia
sendiri lagi. Mungkin dia bisa sebentar menghibur diri
dengan 'gak level gw sama kalian makanya kalian
ninggalin gw'.
Manusia itu mahluk sosial, butuh bantuan orang lain. Mau
gak mau we're on team, dan satu tim sebagai mahluk
sosial bukan berarti harus kenal. Gw gak kenal dokter di
rumah sakit sana, tapi ketika gw sakit, gw gak bisa
sembuhin diri gw sendiri, gw perlu dokter, dan kita satu
tim. Dokter kasih diagnosa, tunjukin prosedur
kesembuhan, dan gw ikutin. Kita juga satu tim dengan
penjual beras, supir angkot, pemulung, pengamen, CEO
perusahaan. As long as we're human, kita satu tim di dunia
ini. So, be nice dengan pemain yang lain. Be a good team
mate.
11
KITA
ADALAH
BINTANG
12
Waktu itu, hujan turun deres banget. Orang tua murid
gaduh, semua sibuk ngributin gimana caranya bisa ke RRI
propinsi dalam kondisi hujan, angkot jarang, dan hanya
sedikit yang punya kendaraan pribadi.
Hujan tambah deres, beberapa orang tua inisiatif untuk
jalan hujan-hujanan cari angkutan, atau sempit-sempitan
dalam mobil pribadi.
'Kita gak boleh telat' Kata Bu Kepsek.
TK. Beringin Raya dapet jatah isi acara di RRI propinsi.
Persiapan udah dibuat sebaik mungkin, dan jangan hanya
gara-gara hujan semua gagal.
'Icak mana?' Tanya Bu Kepsek.
'Ini ada sama saya' Jawab tante.
Gw gak boleh ketinggalan event ini. Kenapa? karena gw
kebagian peran utama. Acara ini bisa hancur kalau gw gak
ada.
Gak ada pilihan lain, show must go on.Tante mulai
gandeng gw dan kami jalan di tengah hujan deras dengan
payung kecil. Udah pasti kebasahan.
Setelah pindah dua angkot kami tiba di RRI propinsi. Dan
jelas,…basah semuanya.
Gw buka baju, celana, sepatu. Setelah semua diperes, baju,
celana, sepatu tadi gw pake lagi. Dingin.
Tim RRI memberi pengarahan dan kita mulai on air. Ada
yang nyanyi, baca puisi, pantun-pantun kecil, seru banget
pokoknya.
13
Dan tibalah giliran gw. The last. Show penutup.
Tugas gw simple, menghapal Pancasila secara live on air.
'Pancasila, satu Ketuhanan yang Maha Esa'.
Sila berikut gw mendadak lupa. Gw belum bisa baca,
hanya menghapal. Dalam kondisi kedinginan karena
pakaian basah, ditambah banyak orangtua murid
ngerubutin gw, dan gugup live on air. Satu pemandangan
yang buat gw tambah lupa adalah Bu Kepsek dan tante
komat kamit kasih contekan di depan gw.
'Ayo-ayo terus', Bu Kepsek dan tante terus semangatin gw,
sambil bisik-bisik kasih contekan sila-sila selanjutnya.
Akhirnya sila kelima selesai gw ucapkan. Acara beres dan
semua senang.
Keluar RRI hujan udah reda.
Tujuan kita cuma satu, perform sebaik mungkin di RRI
propinsi. Apapun kendalanya, harus bagus. Hujan, pakaian
basah, lupa sila, semua itu rintangan yang harus ada
jawabannya. Hujan dijawab dengan pake payung. Pakaian
basah dijawab dengan diperes aja. Lupa sila dijawab
dengan komat kamit kasih bantuan contekan. It's live on
air. Gak ada yang liat kami basah-basahan, gak ada yang liat
Bu Kepsek dan tante kasih contekan ke gw. Pendengar di
luar sana hanya mendengar puisi, nyanyian merdu anak-anak
TK. Beringin Raya dan lancarnya seorang anak 5 tahun
menghapal Pancasila. Mereka gak tau dan gak peduli apa
yang terjadi di balik itu semua.
14
Kami adalah bintangnya. Dan sebagai bintang, tugas kami
hanya bersinar walaupun ada aja masalah yang bisa buat
kami gak bisa bersinar. Makin bisa menghadapi masalah
maka sinar kami makin terang. Bersinar seterang
mungkin, dan biarkan mereka di luar sana melihat
indahnya sinar kami.
Kita semua
bintang.
Tetaplah bersinar
no matter what.
15
DOA
BUKAN
MANTRA
16
Waktu itu,…Tembakan pertama gw melenceng. Tembakan
lawan kena ke target. Tembakan kedua gw juga
melenceng, tapi tembakan lawan tepat lagi kena target.
Tembakan ketiga sampai ke lima gw melenceng terus, dan
lawan terus kena target. Gw harus bayar kelereng ke dia
setiap dia berhasil kenain target (kelereng gw).
Gw stress, putus asa. Cari jalan gimana supaya gw
menang atau setidaknya jangan kalah terlalu banyak.
Lawan gw ini memang jago banget. Dia tinggal di blok
yang berbeda dengan gw. Di blok gw, kejagoan gw main
kelereng gak ada yang ngalahin. Jadi critanya gw
mengembara buat cari lawan main kelereng, dan
ketemulah gw dengan lawan yang jago.
'Gw pulang bentar ya' Kata gw.
'Tapi nanti balik lagi kan?' Tanya si lawan.
'Iya, nanti gw balik'
Gw lari, pulang ke rumah, masuk kamar. Gw bukan mau
ambil tambahan modal kelereng, yang gw lakuin adalah
berdoa.
'Tuhan, tolong aku main kelereng kalah, menangin aku ya,
amin'
Gw balik lagi main kelereng. Hasilnya gw tetep kalah
walaupun sempet kasih perlawanan juga. At least gak
kalah telak.
Semua itu karena doa? Apa Tuhan jawab doa gw?
17
18
Apa sih doa itu?
Doa adalah ucapan harapan untuk mewujudkan sesuatu
yang lebih baik. Dengan doa kita memotivasi diri kita
untuk melakukan yang terbaik. Doa bukan mantra gaib
tapi rangsangan psikologi ke otak kita yang akan direspon
oleh organ yang lain untuk bergerak. Bisa dikatakan doa
adalah penentuan visi dan misi hidup yang paling dasar,
karena dimulai dari diri sendiri. Makin sering diucapkan,
makin sering keinget, makin jelas arah tujuan hidup.
Siapa yang menentukan keberhasilan doa? Yang pertama
diri kita sendiri, berikutnya faktor di luar diri. Kalo diri
kita gak mau berubah, berdoa sepanjang dan sesering
apapun mana bisa berubah. Gw mau menang, gw udah
berdoa, tapi kalo gw mainnya asal ya tetep aja kalah.
'Aku bantu dalam doa aja ya' Respon seorang sesaat
setelah mendengar curhat kesusahan temannya.
'Tuhan berikan bantuan ke teman saya' Dia berdoa.
Titik. Udah gitu aja. Berharap bantuan gaib datang untuk
temannya. Dan dia bebas melenggang, bebas dari beban,
tanpa kasih bantuan apapun ke temannya. Itu bukan doa,
tapi basa basi orang males.
Akhirnya gw sampe di rumah. Gw latihan lagi, dan
beberapa hari kemudian gw main kelereng lagi. Gw
menang. Besoknya gw kalah lagi. Doa gw hanya mau
kemenangan, tapi yang gw dapet kadang memang kadang
kalah.
Terus kalo kalah berhenti berdoa? Jangan dong, karena
berhenti berdoa berarti berhenti juga memotivasi diri di
level yang paling dasar.
BANYAKIN
INFO,BARU
MILIH
19
Waktu itu, gw baru selesai daftar masuk TK.Beringin
Raya. Gw masuk ke ruangan dan disuruh pilih gambar.
Ada gambar mobil, pesawat, robot, rumah, jeruk,
pokoknya banyak gambar. Gak tau kenapa di antara
banyak gambar itu gw pilih gambar jeruk.
Hari berlalu dan tibalah gw masuk TK. Sebelum masuk
kelas, anak-anak berbaris. Ibu guru bunyiin bel dan kita
masuk. Di pintu masuk ada papan besar dengan paku-
paku.
'Buat apa ya itu papan dengan paku-paku?' Gw mulai
bertanya.
'Ayo anak-anak ambil absennya' Kata Bu guru.
Anak-anak mulai ambil absen masing-masing, dan gw mulai
bertanya-tanya lagi.
'Absen apa ya?'
Satu per satu murid ambil gantungan kayu yang bentuknya
unik-unik dan mulai gantungin itu ke paku. Ada yang
gantungin perahu, mobil, macem-macemlah.
Giliran gw.
Gw mulai lihat-lihat gantungan dan gw ambil robot buat
gw gantung. Keren banget ini robot. Tapi belum sempet
gw gantung ada murid yang teriak.
'Itu punya aku!'
Robot direbut.
20
'Terus punya gw yang mana?' Gw tambah bingung.
'Icak, punya kamu bukan robot, ini punya kamu'
Gw kaget, kecewa, down abis karna Bu guru kasih gw
gantungan berbentuk jeruk. Kayu bulat warna kuning.
Gitu aja?
Gw merasa dibohongi karna gw gak tau kalo pilihan jeruk
di awal cerita itu menentukan bentuk absen gw selama 1
tahun di TK, dan parahnya lagi, logo jeruk itu ada di
depan rapor gw dan setiap identitas gw di TK. Gw cowok
dan identitas gw jeruk?
Kl gw tau jeruk itu ternyata akan jadi identitas gw, gak
akan gw pilih jeruk, I never thought it would be end up
like this.
Peristiwa hari ini dibentuk dari peristiwa hari kemarin.
Yang terjadi hari ini dibentuk karena pilihan-pilihan di
hari kemarin. Pilihan bisa salah. Kenapa salah? Karena
gak tau? Kenapa gak tau? Karena kurang informasi.
Sebaliknya, pilihan bisa bener. Kenapa bener? Karena
banyak tau informasi.
Hidup adalah kumpulan pilihan. Hanya dua pilihan, Benar
atau salah, sederhana kan? Yang gak sederhana adalah
proses memilihnya. Kapan harus memilih benar, kapan
pilih salah. Tapi itu semua akan kembali jadi sederhana
kalau kita tau banyak informasi.
21
Tampung
banyak informasi, saring,
dan pilih.
FIKSIINI
MEMBUNUH
KU
22
Waktu itu,…Lapangan komplek penuh, banyak banget
yang mau nonton layar tancep termasuk gw dan kakak.
'Filmnya apa sih kak?'
'Jaka Sembung'
Jaka Sembung gw tau lewat wayang gambaran, dia tokoh
jagoan yang punya ilmu tenaga dalam, musuhnya
penjajah.
Ini adalah kali pertama gw nonton film layar lebar.
Excited banget. Film pun mulai diputer, seru, ada adegen
berantemnya. Jaka Sembung terbang di antara pohon,
ngejer musuhnya sambil nembakin api. Api keluar dari
tangan Jaka Sembung, keren. Jaka Sembung luka, dia
pegang lukanya sambil rapal matra, sembuh. Keren
banget. Abis itu adegan-adegan serem muncul. Ke-excited-
an gw mulai turun, berganti takut. Ada darah, kepala
buntung, mata dicungkil, orang mati hidup lagi, mayat
hidup gentayangan. Gw gak kuat nontonnya. Ke-excited-
an gw langsung drop to the lowest level.
'Kak, kita pulang aja'
'Nanti belum selesai'
Dan gw harus menunggu sampe film selesai. Selama film
diputer gw hanya nunduk, gak mau liat layar, tapi tetep aja
suara film kedengeran, tetep serem.
Sepulang nonton, gw masih kebayang-bayang Jaka
Sembung dan semua keseremannya. Mau ke WC takut
ketemu kepala buntung, mau tidur takut nanti ada mayat
hidup. Hidup gw penuh ketakutan.
23
'Ada mayat hidup!'
Gw lari.
'Ada kepala buntung!'
Gw lari.
Kakak jadi sering nakut-nakutin gw.
Yang gw heran, kenapa kakak yang hanya lebih tua satu
tahun dari gw gak kebawa-bawa takut sama film. Dia asik
aja nonton. Santai aja kalo mau ke WC atau tidur. Gak
takut apa-apa.
Gw juga sering ketakutan sendiri. Liat bungkusan, yang
kebayang 'ada kepala untung di bungkusan'.
Satu hari gw dengan kakak lagi main di kamar, dan tiba-
tiba kakak teriak.
'Mayat hidup!'
Kakak lari, gw ikutan lari. Tapi malang nasib gw. Gw
kepleset, jatuh, muka nabrak pinggiran tembok, bibir gw
sobek, berdarah.
'Aduh!' Gw teriak.
Bapak dateng, gendong gw. Dia panik liat pendarahan di
bibir gw. Kakak juga ikutan panik. Gw sebagai korban
juga panik. Hanya ibu yang gak panik, karena dia lagi ada
tugas ke luar kota.
'Bawa ke rumah sakit aja' Kata bapak.
24
Di rumah sakit gw dikasih pengobatan.
'Jangan dijait ya Dok' Pinta bapak ke dokter.
Harus dijait tapi gak boleh dijait, akhirnya gw pulang dengan
mulut diperban biar luka gak kebuka. Gak bisa buka
mulut. Untuk makan minum dokter kasih celah dikit buat
masukin sedotan.
Badan gw mulai proses recovery, bibir jadi bengkak,
panas juga karena ada infeksi/luka. Tersiksa, masukin apa-
apa lewat sedotan,ngomong gak bisa jadi pake bahasa
isyarat. Tapi ada yang gw syukuri, gw gak perlu sering-
sering mandi dengan alasan 'luka basah gak boleh kena
air'.
Satu minggu setelah peristiwa itu, gw mulai bisa
ngomong, walapun masih gak jelas.
'Pin tiki'
Yang artinya idupin TV.
Proses penyembuhan hampir satu bulan. Dan selama itu
gw tetep ke sekolah, tetep main di komplek, dan tetep
takut dengan mayat hidup, kepala buntung, dan semua
kengerian dari film Jaka Sembung. Gw pernah tanya ke
ibu.
'Bu, kenapa ya di pikiranku isinya Jaka Sembung'
Ibu kayaknya mulai khawatir, dan dia jawab.
'Icak, itu bohongan semua'
25
Semudah itukah ibu menetralisir pikiran gw, biar keformat
lagi, terus gak inget Jaka Sembung? Gak mungkin.
Buktinya sampe sekarang gw masih inget.
Umur gw 7 tahun, dan gw disuguhi tontonan yang gak
sesuai dengan umur gw. Gw gak bisa filter mana peristiwa
asli mana fiksi. Yang gw tangkap semuanya real event.
Mayat hidup itu nyata, kepala buntung terbang juga nyata,
orang bisa terbang keluarin jurus-jurus api itu nyata.
Nyatanya itu semua fiksi, tetapi fiksi ini udah bikin bibir
gw sobek.
Jadi gimana cara bedain yang nyata dan fiksi?
Kita ilmiah dikit ya. Nyata adalah kondisi dimana sesuatu
bisa dibuktikan, disaksikan, dibandingkan, diuji ulang, dan
hasilnya sama. Bibir gw sobek, diobatin, dirawat, sembuh.
Ini nyata, bisa diulang. Gw bisa sobekin bibir lagi,
diobatin dan dirawat dengan cara yang sama, hasilnya gw
sembuh dengan asumsi semua faktor pendukung sama.
Yang gak nyatanya gimana? Bibir gw sobek, pake jurus
rapal mantra Jaka Sembung, sembuh seketika itu juga.
Kalo hal itu nyata, rumah sakit udah tutup, semua berobat
ke Jaka Sembung.
Kita hidup di dunia nyata, dengan peristiwa yang nyata,
dealing with real events. Tapi apa yang masuk ke otak kita
banyak juga yang gak nyata. Biasanya lewat penglihatan
dan pendengaran (audio visual). Mulai dari film, bacaan,
musik, banyak yang gak nyata tapi otak seneng
nerimanya, Adrenalin kepacu. Ujung-ujungnya kita jadi
susah bedain mana yang nyata mana yang fiksi. Ketipu
dan rugi tanpa ujung.
Umur 7 tahun, wajar gw ketipu. Tapi semakin dewasa, gak
26
wajar kalo masih ketipu sama legenda Jaka Sembung.
Apa yang masuk ke pikiran kita bisa aja fiksi, tapi apa
yang keluar, yang kita lakukan itu real event, nyata.
27
Jadi
jangan coba-coba
sobek bibir,
terus rapal mantra
Jaka Sembung
supaya bibir
nutup lagi.
YANG
PENTING
GWPUAS
28
Waktu itu,…kegiatan belajar mengajar di TK. Beringin
Raya dipercepat, karena akan ada perayaan ulang tahun ke
5 dari seorang cewek yang adalah kakak gw.
Satu hari sebelumnya, orang rumah udah pada sibuk
persiapan acara ultah ini. Siapin makanan, bingkisan,
hadiah, baju, acara, dan gak lupa memohon supaya gw
ikut ngramein acara ini.
'Icak, nanti kamu temenin kakak ya duduk di depan'
'Ngapain sih bu, aku harus duduk di depan?'
'Pokoknya temenin kakak aja, kamu kan adiknya'
'Iya, tapi aku kan gak ultah'
Gw gak disuruh perform, hanya disuruh duduk manis di
samping kakak gw selama acara berlangsung. males
banget kan?
Murid-murid TK mulai nyanyi.
'Selamat ulang tahun'
Ada yang perform, nyanyi, nari, mereka seneng banget.
Sementara gw duduk di sebelah kakak di depan kue ultah
menghadap ke murid-muridTK, guru-guru, ortu.
Kemungkinan besar salah satu dari mereka akan bertanya
'Itu siapa sih yang di sebelah yg ultah?' atau,
'Ngapain ya anak itu di situ terus?' atau,
'Yang ultah ada dua ya?' atau,
29
'…'
Kesannya gw anak yg iri, yang pengen banget ultahnya
dirayain. Memang sih ultah gw dan kakak jatuh di bulan
yang sama. Tapi ultah gw kan udah dirayain di rumah.
Males banget duduk di sini. Geser sana sini, liat sana sini.
Bosen banget.
'Bu aku males di sini' Bisik gw sambil kasih-kode kode ke ibu.
Ibu nanggepin dengan senyum-senyum aja dipojokan.
Seremonial ultah ini rasanya lama banget.
'Sukses ya acaranya tadi' Kata ibu sesampainya di rumah.
Gw mulai bertanya lagi.
'Ngapain sih bu, aku harus duduk di situ lama banget?'
'Bagus, yang penting udah nurut ibu tadi' Jawab ibu.
Jawaban yang menurut gw gak nyambung.
Pernahkah kita disuruh melakukan sesuatu yang kita gak
suka, tapi harus kita lakukan? Atau pernahkan kita
menyururuh seseorang melakukan sesuatu yang mereka
tidak suka lakukan? Dengan alasan 'pokoknya elu harus
bikin'. Dan ketika mereka lakukan (nurut), kita rasa puas.
Ketika kita lakukan (nurut), mereka puas.
Puas adalah jawabannya. Kepuasan adalah kondisi dimana
kita mendapatkan sesuatu lebih dari apa yang kita
harapkan. Ketika gw bayar seribu perak untuk jasa parkir,
30
gw rasa biasa aja. Tp ketika gw bayar seribu perak dan si
tukang parkir narikin motor, tambah senyum, bahkan
dikasih kembali lima ratus perak, gw rasa puas, karena gw
dapetin sesuatu yang gak pernah gw harapkan.
Level puas itu berbanding lurus (dan lebih) dari apa yang
kita harapkan. Level ini gak akan turun dan akan terus
way beyond sampai suatu saat kita melihat ke belakang,
trace back, counting our blessing. Mulai deh merenung
'Gila, gw udah sejauh ini'
'Gak percaya gw bisa lakuin ini semua'
Udah puas?...Gw rasa nggak sih, karena apapun yang
dibuat kalo belum memenuhi pernyataan 'yang
penting...' tandanya kita belum puas. Semua hal memang
penting tapi kan ada level kepentingannya. Kalo semuanya
level darurat ya bahaya.
'Yang penting gw puas...' artinya ada satu hal yang harus
tercapai.
31
Satu ya
bukan
banyak.
BARU
NYADAR
32
Waktu itu,…tetangga sebelah rumah tanya.
'Mau kemana Cak?'
'Ke Jawa' Jawab gw, sambil masuk-masukin tas ke mobil.
Tiba-tiba tante ngomelin gw.
'Ngapain kasih tau kalo mau ke Jawa!'
Gak berapa lama, ada lagi tetangga yang lewat, masih
dengan pertanyaan.
'Aduh, siap-siap mau kemana ini?'
Gw binggung jawab mau kemana. Nanti kalo jawab mau
ke Jawa, tante marah. Kalo gw jawab ke Palembang, kan
bohong.
Untuk menyenangkan semuanya, gw jawab.
'Ke Jakarta'
Dan tante tetep juga marahin gw.
'Jakarta itu di pulau Jawa'.
'Jadi jawab apa dong?'
Umur gw 6 tahun. Kita sekeluarga mau ke Jawa, jenguk
nenek dan adik gw.
Sejak umur 3 bulan adik dibawa ke Jawa, tinggal sama
nenek. Ibu terlalu repot urus kakak dan gw, belum lagi dia
harus kerja, bapak juga kerja. Keputusan terbaik adalah
33
menyerahkan adik buat dirawat nenek.
Gw dan kakak hanya tau dia lewat foto yang nenek kirim.
Bapak dan ibu sering ke Jawa liat adik, mereka sering crita
tentang adik ke kita kakak-kakaknya.
Hari itu gw excited banget karena pengen ketemu adik gw.
Orang yang selama ini hanya gw liat di foto dan denger
ceritanya.
Dua hari perjalanan, akhirnya tibalah gw di Jawa, di depan
rumah nenek. Gw terharu, hampir nangis liat adik gw. Liat
keluarga di Jawa. Baru nyadar 'wow, gw punya keluarga di
Jawa'.
Baru nyadar artinya baru aja sadar, jadi selama ini gak
sadar. Punya tapi gak sadar kalo punya. Bisa tapi gak
sadar kalo bisa. Momen 'baru sadar' ini bisa muncul tanpa
sengaja, tanpa dirancang sebelumnya, tapi bisa juga
dirancang supaya muncul, biasanya orang lain yang
rancang bukan kita.
Shock therapy biasanya langsung bisa nyadarin kita. Kena
shock therapy itu gak enak, tapi kalo gak kena ya tetep aja
gak sadar. Sekali-kali perlu lah shock therapy, wajar kalo
gak sadar dikit. Tapi kalo harus di shock therapy terus-
terusan baru bisa sadar, ya gawat juga. Jangan-jangan
udah mati saraf sadarnya, udah gak peka lagi, nggak
sensitif.
Sensitifitas, kepekaan, bisa dilatih supaya bisa terus hidup
dalam kesadaran. Sadar kalo punya, sadar kalo mampu.
Sadar kalo selama ini jawaban atas semua pertanyaan
di hidup kita, ada di diri kita sendiri.
34
ADAPTASIKAN
SERANGAN
35
Waktu itu,…kakak pulang acara kartinian dengan
ekspresi seneng banget. Ibu, tante juga seneng banget.
Wajar mereka seneng karena kakak dapet juara satu lomba
baju Kartini di sekolahannya. Malam sebelum lomba, ibu
sibuk ngecilin kebayanya supaya muat dipake kakak.
Tante sibuk siapin sanggul. Paginya mereka udah pergi ke
salon pasang sanggul dan make up. Segala usaha mereka
membuahkan hasil. Juara satu.
Gelar juara satu kakak jadi beban buat gw. Karena di
tahun berikutnya giliran gw yang ikutan lomba, dan harus
jadi juara satu. Adik gak boleh kalah sama kakaknya.
Dan sudah bisa ditebak, ibu dan tante sibuk dandanin gw.
Kumis palsu, blangkon, beskap, dan bahawan ketat yang
bikin gw susah jalan. Ibu, tante kasih motivasi yang kuat
supaya gw juara satu.
'Jangan kalah sama kakakmu'
'Tahun lalu kakak juara, sekarang kamu harus juara juga'
'Udah pasti menang ini'
Lomba dimulai, gw perform jalan sana-sini. Dan tibalah
pengumuman.
Gw gak menang. Gagal total.
Ibu, tante sedih. Gw juga sedih. Harapan kita terlalu
tinggi, jatuh kita terlalu sakit. Sejak awal kita udah set
goal 'menang'. Gak ada yg salah dengan goal karena
memang kakak pernah menang. Tapi kesalahan terletak
pada strategi. Lomba tahun ini, kita masih pake strategi
tahun lalu. Udah gak update, jelas kalah.
36
Bicara Update adalah bicara saat ini. Dulu pernah juara,
tapi saat ini kalah, buat yang nggak update. Dulu pernah
kalah, tapi sekarang juara, itu buat yang update. Kalo saat
ini posisi kita juara, jangan lupa adaptasi, atau kita akan
dikalahkan oleh si update.
Lingkungan berubah, tapi gak adaptasi ya jelas kalah.
Lingkungan berubah terus, ya harus adaptasi terus.
37
Capek?
kalo capek
ya kalah.
AKSIREAKSI
HUKUM
EMAS
38
Waktu itu,…Kakek kasih gw anak ayam.
'Ini, dipiara ya'
'Iya kek'
Senengnya dapet ayam. Gw langsung ngebayanyin ayam
ini akan gw piara sampe gede, terus dikawini, terus punya
anak banyak.
Dari rumah kakek, bapak ajak gw ke rumah kakaknya
(bude).
'Waduh si kurus bawa bawa ayam'
Gw diem aja. Sebel banget tiap ketemu dibilang kurus.
Memang gw kurus, tapi gak capek apa tiap ketemu itu
terus yang dibahas, kan masih banyak yang bisa dibahas.
Bapak dan bude mulai crita-crita, gw di samping bapak
elus-elus ayam.
'Eh kurus, ayamnya mau diapain?
Gw diem.
'Kurus kok diem aja sih?'
Gw diem.
'Dasar si kurus'
Gw diem.
39
Mereka masih asik aja ngobrol, sementara gw udah males
banget ada di situ. Sebel banget dikatain kurus.
'Kurus, abis ini mau kemana?'
Gw diem, mulut gw tutup rapet tapi tangan gw bergerak.
Gw mulai puter ayam dengan posisi kepala ayam ngadep
ke gw, pantatnya ngadep ke depan.
'Sekali lagi bilang gw kurus, tunggu aja' Gw ngomong
dalam hati.
Dan tiba-tiba.
'Kurus dari tadi kok diem aja sih?'
Boiling point gw sampe di puncak. Gw lompat, sodorin
pantat ayam ke muka bude.
'Nih, nih, apaan sih, dari tadi ngatain kurus-kurus terus!'
Bude berontak, bapak langsung tarik gw, ayam kelepas,
suasana mendadak chaos.
'Icak, jangan' Kata bapak sambil terus narik gw.
Bude lompat, melarikan diri.
Singkat cerita, bapak, gw, dan anak ayam pulang.
Diem berarti bukan gw gak bisa jawab. Bukan juga gw
setuju. Gw hanya males nanggepin. Mungkin bude hanya
bercanda, mungkin kurang peka dengan respon gw yang
diem aja pertanda sebel, atau memang dia mau ngetes
batas kesabaran gw sampe dimana. Apapun itu, dari semua
40
kemungkinan, dia dapat sodoran pantat ayam.
Tindakan gw emang gak pantes, gak tau sopan ke orang
tua. Tapi mau gimana lagi? Gw gak tau cara yang sopan
buat suruh dia brenti ngatain gw kurus. Apa gw harus jadi
gemuk dulu baru dia brenti ngatain gw?
Kita hidup di lingkungan yang berinteraksi. Ketika kita
beraksi mengharapkan respon tetapi responnya diam,
tunggu. Jangan tambah aksi. Mulailah mencari jawaban
kemungkinan. Mungkin saja responden gak ngerti kita
ngapain jadi gak bisa kasih respon. Tapi parahnya dia
ngerti, dia sebel dengan aksi kita, tapi mencoba sabar
dengan apa yang kita buat. Kembali lagi, sabar ada
batasnya.
Menjadi peka bukan berarti takut ngapa-ngapain. Takut
ngomong karena takut bikin orang tersinggung. Jangan
gitu juga. Tapi cobalah belajar menempatkan diri.
41
Kalo gak mau
disakitin
ya jangan
nyakitin.
SEMUANYA
BERESIKO
42
Waktu itu,…Gw ijin sebentar ke temen-temen yang lagi
main lompat tali.
'Gw pergi bentar ya'
'Jangan lama-lama, giliran elu sekarang'
Gw pergi, ngumpet ke tempat sepi dan berdoa.
'Aku mau lompat tali, tapi tinggi banget, kasih
keberhasilan, amin'
Gak lama gw balik lagi dengan motivasi yang kuat, I can
do this.
'Icak, ini paling tinggi ya'
'Iya, gw bisa'
Tali dipasang tinggi banget. Gw mundur agak jauh, pasang
ancang-ancang buat lari dari jauh terus lompat.
Gw berhitung dalam hati.
'Satu, dua, tiga!'
Gw lari kenceng dan lompat, nglewatin tali yang tinggi
banget, gw berhasil lewatin batas maksimal.
Saking cepetnya gw lari, gw jadi susah ngerem, dan yang
terjadi berikutnya, gw nabrak lemari kayu yang ada di
depan gw.
Kami main lompat tali di garasi. Gw ambil awalan dari
pintu garasi dan lari kenceng tanpa berpikir apa yang akan
43
terjadi kalo seandainya gw berhasil lompat. Gw gak
pernah berpikir buat ngerem, gak pernah notice juga kalo
diujung garasi ada lemari kayu.
Benturan antara gw dan lemari kayu kenceng banget,
kepala gw pusing. Sakit. Temen-temen mulai datengin gw,
ada yang usap-usap kepala gw, ada juga yang pijetin gw.
'Sakit Cak?' Mereka nanya.
'Iya sakit nih' Jawab gw.
'Tapi tadi berhasil lompatnya' Kata mereka lagi.
'Iya tapi ini sakit' Jawab gw sambil pegang-pegang kepala
nahan sakit.
Gw berhasil lompat, memang itu doa gw, itulah tujuan gw.
Tapi resiko yang gw ambil terlalu besar dan gak pernah
gw pikirin. Keberhasilan gw gak sebanding dengan resiko yang
gw dapet. Resiko adalah konsekuensi yang akan terjadi
akibat proses yang sedang berlangsung. Resiko cenderung
ke arah negatif yang merugikan.
Gimana kalo gw geger otak, kepala bocor, hilang ingatan?
Itu gak pernah gw pikirin, yang penting bisa lompat.
Keberhasilan kita di satu hal bisa menuntut pengorbanan
yang tidak jarang lebih besar dari keberhasilan kita. Jadi
rugi dong? Iya sih, gak apa-apa yang penting berhasil.
Kalo dampak kerugiannya diri sendiri ya gapapa, tapi kalo
orang lain yang dikorbankan supaya kita berhasil, itu
bahaya.
Sebelum bertindak, bagus kalo fokusnya ke titik
44
keberhasilan. Tapi pelajari juga resikonya apa, karena
setiap keputusan punya resiko. Untuk menghindari resiko
(kerugian) setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita
lakukan. Kalo resiko kecil, ambil keputusan maju terus.
Kalo resikonya besar, kita harus klasifikasi dulu sehingga
keputusan kita bisa menunda untuk maju terus,
mengurangi resiko, memindahkan resiko ke pihak lain
(harus dengan kompensasi, jangan korbanin orang lain
gratisan), dan yang terakhir jangan jalan terus, stop ambil
resiko, mission canceled.
Kalo gw tau kepala gw bakal kebentur, gw tetep akan
ambil resiko karena pengakuan 'gw bisa' itu lebih besar
dari resiko apapun. Gila ya? Memang gila. Ego kita besar
banget, pengakuan 'elu jago', 'elu hebat', 'elu maksimal'
kayaknya lebih penting dari apapun. Dan ego itu kalo
'dikasih makan' akan tambah gede, artinya akan lebih gede
juga resiko yang kita ambil, dan
45
bahayanya
kita bisa lebih santai
ngorbanin orang lain,
no feeling guilty.
TER-
PROVO-
KASI
46
Waktu itu,…capek abis main kejer-kejeran, kami anak-
anak komplek kumpul istirahat, dan tercetuslah sebuah
ide.
'Kita sunat yuk'
'Ayuk'
'Gimana Cak, ikutan gak?'
'Ayuk, gw ikutan'
'Kita harus bilang ke orangtua kita dulu'
Kami pulang ke rumah masing-masing, bilang ke ortu, dan
malamnya ortu pada kumpul buat rapat sunatan massal ini.
Keputusan dibuat, fix empat orang akan disunat.
Tibalah tanggal yang ditetapkan.
'Icak, ayo cepetan, jangan telat'
'Iya bu, ini udah siap'
Kami jalan ke tempat eksekusi. Sepuluh langkah sampe.
Tempatnya di sebelah rumah gw alias di rumah tetangga.
Gw masuk rumah, udah ada 3 temen gw nunggu. Gw
mulai mengamati ruangan. Meja makan disulap jadi meja
sunat, satu kamar khusus udah disiapin buat ruang tunggu,
satu kamar lagi buat ruang istirahat setelah sunat.
Sambil menunggu mantri, kami saling tanya.
'Siapa duluan nih?'
47
'Udah mulai dari yang paling kecil aja'
Hati gw seneng, karena gw paling tua.
Mantri dateng dan mulailah eksekusi.
Temen gw yang paling kecil naik ke meja sunat. Dia diem
aja, gak ada tangis sedikit pun. Setelah selesai dia bilang ke
kami bertiga.
'Gak sakit'
Temen gw berikut, naik ke meja sunat. Dia mulai teriak,
semua dia panggil, dari ortu, Tuhan, kakek neneknya,
teriak-teriak kenceng. Setelah selesai dia bilang ke kami
berdua.
'Sakit'
Berikutnya naik ke meja sunat. Dia teriak lebih kenceng
dari yang sebelumnya, mantri dimaki-maki. Ortunya
pegangin dia kuat-kuat. Dia tetep teriak, dan akhirnya
selesai dan bilang ke gw.
'Sakit banget'
Giliran gw. Deg-degan, gw gak tenang, tegang. Awalnya
gw tenang, karena temen gw bilang gak sakit, tapi
semakin ke sini kok infonya makin sakit. Gw naik ke meja
sunat. Mantri mulai 'garap' gw.
'Sakit' gw menjerit sambil nahan sakit suntikan bius.
'Gak apa-apa, sabar ya' Kata mantri.
48
Tapi ini sakit banget. Si mantri mulai tarik-tarik, gw mulai
jerit lagi.
'Sakit!'
Bukannya slow down, si mantri tambah menggila.
Jeritan berubah jadi teriakan campur tangisan. Gw gak
kuat nahan sakit. Mending mati aja sekalian.
'Sakit, tolong!'
Rasa sakit mulai hilang, kayaknya bius mulai bekerja. Jadi
dari tadi bius belum bekerja? Gw mulai tenang. Gw liat
proses pemotongan dan penjahitan. Gak sakit.
'Ya, udah beres' kata mantri
Gw pulang.
'Ngapain sih elu teriak-teriak' Kata kakak begitu liat gw di
depan pintu
'Sakit tau'
'Bikin malu aja'
'Sakit beneran tadi'
'Keras banget tadi teriakan elu'
'Memang kedengeran ya?'
'Iyalah, segala elu teriakan'
49
50
Memang sih, gw teriak sekuat tenaga, mulai nama ortu
sampe segala dewa gw teriakin buat nolong gw. Hasilnya,
tetep sakit karna bius belum jalan.
Gak sakit, sakit, sakit banget adalah infromasi yang gw
terima sebelum giliran gw disunat. Informasi ini bikin otak
gw merubah respon yang tadinya biasa aja, jadi waspada,
akhirnya jadi takut. Memori terakhir gw 'takut', dan
ketakutan inilah yang gw bawa ke meja sunat.
Proses suntik bius dan lain-lainnya gak terlalu sakit, gw
masih bisa nahan kalo mau. Tapi ketakutan akan rasa sakit
udah berkuasa di diri gw.
Temen gw yang pertama gak kasih respon apapun, karena
dia belum dapet informasi apapun soal sunat, yang kedua
mulai merespon sakit, yang ketiga lebih sakit lagi, dan gw
di nomor urut terakhir merespon dengan 'mending mati aja
sekalian'.
Gw follower yang sukses karena mudah banget
terprovokasi. Gw bertindak berlebihan hanya karena
respon dari luar. Gw gak bisa kuasain diri gw. Powerless.
Teriak-teriak, jerit-jeritan itu kan butuh tenaga, darah juga
ngalirnya lebih cepet, pendarahan gw lebih banyak. Sejauh
itukah respon yang kita buat hanya karena informasi yang
belum tentu benar? Dan kalau benar pun, bisa gak sih
lebih rileks? Respon berlebihan banyakan ruginya
daripada untungnya.
Untung sunat cuma sekali, jadi cukup sekali aja respon
berlebihannya. Kurangi respon berlebihan dan nikmati
banyak keuntungan.
MAKSI-
MALKAN
YANGADA
51
Waktu itu,…Selesai sunat ibu jadi baik. Dia kasih
penawaran yang baru kali ini gw denger.
'Mau dibeliin apa?'
'Robot'
Dan gw dibeliin robot.
'Mau dibeliin apa lagi?'
'Ikan sama akuariumnya'
Dan gw dikasih duit buat beli ikan dan akuarium.
Sebelumnya, setiap pulang sekolah gw lewatin penjual
ikan hias, dan setiap hari juga gw mampir hanya untuk
liat-liat. Pengen banget punya ikan, tapi gak ada duit. Gw
mulai kumpulin duit buat beli, tapi gw gak punya
akuarium, jadi ikan itu gw piara di ember dan mati. Gw
males lagi buat beli ikan karena semua berujung pada
kematian. Gw pikir, kesempatan ikan untuk hidup lebih
lama adalah hidup di akuarium.
Gw seneng banget, pulang dari toko ikan bawa akuarium
dan ikan. Akuarium dari kaca, ukuran setengah meteran.
Gw taro di atas meja, gw liat-liat, polos banget
akuariumnya dan mulailah gw hias.
Gw ambil kalender bekas, pilih gambar gunung, dan gw
tempel di belakang akuarium. Gw ambil batu-batu di jalan
depan rumah, gw susun di akurium buat rumah ikan. Gw
ambil daun-daun cemara, gw tempel pake lakban buat
hiasan pohon-pohonan di akuarium. Gw masukin air, ikan.
Dan jadilah akuarium idaman gw.
52
Tapi, masih ada yang kurang, gelembung udara. Gak ada
budget buat beli gelembung udara. Gw gak habis akal. Gw
cari sisa-sisa adukan semen yang udah membatu, so called
berangkal.
Berangkal kecil gw celupin ke akuarium, dan keluarlah
gelembung udara dari berangkal tadi. Berangkal yang
berpori waktu masuk ke akuarium terisi dengan air, jadi
keluar gelembung. Senengnya. Tapi gak lama
gelembungnya abis. Gw keluarin berangkal tadi dan ganti
dengan berangkal baru. Gelembung keluar lagi, seneng
lagi, abis lagi, keluarin lagi, celupin lagi, siklusnya gitu
terus lagi dan lagi sampe gw capek. Akhirnya gw tinggalin
akuarium tanpa gelembung udara.
'Icak, liat akuarium dong'
Gw ajak temen-temen ke rumah buat liat akuarium.
'Kok gak ada gelembung udaranya?'
'Tunggu ya'
Gw ambil berangkal, gw celupin.
'Itu gelembung udaranya'
Temen-temen gw no respon.
'Kok belakangnya gambar gunung, bukan gambar bawah
laut?'
'Kalo gambar bawah laut kan udah biasa, ini model baru'
'Pohonnya kok daun cemara di lakban sih?'
53
'Bagusan daun ini dari pada daun plastik kan gak alami'
Selalu ada cara buat jawab. Intinya, Whatever it is, I have
my own akuarium dengan background gunung, daun-daun
cemara, dan gelembung udara berangkal. Memang sih gak
diterima secara umum, tapi bukan itu yang gw mau. Gw gak
peduli dengan respon temen-temen gw, kesenangan gw punya
akuarium nutupin semua respon 'negatif' mereka. Yang gw
pikirin hanya gimana caranya bikin akuarium ini bagus
dengan apa yang ada.
'Gw mau ngerjain itu, asal punya ini dulu'
Punya alat C, tapi harus punya alat A baru bisa kerjain
pekerjaan B. Padahal dengan alat C bisa aja kerjaan B
dikerjain walaupun gak maksimal. kalo tetep gak
maksimal gimana? Apanya yang gak maksimal ? Ngerjain
kerjaan B dengan alat C itulah maksimal.
Gak perlu cari alasan, karena yang perlu dicari itu jalan
keluar. Mulai sekarang tanpa nunggu harus punya ini itu
dulu, buka mata, liat sekitar,
54
maksimalkan
apa yang ada,
and you will find
the way out.
JANGAN
BIARKAN
MEREKA
PERGI
55
Waktu itu,…Udah seminggu kerjaan kami keliling
komplek. Liat tong-tong sampah, dan seneng banget kalo
nemu kotak rokok.
'Gw nemu nih' Senengnya temen gw dapet kotak rokok.
'Icak, udah nemu berapa?'
'Belum dapet' gw jawab lemes.
Sedih gak dapet kotak rokok. Kenapa sih sesedih itu?
Karena di komplek lagi tren buat mobilan kotak rokok.
Cara buatnya simpel, kotak rokok di bolongin sisinya,
masukin lidi, pasang ban dari sendal jepit yg dibentuk
lingkaran. Ban cukup satu set aja, tapi mobil kotak
rokonya harus banyak biar bisa ganti-ganti. Sedih kan kalo
mobilan kita cuma itu-itu aja. Belum lagi bahan kotak
rokok cepet rusak, jadi harus punya back up.
Sedih gw mendadak hilang karena adik gw pulang dari
rumah temennya dan bawa kotak rokok.
'Dapet dari mana?'
'Omnya temen tiap hari ngrokok, jadi kotaknya ada terus'
Senengnya dapet supplier tetap. Gak perlu capek-capek
lagi hunting, jadi gw bisa fokus ke produksi. Makin lama
kotak rokok makin banyak, yang artinya mobilan gw juga
makin banyak. Bentuknya juga beda-beda, ada yang jip,
pick up, sport, race. Puas bangetlah bebas berkreasi
walaupun bannya hanya satu set.
'Bu, liat ban mobilan ku gak?'
56
‘Gak liat nak'
'Tadi ada di sini, kesapu ibu gak?'
'Gak ada'
Gw bongkar tempat sampah, cari ban mobil. Nyari kesana
kemari. Tanpa ban, mobil-mobilan gw yang banyak itu
gak bisa jalan, percuma. Mau bikin lagi gak mungkin,
karena gw udah korbanin satu pasang sendal jepit karet
buat jadi ban. Jadi gw harus nemuin ini ban.
'Kemana sih bu bannya?'
'Ibu, gak tau. Memangnya ban gimana?'
'Itu dari sendal yang buat mobilanku'
'Gak liat ibu, tadi pas nyapu juga nggak ada'
'Pasti tadi ada bu, kemana bu?'
Gw ngotot kalo ban gw ibu yang ilangin, mungkin aja dia
sembunyiin supaya gw jangan terlalu sibuk urusin mobil-
mobilan. Gw terus tuntut ibu buat ngaku kalo dia yang ambil
ban dan kembaliin ban gw.
'Ibu gak tau dimana bannya'
'Mana bu banku?'
'Gimana kalo bikin ban baru aja, ini pake sendal ibu'
'Gak mau, maunya ban yang itu'
57
Gw nangis, ibu berusaha diemin.
'Ya udah, gimana cara buatnya, nanti ibu buatin'
'Gak mau, maunya ban yang tadi'
Gw masih nangis, ibu tinggalin gw. Gak tau dia pergi
kemana, mungkin pergi bikin ban.
Gw masih nangis sambil nuntut ban gw balik.
'Mana bu banku?' tanya gw terus sambil nangis
Gak ada jawaban dari ibu.
Gak lama gw liat ibu keluar dari kamar, baju rapi, bawa
koper.
'Ibu mau kemana?' Dari jauh gw tanya ibu.
'Ibu mau ke rumah nenek, kamu di sini ya?'
'Kenapa bu?'
Ibu diem aja.
Gw lari ke arah ibu, gw peluk dia.
'Ibu jangan pergi, jangan tinggalin aku'
Ibu diem aja dan ikutan nangis.
'Jangan bu, gapapa banku ilang, tapi ibu jangan pergi'
Nangis gw mau ditinggal ibu lebih kenceng dari nangis gw
58
keilangan ban.
'Jangan pergi bu'
'Iya, ibu gak pergi'
Gw gak bisa main mobilan rokok lagi. Tapi gapapa, gw
masih bisa asik dengan modifikasi badan mobil sambil
berharap ada sendal jepit gak kepake yang bisa gw jadiin
ban. Gw gak mau pake sendal jepit ibu, masih bagus,
sayang.
Berapa hari berlalu, gw ke gudang belakang rumah mau
cari sesuatu. Dan gw menemukan sesuatu yang gak gw
cari, ban mobilan satu set.
Kenapa ada di gudang ya? Karena gw yang taro di situ
supaya aman sebelum ibu sapu rumah, dan gw lupa.
Gara-gara ban karet sendal, gw hampir kehilangan ibu,
walaupun mungkin itu hanya trik aja. Gara-gara mengejar
sesuatu yang bagi kita penting banget, kita bisa kehilangan
orang yang kita sayang. Sibuk terus sampai akhirnya
keluar kata 'aku pergi ya', tapi itu masih mendingan
daripada tiba-tiba ngilang. Dan timbullah penyesalan, tapi
itu masih mending karena ada juga yang gak nyesel. Biar
aja dia pergi, yang penting gw berhasil.
Yang sayang sama kita adalah mereka yang peduli sama
kita, mereka gak mau liat kita rusak hanya karena ambisi
yang gak kekontrol. Mereka coba untuk batasin kita yang
sebenernya untuk kebaikan tapi respon kita melihatnya
sebagai hambatan. Akhirnya tanpa kita sadari mereka
pergi. Fisiknya sih masih ada, tapi hatinya udah gak tau
kemana.
59
MASIHJUARA1
=MASIHBELUM
KETEMUYANG
LEBIHBAIK
60
Waktu itu,…setelah tidur siang gw bangun. Keluar rumah
dan main. Permainan yang paling gw suka adalah lomba
lari. Kenapa gw suka? Karena gw selalu menang kalo
lomba lari. Di komplek perumahan gw menang, di sekolah
juga menang, dimana pun dan siapa pun lawannya, gw
selalu menang.
'Satu, dua, tiga!' Pak guru memberi aba-aba dan kita
semua berlari.
Gw mulai lari kenceng banget, paling depan tapi ada yang
balap gw. Gw full speed, keluarin semua kekuatan yang
ada tapi tetep gak bisa kejer. Gw kalah.
Anak baru ngalahin gw lomba lari di sekolah. Sebenernya
kekalahan ini bisa aja gw trima dengan lapang dada,
kenapa? Karena anak baru yang ngalahin gw adalah kakak
kelas. Wajar dong kakak kelas menang lawan adik kelas.
Masalahnya sebelum dia masuk sekolah ini, gw gak
pernah kalah even lomba lari dengan kakak kelas.
Gw gak bisa trima kekalahan. Dan di hari-hari berikutnya
gw tetep kalah dari dia. Gw lebih sering latihan, dan tetep
juga masih kalah dari dia.
Lama-lama gw mulai bisa trima kekalahan. Dan gw harus
akui kalo gw gak bisa kalahin dia di lomba lari.
'Satu, dua, tiga!' Pak guru memberi aba-aba dan kita
semua berenang.
Gw mulai bernang kenceng banget, paling depan dan gak
ada yang balap gw even si kakak kelas yang ngalahin gw di
lomba lari tadi. Gw lebih cepet dari dia di kolam renang,
dan dia lebih cepet dari gw di lintasan lari. Impas.
61
Masing-masing kita punya kemampuan terbaik, yang akan
berkurang ketika kita menemukan atau bertemu dengan
mereka yang memiliki kemampuan lebih baik dari kita. It's
all about time. Bersyukurlah kita belum ketemu mereka
yang punya kemampuan lebih baik dari kita, karena itu
akan buat kita tetep jadi juara. Jangan sombong, jangan
takabur. Mungkin saat ini kita ikan besar di kolam kecil.
62
Tapi kalo kita pergi
ke samudra,
kita hanya titik.
sekali lagi,..
it's all about
time.
SEDIH1X
BAHAGIA
SELANJUTNYA
63
Waktu itu,…Jemaat sedang berdoa. Gw gak tutup mata.
Liat sana sini, semua khusuk. Di tangan gw pegang
plastik. Gw tiup, puter, dan dar! Gw pecahin itu balon
plastik.
Jemaat kaget, tapi masih khusuk berdoa. Gw keluar.
Selesai doa, jemaat mulai cari-cari apa yang meledak.
Keputusan saat itu, ledakan berasal dari ban pecah,
walapun belum dicek. Keputusan hanya sebatas dugaan.
Gw lega, ban pecah bisa disalahkan. Gw akan bebas.
Tibalah di rumah.
'Icak, tadi apa ya?' Tanya ibu.
'Gak tau bu, ban pecah'
'Icak, tadi apa ya?' Tanya ibu lagi.
Gw diem.
'Ban pecah' Tante yang jawab.
'Icak, tadi apa ya?' Tanya ibu lagi dan lagi.
Gw diem.
'Kamu bikin apa tadi?'
'Aku pecahin plastik bu'
'Kakak, sini ambil lidi' Perintah ibu.
64
Gw dihajar, harus tanggung jawab perbuatan gw pecahin
plastik. Pedih dipukul lidi. Kulit kaki langsung bengkak.
Penuh garis-garis lidi.
Selesai mukul, ibu masuk kamar ninggalin gw.
Kakak ikut nyusul ibu. Gak lama dia keluar lagi.
'Ibu kenapa kak?' Tanya gw.
'Dia nangis, gara-gara elu sih' Jawab kakak.
Gw bertanya dlm hati, harusnya kan gw yang nangis kena
pukul lidi, kenapa ibu yang nangis?
Jawabannya baru gw dapetin pas gw punya anak. Gw gak
tega liat anak gw nangis merengek minta sesuatu yang
kalo gw kasih bisa bahaya buat dia. Jadi gw harus biarin
dia nangis, kasih dia pengertian, sampe akhirnya dia diem
sendiri. Ibu juga gak tega mukul gw, tapi dia harus buat
itu.
Gak tega tapi harus tega, dan harus tega demi kebaikan di
masa depan. Mungkin saat ini kita lagi dihadapkan dengan
situasi memilih yang sulit. Yang pacaran, mau dilepas
masih sayang, kalo gak dilepas nyusahin ke depannya.
Yang kerja, mau resign tapi belum dapet kerjaan baru, tapi
kalo gak resign masalah terus. Sulit banget.
Mari kita buat pilihan ini jadi gak sulit. Mulai dengan
menghitung tingkat kerugian dan keuntungan saat ini dan
saat nanti. Ibu memilih memukul gw dan dia sedih saat ini
dengan timbal balik gw gak akan pecahin plastik lagi di
gereja dan dia senang selamanya. Atau ibu memilih gak
pukul gw dan dia senang saat ini dengan timbal balik gw
65
masih melakukan hal yang sama nanti dan dia sedih
selamanya.
Saat ini dan selamanya.
66
Sedih saat ini,
senang selamanya.
Atau senang saat ini,
sedih selamanya.
Sulit?
JADI,
BEGITU
CARANYA
67
Waktu itu,…Ibu marahin gw karna gw gak bisa jawab soal
Matematika. Udah dua jam kami duduk tapi gw tetep gak
bisa jawab.
'Kalo kamu masih gak bisa, kita tetep di sini'
'Iya aku bisa' Jawab gw.
Ibu mulai kasih pertanyaan.
'Empat tiga pertiga brapa?'
'Tiga'
'Bagus, sekarang enam dua pertiiga brapa?'
Gw mikir dulu dan.
'Dua'
'Salah!'
'Jadi brapa bu?'
'Kamu masih gak ngerti ini. Coba ulang lagi'
Susah banget tugas matematika ini. Dan masih banyak yang
belum dikerjain. Gw gak ngerti cara ibu ngajarin. Jadi gw
hanya kira-kira jawaban aja, kadang jawaban gw bener.
Gw bosen diintimidasi, akhirnya gw tanya balik.
'Ibu, sekarang aku yang tanya'
'Boleh'
68
'Enam empat per tiga brapa?'
'Delapan'
'Kok bisa, caranya gimana?' Tanya gw.
'Enam dikali empat terus dibagi tiga'
Akhirnya gw nemuin pattern nya. Dan gw brani tantang
ibu.
'Coba tanya aku lagi?'
'Enam tiga per dua, brapa?'
'Sembilan'
Gw tantang ibu lagi.
'Yang lebih sulit dong bu'
'Ok, dua puluh empat per lima, brapa?
'Enam belas' Gw jawab sambil gw tinggalin ibu.
'Sini kamu, mau kemana?'
'Aku udah ngerti'
Mengerti bukan mengingat, bukan menghafal, tapi tau
konsep yang paling mendasar. Gak mudah sampai ke level
'aku udah ngerti'. Setengah mati gw nebak-nebak, ada
yang bener ada yang salah, tapi kenapa gak bener semua?
Karena gw gak ngerti caranya.
69
Proses untuk ngerti kuncinya dikomunikasi. Ibu sebagai
pengirim informasi, gw sebagai penerima informasi. Ibu
ngirim informasi yang gak gw mengerti. Ada distorsi
dalam proses pengiriman informasinya. Tapi itu semua
bisa diatasi setelah gw nanya ke ibu 'kok bisa, caranya
gimana?'. Sebelum mengirim informasi, si pengirim
informasi harus tau dulu siapa yang menerima
informasinya. Gunakan kode (bahasa, gambar, verbal, dan
sebagainya) yang dimengerti si penerima. Ngomong sama
anak SD, ya harus pake bahasa anak SD. Gak akan nyambung
kalo pake bahasa profesor.
Sering kali kita jadi salah pengertian karena salah
menggunakan kode dalam mengirim informasi. Akibatnya
bisa fatal. Seandainya sejak awal ibu ngajarin gw dengan
metode yang gw tau, pastilah gak akan terjadi marah-
marahan, jengkel-jengkelan, sebel-sebelan, dan gw gak
merasa terintimidasi.
70
Pilihlah kode
yang terbaik,
sehingga tidak
ada lagi kata
'Seandainya'.
SIKLUS:
-LATIHAN
-UJIAN
-NAIKLEVEL
71
Waktu itu,…Hari ketiga gw belajar renang. Coach kasih
gw ban terus disuruh keliling kolam. Kaki goyang, tangan
goyang, gw tetep ngambang dengan ban di perut.
'Waktu kepala di dalam air buang nafas, waktu kepala
keluar dari air tarik nafas ya' Coach mulai kasih petunjuk.
Lima kali puteran, adaptasi dengan kolam, ban dilepas dan
gw disuruh bernang. Jaraknya pendek, hanya 5 meter,
kedalaman kolam 2 meter. Masalahnya waktu itu tinggi
gw hanya kisaran 130 cm. Kelelep, abis hidup gw.
'Ok, siap…kamu kesini ya' Coach jaga diujung kolam.
'Siap ya, sana ke ujung kolam' Asisten coach pegangin gw
sambil kasih semangat.
Gw tambah deg-degan. Ini keputusan hidup mati. Gw
mulai hapal-hapal gerakan tangan dan kaki.
'Satu, dua, tiga!'
Gw dilepas. Tangan, kaki mulai gw gerakin. Gw mulai
buang napas dalam air dan tarik napas waktu kepala di
atas air.
Gw batuk, air masuk dikit. Tapi gw sampe juga di ujung.
Senangnya.
'Ulang lagi, tadi masih kaku banget!' Perintah coach.
Lima kali ulang, dan…hore, gw bisa bernang.
Hari pertama dan kedua gw belum bisa bernang. Kenapa?
Karena coach yang sebelumnya suruh gw bernang di kolam
72
yang dalemnya 50 cm. Kolam anak-anak. Tangan gw bisa
sentuh dasar kolam. Kepala gw bebas di atas air tarik
napas. Gw gak takut tenggelam. Ini bukan soal hidup mati,
santai aja.
'Anak ibu gak akan bisa bernang kalo belajarnya di kolam
kecil' Kata my update coach.
Di hari kedua ibu minta ganti pelatih. Hari ketiga gw
langsung bisa bernang.
Gw takut banget dilepas di kolam yang dalemnya 2 meter
dan harus buang napas di air, tarik napas lagi waktu kepala
di atas. Gw gak percaya sama kemampuan gw. Tapi coach
melihatnya lain. Dia tau gw bisa.
Gw bisa, elu bisa, kita bisa. Gimana mau tau batas
kemampuan kalo nggak diuji sampai luar batas kemampuan.
Khawatir pasti ada, tapi gimana meminimalisir kekhawatiran
itu yang penting.
Posisi kepepet, hidup atau mati. Ini bisa jadi cara jitu
meminimalisir kekhawatiran. Gw mau hidup, gak mau
mati, jadi mending tancep gas aja. Nekat?...bukan nekat
sih, tapi maju dengan perhitungan yang sudah dikaji. Gw
udah belajar cara bernang walapun masih pake ban. Dan
setelah ban dilepas gw pelan-pelan bisa bernang. Kalo
nekat, gw akan nyebur langsung di kolam 2 meter tanpa
latihan sebelumnya, dan yang terjadi pasti gw tenggelam.
Latihan, uji, naik level. Siklus hidup sederhana yang
waktu dijalanin kayaknya lama banget. Maunya langsung
naik level, gak usah latihan, gak usah ujian. Mana bisa.
73
MEM-
BOHONGI
DIRI
SENDIRI
74
Waktu itu,…Ibu suruh gw mandi.
'Icak, udah sore ini, mandi!'
'Iya, bentar bu'
'Ayo cepetan mandi, nanti keburu malam dingin'
'Iya ini aku keringin badan dulu masih kringetan'
'Cepet ya mandi!'
'Iya, sabar aja bu'
Begitu banyak alasan gw kasih ibu supaya gw gak disuruh
mandi. Gw gak suka mandi sore sampai gw menemukan
keseruan mandi. Serunya gimana?
Masuk kamar mandi, buka baju, siram satu gayung mulai
dari kepala, sabunan, terus masuk dalam bak. Dalam
kondisi full sabun masuk dalam bak? Bisa dibanyangin itu
bak langsung putih, berbuih busa sabun. Seru banget
berendem.
'Icak, mandinya lama banget, ayo cepet nanti masuk angin'
Gw keluar.
'Ini kok air baknya kotor? Kamu masuk ya? Tanya ibu.
'Nggak bu, tadi pas aku bilas airnya masuk bak'
Tapi ibu gak mudah dibohongin, dia kuras bak, isi air
baru.
75
Stasiun TV Cuma satu, isinya berita, hiburan, dan ada
flora dan fauna. Film-film dokumenter tentang binatang,
tumbuhan, dari darat sampai dalam laut sering dibahas di
program flora dan fauna.
Gw seneng banget liat penyelam meneliti di dasar laut,
dan gw terinspirasi oleh mereka.
'Icak mandi!'
'Iya bu'
'Jangan masuk bak ya!'
'Iya nggak, ngapain juga masuk bak?'
Gw masuk kamar mandi, niat mau berendem tapi gw ada
ide lain, I took it further. Gw mau ikutin gaya-gaya
penyelam di flora dan fauna. Gw masuk bak dengan
kacamata renang dan bawa senter, maksudnya biar senter
diidupin di dalam bak, kan seru.
Senter gw idupin sebelum masuk bak, dan akhirnya gw
ada dalam bak. Di dalam air dengan kacamata renang dan
senter yang nyala. Gw senter sudut-sudut bak,
ngebayangin jadi penyelam lagi senter terumbu karang.
Tiba-tiba senter mati, gw berdiri, keluar dari bak, meriksa
senter. gw cek baterenya masih baru, cek lampunya gak
putus, apa ya penyebab senter ini mati?
Ketemu jawabannya, senter di darat gak anti air gw bawa
ke dalam air, listriknya konslet, mati.
Gw keluar kamar mandi dan seperti biasa ibu kuras bak
lagi.
76
Menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya.
Ngidupin senter darat (senter biasa) buat jadi penerang di
dalam air. Hasilnya? Awalnya hidup, tapi sebentar mati.
Konslet.
Sering menempatkan sesuatu gak pada tempatnya? Buang
sampah bukan di tempat sampah, merokok di kawasan
terlarang, nyeberang bukan di jembatan penyebrangan,
pake baju minim di tempat yang dingin, dan sebagainya
termasuk menempatkan pekerja di tempat yang bukan
bidangnya.
Hasilnya? Konslet tapi tetep aja dibikin dengan banyak
alasan yang dipaksakan supaya 'sesuai dengan tempatnya'.
'Kok buang sampah sembarangan?'
'Gak ada tempat sampah'
'Kok ngrokok di angkot?'
'Udah asem kalo gak ngrokok'
'Kok nyebrang sembarangan?'
'Lama nyebrangnya kalo naik jembatan'
'Kok pake baju minim, di sini kan dingin?'
'Baju-baju gw kok elu yang atur'
'Kok dia kerja di situ, kan gak pas?'
'Ini sodara gw, dia harus kerja di situ selagi gw jadi bos'
Inovasi, perubahan itu penting, biar gak bosen terus stuck,
tapi masukin senter ke dalam air itu bukan inovasi. Gw
udah tau itu akan gagal. Konslet. Idealnya inovasi
membuat segalanya lebih baik. Ukurannya lebih efektif,
efisien, dan ekonomis dalam mencapai sesuatu. Tapi kalo
77
udah tau bakalan gagal ngapain dibuat?
Alasan 3T, pengen cepeT, maunya instanT, ngandalin
short cuT. Biasanya dilakukan oleh mereka yang gak
menghargai proses. Maunya hanya hak, kewajibannya gak
mau. Lingkungannya mau bersih tapi buang sampah
sembarangan. Bisa? Bisa, tinggal buang aja sembarangan
asal jangan di lingkungannya. Tapi sampe kapan gitu
terus? Udah tau salah tapi terus dibuat dengan banyak
alasan. Membohongi diri sendiri.
78
Diri sendiri aja
dibohongin,
apalagi
orang lain.
INVENTARIS
SUMBERDAYA
&MULAI
BEKERJA
79
Waktu itu,…Ibu marah karena komik gw dipinjem temen,
dan waktu dibalikin kondisinya rusak.
'Ibu gak akan kasih kamu duit lagi kalo gini'
'Tapi kan bukan aku yang rusakin bu'
'Kamu gak bisa bertanggung jawab'
Gak tau itu hanya alasan dia aja gak mau beliin komik
lagi, atau memang beneran gw dinilai gak bisa tanggung
jawab. no more money, no more comic. Sedih banget kalo
gak bisa baca komik lagi.
Harga komik dua ribu, terbit sebulan sekali. Uang jajan
gak ada. Hanya ada uang ongkos naik angkot ke sekolah
sehari lima ratus perak.
Gw mulai putar otak.
'Tinggal setengah jalan lagi' Gw nyemangatin diri.
Gw coba gak naik angkot, gw jalan kaki demi dapetin lima
ratus. Dan gw dapet.
Tapi masih kurang buat beli komik.
Deket rumah ada lapangan tenis. Gw liat ada anak-anak yang
ambil bola tenis dapet bayaran, lima ratus. Gw coba untuk
ikutan. Dan gw dapet.
Tapi tetep masih kurang.
Gw mulai kembangin bisnis ke jualan. Gw jual kelereng.
Sistemnya gampang, main, menang, jual. Dalam sehari
80
bisa dapet lima ratus. Dan gw dapet.
Sehari gw bisa dapet seribu lima ratus. Dua hari bisa beli
komik, masih sisa bisa beli yang lain.
Modal gw hanya tenaga. Tenaga buat jalan, tenaga buat
lari sana sini ambil bola, dan tenaga buat menangin main
kelereng.
'Lho, kok bisa beli komik, duit dari mana?' Tanya ibu.
'Aku punya bisnis bu' Jawab gw.
Ibu senyum-senyum. Mungkin dia lega karena gak harus
beliin gw komik dan bisa saving dua ribu tiap bulan. Atau
mungkin dia bangga sama anaknya yang udah bisa ngasilin
duit. Kemungkinan kedua gw ragu.
Kondisi 'sakaw' komik ini bikin gw berpikir 'how to'. Gw
dipaksa untuk cari jalan untuk ngobatin 'sakaw' gw.
Gimana supaya dapet komik? Beli. Gimana belinya?
Bayar pake duit. Duitnya darimana? Cari. Gimana
carinya? Jalan kaki, ambil bola, jual kelereng.
Mungkin kita sekarang dalam kondisi 'sakaw'. Ada sesuatu
yang harus kita dapetin, tapi kita gak punya daya untuk
dapetinnya, parahnya kalo sesuatu itu gak kita dapetin,
kita mati. Jadi, supaya gak mati, kita harus dapetin sesuatu
itu. Langkah pertama, tenang, jangan panik. Kalo kita
tenang kita bisa berpikir lebih baik. Berikutnya, tarik
napas dan mulailah menginventarisir resource. Sumber
daya apa yang kita punya? Uang, tenaga, metode, alat,
materi. Langkah selanjutnya, maksimalkan sumber daya
tersebut dalam rentang waktu tertentu (batas akhir nahan
sakaw). Langkah terakhir, eksekusi terus menerus dan
81
tunggulah hasilnya.
Kalo berhasil bagus, keep doing it, karena kita berhasil
menemukan 'daya' kita yang baru, yang selama ini kita gak
sadari. Kalo gak berhasil tetep juga bagus, karena kita
berhasil juga memaksimalkan 'daya' kita buat nahan
'sakaw' sampe ke level paling atas.
82
Berhasil
gak berhasil,
harus ada
hasil.
SATUTITIK
KETITIK
LAIN
83
Waktu itu,…Bapak main biola, gw hanya duduk liatin dia
main.
'Kamu belajar ya main biola' Kata ibu.
Gw males main biola, karena gak laki banget. Gw maunya
main drum.
Kakak, adik, belajar main biola. Tiap sore mereka latihan.
Lama-lama gw mulai pegang biola, mulai gesek-gesek,
tapi belum bernada.
'Kalo gesek jangan kena senar yang lain nanti bunyinya
gak pas' Kata bapak.
Gw mulai belajar sendiri, sampe akhirnya senar-senar
mulai bisa gw gesek tanpa bersentuhan satu sama lain.
Permainan gw mulai bernada, gw menemukan cara
bermain biola yang simpel. Ada empat senar, tiap senar
punya nada yang beda, tinggi rendah rendah nada sesuai
dengan letak jari kita waktu pencet senar. Makin deket ke
tuning nada makin rendah, makin jauh ke tuning nada
makin tinggi.
Satu lagu bisa gw kuasai, dua lagu gw kuasai, sampe gw
brani bilang 'Lagu apa aja bisa gw mainin'.
Ibu lihat perkembangan gw, dan dia suruh gw buat
perform di gereja.
'Ibu sudah jadwalkan kamu nanti isi instrumen biola ya'
'Gak mau ah'
84
Males banget kan perform di depan banyak orang. Gw
hanya mau perform di rumah aja. Gw gak brani, gak pe
de.
'Sana maju' Ibu mulai mendorong gw.
Gw maju ke depan bawa biola. Jemaat sunyi senyap,
mereka kayaknya pengen banget liat gw perform.
Gw mulai gesek senar, nada mulai terdengar. Ada
vibrasinya, ada dinamikanya. Gw rasa permainan gw udah
bagus banget.
'Main kamu jelek banget tadi' Ibu sebel.
'Udah bagus itu' Bapak membela.
'Jelek, getar-getar, mukanya pucet lagi, grogi'
'Itu namanya vibrasi, harus getar-getar' Jawab gw.
Dua pria melawan satu wanita. Jelas gak imbang,
jangankan dua pria, seribu pria lawan satu wanita juga gak
imbang. Dari hasil perdebatan itu, tetap pendapat ibu yang
benar. Permainan gw jelek.
'Kok gak main biola lagi?' Tanya ibu.
'Males ah, gak bakat'
'Cobalah lagi'
'Males, maunya main drum'
Turning point. Everybody has it. Titik dimana kita
85
86
memutuskan untuk beralih dari satu titik (titik dimana kita
berpijak) ke titik yang lain. Saat ibu berkata 'main kamu
jelek banget tadi', itu adalah titik dimana gw memutuskan
untuk gak mau lagi main biola. Dari titik itu, gw beralih ke
titik berikut, 'maunya main drum'. Dari biola pindah ke
drum.
Dari A pindah ke B, dari satu pekerjaan pindah ke
pekerjaan lain, dari satu pacar pindah ke pacar yang lain,
dan banyak titik lainnya. Keputusan untuk pindah titik
kebanyakan didasari oleh kekecewaan, gak puas dengan
apa yang diharapkan. Permainan biola gw gak diapresiasi
sama ibu, jadi gw pindah titik. Sangat jarang keputusan
pindah titik didasari atas 'gw udah maksimal di titik ini'.
Baru setengah jalan pindah, belum maksimal di titik itu
udah pindah.
Tetapi ada juga keputusan pindah titik dengan forecasting.
Melihat trend masa lalu dan masa kini, 'kok gw gini-gini aja
ya, kayaknya ke depannya susah', akhirnya pindah. Hidup
adalah perpindahan titik. Dari titik satu ke titik lainnya
hingga membentuk garis. Dari garis satu ke garis lainnya
hingga membentuk bidang. Dari bidang satu ke bidang
lainnya hingga membentuk ruang. Apa yang akan kita
lakukan dengan 'ruang'?. Warna adalah jawabannya.
Warnailah ruang itu.
Coba kita ingat perjalanan hidup kita sampai saat ini.
Sudah berapa titik kita pindah? Apakah titik-titik itu sudah
terhubung menjadi garis? Terus menjadi bidang? Lalu
membentuk ruang? Jika sudah, apa warna ruangannya?
Cerah atau suram? Bagus kalau cerah, kalau suram? Tidak
salah untuk kembali ke titik awal. Mulai kembali
merangkai garis, bidang, ruang, dan memberinya warna
yang cerah.
HAK&
KEWAJIBAN
87
Waktu itu,
'Makasih ya', Respon salah seorang pemain tenis waktu
dia nerima bola dari gw.
Ini hari pertama gw jadi tukang ambil bola di lapangan
tenis komplek. Tenis olahraga orang kaya, hanya yang
berduit yang bisa main. Orang-orang kaya komplek
kumpulnya di sini.
Sebelumnya gw hanya lewat di lapangan, liat anak-anak
yang ambilin bola. Dan gw iseng nanya ke salah satu dari
mereka.
'Dapet berapa?'
'Lima ratus'
Ambilin bola out dari jam 4 sore sampai setengah enam
dapet lima ratus. Enak banget.
'Cara masuknya gimana?'
'Masuk aja langsung'
Besoknya gw siap-siap, dateng ke lapangan tenis jam 3.
Masih sepi.
'Udah lama nunggu?' Tanya anak yg kemarin kasih info ke
gw soal ambil bola.
'Barusan'
'Kita ke sana yuk'
88
Kita keliling lapangan sambil crita-crita, mulai dari
sekolah dimana, rumah, hobi, macem-macemlah.
Jam setengah empat, satu per satu pemain dateng. Dan pas
jam 4 dimulailah permainan.
Bola demi bola out. Gw lari ambil bola dan kasih ke
pemain. Pemain asik main dan kita berdua juga asik lari-
lari ambil bola.
Jam setengah enam, game over. Gw seneng banget.
Excited mau dapet bayaran. Dag dig dug.
'Makasih ya' Kata si pemain sambil kasih gw duit lima
ratus.
Wow. Gak percaya gw dapet duit lima ratus. Gw pulang,
lari kenceng, bahagia banget.
Sampe rumah gw pamer ke ibu.
'Ibu, aku dapet duit lima ratus dari ambil bola'
Besoknya, gw lakuin aktifitas yang sama. Duit gw makin
banyak. Sampai suatu hari gw off, gak enak badan jadi gak
ambil bola. Gw berpikir, 'enak banget temen gw dapet
seribu'.
Besoknya, badan gw rasa enakan. Gw dateng ke lapangan
dan mulai ambil bola. Tapi ada yang beda. Gw sendirian.
'Kemana temen gw?'
'Kalo gw sendiri, asik banget bisa dapet seribu'
89
90
Permainan dimulai, gw mulai asik lari, ambil bola, dan
tibalah jam pembayaran. Seribu di depan mata. Gw tunggu
para pemain beresin alat, dan mereka satu per satu pergi.
Lapangan sepi. Gw sendiri.
Gak ada lima ratus, apalagi seribu. Wow. Gak percaya gw
gak dapet apapun. Gw pulang, lari kenceng, sambil
nangis, sedih banget.
Gw buka pager, masuk rumah, lari mau masuk kamar. Tapi
ibu cegat gw.
'Kenapa nangis?'
'Aku gak dibayar”
'Kok gak dibayar?'
'Gak tau, harusnya aku dapet seribu'
Ibu peluk gw, dia ambil duit seribu dari kantongnya.
'Ini ibu yang bayar kerjaanmu, jangan ke sana lagi'
Nangis gw brenti setelah liat duit seribu.
Sudah melakukan kewajiban, maka selayaknya kita
mendapatkan hak kita. Timbal balik dari apa yang kita
lakukan. Tapi gimana kalo critanya beda? kita udah lakuin
kewajiban tapi hak gak datang juga. Sakit hati.
Gimana caranya supaya kita gak sakit hati? Dapet hak.
Mau darimana pun itu, hak harus kita dapet tanpa
melakukan kewajiban lagi.
Kewajiban gw ambil bola, dan gw berhak atas seribu yang
harus dibayar pemain. Ternyata hak gw itu gak mereka
kasih. Gw sakit hati, tapi bisa terobati ketika ibu bayar
seribu ke gw. Ini kasus gampang. Kita coba yang lebih
sulit. Gw sakit hati, ibu gak bayar, gw gak dapet seribu.
Tapi beberapa hari kemudian gw nemu duit di jalan lima
ribu, atau ternyata para pemain tadi lupa dan mereka
akhirnya bayar juga, atau dalam kesakitan hati gw
menemukan kalo ambil bola bukan pekerjaan terbaik, dan
banyak jawaban penghibur sakit hati lainnya yang
semuanya 'andai-andai'.
Sakit hati berasal dari hati, yang cara sembuhinnya juga
datang dari hati. Coba kita bayangin hati kita seperti
lingkaran, yang ketika sakit lingkaran itu hilang/berlubang
seperempat. Supaya gak sakit kita butuh seperempat
lingkaran untuk nutupin lubang tadi. Singkat cerita, kita
menemukan penutup lubang tadi yang berarti ada hati lain
yang berlubang juga yang butuh penutup. Singkat cerita
hati itu bisa ditutup dan ada hati lain yang berlubang.
Sampai akhirnya siklus gali lubang tutup lubang ini
terhenti ketika satu hati memilih untuk menerima tetap
berlubang yang akan tertutup dengan sendirinya.
91
Itulah
hati
ibu.
MENERIMA
DENGAN
RELA
92
Waktu itu,…Kami sekeluarga berkunjung ke rumah
sodara. Lebaranan. Orangtua pada ngobrol, anak-anak
main. Gw main sepeda.
Sampe puas main sepeda, muter sana sini, gak brenti.
Kesempatan main sepeda adalah kesempatan yang langka
buat gw, karena gw gak punya sepeda.
Acara silahturahmi selesai, kami pulang.
'Pak, mau sepeda pak' Bujuk gw ke bapak.
'Buat apalah sepeda?'
'Ya buat main keliling'
'Ayo kita sekalian mampir aja ke toko sepeda' Kata ibu.
Gw seneng banget, ibu ngedukung usul gw.
'Yang ini brapa mas?' Tanya ibu ke penjual sepeda.
Setelah banyak pertanyaan, akhirnya kami pulang. No
sepeda.
Gw sebel banget, buat apa ke toko sepeda kalo hanya
nanya-nanya. Gw udah yakin banget hari itu mau dibeliin
sepeda baru, tapi ternyata gak jadi. Selama perjalanan dari
toko sepeda sampe rumah gw ngerengek terus.
'Sepeda, sepeda'
'Nantilah kita belinya' Jawab bapak.
Bapak kliatan gak setuju dengan usulan gw, dia juga
93
kliatan gak suka dengan rengekan gw. Dan tante akhirnya
kasih solusi.
Solusi ngerengek yang lain.
'Jangan sepeda, pake kode dong'
'Kode apa?' Tanya gw.
'Adesep'
Dan mulailah gw merengek dengan kode.
'Adesep, adesep'
Terus sepanjang perjalanan.
Sampe rumah rengekan gw makin jadi. Gw mulai
merengek sambil guling-guling di lantai. Masuk ke bawah
meja, naik lagi ke kursi, sambil tetep bilang
'Adesep, adesep'
Sampai akhirnya bapak nanya ke gw.
'Kamu mau sepeda?'
'Mau pak'
'Tunggu bentar ya'
Bapak masuk kamar, sementara gw ada di bawah meja
sambil merengek tapi suara udah gw pelanin.
'Ini buat beli sepeda sana!' Kata bapak sambil banting
94
gepokan duit di atas meja.
Gw yang lagi di bawah meja kan kaget banget.
Bapak masuk kamar.
Gw keluar dari bawah meja, liat duit banyak, segepok bisa
beli sepeda.
'Mau kamu ambil uang itu?' tanya ibu.
Gw hanya diem aja, dan balik ke bawah meja.
Bapak gak mau liat gw terus ngerengek, dan dia juga gak
mau beliin gw sepeda. Tapi dia gak bisa ambil keputusan.
Dia ngetes gw untuk memutuskan. Akhirnya, gw
memutuskan untuk brenti merengek, tanpa harus beli
sepeda.
Keputusan itu gw buat tanpa rasa takut, gw rela, gw
ikhlas. Gw mau bapak beliin gw sepeda dengan ikhlas. Di
sisi lain, gw gak perlu-perlu amat sepeda, tapi kalo
dibeliin (dengan ikhlas) ya mau. Tahun berganti tahun,
bapak gak pernah beliin gw sepeda, tapi dia ajarin gw
untuk ambil keputusan yang ikhlas.
Rela, pasrah, ikhlas, dimaknai sebagai kondisi hati yang
menerima segala keputusan tanpa membantah. Gak ada
kata 'tapi', apalagi 'harusnya kan gini', atau 'bukan begitu'.
Ketika hidup kita berada dalam situasi yang menuntut buat
rela, relakanlah karena itu akan membuat kelegaan yang
besar dalam hati. Gak gampang, tapi bisa dipelajari kalo
mau. Memberi dan menerima dengan kerelaan, tidak ada
bantahan, tidak ada tuntutan.
95
SEBANDING
DENGAN
PENGORBANAN
96
Waktu itu,…Gw pengen bangen makan siomay, tapi gak
punya duit. Gak ada uang jajan dengan alasan 'itu gak
sehat'. Tiap berangkat sekolah gw dibawain nasi kotak
sama ibu. Jadi gak ada alasan untuk jajan.
Pengen banget makan siomay, tapi gak punya duit. Otak
gw mulai muter.
'Bang bikin siomaynya pake apa?' Gw nanya ke tukang
siomay.
'Pake tepung terigu'
'Tepungnya diapain?'
'Tepung dicampur air, kasih ikan giling, garem, rebus'
'Udah gitu aja?'
'Iya'
Sampe rumah gw langsung ke dapur. Cari tepung terigu,
garem, tapi ikan gak ada.
'Bikin apa sih?' Tante nanya.
'Siomay'
'Kaya bisa aja, bukan gitu caranya'
'Emang gimana?
'Kasih tepung sagu juga”
97
Gw cari tepung sagu, dan gw mulai bikin adonan siomay.
Tepung terigu, sagu, garem gw campur, kasih air dikit.
Gw masak air. Pas mendidih, gw masukin adonan siomay
jadi-jadian ke air.
Siomay jadi.
Gw mulai coba rasain. Rasanya hanya asin aja. Supaya
lebih enak gw makan pake kecap.
'Enak gak?' Tanya tante.
'Gak enak' Jawab gw.
Hasil percobaan itu pun gw buang. Hari itu gw gagal bikin
siomay, tapi gw gak brenti. Gw coba lagi, lagi, dan lagi.
Coba, gagal, buang. Harus bisa sampe jadi.
'Ngapain sih bikin siomay terus?' Ibu nanya.
'Pengen aja'
'Sini ibu buatin'
Setelah banyak kegagalan, ibu mulai komen aktivitas gw.
Ada beberapa kemungkinan, pertama ibu sayang banget
sama gw, dia gak mau liat gw susah hanya karena mau
makan siomay. Kedua, ibu gak mau kalah sama gw.
Ketiga, dia takut tepungnya abis.
'Ini siomay bikinan ibu, ayo dimakan' Kata ibu sambil
sodorin siomaynya ke gw.
98
Siomay ibu ternyata juga gagal. Lebih enak siomay gw.
Gagal lagi, buang lagi, dan gak mau belajar lagi buat
siomay. Cukup. Capek.
Ambisi itu bagus. Punya target yang tinggi juga bagus.
Tapi menurut ilmu ekonomi semua jadi gak bagus kalo
hasil yang didapat gak sebanding dengan pengorbanan
kita. Gw hanya mau makan siomay, tapi apa yang gw
lakuin? Belajar bikin siomay, percobaan sana sini, buang
materi (terigu, sagu, garem, kecap), waktu, pikiran,
tenaga, yang semuanya berakhir di tempat sampah.
Ditambah lagi ibu yang ikutan juga bikin siomay, hancur
sudah. Di satu sisi, gw kliatan sebagai anak super kreatif,
tapi gw gak liat biaya/pengorbanan/resources yang udah
keluar brapa. Gak mau tau, pokoknya harus berhasil.
What!
Ngotot, adu urat, eksistensi ambisi ini sebenernya bisa
dicegah. Kembali ke awal cerita. Gw hanya mau jajan
siomay, tapi ibu gak kasih duit. Dari pada eksperimen
bikin siomay yang udah pasti gagal, mending bikin yang
lain yang udah pasti berhasil Berapa sih harga sepiring
siomay dibanding segala pengorbanan tadi? It's not worth
at all.
Jadi, mending ibu bikin kue nastar dan kasih gw duit jajan
siomay.
99
Semua
senang,
semua
menang.
MEM-
BUATNYA
BERHASIL
100
Waktu itu,…Gw dan ibu masuk ke toko sepatu. Hanya
liat-liat aja, gak beli.
'Bu, itu ada yang bagus'
'Iya, tapi sepatu kamu kan masih ada'
'Tapi itu lagi diskon bu'
'Mana?'
Gw ajak ibu liat sepatu di keranjang diskon.
'Itu warnanya putih, gak bisa buat sekolah'
'Tapi kan bisa buat main'
'Berapa harganya?'
Setelah melihat harga ibu kasih tantangan ke gw.
'Kamu tawar, kalo berhasil ibu beliin'
Gawat ini, pertanda ibu gak mau beliin. Ini jurus lama
yang udah gw pahamin betul. Gw coba nawar.
'Bang, sepatunya bisa kurang ya?'
'Gak bisa, udah harga pas, itu kan udah diskon'
'Ayolah kurang dikit aja'
'Yang di keranjang diskon udah harga pas, udah turun
harga'
101
Gw kembali ke ibu.
'Bu, gak bisa kurang harganya'
'Ya udah kalo gitu, kita pulang'
'Tunggulah bu, masak gak jadi, aku coba tawar lagi ke
yang punya'
Gw balik lagi nyari si empunya toko.
'Tante, harganya bisa kurang gak' Sambil gw tunjukkin
sepatu tadi.
'Gak bisa'
'Bisalah' Tiba-tiba ibu ada di belakang gw.
Dan dari pertarungan harga itu, ibu menang. Gw sepatu
baru.
Banyak cara untuk menggagalkan sesuatu, tapi banyak
juga cara untuk membuatnya berhasil. Gw yakin seyakin
yakinnya kalo ibu pengen banget gak beliin gw sepatu.
Banyak banget alasannya, dari warna, harga, dan suruh gw
yang nawar. Tapi semuanya gagal hanya dengan satu
action. Ibu nawar ke pemilik toko dan jadilah. Dia yang
mau gagalin, dia juga yang bikin berhasil.
Pernah gak sih kita melakukan hal serupa? Mau membuat
orang lain gagal. Dari perkataan yang simpel, seperti
'besok aja ya'. Padahal kita bisa bantu dia sekarang, gak
usah tunggu besok.
Dia balik badan, pulang, ninggalin kita, dan mulai berpikir
102
untuk cari jalan lain.
Kita tutup pintu, balik badan, tanpa mikirin apa yang dia
pikirin. Bantuan masih ada sama kita. Nganggur,
nongkrong, idle. Gak berguna buat kita, gak berguna juga
buat dia. Dua-duanya gagal.
Idealnya, keberhasilan satu orang akan membuat
kegagalan orang lain. Ada yang dikorbankan untuk
keberhasilan seseorang. Singkatnya, ada yang menang ada
yang kalah. Lebih ideal lagi kalo dua-duanya menang, gak
ada yang kalah. Tapi ini aneh, dua-duanya kalah.
Keanehan ini berawal dari hal sederhana. Gak mau liat
keberhasilan orang lain. Mending sama-sama ancur deh
daripada dia berhasil. Nanti kalo berhasil juga gak ajak-
ajak kita.
Susah liat orang seneng. Seneng liat orang susah. Budaya
ini harus kita ganti. Mulai dari diri sendiri.
103
Kita yang memulai,
kita juga yang harus
mengakhiri
budaya ini.
HADIR
UNTUKKU
104
Waktu itu,…Bapak tarik tangan gw.
'Ayo kita pulang'
'Nanti pak belum selesai acaranya'
'Mau tunggu apalagi?'
'Namaku belum dipanggil'
'Kamu kan kalah, gak akan dipanggil'
'Aku menang, aku tunggu selesai acara'
'Ok, bapak temenin kamu'
Dan kami menunggu. Menunggu nama gw dipanggil ke
podium buat menerima medali kejuaraan renang propinsi.
Gw ikut klub renang yang mewakili propinsi.
Sebagai atlet renang, gw bernang 6 hari dalam seminggu.
Banyak latihan gw ikutin. Sampai akhinya gw bisa jadi
perenang tercepat. Jangankan yang seumuran, yang
dewasa aja kalah sama gw.
Gw gak bisa gak latihan. Gak latihan, gw ketinggalan
dengan perenang yang lain. Kecepatan gw akan kalah
beberapa detik kalo gak latihan. Jadi gw harus latihan
terus untuk mempertahankan kecepatan gw.
Satu kali, ibu panggil gw.
'Icak, kamu gak usah renang dulu ya'
105
'Kenapa bu?'
'Keuangan keluarga lagi gak bagus, kamu libur dulu ya'
Tanpa banyak mikir, gw mengiyakan permintaan ibu.
Gw berhenti renang. Coach datengin ibu, protes kenapa
gw berhenti. Ibu kasih alasan, dan coach kasih solusi. Gw
bisa latihan bernang dengan pembiayaan yang bisa diatur.
'Hore, Icak dateng' Teman-teman sesama perenang
nyambut gw.
Gw mulai pemanasan, adaptasi lagi dengan kolam.
'Get, set, go!' Coach kasih aba-aba.
Gw bernang, rasanya udah maksimal, udah kebut banget,
dan gw finish di posisi terakhir. Gw lambat banget.
Udah setahun lebih gw gak renang, jelas kecepatan gw
kalah sama mereka yang tiap hari renang. Tapi gw tetep
fokus latihan, sampai gw harus latihan tambahan buat
ngejer ketinggalan gw.
Klub mempersiapkan gw buat kompetisi, dan mereka
kasih target batas kecepatan maksimal. Gw gak sanggup,
kecepatan gw masih kurang 2 detik dari target klub.
'Ini ibu beliin kamu kacamata baru buat lomba besok' kata
Ibu sambil kasih gw kacamata renang pro.
'Asik, bagus ini bu'
Gw seneng banget, akhirnya punya juga kacamata renang
106
standar profesional. Selama ini gw pake kacamata renang
yang murahan, berat dipake, dan suka berkabut.
'Get, set, go!' Juri lomba memberi aba-aba.
Gw lompat, pas masuk ke air kacamata kebuka dikit, air
masuk ke kacamata, gw gak bisa liat. Sejak awal bernang
gw terbiasa dengan kacamata, jadi gw gak bisa bernang
tanpa kacamata. Masuknya air ke kacamata bikin gw panik.
Gw coba tenang sambil keluarin sekuat tenaga buat bernang.
Gw finish nomor satu.
'Pak, kacamatanya masuk air tadi' Kata gw sambil lepas
kacamata.
'Udah, gapapa, kan udah finish juara satu'
Bapak ajak gw ke juri.
'Berapa detik?' Bapak tanya hasil gw ke juri.
Sambil ngajak gw ganti baju, bapak bilang kalo gw kalah
di babak penyisihan dari grup lain. Gw kalah sekian detik,
mungkin karena gw gak konsen waktu air masuk ke kaca
mata.
'Gak mungkin aku kalah, tadi udah jelas juara satu'
Selesai ganti baju, kami duduk makan, dan bapak ajakin
gw pulang. Gw tetep gak mau pulang. Sampe penyerahan
semua medali gw juga belum mau pulang.
'Aku kok belum dipanggil ya pak?'
'Kan udah kalah, jadi gak dipanggil'
107
'Ok, kita pulang aja' Gw minta pulang.
Apa yang gw latih selama ini gak berhasil. Faktor utama
bukan kacamata, tapi memang persiapan gw mepet banget.
Gw jago setahun yang lalu. Tapi di tahun ini, gw kalah.
Bapak tau gw kecewa, dan dia nemenin gw dalam
kekecewaan itu. Keluar dari gelanggang renang bapak
ajakin gw makan siomay. Dia gak makan, hanya gw yang
makan dan boleh nambah. Mungkin dia gak makan karena
jatahnya dia jadi jatah gw nambah.
Hari itu bapak gak kerja, dia khusus nemenin gw dari
pagi. Mulai dari persiapan, lomba, sampe nungguin nama
gw dipanggil, makan siomay, dan kembali ke rumah. Dia
hanya memastikan gw selamat lahir batin bukan hanya
saat kompetisi renang itu tapi
108
selama
dia ada
di dunia
ini.
SIKLUS
TOLONG
MENOLONG
109
Waktu itu,…Sampai di Jawa, disambut keluarga,
senangnya.
'Icak, nanti malam ke alun-alun ya'
'Ok bu'
Malamnya kami sekeluarga jalan ke alun-alun. Cukup
jalan kaki 15 menit kami sampe di alun-alun yang waktu
itu lagi ngadain karnaval. Gw naik komedi putar, kakak
asik makan harum manis, adik main lempar bola.
'Kita masuk tong setan yuk' Ajak ibu.
'Asik, mau' Kami anak-anak serentak jawab.
Tong setan adalah permainan stunt motor. Adalah sebuah
tong raksasa yang dibuat dari kayu yang nantinya akan
ditelusuri dengan motor. Dan mulailah stunt rider
mengemudikan motornya di darat. Mulai jalan pelan-
pelan, lama-lama tambah cepet dan sekarang bukan di
darat lagi, rider stunt jalan di sisi tong.
'Hore, hebat!' Teriak gw.
Stunt rider mulai beraksi lepas tangan, merokok, hadap ke
belakang yang semua dilakukan di atas motor dengan
kecepatan tinggi di sisi tong.
'Hebat ya' Respon gw selesai nonton tong setan.
Kami jalan pulang lewatin jejeran penjual gorengan. Ibu
brenti, pilih-pilih gorengan. Dan gw gak mau kalah. Gw
juga pilih gorengan di penjual yang lain. Bakwan udang
mencuri perhatian gw. Tangan gw mulai cubit-cubit udang
110
yang nempel di bakwan, dan jatuhlah gorengan itu.
'Ambil!' Kata si penjual.
Gw liat ke bawah mau ambil, tapi ternyata gorengan jatuh
ke got yang ada di bawah gerobak gorengan.
'Ambil!' Kata si penjual sambil melotot.
'Gak bisa, masuk ke got' Jawab gw.
'Ambil!' Penjual memaksa.
Gw gak bisa ambil, bukan karena jijik jorok, tapi karna
gotnya dalem banget.
'Gotnya dalem' Jawab gw.
'Ambil!'
Gw sadar ini penjual marah beneran, dia mau gw bayarin
bakwan udangnya. Tapi gw gak punya duit. Gak mungkin
juga kalo gw berhasil turun ke got, ambil bakwan udang,
kasih ke penjual, dia bakal maapin gw. Gw salah dan
harus tebus kesalahan gw.
'Ayo pulang' Kata ibu sambil gandeng tangan gw.
'Ini anaknya?' Tanya si penjual.
'Iya, kenapa?'
'Dia jatuhin bakwan udang'
Ibu liat gw sebentar.
111
'Berapa harganya?' Ini saya bayar.
Ibu menebus kesalahan gw. Gw bebas pergi tanpa harus
ambil bakwan di dalam got. Seneng banget ada yang
nolongin.
Posisi sulit. Belakang macan, depan buaya, kanan ular, kiri
jurang. Segala arah salah, pasti mati. Tiba-tiba turun
tangga tali dari atas.
'Cepetan naik' Suara di helikopter kasih perintah.
Pegang tali, naik tangga, dan selamat.
Penolong dan yang ditolong terikat di dalam satu siklus,
tolong menolong. Awalnya si penolong adalah mereka
yang butuh pertolongan, setelah ditolong ada 'rasa' yang
timbul. kewajiban untuk menolong akan timbul, ada
keinginan untuk membalas pertologan itu. Balasan
pertolongan tidak harus ke pemberi pertolongan tapi bisa
juga ke mereka yang membutuhkan pertolongan, sehingga
siklus tolong menolong akan tetap berputar.
Kewajiban untuk menolong bisa juga gak muncul, itu
karena 'rasa' tadi ditekan. Pengen nolong tapi
'Tunggu lah'
'Besok aja lah'
Terus menunda, yang akhirnya jadi kebiasan yang lama
kelamaan jadi jati diri. Kalo udah jati diri, satu pribadi
berkembang jadi dua, dua jadi tiga, terus bertambah,
jangan-jangan siklus tolong menolong bisa berhenti.
112
Berhenti tidaknya siklus ini ada di tangan kita.
Helped people,
help people.
Orang yang ditolong,
akan menolong.
113
NURUTKARENA
TAKUT
114
Waktu itu,…Mengisi liburan kelas, gw asik main layangan
sendirian di tempat yang tinggi. Gak mungkin banget gw
main rame-rame, karena gw main layangan di atas genteng
rumah.
Perjalanan panjang mewujudkan cita-cita gw main
layangan. Gw gak punya duit buat beli layangan, jadi gw
pungutin kerangka layangan di jalan. Gw kasih benang,
terus gw temple kertas lagi. Karena gak punya duit untuk
beli kertas minyak, jadi gw pake kertas koran. Layangan
kertas koran susah buat diterbangin karena berat, tapi mau
gimana lagi, hanya ini yang gw punya. Supaya mudah
diterbangin gw harus cari tempat yang anginnya kenceng,
dan genteng rumah adalah jawabannya.
Gimana dengan benangnya? gw pungutin juga benang-
benang layangan di jalan. Gw sambung-sambung jadilah
satu gulung. Gak panjang tapi cukuplah.
Layangan kertas koran gw mengudara, gak takut buat
aduan. Kalo putus tinggal buat lagi.
Corak koran membosankan dan gw beralih ke kertas hvs
berwarna. Problemnya sama 'gak punya duit buat beli',
tapi gw gak menyerah. Gw dapet hvs berwarna dari paper
punya bapak yang gak kepake. Layangan gw tampak ber-
warna, bukan hanya satu warna, tapi bisa banyak warna, gw
gabungin kertas-kertas hvs warna.
Sama dengan koran, layangan hvs juga susah terbang, jadi
gw tetep main di genteng. Layangan naik, tambah tinggi,
tapi sulit dikendaliin, sampai akhirnya layangan jatuh di
genteng tetangga, jaraknya 2 rumah dari rumah gw. Gw
tarik benang, layangan gak gerak, nyangkut.
115
‘Mau kemana?' Tanya kakak.
'Ambil layangan' Jawab gw.
Gw jalan ke arah rumah tetangga. Rumahnya udah lama
kosong, gak terawat. Gw naik pagernya, terus sampe ke
pinggir genteng. Gw liat layangan warna warni hvs gw
nyangkut di antara genteng.
Gw jalan pelan di atas genteng. Satu langkah, dua
langkah, tiga langkah, makin deket ke layangan. Langkah
keempat, brak! Genteng yang gw injek pecah, kaki gw
masuk. Gw tarik kaki ambil layangan. Gw turun. Deg-
degan, takut.
Bunyi genteng yang pecah bikin tetangga keluar.
'Kenapa?' Tanya kakak di depan pintu.
'Takut' Jawab gw.
'Takut kenapa?'
'Tadi ambil layangan, terus gentengnya pecah'
Gw taro layangan. Dan kembali ke rumah tetangga dengan
maksud mau benerin gentengnya. Mulai naik, jalan empat
langkah dan genteng pecah lagi, banyak yang pecah, kaki
gw sampe injek plapon. Brak! Brak! Genteng pecah, kena
plapon, dan plapon runtuh. Gw hampir ikutan keperosok,
tapi gw bisa tahan badan dengan pegangan ke genteng. Gw
turun liat rumah tetangga bolong plapon dan gentengnya.
Besar juga, hampir dua meter persegi.
'Icak jatuh' Tetangga pada teriak dan datengin gw.
116
'Kenapa Icak?'
Gw lari ke rumah, ketakutan. Sampe rumah bapak udah di
luar.
'Kenapa?'
'Aku rusakin rumah orang pak'
Gw masuk rumah, bapak keluar, liat apa yang dibuat
anaknya.
Kaki gw luka, dikasih obat. Rasa takut gw, gak tau
obatnya apa.
Bapak balik ke rumah, gak omong apa-apa. Dia ambil alat
pertukangan terus pergi lagi.
'Apa bapak mau benerin ya?' Kata gw dalam hati.
Seneng juga kalo dibenerin, artinya gw bebas dari tuntutan
kerusakan. Gak lama bapak pulang.
'Gak bisa dibenerin, parah' Kata bapak.
'Terus gimana pak?' Kata kakak.
'Kalian di rumah dulu ya, Icak jangan main-main'
Bapak keluar, pergi ke tetangga yang punya rumah.
Selama gw main di layangan di genteng rumah gw, aman-
aman aja. Dan gw yakin akan aman-aman juga kalo gw naik
ke genteng rumah tetangga. Tapi perhitungan gw salah.
Rumah itu udah tua, udah lapuk.
117
Hari berikut, gw gak main layangan lagi. Berangkat
sekolah gw lewat rumah itu, pulang juga lewat rumah itu.
Masih kliatan bolongnya, parah. Makin parah kalo hujan
air masuk lewat bolongan, untungnya bolongan itu di
bagian garasi jadi air gak masuk dalam rumah.
Bapak, ibu gak marahin gw mereka diem aja. Sejak
peristiwa itu gw jadi anak yang penurut.
'Icak siram kembang!'
Gw nurut.
'Icak, mandi!'
Gw turutin semua perintah ortu. Semua gw buat untuk
bisa menebus kesalahan gw. Rasa bersalah dan takut
masih ada di hati gw. Gak enak banget, tapi ada positifnya,
gw jadi penurut.
Rasa takut membatasi kita. Gak mau kebut-kebutanan
karena takut celaka, gak mau mencuri karena takut
ditangkep. Dan banyak batasan lain yang dibuat oleh rasa
takut. Ada positifnya, tapi bisa jadi negatif kalo terus
menerus dikendalikan rasa takut. Coba banyangin di
depan kita ada indicator bahan bakar. Ada full dan empty.
Jarum semakin ke 'empty' artinya 'full' semakin sedikit,
'empty' semakin banyak. Begitu sebaliknya, jarum
semakin ke 'full' yang artinya 'empty' semakin sedikit,
'full' semakin banyak.
Sekarang kita ganti indicator 'empty-full' dengan 'fear-
love'. Jarum semakin ke 'fear' artinya 'love' semakin
sedikit, 'fear' semakin banyak. Begitu sebaliknya, jarum
semakin ke 'fear' yang artinya 'fear' semakin sedikit, 'love'
118
semakin banyak. Makin banyak ketakutan, makin sedikit
cinta. Kita gak mau kebut-kebutan bukan karena takut
celaka, tapi karena kita cinta sama diri kita. Biarlah cinta
menjadi motivasi utama kita dalam berkehidupan.
Sambungan.
Gw gak pernah tau apa yang diomongin bapak dengan
tetangga si pemilik rumah. Sampai suatu saat, dimana gw
udah punya anak, gw ikut kumpulan keluarga. Di
kumpulan itu ibu cerita kisah gw jeblosin genteng
tetangga.
'Jadi waktu itu datenglah bapak ke rumah tetangga'
'Terus?'
'Bapak minta maaf ke tetangga karena si Icak udah
jeblosin rumahnya'
'Terus-terus gimana?'
'Tetangga jawab'
'Apa jawabnya?'
'Gak papa pak, gak usah ganti, biasa itu, namanya juga
anak laki-laki'
119
what?!
TRACE
BACK
120
Waktu itu,…Temen sebangku gw ajakin gw nonton film di
bioskop.
'Gak mungkin gw dikasih ijin'
'Masak gak bisa?'
'Itukan pulangnya malem'
'Jam 7 sore beres'
'Iya, tapi nanti sampe rumah gw jam brapa?'
'Sekali-kalilah pulang malem, bagus nih filmnya'
Bapak temen sebangku gw ini punya kantin di bioskop,
dan hampir tiap hari temen gw ini nonton sambil tunggu
kantin bapaknya tutup. Banyak film yang udah dia tonton,
mulai film anak-anak sampai dewasa, dan besoknya di
sekolah dia pasti crita ke gw.
'Cak, seru banget gw nonton film tadi malem'
'Film apa?'
'Film kung fu, cerita tentang raja merak'
Dan dia mulai cerita panjang lebar yang bikin gw tertarik
juga untuk nonton.
'Trus filmnya udah gak diputer lagi?'
'Tadi malem terakhir, tapi ada seri keduanya, nanti kita
nonton ya'
121
Dua bulan kemudian keluarlah seri kedua film kung fu raja
merak. Tapi gimana caranya supaya gw bisa nonton?
Harus minta ijin, semoga dikasih.
'Bu aku mau jalan-jalan sama temen abis pulang sekolah,
boleh gak?'
'Kapan?'
'Minggu depan'
'Mau ngapain?'
'Jalan-jalan aja'
'Coba minta ijin ke bapak'
Demi film raja merak gw harus lewatin birokrasi yang
panjang. Gw datengin bapak.
'Pak minggu depan aku diajakin temen jalan-jalan abis
pulang sekolah, boleh?
'Pulangnya gak malem kan?'
'Gak, sore udah sampe rumah'
'Ok, boleh, minta uang tambahan sama ibu ya'
Senengnya, dikasih ijin terus dikasih tambahan buat jajan.
Tapi gw gak bilang kalo mau nonton film dan pulangnya
malem. Ada rasa bersalah juga sih, tapi gapapa, semua
bisa diatur belakangan.
Hari H tiba, pulang sekolah gw ke rumah temen, sorenya
122
nonton film kung fu raja merak. Pertama kali masuk
gedung bioskop, terkesima liat layar dan sound gede.
Filmnya seru tapi gw gak tenang, rasa bersalah mulai
timbul. Makin lama rasa bersalah makin timbul dan gw
makin gak tenang nonton.
Jam 7 film beres, gw pulang. Sampe rumah bapak ibu gak
ada. Kata kakak mereka nyusulin gw sekolah. Level rasa
bersalah gw makin tambah. Trus apa yang harus gw buat?
Gw pura-pura tidur.
Bapak, ibu kembali ke rumah.
'Icak udah pulang?'
'Udah bu, itu lagi tidur'.
Ibu tau gw pura-pura tidur. Dia tau gw merasa bersalah
karena udah bohong.
‘Iya, ini udah tidur' kata ibu sambil usap-usap punggung
gw.
Besok paginya, bapak ibu nasehatin gw. Mereka bilang
kalo kemarin malam ke sekolah terus susulin ke bioskop.
Sampe bioskop gw udah pulang.
Siangnya habis pulang sekolah, gw dan temen gw
dipanggil kepala sekolah.
'Kalian ini susahin orangtua ya'
Kami hanya nunduk aja.
'Gimana filmnya bagus?'
123
Tetep nunduk gak jawab.
'Kalian masih kecil, harusnya malam di rumah, bukan
nonton bioskop'
Selesai dinasehatin kami pulang.
'Kok jadi gini sih Cak?'
'Ya gw juga gak tau'
Jawaban itu sering kita keluarkan, sederhana tapi langsung
bikin case close 'gw juga gak tau'. Bisa beneran gak tau,
bisa juga pura-pura gak tau supaya urusan jangan panjang,
kalo pun bersalah bisa terbela. Terus kalo semua gak tau
siapa yang tanggung jawab? Gak ada yang tanggung
jawab?
Segala sesuatu terjadi karena ada hal sebelumnya yang
terjadi, jadi gak mungkin ada 'gw juga gak tau'. Ada aksi
reaksi, hukum sebab akibat. Gw dipanggil kepala sekolah
karena ortu nyari gw ke sekolah. Mereka nyari gw karna
udah malem gw belum sampe rumah, karena gw asik
nonton di bioskop. Gw bisa nonton karena gw bohongin
ortu.
Jadi.
'Kok jadi gini sih Cak?'
Harus dijawab dengan
'Karna gw bohong'
That's it, end of story, jadi gak ada jawaban 'gw juga gak
124
tau'. Trace back maka kita akan menemukan jawaban
paling mendasar dari pertanyaan kita. Gak mudah, butuh
waktu, mungkin juga biaya, ada pengorbanan tapi pasti
jawaban itu ada.
125
Pertanyaannya
'mau tau gak?'
KITASEMUA
JUARA
SATU
126
127
Waktu itu,…Bu guru panggil gw untuk pembagian nilai
EBTANAS murni. Sebelumnya temen gw yang dipanggil
dan dia dapet nilai tertinggi. Gw berkesimpulan, karena gw
dipanggil urutan ke dua, pasti NEM gw tertinggi kedua,
gak apa-apa lah.
Dari kelas satu sampe kelas enam, gw sering banget
ranking 1. Beberapa kali rangking 2, dan 1 kali rangking 3
itu pun karena gw cuti sekolah karena sakit.
'Icak' Bu guru panggil.
Gw masuk, duduk. Bu guru kasih tunjuk nilai gw dan gw
disuruh sign cap jari. Gw liat NEM gw, ada beberapa nilai
yang lumayan.
'Brapa NEMnya?' Bapak tanya.
'Kecil pak' Jawab gw.
Bu guru keluar dan nemuin bapak.
'Gak nyangka Icak NEMnya bisa kecil'
NEM gw kecil, urutan tiga terendah. Dengan track record
'bosen rangking 1' gw dapet NEM terendah, gak percaya
aja. Jangan-jangan ujiannya salah periksa, atau nama gw
ketuker. Gak percaya.
Guru-guru kumpul, mereka membahas hal yang sama 'gak
percaya NEM gw kecil'.
Sebelum Ebtanas, gw udah siapin diri. Belajar, latihan,
tapi hasilnya jauh banget dari yang gw harapkan. Gw
sedih, bapak coba menghibur gw.
‘Ya udah gak apa-apa, namanya juga belajar'
Sampe rumah gw masuk kamar. Sedih karena NEM gw
gak cukup untuk masuk sekolah unggulan. Bapak, ibu
menghibur gw walau kadang nyalah-nyalahin juga
'Kamu sih ujian nasional anggap enteng'
Gak enak banget disalahin. Tapi gw punya akal gimana
supaya gak disalahin terus. Gw masuk kamar, telungkup di
kasur, nangis. Pura-pura nangis aja, pura-pura nyesel.
Sampai akhirnya...
'Ya udah, gak usah sedih, kita cari sekolah lain nanti'
Berhasil. Ortu brenti bahas soal NEM, mereka terima
hasil, gw juga udah bisa terima kenyataan. Tinggal nyari
sekolah yang mau trima NEM gw. Susah banget nyarinya,
NEM gw rendah banget buat masuk sekolah negeri.
'Icak, mau lanjut sekolah mana?' Tanya tetangga gw.
'Mau masuk negeri'
'Unggulan ya?'
'Gak bisa di unggulan, NEM ku kecil'
'Oh gitu'
'Iya, kecil banget, kalo gak masuk negri ya paling di
swasta aja'
'Memang NEMnya brapa?'
128
129
Gw sebutin NEM gw dan dia kasih jawaban yang cukup
mencerahkan.
'Ada sekolah negeri baru buka, terima murid banyak,
kayaknya NEM kamu bisa masuk'
Beberapa minggu kemudian tibalah gw di sekolah baru ini
buat daftar. Tempatnya di gunung, fasilitasnya juga belum
lengkap. Tapi di balik itu semua, gw ketrima. NEM gw
masuk katagori menengah.
Proses belajar mengajar dimulai. Gw bisa ikutin pelajaran
dengan mudah dan bisa rangking 1 lagi. Tahun berikutnya
gw pindah ke sekolah unggulan, tapi di situ gw gak
rangking 1. Di sekolah unggulan muridnya pinter-pinter,
rajin-rajin. Satu tahun berikut gw baru bisa rangking 1.
Semua kita adalah rangking 1. Setiap orang terlahir
dengan kemampuan yang gak dimiliki orang lain.
Kemampuan ini membuat mereka menjadi yang terbaik di
bidangnya. Peringkat bukan soal prestasi akademis.
Seorang anak yang jago matematik belum tentu jago
olahraga, begitu juga dengan anak yang jago menyanyi
belum tentu jago main kelereng. Melabeli anak 'pintar'
hanya dengan pencapaian akademis adalah tidak adil.
Sedih gak rangking 1? Buat apa?
Rangking hanya bisa terjadi jika ada pembandingnya.
Kalo gak ada proses banding-bandingin, mana ada
rangking-rangkingan, lebih kaya, lebih pinter, lebih keren.
Pernah dibanding-bandingin? Enak gak? Kalo gak enak,
coba yuk menilai setiap orang itu rangking 1. Lihat
kelebihannya, bantu minimalkan kekurangannya.
130
Waktu itu, gw buka berkas-berkas bapak.
Bapak adalah seorang yang terorganisir dalam
penyimpanan dokumen, semua rapih teratur.
Saking rapihnya berkas waktu dia
bujangan masih ada.
'Pak, ngapain sih ini tulisannya kok gini?'
Kata gw sambil ketawa.
'Tulisan apa?' Tanya bapak.
'Ini biodata bapak' Kata gw lagi.
'Kenapa memangnya?' Tanya bapak lagi.
'Masak tulisan hobinya bercerita'
Jawab gw sambil ketawa.
Dan sekarang gw menertawakan hobi gw.
Hermawan Wicaksono, adalah seorang creative
entrepeneur. Tinggal di Bandung bersama istri,
Meinar Amelia dan seorang anak laki-laki, Dikan
Pranata Wicaksono yang makin hari semakin mirip
dengan bapaknya sewaktu kecil.
Dan itu membahayakan.

More Related Content

What's hot (20)

New novel 2011 ''missing luv just apple''
New novel 2011 ''missing luv just apple''New novel 2011 ''missing luv just apple''
New novel 2011 ''missing luv just apple''
 
Cerpen "Meraih Mimpi"
Cerpen "Meraih Mimpi"Cerpen "Meraih Mimpi"
Cerpen "Meraih Mimpi"
 
Timbunan sampah (edi supardi emon)
Timbunan sampah (edi supardi emon)Timbunan sampah (edi supardi emon)
Timbunan sampah (edi supardi emon)
 
Tentang aku
Tentang akuTentang aku
Tentang aku
 
cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiri
 
3 skema jawapan bhg a,b,c
3 skema jawapan bhg a,b,c3 skema jawapan bhg a,b,c
3 skema jawapan bhg a,b,c
 
Karangan cerpen sendiri
Karangan cerpen sendiriKarangan cerpen sendiri
Karangan cerpen sendiri
 
Karangan berbentukk tindakan
Karangan berbentukk tindakanKarangan berbentukk tindakan
Karangan berbentukk tindakan
 
Rasa yang tertinggal
Rasa yang tertinggalRasa yang tertinggal
Rasa yang tertinggal
 
Pantai kenangan
Pantai kenanganPantai kenangan
Pantai kenangan
 
10 cerpen
10 cerpen10 cerpen
10 cerpen
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Kliping cerpen
Kliping cerpenKliping cerpen
Kliping cerpen
 
Menyambung cerita
Menyambung ceritaMenyambung cerita
Menyambung cerita
 
Tiba tiba
Tiba tibaTiba tiba
Tiba tiba
 
Notice
NoticeNotice
Notice
 
Cerpen Sixth sense
Cerpen Sixth senseCerpen Sixth sense
Cerpen Sixth sense
 
Ulasan mengenai majunya jenderal (purn.) tni djoko santoso untuk ri 1 period...
Ulasan mengenai majunya jenderal (purn.) tni djoko santoso untuk ri 1  period...Ulasan mengenai majunya jenderal (purn.) tni djoko santoso untuk ri 1  period...
Ulasan mengenai majunya jenderal (purn.) tni djoko santoso untuk ri 1 period...
 
Bangau menenun songket
Bangau menenun songketBangau menenun songket
Bangau menenun songket
 
Paragraf narasi dan eksposisi
Paragraf narasi dan eksposisiParagraf narasi dan eksposisi
Paragraf narasi dan eksposisi
 

Similar to WAKTUITU#1

Similar to WAKTUITU#1 (20)

Testimoni
TestimoniTestimoni
Testimoni
 
Testimoni
TestimoniTestimoni
Testimoni
 
Apa itu nlp
Apa itu nlpApa itu nlp
Apa itu nlp
 
Apa itu nlp
Apa itu nlpApa itu nlp
Apa itu nlp
 
'Endahkan?' endah pramesti s x=ph1
'Endahkan?' endah pramesti s x=ph1'Endahkan?' endah pramesti s x=ph1
'Endahkan?' endah pramesti s x=ph1
 
Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016]
Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016] Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016]
Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016]
 
Mungkin ini cerita pernah kamu dengar
Mungkin ini cerita pernah kamu dengarMungkin ini cerita pernah kamu dengar
Mungkin ini cerita pernah kamu dengar
 
Memandang lebih dalam (sendiri)
Memandang lebih dalam (sendiri)Memandang lebih dalam (sendiri)
Memandang lebih dalam (sendiri)
 
K3
K3K3
K3
 
A. guardian angel
A. guardian angelA. guardian angel
A. guardian angel
 
A. guardian angel
A. guardian angelA. guardian angel
A. guardian angel
 
Kabut jingga
Kabut jinggaKabut jingga
Kabut jingga
 
Bordes success with passion
Bordes success with passionBordes success with passion
Bordes success with passion
 
Supernova ksatria & bintang jatuh [Ali D. Nobilem]
Supernova ksatria & bintang jatuh [Ali D. Nobilem]Supernova ksatria & bintang jatuh [Ali D. Nobilem]
Supernova ksatria & bintang jatuh [Ali D. Nobilem]
 
Cc 1
Cc 1Cc 1
Cc 1
 
Kecil kecil keren
Kecil kecil kerenKecil kecil keren
Kecil kecil keren
 
Sahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lainSahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lain
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 

More from Hermawan Wicaksono

Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SEKITAR RUMAH EXPIRED FILM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SEKITAR RUMAH EXPIRED FILM)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SEKITAR RUMAH EXPIRED FILM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SEKITAR RUMAH EXPIRED FILM)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SANUR 120 MM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SANUR 120 MM)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SANUR 120 MM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SANUR 120 MM)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RANDOM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RANDOM)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RANDOM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RANDOM)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BALI 1)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BALI 1)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BALI 1)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BALI 1)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-TUMBUHAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-TUMBUHAN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-TUMBUHAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-TUMBUHAN)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-LIBURAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-LIBURAN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-LIBURAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-LIBURAN)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RUMAH)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RUMAH)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RUMAH)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RUMAH)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RENANG)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RENANG)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RENANG)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RENANG)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PEREMPUAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PEREMPUAN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PEREMPUAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PEREMPUAN)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-MAIN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-MAIN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-MAIN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-MAIN)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KOTA)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KOTA)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KOTA)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KOTA)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KEEP ROLLIN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KEEP ROLLIN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KEEP ROLLIN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KEEP ROLLIN)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BINTIK)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BINTIK)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BINTIK)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BINTIK)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-ANAK)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-ANAK)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-ANAK)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-ANAK)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SUMEDANG)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SUMEDANG)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SUMEDANG)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SUMEDANG)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PANGANDARAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PANGANDARAN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PANGANDARAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PANGANDARAN)Hermawan Wicaksono
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-HITAM PUTIH)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-HITAM PUTIH)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-HITAM PUTIH)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-HITAM PUTIH)Hermawan Wicaksono
 

More from Hermawan Wicaksono (20)

Hermawan Wicaksono CV
Hermawan Wicaksono CVHermawan Wicaksono CV
Hermawan Wicaksono CV
 
Cinta Biasa (Teaser)
Cinta Biasa (Teaser)Cinta Biasa (Teaser)
Cinta Biasa (Teaser)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SEKITAR RUMAH EXPIRED FILM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SEKITAR RUMAH EXPIRED FILM)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SEKITAR RUMAH EXPIRED FILM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SEKITAR RUMAH EXPIRED FILM)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SANUR 120 MM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SANUR 120 MM)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SANUR 120 MM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SANUR 120 MM)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RANDOM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RANDOM)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RANDOM)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RANDOM)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BALI 1)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BALI 1)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BALI 1)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BALI 1)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-TUMBUHAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-TUMBUHAN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-TUMBUHAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-TUMBUHAN)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-LIBURAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-LIBURAN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-LIBURAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-LIBURAN)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RUMAH)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RUMAH)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RUMAH)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RUMAH)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RENANG)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RENANG)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RENANG)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-RENANG)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PEREMPUAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PEREMPUAN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PEREMPUAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PEREMPUAN)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-MAIN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-MAIN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-MAIN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-MAIN)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KOTA)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KOTA)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KOTA)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KOTA)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KEEP ROLLIN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KEEP ROLLIN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KEEP ROLLIN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-KEEP ROLLIN)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BINTIK)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BINTIK)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BINTIK)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-BINTIK)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-ANAK)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-ANAK)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-ANAK)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-ANAK)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SUMEDANG)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SUMEDANG)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SUMEDANG)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-SUMEDANG)
 
Hermawan Wicaksono (PULANG)
Hermawan Wicaksono (PULANG)Hermawan Wicaksono (PULANG)
Hermawan Wicaksono (PULANG)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PANGANDARAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PANGANDARAN)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PANGANDARAN)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-PANGANDARAN)
 
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-HITAM PUTIH)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-HITAM PUTIH)Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-HITAM PUTIH)
Hermawan Wicaksono (ANALOG PROJECT-HITAM PUTIH)
 

WAKTUITU#1

  • 2. Buku Pertama dari Trilogi Waktu Itu www.waktuitu.com Penulis - Ilustrator - Desain Grafis Hermawan Wicaksono 1 Waktu Itu #1 oleh Hermawan Wicaksono Cetakan 1, Februari 2016 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari www.waktuitu.com. Wicaksono, Hermawan, Waktu Itu, Jilid 1 Cetakan 1, Bandung, 2016 vi-130 hlm, ukuran 14 x 21 cm ISBN 978-602-087243-8
  • 3. 2 #1 BANTUAN TUNTAS 4 SATU TIM 8 KITA ADALAH BINTANG 12 DOA BUKAN MANTRA 16 BANYAKIN INFO, BARU MILIH 19 FIKSI INI MEMBUNUHKU 22 YANG PENTING GW PUAS 28 BARU NYADAR 32 ADAPTASIKAN SERANGAN 35 AKSI REAKSI HUKUM EMAS 38 SEMUANYA BERESIKO 42 TERPROVOKASI 46 MAKSIMALKAN YANG ADA 51 JANGAN BIARKAN MEREKA PERGI 55 MASIH JUARA 1=MASIH BELUM... 60 SEDIH 1 X BAHAGIA SELANJUTNYA 63 JADI, BEGINI CARANYA 66 SIKLKUS: LATIHAN, UJIAN, NAIK LEVEL 71 MEMBOHONGI DIRI SENDIRI 74 INVENTARIS SUMBER DAYA & MULAI BEKERJA 79 SATU TITIK KE TIITK LAIN 83 HAK & KEWAJIBAN 87 MENERIMA DENGAN RELA 92 SEBANDING DENGAN PENGORBANAN 96 MEMBUATNYA BERHASIL 100 HADIR UNTUKKU 104 SIKLUS TOLONG MENOLONG 109 NURUT KARENA TAKUT 114 TRACE BACK 120 KITA SEMUA JUARA 1 126
  • 4. Nama gw Icak Gw anak dari seorang ibu dan seorang bapak Gw adik dari seorang kakak, dan kakak dari seorang adik Gw ponakan dari seorang tante 3
  • 6. Waktu itu,…Gw kenalan dengan temen TK. Anaknya tinggi besar, putih, anak orang kaya. Dia tinggal satu blok dari rumah gw. Karena rumah kita deketan, kita sering pulang bareng. Temen gw ini kalo ke sekolah dianter jemput sama pembantunya, dan si pembantu sering crita kalo rahasia anak majikannya tumbuh gede dan putih adalah karena sering makan buah. 'Icak nanti mampir dulu ya ke rumah' Kata pembantunya. 'Iya aku mampir' Jawab gw. Akhirnya kami tiba di rumahnya. Masuk dan gw langsung duduk. Temen gw mulai ambil mainan. Kita main. Si pembantu buka kulkas, ngambil buah. 'Ini buahnya' Sambil sodorin apel merah ke temen gw. Dia makan apel itu, gw gak dikasih. Ada rasa kepengen tapi gimana ya, gw gak punya keberanian untuk minta. Jadi gw sok asik aja main. 'Ya ampun, Icak belum dikasih buah ya?' Tanya si pembantu. 'Iya aku belum' Jawab gw. Si pembantu kembali buka kulkas dan ambil buah. Seneng banget gw liat peristiwa ini, akhirnya mimpi gw jadi kenyataan, gw bisa makan apel merah. Sedap. 'Icak ini ya buahnya' Kata si pembantu. 5
  • 7. Gw ambil buah itu, belum dikupas, tapi gw berusaha ngupas dengan tangan. Susah ngupasnya tapi kembali lagi gw sok asik aja, kayak gak kesulitan apa-apa. 'Gimana bisa bukanya?' Tanya si pembantu lagi. 'Susah' Jawab gw. 'Itukan ada yg udah kelupas, ditarik aja kulitnya'. Gw ikutin petunjuk si pembantu, kulit buah terkupas dikit- dikit dan gw coba makan buah yang dia kasih. Gw bisa gigit dikit, rasanya gak kayak apel meskipun besarnya sebesar apel. Warnanya juga gak kayak apel karena ini memang bukan apel tapi bengkoang! Gw memang bukan anak majikannya, tapi ini pembantu kok tega banget sih? Ok lah gw bisa maklumi perbedaan gw dengan temen gw. Wajar anak majikan makan apel, dan gw yang hanya temen anak majikan makan bengkoang, tapi tolong dong kupasin. Apa gw harus makan bengkong dengan kulitnya? Atau kasih gw pisau biar bisa gw kupas ini bengkoang. Memang gw bisa kupas dengan tarik-tarik kulit bengkoangnya, tapi sampe kapan beresnya? Sebenernya niat gak sih? Ini dia intinya, 'niat gak sih?'. Pernah gak sih kita kasih pertolongan tapi gak tuntas? Baik sih niatnya nolong, tapi gak tuntas. Kalo gitu, jangan-jangan kita tipe orang yang kalo kasih pertolongan bilang,... 'Sukur-sukur gw tolong' 'Segitu aja ya, sisanya kerjain sendiri' 6
  • 8. 'Kalo gw tolong terus, mana bakal bisa nanti' Gw anak TK yang pegang pisau aja gak pernah, dikasih bengkoang yang belum dikupas, dengan tujuan si pemberi, gw bisa makan bengkoang itu supaya gw diperlakukan 'sederajat' dengan anak majikannya yang makan apel. Mana bisa? Tujuan si pemberi gagal total. Gw hanya bisa rasain dikit. Satu gigitan kecil bengkoang mana ada kerasa nikmatnya. Mampu kan kasih pertolongan full tuntas dari hulu ke hilir? Mampu. Mau kan? Belum tentu. Ada kemampuan, tapi kemauannya belum tentu ada. Kenapa? Banyak faktor yang kesemua faktor itu bisa hilang kalau kita ingat niat kita apa? Hanya satu niatnya, kasih pertolongan dan pertolongan itu tuntas. 7
  • 9. 8
  • 10. Waktu itu,…Om baru nikah. Waktu lajang dia tinggal bareng keluarga gw. Abis nikah dia pindah, tapi rasa kangen mau ketemu om selalu dateng. 'Kecil banget jalannya' Kata gw sambil masuk ke komplek rumah om. 'Iya, bentar lagi nyampe' Jawab bapak. Setelah masuk gang sana sini, akhirnya kita sampe. 'Icak jadi nginep ya?' Tanya om. 'Iya jadi om' Jawab gw. Gw mulai scanning. Keliling komplek. Hasilnya, om gw adalah orang terkaya di komplek ini, kenapa? Karena dia punya TV berwarna. Satu hari tinggal di komplek gw mulai akrab dengan anak- anak komplek. Udah main bareng. Sampe suatu sore. 'Kartunnya udah mau mulai' Salah satu anak komplek kasih pengumuman. 'Iya, pulang dulu nonton' Yang lain nyautin. Anak-anak yang tadinya kumpul kembali ke rumah masing-masing buat nonton kartun, termasuk gw. Gw setel TV berwarna punya om. Nonton kartun. Tiga puluh menit berlalu, anak-anak keluar lagi dari rumahnya. Mereka mulai cerita film kartun yang baru mereka tonton. Gw gak mau kalah. Gw anak baru di 9
  • 11. komplek ini, dan harus bisa menang. Gw keluar dengan ide yang sangat brilian. 'Bagus ya filmya' Satu anak mulai memancing percakapan. 'Iya-iya bagus banget' yang lain nyautin. 'Jagoannya jago banget ya' 'Penjahatnya licik' Tibalah giliran gw. 'Hebat ya jagoannya bisa keluarin sinar merah, bajunya juga bagus biru kehijauan' Mereka diem aja, gak tau warna baju atau sinar si jagoan. TV mereka hitam putih. Gw menang. Serangan gw lanjutkan. 'Kalo tadi musuhnya yang pake baju kuning nyerang pake sinar merah juga, pasti jagoannya kalah'. Anak komplek diem lagi. Dan gak lama kita bubar. Gw menang, kalian kalah. Gw nonton TV bewarna, kalian hitam putih. Coba kita ulang kalimat ini 'gw menang, kalian kalah'. Coba mundur lagi ke awal cerita, sambil kita analisa. Ada sekumpulan anak yang main. Riang gembira, lari sana sini, sampai tibalah mereka harus pulang ke rumah buat nonton kartun. Satu orang anak nonton kartun di TV 10
  • 12. bewarna, anak-anak yang lain di TV hitam putih. Selesai nonton mereka kumpul lagi membahas film yang mereka tonton. Lagi asik ngebahas jalan cerita, tiba-tiba si anak yang nonton TV bewarna malah ngebahas warna di film kartun, dengan tujuan 'gak mau kalah'. Satu ngebahas jalan crita, satu ngebahas warna. Ya gak nyambung. Satu tim harus satu tujuan. Gak boleh tujuan bersama berubah jadi tujuan pribadi. Tapi ambisi untuk 'gak mau kalah' bisa merubah segalanya yang berujung pada kehancuran tim. Satu orang ketawa, seneng kalo dia menang, yang lain nangis. Tanpa disadari kemenangan satu orang tadi terjadi di atas tangis banyak orang. Rasa senang atas kemenangannya (satu orang tadi) menutupi jeritan tangis teman-temannya. Sampai berapa lama sih senangnya? Ya gak lama. Soalnya abis dia senang, teman-temannya ninggalin dia, dan dia sendiri lagi. Mungkin dia bisa sebentar menghibur diri dengan 'gak level gw sama kalian makanya kalian ninggalin gw'. Manusia itu mahluk sosial, butuh bantuan orang lain. Mau gak mau we're on team, dan satu tim sebagai mahluk sosial bukan berarti harus kenal. Gw gak kenal dokter di rumah sakit sana, tapi ketika gw sakit, gw gak bisa sembuhin diri gw sendiri, gw perlu dokter, dan kita satu tim. Dokter kasih diagnosa, tunjukin prosedur kesembuhan, dan gw ikutin. Kita juga satu tim dengan penjual beras, supir angkot, pemulung, pengamen, CEO perusahaan. As long as we're human, kita satu tim di dunia ini. So, be nice dengan pemain yang lain. Be a good team mate. 11
  • 14. Waktu itu, hujan turun deres banget. Orang tua murid gaduh, semua sibuk ngributin gimana caranya bisa ke RRI propinsi dalam kondisi hujan, angkot jarang, dan hanya sedikit yang punya kendaraan pribadi. Hujan tambah deres, beberapa orang tua inisiatif untuk jalan hujan-hujanan cari angkutan, atau sempit-sempitan dalam mobil pribadi. 'Kita gak boleh telat' Kata Bu Kepsek. TK. Beringin Raya dapet jatah isi acara di RRI propinsi. Persiapan udah dibuat sebaik mungkin, dan jangan hanya gara-gara hujan semua gagal. 'Icak mana?' Tanya Bu Kepsek. 'Ini ada sama saya' Jawab tante. Gw gak boleh ketinggalan event ini. Kenapa? karena gw kebagian peran utama. Acara ini bisa hancur kalau gw gak ada. Gak ada pilihan lain, show must go on.Tante mulai gandeng gw dan kami jalan di tengah hujan deras dengan payung kecil. Udah pasti kebasahan. Setelah pindah dua angkot kami tiba di RRI propinsi. Dan jelas,…basah semuanya. Gw buka baju, celana, sepatu. Setelah semua diperes, baju, celana, sepatu tadi gw pake lagi. Dingin. Tim RRI memberi pengarahan dan kita mulai on air. Ada yang nyanyi, baca puisi, pantun-pantun kecil, seru banget pokoknya. 13
  • 15. Dan tibalah giliran gw. The last. Show penutup. Tugas gw simple, menghapal Pancasila secara live on air. 'Pancasila, satu Ketuhanan yang Maha Esa'. Sila berikut gw mendadak lupa. Gw belum bisa baca, hanya menghapal. Dalam kondisi kedinginan karena pakaian basah, ditambah banyak orangtua murid ngerubutin gw, dan gugup live on air. Satu pemandangan yang buat gw tambah lupa adalah Bu Kepsek dan tante komat kamit kasih contekan di depan gw. 'Ayo-ayo terus', Bu Kepsek dan tante terus semangatin gw, sambil bisik-bisik kasih contekan sila-sila selanjutnya. Akhirnya sila kelima selesai gw ucapkan. Acara beres dan semua senang. Keluar RRI hujan udah reda. Tujuan kita cuma satu, perform sebaik mungkin di RRI propinsi. Apapun kendalanya, harus bagus. Hujan, pakaian basah, lupa sila, semua itu rintangan yang harus ada jawabannya. Hujan dijawab dengan pake payung. Pakaian basah dijawab dengan diperes aja. Lupa sila dijawab dengan komat kamit kasih bantuan contekan. It's live on air. Gak ada yang liat kami basah-basahan, gak ada yang liat Bu Kepsek dan tante kasih contekan ke gw. Pendengar di luar sana hanya mendengar puisi, nyanyian merdu anak-anak TK. Beringin Raya dan lancarnya seorang anak 5 tahun menghapal Pancasila. Mereka gak tau dan gak peduli apa yang terjadi di balik itu semua. 14
  • 16. Kami adalah bintangnya. Dan sebagai bintang, tugas kami hanya bersinar walaupun ada aja masalah yang bisa buat kami gak bisa bersinar. Makin bisa menghadapi masalah maka sinar kami makin terang. Bersinar seterang mungkin, dan biarkan mereka di luar sana melihat indahnya sinar kami. Kita semua bintang. Tetaplah bersinar no matter what. 15
  • 18. Waktu itu,…Tembakan pertama gw melenceng. Tembakan lawan kena ke target. Tembakan kedua gw juga melenceng, tapi tembakan lawan tepat lagi kena target. Tembakan ketiga sampai ke lima gw melenceng terus, dan lawan terus kena target. Gw harus bayar kelereng ke dia setiap dia berhasil kenain target (kelereng gw). Gw stress, putus asa. Cari jalan gimana supaya gw menang atau setidaknya jangan kalah terlalu banyak. Lawan gw ini memang jago banget. Dia tinggal di blok yang berbeda dengan gw. Di blok gw, kejagoan gw main kelereng gak ada yang ngalahin. Jadi critanya gw mengembara buat cari lawan main kelereng, dan ketemulah gw dengan lawan yang jago. 'Gw pulang bentar ya' Kata gw. 'Tapi nanti balik lagi kan?' Tanya si lawan. 'Iya, nanti gw balik' Gw lari, pulang ke rumah, masuk kamar. Gw bukan mau ambil tambahan modal kelereng, yang gw lakuin adalah berdoa. 'Tuhan, tolong aku main kelereng kalah, menangin aku ya, amin' Gw balik lagi main kelereng. Hasilnya gw tetep kalah walaupun sempet kasih perlawanan juga. At least gak kalah telak. Semua itu karena doa? Apa Tuhan jawab doa gw? 17
  • 19. 18 Apa sih doa itu? Doa adalah ucapan harapan untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik. Dengan doa kita memotivasi diri kita untuk melakukan yang terbaik. Doa bukan mantra gaib tapi rangsangan psikologi ke otak kita yang akan direspon oleh organ yang lain untuk bergerak. Bisa dikatakan doa adalah penentuan visi dan misi hidup yang paling dasar, karena dimulai dari diri sendiri. Makin sering diucapkan, makin sering keinget, makin jelas arah tujuan hidup. Siapa yang menentukan keberhasilan doa? Yang pertama diri kita sendiri, berikutnya faktor di luar diri. Kalo diri kita gak mau berubah, berdoa sepanjang dan sesering apapun mana bisa berubah. Gw mau menang, gw udah berdoa, tapi kalo gw mainnya asal ya tetep aja kalah. 'Aku bantu dalam doa aja ya' Respon seorang sesaat setelah mendengar curhat kesusahan temannya. 'Tuhan berikan bantuan ke teman saya' Dia berdoa. Titik. Udah gitu aja. Berharap bantuan gaib datang untuk temannya. Dan dia bebas melenggang, bebas dari beban, tanpa kasih bantuan apapun ke temannya. Itu bukan doa, tapi basa basi orang males. Akhirnya gw sampe di rumah. Gw latihan lagi, dan beberapa hari kemudian gw main kelereng lagi. Gw menang. Besoknya gw kalah lagi. Doa gw hanya mau kemenangan, tapi yang gw dapet kadang memang kadang kalah. Terus kalo kalah berhenti berdoa? Jangan dong, karena berhenti berdoa berarti berhenti juga memotivasi diri di level yang paling dasar.
  • 21. Waktu itu, gw baru selesai daftar masuk TK.Beringin Raya. Gw masuk ke ruangan dan disuruh pilih gambar. Ada gambar mobil, pesawat, robot, rumah, jeruk, pokoknya banyak gambar. Gak tau kenapa di antara banyak gambar itu gw pilih gambar jeruk. Hari berlalu dan tibalah gw masuk TK. Sebelum masuk kelas, anak-anak berbaris. Ibu guru bunyiin bel dan kita masuk. Di pintu masuk ada papan besar dengan paku- paku. 'Buat apa ya itu papan dengan paku-paku?' Gw mulai bertanya. 'Ayo anak-anak ambil absennya' Kata Bu guru. Anak-anak mulai ambil absen masing-masing, dan gw mulai bertanya-tanya lagi. 'Absen apa ya?' Satu per satu murid ambil gantungan kayu yang bentuknya unik-unik dan mulai gantungin itu ke paku. Ada yang gantungin perahu, mobil, macem-macemlah. Giliran gw. Gw mulai lihat-lihat gantungan dan gw ambil robot buat gw gantung. Keren banget ini robot. Tapi belum sempet gw gantung ada murid yang teriak. 'Itu punya aku!' Robot direbut. 20
  • 22. 'Terus punya gw yang mana?' Gw tambah bingung. 'Icak, punya kamu bukan robot, ini punya kamu' Gw kaget, kecewa, down abis karna Bu guru kasih gw gantungan berbentuk jeruk. Kayu bulat warna kuning. Gitu aja? Gw merasa dibohongi karna gw gak tau kalo pilihan jeruk di awal cerita itu menentukan bentuk absen gw selama 1 tahun di TK, dan parahnya lagi, logo jeruk itu ada di depan rapor gw dan setiap identitas gw di TK. Gw cowok dan identitas gw jeruk? Kl gw tau jeruk itu ternyata akan jadi identitas gw, gak akan gw pilih jeruk, I never thought it would be end up like this. Peristiwa hari ini dibentuk dari peristiwa hari kemarin. Yang terjadi hari ini dibentuk karena pilihan-pilihan di hari kemarin. Pilihan bisa salah. Kenapa salah? Karena gak tau? Kenapa gak tau? Karena kurang informasi. Sebaliknya, pilihan bisa bener. Kenapa bener? Karena banyak tau informasi. Hidup adalah kumpulan pilihan. Hanya dua pilihan, Benar atau salah, sederhana kan? Yang gak sederhana adalah proses memilihnya. Kapan harus memilih benar, kapan pilih salah. Tapi itu semua akan kembali jadi sederhana kalau kita tau banyak informasi. 21 Tampung banyak informasi, saring, dan pilih.
  • 24. Waktu itu,…Lapangan komplek penuh, banyak banget yang mau nonton layar tancep termasuk gw dan kakak. 'Filmnya apa sih kak?' 'Jaka Sembung' Jaka Sembung gw tau lewat wayang gambaran, dia tokoh jagoan yang punya ilmu tenaga dalam, musuhnya penjajah. Ini adalah kali pertama gw nonton film layar lebar. Excited banget. Film pun mulai diputer, seru, ada adegen berantemnya. Jaka Sembung terbang di antara pohon, ngejer musuhnya sambil nembakin api. Api keluar dari tangan Jaka Sembung, keren. Jaka Sembung luka, dia pegang lukanya sambil rapal matra, sembuh. Keren banget. Abis itu adegan-adegan serem muncul. Ke-excited- an gw mulai turun, berganti takut. Ada darah, kepala buntung, mata dicungkil, orang mati hidup lagi, mayat hidup gentayangan. Gw gak kuat nontonnya. Ke-excited- an gw langsung drop to the lowest level. 'Kak, kita pulang aja' 'Nanti belum selesai' Dan gw harus menunggu sampe film selesai. Selama film diputer gw hanya nunduk, gak mau liat layar, tapi tetep aja suara film kedengeran, tetep serem. Sepulang nonton, gw masih kebayang-bayang Jaka Sembung dan semua keseremannya. Mau ke WC takut ketemu kepala buntung, mau tidur takut nanti ada mayat hidup. Hidup gw penuh ketakutan. 23
  • 25. 'Ada mayat hidup!' Gw lari. 'Ada kepala buntung!' Gw lari. Kakak jadi sering nakut-nakutin gw. Yang gw heran, kenapa kakak yang hanya lebih tua satu tahun dari gw gak kebawa-bawa takut sama film. Dia asik aja nonton. Santai aja kalo mau ke WC atau tidur. Gak takut apa-apa. Gw juga sering ketakutan sendiri. Liat bungkusan, yang kebayang 'ada kepala untung di bungkusan'. Satu hari gw dengan kakak lagi main di kamar, dan tiba- tiba kakak teriak. 'Mayat hidup!' Kakak lari, gw ikutan lari. Tapi malang nasib gw. Gw kepleset, jatuh, muka nabrak pinggiran tembok, bibir gw sobek, berdarah. 'Aduh!' Gw teriak. Bapak dateng, gendong gw. Dia panik liat pendarahan di bibir gw. Kakak juga ikutan panik. Gw sebagai korban juga panik. Hanya ibu yang gak panik, karena dia lagi ada tugas ke luar kota. 'Bawa ke rumah sakit aja' Kata bapak. 24
  • 26. Di rumah sakit gw dikasih pengobatan. 'Jangan dijait ya Dok' Pinta bapak ke dokter. Harus dijait tapi gak boleh dijait, akhirnya gw pulang dengan mulut diperban biar luka gak kebuka. Gak bisa buka mulut. Untuk makan minum dokter kasih celah dikit buat masukin sedotan. Badan gw mulai proses recovery, bibir jadi bengkak, panas juga karena ada infeksi/luka. Tersiksa, masukin apa- apa lewat sedotan,ngomong gak bisa jadi pake bahasa isyarat. Tapi ada yang gw syukuri, gw gak perlu sering- sering mandi dengan alasan 'luka basah gak boleh kena air'. Satu minggu setelah peristiwa itu, gw mulai bisa ngomong, walapun masih gak jelas. 'Pin tiki' Yang artinya idupin TV. Proses penyembuhan hampir satu bulan. Dan selama itu gw tetep ke sekolah, tetep main di komplek, dan tetep takut dengan mayat hidup, kepala buntung, dan semua kengerian dari film Jaka Sembung. Gw pernah tanya ke ibu. 'Bu, kenapa ya di pikiranku isinya Jaka Sembung' Ibu kayaknya mulai khawatir, dan dia jawab. 'Icak, itu bohongan semua' 25
  • 27. Semudah itukah ibu menetralisir pikiran gw, biar keformat lagi, terus gak inget Jaka Sembung? Gak mungkin. Buktinya sampe sekarang gw masih inget. Umur gw 7 tahun, dan gw disuguhi tontonan yang gak sesuai dengan umur gw. Gw gak bisa filter mana peristiwa asli mana fiksi. Yang gw tangkap semuanya real event. Mayat hidup itu nyata, kepala buntung terbang juga nyata, orang bisa terbang keluarin jurus-jurus api itu nyata. Nyatanya itu semua fiksi, tetapi fiksi ini udah bikin bibir gw sobek. Jadi gimana cara bedain yang nyata dan fiksi? Kita ilmiah dikit ya. Nyata adalah kondisi dimana sesuatu bisa dibuktikan, disaksikan, dibandingkan, diuji ulang, dan hasilnya sama. Bibir gw sobek, diobatin, dirawat, sembuh. Ini nyata, bisa diulang. Gw bisa sobekin bibir lagi, diobatin dan dirawat dengan cara yang sama, hasilnya gw sembuh dengan asumsi semua faktor pendukung sama. Yang gak nyatanya gimana? Bibir gw sobek, pake jurus rapal mantra Jaka Sembung, sembuh seketika itu juga. Kalo hal itu nyata, rumah sakit udah tutup, semua berobat ke Jaka Sembung. Kita hidup di dunia nyata, dengan peristiwa yang nyata, dealing with real events. Tapi apa yang masuk ke otak kita banyak juga yang gak nyata. Biasanya lewat penglihatan dan pendengaran (audio visual). Mulai dari film, bacaan, musik, banyak yang gak nyata tapi otak seneng nerimanya, Adrenalin kepacu. Ujung-ujungnya kita jadi susah bedain mana yang nyata mana yang fiksi. Ketipu dan rugi tanpa ujung. Umur 7 tahun, wajar gw ketipu. Tapi semakin dewasa, gak 26
  • 28. wajar kalo masih ketipu sama legenda Jaka Sembung. Apa yang masuk ke pikiran kita bisa aja fiksi, tapi apa yang keluar, yang kita lakukan itu real event, nyata. 27 Jadi jangan coba-coba sobek bibir, terus rapal mantra Jaka Sembung supaya bibir nutup lagi.
  • 30. Waktu itu,…kegiatan belajar mengajar di TK. Beringin Raya dipercepat, karena akan ada perayaan ulang tahun ke 5 dari seorang cewek yang adalah kakak gw. Satu hari sebelumnya, orang rumah udah pada sibuk persiapan acara ultah ini. Siapin makanan, bingkisan, hadiah, baju, acara, dan gak lupa memohon supaya gw ikut ngramein acara ini. 'Icak, nanti kamu temenin kakak ya duduk di depan' 'Ngapain sih bu, aku harus duduk di depan?' 'Pokoknya temenin kakak aja, kamu kan adiknya' 'Iya, tapi aku kan gak ultah' Gw gak disuruh perform, hanya disuruh duduk manis di samping kakak gw selama acara berlangsung. males banget kan? Murid-murid TK mulai nyanyi. 'Selamat ulang tahun' Ada yang perform, nyanyi, nari, mereka seneng banget. Sementara gw duduk di sebelah kakak di depan kue ultah menghadap ke murid-muridTK, guru-guru, ortu. Kemungkinan besar salah satu dari mereka akan bertanya 'Itu siapa sih yang di sebelah yg ultah?' atau, 'Ngapain ya anak itu di situ terus?' atau, 'Yang ultah ada dua ya?' atau, 29
  • 31. '…' Kesannya gw anak yg iri, yang pengen banget ultahnya dirayain. Memang sih ultah gw dan kakak jatuh di bulan yang sama. Tapi ultah gw kan udah dirayain di rumah. Males banget duduk di sini. Geser sana sini, liat sana sini. Bosen banget. 'Bu aku males di sini' Bisik gw sambil kasih-kode kode ke ibu. Ibu nanggepin dengan senyum-senyum aja dipojokan. Seremonial ultah ini rasanya lama banget. 'Sukses ya acaranya tadi' Kata ibu sesampainya di rumah. Gw mulai bertanya lagi. 'Ngapain sih bu, aku harus duduk di situ lama banget?' 'Bagus, yang penting udah nurut ibu tadi' Jawab ibu. Jawaban yang menurut gw gak nyambung. Pernahkah kita disuruh melakukan sesuatu yang kita gak suka, tapi harus kita lakukan? Atau pernahkan kita menyururuh seseorang melakukan sesuatu yang mereka tidak suka lakukan? Dengan alasan 'pokoknya elu harus bikin'. Dan ketika mereka lakukan (nurut), kita rasa puas. Ketika kita lakukan (nurut), mereka puas. Puas adalah jawabannya. Kepuasan adalah kondisi dimana kita mendapatkan sesuatu lebih dari apa yang kita harapkan. Ketika gw bayar seribu perak untuk jasa parkir, 30
  • 32. gw rasa biasa aja. Tp ketika gw bayar seribu perak dan si tukang parkir narikin motor, tambah senyum, bahkan dikasih kembali lima ratus perak, gw rasa puas, karena gw dapetin sesuatu yang gak pernah gw harapkan. Level puas itu berbanding lurus (dan lebih) dari apa yang kita harapkan. Level ini gak akan turun dan akan terus way beyond sampai suatu saat kita melihat ke belakang, trace back, counting our blessing. Mulai deh merenung 'Gila, gw udah sejauh ini' 'Gak percaya gw bisa lakuin ini semua' Udah puas?...Gw rasa nggak sih, karena apapun yang dibuat kalo belum memenuhi pernyataan 'yang penting...' tandanya kita belum puas. Semua hal memang penting tapi kan ada level kepentingannya. Kalo semuanya level darurat ya bahaya. 'Yang penting gw puas...' artinya ada satu hal yang harus tercapai. 31 Satu ya bukan banyak.
  • 34. Waktu itu,…tetangga sebelah rumah tanya. 'Mau kemana Cak?' 'Ke Jawa' Jawab gw, sambil masuk-masukin tas ke mobil. Tiba-tiba tante ngomelin gw. 'Ngapain kasih tau kalo mau ke Jawa!' Gak berapa lama, ada lagi tetangga yang lewat, masih dengan pertanyaan. 'Aduh, siap-siap mau kemana ini?' Gw binggung jawab mau kemana. Nanti kalo jawab mau ke Jawa, tante marah. Kalo gw jawab ke Palembang, kan bohong. Untuk menyenangkan semuanya, gw jawab. 'Ke Jakarta' Dan tante tetep juga marahin gw. 'Jakarta itu di pulau Jawa'. 'Jadi jawab apa dong?' Umur gw 6 tahun. Kita sekeluarga mau ke Jawa, jenguk nenek dan adik gw. Sejak umur 3 bulan adik dibawa ke Jawa, tinggal sama nenek. Ibu terlalu repot urus kakak dan gw, belum lagi dia harus kerja, bapak juga kerja. Keputusan terbaik adalah 33
  • 35. menyerahkan adik buat dirawat nenek. Gw dan kakak hanya tau dia lewat foto yang nenek kirim. Bapak dan ibu sering ke Jawa liat adik, mereka sering crita tentang adik ke kita kakak-kakaknya. Hari itu gw excited banget karena pengen ketemu adik gw. Orang yang selama ini hanya gw liat di foto dan denger ceritanya. Dua hari perjalanan, akhirnya tibalah gw di Jawa, di depan rumah nenek. Gw terharu, hampir nangis liat adik gw. Liat keluarga di Jawa. Baru nyadar 'wow, gw punya keluarga di Jawa'. Baru nyadar artinya baru aja sadar, jadi selama ini gak sadar. Punya tapi gak sadar kalo punya. Bisa tapi gak sadar kalo bisa. Momen 'baru sadar' ini bisa muncul tanpa sengaja, tanpa dirancang sebelumnya, tapi bisa juga dirancang supaya muncul, biasanya orang lain yang rancang bukan kita. Shock therapy biasanya langsung bisa nyadarin kita. Kena shock therapy itu gak enak, tapi kalo gak kena ya tetep aja gak sadar. Sekali-kali perlu lah shock therapy, wajar kalo gak sadar dikit. Tapi kalo harus di shock therapy terus- terusan baru bisa sadar, ya gawat juga. Jangan-jangan udah mati saraf sadarnya, udah gak peka lagi, nggak sensitif. Sensitifitas, kepekaan, bisa dilatih supaya bisa terus hidup dalam kesadaran. Sadar kalo punya, sadar kalo mampu. Sadar kalo selama ini jawaban atas semua pertanyaan di hidup kita, ada di diri kita sendiri. 34
  • 37. Waktu itu,…kakak pulang acara kartinian dengan ekspresi seneng banget. Ibu, tante juga seneng banget. Wajar mereka seneng karena kakak dapet juara satu lomba baju Kartini di sekolahannya. Malam sebelum lomba, ibu sibuk ngecilin kebayanya supaya muat dipake kakak. Tante sibuk siapin sanggul. Paginya mereka udah pergi ke salon pasang sanggul dan make up. Segala usaha mereka membuahkan hasil. Juara satu. Gelar juara satu kakak jadi beban buat gw. Karena di tahun berikutnya giliran gw yang ikutan lomba, dan harus jadi juara satu. Adik gak boleh kalah sama kakaknya. Dan sudah bisa ditebak, ibu dan tante sibuk dandanin gw. Kumis palsu, blangkon, beskap, dan bahawan ketat yang bikin gw susah jalan. Ibu, tante kasih motivasi yang kuat supaya gw juara satu. 'Jangan kalah sama kakakmu' 'Tahun lalu kakak juara, sekarang kamu harus juara juga' 'Udah pasti menang ini' Lomba dimulai, gw perform jalan sana-sini. Dan tibalah pengumuman. Gw gak menang. Gagal total. Ibu, tante sedih. Gw juga sedih. Harapan kita terlalu tinggi, jatuh kita terlalu sakit. Sejak awal kita udah set goal 'menang'. Gak ada yg salah dengan goal karena memang kakak pernah menang. Tapi kesalahan terletak pada strategi. Lomba tahun ini, kita masih pake strategi tahun lalu. Udah gak update, jelas kalah. 36
  • 38. Bicara Update adalah bicara saat ini. Dulu pernah juara, tapi saat ini kalah, buat yang nggak update. Dulu pernah kalah, tapi sekarang juara, itu buat yang update. Kalo saat ini posisi kita juara, jangan lupa adaptasi, atau kita akan dikalahkan oleh si update. Lingkungan berubah, tapi gak adaptasi ya jelas kalah. Lingkungan berubah terus, ya harus adaptasi terus. 37 Capek? kalo capek ya kalah.
  • 40. Waktu itu,…Kakek kasih gw anak ayam. 'Ini, dipiara ya' 'Iya kek' Senengnya dapet ayam. Gw langsung ngebayanyin ayam ini akan gw piara sampe gede, terus dikawini, terus punya anak banyak. Dari rumah kakek, bapak ajak gw ke rumah kakaknya (bude). 'Waduh si kurus bawa bawa ayam' Gw diem aja. Sebel banget tiap ketemu dibilang kurus. Memang gw kurus, tapi gak capek apa tiap ketemu itu terus yang dibahas, kan masih banyak yang bisa dibahas. Bapak dan bude mulai crita-crita, gw di samping bapak elus-elus ayam. 'Eh kurus, ayamnya mau diapain? Gw diem. 'Kurus kok diem aja sih?' Gw diem. 'Dasar si kurus' Gw diem. 39
  • 41. Mereka masih asik aja ngobrol, sementara gw udah males banget ada di situ. Sebel banget dikatain kurus. 'Kurus, abis ini mau kemana?' Gw diem, mulut gw tutup rapet tapi tangan gw bergerak. Gw mulai puter ayam dengan posisi kepala ayam ngadep ke gw, pantatnya ngadep ke depan. 'Sekali lagi bilang gw kurus, tunggu aja' Gw ngomong dalam hati. Dan tiba-tiba. 'Kurus dari tadi kok diem aja sih?' Boiling point gw sampe di puncak. Gw lompat, sodorin pantat ayam ke muka bude. 'Nih, nih, apaan sih, dari tadi ngatain kurus-kurus terus!' Bude berontak, bapak langsung tarik gw, ayam kelepas, suasana mendadak chaos. 'Icak, jangan' Kata bapak sambil terus narik gw. Bude lompat, melarikan diri. Singkat cerita, bapak, gw, dan anak ayam pulang. Diem berarti bukan gw gak bisa jawab. Bukan juga gw setuju. Gw hanya males nanggepin. Mungkin bude hanya bercanda, mungkin kurang peka dengan respon gw yang diem aja pertanda sebel, atau memang dia mau ngetes batas kesabaran gw sampe dimana. Apapun itu, dari semua 40
  • 42. kemungkinan, dia dapat sodoran pantat ayam. Tindakan gw emang gak pantes, gak tau sopan ke orang tua. Tapi mau gimana lagi? Gw gak tau cara yang sopan buat suruh dia brenti ngatain gw kurus. Apa gw harus jadi gemuk dulu baru dia brenti ngatain gw? Kita hidup di lingkungan yang berinteraksi. Ketika kita beraksi mengharapkan respon tetapi responnya diam, tunggu. Jangan tambah aksi. Mulailah mencari jawaban kemungkinan. Mungkin saja responden gak ngerti kita ngapain jadi gak bisa kasih respon. Tapi parahnya dia ngerti, dia sebel dengan aksi kita, tapi mencoba sabar dengan apa yang kita buat. Kembali lagi, sabar ada batasnya. Menjadi peka bukan berarti takut ngapa-ngapain. Takut ngomong karena takut bikin orang tersinggung. Jangan gitu juga. Tapi cobalah belajar menempatkan diri. 41 Kalo gak mau disakitin ya jangan nyakitin.
  • 44. Waktu itu,…Gw ijin sebentar ke temen-temen yang lagi main lompat tali. 'Gw pergi bentar ya' 'Jangan lama-lama, giliran elu sekarang' Gw pergi, ngumpet ke tempat sepi dan berdoa. 'Aku mau lompat tali, tapi tinggi banget, kasih keberhasilan, amin' Gak lama gw balik lagi dengan motivasi yang kuat, I can do this. 'Icak, ini paling tinggi ya' 'Iya, gw bisa' Tali dipasang tinggi banget. Gw mundur agak jauh, pasang ancang-ancang buat lari dari jauh terus lompat. Gw berhitung dalam hati. 'Satu, dua, tiga!' Gw lari kenceng dan lompat, nglewatin tali yang tinggi banget, gw berhasil lewatin batas maksimal. Saking cepetnya gw lari, gw jadi susah ngerem, dan yang terjadi berikutnya, gw nabrak lemari kayu yang ada di depan gw. Kami main lompat tali di garasi. Gw ambil awalan dari pintu garasi dan lari kenceng tanpa berpikir apa yang akan 43
  • 45. terjadi kalo seandainya gw berhasil lompat. Gw gak pernah berpikir buat ngerem, gak pernah notice juga kalo diujung garasi ada lemari kayu. Benturan antara gw dan lemari kayu kenceng banget, kepala gw pusing. Sakit. Temen-temen mulai datengin gw, ada yang usap-usap kepala gw, ada juga yang pijetin gw. 'Sakit Cak?' Mereka nanya. 'Iya sakit nih' Jawab gw. 'Tapi tadi berhasil lompatnya' Kata mereka lagi. 'Iya tapi ini sakit' Jawab gw sambil pegang-pegang kepala nahan sakit. Gw berhasil lompat, memang itu doa gw, itulah tujuan gw. Tapi resiko yang gw ambil terlalu besar dan gak pernah gw pikirin. Keberhasilan gw gak sebanding dengan resiko yang gw dapet. Resiko adalah konsekuensi yang akan terjadi akibat proses yang sedang berlangsung. Resiko cenderung ke arah negatif yang merugikan. Gimana kalo gw geger otak, kepala bocor, hilang ingatan? Itu gak pernah gw pikirin, yang penting bisa lompat. Keberhasilan kita di satu hal bisa menuntut pengorbanan yang tidak jarang lebih besar dari keberhasilan kita. Jadi rugi dong? Iya sih, gak apa-apa yang penting berhasil. Kalo dampak kerugiannya diri sendiri ya gapapa, tapi kalo orang lain yang dikorbankan supaya kita berhasil, itu bahaya. Sebelum bertindak, bagus kalo fokusnya ke titik 44
  • 46. keberhasilan. Tapi pelajari juga resikonya apa, karena setiap keputusan punya resiko. Untuk menghindari resiko (kerugian) setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Kalo resiko kecil, ambil keputusan maju terus. Kalo resikonya besar, kita harus klasifikasi dulu sehingga keputusan kita bisa menunda untuk maju terus, mengurangi resiko, memindahkan resiko ke pihak lain (harus dengan kompensasi, jangan korbanin orang lain gratisan), dan yang terakhir jangan jalan terus, stop ambil resiko, mission canceled. Kalo gw tau kepala gw bakal kebentur, gw tetep akan ambil resiko karena pengakuan 'gw bisa' itu lebih besar dari resiko apapun. Gila ya? Memang gila. Ego kita besar banget, pengakuan 'elu jago', 'elu hebat', 'elu maksimal' kayaknya lebih penting dari apapun. Dan ego itu kalo 'dikasih makan' akan tambah gede, artinya akan lebih gede juga resiko yang kita ambil, dan 45 bahayanya kita bisa lebih santai ngorbanin orang lain, no feeling guilty.
  • 48. Waktu itu,…capek abis main kejer-kejeran, kami anak- anak komplek kumpul istirahat, dan tercetuslah sebuah ide. 'Kita sunat yuk' 'Ayuk' 'Gimana Cak, ikutan gak?' 'Ayuk, gw ikutan' 'Kita harus bilang ke orangtua kita dulu' Kami pulang ke rumah masing-masing, bilang ke ortu, dan malamnya ortu pada kumpul buat rapat sunatan massal ini. Keputusan dibuat, fix empat orang akan disunat. Tibalah tanggal yang ditetapkan. 'Icak, ayo cepetan, jangan telat' 'Iya bu, ini udah siap' Kami jalan ke tempat eksekusi. Sepuluh langkah sampe. Tempatnya di sebelah rumah gw alias di rumah tetangga. Gw masuk rumah, udah ada 3 temen gw nunggu. Gw mulai mengamati ruangan. Meja makan disulap jadi meja sunat, satu kamar khusus udah disiapin buat ruang tunggu, satu kamar lagi buat ruang istirahat setelah sunat. Sambil menunggu mantri, kami saling tanya. 'Siapa duluan nih?' 47
  • 49. 'Udah mulai dari yang paling kecil aja' Hati gw seneng, karena gw paling tua. Mantri dateng dan mulailah eksekusi. Temen gw yang paling kecil naik ke meja sunat. Dia diem aja, gak ada tangis sedikit pun. Setelah selesai dia bilang ke kami bertiga. 'Gak sakit' Temen gw berikut, naik ke meja sunat. Dia mulai teriak, semua dia panggil, dari ortu, Tuhan, kakek neneknya, teriak-teriak kenceng. Setelah selesai dia bilang ke kami berdua. 'Sakit' Berikutnya naik ke meja sunat. Dia teriak lebih kenceng dari yang sebelumnya, mantri dimaki-maki. Ortunya pegangin dia kuat-kuat. Dia tetep teriak, dan akhirnya selesai dan bilang ke gw. 'Sakit banget' Giliran gw. Deg-degan, gw gak tenang, tegang. Awalnya gw tenang, karena temen gw bilang gak sakit, tapi semakin ke sini kok infonya makin sakit. Gw naik ke meja sunat. Mantri mulai 'garap' gw. 'Sakit' gw menjerit sambil nahan sakit suntikan bius. 'Gak apa-apa, sabar ya' Kata mantri. 48
  • 50. Tapi ini sakit banget. Si mantri mulai tarik-tarik, gw mulai jerit lagi. 'Sakit!' Bukannya slow down, si mantri tambah menggila. Jeritan berubah jadi teriakan campur tangisan. Gw gak kuat nahan sakit. Mending mati aja sekalian. 'Sakit, tolong!' Rasa sakit mulai hilang, kayaknya bius mulai bekerja. Jadi dari tadi bius belum bekerja? Gw mulai tenang. Gw liat proses pemotongan dan penjahitan. Gak sakit. 'Ya, udah beres' kata mantri Gw pulang. 'Ngapain sih elu teriak-teriak' Kata kakak begitu liat gw di depan pintu 'Sakit tau' 'Bikin malu aja' 'Sakit beneran tadi' 'Keras banget tadi teriakan elu' 'Memang kedengeran ya?' 'Iyalah, segala elu teriakan' 49
  • 51. 50 Memang sih, gw teriak sekuat tenaga, mulai nama ortu sampe segala dewa gw teriakin buat nolong gw. Hasilnya, tetep sakit karna bius belum jalan. Gak sakit, sakit, sakit banget adalah infromasi yang gw terima sebelum giliran gw disunat. Informasi ini bikin otak gw merubah respon yang tadinya biasa aja, jadi waspada, akhirnya jadi takut. Memori terakhir gw 'takut', dan ketakutan inilah yang gw bawa ke meja sunat. Proses suntik bius dan lain-lainnya gak terlalu sakit, gw masih bisa nahan kalo mau. Tapi ketakutan akan rasa sakit udah berkuasa di diri gw. Temen gw yang pertama gak kasih respon apapun, karena dia belum dapet informasi apapun soal sunat, yang kedua mulai merespon sakit, yang ketiga lebih sakit lagi, dan gw di nomor urut terakhir merespon dengan 'mending mati aja sekalian'. Gw follower yang sukses karena mudah banget terprovokasi. Gw bertindak berlebihan hanya karena respon dari luar. Gw gak bisa kuasain diri gw. Powerless. Teriak-teriak, jerit-jeritan itu kan butuh tenaga, darah juga ngalirnya lebih cepet, pendarahan gw lebih banyak. Sejauh itukah respon yang kita buat hanya karena informasi yang belum tentu benar? Dan kalau benar pun, bisa gak sih lebih rileks? Respon berlebihan banyakan ruginya daripada untungnya. Untung sunat cuma sekali, jadi cukup sekali aja respon berlebihannya. Kurangi respon berlebihan dan nikmati banyak keuntungan.
  • 53. Waktu itu,…Selesai sunat ibu jadi baik. Dia kasih penawaran yang baru kali ini gw denger. 'Mau dibeliin apa?' 'Robot' Dan gw dibeliin robot. 'Mau dibeliin apa lagi?' 'Ikan sama akuariumnya' Dan gw dikasih duit buat beli ikan dan akuarium. Sebelumnya, setiap pulang sekolah gw lewatin penjual ikan hias, dan setiap hari juga gw mampir hanya untuk liat-liat. Pengen banget punya ikan, tapi gak ada duit. Gw mulai kumpulin duit buat beli, tapi gw gak punya akuarium, jadi ikan itu gw piara di ember dan mati. Gw males lagi buat beli ikan karena semua berujung pada kematian. Gw pikir, kesempatan ikan untuk hidup lebih lama adalah hidup di akuarium. Gw seneng banget, pulang dari toko ikan bawa akuarium dan ikan. Akuarium dari kaca, ukuran setengah meteran. Gw taro di atas meja, gw liat-liat, polos banget akuariumnya dan mulailah gw hias. Gw ambil kalender bekas, pilih gambar gunung, dan gw tempel di belakang akuarium. Gw ambil batu-batu di jalan depan rumah, gw susun di akurium buat rumah ikan. Gw ambil daun-daun cemara, gw tempel pake lakban buat hiasan pohon-pohonan di akuarium. Gw masukin air, ikan. Dan jadilah akuarium idaman gw. 52
  • 54. Tapi, masih ada yang kurang, gelembung udara. Gak ada budget buat beli gelembung udara. Gw gak habis akal. Gw cari sisa-sisa adukan semen yang udah membatu, so called berangkal. Berangkal kecil gw celupin ke akuarium, dan keluarlah gelembung udara dari berangkal tadi. Berangkal yang berpori waktu masuk ke akuarium terisi dengan air, jadi keluar gelembung. Senengnya. Tapi gak lama gelembungnya abis. Gw keluarin berangkal tadi dan ganti dengan berangkal baru. Gelembung keluar lagi, seneng lagi, abis lagi, keluarin lagi, celupin lagi, siklusnya gitu terus lagi dan lagi sampe gw capek. Akhirnya gw tinggalin akuarium tanpa gelembung udara. 'Icak, liat akuarium dong' Gw ajak temen-temen ke rumah buat liat akuarium. 'Kok gak ada gelembung udaranya?' 'Tunggu ya' Gw ambil berangkal, gw celupin. 'Itu gelembung udaranya' Temen-temen gw no respon. 'Kok belakangnya gambar gunung, bukan gambar bawah laut?' 'Kalo gambar bawah laut kan udah biasa, ini model baru' 'Pohonnya kok daun cemara di lakban sih?' 53
  • 55. 'Bagusan daun ini dari pada daun plastik kan gak alami' Selalu ada cara buat jawab. Intinya, Whatever it is, I have my own akuarium dengan background gunung, daun-daun cemara, dan gelembung udara berangkal. Memang sih gak diterima secara umum, tapi bukan itu yang gw mau. Gw gak peduli dengan respon temen-temen gw, kesenangan gw punya akuarium nutupin semua respon 'negatif' mereka. Yang gw pikirin hanya gimana caranya bikin akuarium ini bagus dengan apa yang ada. 'Gw mau ngerjain itu, asal punya ini dulu' Punya alat C, tapi harus punya alat A baru bisa kerjain pekerjaan B. Padahal dengan alat C bisa aja kerjaan B dikerjain walaupun gak maksimal. kalo tetep gak maksimal gimana? Apanya yang gak maksimal ? Ngerjain kerjaan B dengan alat C itulah maksimal. Gak perlu cari alasan, karena yang perlu dicari itu jalan keluar. Mulai sekarang tanpa nunggu harus punya ini itu dulu, buka mata, liat sekitar, 54 maksimalkan apa yang ada, and you will find the way out.
  • 57. Waktu itu,…Udah seminggu kerjaan kami keliling komplek. Liat tong-tong sampah, dan seneng banget kalo nemu kotak rokok. 'Gw nemu nih' Senengnya temen gw dapet kotak rokok. 'Icak, udah nemu berapa?' 'Belum dapet' gw jawab lemes. Sedih gak dapet kotak rokok. Kenapa sih sesedih itu? Karena di komplek lagi tren buat mobilan kotak rokok. Cara buatnya simpel, kotak rokok di bolongin sisinya, masukin lidi, pasang ban dari sendal jepit yg dibentuk lingkaran. Ban cukup satu set aja, tapi mobil kotak rokonya harus banyak biar bisa ganti-ganti. Sedih kan kalo mobilan kita cuma itu-itu aja. Belum lagi bahan kotak rokok cepet rusak, jadi harus punya back up. Sedih gw mendadak hilang karena adik gw pulang dari rumah temennya dan bawa kotak rokok. 'Dapet dari mana?' 'Omnya temen tiap hari ngrokok, jadi kotaknya ada terus' Senengnya dapet supplier tetap. Gak perlu capek-capek lagi hunting, jadi gw bisa fokus ke produksi. Makin lama kotak rokok makin banyak, yang artinya mobilan gw juga makin banyak. Bentuknya juga beda-beda, ada yang jip, pick up, sport, race. Puas bangetlah bebas berkreasi walaupun bannya hanya satu set. 'Bu, liat ban mobilan ku gak?' 56
  • 58. ‘Gak liat nak' 'Tadi ada di sini, kesapu ibu gak?' 'Gak ada' Gw bongkar tempat sampah, cari ban mobil. Nyari kesana kemari. Tanpa ban, mobil-mobilan gw yang banyak itu gak bisa jalan, percuma. Mau bikin lagi gak mungkin, karena gw udah korbanin satu pasang sendal jepit karet buat jadi ban. Jadi gw harus nemuin ini ban. 'Kemana sih bu bannya?' 'Ibu, gak tau. Memangnya ban gimana?' 'Itu dari sendal yang buat mobilanku' 'Gak liat ibu, tadi pas nyapu juga nggak ada' 'Pasti tadi ada bu, kemana bu?' Gw ngotot kalo ban gw ibu yang ilangin, mungkin aja dia sembunyiin supaya gw jangan terlalu sibuk urusin mobil- mobilan. Gw terus tuntut ibu buat ngaku kalo dia yang ambil ban dan kembaliin ban gw. 'Ibu gak tau dimana bannya' 'Mana bu banku?' 'Gimana kalo bikin ban baru aja, ini pake sendal ibu' 'Gak mau, maunya ban yang itu' 57
  • 59. Gw nangis, ibu berusaha diemin. 'Ya udah, gimana cara buatnya, nanti ibu buatin' 'Gak mau, maunya ban yang tadi' Gw masih nangis, ibu tinggalin gw. Gak tau dia pergi kemana, mungkin pergi bikin ban. Gw masih nangis sambil nuntut ban gw balik. 'Mana bu banku?' tanya gw terus sambil nangis Gak ada jawaban dari ibu. Gak lama gw liat ibu keluar dari kamar, baju rapi, bawa koper. 'Ibu mau kemana?' Dari jauh gw tanya ibu. 'Ibu mau ke rumah nenek, kamu di sini ya?' 'Kenapa bu?' Ibu diem aja. Gw lari ke arah ibu, gw peluk dia. 'Ibu jangan pergi, jangan tinggalin aku' Ibu diem aja dan ikutan nangis. 'Jangan bu, gapapa banku ilang, tapi ibu jangan pergi' Nangis gw mau ditinggal ibu lebih kenceng dari nangis gw 58
  • 60. keilangan ban. 'Jangan pergi bu' 'Iya, ibu gak pergi' Gw gak bisa main mobilan rokok lagi. Tapi gapapa, gw masih bisa asik dengan modifikasi badan mobil sambil berharap ada sendal jepit gak kepake yang bisa gw jadiin ban. Gw gak mau pake sendal jepit ibu, masih bagus, sayang. Berapa hari berlalu, gw ke gudang belakang rumah mau cari sesuatu. Dan gw menemukan sesuatu yang gak gw cari, ban mobilan satu set. Kenapa ada di gudang ya? Karena gw yang taro di situ supaya aman sebelum ibu sapu rumah, dan gw lupa. Gara-gara ban karet sendal, gw hampir kehilangan ibu, walaupun mungkin itu hanya trik aja. Gara-gara mengejar sesuatu yang bagi kita penting banget, kita bisa kehilangan orang yang kita sayang. Sibuk terus sampai akhirnya keluar kata 'aku pergi ya', tapi itu masih mendingan daripada tiba-tiba ngilang. Dan timbullah penyesalan, tapi itu masih mending karena ada juga yang gak nyesel. Biar aja dia pergi, yang penting gw berhasil. Yang sayang sama kita adalah mereka yang peduli sama kita, mereka gak mau liat kita rusak hanya karena ambisi yang gak kekontrol. Mereka coba untuk batasin kita yang sebenernya untuk kebaikan tapi respon kita melihatnya sebagai hambatan. Akhirnya tanpa kita sadari mereka pergi. Fisiknya sih masih ada, tapi hatinya udah gak tau kemana. 59
  • 62. Waktu itu,…setelah tidur siang gw bangun. Keluar rumah dan main. Permainan yang paling gw suka adalah lomba lari. Kenapa gw suka? Karena gw selalu menang kalo lomba lari. Di komplek perumahan gw menang, di sekolah juga menang, dimana pun dan siapa pun lawannya, gw selalu menang. 'Satu, dua, tiga!' Pak guru memberi aba-aba dan kita semua berlari. Gw mulai lari kenceng banget, paling depan tapi ada yang balap gw. Gw full speed, keluarin semua kekuatan yang ada tapi tetep gak bisa kejer. Gw kalah. Anak baru ngalahin gw lomba lari di sekolah. Sebenernya kekalahan ini bisa aja gw trima dengan lapang dada, kenapa? Karena anak baru yang ngalahin gw adalah kakak kelas. Wajar dong kakak kelas menang lawan adik kelas. Masalahnya sebelum dia masuk sekolah ini, gw gak pernah kalah even lomba lari dengan kakak kelas. Gw gak bisa trima kekalahan. Dan di hari-hari berikutnya gw tetep kalah dari dia. Gw lebih sering latihan, dan tetep juga masih kalah dari dia. Lama-lama gw mulai bisa trima kekalahan. Dan gw harus akui kalo gw gak bisa kalahin dia di lomba lari. 'Satu, dua, tiga!' Pak guru memberi aba-aba dan kita semua berenang. Gw mulai bernang kenceng banget, paling depan dan gak ada yang balap gw even si kakak kelas yang ngalahin gw di lomba lari tadi. Gw lebih cepet dari dia di kolam renang, dan dia lebih cepet dari gw di lintasan lari. Impas. 61
  • 63. Masing-masing kita punya kemampuan terbaik, yang akan berkurang ketika kita menemukan atau bertemu dengan mereka yang memiliki kemampuan lebih baik dari kita. It's all about time. Bersyukurlah kita belum ketemu mereka yang punya kemampuan lebih baik dari kita, karena itu akan buat kita tetep jadi juara. Jangan sombong, jangan takabur. Mungkin saat ini kita ikan besar di kolam kecil. 62 Tapi kalo kita pergi ke samudra, kita hanya titik. sekali lagi,.. it's all about time.
  • 65. Waktu itu,…Jemaat sedang berdoa. Gw gak tutup mata. Liat sana sini, semua khusuk. Di tangan gw pegang plastik. Gw tiup, puter, dan dar! Gw pecahin itu balon plastik. Jemaat kaget, tapi masih khusuk berdoa. Gw keluar. Selesai doa, jemaat mulai cari-cari apa yang meledak. Keputusan saat itu, ledakan berasal dari ban pecah, walapun belum dicek. Keputusan hanya sebatas dugaan. Gw lega, ban pecah bisa disalahkan. Gw akan bebas. Tibalah di rumah. 'Icak, tadi apa ya?' Tanya ibu. 'Gak tau bu, ban pecah' 'Icak, tadi apa ya?' Tanya ibu lagi. Gw diem. 'Ban pecah' Tante yang jawab. 'Icak, tadi apa ya?' Tanya ibu lagi dan lagi. Gw diem. 'Kamu bikin apa tadi?' 'Aku pecahin plastik bu' 'Kakak, sini ambil lidi' Perintah ibu. 64
  • 66. Gw dihajar, harus tanggung jawab perbuatan gw pecahin plastik. Pedih dipukul lidi. Kulit kaki langsung bengkak. Penuh garis-garis lidi. Selesai mukul, ibu masuk kamar ninggalin gw. Kakak ikut nyusul ibu. Gak lama dia keluar lagi. 'Ibu kenapa kak?' Tanya gw. 'Dia nangis, gara-gara elu sih' Jawab kakak. Gw bertanya dlm hati, harusnya kan gw yang nangis kena pukul lidi, kenapa ibu yang nangis? Jawabannya baru gw dapetin pas gw punya anak. Gw gak tega liat anak gw nangis merengek minta sesuatu yang kalo gw kasih bisa bahaya buat dia. Jadi gw harus biarin dia nangis, kasih dia pengertian, sampe akhirnya dia diem sendiri. Ibu juga gak tega mukul gw, tapi dia harus buat itu. Gak tega tapi harus tega, dan harus tega demi kebaikan di masa depan. Mungkin saat ini kita lagi dihadapkan dengan situasi memilih yang sulit. Yang pacaran, mau dilepas masih sayang, kalo gak dilepas nyusahin ke depannya. Yang kerja, mau resign tapi belum dapet kerjaan baru, tapi kalo gak resign masalah terus. Sulit banget. Mari kita buat pilihan ini jadi gak sulit. Mulai dengan menghitung tingkat kerugian dan keuntungan saat ini dan saat nanti. Ibu memilih memukul gw dan dia sedih saat ini dengan timbal balik gw gak akan pecahin plastik lagi di gereja dan dia senang selamanya. Atau ibu memilih gak pukul gw dan dia senang saat ini dengan timbal balik gw 65
  • 67. masih melakukan hal yang sama nanti dan dia sedih selamanya. Saat ini dan selamanya. 66 Sedih saat ini, senang selamanya. Atau senang saat ini, sedih selamanya. Sulit?
  • 69. Waktu itu,…Ibu marahin gw karna gw gak bisa jawab soal Matematika. Udah dua jam kami duduk tapi gw tetep gak bisa jawab. 'Kalo kamu masih gak bisa, kita tetep di sini' 'Iya aku bisa' Jawab gw. Ibu mulai kasih pertanyaan. 'Empat tiga pertiga brapa?' 'Tiga' 'Bagus, sekarang enam dua pertiiga brapa?' Gw mikir dulu dan. 'Dua' 'Salah!' 'Jadi brapa bu?' 'Kamu masih gak ngerti ini. Coba ulang lagi' Susah banget tugas matematika ini. Dan masih banyak yang belum dikerjain. Gw gak ngerti cara ibu ngajarin. Jadi gw hanya kira-kira jawaban aja, kadang jawaban gw bener. Gw bosen diintimidasi, akhirnya gw tanya balik. 'Ibu, sekarang aku yang tanya' 'Boleh' 68
  • 70. 'Enam empat per tiga brapa?' 'Delapan' 'Kok bisa, caranya gimana?' Tanya gw. 'Enam dikali empat terus dibagi tiga' Akhirnya gw nemuin pattern nya. Dan gw brani tantang ibu. 'Coba tanya aku lagi?' 'Enam tiga per dua, brapa?' 'Sembilan' Gw tantang ibu lagi. 'Yang lebih sulit dong bu' 'Ok, dua puluh empat per lima, brapa? 'Enam belas' Gw jawab sambil gw tinggalin ibu. 'Sini kamu, mau kemana?' 'Aku udah ngerti' Mengerti bukan mengingat, bukan menghafal, tapi tau konsep yang paling mendasar. Gak mudah sampai ke level 'aku udah ngerti'. Setengah mati gw nebak-nebak, ada yang bener ada yang salah, tapi kenapa gak bener semua? Karena gw gak ngerti caranya. 69
  • 71. Proses untuk ngerti kuncinya dikomunikasi. Ibu sebagai pengirim informasi, gw sebagai penerima informasi. Ibu ngirim informasi yang gak gw mengerti. Ada distorsi dalam proses pengiriman informasinya. Tapi itu semua bisa diatasi setelah gw nanya ke ibu 'kok bisa, caranya gimana?'. Sebelum mengirim informasi, si pengirim informasi harus tau dulu siapa yang menerima informasinya. Gunakan kode (bahasa, gambar, verbal, dan sebagainya) yang dimengerti si penerima. Ngomong sama anak SD, ya harus pake bahasa anak SD. Gak akan nyambung kalo pake bahasa profesor. Sering kali kita jadi salah pengertian karena salah menggunakan kode dalam mengirim informasi. Akibatnya bisa fatal. Seandainya sejak awal ibu ngajarin gw dengan metode yang gw tau, pastilah gak akan terjadi marah- marahan, jengkel-jengkelan, sebel-sebelan, dan gw gak merasa terintimidasi. 70 Pilihlah kode yang terbaik, sehingga tidak ada lagi kata 'Seandainya'.
  • 73. Waktu itu,…Hari ketiga gw belajar renang. Coach kasih gw ban terus disuruh keliling kolam. Kaki goyang, tangan goyang, gw tetep ngambang dengan ban di perut. 'Waktu kepala di dalam air buang nafas, waktu kepala keluar dari air tarik nafas ya' Coach mulai kasih petunjuk. Lima kali puteran, adaptasi dengan kolam, ban dilepas dan gw disuruh bernang. Jaraknya pendek, hanya 5 meter, kedalaman kolam 2 meter. Masalahnya waktu itu tinggi gw hanya kisaran 130 cm. Kelelep, abis hidup gw. 'Ok, siap…kamu kesini ya' Coach jaga diujung kolam. 'Siap ya, sana ke ujung kolam' Asisten coach pegangin gw sambil kasih semangat. Gw tambah deg-degan. Ini keputusan hidup mati. Gw mulai hapal-hapal gerakan tangan dan kaki. 'Satu, dua, tiga!' Gw dilepas. Tangan, kaki mulai gw gerakin. Gw mulai buang napas dalam air dan tarik napas waktu kepala di atas air. Gw batuk, air masuk dikit. Tapi gw sampe juga di ujung. Senangnya. 'Ulang lagi, tadi masih kaku banget!' Perintah coach. Lima kali ulang, dan…hore, gw bisa bernang. Hari pertama dan kedua gw belum bisa bernang. Kenapa? Karena coach yang sebelumnya suruh gw bernang di kolam 72
  • 74. yang dalemnya 50 cm. Kolam anak-anak. Tangan gw bisa sentuh dasar kolam. Kepala gw bebas di atas air tarik napas. Gw gak takut tenggelam. Ini bukan soal hidup mati, santai aja. 'Anak ibu gak akan bisa bernang kalo belajarnya di kolam kecil' Kata my update coach. Di hari kedua ibu minta ganti pelatih. Hari ketiga gw langsung bisa bernang. Gw takut banget dilepas di kolam yang dalemnya 2 meter dan harus buang napas di air, tarik napas lagi waktu kepala di atas. Gw gak percaya sama kemampuan gw. Tapi coach melihatnya lain. Dia tau gw bisa. Gw bisa, elu bisa, kita bisa. Gimana mau tau batas kemampuan kalo nggak diuji sampai luar batas kemampuan. Khawatir pasti ada, tapi gimana meminimalisir kekhawatiran itu yang penting. Posisi kepepet, hidup atau mati. Ini bisa jadi cara jitu meminimalisir kekhawatiran. Gw mau hidup, gak mau mati, jadi mending tancep gas aja. Nekat?...bukan nekat sih, tapi maju dengan perhitungan yang sudah dikaji. Gw udah belajar cara bernang walapun masih pake ban. Dan setelah ban dilepas gw pelan-pelan bisa bernang. Kalo nekat, gw akan nyebur langsung di kolam 2 meter tanpa latihan sebelumnya, dan yang terjadi pasti gw tenggelam. Latihan, uji, naik level. Siklus hidup sederhana yang waktu dijalanin kayaknya lama banget. Maunya langsung naik level, gak usah latihan, gak usah ujian. Mana bisa. 73
  • 76. Waktu itu,…Ibu suruh gw mandi. 'Icak, udah sore ini, mandi!' 'Iya, bentar bu' 'Ayo cepetan mandi, nanti keburu malam dingin' 'Iya ini aku keringin badan dulu masih kringetan' 'Cepet ya mandi!' 'Iya, sabar aja bu' Begitu banyak alasan gw kasih ibu supaya gw gak disuruh mandi. Gw gak suka mandi sore sampai gw menemukan keseruan mandi. Serunya gimana? Masuk kamar mandi, buka baju, siram satu gayung mulai dari kepala, sabunan, terus masuk dalam bak. Dalam kondisi full sabun masuk dalam bak? Bisa dibanyangin itu bak langsung putih, berbuih busa sabun. Seru banget berendem. 'Icak, mandinya lama banget, ayo cepet nanti masuk angin' Gw keluar. 'Ini kok air baknya kotor? Kamu masuk ya? Tanya ibu. 'Nggak bu, tadi pas aku bilas airnya masuk bak' Tapi ibu gak mudah dibohongin, dia kuras bak, isi air baru. 75
  • 77. Stasiun TV Cuma satu, isinya berita, hiburan, dan ada flora dan fauna. Film-film dokumenter tentang binatang, tumbuhan, dari darat sampai dalam laut sering dibahas di program flora dan fauna. Gw seneng banget liat penyelam meneliti di dasar laut, dan gw terinspirasi oleh mereka. 'Icak mandi!' 'Iya bu' 'Jangan masuk bak ya!' 'Iya nggak, ngapain juga masuk bak?' Gw masuk kamar mandi, niat mau berendem tapi gw ada ide lain, I took it further. Gw mau ikutin gaya-gaya penyelam di flora dan fauna. Gw masuk bak dengan kacamata renang dan bawa senter, maksudnya biar senter diidupin di dalam bak, kan seru. Senter gw idupin sebelum masuk bak, dan akhirnya gw ada dalam bak. Di dalam air dengan kacamata renang dan senter yang nyala. Gw senter sudut-sudut bak, ngebayangin jadi penyelam lagi senter terumbu karang. Tiba-tiba senter mati, gw berdiri, keluar dari bak, meriksa senter. gw cek baterenya masih baru, cek lampunya gak putus, apa ya penyebab senter ini mati? Ketemu jawabannya, senter di darat gak anti air gw bawa ke dalam air, listriknya konslet, mati. Gw keluar kamar mandi dan seperti biasa ibu kuras bak lagi. 76
  • 78. Menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Ngidupin senter darat (senter biasa) buat jadi penerang di dalam air. Hasilnya? Awalnya hidup, tapi sebentar mati. Konslet. Sering menempatkan sesuatu gak pada tempatnya? Buang sampah bukan di tempat sampah, merokok di kawasan terlarang, nyeberang bukan di jembatan penyebrangan, pake baju minim di tempat yang dingin, dan sebagainya termasuk menempatkan pekerja di tempat yang bukan bidangnya. Hasilnya? Konslet tapi tetep aja dibikin dengan banyak alasan yang dipaksakan supaya 'sesuai dengan tempatnya'. 'Kok buang sampah sembarangan?' 'Gak ada tempat sampah' 'Kok ngrokok di angkot?' 'Udah asem kalo gak ngrokok' 'Kok nyebrang sembarangan?' 'Lama nyebrangnya kalo naik jembatan' 'Kok pake baju minim, di sini kan dingin?' 'Baju-baju gw kok elu yang atur' 'Kok dia kerja di situ, kan gak pas?' 'Ini sodara gw, dia harus kerja di situ selagi gw jadi bos' Inovasi, perubahan itu penting, biar gak bosen terus stuck, tapi masukin senter ke dalam air itu bukan inovasi. Gw udah tau itu akan gagal. Konslet. Idealnya inovasi membuat segalanya lebih baik. Ukurannya lebih efektif, efisien, dan ekonomis dalam mencapai sesuatu. Tapi kalo 77
  • 79. udah tau bakalan gagal ngapain dibuat? Alasan 3T, pengen cepeT, maunya instanT, ngandalin short cuT. Biasanya dilakukan oleh mereka yang gak menghargai proses. Maunya hanya hak, kewajibannya gak mau. Lingkungannya mau bersih tapi buang sampah sembarangan. Bisa? Bisa, tinggal buang aja sembarangan asal jangan di lingkungannya. Tapi sampe kapan gitu terus? Udah tau salah tapi terus dibuat dengan banyak alasan. Membohongi diri sendiri. 78 Diri sendiri aja dibohongin, apalagi orang lain.
  • 81. Waktu itu,…Ibu marah karena komik gw dipinjem temen, dan waktu dibalikin kondisinya rusak. 'Ibu gak akan kasih kamu duit lagi kalo gini' 'Tapi kan bukan aku yang rusakin bu' 'Kamu gak bisa bertanggung jawab' Gak tau itu hanya alasan dia aja gak mau beliin komik lagi, atau memang beneran gw dinilai gak bisa tanggung jawab. no more money, no more comic. Sedih banget kalo gak bisa baca komik lagi. Harga komik dua ribu, terbit sebulan sekali. Uang jajan gak ada. Hanya ada uang ongkos naik angkot ke sekolah sehari lima ratus perak. Gw mulai putar otak. 'Tinggal setengah jalan lagi' Gw nyemangatin diri. Gw coba gak naik angkot, gw jalan kaki demi dapetin lima ratus. Dan gw dapet. Tapi masih kurang buat beli komik. Deket rumah ada lapangan tenis. Gw liat ada anak-anak yang ambil bola tenis dapet bayaran, lima ratus. Gw coba untuk ikutan. Dan gw dapet. Tapi tetep masih kurang. Gw mulai kembangin bisnis ke jualan. Gw jual kelereng. Sistemnya gampang, main, menang, jual. Dalam sehari 80
  • 82. bisa dapet lima ratus. Dan gw dapet. Sehari gw bisa dapet seribu lima ratus. Dua hari bisa beli komik, masih sisa bisa beli yang lain. Modal gw hanya tenaga. Tenaga buat jalan, tenaga buat lari sana sini ambil bola, dan tenaga buat menangin main kelereng. 'Lho, kok bisa beli komik, duit dari mana?' Tanya ibu. 'Aku punya bisnis bu' Jawab gw. Ibu senyum-senyum. Mungkin dia lega karena gak harus beliin gw komik dan bisa saving dua ribu tiap bulan. Atau mungkin dia bangga sama anaknya yang udah bisa ngasilin duit. Kemungkinan kedua gw ragu. Kondisi 'sakaw' komik ini bikin gw berpikir 'how to'. Gw dipaksa untuk cari jalan untuk ngobatin 'sakaw' gw. Gimana supaya dapet komik? Beli. Gimana belinya? Bayar pake duit. Duitnya darimana? Cari. Gimana carinya? Jalan kaki, ambil bola, jual kelereng. Mungkin kita sekarang dalam kondisi 'sakaw'. Ada sesuatu yang harus kita dapetin, tapi kita gak punya daya untuk dapetinnya, parahnya kalo sesuatu itu gak kita dapetin, kita mati. Jadi, supaya gak mati, kita harus dapetin sesuatu itu. Langkah pertama, tenang, jangan panik. Kalo kita tenang kita bisa berpikir lebih baik. Berikutnya, tarik napas dan mulailah menginventarisir resource. Sumber daya apa yang kita punya? Uang, tenaga, metode, alat, materi. Langkah selanjutnya, maksimalkan sumber daya tersebut dalam rentang waktu tertentu (batas akhir nahan sakaw). Langkah terakhir, eksekusi terus menerus dan 81
  • 83. tunggulah hasilnya. Kalo berhasil bagus, keep doing it, karena kita berhasil menemukan 'daya' kita yang baru, yang selama ini kita gak sadari. Kalo gak berhasil tetep juga bagus, karena kita berhasil juga memaksimalkan 'daya' kita buat nahan 'sakaw' sampe ke level paling atas. 82 Berhasil gak berhasil, harus ada hasil.
  • 85. Waktu itu,…Bapak main biola, gw hanya duduk liatin dia main. 'Kamu belajar ya main biola' Kata ibu. Gw males main biola, karena gak laki banget. Gw maunya main drum. Kakak, adik, belajar main biola. Tiap sore mereka latihan. Lama-lama gw mulai pegang biola, mulai gesek-gesek, tapi belum bernada. 'Kalo gesek jangan kena senar yang lain nanti bunyinya gak pas' Kata bapak. Gw mulai belajar sendiri, sampe akhirnya senar-senar mulai bisa gw gesek tanpa bersentuhan satu sama lain. Permainan gw mulai bernada, gw menemukan cara bermain biola yang simpel. Ada empat senar, tiap senar punya nada yang beda, tinggi rendah rendah nada sesuai dengan letak jari kita waktu pencet senar. Makin deket ke tuning nada makin rendah, makin jauh ke tuning nada makin tinggi. Satu lagu bisa gw kuasai, dua lagu gw kuasai, sampe gw brani bilang 'Lagu apa aja bisa gw mainin'. Ibu lihat perkembangan gw, dan dia suruh gw buat perform di gereja. 'Ibu sudah jadwalkan kamu nanti isi instrumen biola ya' 'Gak mau ah' 84
  • 86. Males banget kan perform di depan banyak orang. Gw hanya mau perform di rumah aja. Gw gak brani, gak pe de. 'Sana maju' Ibu mulai mendorong gw. Gw maju ke depan bawa biola. Jemaat sunyi senyap, mereka kayaknya pengen banget liat gw perform. Gw mulai gesek senar, nada mulai terdengar. Ada vibrasinya, ada dinamikanya. Gw rasa permainan gw udah bagus banget. 'Main kamu jelek banget tadi' Ibu sebel. 'Udah bagus itu' Bapak membela. 'Jelek, getar-getar, mukanya pucet lagi, grogi' 'Itu namanya vibrasi, harus getar-getar' Jawab gw. Dua pria melawan satu wanita. Jelas gak imbang, jangankan dua pria, seribu pria lawan satu wanita juga gak imbang. Dari hasil perdebatan itu, tetap pendapat ibu yang benar. Permainan gw jelek. 'Kok gak main biola lagi?' Tanya ibu. 'Males ah, gak bakat' 'Cobalah lagi' 'Males, maunya main drum' Turning point. Everybody has it. Titik dimana kita 85
  • 87. 86 memutuskan untuk beralih dari satu titik (titik dimana kita berpijak) ke titik yang lain. Saat ibu berkata 'main kamu jelek banget tadi', itu adalah titik dimana gw memutuskan untuk gak mau lagi main biola. Dari titik itu, gw beralih ke titik berikut, 'maunya main drum'. Dari biola pindah ke drum. Dari A pindah ke B, dari satu pekerjaan pindah ke pekerjaan lain, dari satu pacar pindah ke pacar yang lain, dan banyak titik lainnya. Keputusan untuk pindah titik kebanyakan didasari oleh kekecewaan, gak puas dengan apa yang diharapkan. Permainan biola gw gak diapresiasi sama ibu, jadi gw pindah titik. Sangat jarang keputusan pindah titik didasari atas 'gw udah maksimal di titik ini'. Baru setengah jalan pindah, belum maksimal di titik itu udah pindah. Tetapi ada juga keputusan pindah titik dengan forecasting. Melihat trend masa lalu dan masa kini, 'kok gw gini-gini aja ya, kayaknya ke depannya susah', akhirnya pindah. Hidup adalah perpindahan titik. Dari titik satu ke titik lainnya hingga membentuk garis. Dari garis satu ke garis lainnya hingga membentuk bidang. Dari bidang satu ke bidang lainnya hingga membentuk ruang. Apa yang akan kita lakukan dengan 'ruang'?. Warna adalah jawabannya. Warnailah ruang itu. Coba kita ingat perjalanan hidup kita sampai saat ini. Sudah berapa titik kita pindah? Apakah titik-titik itu sudah terhubung menjadi garis? Terus menjadi bidang? Lalu membentuk ruang? Jika sudah, apa warna ruangannya? Cerah atau suram? Bagus kalau cerah, kalau suram? Tidak salah untuk kembali ke titik awal. Mulai kembali merangkai garis, bidang, ruang, dan memberinya warna yang cerah.
  • 89. Waktu itu, 'Makasih ya', Respon salah seorang pemain tenis waktu dia nerima bola dari gw. Ini hari pertama gw jadi tukang ambil bola di lapangan tenis komplek. Tenis olahraga orang kaya, hanya yang berduit yang bisa main. Orang-orang kaya komplek kumpulnya di sini. Sebelumnya gw hanya lewat di lapangan, liat anak-anak yang ambilin bola. Dan gw iseng nanya ke salah satu dari mereka. 'Dapet berapa?' 'Lima ratus' Ambilin bola out dari jam 4 sore sampai setengah enam dapet lima ratus. Enak banget. 'Cara masuknya gimana?' 'Masuk aja langsung' Besoknya gw siap-siap, dateng ke lapangan tenis jam 3. Masih sepi. 'Udah lama nunggu?' Tanya anak yg kemarin kasih info ke gw soal ambil bola. 'Barusan' 'Kita ke sana yuk' 88
  • 90. Kita keliling lapangan sambil crita-crita, mulai dari sekolah dimana, rumah, hobi, macem-macemlah. Jam setengah empat, satu per satu pemain dateng. Dan pas jam 4 dimulailah permainan. Bola demi bola out. Gw lari ambil bola dan kasih ke pemain. Pemain asik main dan kita berdua juga asik lari- lari ambil bola. Jam setengah enam, game over. Gw seneng banget. Excited mau dapet bayaran. Dag dig dug. 'Makasih ya' Kata si pemain sambil kasih gw duit lima ratus. Wow. Gak percaya gw dapet duit lima ratus. Gw pulang, lari kenceng, bahagia banget. Sampe rumah gw pamer ke ibu. 'Ibu, aku dapet duit lima ratus dari ambil bola' Besoknya, gw lakuin aktifitas yang sama. Duit gw makin banyak. Sampai suatu hari gw off, gak enak badan jadi gak ambil bola. Gw berpikir, 'enak banget temen gw dapet seribu'. Besoknya, badan gw rasa enakan. Gw dateng ke lapangan dan mulai ambil bola. Tapi ada yang beda. Gw sendirian. 'Kemana temen gw?' 'Kalo gw sendiri, asik banget bisa dapet seribu' 89
  • 91. 90 Permainan dimulai, gw mulai asik lari, ambil bola, dan tibalah jam pembayaran. Seribu di depan mata. Gw tunggu para pemain beresin alat, dan mereka satu per satu pergi. Lapangan sepi. Gw sendiri. Gak ada lima ratus, apalagi seribu. Wow. Gak percaya gw gak dapet apapun. Gw pulang, lari kenceng, sambil nangis, sedih banget. Gw buka pager, masuk rumah, lari mau masuk kamar. Tapi ibu cegat gw. 'Kenapa nangis?' 'Aku gak dibayar” 'Kok gak dibayar?' 'Gak tau, harusnya aku dapet seribu' Ibu peluk gw, dia ambil duit seribu dari kantongnya. 'Ini ibu yang bayar kerjaanmu, jangan ke sana lagi' Nangis gw brenti setelah liat duit seribu. Sudah melakukan kewajiban, maka selayaknya kita mendapatkan hak kita. Timbal balik dari apa yang kita lakukan. Tapi gimana kalo critanya beda? kita udah lakuin kewajiban tapi hak gak datang juga. Sakit hati. Gimana caranya supaya kita gak sakit hati? Dapet hak. Mau darimana pun itu, hak harus kita dapet tanpa melakukan kewajiban lagi.
  • 92. Kewajiban gw ambil bola, dan gw berhak atas seribu yang harus dibayar pemain. Ternyata hak gw itu gak mereka kasih. Gw sakit hati, tapi bisa terobati ketika ibu bayar seribu ke gw. Ini kasus gampang. Kita coba yang lebih sulit. Gw sakit hati, ibu gak bayar, gw gak dapet seribu. Tapi beberapa hari kemudian gw nemu duit di jalan lima ribu, atau ternyata para pemain tadi lupa dan mereka akhirnya bayar juga, atau dalam kesakitan hati gw menemukan kalo ambil bola bukan pekerjaan terbaik, dan banyak jawaban penghibur sakit hati lainnya yang semuanya 'andai-andai'. Sakit hati berasal dari hati, yang cara sembuhinnya juga datang dari hati. Coba kita bayangin hati kita seperti lingkaran, yang ketika sakit lingkaran itu hilang/berlubang seperempat. Supaya gak sakit kita butuh seperempat lingkaran untuk nutupin lubang tadi. Singkat cerita, kita menemukan penutup lubang tadi yang berarti ada hati lain yang berlubang juga yang butuh penutup. Singkat cerita hati itu bisa ditutup dan ada hati lain yang berlubang. Sampai akhirnya siklus gali lubang tutup lubang ini terhenti ketika satu hati memilih untuk menerima tetap berlubang yang akan tertutup dengan sendirinya. 91 Itulah hati ibu.
  • 94. Waktu itu,…Kami sekeluarga berkunjung ke rumah sodara. Lebaranan. Orangtua pada ngobrol, anak-anak main. Gw main sepeda. Sampe puas main sepeda, muter sana sini, gak brenti. Kesempatan main sepeda adalah kesempatan yang langka buat gw, karena gw gak punya sepeda. Acara silahturahmi selesai, kami pulang. 'Pak, mau sepeda pak' Bujuk gw ke bapak. 'Buat apalah sepeda?' 'Ya buat main keliling' 'Ayo kita sekalian mampir aja ke toko sepeda' Kata ibu. Gw seneng banget, ibu ngedukung usul gw. 'Yang ini brapa mas?' Tanya ibu ke penjual sepeda. Setelah banyak pertanyaan, akhirnya kami pulang. No sepeda. Gw sebel banget, buat apa ke toko sepeda kalo hanya nanya-nanya. Gw udah yakin banget hari itu mau dibeliin sepeda baru, tapi ternyata gak jadi. Selama perjalanan dari toko sepeda sampe rumah gw ngerengek terus. 'Sepeda, sepeda' 'Nantilah kita belinya' Jawab bapak. Bapak kliatan gak setuju dengan usulan gw, dia juga 93
  • 95. kliatan gak suka dengan rengekan gw. Dan tante akhirnya kasih solusi. Solusi ngerengek yang lain. 'Jangan sepeda, pake kode dong' 'Kode apa?' Tanya gw. 'Adesep' Dan mulailah gw merengek dengan kode. 'Adesep, adesep' Terus sepanjang perjalanan. Sampe rumah rengekan gw makin jadi. Gw mulai merengek sambil guling-guling di lantai. Masuk ke bawah meja, naik lagi ke kursi, sambil tetep bilang 'Adesep, adesep' Sampai akhirnya bapak nanya ke gw. 'Kamu mau sepeda?' 'Mau pak' 'Tunggu bentar ya' Bapak masuk kamar, sementara gw ada di bawah meja sambil merengek tapi suara udah gw pelanin. 'Ini buat beli sepeda sana!' Kata bapak sambil banting 94
  • 96. gepokan duit di atas meja. Gw yang lagi di bawah meja kan kaget banget. Bapak masuk kamar. Gw keluar dari bawah meja, liat duit banyak, segepok bisa beli sepeda. 'Mau kamu ambil uang itu?' tanya ibu. Gw hanya diem aja, dan balik ke bawah meja. Bapak gak mau liat gw terus ngerengek, dan dia juga gak mau beliin gw sepeda. Tapi dia gak bisa ambil keputusan. Dia ngetes gw untuk memutuskan. Akhirnya, gw memutuskan untuk brenti merengek, tanpa harus beli sepeda. Keputusan itu gw buat tanpa rasa takut, gw rela, gw ikhlas. Gw mau bapak beliin gw sepeda dengan ikhlas. Di sisi lain, gw gak perlu-perlu amat sepeda, tapi kalo dibeliin (dengan ikhlas) ya mau. Tahun berganti tahun, bapak gak pernah beliin gw sepeda, tapi dia ajarin gw untuk ambil keputusan yang ikhlas. Rela, pasrah, ikhlas, dimaknai sebagai kondisi hati yang menerima segala keputusan tanpa membantah. Gak ada kata 'tapi', apalagi 'harusnya kan gini', atau 'bukan begitu'. Ketika hidup kita berada dalam situasi yang menuntut buat rela, relakanlah karena itu akan membuat kelegaan yang besar dalam hati. Gak gampang, tapi bisa dipelajari kalo mau. Memberi dan menerima dengan kerelaan, tidak ada bantahan, tidak ada tuntutan. 95
  • 98. Waktu itu,…Gw pengen bangen makan siomay, tapi gak punya duit. Gak ada uang jajan dengan alasan 'itu gak sehat'. Tiap berangkat sekolah gw dibawain nasi kotak sama ibu. Jadi gak ada alasan untuk jajan. Pengen banget makan siomay, tapi gak punya duit. Otak gw mulai muter. 'Bang bikin siomaynya pake apa?' Gw nanya ke tukang siomay. 'Pake tepung terigu' 'Tepungnya diapain?' 'Tepung dicampur air, kasih ikan giling, garem, rebus' 'Udah gitu aja?' 'Iya' Sampe rumah gw langsung ke dapur. Cari tepung terigu, garem, tapi ikan gak ada. 'Bikin apa sih?' Tante nanya. 'Siomay' 'Kaya bisa aja, bukan gitu caranya' 'Emang gimana? 'Kasih tepung sagu juga” 97
  • 99. Gw cari tepung sagu, dan gw mulai bikin adonan siomay. Tepung terigu, sagu, garem gw campur, kasih air dikit. Gw masak air. Pas mendidih, gw masukin adonan siomay jadi-jadian ke air. Siomay jadi. Gw mulai coba rasain. Rasanya hanya asin aja. Supaya lebih enak gw makan pake kecap. 'Enak gak?' Tanya tante. 'Gak enak' Jawab gw. Hasil percobaan itu pun gw buang. Hari itu gw gagal bikin siomay, tapi gw gak brenti. Gw coba lagi, lagi, dan lagi. Coba, gagal, buang. Harus bisa sampe jadi. 'Ngapain sih bikin siomay terus?' Ibu nanya. 'Pengen aja' 'Sini ibu buatin' Setelah banyak kegagalan, ibu mulai komen aktivitas gw. Ada beberapa kemungkinan, pertama ibu sayang banget sama gw, dia gak mau liat gw susah hanya karena mau makan siomay. Kedua, ibu gak mau kalah sama gw. Ketiga, dia takut tepungnya abis. 'Ini siomay bikinan ibu, ayo dimakan' Kata ibu sambil sodorin siomaynya ke gw. 98
  • 100. Siomay ibu ternyata juga gagal. Lebih enak siomay gw. Gagal lagi, buang lagi, dan gak mau belajar lagi buat siomay. Cukup. Capek. Ambisi itu bagus. Punya target yang tinggi juga bagus. Tapi menurut ilmu ekonomi semua jadi gak bagus kalo hasil yang didapat gak sebanding dengan pengorbanan kita. Gw hanya mau makan siomay, tapi apa yang gw lakuin? Belajar bikin siomay, percobaan sana sini, buang materi (terigu, sagu, garem, kecap), waktu, pikiran, tenaga, yang semuanya berakhir di tempat sampah. Ditambah lagi ibu yang ikutan juga bikin siomay, hancur sudah. Di satu sisi, gw kliatan sebagai anak super kreatif, tapi gw gak liat biaya/pengorbanan/resources yang udah keluar brapa. Gak mau tau, pokoknya harus berhasil. What! Ngotot, adu urat, eksistensi ambisi ini sebenernya bisa dicegah. Kembali ke awal cerita. Gw hanya mau jajan siomay, tapi ibu gak kasih duit. Dari pada eksperimen bikin siomay yang udah pasti gagal, mending bikin yang lain yang udah pasti berhasil Berapa sih harga sepiring siomay dibanding segala pengorbanan tadi? It's not worth at all. Jadi, mending ibu bikin kue nastar dan kasih gw duit jajan siomay. 99 Semua senang, semua menang.
  • 102. Waktu itu,…Gw dan ibu masuk ke toko sepatu. Hanya liat-liat aja, gak beli. 'Bu, itu ada yang bagus' 'Iya, tapi sepatu kamu kan masih ada' 'Tapi itu lagi diskon bu' 'Mana?' Gw ajak ibu liat sepatu di keranjang diskon. 'Itu warnanya putih, gak bisa buat sekolah' 'Tapi kan bisa buat main' 'Berapa harganya?' Setelah melihat harga ibu kasih tantangan ke gw. 'Kamu tawar, kalo berhasil ibu beliin' Gawat ini, pertanda ibu gak mau beliin. Ini jurus lama yang udah gw pahamin betul. Gw coba nawar. 'Bang, sepatunya bisa kurang ya?' 'Gak bisa, udah harga pas, itu kan udah diskon' 'Ayolah kurang dikit aja' 'Yang di keranjang diskon udah harga pas, udah turun harga' 101
  • 103. Gw kembali ke ibu. 'Bu, gak bisa kurang harganya' 'Ya udah kalo gitu, kita pulang' 'Tunggulah bu, masak gak jadi, aku coba tawar lagi ke yang punya' Gw balik lagi nyari si empunya toko. 'Tante, harganya bisa kurang gak' Sambil gw tunjukkin sepatu tadi. 'Gak bisa' 'Bisalah' Tiba-tiba ibu ada di belakang gw. Dan dari pertarungan harga itu, ibu menang. Gw sepatu baru. Banyak cara untuk menggagalkan sesuatu, tapi banyak juga cara untuk membuatnya berhasil. Gw yakin seyakin yakinnya kalo ibu pengen banget gak beliin gw sepatu. Banyak banget alasannya, dari warna, harga, dan suruh gw yang nawar. Tapi semuanya gagal hanya dengan satu action. Ibu nawar ke pemilik toko dan jadilah. Dia yang mau gagalin, dia juga yang bikin berhasil. Pernah gak sih kita melakukan hal serupa? Mau membuat orang lain gagal. Dari perkataan yang simpel, seperti 'besok aja ya'. Padahal kita bisa bantu dia sekarang, gak usah tunggu besok. Dia balik badan, pulang, ninggalin kita, dan mulai berpikir 102
  • 104. untuk cari jalan lain. Kita tutup pintu, balik badan, tanpa mikirin apa yang dia pikirin. Bantuan masih ada sama kita. Nganggur, nongkrong, idle. Gak berguna buat kita, gak berguna juga buat dia. Dua-duanya gagal. Idealnya, keberhasilan satu orang akan membuat kegagalan orang lain. Ada yang dikorbankan untuk keberhasilan seseorang. Singkatnya, ada yang menang ada yang kalah. Lebih ideal lagi kalo dua-duanya menang, gak ada yang kalah. Tapi ini aneh, dua-duanya kalah. Keanehan ini berawal dari hal sederhana. Gak mau liat keberhasilan orang lain. Mending sama-sama ancur deh daripada dia berhasil. Nanti kalo berhasil juga gak ajak- ajak kita. Susah liat orang seneng. Seneng liat orang susah. Budaya ini harus kita ganti. Mulai dari diri sendiri. 103 Kita yang memulai, kita juga yang harus mengakhiri budaya ini.
  • 106. Waktu itu,…Bapak tarik tangan gw. 'Ayo kita pulang' 'Nanti pak belum selesai acaranya' 'Mau tunggu apalagi?' 'Namaku belum dipanggil' 'Kamu kan kalah, gak akan dipanggil' 'Aku menang, aku tunggu selesai acara' 'Ok, bapak temenin kamu' Dan kami menunggu. Menunggu nama gw dipanggil ke podium buat menerima medali kejuaraan renang propinsi. Gw ikut klub renang yang mewakili propinsi. Sebagai atlet renang, gw bernang 6 hari dalam seminggu. Banyak latihan gw ikutin. Sampai akhinya gw bisa jadi perenang tercepat. Jangankan yang seumuran, yang dewasa aja kalah sama gw. Gw gak bisa gak latihan. Gak latihan, gw ketinggalan dengan perenang yang lain. Kecepatan gw akan kalah beberapa detik kalo gak latihan. Jadi gw harus latihan terus untuk mempertahankan kecepatan gw. Satu kali, ibu panggil gw. 'Icak, kamu gak usah renang dulu ya' 105
  • 107. 'Kenapa bu?' 'Keuangan keluarga lagi gak bagus, kamu libur dulu ya' Tanpa banyak mikir, gw mengiyakan permintaan ibu. Gw berhenti renang. Coach datengin ibu, protes kenapa gw berhenti. Ibu kasih alasan, dan coach kasih solusi. Gw bisa latihan bernang dengan pembiayaan yang bisa diatur. 'Hore, Icak dateng' Teman-teman sesama perenang nyambut gw. Gw mulai pemanasan, adaptasi lagi dengan kolam. 'Get, set, go!' Coach kasih aba-aba. Gw bernang, rasanya udah maksimal, udah kebut banget, dan gw finish di posisi terakhir. Gw lambat banget. Udah setahun lebih gw gak renang, jelas kecepatan gw kalah sama mereka yang tiap hari renang. Tapi gw tetep fokus latihan, sampai gw harus latihan tambahan buat ngejer ketinggalan gw. Klub mempersiapkan gw buat kompetisi, dan mereka kasih target batas kecepatan maksimal. Gw gak sanggup, kecepatan gw masih kurang 2 detik dari target klub. 'Ini ibu beliin kamu kacamata baru buat lomba besok' kata Ibu sambil kasih gw kacamata renang pro. 'Asik, bagus ini bu' Gw seneng banget, akhirnya punya juga kacamata renang 106
  • 108. standar profesional. Selama ini gw pake kacamata renang yang murahan, berat dipake, dan suka berkabut. 'Get, set, go!' Juri lomba memberi aba-aba. Gw lompat, pas masuk ke air kacamata kebuka dikit, air masuk ke kacamata, gw gak bisa liat. Sejak awal bernang gw terbiasa dengan kacamata, jadi gw gak bisa bernang tanpa kacamata. Masuknya air ke kacamata bikin gw panik. Gw coba tenang sambil keluarin sekuat tenaga buat bernang. Gw finish nomor satu. 'Pak, kacamatanya masuk air tadi' Kata gw sambil lepas kacamata. 'Udah, gapapa, kan udah finish juara satu' Bapak ajak gw ke juri. 'Berapa detik?' Bapak tanya hasil gw ke juri. Sambil ngajak gw ganti baju, bapak bilang kalo gw kalah di babak penyisihan dari grup lain. Gw kalah sekian detik, mungkin karena gw gak konsen waktu air masuk ke kaca mata. 'Gak mungkin aku kalah, tadi udah jelas juara satu' Selesai ganti baju, kami duduk makan, dan bapak ajakin gw pulang. Gw tetep gak mau pulang. Sampe penyerahan semua medali gw juga belum mau pulang. 'Aku kok belum dipanggil ya pak?' 'Kan udah kalah, jadi gak dipanggil' 107
  • 109. 'Ok, kita pulang aja' Gw minta pulang. Apa yang gw latih selama ini gak berhasil. Faktor utama bukan kacamata, tapi memang persiapan gw mepet banget. Gw jago setahun yang lalu. Tapi di tahun ini, gw kalah. Bapak tau gw kecewa, dan dia nemenin gw dalam kekecewaan itu. Keluar dari gelanggang renang bapak ajakin gw makan siomay. Dia gak makan, hanya gw yang makan dan boleh nambah. Mungkin dia gak makan karena jatahnya dia jadi jatah gw nambah. Hari itu bapak gak kerja, dia khusus nemenin gw dari pagi. Mulai dari persiapan, lomba, sampe nungguin nama gw dipanggil, makan siomay, dan kembali ke rumah. Dia hanya memastikan gw selamat lahir batin bukan hanya saat kompetisi renang itu tapi 108 selama dia ada di dunia ini.
  • 111. Waktu itu,…Sampai di Jawa, disambut keluarga, senangnya. 'Icak, nanti malam ke alun-alun ya' 'Ok bu' Malamnya kami sekeluarga jalan ke alun-alun. Cukup jalan kaki 15 menit kami sampe di alun-alun yang waktu itu lagi ngadain karnaval. Gw naik komedi putar, kakak asik makan harum manis, adik main lempar bola. 'Kita masuk tong setan yuk' Ajak ibu. 'Asik, mau' Kami anak-anak serentak jawab. Tong setan adalah permainan stunt motor. Adalah sebuah tong raksasa yang dibuat dari kayu yang nantinya akan ditelusuri dengan motor. Dan mulailah stunt rider mengemudikan motornya di darat. Mulai jalan pelan- pelan, lama-lama tambah cepet dan sekarang bukan di darat lagi, rider stunt jalan di sisi tong. 'Hore, hebat!' Teriak gw. Stunt rider mulai beraksi lepas tangan, merokok, hadap ke belakang yang semua dilakukan di atas motor dengan kecepatan tinggi di sisi tong. 'Hebat ya' Respon gw selesai nonton tong setan. Kami jalan pulang lewatin jejeran penjual gorengan. Ibu brenti, pilih-pilih gorengan. Dan gw gak mau kalah. Gw juga pilih gorengan di penjual yang lain. Bakwan udang mencuri perhatian gw. Tangan gw mulai cubit-cubit udang 110
  • 112. yang nempel di bakwan, dan jatuhlah gorengan itu. 'Ambil!' Kata si penjual. Gw liat ke bawah mau ambil, tapi ternyata gorengan jatuh ke got yang ada di bawah gerobak gorengan. 'Ambil!' Kata si penjual sambil melotot. 'Gak bisa, masuk ke got' Jawab gw. 'Ambil!' Penjual memaksa. Gw gak bisa ambil, bukan karena jijik jorok, tapi karna gotnya dalem banget. 'Gotnya dalem' Jawab gw. 'Ambil!' Gw sadar ini penjual marah beneran, dia mau gw bayarin bakwan udangnya. Tapi gw gak punya duit. Gak mungkin juga kalo gw berhasil turun ke got, ambil bakwan udang, kasih ke penjual, dia bakal maapin gw. Gw salah dan harus tebus kesalahan gw. 'Ayo pulang' Kata ibu sambil gandeng tangan gw. 'Ini anaknya?' Tanya si penjual. 'Iya, kenapa?' 'Dia jatuhin bakwan udang' Ibu liat gw sebentar. 111
  • 113. 'Berapa harganya?' Ini saya bayar. Ibu menebus kesalahan gw. Gw bebas pergi tanpa harus ambil bakwan di dalam got. Seneng banget ada yang nolongin. Posisi sulit. Belakang macan, depan buaya, kanan ular, kiri jurang. Segala arah salah, pasti mati. Tiba-tiba turun tangga tali dari atas. 'Cepetan naik' Suara di helikopter kasih perintah. Pegang tali, naik tangga, dan selamat. Penolong dan yang ditolong terikat di dalam satu siklus, tolong menolong. Awalnya si penolong adalah mereka yang butuh pertolongan, setelah ditolong ada 'rasa' yang timbul. kewajiban untuk menolong akan timbul, ada keinginan untuk membalas pertologan itu. Balasan pertolongan tidak harus ke pemberi pertolongan tapi bisa juga ke mereka yang membutuhkan pertolongan, sehingga siklus tolong menolong akan tetap berputar. Kewajiban untuk menolong bisa juga gak muncul, itu karena 'rasa' tadi ditekan. Pengen nolong tapi 'Tunggu lah' 'Besok aja lah' Terus menunda, yang akhirnya jadi kebiasan yang lama kelamaan jadi jati diri. Kalo udah jati diri, satu pribadi berkembang jadi dua, dua jadi tiga, terus bertambah, jangan-jangan siklus tolong menolong bisa berhenti. 112
  • 114. Berhenti tidaknya siklus ini ada di tangan kita. Helped people, help people. Orang yang ditolong, akan menolong. 113
  • 116. Waktu itu,…Mengisi liburan kelas, gw asik main layangan sendirian di tempat yang tinggi. Gak mungkin banget gw main rame-rame, karena gw main layangan di atas genteng rumah. Perjalanan panjang mewujudkan cita-cita gw main layangan. Gw gak punya duit buat beli layangan, jadi gw pungutin kerangka layangan di jalan. Gw kasih benang, terus gw temple kertas lagi. Karena gak punya duit untuk beli kertas minyak, jadi gw pake kertas koran. Layangan kertas koran susah buat diterbangin karena berat, tapi mau gimana lagi, hanya ini yang gw punya. Supaya mudah diterbangin gw harus cari tempat yang anginnya kenceng, dan genteng rumah adalah jawabannya. Gimana dengan benangnya? gw pungutin juga benang- benang layangan di jalan. Gw sambung-sambung jadilah satu gulung. Gak panjang tapi cukuplah. Layangan kertas koran gw mengudara, gak takut buat aduan. Kalo putus tinggal buat lagi. Corak koran membosankan dan gw beralih ke kertas hvs berwarna. Problemnya sama 'gak punya duit buat beli', tapi gw gak menyerah. Gw dapet hvs berwarna dari paper punya bapak yang gak kepake. Layangan gw tampak ber- warna, bukan hanya satu warna, tapi bisa banyak warna, gw gabungin kertas-kertas hvs warna. Sama dengan koran, layangan hvs juga susah terbang, jadi gw tetep main di genteng. Layangan naik, tambah tinggi, tapi sulit dikendaliin, sampai akhirnya layangan jatuh di genteng tetangga, jaraknya 2 rumah dari rumah gw. Gw tarik benang, layangan gak gerak, nyangkut. 115
  • 117. ‘Mau kemana?' Tanya kakak. 'Ambil layangan' Jawab gw. Gw jalan ke arah rumah tetangga. Rumahnya udah lama kosong, gak terawat. Gw naik pagernya, terus sampe ke pinggir genteng. Gw liat layangan warna warni hvs gw nyangkut di antara genteng. Gw jalan pelan di atas genteng. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, makin deket ke layangan. Langkah keempat, brak! Genteng yang gw injek pecah, kaki gw masuk. Gw tarik kaki ambil layangan. Gw turun. Deg- degan, takut. Bunyi genteng yang pecah bikin tetangga keluar. 'Kenapa?' Tanya kakak di depan pintu. 'Takut' Jawab gw. 'Takut kenapa?' 'Tadi ambil layangan, terus gentengnya pecah' Gw taro layangan. Dan kembali ke rumah tetangga dengan maksud mau benerin gentengnya. Mulai naik, jalan empat langkah dan genteng pecah lagi, banyak yang pecah, kaki gw sampe injek plapon. Brak! Brak! Genteng pecah, kena plapon, dan plapon runtuh. Gw hampir ikutan keperosok, tapi gw bisa tahan badan dengan pegangan ke genteng. Gw turun liat rumah tetangga bolong plapon dan gentengnya. Besar juga, hampir dua meter persegi. 'Icak jatuh' Tetangga pada teriak dan datengin gw. 116
  • 118. 'Kenapa Icak?' Gw lari ke rumah, ketakutan. Sampe rumah bapak udah di luar. 'Kenapa?' 'Aku rusakin rumah orang pak' Gw masuk rumah, bapak keluar, liat apa yang dibuat anaknya. Kaki gw luka, dikasih obat. Rasa takut gw, gak tau obatnya apa. Bapak balik ke rumah, gak omong apa-apa. Dia ambil alat pertukangan terus pergi lagi. 'Apa bapak mau benerin ya?' Kata gw dalam hati. Seneng juga kalo dibenerin, artinya gw bebas dari tuntutan kerusakan. Gak lama bapak pulang. 'Gak bisa dibenerin, parah' Kata bapak. 'Terus gimana pak?' Kata kakak. 'Kalian di rumah dulu ya, Icak jangan main-main' Bapak keluar, pergi ke tetangga yang punya rumah. Selama gw main di layangan di genteng rumah gw, aman- aman aja. Dan gw yakin akan aman-aman juga kalo gw naik ke genteng rumah tetangga. Tapi perhitungan gw salah. Rumah itu udah tua, udah lapuk. 117
  • 119. Hari berikut, gw gak main layangan lagi. Berangkat sekolah gw lewat rumah itu, pulang juga lewat rumah itu. Masih kliatan bolongnya, parah. Makin parah kalo hujan air masuk lewat bolongan, untungnya bolongan itu di bagian garasi jadi air gak masuk dalam rumah. Bapak, ibu gak marahin gw mereka diem aja. Sejak peristiwa itu gw jadi anak yang penurut. 'Icak siram kembang!' Gw nurut. 'Icak, mandi!' Gw turutin semua perintah ortu. Semua gw buat untuk bisa menebus kesalahan gw. Rasa bersalah dan takut masih ada di hati gw. Gak enak banget, tapi ada positifnya, gw jadi penurut. Rasa takut membatasi kita. Gak mau kebut-kebutanan karena takut celaka, gak mau mencuri karena takut ditangkep. Dan banyak batasan lain yang dibuat oleh rasa takut. Ada positifnya, tapi bisa jadi negatif kalo terus menerus dikendalikan rasa takut. Coba banyangin di depan kita ada indicator bahan bakar. Ada full dan empty. Jarum semakin ke 'empty' artinya 'full' semakin sedikit, 'empty' semakin banyak. Begitu sebaliknya, jarum semakin ke 'full' yang artinya 'empty' semakin sedikit, 'full' semakin banyak. Sekarang kita ganti indicator 'empty-full' dengan 'fear- love'. Jarum semakin ke 'fear' artinya 'love' semakin sedikit, 'fear' semakin banyak. Begitu sebaliknya, jarum semakin ke 'fear' yang artinya 'fear' semakin sedikit, 'love' 118
  • 120. semakin banyak. Makin banyak ketakutan, makin sedikit cinta. Kita gak mau kebut-kebutan bukan karena takut celaka, tapi karena kita cinta sama diri kita. Biarlah cinta menjadi motivasi utama kita dalam berkehidupan. Sambungan. Gw gak pernah tau apa yang diomongin bapak dengan tetangga si pemilik rumah. Sampai suatu saat, dimana gw udah punya anak, gw ikut kumpulan keluarga. Di kumpulan itu ibu cerita kisah gw jeblosin genteng tetangga. 'Jadi waktu itu datenglah bapak ke rumah tetangga' 'Terus?' 'Bapak minta maaf ke tetangga karena si Icak udah jeblosin rumahnya' 'Terus-terus gimana?' 'Tetangga jawab' 'Apa jawabnya?' 'Gak papa pak, gak usah ganti, biasa itu, namanya juga anak laki-laki' 119 what?!
  • 122. Waktu itu,…Temen sebangku gw ajakin gw nonton film di bioskop. 'Gak mungkin gw dikasih ijin' 'Masak gak bisa?' 'Itukan pulangnya malem' 'Jam 7 sore beres' 'Iya, tapi nanti sampe rumah gw jam brapa?' 'Sekali-kalilah pulang malem, bagus nih filmnya' Bapak temen sebangku gw ini punya kantin di bioskop, dan hampir tiap hari temen gw ini nonton sambil tunggu kantin bapaknya tutup. Banyak film yang udah dia tonton, mulai film anak-anak sampai dewasa, dan besoknya di sekolah dia pasti crita ke gw. 'Cak, seru banget gw nonton film tadi malem' 'Film apa?' 'Film kung fu, cerita tentang raja merak' Dan dia mulai cerita panjang lebar yang bikin gw tertarik juga untuk nonton. 'Trus filmnya udah gak diputer lagi?' 'Tadi malem terakhir, tapi ada seri keduanya, nanti kita nonton ya' 121
  • 123. Dua bulan kemudian keluarlah seri kedua film kung fu raja merak. Tapi gimana caranya supaya gw bisa nonton? Harus minta ijin, semoga dikasih. 'Bu aku mau jalan-jalan sama temen abis pulang sekolah, boleh gak?' 'Kapan?' 'Minggu depan' 'Mau ngapain?' 'Jalan-jalan aja' 'Coba minta ijin ke bapak' Demi film raja merak gw harus lewatin birokrasi yang panjang. Gw datengin bapak. 'Pak minggu depan aku diajakin temen jalan-jalan abis pulang sekolah, boleh? 'Pulangnya gak malem kan?' 'Gak, sore udah sampe rumah' 'Ok, boleh, minta uang tambahan sama ibu ya' Senengnya, dikasih ijin terus dikasih tambahan buat jajan. Tapi gw gak bilang kalo mau nonton film dan pulangnya malem. Ada rasa bersalah juga sih, tapi gapapa, semua bisa diatur belakangan. Hari H tiba, pulang sekolah gw ke rumah temen, sorenya 122
  • 124. nonton film kung fu raja merak. Pertama kali masuk gedung bioskop, terkesima liat layar dan sound gede. Filmnya seru tapi gw gak tenang, rasa bersalah mulai timbul. Makin lama rasa bersalah makin timbul dan gw makin gak tenang nonton. Jam 7 film beres, gw pulang. Sampe rumah bapak ibu gak ada. Kata kakak mereka nyusulin gw sekolah. Level rasa bersalah gw makin tambah. Trus apa yang harus gw buat? Gw pura-pura tidur. Bapak, ibu kembali ke rumah. 'Icak udah pulang?' 'Udah bu, itu lagi tidur'. Ibu tau gw pura-pura tidur. Dia tau gw merasa bersalah karena udah bohong. ‘Iya, ini udah tidur' kata ibu sambil usap-usap punggung gw. Besok paginya, bapak ibu nasehatin gw. Mereka bilang kalo kemarin malam ke sekolah terus susulin ke bioskop. Sampe bioskop gw udah pulang. Siangnya habis pulang sekolah, gw dan temen gw dipanggil kepala sekolah. 'Kalian ini susahin orangtua ya' Kami hanya nunduk aja. 'Gimana filmnya bagus?' 123
  • 125. Tetep nunduk gak jawab. 'Kalian masih kecil, harusnya malam di rumah, bukan nonton bioskop' Selesai dinasehatin kami pulang. 'Kok jadi gini sih Cak?' 'Ya gw juga gak tau' Jawaban itu sering kita keluarkan, sederhana tapi langsung bikin case close 'gw juga gak tau'. Bisa beneran gak tau, bisa juga pura-pura gak tau supaya urusan jangan panjang, kalo pun bersalah bisa terbela. Terus kalo semua gak tau siapa yang tanggung jawab? Gak ada yang tanggung jawab? Segala sesuatu terjadi karena ada hal sebelumnya yang terjadi, jadi gak mungkin ada 'gw juga gak tau'. Ada aksi reaksi, hukum sebab akibat. Gw dipanggil kepala sekolah karena ortu nyari gw ke sekolah. Mereka nyari gw karna udah malem gw belum sampe rumah, karena gw asik nonton di bioskop. Gw bisa nonton karena gw bohongin ortu. Jadi. 'Kok jadi gini sih Cak?' Harus dijawab dengan 'Karna gw bohong' That's it, end of story, jadi gak ada jawaban 'gw juga gak 124
  • 126. tau'. Trace back maka kita akan menemukan jawaban paling mendasar dari pertanyaan kita. Gak mudah, butuh waktu, mungkin juga biaya, ada pengorbanan tapi pasti jawaban itu ada. 125 Pertanyaannya 'mau tau gak?'
  • 128. 127 Waktu itu,…Bu guru panggil gw untuk pembagian nilai EBTANAS murni. Sebelumnya temen gw yang dipanggil dan dia dapet nilai tertinggi. Gw berkesimpulan, karena gw dipanggil urutan ke dua, pasti NEM gw tertinggi kedua, gak apa-apa lah. Dari kelas satu sampe kelas enam, gw sering banget ranking 1. Beberapa kali rangking 2, dan 1 kali rangking 3 itu pun karena gw cuti sekolah karena sakit. 'Icak' Bu guru panggil. Gw masuk, duduk. Bu guru kasih tunjuk nilai gw dan gw disuruh sign cap jari. Gw liat NEM gw, ada beberapa nilai yang lumayan. 'Brapa NEMnya?' Bapak tanya. 'Kecil pak' Jawab gw. Bu guru keluar dan nemuin bapak. 'Gak nyangka Icak NEMnya bisa kecil' NEM gw kecil, urutan tiga terendah. Dengan track record 'bosen rangking 1' gw dapet NEM terendah, gak percaya aja. Jangan-jangan ujiannya salah periksa, atau nama gw ketuker. Gak percaya. Guru-guru kumpul, mereka membahas hal yang sama 'gak percaya NEM gw kecil'. Sebelum Ebtanas, gw udah siapin diri. Belajar, latihan, tapi hasilnya jauh banget dari yang gw harapkan. Gw sedih, bapak coba menghibur gw.
  • 129. ‘Ya udah gak apa-apa, namanya juga belajar' Sampe rumah gw masuk kamar. Sedih karena NEM gw gak cukup untuk masuk sekolah unggulan. Bapak, ibu menghibur gw walau kadang nyalah-nyalahin juga 'Kamu sih ujian nasional anggap enteng' Gak enak banget disalahin. Tapi gw punya akal gimana supaya gak disalahin terus. Gw masuk kamar, telungkup di kasur, nangis. Pura-pura nangis aja, pura-pura nyesel. Sampai akhirnya... 'Ya udah, gak usah sedih, kita cari sekolah lain nanti' Berhasil. Ortu brenti bahas soal NEM, mereka terima hasil, gw juga udah bisa terima kenyataan. Tinggal nyari sekolah yang mau trima NEM gw. Susah banget nyarinya, NEM gw rendah banget buat masuk sekolah negeri. 'Icak, mau lanjut sekolah mana?' Tanya tetangga gw. 'Mau masuk negeri' 'Unggulan ya?' 'Gak bisa di unggulan, NEM ku kecil' 'Oh gitu' 'Iya, kecil banget, kalo gak masuk negri ya paling di swasta aja' 'Memang NEMnya brapa?' 128
  • 130. 129 Gw sebutin NEM gw dan dia kasih jawaban yang cukup mencerahkan. 'Ada sekolah negeri baru buka, terima murid banyak, kayaknya NEM kamu bisa masuk' Beberapa minggu kemudian tibalah gw di sekolah baru ini buat daftar. Tempatnya di gunung, fasilitasnya juga belum lengkap. Tapi di balik itu semua, gw ketrima. NEM gw masuk katagori menengah. Proses belajar mengajar dimulai. Gw bisa ikutin pelajaran dengan mudah dan bisa rangking 1 lagi. Tahun berikutnya gw pindah ke sekolah unggulan, tapi di situ gw gak rangking 1. Di sekolah unggulan muridnya pinter-pinter, rajin-rajin. Satu tahun berikut gw baru bisa rangking 1. Semua kita adalah rangking 1. Setiap orang terlahir dengan kemampuan yang gak dimiliki orang lain. Kemampuan ini membuat mereka menjadi yang terbaik di bidangnya. Peringkat bukan soal prestasi akademis. Seorang anak yang jago matematik belum tentu jago olahraga, begitu juga dengan anak yang jago menyanyi belum tentu jago main kelereng. Melabeli anak 'pintar' hanya dengan pencapaian akademis adalah tidak adil. Sedih gak rangking 1? Buat apa? Rangking hanya bisa terjadi jika ada pembandingnya. Kalo gak ada proses banding-bandingin, mana ada rangking-rangkingan, lebih kaya, lebih pinter, lebih keren. Pernah dibanding-bandingin? Enak gak? Kalo gak enak, coba yuk menilai setiap orang itu rangking 1. Lihat kelebihannya, bantu minimalkan kekurangannya.
  • 131. 130
  • 132. Waktu itu, gw buka berkas-berkas bapak. Bapak adalah seorang yang terorganisir dalam penyimpanan dokumen, semua rapih teratur. Saking rapihnya berkas waktu dia bujangan masih ada. 'Pak, ngapain sih ini tulisannya kok gini?' Kata gw sambil ketawa. 'Tulisan apa?' Tanya bapak. 'Ini biodata bapak' Kata gw lagi. 'Kenapa memangnya?' Tanya bapak lagi. 'Masak tulisan hobinya bercerita' Jawab gw sambil ketawa. Dan sekarang gw menertawakan hobi gw. Hermawan Wicaksono, adalah seorang creative entrepeneur. Tinggal di Bandung bersama istri, Meinar Amelia dan seorang anak laki-laki, Dikan Pranata Wicaksono yang makin hari semakin mirip dengan bapaknya sewaktu kecil. Dan itu membahayakan.