Teks tersebut membahas tentang epistemologi fiqih. Sumber pengetahuan utama fiqih adalah wahyu (Al-Quran dan Sunnah), sedangkan akal berperan sebagai alat untuk memahami wahyu. Mujtahid dapat memahami nash dengan berbagai metode seperti qiyas, ijma', dan berijtihad untuk mendapatkan hukum dari masalah baru. Terdapat beberapa pola pikir dalam memahami maksud nash seperti
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu-ilmu keislaman sejak awal penyebaran agama ini mengalami dinamika yang
progresif. Diantara indikator dinamika ilmu-ilmu islam dalam konteks kekinian
adalah berkembangnya berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu tafsir, hadist, tasawuf,
kalam, dan ilmu-ilmu lainnya yang sudah dikembangkan oleh para ilmuwan muslim
dari sejak dulu sampai sekarang.
Fiqih atau hukum islam merupakan salah satu bidang study islam yang paling
dikenal dalam masyarakat. Hal ini terkait karena objek ilmu fiqih berkaitan langsung
dengan masyarakat. Selain itu, fiqih sebagai disiplin keilmuan, ilmu fiqih akan
senantiasa terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.1
Epistemologi berasal dari kata yunani, episteme dan logos. Episteme biasa
diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori.
Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang dalam bahasa
inggrisnya menjadi “theory of knowledge”.2 Sedangkan sudarsono epistemologi
adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, batas-
batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika penulisan
epistemology adalah terjadinya pengetahuan, teori kebenaran, metode-metode ilmiah
dan aliran-aliran teori pengetahuan. Dengan memperthatikan defenisi epistemoogi,
bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat
dan pengetahuan.3
1 A. Djazuli,Ilmu fiqih, penggalian, perkembangan dan penerapan hukum islam, (Jakarta:kencana,
2006) cetakan ke 6, h.5
2 Surajiyo,Ilmu filsafat suatu pengantar, (Jakarta:Bumi Aksara,2009),h. 53
3 Sudarsono,Ilmu filsafat suatu pengantar, ( Jakarta:Rineka Cipta, 2001),h. 137
2. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syari’at
Secara etimologis (lughawi) syari’at berarti jalan ketempat pengaira untuk
minum. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa arab dengan jalan lurus yang
harus dituruti. Kata syari’at muncul dalam beberapa ayat Al Quran seperti pada surat
Al Maidah: 48, Asy Syura:13 dan Al Jasiyah:18 yang mengandung arti jalan yang
jelas yang membawa kepada kemenangan. Dalam hal ini agama yang ditetapkan
untuk manusia disebut Syari’at dalam artian luqhawi karena umat islam selalu
melaluinya dalam kehidupannya didunia. Bentuk kesamaan syari’at islam dengan
jalan air dari segi bahwa siapa yang mengikuti syari’at ia akan mengalir dan bersih
jiwanya. Allah menjadikan air penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan
sebagaimana menjadikan syari’at sebagai penyebab kehidupan jiwa insani.
Walaupun mula-mulanya syariat itu diartikan agama sebagaimana yang
disinggung Allah dalam surat As Syura:13, namun kemudian dikhususkan
penggunaannya untuk hukum amaliyah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena
agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan Syari’at
berlaku untuk masing-masing umat dan berbeda dengan umat-umat sebelumnya.
Dengan demikian syari’at lebih khusus dari agama Syari’at adalah hukum amaliyah
yang berbeda menurut perbedaan rasul yang membawanya dan setiap yang datang
kemudian mengoreksi dan menashkan yang datang lebih dahulu, sedangkan dasar
agama yaitu akidah tauhid tidak berbeda antara rasul-rasul.4
B. Pengertian Ilmu Fiqih
Fiqih berasal dari kata al-Fiqih yang menurut bahasa adalah: al Ilmu ma’a al
Fahm (mengetahui sesuatu dan memahaminya). Sedangkan Fiqih menurut istilah
adalah kumpulan hukum-hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan mukallaf,
yang dikeluarkan dari dalilnya yang terperinci.5 Dari pemaknaan Fiqih secara
terminology diatas terlihat jelas bahwa obyek ilmu ini berupa perbuatan lahir
manusia.6
4 Ismail muhammad syah, Filsafat hukum islam, (Jakarta:Bumi Aksara,1992),h.11
5 Badran abu al ainan, Ushul al fiqih al islami, (Iskandariyah:Muassasah al jami’ah,1984),h.23
6 Asjmuni abdurrahman, Qawa’id Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,2011) cetakan ke 3,
h. 2
3. 3
Didalam al Qur’an banyak ayat yang berkaitan dengan kata fiqih, diantaranya
yaitu yang terdapat dalam surat at Taubah: 122
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya”.(QS.At Taubah:122)
الدين في رفقهه خيرا هللا يريد من
“ Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik disisinya
niscaya diberikan kepadanya pemahaman yang mendalam dalam pengetahuan
agama”(HR.At Thabrani)
C. Sumber pengetahuan dari ilmu fiqih
Kalau melihat dari penjelasan arti fiqih diatas, sudah jelas bahwa fiqih merupakan
usaha untuk mencari pengetahuan dari dalil teologis yang bersifat ilahiyah, maka
dapat diambil sebuah pemahaman bahwa sumber pengetahuan dari ilmu fiqih adalah
dalil ilahiyah (wahyu) dan akal. Dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman wahyu bertindak
sebagai sumber pengetahuan.
Kedudukan akal dalam syari’at islam memberikan nilai dan urgensi yang amat
penting dan tinggi terhadap akal manusia. Dapat dilihat sebagai berikut:
1. Allah SWT menyampaikan kalamnya (firmannya) kepada orang-orang
yangberakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan
syari’atnya.
2. Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk
mendapat taklif (beban kewajiban) dari Allah SWT. Hukum syari’at tidak
berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang
tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya
4. 4
Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu langsung (Al
Quran) ataupun wahyu yang tidak langsung (al Sunnah), kedua-keduanya memiliki
fungsi dan kedudukan yang sama meski tingkat akurasinya berbeda karena
disebabkan oleh proses pembukuan dan pembakuannya. Kalau al Quran langsung di
tulis semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan dimasa awal islam, hanya beberapa
waktu setelah Rasul Allah wafat, sedangkan hadist atau al Sunnah baru dibukukan
pada abad kedua hijrah, oleh karena itu fungsi dan kedudukan wahyu dalam
memahami islam adalah:
1. Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran islam. Seluruh
pemahaman dan pengalaman ajaran islam harus dirujukan kepada al
Quran dan Sunnah.
2. Wahyu sebagai landasan etik, karena wahyu itu akan difungsikan bila akal
difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami
islam harus dibimbing oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya
benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidak boleh
menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera
penglihatan manusia. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyunya untuk
membimbing manusia agar tidak tersesat. Didalam keterbatasannyalah akal manusia
menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti
bimbingan wahyu maka ia akan tersesat. Meletakkan akal dan wahyu secara
fingsional akan lebih tepat dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal
memiliki funfsi sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat
dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk
memahami dan menjabarkan secara praktis.
Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang
spesifik, karena seorang yang menerima pengetahuan melalui wahyu merupakan
orang yang memiliki otoritas keagamaaan tinggi yang sering disebut dengan nabi.
Posisi wahyu dalam agama islam sangatlah sentral, dilihat dari sudut pandang historis
maupun normative, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, dan
membimbing manusia dalam berintekrasi dengan tuhannya.
Dari sini dapat dipahami bahwa struktur ilmu fiqih adalah pertama sumber hukum
(masadir al ahkam) yaitu wahyu yang meliputi al-Qur’an dan as Sunnah, dan yang
5. 5
kedua dalil hukum (adilah al ahkam) yang merupakan beberapa metode para ahli
hukum dalam menggali hukum islam yang disebut dengan istinbat dan istidlal.7
D. Cara kerja memahami nash
Dalam memahami fiqh seorang mujtahid akan memahami nash al-Qur’an dan as
Sunnah, kemudian kalau tidak ada dalam keduanya mereka akan berijtihad dengan
menggunakan berbagai metode yang beragam seperti: qiyas, ijma’, dan lain
sebagainya guna mendapatkan sebuah kepastian hukum dari persoalan yang ditemui
sehingga pada akhirnya akan menghasilkan fiqih.
Dalam menggunakan berbagai metode tersebut antara mujtahid yang satu berbeda
dengan mujtahid yang lain, mereka juga berbeda pendapatnya dalam rangka
menjawab pertanyaan. Bagaimana kita bisa mengetahuinya? Al Syatibi (W.790 H)
mengelompokkan empat macam bentuk pola pikir dalam memahami maksud nas,
yaitu:
1. Pola pikir dzahiriyah (neo-skripturalis)
Mazhab ini dipelopori oleh Dawud bin Ali Khalaf al Ashabani al Zahir. Ia
lahir di kufah tahun 202 H dan wafat di Baghdad tahun 270 H. Menurut pola pikir
kaum tekstualis maksud syara’ hanya bisa dipahami secara redaksi nas, dimana
mereka memahami agama tidak dalam kerangka maqasid, mereka menolak ta’lili.
Untuk itu mereka tidak menggunakan bantuan pemahaman diluar nas dalam
menetapkan hukum. Menurut golongan ini fiqih hanya cukup didapat dari al
Quran dan as Sunnah saja. Sehingga kalau tidak ada hukum dari keduanya, maka
masalah waqi’iyah akan di mauqufkan. Karena pemahaman yang muncul adalah
seandainya al-Quran dan as Sunnah tidak menyebutkan hukum sesuatu maka
hukumnya adalah boleh.
2. Pola pikir bathiniyah (neo-liberalis)
Pola pikir mazhab ini mengikuti pola pikir imamnya. Kata imamnyalah sebuah
kebenaran. Golongan ini dinamai bathiniyah karena mempunyai pendirian setiap
yang lahir ada bathinnya, dan setiap yang turun dalam arti wahyu ada ta’wilnya.
Jadi pola pikir ini sangat liberal dan tidak menggunakan kaidah sebagaimana yang
terdapat dalam kajian ilmu ushul fiqih. Mereka lebih mengedepankan peran akal
dan mengecilkan pola nas, serta menolak nas dengan logika maslahat.
3. Pola pikir kontekstual
7 F athurrahman djamil, Filsafathukum islam, ( Jakarta:Logos wacana ilmu,1999),h. 39
6. 6
Kelompok ini lebih memprioritaskan makna lafadz dari pada lafadz itu sendiri.
Doktrin yang mereka ajukan dalam memahami nash adalah mencari makna
dibalik lafadz selagi yang diperoleh tidak bertentangan dengan nash tersebut.
Kecuali pada teks-teks yang bersifat mutlak atau utuh. Jika ada pertentangan teks
nash dengan makna teks atau dasar nazariyat, kelompok kontekstualisme akan
mengutamakan makna hasil penalaran dengan alasan demi tegaknya
kemaslahatan.
4. Gabungan antara tekstualis dan kontekstualis
Al Syatibi menyatakan bahwa golongan pola pikir ini sangat matang dalam
keilmuwan, mereka dapat menggabungkan makna tersurat dan tersirat dari makna
teks. Dari sini sudah kelihatan tipologi berfikir tersebut dapat dipahami bahwa
pola pikir tektual (zahiriyah) dengan menekankan teks tanpa mau berpaling dari
rasionalitas dengan perangkat akalnya. Disamping zahiriyah adalah bathiniyah
yang menggunakan perasaan untuk memperoleh ilmu. Pola pikir kontekstual lebih
cenderung kepada reasonung sehingga ilmu menurut mereka lebih dipahami dari
makna yang tersirat dari pada yang tersurat.8
E. Hasil penalaran Ilmu Fiqih
Hukum syara’ adalah kehendak allah, karena dialah yang mengatur, membaurkan, dan
mensistematiskan hukum tersebut bagi umat manusia. Hukum tuhan disampaikan kepada
hambanya, Muhammad dalam bentuk wahyu, yang tertulis dalam sebuah buku petunjuk.
Kitab kumpulan hukum Allah itu disebut dengan al-Qur’an. Kaum muslimin tidak di
perkenankan mengambil hukum dan jawaban atas problematikanya dari luar al-Qur’an
selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash al- Qur’an.
Kedudukan Al Qur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum utama atau pokok.
Hal ini berarti bahwa penggunaan sumber lain harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an
dan tidak berbuat hal-hal lain yang bertentangan dengan al-Qur’an, dengan arti sumber-
sumber lain tidak boleh menyalahi apa-apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an. Dalam
merumuskan semua hukum, manusia jika menghendaki kemaslahatan dan keselamatan
harus berpedoman dan berwawasan al Qur’an. Bukti yang manyatakan bahwa Al- Qur’an
sumber dan dalil hukum yang utama dan pokok dapat ditemukan dalam ayat-ayat al-
Qur’an sendiri.
8 Abdurrahman ash shabuni, al madkhol al fiqh wa tarikh al tasyri al islami, (al azhar:darattaufiq an
namudijiyah),h.289
7. 7
Perbedaan penafsiaran dan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang mutasyabih
disebabkan dua hal, yaitu:
1. Adanya kata dalam al-Qur’an yang mempunyai dua arti atau dua maksud
(musytarak). Seperti lafazh qar’un atau quru’ dalam surah al-Baqarah ayat
228, lafazh tersebut mempunyai dua arti yang sama-sama diakui, yaitu “suci”
dan “haidh”.
2. Perbedaan pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an yang mutasyabih adalah
penggunaan nama-nama dan kata-kata kiasan dalam beberapa ayat al-Qur’an.
Kedudukan al-Sunnah, selain mutawatir, bersifat dzanni al-wurud, jumhur ulama
menyatakan, bahwa al-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah al-Qur’an. Ulama
ushul mengelompokkan fungsi al-Sunnah terhadap al-Qur’an sebagai berikut:
1. Al-Sunnah yang berfungsi memperkuat apa yang telah ditetapkan oleh al-
Quran, tidak menjelaskan apalagi menambah ketetapan al-Qur’an.
2. Al- Sunnah yang berfungsi memperjelas atau merinci apa yang telah
digariskan dalam al-Qur’an. Fungsi ini merupakan fungsi yang paling
dominan. Misalnya hadist-hadist yang berhubungan dengan tata cara shalat,
zakat, puasa, dan haji.
3. Al-Sunnah yang berfungsi menetapkan hukum yang belum diatur dalam al-
Qur’an. Misalnya, hadist yang melarang seorang suami yang memadu istrinya
dengan bibi dari pihak ibu atau pihak bapak si istri. Ketentuan ini tidak
didapatkan dalam al-Qu’an. Al-Qur’an hanya melarang seorang suami
memadu isterinya dengan saudara kandung si isteri. Hal ini terdapat dalam
surat al-Nisa:23
8. 8
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-
isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.an Nisa:23)
Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud
dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke
bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri
yang tidak dalam pemeliharaannya.
Al Qur’an dan as Sunnah sebagai sumber ilmu fiqih, dengan bantuan ulumul Qur’an
dan ulumul Hadist mencakup tiga macam hukum. Pertama, hukum yang menyangkut
kenyakinan orang dewasa (mukallaf). Kedua, hukum-hukum etika yaitu keharuasan
seseorang berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan. Ketiga, hukum-hukum praktis
(amaliyah) yang mengarur perbuatan maupun ucapan seseorang. Hukum-hukum praktis
meliputi dua cabang besar yaitu: fiqih ibadah, yakni ibadah yang dimaksudkan disini
adalah ibadah dalam arti khusus, artinya hubungan manusia dengan tuhannya seperti:
shalat, puasa, dan ibadah-ibadah pokok lain. Penggunaan arti khusus ini dikarenakan arti
umum dari ibadah mencakup segala hubungan manusia dengan makhluk lain yang
dilakukan dalam rangka mencari ridha Allah Ta’ala, fiqih mu’malah, yakni mengatur
hubungan manusia dengan makhluk lain dan sesama manusia.
Hukum yang mengatur manusia sebagai individu manusia sebagai individu dengan
individu dalam komunitas melahirkan hukum pidana (al ahkam al jin’i) tujuan hukum ini
9. 9
adalah menjamin kelangsungan hidup manusia, harta, kehormatan. Hukum yang
mengatur hubungan Negara islam dengan negara lain, hubungan antara nonmuslim
dinegara islam dan sebaliknya, melahirkan hukum internasional (al-ahkam ad-
duawaliyah). Tujuan hukum ini adalah menjelaskan batasan hubungan antara negara
islam dan negara lain. Hukum yang mengatur hubungan yang berkenaan dengan fakir
miskin dalam harta orang kaya dan mengatur sumber pendapatan dan pengeluaran negara
melahirkan hukum ekonomi dan keuangan (al-ahkam aktishadiyah wal maliyah). Tujuan
hukum ini adalah mengatur hubungan orang kaya dengan fakir miskin dan hubungan
antara waktu satu negara dengan warga satu negara lain.9
BAB III
9 Ismail muhammad syah, Filsafat hukum islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1992),h.37
10. 10
PENUTUP
A. Kesimpulan
Strukrur ilmu fiqih pertama adalah sumber hukum dalam masadir al-ahkam yaitu al-
Qur’an dan as Sunnah, kedua adalah ijtihad yang dilakukan oleh para ahli hukum dalam
menangkap atau memahami beberapa dalil hukum (adilah al-ahkam) yang terdiri dari
ijma’, qiyas, maslahah, istihsan,istihsab, dan urf.
Cara kerja ilmu fiqih adalah menggali fiqih atau hukum dari sumbernya yaitu al-
Quran dan as Sunnah, kemudian kalau tidak ada akan dilakukan dengan ijtihad
menggunakan dalil. Hanya saja para ahli ushul berbeda-beda dalam pemahaman, baik
yang menggunakan pendekatan tektualis, atau bathiniyah, atau kontekstualis, sehingga
pada akhirnya sama-sama menghasilkan hukum.
Hasil penalaran ilmu fiqih dapat menghasilkan berbagai macam aturan yang dapat
mengatur semua kehidupan seorang muslim, baik yang berhubungan langsung kepada
tuhannya ataupun antar sesama manusia.
B. Kritik dan saran
Kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini bisa lebih baik
lagi, tentunya masih banyak keekurangan dan kelemahannya, karena keterbatasan
pengetahuan dan kurangya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan makalah
ini. Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran.