1. Trip to The Country of 5 Towers
(Perjalanan ke Negeri 5 Menara)
Muhammad Taufiqi
Sebuah Cerpen tentang Kisah Nyata
1
2. Hari itu cuaca cerah, tidak terdengar rintik-rintik
hujan di luar rumah. Aku terbangun dengan sedikit
kedinginan, jam di kamarku masih menunjukkan pukul
tiga. Aku buka selambu jendela kamarku, ku lihat langit
masih hitam berkilat-kilat kebiruan, dihiasi sedikit awan-
awan putih tipis yang sekarang terlihat abu-abu. Halaman
rumah agak basah bekas hujan kemarin sore. Semoga
hari ini tidak hujan, karena hari ini aku sekeluarga mau
ke ponorogo, untuk menjemput adikku yang di Gontor.
Tidak kusangka juga adikku sekarang sudah pergi
ke pondok. Masih teringat beberapa kenangan kemarin,
aku jailin dia dengan berbagai cara, waktu dia mandi aku
buka pintu kamar mandi dari luar, dengan kunci
cadangan tentunya, atau waktu tidur nyenyak-nyenyak
aku jejeri dan aku ganggu dia sampai marah-marah.
Sekarang satu anggota rumah di luar kota, ya memang
tidak sepi karena aku masih sering guyon-guyon sama
ibu atau ayah, tapi masih aja terasa ada yang berbeda.
Kuliahat jam dinding sudah lima belas menit berlalu,
sebaiknya aku shalat sekarang.
2
3. ≈
Ayam sudah berkokok, kututub Qur’an yang dulu
biasanya ku pakai sewaktu belajar di Taman Pendidikan
Qur’an, ayah dan ibu sudah datang dari masjid. Seperti
biasa aku buka laptop, untuk menjelajahi dunia maya
dengan bermodal hape cina. Aku memang sengaja
mencari waktu pagi karena operator sedang cepat-
cepatnya mentransfer data.
Aku buka facebook, untuk melihat ada
notification apa kemarin, update status-status galau,
ngeshare gombalan-gombalan yang ku karang, atau
hanya ingin melihat status-status teman yang terkadang
membuat aku tertawa sendiri.
“Fiq, kopi”, suara ibuku dari dapur yang setiap
hari membuatkan aku dan ayah kopi buatan sendiri.
“Nggeh buk” jawabku masih di depan laptop. Sudah
merasa agak bosan aku tutup laptop, lau pergi ke
belakang, mau menggoda ibuku.
3
4. “Buk, engken pun nangis lo buk, engken kaet
tutuk misep misep”, ibuku menjawab, “Wak nek Fiqi, ya
mboten Fiq”. Ayah menyaut yang masih di ruang tengah
dengan membawa Qur’an besarnya, “Enggak Fiq nek
ibuk, wingi tepak nang rono yo g popo”. Sambil
tersenyum sedikit menggoda aku ambil kopi hitam
faforitku itu ke ruang tamu, lalu ku ambil buku faforitku
dan ku baca beberapa halaman. Sedikit hening suasana
subuh itu, cukup membuatku sedikit terkantuk-kantuk di
sofa depan. Lalu kuseruput kopi hitamku agar kantukku
sedikit hilang. Di keluargaku ada beberapa kebiasaan
yang sudah dibuat sejak aku masih kecil, salah satunya
tidak tidur setelah subuh. Jadi kurang enak aja kalau aku
sampai tertidur.
Tiba-tiba suara hape berbunyi memecah
keheningan, hapeku berbunyi dipanggil oleh nomor tak
dikenal, aku lihat itu nomor nggak pernah aku tahu.
“Siapa ya,” pikirku. Lalu ku angkat, dan bilang
“Assalamu’alaikum halo”, tidak ada jawaban. “Sinten
niki?”, masih juga tidak ada jawaban. Lalu aku tutup
4
5. panggilannya. “Ah mungkin nomor iseng atau nggak
salah nomer”.
Nomor itu memanggil lagi, “Halo, niki sinten?”,
trus ada jawaban dengan suara pendek yang nggak begitu
jelas “Uuuiii...”, “Sinten?”, “Ruri...”. Ternyata itu
adikku, mungkin dia sedang pinjam hape ustadnya atau
menyewa di wartel pondok. Memang biasanya dia telpon
untuk mengabari sesuatu, atau untuk meminta doa karena
akan ujian. “Oalah awakmu ta rur,” “Tilpun balik”,
“Opo?”, “Tilpunen balik”, “Oalah iyo”, hape segera
kumatikan. Lalu dengan langkah cepat aku pergi ke
belakang.
“Buk, Ruri telpon. Sakniki dikengken telpon
balek. Kulo tilpunaken sakniki”
“Paringaken Ayah ae Fiq”, kata ibuku
“Oh nggeh”
Terdengar bunyi tut panggilan keluar, Ayah yang
barusan mendengar percakapan aku dan ibu, sudah ada di
pintu masuk dapur, hape ku kaberikan ke tanya ayah.
5
6. Lalu aku kembali ke ruang tamu untuk menyelesaikan
baccanku tadi.
Suara ayah waktu telpon memang agak nyaring.
Mungkin kadang-kadang malah menjadi seperti
berteriak, seperti berlomba-lomba dengan suara lawan
bicaranya. Keheningan sudah mulai pecah, diganti
kehangatan suara ayah dan sinar yang mulai menerjang
halaman depan rumah. Halaman yang tadinya gelap
sekarang mulai berwarna kejinggaan, matahari sudah
mulai terbit. Hawa dingin diganti dengan hawa hangat
yang begitu enak terasa di badan. Ini adalah salah satu
keajaiban pagi, yang menyimpan begitu banyak rahasia.
Terkadang aku duduk-duduk di lapangan luas untuk
menikmati suasana terbitnya matahari ini. Aku bisa
melihat perubahan warna langit yang begitu cepat ketika
matahari mulai muncul. Di Qur’an juga sering
disinggung tentang peristiwa terbit dan terbenamnya
matahari, dan sampai sekarang aku masih belum
menemukan jawabannya.
6
7. “Fiq, maringene berangkat”, kata Ayah
menyadarkanku dari lamunanku.
“Loh, tirose engken siang jam satu yah”
“Adek jaok ndang disosol. Nek budal engkok
kesuwen jarene.”
“Oh nggeh pun, mobile mboten sido diumbah?”
“Yo sido, maringene diumbah”.
Karena tau jadwal berubah, aku segera ganti
pakaian. Aku beresi bukuku dan pakaianku kumasukkan
tas untuk dibawa nanti.
Yang sedang ada dipikiranku saat itu bukan
perubahan jadwal ini, tetapi bagaimana kukatakan kepada
temanku tentang janjiku untuk nginap di rumahnya.
Namanya Roni, dia tinggal di Ponorogo tetapi berbeda
sisi dengan Gontot. Rencana awal, Aku sekeluarga
berangkat ke Ponorogo jam satu siang. Perjalanan dari
rumahku ke Ponorogo sekitar enam jam. Setelah isya aku
sudah sampai disana. Rencananya Roni ku sms untuk
dijemput dengan motor ke rumahnya, sedangkan ayah
7
8. dan ibu tetap di pondok, tidur di penginapan pondok
sambil menemani Ruri.
Akhirnya ku ambil hape, ku sms Roni, “Ri, aku g
sido nginep ya. Perubahan jadwal, ndadak”. Dia nggak
bales. Aku sudah nggak enak itu, rencana nginap itu
sudah direncanakan sejak tengah semester kemarin tetapi
masih belum keturutan. Dret dret, hapeku bergetar, ku
buka sms dari Roni, “Oh yo wes gpp”. Alhamdulillah, tu
anak emang baik, sebaik kebo yang disuruh mbajak
sawah berjam-jam. Hehe, kalo yang ini guyon. Tapi
bener baik kok dianya.
≈
Setelah semuanya sudah siap, ayah dan aku
memindah barang-barang ke mobil yang baru saja sudah
dicuci. Ibu sedang mandi karena dari tadi menyiapkan
masakan untuk bekal biar nggak usah jajan di luar. Di
mobil masih terlihat beberapa debu yang masih
menempel di beberapa kecil bagian akibat nyucinya tadi
tergesa-gesa. Debu ini sungguh mencolok karena sudah
8
9. nggak dicuci hampir dua bulan, terlihat sekali mana yang
bersih dan mana yang berdebu.
Beberapa kali aku dan ayah mondar mandir
membawa, pakaian, buku, alas plastik, dan makanan. Di
saat aku mengambil bawaannku yang terakhir, aku lihat
Ibu sudah shalat duha, artinya sebentar lagi kita
berangkat.
Alhamdulillah pagi itu benar cerah, tidak ada
awan mendung meski juga tidak terlalu panas. Hawanya
dingin-dingin angin semilir. Jalanan sudah mulai ramai
karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku starter
mobil kijang tua itu sambil membaca basmalah. Meski
tua tapi mesinnya masih stabil, larinya juga masih
kenceng dan sangat nyaman dikendarai. Ni mobil
kesukaan ayah, aku tau bener kebiasaan mobil ini sama
cara ngatasinnya, karena dari awal beli sampai sekarang
cuma aku saja yang mengendarai, ayah masih belum
punya waktu belajar mengemudi.
9
10. Kami berangkat dengan mengambil jalur lewat
mojokerto. Aku agak buru-buru karena takut kemalaman,
karena hari itu juga kami harus balik ke Pasuruan.
Beberapa mobil kulewati dengan ligas, ayah dan ibu
sudah biasa dengan gayaku itu, aku juga nyaman-nyaman
saja nyetir kenceng asal jalannya nggak terlalu ramai.
≈
Aku sudah melewati Mojokerto dan Jombang.
Sekarang mulai memasuki daerah Kertosono. Jam
menunjukkan pukul setengah satu. Tadi sempat macet
total di Japanan karena ada pengaliharn jalur yang
menuju Surabaya. Aku pacu mobil kenceng kenceng,
beberapa kali aku melihat mobil di pinggir jalan bersama
polisi. Ini pasti tilang, kasian juga pikirku. Kulirik ibuku
yang sedang memerhatikan polisi tersebut, ibuku paling
nggak suka dengan polisi, karena beberapa kali kena
tilang karena alasan yang kurang jelas sewaktu kulakan
di Surabaya.
10
11. Tidak berselang lama aku sudah memasuki
daerah Nganjuk. Ini jalur favoritku, karena jalanan lurus
panjang dengan kecepatan tinggi. Tapi sayangnya ini
bukan jalanan lebar, jadi kalau menyalip harus lewat di
jalur lawan arah. Itulah kelemahan ku, aku kurang berani
kalau aku harus menyalip dengan cara tersebut, sehingga
cukup menyebalkan bagiku kalau sedang berada di
belakang truk.
Ketika hampir seperempat jalan, ada truk besar di
depan, wah ini, nggak bisa jalan kenceng, aku belokkan
mobil sedikit ke kanan untuk melihat jalur satunya
sedang ada kendaraan atau kosong. Dan kosong, oke, aku
belokkan dan aku injak kencang pedal gas, lalu dengan
cepat aku masukkan ke gigi selanjutnya. Mobil berjalan
kenceng melewati truk tersebut. Lalu aku melaju lurus
mengikuti jalur.
Tidak selang beberapa lama, ada truk lagi, ada
juga mobil di belakang truk tersebut yang juga sepertinya
mencari kesempatan untuk menyalip. Aku buntuti mobil
itu di belakang. Tapi kok nggak nyalip nyalip ya, padahal
11
12. jalur satunya sedang kosong. Aku belokkan mobil ke
kanan, dan aku lakukan cara yang serupa, dengan cepat
aku sudah melewati mobil dan truk itu. Ketika sudah
berada di sisi depan truk dan akan belok ke kiri untuk
kembalik ke jalur, kulihat garis tengah yang tadinya
putus-putus sekarang sudah menjadi garis lurus
memanjang. Wah, gawat ini, garis ini artinya tidak boleh
menyalip. Dan ternyata benar, di depan sudah ada polisi
yang menunggu dengan mengendarai sepeda motornya
pelan-pelan. Dia melambaikan tangan menyuruh aku
minggir. Ah, tilang.
“Selamat pagi, boleh melihat surat-suratnya”.
Aku kasihkan SIM dan STNK,
“Anda tau kesalahnnya apa”
“Garis tengah itu Pak”. Jawabku agak sebel
karena curiga dengan kejadian ini.
“Iya, kalau garis lurus begitu tidak boleh
menyalip, kalau garis putus-putus boleh”
“Iya Pak”
Singkat cerita, uang 75 ribu melayang.
12
13. Ayah dan ibu agak kesal dengan kejadian itu,
yang dikesali bukan karena pelanggarannya, tapi karena
tarif 75 ribu yang terlalu banyak untuk melewati garis
lurus satu kali. Ayah dan Ibu juga paham aku tadi
ketlisut, bukan bermaksud dengan sengaja melewati garis
lurus itu.
Kami melanjutkan perjalanan. Masih ada yang
mengganjal di pikiranku. Kejadian itu agak aneh, tadi itu
bukan jalan belokan, bukan penyebrangan, dan juga tidak
ada jembatan, tapi kenapa harus ada garis lurus. Sambil
mengemudi agak pelan aku mengamati pola garis tengah
tersebut. Putus-putus, beberapa meter kemudian lurus,
aku juga mengamati karakter belokan dan rambu-rambu
sekitar jalan. Tidak ada rambu atau belokan yang berarti.
Wah ini. Garis pendek-pendek yang hanya beberapa
puluh meter, tidak cukup untuk mobil menyalip dengan
leluasa, karena hanya punya waktu yang cukup singkat
untuk kembali ke jalur semula sebelum garis lurus
selanjutnya. Dan yang membuatku cukup heran, kenapa
polisi cuma ada di daerah dengan garis lurus saja, dan
hampir setiap garis lurus. Ada yang aneh.
13
14. Dasar, aku kena ‘Ranjau Uang’.
≈
Akhirnya aku sampai di terminal Ponorogo,
beberapa belas kilo lagi aku sudah sampai di Pondok
Madani Gontor. Aku merasakan ada yang aneh ketika
aku sudah melewati belokan pertama menuju arah
pondok tersebut. Aku merasakan semacam aura yang
terpancar dari arah pondok itu. Seperti ada suatu sumber
yang memancarkan semacam energi. Ini beneran.
Semakin dekat pondok, aku semakin terasa. Aku lihat
sekeliling, iya ada yang berbeda dengan cahaya ini.
Sampai aku berada di pintu masuk pondok dan
aku mulai lupa dengan pemikiranku tadi, karena yang ada
di pikiranku adalah bertemu dengan adikku. Agak aneh
juga rasanya, aku yang dulunya suko nggudoi ternyata
ada rasa kangen juga. Padahal waktu yang kulalui juga
tidak banyak, karena kami masing-masing sibuk dengan
sekolah.
14
15. Mobil ku parkir di dekat penginapan pondok.
Ayah dan Ibuku keluar.
“Fiq, menengo kene ae, Ayah kate marani Ruri,
Fiqi menengo kene ae istirahato, nek isok bubuk. Engkok
bengi wes mbalek”, kata ayah.
“Oh nggeh yah”,
Ayah dan Ibu masuk ke area pondok. Aku di
mobil sendiri, ku tutup jendela untuk mengurangi sinar
yang masuk dari matahari sore. Aku rebahkan jok mobil
depan agar lebih enak untuk tidur. Aku pejamkan mata,
lalu terpikir olehku beberapa hal. Memang ini
kebiasaanku suka memikirkan hal-hal yang mungkin kata
orang tidak penting, aku suka sekali kedetilan sehingga
kalau bertanya sesuatu aku sering memberi pertanyaan
sampai ke empot-empotnya. Aku mulai melayang dengan
pikiranku itu, dan tersadar lagi.
“Susah amat mau tidur” pikirku.
15
16. Aku pejamkan mata lagi, dan begitu lagi.
Sampai aku terdengar suara adikku. Spontan aku
bangun dari jok yang merabah itu, ku lihat sosok anak
kurus agak tinggi yang sekarang kulitnya mulai
kecoklatan karena tersengat matahari, dengan rambut
pendek cekak gaya seperti tentara gadungan, jalannya
cepat.
“Ah itu Ruri”, kataku.
Ruri sudah agak berbeda dari sebelum mondok.
Dulu yang kulitnya putih dengan hidung agak mancung,
yang suka minum natur E, atau memakai pelembab kulit
dan sabun cuci muka berbagai macam, metrosexual juga
adikku ya, sekarang seperti menjadi pekerja keras dan
sigap.
“Rur!” panggilku
Adikku cuma mengerdip, dia memang orangnya
kurang bisa berekspresi.
16
17. “Mas duwe buku rur, lanjutane negeri 5 menara”
“Ranah 3 Warna kan?” jawabnya
“Kok ngerti kon?”
“Iyo wong aku tuku”
Dasar, Ayah, aku, dan adikku ternya sama saja.
Semuanya seperti nggak tahan ngeliat buku bagus. Kalau
ada uang lebih ingin beli saja. Jangan-jangan di gen kita
ada satu gen namanya gen BL, Book Lover. Pernah dulu
sewaktu ayahku kuliah, karena alasan tertentu beliau
harus cuti di suatu semester. Uang SPP yang sudah
dibayarkan di ambil kembali dengan bantuan beberapa
teman beliau. Uang itu hasil kerja beliau, karena beliau
cari uang sendiri, tidak menggantung kepada orang tua.
Seharusnya, uang itu disimpan untuk membayar SPP
semester depan. Tapi apa, waktu itu ada bazar buku di
alun-alun Malang, beliau ke situ, dan memakai uang SPP
tadi untuk membeli buku-buku di situ. Persis aku banget
ini, kalau sudah ketemu buku bagus sudah nggak mikir
lagi mau gimana besok, besok lusa, pokoknya beli dulu.
Dan sehabis itu beneran agak ketetran.
17
18. “Mas iki lo onok kaos Gontor” kata adikku
menyadarkanku dari lamunanku
“Wah gaya rek” kataku “Stiker e endi?”, aku
pernah titip stiker Gontor ke dia
“Onok telu”
“Oke siip”
“Wes ndang bubuk, istirahat. Ruri kene maem
disek, ibuk mbeto Kentaki.” kata Ibuku menyuruhku
istirahat. “Nggeh buk”.
Warna benda-benda di luar mobil sudah berubah.
Sinar yang tadinya berwarna kekuningan sudah hilang,
tergantikan dengan hawa dingin yang sedikit membuatku
bergidik. Ku lihat jam digital yang ada di dashboard
mobil yang sekarang menunjukkan angka lima dua belas.
Ku ambil hape di sakuku dan kulihat ada beberapa sms
masuk, jarkom, dan sms dari teman dekat. Aku mencoba
memejamkan mata, merasa puas telah bertemu
saudaraku. Rasa yang tadinya sedikit menggandol di
hatiku sudah hilang. Aku mendengar cakap-cakap kangen
dari ayah dan ibuku, sedikit diwarnai dengan tawa .
18
19. Aku tersenyum sendiri. Dan tidak terasa, dengan
sekejap aku sudah hanyut ke alam mimpi.
≈
19