SlideShare a Scribd company logo
1 of 9
Download to read offline
Penyakit SURRA (Trypanosomiasis)
dan PENGENDALIANNYA
I. PENDAHULUAN
Trypanosomiasis atau Surra adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh agen
Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah
(haematophagus flies). Agen T. evansi telah tersebar luas di kawasan Asia Tenggara,
Afrika dan Amerika Selatan (Jones TW et al.,1996 ; Powar RM et al., 2006). Pada
wilayah yang berbeda tersebut, parasit ini dapat menyerang berbagai spesies hewan.
Di Amerika Selatan, kasus penyakit Surra paling sering ditemukan pada kuda. Hewan
yang terinfeksi di Cina umumnya kuda, kerbau, dan rusa. Di Timur Tengah dan Afrika
parasit ini menyerang unta, dan di Asia Tenggara penyakit Surra dapat ditemukan pada
kuda, sapi, dan kerbau.
Trypanosoma evansi diperkirakan masuk ke Asia Tenggara melalui ternak impor asal
India (Payne et al., 1991). Kasus penyakit Surra pertama kali dilaporkan di Indonesia
pada tahun 1897 pada populasi kuda di Pulau Jawa. Selanjutnya wabah Surra
dilaporkan terjadi pada sapi dan kerbau di Jawa Timur. Tindakan pengendalian wabah
Surra pada waktu itu antara lain isolasi, pemotongan paksa ternak yang terinfeksi dan
membuat perapian di sekitar kandang untuk menghindarkan ternak dari gigitan lalat.
Upaya tersebut kurang berhasil sehingga dalam jangka waktu 10 tahun seluruh dataran
rendah di Pulau Jawa dilaporkan endemik Surra.
Perpindahan ternak secara ekstensif, baik di dalam pulau Jawa maupun antarpulau di
Indonesia merupakan faktor pendukung penyebaran agen T. evansi. Lalat berperan
besar dalam penularan trypanosomiasis, terutama pada saat ternak terinfeksi dibawa
masuk ke daerah yang bebas trypanosoma. Sejak pertama kali dilaporkan, kasus
penyakit Surra telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Studi serologi (Payne RC
et al.,1991) mengkonfirmasi bahwa agen Trypanosoma evansi telah tersebar dan Surra
endemik di seluruh Indonesia.
Manifestasi klinis penyakit Surra pada hewan bervariasi dimana infeksi bisa
berlangsung akut, subklinis dan kronis sehingga menimbulkan dampak ekonomi.
Kerugian ekonomi secara langsung terutama akibat kematian ternak dan biaya yang
dikeluarkan untuk pengobatan. Kerugian secara tidak langsung akibat infeksi subklinis
atau kronis dan kondisi penurunan imunitas (imunosupresi) akibat penyakit Surra serta
penurunan produksi daging dan susu.
Kerugian ekonomi akibat penyakit Surra di benua Asia mencapai US$ 1,3 milyar
pertahun akibat penurunan produksi daging dan susu. Namun sebenarnya angka itu
bisa menjadi lebih besar karena jumlah kasus penyakit Surra yang dilaporkan biasanya
hanya merupakan angka kematian, sedangkan kejadian infeksi subklinis atau kronis
biasanya tidak dilaporkan. Di Indonesia misalnya, keguguran (abortus), gangguan siklus
berahi pada induk betina (anestrus), penurunan bobot badan dan kematian ternak telah
menyebabkan kerugian nasional yang diperkirakan mencapai US$ 22,4 Milyar per
tahun (Luckins AG, 1998).
II. ETIOLOGI
1. Penyebab
Penyakit Surra disebabkan oleh protozoa yang merupakan parasit darah, yaitu
Trypanosoma evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah pada fase
infeksi akut. T. evansi memiliki ukuran panjang 15 to 34 μm dan dapat membelah
(binary fission) untuk memperbanyak diri. Bentuknya yang khas seperti daun atau
kumparan dicirikan dengan adanya flagella yang panjang sebagai alat gerak. Di bagian
tengah tubuh terdapat inti. Salah satu ujung tubuh berbentuk lancip, sedangkan ujung
tubuh yang lain agak tumpul dan terdapat bentukan yang disebut kinetoplast.
Trypanosoma evansi memiliki morfologi yang mirip dengan trypanosoma lainnya seperti
T. equiperdum, T. brucei, T. gambiense dan T. rhodesiense. Permukaan tubuh T.
evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein yang dapat berubah-
ubah bentuk (variable surface glycoprotein). Dengan kemampuan glikoprotein yang
dapat berubah bentuk, maka T. evansi dapat memperdaya sistem kekebalan tubuh
inang (host). Konsekuensinya akan terjadi variasi antigenik (antigenic variation) dimana
tubuh akan selalu berusaha membentuk antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan
protein permukaan yang ditampilkan oleh T. evansi.
Di alam terdapat berbagai jenis trypanosoma pada hewan (animal trypanosomes) yang
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu non patogen dan patogen. Trypanosoma lewisi
merupakan trypanosoma non patogen yang ditemukan pada tikus dan ditularkan
melalui pinjal (rat flea). Jenis trypanosoma yang patogen diantaranya Trypanosoma
brucei yang menyebabkan penyakit Nagana pada ternak di Afrika, Trypanosoma
equiperdum diketahui menyebabkan penyakit Dourine pada kuda yang ditularkan
melalui perkawinan (venereal disease). Trypanosoma equinum yang ditularkan secara
mekanis oleh lalat Tabanus dapat menyebabkan penyakit Mal de Caderas pada kuda di
Amerika Selatan. Di Afrika, Trypanosoma vivax dan Trypanosoma congolense yang
ditularkan oleh lalat tsetse dapat menginfeksi ternak dan manusia (human
trypanosomiasis). Adapun Trypanosoma evansi yang ditularkan secara mekanik oleh
lalat tabanus dapat menyebabkan penyakit Surra pada kuda, sapi dan kerbau.
2. Sifat Agen
Trypanosoma evansi merupakan parasit yang bersirkulasi dalam sistem peredaran
darah. Parasit ini mengambil glukosa sebagai sumber nutrisinya sehingga apabila
hewan terinfeksi tidak memperoleh asupan nutrisi yang baik maka akan terjadi
penurunan kadar gula dalam darah. Kemampuan T. evansi menghasilkan racun
(trypanotoxin) dan melisiskan sel darah merah akan berujung kepada kondisi anemia
pada hewan inang (host).
T. evansi tidak mampu bertahan hidup lama, baik di lingkungan maupun pada bangkai
hewan (OIE, 2009). Parasit ini hanya mampu hidup kurang dari 1 jam di dalam karkas
pada temperatur ruang. Di lingkungan, ekspos terhadap sinar matahari selama 30 menit
akan mematikan trypanosoma. Pada peralatan yang terkontaminasi darah segar,
trypanosoma dapat bertahan dalam waktu singkat, kemudian mati setelah darah
menjadi kering.
3. Imunitas
Kehadiran T. evansi dalam sirkulasi darah akan menggertak reaksi imunitas
(kekebalan). Hal ini terjadi seiring dengan peningkatan kadar protein dalam serum
terutama immunoglobulin M (IgM) sebagai respon imunitas tubuh terhadap adanya
infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Payne et al. (1991) terhadap 15 ekor anak sapi
dan 11 ekor anak kerbau di Jawa Barat-Indonesia menemukan antibodi terhadap T.
evansi yang diduga berasal dari kolostrum. Pada hewan yang terinfeksi, pengobatan
yang diberikan di awal masa infeksi/infeksi akut hanya dapat menggertak titer antibodi
yang bersifat sementara (transient antibody titre), sementara itu pada hewan terinfeksi
kronis antibodi akan terbentuk setelah 4 bulan pasca pengobatan (Nantulya, 1990).
Trypanosoma mempunyai beberapa gen yang mengkode berbagai variasi glikoprotein
permukaan bersifat antigenik yang dikenal dengan istilah variable antigenic type (VAT).
Setiap saat trypanosoma berkembangbiak di dalam tubuh inang, maka akan dibentuk
variasi glikoprotein (VAT) yang baru. Antibodi yang dibentuk oleh tubuh akan
menyesuaikan dengan VAT tersebut. Dengan demikian, imunitas tubuh inang akhirnya
akan selalu berupaya untuk membentuk berbagai antibodi yang sesuai dengan variasi
antigenik yang ditampilkan oleh trypanosoma.
Kondisi imunosupresi (penurunan daya tahan tubuh) yang parahdapat terjadi pada
infeksi olehagen Trypanosoma evansi. Akibatnya hewan inang menjadi lebih rentan
terhadap infeksi sekunder. Respon imun tubuh inang untuk membentuk antibodi pasca
vaksinasi juga mengalami penurunan. Program vaksinasi penyakit viral atau bakterial
pada hewan yang terinfeksi T. evansi harus ditunda hingga kondisi ternak membaik
setelah diberikan pengobatan trypanosidal.
III. EPIDEMIOLOGY
1. Inang (Host)
Trypanosoma evansi dapat menginfeksi berbagai hewan inang (wide host spectrum)
yang secara ekonomis bernilai penting. Kuda sangat rentan terhadap penyakit Surra
dan dapat menyebabkan mortalitas tinggi. Hewan lain yang rentan terinfeksi adalah
sapi, kerbau, kambing, domba dan rusa, namun hewan-hewan tersebut lebih toleran
terhadap infeksi sehingga dapat menjadi hewan pembawa parasit (reservoir). Agen T.
evansi juga dapat menyerang babi, anjing, kucing dan beberapa jenis hewan liar.
Adapun tikus dan mencit merupakan hewan percobaan yang sangat rentan terinfeksi T.
evansi (OIE, 2009) sehingga digunakan dalam teknik inokulasi untuk mendeteksi infeksi
subklinis penyakit Surra.
Manusia, walaupun jarang terjadi, dapat pula terinfeksi T. evansi. Namun infeksi pada
manusia bukanlah infeksi yang terjadi secara alami karena pada dasarnya T. evansi
adalah parasit darah pada hewan (animal trypanosome). Kasus infeksi T. evansi pada
manusia yang pernah dilaporkan terjadi India masih memerlukan kajian lebih lanjut.
2. Cara Penularan
Penularan penyakit Surra antarhewan terjadi melalui darah yang mengandung parasit
T. evansi. Penularan yang paling utama terjadi secara mekanis oleh lalat penghisap
darah (hematophagous flies). Di Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat
Tabanus, Haematopota, dan Chrysops. Jenis lalat lain seperti Stomoxys, Musca,
Haematobia juga dapat menjadi vektor pada saat populasi lalat tersebut meningkat di
suatu wilayah. Walaupun penularan terjadi melalui gigitan lalat, tetapi agen T. evansi
tidak melakukan perkembangan siklus hidup di dalam tubuh lalat.
Hewan karnivora dapat terinfeksi trypanosoma apabila memakan daging yang
mengandung trypanosoma. Penularan melalui air susu dan selama masa kebuntingan
pernah pula dilaporkan (OIE, 2009). Namun karena parasit ini tidak mampu bertahan
lama di luar tubuh inang, maka resiko penularan melalui produk asal hewan (daging
dan susu) dapat diabaikan.
Penularan melalui peralatan kandang seperti dehorner (alat pemotong tanduk) serta
alat-alat medis misalnya jarum suntik dan alat bedah dapat terjadi apabila peralatan
tersebut terkontaminasi darah yang mengandung parasit trypanosoma.
3. Kejadian Penyakit di Dunia dan Indonesia
Di beberapa negara, insidensi penyakit Surra mengalami peningkatan yang signifikan
terutama pada musim hujan. Hal ini terjadi karena populasi lalat penghisap darah
meningkat pada musim hujan. Selain faktor musim, beban kerja yang berlebih pada
ternak, kurangnya nutrisi dan stress lingkungan juga berkaitan dengan penyakit Surra.
Di Indonesia, wabah Surraterjadi secara sporadik. Walaupun terkadang wabah terjadi
lokal, namun mortalitas (kematian) ternak yang terinfeksi cukup tinggi. Gambaran lain
tentang penyakit Surra di Indonesia adalah masih berlangsungnya perpindahan hewan
dari daerah yang tertular Surra ke daerah yang bebas atau sebaliknya.
Penyebaran penyakit Surra yang luas di hampir seluruh wilayah Indonesia dan kejadian
penyakit yang sporadik memperkuat dugaan adanya enzootic stability antara agen T.
evansi dan inang. Hal ini artinya penyakit Surra dapat muncul kapan saja tergantung
dengan faktor lingkungan, kondisi imunitas hewan dan populasi lalat (vektor).
4. Faktor Resiko
Musim hujan merupakan waktu yang tepat bagi lalat Tabanus untuk berkembangbiak.
Dari sedikit kajian tentang perilaku lalat Tabanus diketahui bahwa lalat Tabanus
menyukai habitat air, di dekat sungai, atau tempat lain yang memungkinkan untuk
berkembangbiak. Peningkatan populasi lalat ini biasanya diikuti dengan meningkatnya
kasus infeksi Surra, terutama pada wilayah dimana hewan inang hidup berdampingan
dengan habitat lalat. Selain musim, faktor angin juga berpengaruh yaitu berperan dalam
penyebaran lalat Tabanus. Perpindahan lalat karena tiupan angin dimungkinkan dalam
jarak yang pendek, namun informasi mengenai hal ini masih sangat minim. Faktor lain
yaitu kondisi yang menyebabkan stress pada hewan seperti malnutrisi, kebuntingan,
dan kelelahan dapat menjadi faktor pemicu penyakit Surra.
Trypanosomiasis (Surra) menarik perhatian karena kerentanan infeksi tidak hanya pada
hewan, tetapi juga pada manusia. Trypanosoma evansi pada hewan biasanya tidak
menyebabkan infeksi pada manusia. Kasus infeksi Trypanosoma evansi pada manusia
(human trypanosomiasis) akibat trypanosoma asal hewan (animal tyrpanosomiasis)
sangat jarang ditemukan. Kasus infeksi T. evansi pada manusia di India (RM Powar et
al., 2006) merupakan salah satu kasus infeksi T. evansi asal hewan yang jarang terjadi.
Pasien manusia tersebut menderita demam berulang (intermittent febrile) selama lima
bulan dan mengalami kelelahan. Setelah dilakukan pemeriksaan hematologi, serologi
dan biologi molekuler diketahui bahwa terdapat agen T. evansi di dalam darah pasien,
padahal T. evansi merupakan agen penyebab penyakit Surra pada hewan.
IV. IDENTIFIKASI PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada keganasan/virulensi
agen T. evansi, jenis hewan (host) yang terinfeksi dan faktor lain yang dapat
menimbulkan stress. Lama waktu antara awal infeksi dan munculnya gejala klinis (masa
inkubasi) bervariasi, rata – rata 5 sampai 60 hari pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit
Surra umumnya berlangsung kronis (chronic infection) dengan angka kematian yang
rendah sehingga pernah dilaporkan masa inkubasi yang lebih lama yaitu 3 bulan.
Setelah masa inkubasi, dalam waktu kurang dari 14 hari akan ditemukan parasit yang
beredar dalam sirkulasi darah (parasitemia).
Manisfestasi klinis penyakit Surra dapat berupa gejala demam berulang (intermiten)
akibat parasitaemia. Parasitemia sangat tinggi variasinya selama masa infeksi: tinggi
pada awal infeksi, rendah selama infeksi berjalan kronis dan hampir tidak ada pada
hewan pembawa agen (carrier).
Anemia merupakan gejala yang paling banyak ditemukan pada infeksi oleh
trypanosoma. Membran sel darah merah akan kehilangan salah satu komponen
penyusun yaitu asam sialik (sialic acid). Hal tersebut akan mengaktifkan makrofag pada
organ limpa, hati, paru-paru, limfonodus dan sum-sum tulang untuk memfagosit sel
darah merah sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah.
Gejala lain diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus
prescapularis kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada anggota tubuh
bagian bawah seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada kulit, perdarahan titik (petechial
haemorrhages) pada membran serous kelopak mata, hidung dan anus, keguguran
(abortus), dan gangguan syaraf. Penurunan imunitas tubuh (imunosupresi) juga ditemui
sehingga hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
2. Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan pasca hewan mati (post-mortem examination), perubahan patologi
anatomi yang ditemukan umumnya tidak spesifik. Pada hewan yang mati dapat diamati
kondisi kekurusan (emaciation), perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada
beberapa organ internal, penumpukan cairan abnormal baik pada rongga dada
(hydrothorax) maupun pada rongga perut (ascites), kelenjar pertahanan/limfonodus dan
organ limpa tampak lebih besar daripada ukuran normal (lymphadenopathy dan
splenomegaly).
3. Pengujian Laboratorium
Dikarenakan gejala klinis infeksi T. evansi tidak bersifat khas (patognomonis), maka
pemeriksaan gejala klinis sebaiknya juga ditunjang dengan pengujian di laboratorium
untuk konfirmasi agen penyebab. Uji parasit, uji serologi dan uji molekuler merupakan
teknik pengujian yang digunakan untuk diagnosis konfirmatif di laboratorium.
Uji parasit diantaranya pemeriksaan haematologi (mikroskopik), microhematocrit
centrifugation technique (MHCT) dan mouse inoculation test (MIT). Uji serologi dapat
dilakukan dengan metode card agglutination test for trypanosomes (CATT) dan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), sedangkan uji molekuler menggunakan
polymerase chain reaction (PCR).
Pemeriksaan haematologi dengan teknik ulas darah tipis terkadang mengalami
hambatan karena agen T. evansi hanya dapat dideteksi pada saat terjadi parasitemia
yang tinggi. Sedangkan pada kasus infeksi yang berjalan kronis, diperlukan
pemeriksaan ulas darah tebal, MHCT dan MIT.
Untuk kepentingan diagnostik terhadap trypanosomiasis, pengujian dengan teknik
CATT memiliki sensitifitas lebih tinggi dibandingkan teknik MIT dan MHCT. Disamping
itu, teknik CATT dapat digunakan untuk melakukan uji tapis (screening test) dan
kemudian dapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk konfirmasi agen T. evansi.
4. Pengambilan dan Pengiriman Sampel
Untuk keperluan pengujian laboratorium, sampel yang dapat diambil antara lain sampel
darah utuh (dengan heparin atau EDTA), ulas darah, serum, sampel jaringan (misalnya
otak, jantung, paru-paru, limpa, sum-sum tulang) yang difiksasi dalam formalin.
Sampel darah diperoleh dari pembuluh vena perifer antara lain vena pada bagian
telinga atau ekor. Pengambilan sampel darah sebaiknya dilakukan pada saat hewan
mengalami demam dimana pada saat itu terjadi parasitemia tinggi di dalam sirkulasi
darah. Sedangkan untuk pemeriksaan serologis, sampel darah dapat diambil dari
pembuluh vena besar seperti vena pada daerah leher (vena jugularis).
Sebelum pengambilan sampel darah, dipastikan dulu bahwa ujung jarum suntik telah
disterilkan dengan alkohol. Pengambilan darah disarankan menggunakan satu suntikan
(syringe) atau satu tabung koleksi darah (blood collection tube) untuk satu ekor hewan
untuk mencegah penularan silang.
Sampel darah utuh dan sampel serum harus disimpan pada suhu dingin (4oC) di dalam
wadah yang tertutup rapat dan terlindung dari cahaya dan pada saat pengiriman jangan
dibekukan (frozen). Parasit T. evansi dapat bertahan selama 48 jam di dalam sampel
darah pada suhu dingin (refrigerated blood) selama 48 jam (Reid et al., 2001). Preparat
ulas darah dapat disimpan pada suhu ruang di dalam wadah kantong plastik. Dalam hal
pengiriman, semua sampel harus menggunakan wadah yang tidak bocor (leakproof
containers) dan tetap menggunakan prinsip rantai dingin (cold chain). Setiap sampel
yang dikirimkan ke laboratorium harus disertai dengan keterangan yang memadai.
5. Uji yang Dilakukan
Ketersediaan laboratorium diagnostik mutlak diperlukan karena sangat membantu
mendeteksi hewan terinfeksi, baik yang menunjukkan gejala klinis maupun pada infeksi
subklinis atau kronis dimana gejala klinis sulit diamati. Adapun uji yang bisa dilakukan
dengan uji Parasit dan uji serologis.
a. Uji Parasit
Uji ini sangat bergantung pada jumlah parasit trypanosoma yang beredar dalam
sirkulasi darah. Dengan demikian, teknik ini paling baik digunakan pada infeksi akut
saat terjadi parasitemia tinggi.
Preparat Darah Segar. Satu tetes darah diletakkan pada gelas objek. Kemudian
ditempelkan gelas penutup (cover glass) sehingga darah akan tersebar merata pada
gelas objek. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya (200x)
untuk melihat pergerakan (motilitas) trypanosoma yang masih hidup.
1). Preparat Ulas Darah Tebal.
Dilakukan dengan cara meletakkan tetesan darah (dua atau tiga tetes) pada gelas
objek, kemudian dioleskan dengan menggunakan tusuk gigi atau gelas objek yang lain
sehingga terbentuk luasan 1,0 – 1,25 cm2. Preparat dikeringkan pada suhu ruang
selama minimal satu jam. Selanjutnya preparat diwarnai dengan Giemsa selama 25
menit. Setelah dicuci dengan aquades, pengamatan dapat dilakukan menggunakan
mikrokop cahaya (500–1000x). Kelebihan dari preparat ulas darah tebal adalah bahwa
teknik ini dapat membuat endapan darah pada area yang kecil sehingga waktu yang
diperlukan untuk mendeteksi parasit menjadi lebih singkat. Adapun kelemahan teknik ini
adalah bahwa agen T. evansi dapat menjadi rusak selama proses pengerjaan preparat
sehingga teknik ini tidak direkomendasikan untuk identifikasi spesies trypanosoma pada
kasus infeksi campuran (mixed infections).
2). Preparat Ulas Darah Tipis.
Sebanyak satu tetes darah diletakkan pada gelas objek kemudian diulas/digesekkan
dengan ujung gelas objek yang lain. Preparat kemudian difiksasi dengan methanol
(methyl alcohol) selama dua menit, dikeringkan dan diwarnai dengan Giemsa selama
25 menit. Preparat dicuci, dikeringkan dan diwarnai dengan pewarna May–Grünwald
selama 2 menit. Kemudian ditambahkan PBS (pH 7,2) dan dibiarkan selama 3 menit.
Setelah itu dilarutkan dalam pewarna Giemsa selama 25 menit, preparat dicuci dan
akhirnya dikeringkan. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya (400–1000x)
untuk melihat morfologi secara detail dan untuk kepentingan identifikasi spesies
trypanosoma. Sebagai alternatif, pewarnaan preparat dapat dilakukan dengan
menggunakan pewarnaan cepat (rapid staining techniques).
3). Biopsi Limfonodus.
Sampel biopsi diambil dari limfonodus prescapularis atau precruralis (subiliacus).
Sampel biopsi limfonodus diletakkan pada gelas objek, ditutup dengan cover glass dan
diamati dengan mikroskopik.
Metode Endapan (Concentration methods). Pada beberapa hewan, infeksi T. evansi
dapat berlangsung subklinis yang ditandai dengan parasitemia yang rendah. Kondisi ini
menyebabkan tidak mudah untuk menemukan agen parasit T. evansi di dalam sirkulasi
darah sehingga diperlukan metode endapan. Teknik yang digunakan adalah
sentrifugasi hematokrit, endapan fase kontras, dan hemolisis sel darah merah.
Teknik sentrifugasi hematokrit (haematocrit centrifugation test / HCT) ; sampel darah
diambil menggunakan minimal dua tabung kapiler berheparin. Ujung salah satu tabung
ditutup/disegel, kemudian disentrifugasi dimana posisi ujung tabung yang disegel
berada di bawah. Pada tabung kapiler akan terbentuk endapan sel darah putih (buffy
coat). Pada permukaan tabung diteteskan minyak emersi sehingga kapiler kontak
dengan lensa objektif mikroskop (100–200x). Teknik sentrifugasi hematokrit tergolong
sederhana dan merupakan uji cepat (rapid test) yang dapat dilakukan di lapangan.
Teknik endapan fase kontras (phase-contrast buffy coat technique) ; sampel darah
diambil menggunakan tabung kapiler berheparin dan disentrifugasi sebagaimana pada
metode sentrifugasi hematokrit. Pada tabung kapiler akan terbentuk tiga lapisan
(endapan sel darah merah, sel darah putih/buffy coat, dan plasma). Tabung kapiler
dipotong sekitar 1 mm di bawah lapisan buffy coat. Secara perlahan buffy coat
dikeluarkan, diletakkan di atas gelas objek, ditutup dengan cover glass dan diamati
pada mikroskop dengan latar yang gelap atau fase kontras.
Teknik hemolisis sel darah merah (haemolysis techniques) ; digunakan sodium dodecyl
sulphate (SDS) sebagai reagen untuk menghancurkan/melisiskan sel darah merah
sehingga trypanosoma dapat dideteksi pada sampel darah. Larutan SDS tergolong
bahan beracun sehingga pengerjaan dengan bahan ini harus berhati-hati. Baik larutan
SDS maupun sampel darah sebaiknya digunakan pada suhu di atas 15°C karena pada
suhu yang lebih rendah dapat terjadi kerusakan trypansoma dalam sampel darah.
4). Inokulasi pada Hewan Percobaan (Mouse Inoculation Test / MIT)
Hewan percobaan digunakan untuk mendeteksi T. evansi pada infeksi subklinis.
Rodensia seperti tikus dan mencit digunakan untuk inokulasi. Walaupun tidak mencapai
100%, namun sensitifitas pengujian ini dapat ditingkatkan dengan penggunaan hewan
percobaan yang imunitasnya lemah.
Inokulasi sampel darah berheparin dilakukan secara intraperitonial pada tikus (1–2 ml)
atau mencit (0.25–0.5 ml). Inokulasi dilakukan pada minimal dua ekor hewan. Setelah
diinokulasi, hewan percobaan diambil darahnya tiga kali seminggu untuk mendeteksi
parasitemia.
5). Pemeriksaan Haematologi
Kondisi anemia merupakan salah satu gejala yang berkaitan dengan infeksi
trypanosoma walaupun bukan gejala yang khas (patognomomis). Pada hewan yang
mengalami infeksi subklinis misalnya, dapat terjadi parasitemia tanpa ditemukan gejala
anemia.
Anemia pada hewan terinfeksi T. evansi dapat diketahui dengan menghitung volume sel
darah (packed cell volume). Teknik ini dapat digunakan untuk pengamatan/surveilans
penyakit Surra dengan basis populasi. Prosedur pengujian sama dengan prosedur pada
sentrifugasi hematokrit . Sampel darah pada tabung kapiler diamati dan hasil uji
dipresentasikan dalam bentuk persentase sel darah merah terhadap volume total
darah.
b. Uji Serologis
Metode yang digunakan untuk mendeteksi antibodi humoral spesifik terhadap antigen
T. evansi antara lain card agglutination tests (CATT), enzyme-linked immunosorbent
assay(ELISA), dan latex agglutination tests. Sensitifitas uji serologis lebih tinggi
daripada uji parasit, namun diperlukan standarisasi terutama berkaitan dengan
interpretasi hasil dan prosedur pengujian di laboratorium.
1). Card agglutination tests (CATT)
Telah diketahui bahwa trypanosoma mampu menampilkan berbagai variasi antigen
permukaan (variable antigen types / VAT). Hal ini menjadi dasar untuk pengujian
dengan metode card agglutination test (CATT). Metode CATT menggunakan VAT
trypanosoma yang dikenal sebagai RoTat 1.2. Antigen permukaan, baik yang dapat
berubah bentuk (variable) maupun yang tidak (invariable), berperan dalam reaksi
aglutinasi. Hasil uji akan tampak berupa reaksi aglutinasi dimana granul berwarna biru
akan terlihat sebagai tanda positif reaksi.
Metode CATT terutama digunakan untuk pengujian serologis dengan basis populasi,
bukan individual. Metode CATT dapat digunakan untuk pengujian serologis pada fase
infeksi subklinis atau kronis.
2). Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Sensitifitas metode ELISA diketahui lebih baik daripada metode CATT. Pada pengujian
ELISA dengan basis individual, diperlukan kehati-hatian saat melakukan interpretasi
hasil uji dan lebih baik jika ditunjang dengan uji parasit. Metode ELISA sangat
bermanfaat untuk surveilans/pengamatan pada populasi hewan yang besar.
Teknik ELISA bekerja dengan cara mendeteksi antibodi spesifik terhadap trypanosoma
Hal ini dapat dilakukan melalui reaksi antara enzim bertaut anti immunoglobulin
(enzyme-linked anti-immunoglobulins) dan antigen terlarut pada ELISA plate. Enzim
yang digunakan antara lain peroxidase, alkaline phosphatase atau enzim lain yang
sesuai. Konjugat enzim akan berikatan dengan kompleks antigen-antibodi dan
kemudian bereaksi dengan substrat sehingga menghasilkan perubahan warna.
Perubahan warna tersebut terjadi akibat adanya ikatan dengan substrat atau karena
penambahan indikator (chromogen). Antigen yang digunakan untuk melapisi ELISA
plates diperoleh dari darah tikus yang mengalami parasitemia tinggi.
3). Latex agglutination tests
Pengujian dilakukan dengan mereaksikan partikel lateks yang dilapisi antigen T. evansi
RoTat 1.2 (antigen-coated latex particles) dan sampel serum darah hewan inang pada
test card. Perubahan pada test card dapat diamati di akhir waktu inkubasi. Reaksi
aglutinasi terhadap partikel lateks akan tampak pada sampel serum darah yang
mengandung agen T. evansi.
4). Uji Molekuler
Metode polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mendeteksi agen T. evansi
di dalam darah host yang terinfeksi dan dalam darah (blood meal) pada lalat Tabanus.
Teknik PCR memiliki sensitifitas uji yang hampir sama dengan teknik inokulasi pada
hewan percobaan (MIT). Hasil uji PCR negatif palsu (false negative) dapat terjadi pada
kondisi parasitemia yang sangat rendah misalnya pada infeksi kronis.
8. Diagnosa Banding
Trypanosomiasis (Surra) pada sapi dan kerbau dapat dikelirukan dengan gejala
penyakit lain seperti babesiosis, anaplasmosis, theileriosis, perdarahan sepsis,
anthraks, penyakit parasit kronis dan malnutrisi. Pada kuda, trypanosomiasis memiliki
gejala yang mirip dengan African horse sickness, equine viral arteritis, anemia infeksius,
penyakit parasit kronis, dan dourine. Trypanosomiasis yang ditularkan oleh lalat tse-tse,
anthraks, dan penyakit parasit kronis merupakan diagnosis banding Surra pada unta.
Sedangkan pada anjing dan kucing, gejala penyakit Surra dapat dibandingkan dengan
infeksi haemobartonella dan rabies.
V. PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA
Upaya yang perlu dilakukan untuk pengendalian terhadap penyakit Surra yaitu dengan
menekan vector lalat Tabanus di sekitar kandang ternak. Cara efektif adalah menjaga
lingkungan kandang tetap bersih dari limbah pakan ternak yang menumpuk disekitar
kandang dan melakukan control lalat dengan obat anti lalat. Obat anti lalat yang
beredar di pasaran antara lain Gusanex, Ralat, dll.
Tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap penderita Surra dengan preparat obat
Naganol, Surramin (tidak beredar lagi di Indonesia) Triponyl, Trypamidium, Vetquin.
Agar efektif pengobatan kasus positif Surra dilakukan pengobatan 2(dua) kali interval 1
minggu dan untuk pencegahan dapat dilakukan pengobatan 1 (satu) kali di lingkungan
ternak yang ada kasus. (sk/a_4/15)

More Related Content

What's hot

IDENTIFIKASI NYAMUK
IDENTIFIKASI NYAMUKIDENTIFIKASI NYAMUK
IDENTIFIKASI NYAMUKArini Utami
 
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan PengendaliannyaKutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannyasiska fiany
 
Manajemen penetasan telur
Manajemen  penetasan telurManajemen  penetasan telur
Manajemen penetasan telurudayana
 
PENGERTIAN DAN FUNGSI RUMAH POTONG HEWAN
PENGERTIAN DAN FUNGSI RUMAH POTONG HEWANPENGERTIAN DAN FUNGSI RUMAH POTONG HEWAN
PENGERTIAN DAN FUNGSI RUMAH POTONG HEWANMuhammad Eko
 
Aspek Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis - Ditkeswan - Presentasi Zoo...
Aspek Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis -  Ditkeswan - Presentasi Zoo...Aspek Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis -  Ditkeswan - Presentasi Zoo...
Aspek Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis - Ditkeswan - Presentasi Zoo...Tata Naipospos
 
Morfologi kutu busuk, kutu rambut, kutu kemaluan
Morfologi kutu busuk, kutu rambut, kutu kemaluanMorfologi kutu busuk, kutu rambut, kutu kemaluan
Morfologi kutu busuk, kutu rambut, kutu kemaluanMoh Nurul Ramadhan
 
Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77sinupid
 
Epidemiologi, Vaksin dan Vaksinasi PMK - Direktorat Kesehatan Hewan, 8-9 Agus...
Epidemiologi, Vaksin dan Vaksinasi PMK - Direktorat Kesehatan Hewan, 8-9 Agus...Epidemiologi, Vaksin dan Vaksinasi PMK - Direktorat Kesehatan Hewan, 8-9 Agus...
Epidemiologi, Vaksin dan Vaksinasi PMK - Direktorat Kesehatan Hewan, 8-9 Agus...Tata Naipospos
 
Permasalahan Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada Sapi - Pus...
Permasalahan Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada Sapi - Pus...Permasalahan Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada Sapi - Pus...
Permasalahan Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada Sapi - Pus...Tata Naipospos
 
Inseminasi Buatan
Inseminasi BuatanInseminasi Buatan
Inseminasi BuatanRizza Muh
 
Isi atlas sedimen urin
Isi atlas sedimen urinIsi atlas sedimen urin
Isi atlas sedimen urinMita Yurike
 
PROSES PEMOTONGAN TERNAK
PROSES PEMOTONGAN TERNAKPROSES PEMOTONGAN TERNAK
PROSES PEMOTONGAN TERNAKMuhammad Eko
 

What's hot (20)

IDENTIFIKASI NYAMUK
IDENTIFIKASI NYAMUKIDENTIFIKASI NYAMUK
IDENTIFIKASI NYAMUK
 
Lap ndv adz
Lap ndv adzLap ndv adz
Lap ndv adz
 
Penyakit Rabies
Penyakit RabiesPenyakit Rabies
Penyakit Rabies
 
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan PengendaliannyaKutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
 
cestoda
cestodacestoda
cestoda
 
Mengenal apa itu Zoonosis
Mengenal apa itu Zoonosis Mengenal apa itu Zoonosis
Mengenal apa itu Zoonosis
 
Manajemen penetasan telur
Manajemen  penetasan telurManajemen  penetasan telur
Manajemen penetasan telur
 
PENGERTIAN DAN FUNGSI RUMAH POTONG HEWAN
PENGERTIAN DAN FUNGSI RUMAH POTONG HEWANPENGERTIAN DAN FUNGSI RUMAH POTONG HEWAN
PENGERTIAN DAN FUNGSI RUMAH POTONG HEWAN
 
Ayam unggul balitbangtan dan perbibitan 31 juli 2018
Ayam  unggul balitbangtan dan  perbibitan 31 juli 2018Ayam  unggul balitbangtan dan  perbibitan 31 juli 2018
Ayam unggul balitbangtan dan perbibitan 31 juli 2018
 
Aspek Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis - Ditkeswan - Presentasi Zoo...
Aspek Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis -  Ditkeswan - Presentasi Zoo...Aspek Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis -  Ditkeswan - Presentasi Zoo...
Aspek Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis - Ditkeswan - Presentasi Zoo...
 
Morfologi kutu busuk, kutu rambut, kutu kemaluan
Morfologi kutu busuk, kutu rambut, kutu kemaluanMorfologi kutu busuk, kutu rambut, kutu kemaluan
Morfologi kutu busuk, kutu rambut, kutu kemaluan
 
Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77
 
Epidemiologi, Vaksin dan Vaksinasi PMK - Direktorat Kesehatan Hewan, 8-9 Agus...
Epidemiologi, Vaksin dan Vaksinasi PMK - Direktorat Kesehatan Hewan, 8-9 Agus...Epidemiologi, Vaksin dan Vaksinasi PMK - Direktorat Kesehatan Hewan, 8-9 Agus...
Epidemiologi, Vaksin dan Vaksinasi PMK - Direktorat Kesehatan Hewan, 8-9 Agus...
 
AYAM PPT.pptx
AYAM PPT.pptxAYAM PPT.pptx
AYAM PPT.pptx
 
Permasalahan Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada Sapi - Pus...
Permasalahan Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada Sapi - Pus...Permasalahan Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada Sapi - Pus...
Permasalahan Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada Sapi - Pus...
 
Ordo orthoptera
Ordo orthopteraOrdo orthoptera
Ordo orthoptera
 
Miasis Makhluk Hidup
Miasis Makhluk HidupMiasis Makhluk Hidup
Miasis Makhluk Hidup
 
Inseminasi Buatan
Inseminasi BuatanInseminasi Buatan
Inseminasi Buatan
 
Isi atlas sedimen urin
Isi atlas sedimen urinIsi atlas sedimen urin
Isi atlas sedimen urin
 
PROSES PEMOTONGAN TERNAK
PROSES PEMOTONGAN TERNAKPROSES PEMOTONGAN TERNAK
PROSES PEMOTONGAN TERNAK
 

Similar to Surra dan Pengendaliannya

Flu burung
Flu burungFlu burung
Flu burungchiroiz
 
Presentation2
Presentation2Presentation2
Presentation207051994
 
Mikrobiologi dan parasitologi
Mikrobiologi dan parasitologiMikrobiologi dan parasitologi
Mikrobiologi dan parasitologiAnjani Hidayah
 
Makalah Penyakit Tifus
Makalah Penyakit TifusMakalah Penyakit Tifus
Makalah Penyakit TifusDwi Aprilianto
 
Penyakit pada unggas yang disebabkan oleh jamur.
Penyakit pada unggas yang disebabkan oleh jamur.Penyakit pada unggas yang disebabkan oleh jamur.
Penyakit pada unggas yang disebabkan oleh jamur.Yusuf Ahmad
 
Kuliah 2 Parasitologi.pptx
Kuliah 2 Parasitologi.pptxKuliah 2 Parasitologi.pptx
Kuliah 2 Parasitologi.pptxHeppySetyaprima3
 
Pengurangan Risiko Salmonella Enteritidis Pada Ayam Petelur - Ditkesmavet - P...
Pengurangan Risiko Salmonella Enteritidis Pada Ayam Petelur - Ditkesmavet - P...Pengurangan Risiko Salmonella Enteritidis Pada Ayam Petelur - Ditkesmavet - P...
Pengurangan Risiko Salmonella Enteritidis Pada Ayam Petelur - Ditkesmavet - P...Tata Naipospos
 
Asuhan keperawatan pada klien flu burung a
Asuhan keperawatan pada klien flu burung aAsuhan keperawatan pada klien flu burung a
Asuhan keperawatan pada klien flu burung aimanem skynet
 
Toksoplasmosis
ToksoplasmosisToksoplasmosis
Toksoplasmosisdanivita
 
Penyakit_Mulut_dan_Kuku.pptx
Penyakit_Mulut_dan_Kuku.pptxPenyakit_Mulut_dan_Kuku.pptx
Penyakit_Mulut_dan_Kuku.pptxHerlianty Rukmana
 
Epidemiologi Penyakit flu burung
Epidemiologi Penyakit flu burungEpidemiologi Penyakit flu burung
Epidemiologi Penyakit flu burungIntan Dwisari
 
Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondiiToxoplasma gondii
Toxoplasma gondiidinamerlyna
 
Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondiiToxoplasma gondii
Toxoplasma gondiidinamerlyna
 
Avian_Influenza + Swine Flu.ppt
Avian_Influenza + Swine Flu.pptAvian_Influenza + Swine Flu.ppt
Avian_Influenza + Swine Flu.pptTriUmiana1
 

Similar to Surra dan Pengendaliannya (20)

Trypanosoma
TrypanosomaTrypanosoma
Trypanosoma
 
Parasitologi
ParasitologiParasitologi
Parasitologi
 
Flu burung
Flu burungFlu burung
Flu burung
 
Presentation2
Presentation2Presentation2
Presentation2
 
Mikrobiologi dan parasitologi
Mikrobiologi dan parasitologiMikrobiologi dan parasitologi
Mikrobiologi dan parasitologi
 
Toksoplasmosis
ToksoplasmosisToksoplasmosis
Toksoplasmosis
 
Lalat tsets1
Lalat tsets1Lalat tsets1
Lalat tsets1
 
Makalah Penyakit Tifus
Makalah Penyakit TifusMakalah Penyakit Tifus
Makalah Penyakit Tifus
 
1838.pdf
1838.pdf1838.pdf
1838.pdf
 
Penyakit pada unggas yang disebabkan oleh jamur.
Penyakit pada unggas yang disebabkan oleh jamur.Penyakit pada unggas yang disebabkan oleh jamur.
Penyakit pada unggas yang disebabkan oleh jamur.
 
Kuliah 2 Parasitologi.pptx
Kuliah 2 Parasitologi.pptxKuliah 2 Parasitologi.pptx
Kuliah 2 Parasitologi.pptx
 
Pengurangan Risiko Salmonella Enteritidis Pada Ayam Petelur - Ditkesmavet - P...
Pengurangan Risiko Salmonella Enteritidis Pada Ayam Petelur - Ditkesmavet - P...Pengurangan Risiko Salmonella Enteritidis Pada Ayam Petelur - Ditkesmavet - P...
Pengurangan Risiko Salmonella Enteritidis Pada Ayam Petelur - Ditkesmavet - P...
 
Asuhan keperawatan pada klien flu burung a
Asuhan keperawatan pada klien flu burung aAsuhan keperawatan pada klien flu burung a
Asuhan keperawatan pada klien flu burung a
 
Toksoplasmosis
ToksoplasmosisToksoplasmosis
Toksoplasmosis
 
Penyakit_Mulut_dan_Kuku.pptx
Penyakit_Mulut_dan_Kuku.pptxPenyakit_Mulut_dan_Kuku.pptx
Penyakit_Mulut_dan_Kuku.pptx
 
Epidemiologi Penyakit flu burung
Epidemiologi Penyakit flu burungEpidemiologi Penyakit flu burung
Epidemiologi Penyakit flu burung
 
Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondiiToxoplasma gondii
Toxoplasma gondii
 
Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondiiToxoplasma gondii
Toxoplasma gondii
 
Avian_Influenza + Swine Flu.ppt
Avian_Influenza + Swine Flu.pptAvian_Influenza + Swine Flu.ppt
Avian_Influenza + Swine Flu.ppt
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 

Recently uploaded

3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTriNurmiyati
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptKianSantang21
 
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdfPpt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdfAyundaHennaPelalawan
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdfMeboix
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfHilalSunu
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesNadrohSitepu1
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxpuspapameswari
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptbambang62741
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfhurufd86
 
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdfPPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdfSeruniArdhia
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar KeperawatanHaslianiBaharuddin
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar KepHaslianiBaharuddin
 
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptxAzwarArifkiSurg
 
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikaPresentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikassuser1cc42a
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabayaajongshopp
 
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa HalusinasiMateri Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasiantoniareong
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasmufida16
 
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptxATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptxDesiNatalia68
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANDianFitriyani15
 

Recently uploaded (20)

3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
 
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdfPpt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
 
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdfPPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
 
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
 
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikaPresentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
 
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa HalusinasiMateri Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
 
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptxATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
 

Surra dan Pengendaliannya

  • 1. Penyakit SURRA (Trypanosomiasis) dan PENGENDALIANNYA I. PENDAHULUAN Trypanosomiasis atau Surra adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh agen Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah (haematophagus flies). Agen T. evansi telah tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Selatan (Jones TW et al.,1996 ; Powar RM et al., 2006). Pada wilayah yang berbeda tersebut, parasit ini dapat menyerang berbagai spesies hewan. Di Amerika Selatan, kasus penyakit Surra paling sering ditemukan pada kuda. Hewan yang terinfeksi di Cina umumnya kuda, kerbau, dan rusa. Di Timur Tengah dan Afrika parasit ini menyerang unta, dan di Asia Tenggara penyakit Surra dapat ditemukan pada kuda, sapi, dan kerbau. Trypanosoma evansi diperkirakan masuk ke Asia Tenggara melalui ternak impor asal India (Payne et al., 1991). Kasus penyakit Surra pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1897 pada populasi kuda di Pulau Jawa. Selanjutnya wabah Surra dilaporkan terjadi pada sapi dan kerbau di Jawa Timur. Tindakan pengendalian wabah Surra pada waktu itu antara lain isolasi, pemotongan paksa ternak yang terinfeksi dan membuat perapian di sekitar kandang untuk menghindarkan ternak dari gigitan lalat. Upaya tersebut kurang berhasil sehingga dalam jangka waktu 10 tahun seluruh dataran rendah di Pulau Jawa dilaporkan endemik Surra. Perpindahan ternak secara ekstensif, baik di dalam pulau Jawa maupun antarpulau di Indonesia merupakan faktor pendukung penyebaran agen T. evansi. Lalat berperan besar dalam penularan trypanosomiasis, terutama pada saat ternak terinfeksi dibawa masuk ke daerah yang bebas trypanosoma. Sejak pertama kali dilaporkan, kasus penyakit Surra telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Studi serologi (Payne RC et al.,1991) mengkonfirmasi bahwa agen Trypanosoma evansi telah tersebar dan Surra endemik di seluruh Indonesia. Manifestasi klinis penyakit Surra pada hewan bervariasi dimana infeksi bisa berlangsung akut, subklinis dan kronis sehingga menimbulkan dampak ekonomi. Kerugian ekonomi secara langsung terutama akibat kematian ternak dan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan. Kerugian secara tidak langsung akibat infeksi subklinis atau kronis dan kondisi penurunan imunitas (imunosupresi) akibat penyakit Surra serta penurunan produksi daging dan susu.
  • 2. Kerugian ekonomi akibat penyakit Surra di benua Asia mencapai US$ 1,3 milyar pertahun akibat penurunan produksi daging dan susu. Namun sebenarnya angka itu bisa menjadi lebih besar karena jumlah kasus penyakit Surra yang dilaporkan biasanya hanya merupakan angka kematian, sedangkan kejadian infeksi subklinis atau kronis biasanya tidak dilaporkan. Di Indonesia misalnya, keguguran (abortus), gangguan siklus berahi pada induk betina (anestrus), penurunan bobot badan dan kematian ternak telah menyebabkan kerugian nasional yang diperkirakan mencapai US$ 22,4 Milyar per tahun (Luckins AG, 1998). II. ETIOLOGI 1. Penyebab Penyakit Surra disebabkan oleh protozoa yang merupakan parasit darah, yaitu Trypanosoma evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah pada fase infeksi akut. T. evansi memiliki ukuran panjang 15 to 34 μm dan dapat membelah (binary fission) untuk memperbanyak diri. Bentuknya yang khas seperti daun atau kumparan dicirikan dengan adanya flagella yang panjang sebagai alat gerak. Di bagian tengah tubuh terdapat inti. Salah satu ujung tubuh berbentuk lancip, sedangkan ujung tubuh yang lain agak tumpul dan terdapat bentukan yang disebut kinetoplast. Trypanosoma evansi memiliki morfologi yang mirip dengan trypanosoma lainnya seperti T. equiperdum, T. brucei, T. gambiense dan T. rhodesiense. Permukaan tubuh T. evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein yang dapat berubah- ubah bentuk (variable surface glycoprotein). Dengan kemampuan glikoprotein yang dapat berubah bentuk, maka T. evansi dapat memperdaya sistem kekebalan tubuh inang (host). Konsekuensinya akan terjadi variasi antigenik (antigenic variation) dimana tubuh akan selalu berusaha membentuk antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan protein permukaan yang ditampilkan oleh T. evansi. Di alam terdapat berbagai jenis trypanosoma pada hewan (animal trypanosomes) yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu non patogen dan patogen. Trypanosoma lewisi merupakan trypanosoma non patogen yang ditemukan pada tikus dan ditularkan melalui pinjal (rat flea). Jenis trypanosoma yang patogen diantaranya Trypanosoma brucei yang menyebabkan penyakit Nagana pada ternak di Afrika, Trypanosoma equiperdum diketahui menyebabkan penyakit Dourine pada kuda yang ditularkan melalui perkawinan (venereal disease). Trypanosoma equinum yang ditularkan secara mekanis oleh lalat Tabanus dapat menyebabkan penyakit Mal de Caderas pada kuda di Amerika Selatan. Di Afrika, Trypanosoma vivax dan Trypanosoma congolense yang ditularkan oleh lalat tsetse dapat menginfeksi ternak dan manusia (human trypanosomiasis). Adapun Trypanosoma evansi yang ditularkan secara mekanik oleh lalat tabanus dapat menyebabkan penyakit Surra pada kuda, sapi dan kerbau. 2. Sifat Agen Trypanosoma evansi merupakan parasit yang bersirkulasi dalam sistem peredaran darah. Parasit ini mengambil glukosa sebagai sumber nutrisinya sehingga apabila hewan terinfeksi tidak memperoleh asupan nutrisi yang baik maka akan terjadi penurunan kadar gula dalam darah. Kemampuan T. evansi menghasilkan racun (trypanotoxin) dan melisiskan sel darah merah akan berujung kepada kondisi anemia pada hewan inang (host). T. evansi tidak mampu bertahan hidup lama, baik di lingkungan maupun pada bangkai hewan (OIE, 2009). Parasit ini hanya mampu hidup kurang dari 1 jam di dalam karkas pada temperatur ruang. Di lingkungan, ekspos terhadap sinar matahari selama 30 menit akan mematikan trypanosoma. Pada peralatan yang terkontaminasi darah segar,
  • 3. trypanosoma dapat bertahan dalam waktu singkat, kemudian mati setelah darah menjadi kering. 3. Imunitas Kehadiran T. evansi dalam sirkulasi darah akan menggertak reaksi imunitas (kekebalan). Hal ini terjadi seiring dengan peningkatan kadar protein dalam serum terutama immunoglobulin M (IgM) sebagai respon imunitas tubuh terhadap adanya infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Payne et al. (1991) terhadap 15 ekor anak sapi dan 11 ekor anak kerbau di Jawa Barat-Indonesia menemukan antibodi terhadap T. evansi yang diduga berasal dari kolostrum. Pada hewan yang terinfeksi, pengobatan yang diberikan di awal masa infeksi/infeksi akut hanya dapat menggertak titer antibodi yang bersifat sementara (transient antibody titre), sementara itu pada hewan terinfeksi kronis antibodi akan terbentuk setelah 4 bulan pasca pengobatan (Nantulya, 1990). Trypanosoma mempunyai beberapa gen yang mengkode berbagai variasi glikoprotein permukaan bersifat antigenik yang dikenal dengan istilah variable antigenic type (VAT). Setiap saat trypanosoma berkembangbiak di dalam tubuh inang, maka akan dibentuk variasi glikoprotein (VAT) yang baru. Antibodi yang dibentuk oleh tubuh akan menyesuaikan dengan VAT tersebut. Dengan demikian, imunitas tubuh inang akhirnya akan selalu berupaya untuk membentuk berbagai antibodi yang sesuai dengan variasi antigenik yang ditampilkan oleh trypanosoma. Kondisi imunosupresi (penurunan daya tahan tubuh) yang parahdapat terjadi pada infeksi olehagen Trypanosoma evansi. Akibatnya hewan inang menjadi lebih rentan terhadap infeksi sekunder. Respon imun tubuh inang untuk membentuk antibodi pasca vaksinasi juga mengalami penurunan. Program vaksinasi penyakit viral atau bakterial pada hewan yang terinfeksi T. evansi harus ditunda hingga kondisi ternak membaik setelah diberikan pengobatan trypanosidal. III. EPIDEMIOLOGY 1. Inang (Host) Trypanosoma evansi dapat menginfeksi berbagai hewan inang (wide host spectrum) yang secara ekonomis bernilai penting. Kuda sangat rentan terhadap penyakit Surra dan dapat menyebabkan mortalitas tinggi. Hewan lain yang rentan terinfeksi adalah sapi, kerbau, kambing, domba dan rusa, namun hewan-hewan tersebut lebih toleran terhadap infeksi sehingga dapat menjadi hewan pembawa parasit (reservoir). Agen T. evansi juga dapat menyerang babi, anjing, kucing dan beberapa jenis hewan liar. Adapun tikus dan mencit merupakan hewan percobaan yang sangat rentan terinfeksi T. evansi (OIE, 2009) sehingga digunakan dalam teknik inokulasi untuk mendeteksi infeksi subklinis penyakit Surra. Manusia, walaupun jarang terjadi, dapat pula terinfeksi T. evansi. Namun infeksi pada manusia bukanlah infeksi yang terjadi secara alami karena pada dasarnya T. evansi adalah parasit darah pada hewan (animal trypanosome). Kasus infeksi T. evansi pada manusia yang pernah dilaporkan terjadi India masih memerlukan kajian lebih lanjut. 2. Cara Penularan Penularan penyakit Surra antarhewan terjadi melalui darah yang mengandung parasit T. evansi. Penularan yang paling utama terjadi secara mekanis oleh lalat penghisap darah (hematophagous flies). Di Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat Tabanus, Haematopota, dan Chrysops. Jenis lalat lain seperti Stomoxys, Musca, Haematobia juga dapat menjadi vektor pada saat populasi lalat tersebut meningkat di suatu wilayah. Walaupun penularan terjadi melalui gigitan lalat, tetapi agen T. evansi tidak melakukan perkembangan siklus hidup di dalam tubuh lalat.
  • 4. Hewan karnivora dapat terinfeksi trypanosoma apabila memakan daging yang mengandung trypanosoma. Penularan melalui air susu dan selama masa kebuntingan pernah pula dilaporkan (OIE, 2009). Namun karena parasit ini tidak mampu bertahan lama di luar tubuh inang, maka resiko penularan melalui produk asal hewan (daging dan susu) dapat diabaikan. Penularan melalui peralatan kandang seperti dehorner (alat pemotong tanduk) serta alat-alat medis misalnya jarum suntik dan alat bedah dapat terjadi apabila peralatan tersebut terkontaminasi darah yang mengandung parasit trypanosoma. 3. Kejadian Penyakit di Dunia dan Indonesia Di beberapa negara, insidensi penyakit Surra mengalami peningkatan yang signifikan terutama pada musim hujan. Hal ini terjadi karena populasi lalat penghisap darah meningkat pada musim hujan. Selain faktor musim, beban kerja yang berlebih pada ternak, kurangnya nutrisi dan stress lingkungan juga berkaitan dengan penyakit Surra. Di Indonesia, wabah Surraterjadi secara sporadik. Walaupun terkadang wabah terjadi lokal, namun mortalitas (kematian) ternak yang terinfeksi cukup tinggi. Gambaran lain tentang penyakit Surra di Indonesia adalah masih berlangsungnya perpindahan hewan dari daerah yang tertular Surra ke daerah yang bebas atau sebaliknya. Penyebaran penyakit Surra yang luas di hampir seluruh wilayah Indonesia dan kejadian penyakit yang sporadik memperkuat dugaan adanya enzootic stability antara agen T. evansi dan inang. Hal ini artinya penyakit Surra dapat muncul kapan saja tergantung dengan faktor lingkungan, kondisi imunitas hewan dan populasi lalat (vektor). 4. Faktor Resiko Musim hujan merupakan waktu yang tepat bagi lalat Tabanus untuk berkembangbiak. Dari sedikit kajian tentang perilaku lalat Tabanus diketahui bahwa lalat Tabanus menyukai habitat air, di dekat sungai, atau tempat lain yang memungkinkan untuk berkembangbiak. Peningkatan populasi lalat ini biasanya diikuti dengan meningkatnya kasus infeksi Surra, terutama pada wilayah dimana hewan inang hidup berdampingan dengan habitat lalat. Selain musim, faktor angin juga berpengaruh yaitu berperan dalam penyebaran lalat Tabanus. Perpindahan lalat karena tiupan angin dimungkinkan dalam jarak yang pendek, namun informasi mengenai hal ini masih sangat minim. Faktor lain yaitu kondisi yang menyebabkan stress pada hewan seperti malnutrisi, kebuntingan, dan kelelahan dapat menjadi faktor pemicu penyakit Surra. Trypanosomiasis (Surra) menarik perhatian karena kerentanan infeksi tidak hanya pada hewan, tetapi juga pada manusia. Trypanosoma evansi pada hewan biasanya tidak menyebabkan infeksi pada manusia. Kasus infeksi Trypanosoma evansi pada manusia (human trypanosomiasis) akibat trypanosoma asal hewan (animal tyrpanosomiasis) sangat jarang ditemukan. Kasus infeksi T. evansi pada manusia di India (RM Powar et al., 2006) merupakan salah satu kasus infeksi T. evansi asal hewan yang jarang terjadi. Pasien manusia tersebut menderita demam berulang (intermittent febrile) selama lima bulan dan mengalami kelelahan. Setelah dilakukan pemeriksaan hematologi, serologi dan biologi molekuler diketahui bahwa terdapat agen T. evansi di dalam darah pasien, padahal T. evansi merupakan agen penyebab penyakit Surra pada hewan. IV. IDENTIFIKASI PENYAKIT 1. Gejala Klinis Gejala klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada keganasan/virulensi agen T. evansi, jenis hewan (host) yang terinfeksi dan faktor lain yang dapat
  • 5. menimbulkan stress. Lama waktu antara awal infeksi dan munculnya gejala klinis (masa inkubasi) bervariasi, rata – rata 5 sampai 60 hari pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit Surra umumnya berlangsung kronis (chronic infection) dengan angka kematian yang rendah sehingga pernah dilaporkan masa inkubasi yang lebih lama yaitu 3 bulan. Setelah masa inkubasi, dalam waktu kurang dari 14 hari akan ditemukan parasit yang beredar dalam sirkulasi darah (parasitemia). Manisfestasi klinis penyakit Surra dapat berupa gejala demam berulang (intermiten) akibat parasitaemia. Parasitemia sangat tinggi variasinya selama masa infeksi: tinggi pada awal infeksi, rendah selama infeksi berjalan kronis dan hampir tidak ada pada hewan pembawa agen (carrier). Anemia merupakan gejala yang paling banyak ditemukan pada infeksi oleh trypanosoma. Membran sel darah merah akan kehilangan salah satu komponen penyusun yaitu asam sialik (sialic acid). Hal tersebut akan mengaktifkan makrofag pada organ limpa, hati, paru-paru, limfonodus dan sum-sum tulang untuk memfagosit sel darah merah sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah. Gejala lain diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus prescapularis kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada anggota tubuh bagian bawah seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada kulit, perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada membran serous kelopak mata, hidung dan anus, keguguran (abortus), dan gangguan syaraf. Penurunan imunitas tubuh (imunosupresi) juga ditemui sehingga hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. 2. Patologi Anatomi Pada pemeriksaan pasca hewan mati (post-mortem examination), perubahan patologi anatomi yang ditemukan umumnya tidak spesifik. Pada hewan yang mati dapat diamati kondisi kekurusan (emaciation), perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada beberapa organ internal, penumpukan cairan abnormal baik pada rongga dada (hydrothorax) maupun pada rongga perut (ascites), kelenjar pertahanan/limfonodus dan organ limpa tampak lebih besar daripada ukuran normal (lymphadenopathy dan splenomegaly). 3. Pengujian Laboratorium Dikarenakan gejala klinis infeksi T. evansi tidak bersifat khas (patognomonis), maka pemeriksaan gejala klinis sebaiknya juga ditunjang dengan pengujian di laboratorium untuk konfirmasi agen penyebab. Uji parasit, uji serologi dan uji molekuler merupakan teknik pengujian yang digunakan untuk diagnosis konfirmatif di laboratorium. Uji parasit diantaranya pemeriksaan haematologi (mikroskopik), microhematocrit centrifugation technique (MHCT) dan mouse inoculation test (MIT). Uji serologi dapat dilakukan dengan metode card agglutination test for trypanosomes (CATT) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), sedangkan uji molekuler menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan haematologi dengan teknik ulas darah tipis terkadang mengalami hambatan karena agen T. evansi hanya dapat dideteksi pada saat terjadi parasitemia yang tinggi. Sedangkan pada kasus infeksi yang berjalan kronis, diperlukan pemeriksaan ulas darah tebal, MHCT dan MIT. Untuk kepentingan diagnostik terhadap trypanosomiasis, pengujian dengan teknik CATT memiliki sensitifitas lebih tinggi dibandingkan teknik MIT dan MHCT. Disamping itu, teknik CATT dapat digunakan untuk melakukan uji tapis (screening test) dan kemudian dapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk konfirmasi agen T. evansi.
  • 6. 4. Pengambilan dan Pengiriman Sampel Untuk keperluan pengujian laboratorium, sampel yang dapat diambil antara lain sampel darah utuh (dengan heparin atau EDTA), ulas darah, serum, sampel jaringan (misalnya otak, jantung, paru-paru, limpa, sum-sum tulang) yang difiksasi dalam formalin. Sampel darah diperoleh dari pembuluh vena perifer antara lain vena pada bagian telinga atau ekor. Pengambilan sampel darah sebaiknya dilakukan pada saat hewan mengalami demam dimana pada saat itu terjadi parasitemia tinggi di dalam sirkulasi darah. Sedangkan untuk pemeriksaan serologis, sampel darah dapat diambil dari pembuluh vena besar seperti vena pada daerah leher (vena jugularis). Sebelum pengambilan sampel darah, dipastikan dulu bahwa ujung jarum suntik telah disterilkan dengan alkohol. Pengambilan darah disarankan menggunakan satu suntikan (syringe) atau satu tabung koleksi darah (blood collection tube) untuk satu ekor hewan untuk mencegah penularan silang. Sampel darah utuh dan sampel serum harus disimpan pada suhu dingin (4oC) di dalam wadah yang tertutup rapat dan terlindung dari cahaya dan pada saat pengiriman jangan dibekukan (frozen). Parasit T. evansi dapat bertahan selama 48 jam di dalam sampel darah pada suhu dingin (refrigerated blood) selama 48 jam (Reid et al., 2001). Preparat ulas darah dapat disimpan pada suhu ruang di dalam wadah kantong plastik. Dalam hal pengiriman, semua sampel harus menggunakan wadah yang tidak bocor (leakproof containers) dan tetap menggunakan prinsip rantai dingin (cold chain). Setiap sampel yang dikirimkan ke laboratorium harus disertai dengan keterangan yang memadai. 5. Uji yang Dilakukan Ketersediaan laboratorium diagnostik mutlak diperlukan karena sangat membantu mendeteksi hewan terinfeksi, baik yang menunjukkan gejala klinis maupun pada infeksi subklinis atau kronis dimana gejala klinis sulit diamati. Adapun uji yang bisa dilakukan dengan uji Parasit dan uji serologis. a. Uji Parasit Uji ini sangat bergantung pada jumlah parasit trypanosoma yang beredar dalam sirkulasi darah. Dengan demikian, teknik ini paling baik digunakan pada infeksi akut saat terjadi parasitemia tinggi. Preparat Darah Segar. Satu tetes darah diletakkan pada gelas objek. Kemudian ditempelkan gelas penutup (cover glass) sehingga darah akan tersebar merata pada gelas objek. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya (200x) untuk melihat pergerakan (motilitas) trypanosoma yang masih hidup. 1). Preparat Ulas Darah Tebal. Dilakukan dengan cara meletakkan tetesan darah (dua atau tiga tetes) pada gelas objek, kemudian dioleskan dengan menggunakan tusuk gigi atau gelas objek yang lain sehingga terbentuk luasan 1,0 – 1,25 cm2. Preparat dikeringkan pada suhu ruang selama minimal satu jam. Selanjutnya preparat diwarnai dengan Giemsa selama 25 menit. Setelah dicuci dengan aquades, pengamatan dapat dilakukan menggunakan mikrokop cahaya (500–1000x). Kelebihan dari preparat ulas darah tebal adalah bahwa teknik ini dapat membuat endapan darah pada area yang kecil sehingga waktu yang diperlukan untuk mendeteksi parasit menjadi lebih singkat. Adapun kelemahan teknik ini adalah bahwa agen T. evansi dapat menjadi rusak selama proses pengerjaan preparat sehingga teknik ini tidak direkomendasikan untuk identifikasi spesies trypanosoma pada kasus infeksi campuran (mixed infections).
  • 7. 2). Preparat Ulas Darah Tipis. Sebanyak satu tetes darah diletakkan pada gelas objek kemudian diulas/digesekkan dengan ujung gelas objek yang lain. Preparat kemudian difiksasi dengan methanol (methyl alcohol) selama dua menit, dikeringkan dan diwarnai dengan Giemsa selama 25 menit. Preparat dicuci, dikeringkan dan diwarnai dengan pewarna May–Grünwald selama 2 menit. Kemudian ditambahkan PBS (pH 7,2) dan dibiarkan selama 3 menit. Setelah itu dilarutkan dalam pewarna Giemsa selama 25 menit, preparat dicuci dan akhirnya dikeringkan. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya (400–1000x) untuk melihat morfologi secara detail dan untuk kepentingan identifikasi spesies trypanosoma. Sebagai alternatif, pewarnaan preparat dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan cepat (rapid staining techniques). 3). Biopsi Limfonodus. Sampel biopsi diambil dari limfonodus prescapularis atau precruralis (subiliacus). Sampel biopsi limfonodus diletakkan pada gelas objek, ditutup dengan cover glass dan diamati dengan mikroskopik. Metode Endapan (Concentration methods). Pada beberapa hewan, infeksi T. evansi dapat berlangsung subklinis yang ditandai dengan parasitemia yang rendah. Kondisi ini menyebabkan tidak mudah untuk menemukan agen parasit T. evansi di dalam sirkulasi darah sehingga diperlukan metode endapan. Teknik yang digunakan adalah sentrifugasi hematokrit, endapan fase kontras, dan hemolisis sel darah merah. Teknik sentrifugasi hematokrit (haematocrit centrifugation test / HCT) ; sampel darah diambil menggunakan minimal dua tabung kapiler berheparin. Ujung salah satu tabung ditutup/disegel, kemudian disentrifugasi dimana posisi ujung tabung yang disegel berada di bawah. Pada tabung kapiler akan terbentuk endapan sel darah putih (buffy coat). Pada permukaan tabung diteteskan minyak emersi sehingga kapiler kontak dengan lensa objektif mikroskop (100–200x). Teknik sentrifugasi hematokrit tergolong sederhana dan merupakan uji cepat (rapid test) yang dapat dilakukan di lapangan. Teknik endapan fase kontras (phase-contrast buffy coat technique) ; sampel darah diambil menggunakan tabung kapiler berheparin dan disentrifugasi sebagaimana pada metode sentrifugasi hematokrit. Pada tabung kapiler akan terbentuk tiga lapisan (endapan sel darah merah, sel darah putih/buffy coat, dan plasma). Tabung kapiler dipotong sekitar 1 mm di bawah lapisan buffy coat. Secara perlahan buffy coat dikeluarkan, diletakkan di atas gelas objek, ditutup dengan cover glass dan diamati pada mikroskop dengan latar yang gelap atau fase kontras. Teknik hemolisis sel darah merah (haemolysis techniques) ; digunakan sodium dodecyl sulphate (SDS) sebagai reagen untuk menghancurkan/melisiskan sel darah merah sehingga trypanosoma dapat dideteksi pada sampel darah. Larutan SDS tergolong bahan beracun sehingga pengerjaan dengan bahan ini harus berhati-hati. Baik larutan SDS maupun sampel darah sebaiknya digunakan pada suhu di atas 15°C karena pada suhu yang lebih rendah dapat terjadi kerusakan trypansoma dalam sampel darah. 4). Inokulasi pada Hewan Percobaan (Mouse Inoculation Test / MIT) Hewan percobaan digunakan untuk mendeteksi T. evansi pada infeksi subklinis. Rodensia seperti tikus dan mencit digunakan untuk inokulasi. Walaupun tidak mencapai 100%, namun sensitifitas pengujian ini dapat ditingkatkan dengan penggunaan hewan percobaan yang imunitasnya lemah. Inokulasi sampel darah berheparin dilakukan secara intraperitonial pada tikus (1–2 ml) atau mencit (0.25–0.5 ml). Inokulasi dilakukan pada minimal dua ekor hewan. Setelah diinokulasi, hewan percobaan diambil darahnya tiga kali seminggu untuk mendeteksi parasitemia.
  • 8. 5). Pemeriksaan Haematologi Kondisi anemia merupakan salah satu gejala yang berkaitan dengan infeksi trypanosoma walaupun bukan gejala yang khas (patognomomis). Pada hewan yang mengalami infeksi subklinis misalnya, dapat terjadi parasitemia tanpa ditemukan gejala anemia. Anemia pada hewan terinfeksi T. evansi dapat diketahui dengan menghitung volume sel darah (packed cell volume). Teknik ini dapat digunakan untuk pengamatan/surveilans penyakit Surra dengan basis populasi. Prosedur pengujian sama dengan prosedur pada sentrifugasi hematokrit . Sampel darah pada tabung kapiler diamati dan hasil uji dipresentasikan dalam bentuk persentase sel darah merah terhadap volume total darah. b. Uji Serologis Metode yang digunakan untuk mendeteksi antibodi humoral spesifik terhadap antigen T. evansi antara lain card agglutination tests (CATT), enzyme-linked immunosorbent assay(ELISA), dan latex agglutination tests. Sensitifitas uji serologis lebih tinggi daripada uji parasit, namun diperlukan standarisasi terutama berkaitan dengan interpretasi hasil dan prosedur pengujian di laboratorium. 1). Card agglutination tests (CATT) Telah diketahui bahwa trypanosoma mampu menampilkan berbagai variasi antigen permukaan (variable antigen types / VAT). Hal ini menjadi dasar untuk pengujian dengan metode card agglutination test (CATT). Metode CATT menggunakan VAT trypanosoma yang dikenal sebagai RoTat 1.2. Antigen permukaan, baik yang dapat berubah bentuk (variable) maupun yang tidak (invariable), berperan dalam reaksi aglutinasi. Hasil uji akan tampak berupa reaksi aglutinasi dimana granul berwarna biru akan terlihat sebagai tanda positif reaksi. Metode CATT terutama digunakan untuk pengujian serologis dengan basis populasi, bukan individual. Metode CATT dapat digunakan untuk pengujian serologis pada fase infeksi subklinis atau kronis. 2). Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) Sensitifitas metode ELISA diketahui lebih baik daripada metode CATT. Pada pengujian ELISA dengan basis individual, diperlukan kehati-hatian saat melakukan interpretasi hasil uji dan lebih baik jika ditunjang dengan uji parasit. Metode ELISA sangat bermanfaat untuk surveilans/pengamatan pada populasi hewan yang besar. Teknik ELISA bekerja dengan cara mendeteksi antibodi spesifik terhadap trypanosoma Hal ini dapat dilakukan melalui reaksi antara enzim bertaut anti immunoglobulin (enzyme-linked anti-immunoglobulins) dan antigen terlarut pada ELISA plate. Enzim yang digunakan antara lain peroxidase, alkaline phosphatase atau enzim lain yang sesuai. Konjugat enzim akan berikatan dengan kompleks antigen-antibodi dan kemudian bereaksi dengan substrat sehingga menghasilkan perubahan warna. Perubahan warna tersebut terjadi akibat adanya ikatan dengan substrat atau karena penambahan indikator (chromogen). Antigen yang digunakan untuk melapisi ELISA plates diperoleh dari darah tikus yang mengalami parasitemia tinggi. 3). Latex agglutination tests Pengujian dilakukan dengan mereaksikan partikel lateks yang dilapisi antigen T. evansi RoTat 1.2 (antigen-coated latex particles) dan sampel serum darah hewan inang pada test card. Perubahan pada test card dapat diamati di akhir waktu inkubasi. Reaksi aglutinasi terhadap partikel lateks akan tampak pada sampel serum darah yang mengandung agen T. evansi. 4). Uji Molekuler Metode polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mendeteksi agen T. evansi di dalam darah host yang terinfeksi dan dalam darah (blood meal) pada lalat Tabanus. Teknik PCR memiliki sensitifitas uji yang hampir sama dengan teknik inokulasi pada
  • 9. hewan percobaan (MIT). Hasil uji PCR negatif palsu (false negative) dapat terjadi pada kondisi parasitemia yang sangat rendah misalnya pada infeksi kronis. 8. Diagnosa Banding Trypanosomiasis (Surra) pada sapi dan kerbau dapat dikelirukan dengan gejala penyakit lain seperti babesiosis, anaplasmosis, theileriosis, perdarahan sepsis, anthraks, penyakit parasit kronis dan malnutrisi. Pada kuda, trypanosomiasis memiliki gejala yang mirip dengan African horse sickness, equine viral arteritis, anemia infeksius, penyakit parasit kronis, dan dourine. Trypanosomiasis yang ditularkan oleh lalat tse-tse, anthraks, dan penyakit parasit kronis merupakan diagnosis banding Surra pada unta. Sedangkan pada anjing dan kucing, gejala penyakit Surra dapat dibandingkan dengan infeksi haemobartonella dan rabies. V. PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA Upaya yang perlu dilakukan untuk pengendalian terhadap penyakit Surra yaitu dengan menekan vector lalat Tabanus di sekitar kandang ternak. Cara efektif adalah menjaga lingkungan kandang tetap bersih dari limbah pakan ternak yang menumpuk disekitar kandang dan melakukan control lalat dengan obat anti lalat. Obat anti lalat yang beredar di pasaran antara lain Gusanex, Ralat, dll. Tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap penderita Surra dengan preparat obat Naganol, Surramin (tidak beredar lagi di Indonesia) Triponyl, Trypamidium, Vetquin. Agar efektif pengobatan kasus positif Surra dilakukan pengobatan 2(dua) kali interval 1 minggu dan untuk pencegahan dapat dilakukan pengobatan 1 (satu) kali di lingkungan ternak yang ada kasus. (sk/a_4/15)