SlideShare a Scribd company logo
1 of 24
BAB I
                                             EPIDEMIOLOGI


      Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai dengan
rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai dengan
penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan
dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya (Fauzi N., dkk.,2009).
      Peningkatan prevalensi dermatitis atopik telah tercatat secara baik pada berbagai rentang kelompok
usia dan lokasi geografis. Tingkat polusi udara, industrialisasi dan urbanisasi, perubahan pola makan, dan
tingkat sosioekonomi yang lebih tinggi merupakan beberapa faktor yang dianggap bertanggung jawab
pada peningkatan prevalensi penyakit tersebut. Walaupun kurang lebih setengah kasus dapat didiagnosis
pada tahun pertama kehidupan, dermatitis atopik biasanya berdampak pada kondisi jangka panjang.
Sebagai contoh, sepertiga pasien mengalami dermatitis atopik hingga dewasa. Prevalensi pada anak usia
sekolah kurang lebih 17%. Gejala yang parah dengan onset yang lebih cepat memiliki hubungan yang erat
dengan penyebaran penyakit yang lebih luas.
      Seringkali dermatitis atopik tidak dianggap sebagai penyakit mayor, tetapi dianggap sebagai kondisi
minor. Walaupun demikian, banyak penelitian menunjukkan dampak yang besar pada keluarga pasien,
terutama dari segi keuangan, sosial, serta dari hubungan sosial. Penelitian di Australia melaporkan adanya
peningkatan stres pada orang tua yang merawat anak dengan dermatitis atopik dibandingkan anak dengan
diabetes yang tergantung dengan insulin. Dilaporkan juga adanya gangguan tidur. Di Amerika Serikat,
dermatitis atopik mewakili sekitar 4 % kunjungan ruang gawat darurat. Sistem kesehatan di hampir
seluruh negara terbebani dengan biaya ekonomi yang besar baik secara langsung maupun tidak langsung
akibat dari terapi dan kesakitan sosial (Sukandar, et al., 2011).
      Sejak tahun 1960an, terjadi peningkatan prevalensi dermatitis atopik lebih dari tiga kali lipat. Di
samping itu, perkiraan terbaru menunjukkan bahwa dermatitis atopik merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak-anak mencapai 10% hingga 20% di
Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat, Afrika Perkotaan, Jepang, dan negara-negara maju. Prevalensi
dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sekitar 1% sampai 3%. Menariknya, prevalensi dermatitis
atopik jauh lebih rendah di negara-negara pertanian seperti Cina dan di Eropa Timur, Afrika Pedesaan,
dan Asia Tengah. Juga terdapat kecenderungan pada wanita, dengan rasio 1,3:1,0.
      Dalam hal ini, perkembangan kajian epidemiologi dermatitis atopik dikatakan sangat lambat, hal ini
disebabkan oleh beragamnya manifestasi klinis dermatitis atopik, masih terdapatnya perbedaan cara
pencatatan serta tidak seragamnya pengertian terminologi terkait dermatitis atopik. Perbedaan ini
menyebabkan studi banding antar negara menjadi tidak mudah, variasi yang ditemukan sangat besar,
berkisar antara 0,7% sampai 20,1% (Williams, 2000; Beltrani and Boguniewicz, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi dermatitis atopik terus meningkat dan
mencapai angka estimasi 20% pada populasi umum (Laughter et al., 2000; Kagi et al., 1994). Prevalensi
dermatitis atopik dapat meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di negara-negara industri selama tiga
dekade terakhir, 15 sampai 30% dari anak-anak dan 2 sampai 10% dari orang dewasa adalah terkena.
Gangguan ini sering merupakan tahap awal menuju diatesis atopik yang mencakup asma dan penyakit
alergi lainnya. Dermatitis atopik sering dimulai pada masa infan.
     Dermatitis atopik bisa menyerang semua ras. Imigran dari negara maju ke negara berkembang
memiliki insidensi lebih tinggi dibandingkan dengan populasi biasanya. Perbandingan rasio penderita
laki-laki dan perempuan adalah 1:1,4. Delapan puluh lima persen dermatitis atopik terjadi pada 1 tahun
pertama kehidupan, dan 95% kasus terjadi pada 5 tahun pertama. Insidensi dermatitis atopik paling tinggi
terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit ini dapat mengalami remisi terutama di masa remaja, dan
dapat kambuh kembali saat dewasa (Krafchik, 2011).
     Sekitar 60% kasus dermatitis terjadi pada tahun pertama kehidupan, 85% dermatitis atopik terjadi
pada 5 tahun pertama dan jarang terjadi setelah umur 45 tahun. (Beltrani and Boguniewicz, 2004).
Dermatitis atopik dapat mengenai kedua jenis kelamin, kejadian saat dewasa lebih banyak pada wanita,
sedang pada anak-anak lebih banyak laki-laki (Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010).
     Pada 70 % kasus dermatitis atopik umumnya dimulai saat anak-anak di bawah 5 tahun dan 10% saat
remaja / dewasa (William H.C., 2005). Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan
episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak
akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema
hingga dewasa. Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun
sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir (Judarwanto W.,
2009). Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang
menderita atopi akan mengalami dermatitis atopik (Djuanda et al., 2007).
     Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita dermatitis atopik (Williams,
2000). Prevalensi pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Angka prevalensi yang pernah
dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di Jepang dan 20,8% di Singapura (Tay et al., 2002).
Prevalensi dermatitis atopik di Indonesia sendiri juga bervariasi. Data dari tujuh RS di lima kota besar di
Indonesia pada tahun 2000 menemukan dermatitis atopik masih menempati peringkat pertama (23,67%)
dari 10 besar penyakit kulit anak (Anonim-2, 2000). Data serupa pada tahun 2005 dari 10 RS besar di
seluruh Indonesia menemukan angka 36% dari seluruh kasus (Anonim-1, 2005).
     Menurut Boediardja (1996) yang telah mengumpulkan data prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun
(Oktober 1994 - September 1995) diperoleh dari 10 rumah sakit terbesar di Indonesia dengan jumlah total
3237, kelompok umur terbanyak 5 - 14 tahun diikuti 1 - 4 tahun dan sisanya penderita dewasa. Jumlah
penderita perempuan sebanyak 1851 orang sedangkan laki-laki sebanyak 1386 orang. (Boediarja, 1999).
Data morbiditas di 10 rumah sakit besar yang tersebar di Indonesia menunjukkan bahwa dermatitis atopik
mencapai 36% dari keseluruhan diagnosis dermatitis. (Anonim-1, 2005).
     Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan
pertama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik
Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember
2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit
Rawat Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien DA mengalami
peningkatan sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien (11.05%)
sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%) (Zulkarnain I., 2009). Prevalensi pada anak laki-
laki sekitar 20 %, 12 persen pada tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11% pada tahun
sebelum tahun 2000) (Tada J., 2002).
     Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35% berkembang menjadi rhinitis
alergi. Berdasarkan International Study of Ashma, and Alergies in Children prevalensi gejala dermatitis
atopik pada anak usia enam atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni kurang dari dua
persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di Australia, Inggris dan Skandinavia. Prevalensi yang
tinggi juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita
DA dari usia satu sampai lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang,
2 persen kasus berat (William H.C., 2005).
BAB II
                                           PATOFISIOLOGI


a.    Definisi
      Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh
faktor eksogen dan atau faktor endogen. Sedangkan atopi berasal dari kata atopos (Yunani) yang berarti
Out of Place atau Strange diseases. Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam
keluarganya misalnya asma bronkial, rinitis alergika, dermatitis atopik, dan konjungtivitis alergik
(Djuanda, dkk., 2005).
      Atopi adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
riwayat kepekaan dalam keluarganya misalnya asma bronchial, rhinitis alergika, dermatitis atopik dan
konjungtivitis alergik atau juga bisa berarti hipersensitifitas familial di kulit dan membran mukosa
terhadap alergen lingkungan, terkait dengan peningkatan produksi IgE, diikuti dengan perubahan
reaktifitas di kulit pada pasien dermatitis atopik (DA) dan di paru pada pasien asma. Pada sebagian besar
pasien dengan berbagai faktor misalnya adanya kerusakan fungsi sawar kulit, infeksi dan stress
merupakan faktor yang lebih penting bila dibandingkan dengan reaksi alergi.
      Atopi juga dapat didefinisikan sebagai sifat hipersensitivitas kulit dan membran yang bersifat
mukosa familial, terhadap bahan-bahan dari lingkungan, yang berhubungan dengan peningkatan sekresi
IgE dan/atau keadaan reaktivitas jaringan yang mengalami perubahan, pada kulit penderita DA atau paru
penderita asma (Wollenberg and Bieber, 2000, Leung, 2000).
      Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dijabarkan definisi dermatitis menurut beberapa peneliti
yakni :
      Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang
      berhubungan dengan atopi, yaitu sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat
      kepekaan dalam keluarganya, misal: asma bronkial, rinitis alergika, konjungtivitis alergika
      (Djuanda et al., 2007).
      Dermatitis atopik adalah dermatitis yang sering terjadi pada orang yang mempunyai riwayat atopi,
      serta merupakan jenis dermatitis yang paling sering dijumpai (Harahap, 2000). Penyakit ini ditandai
      adanya pruritus, lesi eksematosa, xerosis (kulit kering, dan likenifikasi (penebalan kulit) (Krafchik,
      2011).
      Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dengan adanya hipereaktivitas
      kulit terhadap pengaruh lingkungan yang pada umumnya tidak membahayakan bagi orang-orang
      yang normal (Leung, et al., 2004). Penderita dermatitis atopik memiliki serum IgE, eosinofil dan
      dehidrogenase laktat yang meningkat (Reitamo et al., 2000).
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang bersifat menahun dan kumat-kumatan, umumnya
      muncul pada waktu bayi, kanak-kanak ataupun dewasa yang mempunyai riwayat atopik pada diri
      sendiri atau pada keluarganya, baik berupa asma, rinitis alergi, konjungtivitis ataupun DA (Wutrich
      and Grendelmeier, 2002; Leung et al., 2008; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010).
      Dermatitis atopik adalah kondisi yang sangat umum, khususnya selama masa anak-anak. Dermatitis
atopik adalah peradangan pada epidermis dan dermis yang bersifat kronis, residif, sering berhubungan
dengan individu atau keluarga dengan riwayat atopi, distribusi simetris, biasanya terjadi pada individu
dengan riwayat gangguan alergi pada atau individu tersebut. Dermatitis atopik merupakan dermatitis
tersering dijumpai pada anak. Awitan biasanya pada masa anak dan sering dialami oleh anak dengan
riwayat alergi saluran nafas dan riwayat atopi pada keluarga. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau
alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.
      Dermatitis atopi adalah salah satu bentuk penyakit alergi, sering berhubungan dengan peningkatan
kadar IgE dalam serum. Kelainan kulit berupa papul gatal yang kemudian mengalami ekskoriasi,
likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksular). Data muktahir mendukung bahwa dermatitis atopik
merupakan kelainan alergik dan mempunyai keterkaitan erat secara imunologik dengan asma.
      Dermatitis atopik atau biasa disebut sebagai eksem atopik merupakan suatu kondisi peradangan
pada kulit yang dapat menyebar. Penyakit ini terkenal sebagai penyakit yang “kejam” karena dapat
menimbulkan bulatan yang sangat gatal dan penuh guratan. Gejala khas dari dermatitis atopik adalah
penyakitnya kronis, dapat kambuh, kulit gatal dan meradang. Pada penyakit ini timbul gatal yang amat
sangat dan tidak tertahankan sehingga pasien akan menggaruknya hingga timbul rasa sakit yang
kemudian berdampak pada guratan. Walaupun istilah atopi secara umum digunakan untuk
mendeskripsikan kondisi seseorang yang rentan terhadap alergi, asma, serta dermatitis atopik, pada
penyakit ini tidak ada tanda-tanda atopi yang jelas. Memang, terdapat suatu studi yang menunjukkan
asosiasi antara kondisi-kondisi kronik tersebut. Sejumlah 80% anak dengan dermatitis atopik memiliki
kecenderungan mengalami rhinitis alergi atau asma atau memiliki riwayat keluarga alergi (Sukandar, et
al., 2011)


b.    Etiologi
      Selama beberapa dekade terakhir ini telah banyak upaya untuk mencari penyebab dari kondisi
tersebut. Akan tetapi, belum ada penyebab absolut yang diketahui. Hal tersebut karena penyakit ini sangat
kompleks dan melibatkan berbagai mekanisme, meliputi genetik, lingkungan, dan imunologi. Komponen
genetik berpengaruh secara kuat pada dermatitis atopik. Sebagai contoh, apabila salah satu dari orang tua
memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik sebesar 60%, sedangkan apabila dua
orang tua memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik sebesar 80%. Selain itu,
diketahui juga bahwa riwayat atopik pada ayah akan lebih berpengaruh. Kebanyakan pasien dengan
dermatitis atopik mengalami peningkatan kadar serum eosinofil dan IgE. Fakta tersebut mendukung
kenyataan bahwa besar kemungkinan anak dengan dermatitis atopik dapat mengalami rhinitis alergi atau
asma.
        Nampak bahwa hampir setiap imunosit, termasuk sel langerhans, monosit, makrofag, limfosit, sel
mast, dan keratinosit, menunjukkan abnormalitas pada dermatitis atopik (Sukandar, et al., 2011)
        Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai faktor
yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan
biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem
saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen
hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009). Faktor
psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus (Mansjoer A.,dkk., 2001).
        Faktor pencetus lain di antaranya yaitu
        Makanan
        Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi
dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak
dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap
pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak
berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu
uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W.,
2009). Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat. Makanan
yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan
laut (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).
        Alergen hirup
        Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan dengan uji tempel,
positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau
debu rumah (TDR) bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim
(Judarwanto W., 2009).
        Infeksi kulit
        Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang berperan memberi
kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik. Mikroorganisme utamanya adalah
Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni
Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada
kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus
yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya
penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya
toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus
ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin
tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag
yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada
dermatitis atopik dan memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk, 2009., tidak didapatkan korelasi
antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus.


c.   Patogenesis
     Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait dengan
kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009).
     Genetik
     Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta
kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada
peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya,
seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA
adalah 86% (Judarwanto W., 2009).
     Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga akan mengalami DA
pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh
jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua
orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan
dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk mewariskan
kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
     Sawar kulit
     Hilangnya ceramide di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang
ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit
dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan
peningkatan transepidermal water loss, kulit akan semakin kering dan merupakan port d’entry untuk
terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi ceramide
sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo R.W., 2009).
     Respon imun kulit sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari kulit
(CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,
sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE.
Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5,
GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil (Judarwanto W., 2009).
     Imunopatologi kulit. Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini
menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh
darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan
petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini
mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak
menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM).
Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan
menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand
yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009).
     Lingkungan
     Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh
berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan
binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis (Roesyanto I.D., & Mahadi.,
2009).
     Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun oleh pajanan antigen
mikroba di negara barat mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L.,
2009).
     Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian
pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal,
yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke
talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas
rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri.
Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009).
     Imnopatogenesis DA
     Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin
menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik
kronis. Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan
lesi ekzematosa. Kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan
karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan
IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik. Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor).
Defisiensi sel ini menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).
     Respon imun sistemik terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen yang diproduksi
sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan
peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009).
•    Reaksi imunologis DA
     Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial,
rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan
kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan
berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini
memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.
•    Ekspresi sitokin
     Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi
penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang
tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5,
GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan
pada DA akut.
     Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan
inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat
menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap
limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur
meningkat.
     Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif
amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat
dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya
tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai
manfaat antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan
TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas
DA dan bertambah beratnya eksema (Judarwanto W., 2009).
     Antigen Presenting Cells
     Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk
mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan berperan untuk
mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan
mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).
     Faktor non imunologis
     Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik,
yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal
menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal
akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W., 2009).
     Autoalergen
     Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE terhadap protein manusia.
Autoalergen tersebut merupakan protein intraseluler, yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit
akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. Pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut
dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan
sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas (Soebaryo R.W., 2009).




                    Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).


     Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen
menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai
sensitisasi alergi. Paparan allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi
serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan
late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang
tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan mediator newly
synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin
yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang
dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan
influks eosinofil dan sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,
termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins, eosinophil peroxidase, major
basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-
3), IL-5, IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi
pada patofisiologi simptom alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).
Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).


       Abnormalitas klinis
        Alergi pernapasan umumnya berhubungan dengan DA pada usia dewasa (70% pasien). Alergen
yang paling sering ditemukan antara lain debu, serbuk sari, bulu binatang, dan jamur. Alergi makanan
cenderung terjadi pada bayi dan anak-anak penderita DA, sejak usia 2 tahun kemudian diikuti dengan
alergi inhalasi (Helen, 2008). Susu sapi, telur, kacang dan kedelai adalah penyebab yang paling sering
ditemukan (Sampson, 2004; Han, 2004). Agen mikroba terutama Staphylococcus aureus berkoloni pada
90% lesi kulit DA. Karbohidrat, protein dan glikolipid dari mikroba – mikroba tersebut dapat berfungsi
sebagai antigen asing yang terdapat dalam molekul MHC kelas I dan kelas II dan eksotoksinnya juga
dapat berfungsi sebagai superantigen, semuanya dapat memperparah dermatitis. (Kang K, 2003; Laonita,
2000)
       Disfungsi sawar kulit
        Pada penderita DA terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi peningkatan trans-epidermal
water loss sebesar 2-5 kali. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan,
karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan
toleransi dan hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit. Proses
tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian yang penting pada patogenesis
DA. Perubahan kandungan lipid di stratum korneum merupakan penyebab perubahan sawar kulit. Stratum
korneum menyusun sawar utama untuk difusi melewati kulit. Substansi itu terdiri dari korneosit dan lipid,
terutama ceramid, sterol dan asam lemak bebas. Ceramid berperan menahan air dan fungsi sawar stratum
korneum. Kadar ceramid pada penderita DA rendah dan hal tersebut menyebabkan gangguan sawar kulit.
(Lawrence, 2003; Abramorvits, 2005; Wuthrich et al., 2007).
    Imunopatologi
     Ketidaknormalan imunologik termasuk disregulasi sel T, peningkatan kadar IgE, dan penurunan
jumlah   IFN- memegang peranan yang penting dalam patofisiologi dari DA (Blauvelt, 2003). Sel
Langerhans (SL) epidermis dan sel dendritik dermis sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell,
APC) pada DA dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi IgE alergen spesifik yang
terikat pada reseptor FcIgE (Wollenberg and Bieber, 2000) . Aktivasi sel T yang berlebihan pada lesi kulit
merupakan ciri khas dari DA. Sel T pada dermatitis atopik akut akan mengeluarkan sitokin Th2 yang
akan menginduksi respon lokal IgE untuk menarik sel-sel inflamasi (limfosit dan eosinofil) sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan dan pengeluaran dari molekul adhesi (Helen, 2008). Dermatitis
atopik kronik, juga terjadi peningkatan pengeluaran dari sitokin Th1 seperti IFN- dan IL-12 yang akan
memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag (Leung and Soter, 2001; Friedmann, Ardern-Jones
& Holden, 2010).
     Sel T menunjukkan peran sentral dalam proses terjadinya DA. Sel T mempunyai subpopulasi yang
berperan dalam terjadinya DA, yaitu Th1 dan Th2. Perkembangan sel T menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-
10 dan Prostaglandin (PG)E. Sel Th2 mengeluarkan IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Interleukin
4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level IgE dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi
yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit. Sel Th1 menginduksi produksi IL-1, IFN- , dan
TNF, mengaktivasi makrofag dan memperantarai reaksi hipersensivitas tipe lambat.             IFN-    akan
menghambat proliferasi sel Th2, ekspresi IL-4 pada sel T, dan produksi IgE (Friedmann, Ardern-Jones &
Holden, 2010).
     Infiltrat seluler yang terbanyak pada lesi DA akut, adalah sel T CD4+ yang mengeluarkan sel T
memori dan homing reseptor cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA). Sel T ini akan
menyebabkan peningkatan IL-4,       IL-5 dan IL-13, dimana IL-4 dan IL-13 berperan penting dalam
menginduksi molekul adhesi yang akan menarik sel-sel inflamasi k edalam kulit (Boguniewicz and
Leung, 2000).
    Imunoregulasi cell mediated
     Sel-sel langerhans (SL) monosit/magrofag, limfosit, eosinofil, sel mast/basofil dan keratinosit
adalah tipe-tipe sel utama yang berperan aktif dalam imunoregulasi DA. Sel langerhans adalah sel
dendritik penghasil antigen (APC) yang terdapat dalam dermis. Pada kulit normal, terjadi
kompartementalisasi fenotip SL. SL epidermal adalah CD1a, CD1b+ dan CD36-. Namun dalam kulit lesi
DA SL dermal dan epidermal mengeluarkan CD1a dan b serta CD38, CD32 dan FcεR1 dalam jumlah
besar. SL tersebut disebut sebagai sel-sel epidermal dendritik inflamasi. Fcε R1 adalah reseptor IgE
berafinitas tinggi yang ekspresi rata-ratanya meningkat pada SL penderita DA. Pengaruh fungsional
kelainan fenotip ini belum dipahami dengan jelas, namun SL diduga berhubungan dengan peningkatan
aktivitas produksi antigen terhadap sel T autoreaktif (Kang K, 2003).
     Kelainan imunologi yang utama pada DA berupa pembentukan IgE yang berlebihan, sehingga
memudahkan terjadinya hipersensitivitas tipe I dan gangguan regulasi sitokin. Terdapat 2 fase partisipasi
IgE dalam menimbulkan suatu respon inflamasi pada DA yaitu : (Spergel and Schneider, 1999; Arshad,
2002; Beltrani and Boguneiwicz, 2004)
-    Early phase reaction (EPR), terjadi 15-60 menit setelah penderita berhubungan dengan antigen,
     dimana antigen ini akan terikat IgE yang terdapat pada permukaan sel mast dan akan menyebabkan
     pelepasan beberapa mediator kimia antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan
     kulit.
-    Late phase reaction (LPR), terjadi 3-4 jam setelah EPR, dimana terjadi ekspresi adhesi molekul
     pada dinding pembuluh darah yang diikuti tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada area radang,
     mekanismenya terjadi karena peningkatan aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3 ,IL-4, IL-5, IL-13,
     GM-CSF yang menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk IgE dan
     meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak terjadi peningkatan Th1.
     Garukan dapat menyebabkan rangsangan pada keratinosit untuk mensekresi sitokin yang
menyebabkan migrasi Th 2 ke kulit (Spergel and Schneider, 1999).


d.   Prognosis
     Perjalanan penyakit DA pada seseorang tidak dapat diperkirakan, namun akan terlihat lebih berat
dan persisten pada tipe anak-anak. Selain itu juga didapatkan bahwa pada hampir 40% kasus penderita
dermatitis atopik mengalami resolusi spontan setelah mereka berumur 5 tahun.
     Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua orangtua
menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada
masa remaja, sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun.
     Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu :
    DA luas pada anak
    Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial
    Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung
    Awitan (onset) DA pada usia muda
    Anak tunggal
    Kadar IgE serum sangat tinggi
     Perkembangan penyakit dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti karena beberapa penelitian
memiliki kekurangan dalam hal ukuran sampel dan definisi yang tidak jelas mengenai remisi, follow up
yang tidak adekuat, bias seleksi pada kohort, dan kehilangan banyak pasien yang harus di follow up.
Meskipun demikian kesembuhan dermatitis atopi sulit diperkirakan secara individual, dan penyakit secara
umum berkembang menjadi parah dan menetap pada anak-anak. Periode remisi seringkali nampak pada
pasien yang telah bertumbuh kembang. Resolusi spontan dari dermatitis atopik telah dilaporkan terjadi
pada usia setelah lima tahun dalam 40 hingga 60 persen dari pasien yang menderita ketika bayi, umumnya
hal ini terjadi jika penyakitnya ringan. Meskipun penelitian terakhir menyarankan bahwa hampir 84
persen dari anak-anak teratasi penyakit dermatitis atopik ketika remaja, lebih banyak penelitian terakhir
telah dilaporkan bahwa dermatitis atopi akan menghilang pada hampir 20 persen anak-anak yang diikuti
perkembangannya mulai dari bayi hingga remaja, tetapi beberapa menjadi parah pada jumlah 65 persen.
Sebagai tambahan, lebih dari setengah remaja yang telah ditangani, akan kambuh lagi ketika dewasa.
     Hal yang terpenting dalam konseling okupasi, orang dewasa yang masa kecilnya menderita
dermatitis atopi dan telah mengalami remisi selama beberapa tahun, mungkin akan menderita dermatitis
tangan, khususnya jika pekerjaan kesehariannya berhubungan dengan hal-hal yang membasahkan tangan.
     Penderita dermatitis atopik yang bermula sejak bayi, sebagian ( 40 % ) sembuh spontan, sebagian
berlanjut ke bentuk anak dan dewasa. Ada pula yang mengatakan bahwa 40- 50% sembuh pada usia 15
tahun. Sebagian besar menyembuh pada usia 30 tahun. Secara umum bila ada riwayat dermatitis atopic di
keluarganya bersamaan dengan asma bronchial, masa awitan lambat, atau dermatitisnya berat, maka
penyakitnya lebih persisten.
BAB III
                          Presentasi Klinis (Gejala dan Tanda) dan Diagnosis


a.    Clinical Presentation (Gejala dan Tanda)/ Manifestasi Klinik
      Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan kehidupan, mulai dari
saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara
umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).
      Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya
lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam
kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta (Djuanda et al.,
2007).
      Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang dan
kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia di
atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan (Sularsito S.A., &
Djuanda A., 2005).
      Subyektif selalu terdapat pruritus. Terdiri atas 3 bentuk, yaitu :
1.    Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun)
      Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya bersifat akut, sub akut,
rekuren, simetris di kedua pipi (Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya di daerah pipi yang berkontak
dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul
dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi di kedua pipi,
ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor (Mansjoer A.,dkk., 2001).
      Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering
menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami
infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitar usia 18
bulan mulai tampak likenifikasi (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).




                 Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
2.   Bentuk anak (2 - 12 tahun)
     Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan kelanjutan fase bayi. Pada kondisi
kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,
akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat predileksi tengkuk, fleksor kubital,
dan fleksor popliteal. Sangat jarang di wajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). Lesi DA pada anak juga bisa
terjadi di paha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).
     Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor (luar) daerah persendian, (sendi
pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin
J.M., 2005).




                                                    Gambar 4.a




                                                    Gambar 4.b.
Gambar 4.c.
      Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
3.    Bentuk dewasa (> 12 tahun)
      Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak (Zulkarnain I.,
2009). Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk
serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
      Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal terutama jika berkeringat.
Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et
plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul miliar, di tengahnya terdapat
lekukan), dll (Mansjoer A.,dkk., 2001).
      Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila mengalami stress,
mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama
kemudian menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya
sebagian kecil berlangsung sampai tua (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).




                                                      Gambar 5.a.
Gambar 5.b.
Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).




   Gambar 6: Tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).




 Gambar 7: Tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W., 2009).
b.    Diagnosis
      Kriteria mayor dan minor dalam diagnosis dermatitis atopik meliputi keberadaan pruritus dengan
tiga atau lebih gejala berikut :
1.    Riwayat dermatitis fleksural di wajah pada anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun.
2.    Riwayat asma atau rhinitis alergi pada anak-anak atau keluarga tingkat pertama.
3.    Riwayat xerosis dalam setahun terakhir.
4.    Nampak eksem fleksural.
5.    Onset munculnya ruang pada usia 2 tahun.
      Jika bukan merupakan dermatitis atopik, gejala yang muncul dapat menjadi suatu indikator adanya
kondisi atau diagnosis dari penyakit lain. Oleh karena itu, rujukan kepada spesialis amat diperlukan. Perlu
dicatat bahwa kriteria tersebut merupakan kriteria yang akan membantu para klinisi untuk menentukan
diagnosis secara tepat. Meskipun ditemukan peningkatan IgE dan eosinofil perifer pada dermatitis atopik,
belum ada tes laboratorium tunggal yang dapat terpercaya untuk digunakan dalam diagnosis dermatitis
atopik sebab beberapa pasien tidak menunjukkan abnormalitas pada kedua parameter tersebut. Tes kulit
atau ELISA dapat digunakan untuk identifikasi serta eksklusi atopi yang mungkin disebabkan oleh
pemicu alergi, tetapi tidak cukup spesifik dan sensitif untuk diagnosis.
      Tidak hanya diagnosis atau tes laboratorium yang kurang, tetapi juga kurang dalam hal standarisasi
tingkat keparahan penyakit. Saat ini terdapat sistem skor yang disebut sebagai indeks SCORAD (the
Severity Scoring of Atopic Dermatitis). Sistem tersebut diabsorsi dari the European Task Force on Atopic
Dermatitis. Walaupun sering digunakan, sistem tersebut masih menunjukkan adanya variasi tiap
pengamat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belum ada konsensus yang objektif mengenai
skala keparahan sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut (Sukandar, et al., 2011).
      Kriteria dermatitis atopik yang disusun oleh Hanifin dan Rajka dan dimodifikasi oleh William
(1994) adalah sebagai berikut :
                KRITERIA MAYOR                                     KRITERIA MINOR
 Pruritus                                          Serosis
 Dermatitis di muka/ ekstensor pada bayi dan       Infeksi kulit khususnya S.aureus dan Herpes
 anak-anak                                         simplex
 Dermatitis flexura pada dewasa                    Dermatitis non spesifik pada kaki dan tangan
 Dermatitis kronik                                 Iktiosis / hiperlinearis Palmaris
 Riwayat atopi pada penderita atau pada
                                                   Pitiaris alba
 keluarga penderita
                                                   Dermatitis papilla mammae
                                                   White dermatografism dan delayed blanched
                                                   response
                                                   Keylitis
Lipatan infra orbital dennie-morgan
                                                      Konjungtivitis berulang
                                                      Keratokonus
                                                      Katarak subkapsular anterior
                                                      Orbita menjadi gelap
                                                      Muka pucat atau eritema
                                                      Gatal bila berkeringat
                                                      Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
                                                      Aksentuasi perifolikular
                                                      Hipersensitif terhadap makanan
                                                      Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor
                                                      lingkungan dan atau emosi
                                                      Tes kulit alergi tipe dadakan positif
                                                      Kadar IgE di dalam serum meningkat
                                                      Awitan pada usia dini


      Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Untuk bayi,
kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
1.    Kriteria Mayor
            Riwayat atopi pada keluarga
            Dermatitis di muka atau ekstensor
            Pruritus
2.    Ditambah 3 kriteria minor :
            Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris
            Fisura belakang telinga
            Skuama di scalp kronis. (Djuanda et al., 2007)
      Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman klinis.
Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental,
tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan
pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk
pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang
dikoordinasi oleh William memperbaiki dan menyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu
set kriteria untuk pedoman diagnosis D.A. yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk
orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter
Puskesmas membuat diagnosis.
      Pedoman diagnosis D.A. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu :
-   Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa anaknya
    suka menggaruk atau menggosok.
-   Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut :
    1.    Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan
          pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun).
    2.    Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi pada
          keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).
    3.    Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.
    4.    Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota badan
          bagian luar anak di bawah 4 tahun). Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak
          di bawah 4 tahun).


    Tingkatan Dermatitis Atopik
                                                             Nilai

    1.    Luasnya kelainan kulit
    a.    Fase anak dan dewasa
                                                               1
                <9% luas tubuh
                                                               2
                >9%-36%
                                                               3
                >36% luas tubuh
    b.    Fase Infantil
                                                               1
                18% luas tubuh terkena
                                                               2
                18%-54%
                                                               3
                54% luas tubuh terkena
    2.    Perjalanan Penyakit
                                                               1
                Remisi > 3 bulan dalam 1 tahun
                                                               2
                Remisi < 3 bulan dalam 1 tahun
                                                               3
                Kambuhan
    3.    Intensitas Penyakit
                                                               1
                Gatal ringan, kadang-kadang
                terganggu tidur
                                                               2
                Gatal sedang
                                                               3
                Gatal hebat selalu tidur.


    Penilaian
    3-4      : ringan
4,5-7,5 : sedang
      8,5-9     : berat (Harahap, 2000).


c.    Diagnosis Banding
      Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada bentuk anak dan dewasa ialah
neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001). Diagnosis banding lainnya :
      Dermatitis Kontak Alergi
      Dermatophytosis atau dermatophytids
      Sindrom defisiensi imun
      Sindrom Wiskott-Aldrich
      Sindrom Hyper-IgE
      Penyakit Neoplastik
      Langerhans’ cell histiocytosis
      Penyakit Hodgkin
      Dermatitis Numularis
      Dermatitis Seborrheic
      Berikut penjelasan mengenai jenis diagnosa banding terhadap dermatitis atopik antara lain :
1.    Dermatitis seboroik
      Ditandai erupsi berskuama, salmon colored atau kuning berminyak yang mengenai kulit kepala,
pipi, badan, ekstremitas dan diaper area. Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2)
onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang, dan (3) sisik kuning
gelap pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis
atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi DA 5-13 tahun
kemudian.
2.    Dermatitis kontak
      Biasanya lesi sesuai dengan tempat kontaktan, lesi berupa popular miliar dan erosif. Anak yang
lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan
dermatitis kontak karena sepatu (Judarwanto W., 2009).
3.    Dermatitis numularis
      Penyakit yang ditandai lesi yang berbentuk koin. Ukuran diameter 1 cm atau lebih, timbul pada
kulit yang kering.
4.    Psoriasis
      Lesi psoriasis berwarna merah dan skuama seperti perak micaceous (seperti mika). Predileksi
psoriasis di permukaan ekstensor, terutama pada siku dan lutut, kulit kepala dan daerah genital.
5.    Skabies
Pada bayi, gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai telapak tangan serta kaki.
Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel
pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau dan telur
dapat dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap
pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida.
         Diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat rasa gatal di malam hari, distribusi lesi yang khas,
dengan lesi primer yang patognomonik berupa adanya burrow dan adanya kutu pada pemeriksaan
mikroskopik.
6.       Penyakit Lettere-Siwe
         Biasanya terjadi pada tahun pertama dari kehidupan. Pada penyakit ini erupsi kulit biasanya mulai
dengan skuama, eritematosa, seborrhea-like pada kulit kepala, di belakang telinga, dan pada daerah
intertriginosa.
7.       Acrodermatitis enteropathica
         Suatu penyakit herediter yang ditandai dengan lesi vesikulobullous eczematoid di daerah akral dan
periorifisial, kegagalan pertumbuhan, diare, alopesia, kekurangan gizi dan infeksi kandida.
8.       Sindroma Wiskott-Aldrich
         Penyakit X-linked resesif, ditemukan pada anak lelaki muda ditandai dengan dermatitis eksematosa
rekalsitrant, disfungsi platelet, trombositopeni, Infeksi pyogenik rekuren dan otitis media supuratifa.
9.       Dermatitis herpetiformis
         Penyakit yang menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun
berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal.
10.      Sindroma Sezary
         Ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universial disertai skuama dan rasa sangat
gatal.


            Penyakit                                  Gambaran klinis
 Seboroik dermatitis             Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
 Psoriasis                       Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail
 Neurodermatitis                 Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
                                 Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga
 Contact dermatitis
                                 tidak ada
 Skabies                         Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
                                 Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai
 Sistemik
                                 dengan penyakit
 Dermatitis herpetiforme         Vesikel berkelompok di daerah lipata
 Dermatofita                     Plak dengan sentral healing, KOH negatif
Immmunodefisiensi
                             Riwayat infeksi berulang
disorder

           Diagnosis Banding Dermatitis Atopik

              Kemungkinan besar
               Dermatitis kontak (alergi dan iritan)
               Dermatitis seboroik
               Scabies
               Psoriasis
               Ichthyosis vulgaris
               Keratosis pilaris
               Dermatofitosis

              Dipertimbangkan
               Asteotic eczema
               Liken simplek kronis
               Dermatitis numular
               Juvenil palmar-plantar dermatosis
               Impetigo
               Drug eruptions
               Perioral dermatitis
               Pityriasis alba
               Photosensivity disorder (hidroa vacciniform; polymorphous light eruption, porphyrias)
               Moluscum dermatitis

           Gangguan kurang umum atau langka terutama pada remaja dan dewasa
             Cutaneous T-cell lymphoma (kycosis fungoides atau sindrom Sezary)
             Human immunodeficiency virus
             Dermatosis
             Lupus eritematosus
             Dermatomitosis
             Graft-versus-host disease
             Pemphigus foliacues
             Dermatitis herpetiformis
             Photosensivity disorder (hidroa vacciniform; polymorphous light eruption, porphyrias)

           Gangguan kurang umum atau langka terutama pada bayi dan anak
             Metabolik / nutrisi
                Phenilketonuria
                Prolidase deficiency
                Multiple carboxylase deficiency
                Defisiensi Zinc (Acrodermatitis enteropathica; prematuritas; defisiensi breast milk
                  zinc; cystic fibrosis)
                Lainnya: Biotin, essential fatty acids, organic acidurias
             Primary immunodeficiency disorders
                Severe combined immunodeficiency disorder
                DiGeorge syndrome
                Hypogammaglobulinemia
                Agammaglobulinemia
                Wiskot – Aldrich syndrome
                Ataxia telengiektasi
                Hyperimmunoglobulin E syndrome
                Chronic mucocutaneous candidiasis
                Omenn syndrome
             Sindrom genetik
                Netherton syndrome
                Hurler syndrome
             Inflammatory, autoimune disorders
                Eosinophilic syndrome
                Gluten-sensitive enteropathy
                Neonatal lupus erythematous
             Proliferative disorder
                Langerhans cell histiocytosis

More Related Content

What's hot

Handout morfologi dan terminologi penyakit kulit(1)
Handout morfologi dan terminologi penyakit kulit(1)Handout morfologi dan terminologi penyakit kulit(1)
Handout morfologi dan terminologi penyakit kulit(1)
Iva Maria
 
Materi iii tatalaksana gizi buruk
Materi iii tatalaksana gizi burukMateri iii tatalaksana gizi buruk
Materi iii tatalaksana gizi buruk
Joni Iswanto
 
Konjungtivitis
KonjungtivitisKonjungtivitis
Konjungtivitis
materi-x2
 

What's hot (20)

Handout morfologi dan terminologi penyakit kulit(1)
Handout morfologi dan terminologi penyakit kulit(1)Handout morfologi dan terminologi penyakit kulit(1)
Handout morfologi dan terminologi penyakit kulit(1)
 
Hipertensi
HipertensiHipertensi
Hipertensi
 
Dermatitis
DermatitisDermatitis
Dermatitis
 
Hemoroid
HemoroidHemoroid
Hemoroid
 
12 nervus cranial
12 nervus cranial 12 nervus cranial
12 nervus cranial
 
Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergiDermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi
 
Psoriasis
PsoriasisPsoriasis
Psoriasis
 
Definisi dan klasifikasi konjungtivitis
Definisi dan klasifikasi konjungtivitisDefinisi dan klasifikasi konjungtivitis
Definisi dan klasifikasi konjungtivitis
 
Prurigo nodularis
Prurigo nodularisPrurigo nodularis
Prurigo nodularis
 
Status Dermatologikus
Status DermatologikusStatus Dermatologikus
Status Dermatologikus
 
Skdi tahun-2012
Skdi tahun-2012Skdi tahun-2012
Skdi tahun-2012
 
Glaukoma
Glaukoma Glaukoma
Glaukoma
 
Materi iii tatalaksana gizi buruk
Materi iii tatalaksana gizi burukMateri iii tatalaksana gizi buruk
Materi iii tatalaksana gizi buruk
 
Angina pectoris stabil
Angina pectoris stabilAngina pectoris stabil
Angina pectoris stabil
 
Demam tifoid anak
Demam tifoid anakDemam tifoid anak
Demam tifoid anak
 
Skenario 20.5 Dermatofitosis & Non-dermatofitosis
Skenario 20.5 Dermatofitosis & Non-dermatofitosisSkenario 20.5 Dermatofitosis & Non-dermatofitosis
Skenario 20.5 Dermatofitosis & Non-dermatofitosis
 
Efloresensi
EfloresensiEfloresensi
Efloresensi
 
Konjungtivitis
KonjungtivitisKonjungtivitis
Konjungtivitis
 
Laporan Kasus Tinea (Pityriasis) versicolor
Laporan Kasus Tinea (Pityriasis) versicolorLaporan Kasus Tinea (Pityriasis) versicolor
Laporan Kasus Tinea (Pityriasis) versicolor
 
Bronko pneumonia
Bronko pneumoniaBronko pneumonia
Bronko pneumonia
 

Viewers also liked

presentation referat kondiloma akuminata
presentation referat kondiloma akuminatapresentation referat kondiloma akuminata
presentation referat kondiloma akuminata
SK Sulistyaningrum
 
Asuhan keperawatan-anak-dengan-dermatitis-atopik
Asuhan keperawatan-anak-dengan-dermatitis-atopikAsuhan keperawatan-anak-dengan-dermatitis-atopik
Asuhan keperawatan-anak-dengan-dermatitis-atopik
Teye Onti
 

Viewers also liked (17)

Makalah dermatitis atopik part 2
Makalah dermatitis atopik part 2Makalah dermatitis atopik part 2
Makalah dermatitis atopik part 2
 
Askep dermatitis
Askep dermatitisAskep dermatitis
Askep dermatitis
 
Makalah dermatitis
Makalah dermatitisMakalah dermatitis
Makalah dermatitis
 
Atopic dermatitis
Atopic dermatitisAtopic dermatitis
Atopic dermatitis
 
presentation referat kondiloma akuminata
presentation referat kondiloma akuminatapresentation referat kondiloma akuminata
presentation referat kondiloma akuminata
 
Dermatitis alergi
Dermatitis alergiDermatitis alergi
Dermatitis alergi
 
Presentasi Mr Tys
Presentasi Mr TysPresentasi Mr Tys
Presentasi Mr Tys
 
Bone tumors pre management
Bone tumors pre managementBone tumors pre management
Bone tumors pre management
 
Dermatitis atopik
Dermatitis atopikDermatitis atopik
Dermatitis atopik
 
Makalah penyakit kulit
Makalah penyakit kulitMakalah penyakit kulit
Makalah penyakit kulit
 
Dermatitis
DermatitisDermatitis
Dermatitis
 
Atopic Dermatitis
Atopic DermatitisAtopic Dermatitis
Atopic Dermatitis
 
Atopic dermatitis
Atopic dermatitisAtopic dermatitis
Atopic dermatitis
 
Management of atopic dermatitis
Management of atopic dermatitisManagement of atopic dermatitis
Management of atopic dermatitis
 
Atopic dermatitis by Dr.Gamal Soltan
Atopic dermatitis by Dr.Gamal SoltanAtopic dermatitis by Dr.Gamal Soltan
Atopic dermatitis by Dr.Gamal Soltan
 
Atopic dermatitis: mechanism of disease
Atopic dermatitis: mechanism of diseaseAtopic dermatitis: mechanism of disease
Atopic dermatitis: mechanism of disease
 
Asuhan keperawatan-anak-dengan-dermatitis-atopik
Asuhan keperawatan-anak-dengan-dermatitis-atopikAsuhan keperawatan-anak-dengan-dermatitis-atopik
Asuhan keperawatan-anak-dengan-dermatitis-atopik
 

Similar to Makalah dermatitis atopik part 1

Makalah demam tyfoid
Makalah demam tyfoidMakalah demam tyfoid
Makalah demam tyfoid
Nova Ci Necis
 

Similar to Makalah dermatitis atopik part 1 (20)

Derm atopi (2)
Derm atopi (2)Derm atopi (2)
Derm atopi (2)
 
contoh makalah.pdf
contoh makalah.pdfcontoh makalah.pdf
contoh makalah.pdf
 
Mini project
Mini projectMini project
Mini project
 
PPT P2 ISPA.pptx
PPT P2 ISPA.pptxPPT P2 ISPA.pptx
PPT P2 ISPA.pptx
 
Tugas resensi jurnal rahmat
Tugas resensi jurnal rahmatTugas resensi jurnal rahmat
Tugas resensi jurnal rahmat
 
Tugas resensi jurnal rahmat
Tugas resensi jurnal rahmatTugas resensi jurnal rahmat
Tugas resensi jurnal rahmat
 
Bab I pendahuluan (PNEUMONIA)
Bab I pendahuluan (PNEUMONIA)Bab I pendahuluan (PNEUMONIA)
Bab I pendahuluan (PNEUMONIA)
 
Makalah ikm revisi baruuuuuu pdf
Makalah ikm revisi baruuuuuu pdfMakalah ikm revisi baruuuuuu pdf
Makalah ikm revisi baruuuuuu pdf
 
Makalah penyakit kurap
Makalah penyakit kurapMakalah penyakit kurap
Makalah penyakit kurap
 
Sebosea
SeboseaSebosea
Sebosea
 
Dermatitis kontak
Dermatitis kontakDermatitis kontak
Dermatitis kontak
 
Epid kelompok 1
Epid kelompok 1Epid kelompok 1
Epid kelompok 1
 
Askep pada pasien ringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep pada pasien ringitis AKPER PEMKAB MUNA Askep pada pasien ringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep pada pasien ringitis AKPER PEMKAB MUNA
 
Askep pada paisen ringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep pada paisen ringitis AKPER PEMKAB MUNA Askep pada paisen ringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep pada paisen ringitis AKPER PEMKAB MUNA
 
Makalah demam tyfoid
Makalah demam tyfoidMakalah demam tyfoid
Makalah demam tyfoid
 
Makalah ispa
Makalah ispaMakalah ispa
Makalah ispa
 
Streptococcus beta hemolitikus grup a
Streptococcus beta hemolitikus grup aStreptococcus beta hemolitikus grup a
Streptococcus beta hemolitikus grup a
 
Proposal Penelitian Fix Jeni Rambu Kaita Riwa.docx
Proposal Penelitian Fix Jeni Rambu Kaita Riwa.docxProposal Penelitian Fix Jeni Rambu Kaita Riwa.docx
Proposal Penelitian Fix Jeni Rambu Kaita Riwa.docx
 
Askep pada paisen ringitis
Askep pada paisen ringitisAskep pada paisen ringitis
Askep pada paisen ringitis
 
Askep pada paisen ringitis
Askep pada paisen ringitisAskep pada paisen ringitis
Askep pada paisen ringitis
 

More from Eva Apriliyana Rizki

Kata pengantar kelarutan (Farmasi Fisika)
Kata pengantar kelarutan (Farmasi Fisika)Kata pengantar kelarutan (Farmasi Fisika)
Kata pengantar kelarutan (Farmasi Fisika)
Eva Apriliyana Rizki
 
Daftar isi kelarutan (Farmasi Fisika)
Daftar isi kelarutan (Farmasi Fisika)Daftar isi kelarutan (Farmasi Fisika)
Daftar isi kelarutan (Farmasi Fisika)
Eva Apriliyana Rizki
 
Bab iii kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab iii kelarutan (Farmasi Fisika)Bab iii kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab iii kelarutan (Farmasi Fisika)
Eva Apriliyana Rizki
 

More from Eva Apriliyana Rizki (20)

Autoimun dan Hipersensitivitas
Autoimun dan HipersensitivitasAutoimun dan Hipersensitivitas
Autoimun dan Hipersensitivitas
 
Bahan Diskusi Farmakognosi (Metode Ekstraksi)
Bahan Diskusi Farmakognosi (Metode Ekstraksi)Bahan Diskusi Farmakognosi (Metode Ekstraksi)
Bahan Diskusi Farmakognosi (Metode Ekstraksi)
 
Kata pengantar kelarutan (Farmasi Fisika)
Kata pengantar kelarutan (Farmasi Fisika)Kata pengantar kelarutan (Farmasi Fisika)
Kata pengantar kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Judul kelarutan (Farmasi Fisika)
Judul kelarutan (Farmasi Fisika)Judul kelarutan (Farmasi Fisika)
Judul kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Daftar pustaka (Farmasi Fisika)
Daftar pustaka (Farmasi Fisika)Daftar pustaka (Farmasi Fisika)
Daftar pustaka (Farmasi Fisika)
 
Daftar isi kelarutan (Farmasi Fisika)
Daftar isi kelarutan (Farmasi Fisika)Daftar isi kelarutan (Farmasi Fisika)
Daftar isi kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Bab vi kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab vi kelarutan (Farmasi Fisika)Bab vi kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab vi kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Bab iv kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab iv kelarutan (Farmasi Fisika)Bab iv kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab iv kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Bab iii kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab iii kelarutan (Farmasi Fisika)Bab iii kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab iii kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Bab ii kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab ii kelarutan (Farmasi Fisika)Bab ii kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab ii kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Tabel (laporan) Farmasi Fisika
Tabel (laporan) Farmasi FisikaTabel (laporan) Farmasi Fisika
Tabel (laporan) Farmasi Fisika
 
Bab i kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab i kelarutan (Farmasi Fisika)Bab i kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab i kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Bab v kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab v kelarutan (Farmasi Fisika)Bab v kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab v kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Bab ii kelarutan
Bab ii kelarutanBab ii kelarutan
Bab ii kelarutan
 
Laporan Teknologi Farmasi
Laporan Teknologi FarmasiLaporan Teknologi Farmasi
Laporan Teknologi Farmasi
 
Presentasi Farmakognosi
Presentasi FarmakognosiPresentasi Farmakognosi
Presentasi Farmakognosi
 
Presentation Laktosa
Presentation LaktosaPresentation Laktosa
Presentation Laktosa
 
Resume jurnal ilmiah laktosa
Resume jurnal ilmiah laktosaResume jurnal ilmiah laktosa
Resume jurnal ilmiah laktosa
 
Jurnal Ilmiah Tentang Laktosa
Jurnal Ilmiah Tentang LaktosaJurnal Ilmiah Tentang Laktosa
Jurnal Ilmiah Tentang Laktosa
 
Jintan
JintanJintan
Jintan
 

Makalah dermatitis atopik part 1

  • 1. BAB I EPIDEMIOLOGI Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya (Fauzi N., dkk.,2009). Peningkatan prevalensi dermatitis atopik telah tercatat secara baik pada berbagai rentang kelompok usia dan lokasi geografis. Tingkat polusi udara, industrialisasi dan urbanisasi, perubahan pola makan, dan tingkat sosioekonomi yang lebih tinggi merupakan beberapa faktor yang dianggap bertanggung jawab pada peningkatan prevalensi penyakit tersebut. Walaupun kurang lebih setengah kasus dapat didiagnosis pada tahun pertama kehidupan, dermatitis atopik biasanya berdampak pada kondisi jangka panjang. Sebagai contoh, sepertiga pasien mengalami dermatitis atopik hingga dewasa. Prevalensi pada anak usia sekolah kurang lebih 17%. Gejala yang parah dengan onset yang lebih cepat memiliki hubungan yang erat dengan penyebaran penyakit yang lebih luas. Seringkali dermatitis atopik tidak dianggap sebagai penyakit mayor, tetapi dianggap sebagai kondisi minor. Walaupun demikian, banyak penelitian menunjukkan dampak yang besar pada keluarga pasien, terutama dari segi keuangan, sosial, serta dari hubungan sosial. Penelitian di Australia melaporkan adanya peningkatan stres pada orang tua yang merawat anak dengan dermatitis atopik dibandingkan anak dengan diabetes yang tergantung dengan insulin. Dilaporkan juga adanya gangguan tidur. Di Amerika Serikat, dermatitis atopik mewakili sekitar 4 % kunjungan ruang gawat darurat. Sistem kesehatan di hampir seluruh negara terbebani dengan biaya ekonomi yang besar baik secara langsung maupun tidak langsung akibat dari terapi dan kesakitan sosial (Sukandar, et al., 2011). Sejak tahun 1960an, terjadi peningkatan prevalensi dermatitis atopik lebih dari tiga kali lipat. Di samping itu, perkiraan terbaru menunjukkan bahwa dermatitis atopik merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak-anak mencapai 10% hingga 20% di Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat, Afrika Perkotaan, Jepang, dan negara-negara maju. Prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sekitar 1% sampai 3%. Menariknya, prevalensi dermatitis atopik jauh lebih rendah di negara-negara pertanian seperti Cina dan di Eropa Timur, Afrika Pedesaan, dan Asia Tengah. Juga terdapat kecenderungan pada wanita, dengan rasio 1,3:1,0. Dalam hal ini, perkembangan kajian epidemiologi dermatitis atopik dikatakan sangat lambat, hal ini disebabkan oleh beragamnya manifestasi klinis dermatitis atopik, masih terdapatnya perbedaan cara pencatatan serta tidak seragamnya pengertian terminologi terkait dermatitis atopik. Perbedaan ini menyebabkan studi banding antar negara menjadi tidak mudah, variasi yang ditemukan sangat besar, berkisar antara 0,7% sampai 20,1% (Williams, 2000; Beltrani and Boguniewicz, 2004).
  • 2. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi dermatitis atopik terus meningkat dan mencapai angka estimasi 20% pada populasi umum (Laughter et al., 2000; Kagi et al., 1994). Prevalensi dermatitis atopik dapat meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di negara-negara industri selama tiga dekade terakhir, 15 sampai 30% dari anak-anak dan 2 sampai 10% dari orang dewasa adalah terkena. Gangguan ini sering merupakan tahap awal menuju diatesis atopik yang mencakup asma dan penyakit alergi lainnya. Dermatitis atopik sering dimulai pada masa infan. Dermatitis atopik bisa menyerang semua ras. Imigran dari negara maju ke negara berkembang memiliki insidensi lebih tinggi dibandingkan dengan populasi biasanya. Perbandingan rasio penderita laki-laki dan perempuan adalah 1:1,4. Delapan puluh lima persen dermatitis atopik terjadi pada 1 tahun pertama kehidupan, dan 95% kasus terjadi pada 5 tahun pertama. Insidensi dermatitis atopik paling tinggi terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit ini dapat mengalami remisi terutama di masa remaja, dan dapat kambuh kembali saat dewasa (Krafchik, 2011). Sekitar 60% kasus dermatitis terjadi pada tahun pertama kehidupan, 85% dermatitis atopik terjadi pada 5 tahun pertama dan jarang terjadi setelah umur 45 tahun. (Beltrani and Boguniewicz, 2004). Dermatitis atopik dapat mengenai kedua jenis kelamin, kejadian saat dewasa lebih banyak pada wanita, sedang pada anak-anak lebih banyak laki-laki (Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010). Pada 70 % kasus dermatitis atopik umumnya dimulai saat anak-anak di bawah 5 tahun dan 10% saat remaja / dewasa (William H.C., 2005). Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa. Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir (Judarwanto W., 2009). Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami dermatitis atopik (Djuanda et al., 2007). Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita dermatitis atopik (Williams, 2000). Prevalensi pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Angka prevalensi yang pernah dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di Jepang dan 20,8% di Singapura (Tay et al., 2002). Prevalensi dermatitis atopik di Indonesia sendiri juga bervariasi. Data dari tujuh RS di lima kota besar di Indonesia pada tahun 2000 menemukan dermatitis atopik masih menempati peringkat pertama (23,67%) dari 10 besar penyakit kulit anak (Anonim-2, 2000). Data serupa pada tahun 2005 dari 10 RS besar di seluruh Indonesia menemukan angka 36% dari seluruh kasus (Anonim-1, 2005). Menurut Boediardja (1996) yang telah mengumpulkan data prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun (Oktober 1994 - September 1995) diperoleh dari 10 rumah sakit terbesar di Indonesia dengan jumlah total 3237, kelompok umur terbanyak 5 - 14 tahun diikuti 1 - 4 tahun dan sisanya penderita dewasa. Jumlah penderita perempuan sebanyak 1851 orang sedangkan laki-laki sebanyak 1386 orang. (Boediarja, 1999).
  • 3. Data morbiditas di 10 rumah sakit besar yang tersebar di Indonesia menunjukkan bahwa dermatitis atopik mencapai 36% dari keseluruhan diagnosis dermatitis. (Anonim-1, 2005). Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan pertama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien DA mengalami peningkatan sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien (11.05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%) (Zulkarnain I., 2009). Prevalensi pada anak laki- laki sekitar 20 %, 12 persen pada tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11% pada tahun sebelum tahun 2000) (Tada J., 2002). Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35% berkembang menjadi rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma, and Alergies in Children prevalensi gejala dermatitis atopik pada anak usia enam atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni kurang dari dua persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di Australia, Inggris dan Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita DA dari usia satu sampai lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang, 2 persen kasus berat (William H.C., 2005).
  • 4. BAB II PATOFISIOLOGI a. Definisi Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen. Sedangkan atopi berasal dari kata atopos (Yunani) yang berarti Out of Place atau Strange diseases. Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya misalnya asma bronkial, rinitis alergika, dermatitis atopik, dan konjungtivitis alergik (Djuanda, dkk., 2005). Atopi adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya misalnya asma bronchial, rhinitis alergika, dermatitis atopik dan konjungtivitis alergik atau juga bisa berarti hipersensitifitas familial di kulit dan membran mukosa terhadap alergen lingkungan, terkait dengan peningkatan produksi IgE, diikuti dengan perubahan reaktifitas di kulit pada pasien dermatitis atopik (DA) dan di paru pada pasien asma. Pada sebagian besar pasien dengan berbagai faktor misalnya adanya kerusakan fungsi sawar kulit, infeksi dan stress merupakan faktor yang lebih penting bila dibandingkan dengan reaksi alergi. Atopi juga dapat didefinisikan sebagai sifat hipersensitivitas kulit dan membran yang bersifat mukosa familial, terhadap bahan-bahan dari lingkungan, yang berhubungan dengan peningkatan sekresi IgE dan/atau keadaan reaktivitas jaringan yang mengalami perubahan, pada kulit penderita DA atau paru penderita asma (Wollenberg and Bieber, 2000, Leung, 2000). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dijabarkan definisi dermatitis menurut beberapa peneliti yakni : Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang berhubungan dengan atopi, yaitu sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misal: asma bronkial, rinitis alergika, konjungtivitis alergika (Djuanda et al., 2007). Dermatitis atopik adalah dermatitis yang sering terjadi pada orang yang mempunyai riwayat atopi, serta merupakan jenis dermatitis yang paling sering dijumpai (Harahap, 2000). Penyakit ini ditandai adanya pruritus, lesi eksematosa, xerosis (kulit kering, dan likenifikasi (penebalan kulit) (Krafchik, 2011). Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dengan adanya hipereaktivitas kulit terhadap pengaruh lingkungan yang pada umumnya tidak membahayakan bagi orang-orang yang normal (Leung, et al., 2004). Penderita dermatitis atopik memiliki serum IgE, eosinofil dan dehidrogenase laktat yang meningkat (Reitamo et al., 2000).
  • 5. Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang bersifat menahun dan kumat-kumatan, umumnya muncul pada waktu bayi, kanak-kanak ataupun dewasa yang mempunyai riwayat atopik pada diri sendiri atau pada keluarganya, baik berupa asma, rinitis alergi, konjungtivitis ataupun DA (Wutrich and Grendelmeier, 2002; Leung et al., 2008; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010). Dermatitis atopik adalah kondisi yang sangat umum, khususnya selama masa anak-anak. Dermatitis atopik adalah peradangan pada epidermis dan dermis yang bersifat kronis, residif, sering berhubungan dengan individu atau keluarga dengan riwayat atopi, distribusi simetris, biasanya terjadi pada individu dengan riwayat gangguan alergi pada atau individu tersebut. Dermatitis atopik merupakan dermatitis tersering dijumpai pada anak. Awitan biasanya pada masa anak dan sering dialami oleh anak dengan riwayat alergi saluran nafas dan riwayat atopi pada keluarga. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan. Dermatitis atopi adalah salah satu bentuk penyakit alergi, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum. Kelainan kulit berupa papul gatal yang kemudian mengalami ekskoriasi, likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksular). Data muktahir mendukung bahwa dermatitis atopik merupakan kelainan alergik dan mempunyai keterkaitan erat secara imunologik dengan asma. Dermatitis atopik atau biasa disebut sebagai eksem atopik merupakan suatu kondisi peradangan pada kulit yang dapat menyebar. Penyakit ini terkenal sebagai penyakit yang “kejam” karena dapat menimbulkan bulatan yang sangat gatal dan penuh guratan. Gejala khas dari dermatitis atopik adalah penyakitnya kronis, dapat kambuh, kulit gatal dan meradang. Pada penyakit ini timbul gatal yang amat sangat dan tidak tertahankan sehingga pasien akan menggaruknya hingga timbul rasa sakit yang kemudian berdampak pada guratan. Walaupun istilah atopi secara umum digunakan untuk mendeskripsikan kondisi seseorang yang rentan terhadap alergi, asma, serta dermatitis atopik, pada penyakit ini tidak ada tanda-tanda atopi yang jelas. Memang, terdapat suatu studi yang menunjukkan asosiasi antara kondisi-kondisi kronik tersebut. Sejumlah 80% anak dengan dermatitis atopik memiliki kecenderungan mengalami rhinitis alergi atau asma atau memiliki riwayat keluarga alergi (Sukandar, et al., 2011) b. Etiologi Selama beberapa dekade terakhir ini telah banyak upaya untuk mencari penyebab dari kondisi tersebut. Akan tetapi, belum ada penyebab absolut yang diketahui. Hal tersebut karena penyakit ini sangat kompleks dan melibatkan berbagai mekanisme, meliputi genetik, lingkungan, dan imunologi. Komponen genetik berpengaruh secara kuat pada dermatitis atopik. Sebagai contoh, apabila salah satu dari orang tua memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik sebesar 60%, sedangkan apabila dua orang tua memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik sebesar 80%. Selain itu, diketahui juga bahwa riwayat atopik pada ayah akan lebih berpengaruh. Kebanyakan pasien dengan dermatitis atopik mengalami peningkatan kadar serum eosinofil dan IgE. Fakta tersebut mendukung
  • 6. kenyataan bahwa besar kemungkinan anak dengan dermatitis atopik dapat mengalami rhinitis alergi atau asma. Nampak bahwa hampir setiap imunosit, termasuk sel langerhans, monosit, makrofag, limfosit, sel mast, dan keratinosit, menunjukkan abnormalitas pada dermatitis atopik (Sukandar, et al., 2011) Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009). Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus (Mansjoer A.,dkk., 2001). Faktor pencetus lain di antaranya yaitu Makanan Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009). Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat. Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009). Alergen hirup Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim (Judarwanto W., 2009). Infeksi kulit Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin
  • 7. tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk, 2009., tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus. c. Patogenesis Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009). Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86% (Judarwanto W., 2009). Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%. Sawar kulit Hilangnya ceramide di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo R.W., 2009). Respon imun kulit sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil (Judarwanto W., 2009). Imunopatologi kulit. Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh
  • 8. darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009). Lingkungan Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009). Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun oleh pajanan antigen mikroba di negara barat mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009). Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009). Imnopatogenesis DA Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. Kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik. Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001). Respon imun sistemik terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009). • Reaksi imunologis DA Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan
  • 9. berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi. • Ekspresi sitokin Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut. Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat. Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema (Judarwanto W., 2009). Antigen Presenting Cells Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan berperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009). Faktor non imunologis Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W., 2009). Autoalergen Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE terhadap protein manusia. Autoalergen tersebut merupakan protein intraseluler, yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. Pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut
  • 10. dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas (Soebaryo R.W., 2009). Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010). Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins, eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL- 3), IL-5, IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).
  • 11. Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).  Abnormalitas klinis Alergi pernapasan umumnya berhubungan dengan DA pada usia dewasa (70% pasien). Alergen yang paling sering ditemukan antara lain debu, serbuk sari, bulu binatang, dan jamur. Alergi makanan cenderung terjadi pada bayi dan anak-anak penderita DA, sejak usia 2 tahun kemudian diikuti dengan alergi inhalasi (Helen, 2008). Susu sapi, telur, kacang dan kedelai adalah penyebab yang paling sering ditemukan (Sampson, 2004; Han, 2004). Agen mikroba terutama Staphylococcus aureus berkoloni pada 90% lesi kulit DA. Karbohidrat, protein dan glikolipid dari mikroba – mikroba tersebut dapat berfungsi sebagai antigen asing yang terdapat dalam molekul MHC kelas I dan kelas II dan eksotoksinnya juga dapat berfungsi sebagai superantigen, semuanya dapat memperparah dermatitis. (Kang K, 2003; Laonita, 2000)  Disfungsi sawar kulit Pada penderita DA terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan
  • 12. toleransi dan hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi peningkatan proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit. Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian yang penting pada patogenesis DA. Perubahan kandungan lipid di stratum korneum merupakan penyebab perubahan sawar kulit. Stratum korneum menyusun sawar utama untuk difusi melewati kulit. Substansi itu terdiri dari korneosit dan lipid, terutama ceramid, sterol dan asam lemak bebas. Ceramid berperan menahan air dan fungsi sawar stratum korneum. Kadar ceramid pada penderita DA rendah dan hal tersebut menyebabkan gangguan sawar kulit. (Lawrence, 2003; Abramorvits, 2005; Wuthrich et al., 2007).  Imunopatologi Ketidaknormalan imunologik termasuk disregulasi sel T, peningkatan kadar IgE, dan penurunan jumlah IFN- memegang peranan yang penting dalam patofisiologi dari DA (Blauvelt, 2003). Sel Langerhans (SL) epidermis dan sel dendritik dermis sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell, APC) pada DA dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi IgE alergen spesifik yang terikat pada reseptor FcIgE (Wollenberg and Bieber, 2000) . Aktivasi sel T yang berlebihan pada lesi kulit merupakan ciri khas dari DA. Sel T pada dermatitis atopik akut akan mengeluarkan sitokin Th2 yang akan menginduksi respon lokal IgE untuk menarik sel-sel inflamasi (limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan pengeluaran dari molekul adhesi (Helen, 2008). Dermatitis atopik kronik, juga terjadi peningkatan pengeluaran dari sitokin Th1 seperti IFN- dan IL-12 yang akan memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag (Leung and Soter, 2001; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010). Sel T menunjukkan peran sentral dalam proses terjadinya DA. Sel T mempunyai subpopulasi yang berperan dalam terjadinya DA, yaitu Th1 dan Th2. Perkembangan sel T menjadi sel Th2 dipacu oleh IL- 10 dan Prostaglandin (PG)E. Sel Th2 mengeluarkan IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Interleukin 4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level IgE dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit. Sel Th1 menginduksi produksi IL-1, IFN- , dan TNF, mengaktivasi makrofag dan memperantarai reaksi hipersensivitas tipe lambat. IFN- akan menghambat proliferasi sel Th2, ekspresi IL-4 pada sel T, dan produksi IgE (Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010). Infiltrat seluler yang terbanyak pada lesi DA akut, adalah sel T CD4+ yang mengeluarkan sel T memori dan homing reseptor cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA). Sel T ini akan menyebabkan peningkatan IL-4, IL-5 dan IL-13, dimana IL-4 dan IL-13 berperan penting dalam menginduksi molekul adhesi yang akan menarik sel-sel inflamasi k edalam kulit (Boguniewicz and Leung, 2000).  Imunoregulasi cell mediated Sel-sel langerhans (SL) monosit/magrofag, limfosit, eosinofil, sel mast/basofil dan keratinosit adalah tipe-tipe sel utama yang berperan aktif dalam imunoregulasi DA. Sel langerhans adalah sel
  • 13. dendritik penghasil antigen (APC) yang terdapat dalam dermis. Pada kulit normal, terjadi kompartementalisasi fenotip SL. SL epidermal adalah CD1a, CD1b+ dan CD36-. Namun dalam kulit lesi DA SL dermal dan epidermal mengeluarkan CD1a dan b serta CD38, CD32 dan FcεR1 dalam jumlah besar. SL tersebut disebut sebagai sel-sel epidermal dendritik inflamasi. Fcε R1 adalah reseptor IgE berafinitas tinggi yang ekspresi rata-ratanya meningkat pada SL penderita DA. Pengaruh fungsional kelainan fenotip ini belum dipahami dengan jelas, namun SL diduga berhubungan dengan peningkatan aktivitas produksi antigen terhadap sel T autoreaktif (Kang K, 2003). Kelainan imunologi yang utama pada DA berupa pembentukan IgE yang berlebihan, sehingga memudahkan terjadinya hipersensitivitas tipe I dan gangguan regulasi sitokin. Terdapat 2 fase partisipasi IgE dalam menimbulkan suatu respon inflamasi pada DA yaitu : (Spergel and Schneider, 1999; Arshad, 2002; Beltrani and Boguneiwicz, 2004) - Early phase reaction (EPR), terjadi 15-60 menit setelah penderita berhubungan dengan antigen, dimana antigen ini akan terikat IgE yang terdapat pada permukaan sel mast dan akan menyebabkan pelepasan beberapa mediator kimia antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan kulit. - Late phase reaction (LPR), terjadi 3-4 jam setelah EPR, dimana terjadi ekspresi adhesi molekul pada dinding pembuluh darah yang diikuti tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada area radang, mekanismenya terjadi karena peningkatan aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3 ,IL-4, IL-5, IL-13, GM-CSF yang menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk IgE dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak terjadi peningkatan Th1. Garukan dapat menyebabkan rangsangan pada keratinosit untuk mensekresi sitokin yang menyebabkan migrasi Th 2 ke kulit (Spergel and Schneider, 1999). d. Prognosis Perjalanan penyakit DA pada seseorang tidak dapat diperkirakan, namun akan terlihat lebih berat dan persisten pada tipe anak-anak. Selain itu juga didapatkan bahwa pada hampir 40% kasus penderita dermatitis atopik mengalami resolusi spontan setelah mereka berumur 5 tahun. Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja, sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu :  DA luas pada anak  Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial  Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung  Awitan (onset) DA pada usia muda  Anak tunggal
  • 14. Kadar IgE serum sangat tinggi Perkembangan penyakit dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti karena beberapa penelitian memiliki kekurangan dalam hal ukuran sampel dan definisi yang tidak jelas mengenai remisi, follow up yang tidak adekuat, bias seleksi pada kohort, dan kehilangan banyak pasien yang harus di follow up. Meskipun demikian kesembuhan dermatitis atopi sulit diperkirakan secara individual, dan penyakit secara umum berkembang menjadi parah dan menetap pada anak-anak. Periode remisi seringkali nampak pada pasien yang telah bertumbuh kembang. Resolusi spontan dari dermatitis atopik telah dilaporkan terjadi pada usia setelah lima tahun dalam 40 hingga 60 persen dari pasien yang menderita ketika bayi, umumnya hal ini terjadi jika penyakitnya ringan. Meskipun penelitian terakhir menyarankan bahwa hampir 84 persen dari anak-anak teratasi penyakit dermatitis atopik ketika remaja, lebih banyak penelitian terakhir telah dilaporkan bahwa dermatitis atopi akan menghilang pada hampir 20 persen anak-anak yang diikuti perkembangannya mulai dari bayi hingga remaja, tetapi beberapa menjadi parah pada jumlah 65 persen. Sebagai tambahan, lebih dari setengah remaja yang telah ditangani, akan kambuh lagi ketika dewasa. Hal yang terpenting dalam konseling okupasi, orang dewasa yang masa kecilnya menderita dermatitis atopi dan telah mengalami remisi selama beberapa tahun, mungkin akan menderita dermatitis tangan, khususnya jika pekerjaan kesehariannya berhubungan dengan hal-hal yang membasahkan tangan. Penderita dermatitis atopik yang bermula sejak bayi, sebagian ( 40 % ) sembuh spontan, sebagian berlanjut ke bentuk anak dan dewasa. Ada pula yang mengatakan bahwa 40- 50% sembuh pada usia 15 tahun. Sebagian besar menyembuh pada usia 30 tahun. Secara umum bila ada riwayat dermatitis atopic di keluarganya bersamaan dengan asma bronchial, masa awitan lambat, atau dermatitisnya berat, maka penyakitnya lebih persisten.
  • 15. BAB III Presentasi Klinis (Gejala dan Tanda) dan Diagnosis a. Clinical Presentation (Gejala dan Tanda)/ Manifestasi Klinik Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009). Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta (Djuanda et al., 2007). Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005). Subyektif selalu terdapat pruritus. Terdiri atas 3 bentuk, yaitu : 1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun) Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris di kedua pipi (Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya di daerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi di kedua pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor (Mansjoer A.,dkk., 2001). Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005). Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
  • 16. 2. Bentuk anak (2 - 12 tahun) Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang di wajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). Lesi DA pada anak juga bisa terjadi di paha dan bokong (Zulkarnain I., 2009). Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor (luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005). Gambar 4.a Gambar 4.b.
  • 17. Gambar 4.c. Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005). 3. Bentuk dewasa (> 12 tahun) Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal. Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul miliar, di tengahnya terdapat lekukan), dll (Mansjoer A.,dkk., 2001). Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005). Gambar 5.a.
  • 18. Gambar 5.b. Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005). Gambar 6: Tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009). Gambar 7: Tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W., 2009).
  • 19. b. Diagnosis Kriteria mayor dan minor dalam diagnosis dermatitis atopik meliputi keberadaan pruritus dengan tiga atau lebih gejala berikut : 1. Riwayat dermatitis fleksural di wajah pada anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun. 2. Riwayat asma atau rhinitis alergi pada anak-anak atau keluarga tingkat pertama. 3. Riwayat xerosis dalam setahun terakhir. 4. Nampak eksem fleksural. 5. Onset munculnya ruang pada usia 2 tahun. Jika bukan merupakan dermatitis atopik, gejala yang muncul dapat menjadi suatu indikator adanya kondisi atau diagnosis dari penyakit lain. Oleh karena itu, rujukan kepada spesialis amat diperlukan. Perlu dicatat bahwa kriteria tersebut merupakan kriteria yang akan membantu para klinisi untuk menentukan diagnosis secara tepat. Meskipun ditemukan peningkatan IgE dan eosinofil perifer pada dermatitis atopik, belum ada tes laboratorium tunggal yang dapat terpercaya untuk digunakan dalam diagnosis dermatitis atopik sebab beberapa pasien tidak menunjukkan abnormalitas pada kedua parameter tersebut. Tes kulit atau ELISA dapat digunakan untuk identifikasi serta eksklusi atopi yang mungkin disebabkan oleh pemicu alergi, tetapi tidak cukup spesifik dan sensitif untuk diagnosis. Tidak hanya diagnosis atau tes laboratorium yang kurang, tetapi juga kurang dalam hal standarisasi tingkat keparahan penyakit. Saat ini terdapat sistem skor yang disebut sebagai indeks SCORAD (the Severity Scoring of Atopic Dermatitis). Sistem tersebut diabsorsi dari the European Task Force on Atopic Dermatitis. Walaupun sering digunakan, sistem tersebut masih menunjukkan adanya variasi tiap pengamat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belum ada konsensus yang objektif mengenai skala keparahan sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut (Sukandar, et al., 2011). Kriteria dermatitis atopik yang disusun oleh Hanifin dan Rajka dan dimodifikasi oleh William (1994) adalah sebagai berikut : KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR Pruritus Serosis Dermatitis di muka/ ekstensor pada bayi dan Infeksi kulit khususnya S.aureus dan Herpes anak-anak simplex Dermatitis flexura pada dewasa Dermatitis non spesifik pada kaki dan tangan Dermatitis kronik Iktiosis / hiperlinearis Palmaris Riwayat atopi pada penderita atau pada Pitiaris alba keluarga penderita Dermatitis papilla mammae White dermatografism dan delayed blanched response Keylitis
  • 20. Lipatan infra orbital dennie-morgan Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subkapsular anterior Orbita menjadi gelap Muka pucat atau eritema Gatal bila berkeringat Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak Aksentuasi perifolikular Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi Tes kulit alergi tipe dadakan positif Kadar IgE di dalam serum meningkat Awitan pada usia dini Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu: 1. Kriteria Mayor Riwayat atopi pada keluarga Dermatitis di muka atau ekstensor Pruritus 2. Ditambah 3 kriteria minor : Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris Fisura belakang telinga Skuama di scalp kronis. (Djuanda et al., 2007) Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki dan menyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis D.A. yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis. Pedoman diagnosis D.A. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu :
  • 21. - Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok. - Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut : 1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun). 2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun). 3. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir. 4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun). Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun). Tingkatan Dermatitis Atopik Nilai 1. Luasnya kelainan kulit a. Fase anak dan dewasa 1 <9% luas tubuh 2 >9%-36% 3 >36% luas tubuh b. Fase Infantil 1 18% luas tubuh terkena 2 18%-54% 3 54% luas tubuh terkena 2. Perjalanan Penyakit 1 Remisi > 3 bulan dalam 1 tahun 2 Remisi < 3 bulan dalam 1 tahun 3 Kambuhan 3. Intensitas Penyakit 1 Gatal ringan, kadang-kadang terganggu tidur 2 Gatal sedang 3 Gatal hebat selalu tidur. Penilaian 3-4 : ringan
  • 22. 4,5-7,5 : sedang 8,5-9 : berat (Harahap, 2000). c. Diagnosis Banding Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001). Diagnosis banding lainnya : Dermatitis Kontak Alergi Dermatophytosis atau dermatophytids Sindrom defisiensi imun Sindrom Wiskott-Aldrich Sindrom Hyper-IgE Penyakit Neoplastik Langerhans’ cell histiocytosis Penyakit Hodgkin Dermatitis Numularis Dermatitis Seborrheic Berikut penjelasan mengenai jenis diagnosa banding terhadap dermatitis atopik antara lain : 1. Dermatitis seboroik Ditandai erupsi berskuama, salmon colored atau kuning berminyak yang mengenai kulit kepala, pipi, badan, ekstremitas dan diaper area. Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian. 2. Dermatitis kontak Biasanya lesi sesuai dengan tempat kontaktan, lesi berupa popular miliar dan erosif. Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena sepatu (Judarwanto W., 2009). 3. Dermatitis numularis Penyakit yang ditandai lesi yang berbentuk koin. Ukuran diameter 1 cm atau lebih, timbul pada kulit yang kering. 4. Psoriasis Lesi psoriasis berwarna merah dan skuama seperti perak micaceous (seperti mika). Predileksi psoriasis di permukaan ekstensor, terutama pada siku dan lutut, kulit kepala dan daerah genital. 5. Skabies
  • 23. Pada bayi, gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida. Diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat rasa gatal di malam hari, distribusi lesi yang khas, dengan lesi primer yang patognomonik berupa adanya burrow dan adanya kutu pada pemeriksaan mikroskopik. 6. Penyakit Lettere-Siwe Biasanya terjadi pada tahun pertama dari kehidupan. Pada penyakit ini erupsi kulit biasanya mulai dengan skuama, eritematosa, seborrhea-like pada kulit kepala, di belakang telinga, dan pada daerah intertriginosa. 7. Acrodermatitis enteropathica Suatu penyakit herediter yang ditandai dengan lesi vesikulobullous eczematoid di daerah akral dan periorifisial, kegagalan pertumbuhan, diare, alopesia, kekurangan gizi dan infeksi kandida. 8. Sindroma Wiskott-Aldrich Penyakit X-linked resesif, ditemukan pada anak lelaki muda ditandai dengan dermatitis eksematosa rekalsitrant, disfungsi platelet, trombositopeni, Infeksi pyogenik rekuren dan otitis media supuratifa. 9. Dermatitis herpetiformis Penyakit yang menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal. 10. Sindroma Sezary Ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universial disertai skuama dan rasa sangat gatal. Penyakit Gambaran klinis Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga Contact dermatitis tidak ada Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai Sistemik dengan penyakit Dermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipata Dermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negatif
  • 24. Immmunodefisiensi Riwayat infeksi berulang disorder Diagnosis Banding Dermatitis Atopik Kemungkinan besar  Dermatitis kontak (alergi dan iritan)  Dermatitis seboroik  Scabies  Psoriasis  Ichthyosis vulgaris  Keratosis pilaris  Dermatofitosis Dipertimbangkan  Asteotic eczema  Liken simplek kronis  Dermatitis numular  Juvenil palmar-plantar dermatosis  Impetigo  Drug eruptions  Perioral dermatitis  Pityriasis alba  Photosensivity disorder (hidroa vacciniform; polymorphous light eruption, porphyrias)  Moluscum dermatitis Gangguan kurang umum atau langka terutama pada remaja dan dewasa  Cutaneous T-cell lymphoma (kycosis fungoides atau sindrom Sezary)  Human immunodeficiency virus  Dermatosis  Lupus eritematosus  Dermatomitosis  Graft-versus-host disease  Pemphigus foliacues  Dermatitis herpetiformis  Photosensivity disorder (hidroa vacciniform; polymorphous light eruption, porphyrias) Gangguan kurang umum atau langka terutama pada bayi dan anak  Metabolik / nutrisi  Phenilketonuria  Prolidase deficiency  Multiple carboxylase deficiency  Defisiensi Zinc (Acrodermatitis enteropathica; prematuritas; defisiensi breast milk zinc; cystic fibrosis)  Lainnya: Biotin, essential fatty acids, organic acidurias  Primary immunodeficiency disorders  Severe combined immunodeficiency disorder  DiGeorge syndrome  Hypogammaglobulinemia  Agammaglobulinemia  Wiskot – Aldrich syndrome  Ataxia telengiektasi  Hyperimmunoglobulin E syndrome  Chronic mucocutaneous candidiasis  Omenn syndrome  Sindrom genetik  Netherton syndrome  Hurler syndrome  Inflammatory, autoimune disorders  Eosinophilic syndrome  Gluten-sensitive enteropathy  Neonatal lupus erythematous  Proliferative disorder  Langerhans cell histiocytosis