Dokumen tersebut membahas hukum-hukum penting dalam puasa, termasuk hal-hal yang diperbolehkan dan disunnahkan bagi orang yang sedang berpuasa. Beberapa hal yang diperbolehkan adalah bersiwak, mandi atau membenamkan diri di air untuk mendinginkan badan, memakai obat mata atau tetes mata, serta makan dan minum secara tidak sengaja. Sedangkan hal-hal yang disunnahkan antara lain menyegerakan berbuka pu
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
PUASA-SEHAT
1. HUKUM-HUKUM YANG TERPENTING DALAM PUASA
a. HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN BAGI ORANG PUASA
Pertama, siwak (gosok gigi) sepanjang siang. Ia tidak masalah (la ba’tsabih) bagi orang
puasa, merujuk pada peraturan Ammar bin Rabi’ah: “Aku melihat Nabi sering bersiwak
hingga tak terhitung jumlahnya (karena saking seringnya) padahal beliau sedang berpuasa.”
At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Ziyad bin Hudair menambahkan: “Belum
pernah kulihat seseorang pun yang lebih kontinu bersiwak dengan siwak basah selagi
berpuasa daripada Umar bin Khaththab.” Namun, Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hanbal
memakruhkan siwak bagi orang puasa setelah tergelincir matahari, berdasarkan sabda
Rasulullah: “Sungguh bau mulut orang puasa lenih wangi di sisi Allah daripada aroma
minyak misik.” Hal itu dimaksutkan agar orang yang berpuasa tetap menjaga bau mulut yang
berubah-ubah tersebut, yang dibahasakan dalam hadis tersebut sebagai “khaluf”. Karena itu,
Imam Ahmad mengatakan: “Karena (ingin mempertahankan) bau tersebut aku tidak suka
bersiwak di petang hari.” Lepas dari boleh dan makruh, sebaiknya batang siwak yang
digunakan untuk bersiwak benar-benar kering. Sebab ada sebagian kalangan yang
memakruhkan pengunaan siwak basah karena hal itu dikhawatirkan dapat membatalkan
puasanya, mengingat adanya kemungkinan terjadi pelapasan bebrapa bagian dari kandungan
basah siwak tersebut ke dalam tenggorokan hingga rentan membatalkan puasa. Namun, ada
juga yang menyatakan tidak makruh, berdasarkan sejumlah riwayat yang telah diriwayatkan
dari Umar dan sahabat lainnya. Kedua, turun ke air dan membenamkan diri di dalamnya
untuk mandi atau untuk mendinginkan badan karena suhu panas yang ekstrem, baik dengan
mengguyurkan air ke badannya atau membenamkan diri di dalamnya. Hal ini mengacu pada
hadis, tuturnya: “Aku pernah melihat Rasulullah mengguyurkan air ke kepalanya ketika
sedang berpuasa karena kehausan atau kepanasan.” Jika ada setitik air yang masuk hingga
otaknya akibat berlebih-lebihan maupun kesengajaan, maka tidak masalah. Lain halnnya, jika
ia menyelam ke dalam air untuk tujuan mendinginkan badan, maka hal itu makruh.
Sedangkan Abu Hanifah dan Malik tegas membatalkan puasa orang yang berbuat demikian,
karena ia telah mengalirkan air ke dalam kerongkongan dengan penuh kesadaran akan status
puasanya, sehingga batal puasanya. Dalam hal ini ia seperti orang yang minum dengan
sengaja. Puasa juga dianggap batal oleh mereka jika berlebih-lebihan dalam berkumur dan
ber-istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung). Akan, tetapi, Imam Ahma bin Hanbal tidak
membatalkan puasa orang yang berlebih-lebihan membuang air.
Ketiga,memakai celak, tetes mata, dan sejenisnya yang bisa masuk ke mata, baik yang
dapat dirasakan rasanya ditenggorokan maupun tidak. Sebab mata bukanlah lubang ke dalam
kerongkongan sehingga orang yang berpuasa tidak batal puasanya jika ia memakai celak,
2. disuntik pada otot atau pembuluh nadi (bukan suntik dari anus yang disebut enema). Meski
demikian, bercelak selama puasa menurut kalangan ulama mazhab Syafi’i bertentangan
denga yang utama (khilaf al-auld). Keempat, diperbolehkan juga bagi orang melakukan hal-
hal yang tidak dapat diwaspadai, misalnya menelan ludah dan kemasukandebu jalanan atau
kulit gandum, meski sebanyak apapun, karena sulit dihindari dan demi menepis rasa
keberatan (harj dan masyaqqah). Aisyah dan Atha bahkan member keringan untuk
mengunyah ‘ilk atau liban (getah), sebab tidak ada sedikit pun yang sampai ke kerongkongan
dan ia seperti kerikil yang diletakkan di dalam mulut. Hal ini diperbolehkan jika bagian-
bagiannya yang mengalami proses pencairan dan turun ke kerongkongan, maka puasanya
batal. Kelima, makan dan minum tanpa sengaja atau lupa. Hanya saja, Imam Malik
memandang perlunya mangqadha puasa dalam kondisi ini jika memang puasa dilakoninya
adalah puasa fardhu demi kehati-hatian, sedangkan jika puasa sunnah maka tidak perlu
diqadha sama sekali.1
b. HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN DALAM PUASA
Berikut ini hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang berpuasa:
Pertama, menyegerakan berbuka puasa ketika matahari sudah jelas-jelas terbenam dan
menjelang shalat, merujuk pada sabda Nabi: “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka
menyegerakan diri berbuka puasa.” Anas juga menuturkan: “Nabi tidak pernah shalat maghrib
sebelum berbuka puasa, meskipun hanya dengan seteguk air.” Kedua, berbuka dengan kurma
matang, lalu kurma kering, kemudian manisan, baru setelah itu air. Dari ketiganya, yang paling
afdhal adalah yang pertama. Disunnahkan juga berbuka dengan jumlah yang ganjil: Tiga. Lima,
atau tujuh, merujuk pada peraturan Anas bin Malik: “Rasulullah selalu berbuka puasa dengan
menu kurma-kurma matang (ruthab) sebelum shalat. Jika tidak ada maka dengan beberapa buah
kurma kering (tamar). Dan jika tidak ada juga, beliau berbuka dengan beberapa teguk air.”
Semua ini mengandung hikmah tersendiri. Menurut data medis, za gula dan air merupakan
asupan pertama yang dibutuhkan tubuh orang puasa setelah berpuasa selama beberapa waktu.
Sebab kekurangan gula dalam tubuh dapat menyebabkan kesempitan tenggorokan dan kekacauan
fungsi syaraf, sementara kekurangan air dalam tubuh dapat menyebabkan kelemahan tubuh dan
penurunan daya tahannya, sehingga tidak mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara
maksimal. Air yang dicampur dengan pemanis gula juga mengandung banyak manfaat, sebab ia
dapat diserap oleh usus dalam tempo kurang dari lima menit, sehingga tubuh pun langsung
merasa segara, dan gejala-gejala kekurangan gula maupun air didalamnya juga hilang. Lain
halnya dengan orang puasa yang langsung mengisi perutnya dengan makanan dan minuman pada
saat berbuka. Ia membutuhkan waktu tiga atau empat jam agar usus-ususnya dapat menyerap
gula, sehingga ia seperti orang yang berpuasa wishal (menyambung puasa tanpa berbuka), dan
1 Abdul Aziz Muhammad Azzam&Abdul Wanhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah Thaharah,Zakat,Puasa,dan Haji,
hal.471-473,Jakarta,2013.
3. lebih lanjut ia dapat mengalami kesulitan pencernaan. Ketiga, berdoa ketika hendak berbuka
puasa dengan mengucapkan doa berikut: “Yaallah, bagi-Mu aku berpuasa dan atas reseki-Mu
aku berbuka, maka terimalah puasaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” Ibnu Umar memiliki doa yang lain. Ia berucap: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu,
demi rahmat-Mu yang melingkupi segala sesuatu, ampunilah dosa-dosaku.”Keempat,
mengakhiri makan sahur. Waktu sahur dimulai dari awal sepertiga malam terakhir, dan semakin
mundur semakin baik (afdhal), selama tidak ragu-ragu akan tibanya fajar. Nabi bersabda,
“Sesungguhnya sebaik-baiknya hal yang membedakan antara puasa kita dan puasa ahlulkitab
adalah makan sahur.” Beliau juga bersabda, “Makan sahurlah, sesungguhnya ada keberkahan di
balik makan sahur.” Adapun hikmah disyariatkannya makan sahur adalah ia dapat memberikan
kekuatan dalam menjalankan ibadah. Makan sahur sendiri dapat dilakukan dengan sedikit
makanan dan air. Disebutkan dalam Shahih Ibn Hibban, “Makan sahurlah kalian, meski hanya
dengan setuguk air.” Kelima, meninggalkan pembicaraan yang buruk dan tercela. Jika sampai
mengakibatkan dosa, maka hukumannya sudah haram dan wajib ditinggalkan, misalnya ghibah
(menggunjing), namimah (mengadu domba), bohong, dan hal-hal yang diharamkan lainnya. Hal
ini didasarkan pada hadist Nabi:”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan
mengamalkannya (selama puasa), maka Allah tidak membutuhkan (jerih payahnya berpuasa)
meninggalkan makanan dan minuman.”Mengenai hal tersebut, Ahmad mengatakan: Jika ghibah
membatalkan puasa, maka tidak ada seorang pun yang sah puasanya. Akan tetapi, Ibnu
Taimiyyah mengemukakan versi lain dari Imam Ahmad yang mengatakan bahwa puasa dapat
batal karena ghibah, namimah, dan sejenisnya. Karena itu, ada kemungkinan puasa dapat batal
dengan segala sesuatu yang diharamkan, sehingga orang yang berpuasa harus menjaga baik-baik
puasanya dan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh kaum salafussaleh. Sebab jika mereka
berpuasa, mereka lebih banyak duduk di dalam masjid dengan alasan: Kami menjaga puasa
kami, tidak menggunjing siapa pu, tidak mengerjakan perbuatan yang membatalkan puasa kami,
sebab perkataan yang tidak senonoh dapat menggugurkan pahala dan membatalkannya.2
2 Ibid,hal.475-478