SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
Download to read offline
Trip to The Country of 5 Towers
  (Perjalanan ke Negeri 5 Menara)




       Muhammad Taufiqi




Sebuah Cerpen tentang Kisah Nyata




                1
Hari itu cuaca cerah, tidak terdengar rintik-rintik
hujan di luar rumah. Aku terbangun dengan sedikit
kedinginan, jam di kamarku masih menunjukkan pukul
tiga. Aku buka selambu jendela kamarku, ku lihat langit
masih hitam berkilat-kilat kebiruan, dihiasi sedikit awan-
awan putih tipis yang sekarang terlihat abu-abu. Halaman
rumah agak basah bekas hujan kemarin sore. Semoga
hari ini tidak hujan, karena hari ini aku sekeluarga mau
ke ponorogo, untuk menjemput adikku yang di Gontor.


       Tidak kusangka juga adikku sekarang sudah pergi
ke pondok. Masih teringat beberapa kenangan kemarin,
aku jailin dia dengan berbagai cara, waktu dia mandi aku
buka pintu kamar mandi dari luar, dengan kunci
cadangan tentunya, atau waktu tidur nyenyak-nyenyak
aku jejeri dan aku ganggu dia sampai marah-marah.
Sekarang satu anggota rumah di luar kota, ya memang
tidak sepi karena aku masih sering guyon-guyon sama
ibu atau ayah, tapi masih aja terasa ada yang berbeda.
Kuliahat jam dinding sudah lima belas menit berlalu,
sebaiknya aku shalat sekarang.


                            2
≈


       Ayam sudah berkokok, kututub Qur’an yang dulu
biasanya ku pakai sewaktu belajar di Taman Pendidikan
Qur’an, ayah dan ibu sudah datang dari masjid. Seperti
biasa aku buka laptop, untuk menjelajahi dunia maya
dengan bermodal hape cina. Aku memang sengaja
mencari waktu pagi karena operator sedang cepat-
cepatnya mentransfer data.


       Aku    buka   facebook,   untuk   melihat   ada
notification apa kemarin, update status-status galau,
ngeshare gombalan-gombalan yang ku karang, atau
hanya ingin melihat status-status teman yang terkadang
membuat aku tertawa sendiri.


       “Fiq, kopi”, suara ibuku dari dapur yang setiap
hari membuatkan aku dan ayah kopi buatan sendiri.
“Nggeh buk” jawabku masih di depan laptop. Sudah
merasa agak bosan aku tutup laptop, lau pergi ke
belakang, mau menggoda ibuku.


                             3
“Buk, engken pun nangis lo buk, engken kaet
tutuk misep misep”, ibuku menjawab, “Wak nek Fiqi, ya
mboten Fiq”. Ayah menyaut yang masih di ruang tengah
dengan membawa Qur’an besarnya, “Enggak Fiq nek
ibuk, wingi tepak nang rono yo g popo”. Sambil
tersenyum sedikit menggoda aku ambil kopi hitam
faforitku itu ke ruang tamu, lalu ku ambil buku faforitku
dan ku baca beberapa halaman. Sedikit hening suasana
subuh itu, cukup membuatku sedikit terkantuk-kantuk di
sofa depan. Lalu kuseruput kopi hitamku agar kantukku
sedikit hilang. Di keluargaku ada beberapa kebiasaan
yang sudah dibuat sejak aku masih kecil, salah satunya
tidak tidur setelah subuh. Jadi kurang enak aja kalau aku
sampai tertidur.


       Tiba-tiba   suara   hape    berbunyi    memecah
keheningan, hapeku berbunyi dipanggil oleh nomor tak
dikenal, aku lihat itu nomor nggak pernah aku tahu.
“Siapa ya,” pikirku. Lalu ku angkat, dan bilang
“Assalamu’alaikum halo”, tidak ada jawaban. “Sinten
niki?”, masih juga tidak ada jawaban. Lalu aku tutup


                           4
panggilannya. “Ah mungkin nomor iseng atau nggak
salah nomer”.


       Nomor itu memanggil lagi, “Halo, niki sinten?”,
trus ada jawaban dengan suara pendek yang nggak begitu
jelas “Uuuiii...”, “Sinten?”, “Ruri...”. Ternyata itu
adikku, mungkin dia sedang pinjam hape ustadnya atau
menyewa di wartel pondok. Memang biasanya dia telpon
untuk mengabari sesuatu, atau untuk meminta doa karena
akan ujian. “Oalah awakmu ta rur,” “Tilpun balik”,
“Opo?”, “Tilpunen balik”, “Oalah iyo”, hape segera
kumatikan. Lalu dengan langkah cepat aku pergi ke
belakang.


       “Buk, Ruri telpon. Sakniki dikengken telpon
balek. Kulo tilpunaken sakniki”
       “Paringaken Ayah ae Fiq”, kata ibuku
       “Oh nggeh”


       Terdengar bunyi tut panggilan keluar, Ayah yang
barusan mendengar percakapan aku dan ibu, sudah ada di
pintu masuk dapur, hape ku kaberikan ke tanya ayah.

                           5
Lalu aku kembali ke ruang tamu untuk menyelesaikan
baccanku tadi.


       Suara ayah waktu telpon memang agak nyaring.
Mungkin    kadang-kadang         malah   menjadi      seperti
berteriak, seperti berlomba-lomba dengan suara lawan
bicaranya. Keheningan sudah mulai pecah, diganti
kehangatan suara ayah dan sinar yang mulai menerjang
halaman depan rumah. Halaman yang tadinya gelap
sekarang mulai berwarna kejinggaan,        matahari sudah
mulai terbit. Hawa dingin diganti dengan hawa hangat
yang begitu enak terasa di badan. Ini adalah salah satu
keajaiban pagi, yang menyimpan begitu banyak rahasia.
Terkadang aku duduk-duduk di lapangan luas untuk
menikmati suasana terbitnya matahari ini. Aku bisa
melihat perubahan warna langit yang begitu cepat ketika
matahari   mulai   muncul.       Di   Qur’an   juga   sering
disinggung tentang peristiwa terbit dan terbenamnya
matahari, dan sampai sekarang aku masih belum
menemukan jawabannya.




                             6
“Fiq,   maringene         berangkat”,   kata   Ayah
menyadarkanku dari lamunanku.
       “Loh, tirose engken siang jam satu yah”
       “Adek jaok ndang disosol. Nek budal engkok
kesuwen jarene.”
       “Oh nggeh pun, mobile mboten sido diumbah?”
       “Yo sido, maringene diumbah”.


       Karena tau jadwal berubah, aku segera ganti
pakaian. Aku beresi bukuku dan pakaianku kumasukkan
tas untuk dibawa nanti.


       Yang sedang ada dipikiranku saat itu bukan
perubahan jadwal ini, tetapi bagaimana kukatakan kepada
temanku tentang janjiku untuk nginap di rumahnya.
Namanya Roni, dia tinggal di Ponorogo tetapi berbeda
sisi dengan Gontot.       Rencana awal, Aku sekeluarga
berangkat ke Ponorogo jam satu siang. Perjalanan dari
rumahku ke Ponorogo sekitar enam jam. Setelah isya aku
sudah sampai disana. Rencananya Roni ku sms untuk
dijemput dengan motor ke rumahnya, sedangkan ayah


                             7
dan ibu tetap di pondok, tidur di penginapan pondok
sambil menemani Ruri.


       Akhirnya ku ambil hape, ku sms Roni, “Ri, aku g
sido nginep ya. Perubahan jadwal, ndadak”. Dia nggak
bales. Aku sudah nggak enak itu, rencana nginap itu
sudah direncanakan sejak tengah semester kemarin tetapi
masih belum keturutan. Dret dret, hapeku bergetar, ku
buka sms dari Roni, “Oh yo wes gpp”. Alhamdulillah, tu
anak emang baik, sebaik kebo yang disuruh mbajak
sawah berjam-jam. Hehe, kalo yang ini guyon. Tapi
bener baik kok dianya.


                          ≈


       Setelah semuanya sudah siap, ayah dan aku
memindah barang-barang ke mobil yang baru saja sudah
dicuci. Ibu sedang mandi karena dari tadi menyiapkan
masakan untuk bekal biar nggak usah jajan di luar. Di
mobil masih terlihat beberapa debu yang masih
menempel di beberapa kecil bagian akibat nyucinya tadi
tergesa-gesa. Debu ini sungguh mencolok karena sudah

                          8
nggak dicuci hampir dua bulan, terlihat sekali mana yang
bersih dan mana yang berdebu.


       Beberapa kali aku dan ayah mondar mandir
membawa, pakaian, buku, alas plastik, dan makanan. Di
saat aku mengambil bawaannku yang terakhir, aku lihat
Ibu sudah shalat duha, artinya sebentar lagi kita
berangkat.


       Alhamdulillah pagi itu benar cerah, tidak ada
awan mendung meski juga tidak terlalu panas. Hawanya
dingin-dingin angin semilir. Jalanan sudah mulai ramai
karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku starter
mobil kijang tua itu sambil membaca basmalah. Meski
tua tapi mesinnya masih stabil, larinya juga masih
kenceng dan sangat nyaman dikendarai. Ni mobil
kesukaan ayah, aku tau bener kebiasaan mobil ini sama
cara ngatasinnya, karena dari awal beli sampai sekarang
cuma aku saja yang mengendarai, ayah masih belum
punya waktu belajar mengemudi.




                           9
Kami berangkat dengan mengambil jalur lewat
mojokerto. Aku agak buru-buru karena takut kemalaman,
karena hari itu juga kami harus balik ke Pasuruan.
Beberapa mobil kulewati dengan ligas, ayah dan ibu
sudah biasa dengan gayaku itu, aku juga nyaman-nyaman
saja nyetir kenceng asal jalannya nggak terlalu ramai.


                                               ≈


       Aku sudah melewati Mojokerto dan Jombang.
Sekarang mulai memasuki daerah Kertosono. Jam
menunjukkan pukul setengah satu. Tadi sempat macet
total di Japanan karena ada pengaliharn jalur yang
menuju Surabaya. Aku pacu mobil kenceng kenceng,
beberapa kali aku melihat mobil di pinggir jalan bersama
polisi. Ini pasti tilang, kasian juga pikirku. Kulirik ibuku
yang sedang memerhatikan polisi tersebut, ibuku paling
nggak suka dengan polisi, karena beberapa kali kena
tilang karena alasan yang kurang jelas sewaktu kulakan
di Surabaya.




                            10
Tidak berselang lama aku sudah memasuki
daerah Nganjuk. Ini jalur favoritku, karena jalanan lurus
panjang dengan kecepatan tinggi. Tapi sayangnya ini
bukan jalanan lebar, jadi kalau menyalip harus lewat di
jalur lawan arah. Itulah kelemahan ku, aku kurang berani
kalau aku harus menyalip dengan cara tersebut, sehingga
cukup menyebalkan bagiku kalau sedang berada di
belakang truk.


       Ketika hampir seperempat jalan, ada truk besar di
depan, wah ini, nggak bisa jalan kenceng, aku belokkan
mobil sedikit ke kanan untuk melihat jalur satunya
sedang ada kendaraan atau kosong. Dan kosong, oke, aku
belokkan dan aku injak kencang pedal gas, lalu dengan
cepat aku masukkan ke gigi selanjutnya. Mobil berjalan
kenceng melewati truk tersebut. Lalu aku melaju lurus
mengikuti jalur.


       Tidak selang beberapa lama, ada truk lagi, ada
juga mobil di belakang truk tersebut yang juga sepertinya
mencari kesempatan untuk menyalip. Aku buntuti mobil
itu di belakang. Tapi kok nggak nyalip nyalip ya, padahal

                           11
jalur satunya sedang kosong. Aku belokkan mobil ke
kanan, dan aku lakukan cara yang serupa, dengan cepat
aku sudah melewati mobil dan truk itu. Ketika sudah
berada di sisi depan truk dan akan belok ke kiri untuk
kembalik ke jalur, kulihat garis tengah yang tadinya
putus-putus   sekarang   sudah       menjadi   garis   lurus
memanjang. Wah, gawat ini, garis ini artinya tidak boleh
menyalip. Dan ternyata benar, di depan sudah ada polisi
yang menunggu dengan mengendarai sepeda motornya
pelan-pelan. Dia melambaikan tangan menyuruh aku
minggir. Ah, tilang.


        “Selamat pagi, boleh melihat surat-suratnya”.
       Aku kasihkan SIM dan STNK,
        “Anda tau kesalahnnya apa”
         “Garis tengah itu Pak”. Jawabku agak sebel
karena curiga dengan kejadian ini.
         “Iya, kalau garis lurus begitu tidak boleh
menyalip, kalau garis putus-putus boleh”
        “Iya Pak”
       Singkat cerita, uang 75 ribu melayang.


                           12
Ayah dan ibu agak kesal dengan kejadian itu,
yang dikesali bukan karena pelanggarannya, tapi karena
tarif 75 ribu yang terlalu banyak untuk melewati garis
lurus satu kali. Ayah dan Ibu juga paham aku tadi
ketlisut, bukan bermaksud dengan sengaja melewati garis
lurus itu.


        Kami melanjutkan perjalanan. Masih ada yang
mengganjal di pikiranku. Kejadian itu agak aneh, tadi itu
bukan jalan belokan, bukan penyebrangan, dan juga tidak
ada jembatan, tapi kenapa harus ada garis lurus. Sambil
mengemudi agak pelan aku mengamati pola garis tengah
tersebut. Putus-putus, beberapa meter kemudian lurus,
aku juga mengamati karakter belokan dan rambu-rambu
sekitar jalan. Tidak ada rambu atau belokan yang berarti.
Wah ini. Garis pendek-pendek yang hanya beberapa
puluh meter, tidak cukup untuk mobil menyalip dengan
leluasa, karena hanya punya waktu yang cukup singkat
untuk kembali ke jalur semula sebelum garis lurus
selanjutnya. Dan yang membuatku cukup heran, kenapa
polisi cuma ada di daerah dengan garis lurus saja, dan
hampir setiap garis lurus. Ada yang aneh.

                           13
Dasar, aku kena ‘Ranjau Uang’.


                            ≈


       Akhirnya aku sampai di terminal Ponorogo,
beberapa belas kilo lagi aku sudah sampai di Pondok
Madani Gontor. Aku merasakan ada yang aneh ketika
aku sudah melewati belokan pertama menuju arah
pondok tersebut. Aku merasakan semacam aura yang
terpancar dari arah pondok itu. Seperti ada suatu sumber
yang memancarkan semacam energi. Ini beneran.
Semakin dekat pondok, aku semakin terasa. Aku lihat
sekeliling, iya ada yang berbeda dengan cahaya ini.


       Sampai aku berada di pintu masuk pondok dan
aku mulai lupa dengan pemikiranku tadi, karena yang ada
di pikiranku adalah bertemu dengan adikku. Agak aneh
juga rasanya, aku yang dulunya suko nggudoi ternyata
ada rasa kangen juga. Padahal waktu yang kulalui juga
tidak banyak, karena kami masing-masing sibuk dengan
sekolah.

                           14
Mobil ku parkir di dekat penginapan pondok.
Ayah dan Ibuku keluar.


         “Fiq, menengo kene ae, Ayah kate marani Ruri,
Fiqi menengo kene ae istirahato, nek isok bubuk. Engkok
bengi wes mbalek”, kata ayah.
        “Oh nggeh yah”,




        Ayah dan Ibu masuk ke area pondok. Aku di
mobil sendiri, ku tutup jendela untuk mengurangi sinar
yang masuk dari matahari sore. Aku rebahkan jok mobil
depan agar lebih enak untuk tidur. Aku pejamkan mata,
lalu   terpikir   olehku   beberapa   hal.   Memang   ini
kebiasaanku suka memikirkan hal-hal yang mungkin kata
orang tidak penting, aku suka sekali kedetilan sehingga
kalau bertanya sesuatu aku sering memberi pertanyaan
sampai ke empot-empotnya. Aku mulai melayang dengan
pikiranku itu, dan tersadar lagi.


        “Susah amat mau tidur” pikirku.

                             15
Aku pejamkan mata lagi, dan begitu lagi.


         Sampai aku terdengar suara adikku. Spontan aku
bangun dari jok yang merabah itu, ku lihat sosok anak
kurus agak tinggi yang sekarang kulitnya mulai
kecoklatan karena tersengat matahari, dengan rambut
pendek cekak gaya seperti tentara gadungan, jalannya
cepat.


         “Ah itu Ruri”, kataku.


         Ruri sudah agak berbeda dari sebelum mondok.
Dulu yang kulitnya putih dengan hidung agak mancung,
yang suka minum natur E, atau memakai pelembab kulit
dan sabun cuci muka berbagai macam, metrosexual juga
adikku ya, sekarang seperti menjadi pekerja keras dan
sigap.


         “Rur!” panggilku
         Adikku cuma mengerdip, dia memang orangnya
kurang bisa berekspresi.

                            16
“Mas duwe buku rur, lanjutane negeri 5 menara”
        “Ranah 3 Warna kan?” jawabnya
        “Kok ngerti kon?”
        “Iyo wong aku tuku”


       Dasar, Ayah, aku, dan adikku ternya sama saja.
Semuanya seperti nggak tahan ngeliat buku bagus. Kalau
ada uang lebih ingin beli saja. Jangan-jangan di gen kita
ada satu gen namanya gen BL, Book Lover. Pernah dulu
sewaktu ayahku kuliah, karena alasan tertentu beliau
harus cuti di suatu semester. Uang SPP yang sudah
dibayarkan di ambil kembali dengan bantuan beberapa
teman beliau. Uang itu hasil kerja beliau, karena beliau
cari uang sendiri, tidak menggantung kepada orang tua.
Seharusnya, uang itu disimpan untuk membayar SPP
semester depan. Tapi apa, waktu itu ada bazar buku di
alun-alun Malang, beliau ke situ, dan memakai uang SPP
tadi untuk membeli buku-buku di situ. Persis aku banget
ini, kalau sudah ketemu buku bagus sudah nggak mikir
lagi mau gimana besok, besok lusa, pokoknya beli dulu.
Dan sehabis itu beneran agak ketetran.


                            17
“Mas iki lo onok kaos Gontor” kata adikku
menyadarkanku dari lamunanku
         “Wah gaya rek” kataku “Stiker e endi?”, aku
pernah titip stiker Gontor ke dia
        “Onok telu”
        “Oke siip”
        “Wes ndang bubuk, istirahat. Ruri kene maem
disek, ibuk mbeto Kentaki.” kata       Ibuku menyuruhku
istirahat. “Nggeh buk”.


       Warna benda-benda di luar mobil sudah berubah.
Sinar yang tadinya berwarna kekuningan sudah hilang,
tergantikan dengan hawa dingin yang sedikit membuatku
bergidik. Ku lihat jam digital yang ada di dashboard
mobil yang sekarang menunjukkan angka lima dua belas.
Ku ambil hape di sakuku dan kulihat ada beberapa sms
masuk, jarkom, dan sms dari teman dekat. Aku mencoba
memejamkan      mata,     merasa    puas   telah   bertemu
saudaraku. Rasa yang tadinya sedikit menggandol di
hatiku sudah hilang. Aku mendengar cakap-cakap kangen
dari ayah dan ibuku, sedikit diwarnai dengan tawa .


                            18
Aku tersenyum sendiri. Dan tidak terasa, dengan
sekejap aku sudah hanyut ke alam mimpi.


                          ≈




                         19

More Related Content

What's hot

Kumpulan Teks Anekdot
Kumpulan Teks AnekdotKumpulan Teks Anekdot
Kumpulan Teks AnekdotFirdika Arini
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Karangan kelas 6 a7
Karangan kelas 6 a7Karangan kelas 6 a7
Karangan kelas 6 a7An Hawa
 
Sepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitamSepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitamGiffar Izzany
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 

What's hot (20)

Kumpulan Teks Anekdot
Kumpulan Teks AnekdotKumpulan Teks Anekdot
Kumpulan Teks Anekdot
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Karangan kelas 6 a7
Karangan kelas 6 a7Karangan kelas 6 a7
Karangan kelas 6 a7
 
Sepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitamSepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitam
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 

Viewers also liked

Veryday Service Design Whitepaper
Veryday Service Design WhitepaperVeryday Service Design Whitepaper
Veryday Service Design WhitepaperbyVeryday
 
Street art
Street artStreet art
Street artKyleH250
 
Questionnaire analysis
Questionnaire analysisQuestionnaire analysis
Questionnaire analysisSindujan94
 
Biologi Projekt om HIV
Biologi Projekt om HIVBiologi Projekt om HIV
Biologi Projekt om HIVHe1n
 
English250 power point
English250 power pointEnglish250 power point
English250 power pointKyleH250
 
Hoover эльдо 2015
Hoover эльдо 2015 Hoover эльдо 2015
Hoover эльдо 2015 freshmarketing
 
About Me
About MeAbout Me
About Merpfran2
 
The Form I 9 Compliance and E Verify
The Form I 9 Compliance and E VerifyThe Form I 9 Compliance and E Verify
The Form I 9 Compliance and E VerifyLauren Shreve
 
Huawei partners meeting
Huawei partners meetingHuawei partners meeting
Huawei partners meetingfreshmarketing
 

Viewers also liked (17)

Veryday Service Design Whitepaper
Veryday Service Design WhitepaperVeryday Service Design Whitepaper
Veryday Service Design Whitepaper
 
Street art
Street artStreet art
Street art
 
Witboek Loon Naar Leren
Witboek Loon Naar LerenWitboek Loon Naar Leren
Witboek Loon Naar Leren
 
Independentstore
IndependentstoreIndependentstore
Independentstore
 
Questionnaire analysis
Questionnaire analysisQuestionnaire analysis
Questionnaire analysis
 
Biologi Projekt om HIV
Biologi Projekt om HIVBiologi Projekt om HIV
Biologi Projekt om HIV
 
English250 power point
English250 power pointEnglish250 power point
English250 power point
 
Hoover эльдо 2015
Hoover эльдо 2015 Hoover эльдо 2015
Hoover эльдо 2015
 
Install
InstallInstall
Install
 
M Powerbook Jong Talent
M Powerbook Jong TalentM Powerbook Jong Talent
M Powerbook Jong Talent
 
Haiti
HaitiHaiti
Haiti
 
Compu
CompuCompu
Compu
 
About Me
About MeAbout Me
About Me
 
Office 2013 gdis
Office 2013 gdisOffice 2013 gdis
Office 2013 gdis
 
Periodo de adaptación
Periodo de adaptaciónPeriodo de adaptación
Periodo de adaptación
 
The Form I 9 Compliance and E Verify
The Form I 9 Compliance and E VerifyThe Form I 9 Compliance and E Verify
The Form I 9 Compliance and E Verify
 
Huawei partners meeting
Huawei partners meetingHuawei partners meeting
Huawei partners meeting
 

Similar to Perjalanan ke Negeri 5 Menara

Penantian ibu saat 21 mei 2006 (iqbal latief)
Penantian ibu saat 21 mei 2006 (iqbal latief)Penantian ibu saat 21 mei 2006 (iqbal latief)
Penantian ibu saat 21 mei 2006 (iqbal latief)Arvinoor Siregar SH MH
 
Karangan kelas 6 a7
Karangan kelas 6 a7Karangan kelas 6 a7
Karangan kelas 6 a7An Hawa
 
Mayasari punya story
Mayasari punya storyMayasari punya story
Mayasari punya storymayasarims
 
Juara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid IIJuara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid IIdevunira
 
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa FadilaStruktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadilanadyaera24
 
Kado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bundaKado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bundaReza Mahendra
 
Cerpen -our tale
Cerpen -our taleCerpen -our tale
Cerpen -our taleismintan
 
Cerpen Pengalaman Pribadi
Cerpen Pengalaman PribadiCerpen Pengalaman Pribadi
Cerpen Pengalaman PribadiDevi Putri
 
Berhutang pada sang garuda
Berhutang pada sang garudaBerhutang pada sang garuda
Berhutang pada sang garudaDelina Rahayu
 
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasicerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasiHendryPutrihijau
 

Similar to Perjalanan ke Negeri 5 Menara (18)

#Misi21
#Misi21#Misi21
#Misi21
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Penantian ibu saat 21 mei 2006 (iqbal latief)
Penantian ibu saat 21 mei 2006 (iqbal latief)Penantian ibu saat 21 mei 2006 (iqbal latief)
Penantian ibu saat 21 mei 2006 (iqbal latief)
 
Karangan kelas 6 a7
Karangan kelas 6 a7Karangan kelas 6 a7
Karangan kelas 6 a7
 
Dwi ariyanto
Dwi ariyantoDwi ariyanto
Dwi ariyanto
 
Mayasari punya story
Mayasari punya storyMayasari punya story
Mayasari punya story
 
Juara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid IIJuara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid II
 
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa FadilaStruktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
 
NOVEL ESTERRRR.ppt
NOVEL ESTERRRR.pptNOVEL ESTERRRR.ppt
NOVEL ESTERRRR.ppt
 
Kado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bundaKado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bunda
 
Cerpen -our tale
Cerpen -our taleCerpen -our tale
Cerpen -our tale
 
Cerpen Pengalaman Pribadi
Cerpen Pengalaman PribadiCerpen Pengalaman Pribadi
Cerpen Pengalaman Pribadi
 
Berhutang pada sang garuda
Berhutang pada sang garudaBerhutang pada sang garuda
Berhutang pada sang garuda
 
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasicerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
 
Kejutan ulang tahun
Kejutan ulang tahunKejutan ulang tahun
Kejutan ulang tahun
 
Kelompok borobudur
Kelompok  borobudurKelompok  borobudur
Kelompok borobudur
 
Mentari mulai terbi1
Mentari mulai terbi1Mentari mulai terbi1
Mentari mulai terbi1
 
Mentari mulai terbi1
Mentari mulai terbi1Mentari mulai terbi1
Mentari mulai terbi1
 

Perjalanan ke Negeri 5 Menara

  • 1. Trip to The Country of 5 Towers (Perjalanan ke Negeri 5 Menara) Muhammad Taufiqi Sebuah Cerpen tentang Kisah Nyata 1
  • 2. Hari itu cuaca cerah, tidak terdengar rintik-rintik hujan di luar rumah. Aku terbangun dengan sedikit kedinginan, jam di kamarku masih menunjukkan pukul tiga. Aku buka selambu jendela kamarku, ku lihat langit masih hitam berkilat-kilat kebiruan, dihiasi sedikit awan- awan putih tipis yang sekarang terlihat abu-abu. Halaman rumah agak basah bekas hujan kemarin sore. Semoga hari ini tidak hujan, karena hari ini aku sekeluarga mau ke ponorogo, untuk menjemput adikku yang di Gontor. Tidak kusangka juga adikku sekarang sudah pergi ke pondok. Masih teringat beberapa kenangan kemarin, aku jailin dia dengan berbagai cara, waktu dia mandi aku buka pintu kamar mandi dari luar, dengan kunci cadangan tentunya, atau waktu tidur nyenyak-nyenyak aku jejeri dan aku ganggu dia sampai marah-marah. Sekarang satu anggota rumah di luar kota, ya memang tidak sepi karena aku masih sering guyon-guyon sama ibu atau ayah, tapi masih aja terasa ada yang berbeda. Kuliahat jam dinding sudah lima belas menit berlalu, sebaiknya aku shalat sekarang. 2
  • 3. Ayam sudah berkokok, kututub Qur’an yang dulu biasanya ku pakai sewaktu belajar di Taman Pendidikan Qur’an, ayah dan ibu sudah datang dari masjid. Seperti biasa aku buka laptop, untuk menjelajahi dunia maya dengan bermodal hape cina. Aku memang sengaja mencari waktu pagi karena operator sedang cepat- cepatnya mentransfer data. Aku buka facebook, untuk melihat ada notification apa kemarin, update status-status galau, ngeshare gombalan-gombalan yang ku karang, atau hanya ingin melihat status-status teman yang terkadang membuat aku tertawa sendiri. “Fiq, kopi”, suara ibuku dari dapur yang setiap hari membuatkan aku dan ayah kopi buatan sendiri. “Nggeh buk” jawabku masih di depan laptop. Sudah merasa agak bosan aku tutup laptop, lau pergi ke belakang, mau menggoda ibuku. 3
  • 4. “Buk, engken pun nangis lo buk, engken kaet tutuk misep misep”, ibuku menjawab, “Wak nek Fiqi, ya mboten Fiq”. Ayah menyaut yang masih di ruang tengah dengan membawa Qur’an besarnya, “Enggak Fiq nek ibuk, wingi tepak nang rono yo g popo”. Sambil tersenyum sedikit menggoda aku ambil kopi hitam faforitku itu ke ruang tamu, lalu ku ambil buku faforitku dan ku baca beberapa halaman. Sedikit hening suasana subuh itu, cukup membuatku sedikit terkantuk-kantuk di sofa depan. Lalu kuseruput kopi hitamku agar kantukku sedikit hilang. Di keluargaku ada beberapa kebiasaan yang sudah dibuat sejak aku masih kecil, salah satunya tidak tidur setelah subuh. Jadi kurang enak aja kalau aku sampai tertidur. Tiba-tiba suara hape berbunyi memecah keheningan, hapeku berbunyi dipanggil oleh nomor tak dikenal, aku lihat itu nomor nggak pernah aku tahu. “Siapa ya,” pikirku. Lalu ku angkat, dan bilang “Assalamu’alaikum halo”, tidak ada jawaban. “Sinten niki?”, masih juga tidak ada jawaban. Lalu aku tutup 4
  • 5. panggilannya. “Ah mungkin nomor iseng atau nggak salah nomer”. Nomor itu memanggil lagi, “Halo, niki sinten?”, trus ada jawaban dengan suara pendek yang nggak begitu jelas “Uuuiii...”, “Sinten?”, “Ruri...”. Ternyata itu adikku, mungkin dia sedang pinjam hape ustadnya atau menyewa di wartel pondok. Memang biasanya dia telpon untuk mengabari sesuatu, atau untuk meminta doa karena akan ujian. “Oalah awakmu ta rur,” “Tilpun balik”, “Opo?”, “Tilpunen balik”, “Oalah iyo”, hape segera kumatikan. Lalu dengan langkah cepat aku pergi ke belakang. “Buk, Ruri telpon. Sakniki dikengken telpon balek. Kulo tilpunaken sakniki” “Paringaken Ayah ae Fiq”, kata ibuku “Oh nggeh” Terdengar bunyi tut panggilan keluar, Ayah yang barusan mendengar percakapan aku dan ibu, sudah ada di pintu masuk dapur, hape ku kaberikan ke tanya ayah. 5
  • 6. Lalu aku kembali ke ruang tamu untuk menyelesaikan baccanku tadi. Suara ayah waktu telpon memang agak nyaring. Mungkin kadang-kadang malah menjadi seperti berteriak, seperti berlomba-lomba dengan suara lawan bicaranya. Keheningan sudah mulai pecah, diganti kehangatan suara ayah dan sinar yang mulai menerjang halaman depan rumah. Halaman yang tadinya gelap sekarang mulai berwarna kejinggaan, matahari sudah mulai terbit. Hawa dingin diganti dengan hawa hangat yang begitu enak terasa di badan. Ini adalah salah satu keajaiban pagi, yang menyimpan begitu banyak rahasia. Terkadang aku duduk-duduk di lapangan luas untuk menikmati suasana terbitnya matahari ini. Aku bisa melihat perubahan warna langit yang begitu cepat ketika matahari mulai muncul. Di Qur’an juga sering disinggung tentang peristiwa terbit dan terbenamnya matahari, dan sampai sekarang aku masih belum menemukan jawabannya. 6
  • 7. “Fiq, maringene berangkat”, kata Ayah menyadarkanku dari lamunanku. “Loh, tirose engken siang jam satu yah” “Adek jaok ndang disosol. Nek budal engkok kesuwen jarene.” “Oh nggeh pun, mobile mboten sido diumbah?” “Yo sido, maringene diumbah”. Karena tau jadwal berubah, aku segera ganti pakaian. Aku beresi bukuku dan pakaianku kumasukkan tas untuk dibawa nanti. Yang sedang ada dipikiranku saat itu bukan perubahan jadwal ini, tetapi bagaimana kukatakan kepada temanku tentang janjiku untuk nginap di rumahnya. Namanya Roni, dia tinggal di Ponorogo tetapi berbeda sisi dengan Gontot. Rencana awal, Aku sekeluarga berangkat ke Ponorogo jam satu siang. Perjalanan dari rumahku ke Ponorogo sekitar enam jam. Setelah isya aku sudah sampai disana. Rencananya Roni ku sms untuk dijemput dengan motor ke rumahnya, sedangkan ayah 7
  • 8. dan ibu tetap di pondok, tidur di penginapan pondok sambil menemani Ruri. Akhirnya ku ambil hape, ku sms Roni, “Ri, aku g sido nginep ya. Perubahan jadwal, ndadak”. Dia nggak bales. Aku sudah nggak enak itu, rencana nginap itu sudah direncanakan sejak tengah semester kemarin tetapi masih belum keturutan. Dret dret, hapeku bergetar, ku buka sms dari Roni, “Oh yo wes gpp”. Alhamdulillah, tu anak emang baik, sebaik kebo yang disuruh mbajak sawah berjam-jam. Hehe, kalo yang ini guyon. Tapi bener baik kok dianya. ≈ Setelah semuanya sudah siap, ayah dan aku memindah barang-barang ke mobil yang baru saja sudah dicuci. Ibu sedang mandi karena dari tadi menyiapkan masakan untuk bekal biar nggak usah jajan di luar. Di mobil masih terlihat beberapa debu yang masih menempel di beberapa kecil bagian akibat nyucinya tadi tergesa-gesa. Debu ini sungguh mencolok karena sudah 8
  • 9. nggak dicuci hampir dua bulan, terlihat sekali mana yang bersih dan mana yang berdebu. Beberapa kali aku dan ayah mondar mandir membawa, pakaian, buku, alas plastik, dan makanan. Di saat aku mengambil bawaannku yang terakhir, aku lihat Ibu sudah shalat duha, artinya sebentar lagi kita berangkat. Alhamdulillah pagi itu benar cerah, tidak ada awan mendung meski juga tidak terlalu panas. Hawanya dingin-dingin angin semilir. Jalanan sudah mulai ramai karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku starter mobil kijang tua itu sambil membaca basmalah. Meski tua tapi mesinnya masih stabil, larinya juga masih kenceng dan sangat nyaman dikendarai. Ni mobil kesukaan ayah, aku tau bener kebiasaan mobil ini sama cara ngatasinnya, karena dari awal beli sampai sekarang cuma aku saja yang mengendarai, ayah masih belum punya waktu belajar mengemudi. 9
  • 10. Kami berangkat dengan mengambil jalur lewat mojokerto. Aku agak buru-buru karena takut kemalaman, karena hari itu juga kami harus balik ke Pasuruan. Beberapa mobil kulewati dengan ligas, ayah dan ibu sudah biasa dengan gayaku itu, aku juga nyaman-nyaman saja nyetir kenceng asal jalannya nggak terlalu ramai. ≈ Aku sudah melewati Mojokerto dan Jombang. Sekarang mulai memasuki daerah Kertosono. Jam menunjukkan pukul setengah satu. Tadi sempat macet total di Japanan karena ada pengaliharn jalur yang menuju Surabaya. Aku pacu mobil kenceng kenceng, beberapa kali aku melihat mobil di pinggir jalan bersama polisi. Ini pasti tilang, kasian juga pikirku. Kulirik ibuku yang sedang memerhatikan polisi tersebut, ibuku paling nggak suka dengan polisi, karena beberapa kali kena tilang karena alasan yang kurang jelas sewaktu kulakan di Surabaya. 10
  • 11. Tidak berselang lama aku sudah memasuki daerah Nganjuk. Ini jalur favoritku, karena jalanan lurus panjang dengan kecepatan tinggi. Tapi sayangnya ini bukan jalanan lebar, jadi kalau menyalip harus lewat di jalur lawan arah. Itulah kelemahan ku, aku kurang berani kalau aku harus menyalip dengan cara tersebut, sehingga cukup menyebalkan bagiku kalau sedang berada di belakang truk. Ketika hampir seperempat jalan, ada truk besar di depan, wah ini, nggak bisa jalan kenceng, aku belokkan mobil sedikit ke kanan untuk melihat jalur satunya sedang ada kendaraan atau kosong. Dan kosong, oke, aku belokkan dan aku injak kencang pedal gas, lalu dengan cepat aku masukkan ke gigi selanjutnya. Mobil berjalan kenceng melewati truk tersebut. Lalu aku melaju lurus mengikuti jalur. Tidak selang beberapa lama, ada truk lagi, ada juga mobil di belakang truk tersebut yang juga sepertinya mencari kesempatan untuk menyalip. Aku buntuti mobil itu di belakang. Tapi kok nggak nyalip nyalip ya, padahal 11
  • 12. jalur satunya sedang kosong. Aku belokkan mobil ke kanan, dan aku lakukan cara yang serupa, dengan cepat aku sudah melewati mobil dan truk itu. Ketika sudah berada di sisi depan truk dan akan belok ke kiri untuk kembalik ke jalur, kulihat garis tengah yang tadinya putus-putus sekarang sudah menjadi garis lurus memanjang. Wah, gawat ini, garis ini artinya tidak boleh menyalip. Dan ternyata benar, di depan sudah ada polisi yang menunggu dengan mengendarai sepeda motornya pelan-pelan. Dia melambaikan tangan menyuruh aku minggir. Ah, tilang. “Selamat pagi, boleh melihat surat-suratnya”. Aku kasihkan SIM dan STNK, “Anda tau kesalahnnya apa” “Garis tengah itu Pak”. Jawabku agak sebel karena curiga dengan kejadian ini. “Iya, kalau garis lurus begitu tidak boleh menyalip, kalau garis putus-putus boleh” “Iya Pak” Singkat cerita, uang 75 ribu melayang. 12
  • 13. Ayah dan ibu agak kesal dengan kejadian itu, yang dikesali bukan karena pelanggarannya, tapi karena tarif 75 ribu yang terlalu banyak untuk melewati garis lurus satu kali. Ayah dan Ibu juga paham aku tadi ketlisut, bukan bermaksud dengan sengaja melewati garis lurus itu. Kami melanjutkan perjalanan. Masih ada yang mengganjal di pikiranku. Kejadian itu agak aneh, tadi itu bukan jalan belokan, bukan penyebrangan, dan juga tidak ada jembatan, tapi kenapa harus ada garis lurus. Sambil mengemudi agak pelan aku mengamati pola garis tengah tersebut. Putus-putus, beberapa meter kemudian lurus, aku juga mengamati karakter belokan dan rambu-rambu sekitar jalan. Tidak ada rambu atau belokan yang berarti. Wah ini. Garis pendek-pendek yang hanya beberapa puluh meter, tidak cukup untuk mobil menyalip dengan leluasa, karena hanya punya waktu yang cukup singkat untuk kembali ke jalur semula sebelum garis lurus selanjutnya. Dan yang membuatku cukup heran, kenapa polisi cuma ada di daerah dengan garis lurus saja, dan hampir setiap garis lurus. Ada yang aneh. 13
  • 14. Dasar, aku kena ‘Ranjau Uang’. ≈ Akhirnya aku sampai di terminal Ponorogo, beberapa belas kilo lagi aku sudah sampai di Pondok Madani Gontor. Aku merasakan ada yang aneh ketika aku sudah melewati belokan pertama menuju arah pondok tersebut. Aku merasakan semacam aura yang terpancar dari arah pondok itu. Seperti ada suatu sumber yang memancarkan semacam energi. Ini beneran. Semakin dekat pondok, aku semakin terasa. Aku lihat sekeliling, iya ada yang berbeda dengan cahaya ini. Sampai aku berada di pintu masuk pondok dan aku mulai lupa dengan pemikiranku tadi, karena yang ada di pikiranku adalah bertemu dengan adikku. Agak aneh juga rasanya, aku yang dulunya suko nggudoi ternyata ada rasa kangen juga. Padahal waktu yang kulalui juga tidak banyak, karena kami masing-masing sibuk dengan sekolah. 14
  • 15. Mobil ku parkir di dekat penginapan pondok. Ayah dan Ibuku keluar. “Fiq, menengo kene ae, Ayah kate marani Ruri, Fiqi menengo kene ae istirahato, nek isok bubuk. Engkok bengi wes mbalek”, kata ayah. “Oh nggeh yah”, Ayah dan Ibu masuk ke area pondok. Aku di mobil sendiri, ku tutup jendela untuk mengurangi sinar yang masuk dari matahari sore. Aku rebahkan jok mobil depan agar lebih enak untuk tidur. Aku pejamkan mata, lalu terpikir olehku beberapa hal. Memang ini kebiasaanku suka memikirkan hal-hal yang mungkin kata orang tidak penting, aku suka sekali kedetilan sehingga kalau bertanya sesuatu aku sering memberi pertanyaan sampai ke empot-empotnya. Aku mulai melayang dengan pikiranku itu, dan tersadar lagi. “Susah amat mau tidur” pikirku. 15
  • 16. Aku pejamkan mata lagi, dan begitu lagi. Sampai aku terdengar suara adikku. Spontan aku bangun dari jok yang merabah itu, ku lihat sosok anak kurus agak tinggi yang sekarang kulitnya mulai kecoklatan karena tersengat matahari, dengan rambut pendek cekak gaya seperti tentara gadungan, jalannya cepat. “Ah itu Ruri”, kataku. Ruri sudah agak berbeda dari sebelum mondok. Dulu yang kulitnya putih dengan hidung agak mancung, yang suka minum natur E, atau memakai pelembab kulit dan sabun cuci muka berbagai macam, metrosexual juga adikku ya, sekarang seperti menjadi pekerja keras dan sigap. “Rur!” panggilku Adikku cuma mengerdip, dia memang orangnya kurang bisa berekspresi. 16
  • 17. “Mas duwe buku rur, lanjutane negeri 5 menara” “Ranah 3 Warna kan?” jawabnya “Kok ngerti kon?” “Iyo wong aku tuku” Dasar, Ayah, aku, dan adikku ternya sama saja. Semuanya seperti nggak tahan ngeliat buku bagus. Kalau ada uang lebih ingin beli saja. Jangan-jangan di gen kita ada satu gen namanya gen BL, Book Lover. Pernah dulu sewaktu ayahku kuliah, karena alasan tertentu beliau harus cuti di suatu semester. Uang SPP yang sudah dibayarkan di ambil kembali dengan bantuan beberapa teman beliau. Uang itu hasil kerja beliau, karena beliau cari uang sendiri, tidak menggantung kepada orang tua. Seharusnya, uang itu disimpan untuk membayar SPP semester depan. Tapi apa, waktu itu ada bazar buku di alun-alun Malang, beliau ke situ, dan memakai uang SPP tadi untuk membeli buku-buku di situ. Persis aku banget ini, kalau sudah ketemu buku bagus sudah nggak mikir lagi mau gimana besok, besok lusa, pokoknya beli dulu. Dan sehabis itu beneran agak ketetran. 17
  • 18. “Mas iki lo onok kaos Gontor” kata adikku menyadarkanku dari lamunanku “Wah gaya rek” kataku “Stiker e endi?”, aku pernah titip stiker Gontor ke dia “Onok telu” “Oke siip” “Wes ndang bubuk, istirahat. Ruri kene maem disek, ibuk mbeto Kentaki.” kata Ibuku menyuruhku istirahat. “Nggeh buk”. Warna benda-benda di luar mobil sudah berubah. Sinar yang tadinya berwarna kekuningan sudah hilang, tergantikan dengan hawa dingin yang sedikit membuatku bergidik. Ku lihat jam digital yang ada di dashboard mobil yang sekarang menunjukkan angka lima dua belas. Ku ambil hape di sakuku dan kulihat ada beberapa sms masuk, jarkom, dan sms dari teman dekat. Aku mencoba memejamkan mata, merasa puas telah bertemu saudaraku. Rasa yang tadinya sedikit menggandol di hatiku sudah hilang. Aku mendengar cakap-cakap kangen dari ayah dan ibuku, sedikit diwarnai dengan tawa . 18
  • 19. Aku tersenyum sendiri. Dan tidak terasa, dengan sekejap aku sudah hanyut ke alam mimpi. ≈ 19